Anda di halaman 1dari 23

Analisis Pemungutan, Pemotongan dan Pelaporan terkait PPH 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 atau biasa disebut PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan
yang dikenakan pada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang
melakukan kegiatan ekspor dan impor serta re-impor. Karena diberlakukan pada kegiatan
ekspor-impor dan re-impor inilah pajak penghasilan tersebut dikenal PPh Pasal 22 impor.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh
Pasal 22 merupakan bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak
terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34/PMK.010/2017 tentang


Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, berikut yang
menjadi objek PPh Pasal 22:

a. Impor barang dan ekspor

b. Pembayaran atas pembelian barang

c. Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga

d. Pembayaran atas pembelian barang untuk BUMN

e. Penjualan hasil produksi kepada distributor

f. Penjualan kendaraan bermotor

g. Penjualan Migas

h. Pembelian bahan – bahan dari pedagang pengumpul

i. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah

Berikut dokumen – dokumen yang harus ada pada saat terjadinya/pemungutan PPH 2
atas Impor adalah sebagai berikut:

a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB)


b. Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB)

c. Commercial Invoice

d. Packing List

e. Original Bill of Landing

f. Bukti Penerimaan Negara

Berikut Penulis jelaskan secara terperinci mengenai masing – masing dokumen yang
digunakan dalam kegiatan impor:

a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB)

Pemberitahuan Impor Barang (PIB) adalah dokumen pemberitahuan oleh importir


kepada bea cukai atas barang impor, berdasarkan dokumen pelengkap pabean sesuai
prinsip self assessment. Dasar Hukum Pemberlakuan Formulir Pemberitahuan Impor Barang

Berikut Ini sejumlah landasan hukum yang mengatur penggunaan formulir PIB di Indonesia :

 Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan
UU no. 17 Tahun 2006.
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 155/PMK.04/2008 tentang Pemberitahuan
Pabean sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
226/PMK.04/2015.
 Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. P-22/BC/2009 tentang Pabean Impor
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PER 20/BC/2016.

Beberapa bagian yang harus Anda perhatikan sebelum mengisi formulir PIB adalah sebagai
berikut:

1. Kantor Kepabeanan Kantor Pelayanan Bea Cukai tempat Anda mengurus dokumen
bersangkutan.
2. Nomor Pengajuan Merupakan kombinasi angka yang akan diisi dengan identitas
bank yang akan Anda gunakan, tanggal PIB dibuat dan nomor seri EDI (Electronic
Data Interchnage)
3. Jenis-Jenis Pemberitahuan Impor Barang 
a. Pemberitahuan Impor Barang Biasa adalah PIB yang diajukan untuk sekali impor baik
untuk barang impor yang telah tiba dan yang diajukan sebelum barang impor tiba.
b. Pemberitahuan Impor Barang Berkala adalah PIB yang diajukan untuk lebih dari
sekali impor untuk satu periode. Barang impor dalam periode ini biasanya dikeluarkan
terlebih dahulu dari kawasan pabean.
c. Pemberitahuan Impor Barang Penyelesaian adalah PIB yang diajukan untuk sekali
pengimporan setelah barang impor dikeluarkan lebih dulu dari Kawasan pabean.
4. Jenis Impor. Mencatat fasilitas pengeluaran barang. Contohnya, kode angka 1 untuk
impor dipakai, 2 untuk impor sementara, 3 untuk reimpor, 5 untuk pelayanan segera
atau 9 untuk status vooruitslag yaitu pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan
menggunakan jaminan.
5. Cara Pembayaran. Untuk melakukan pembayaran, Anda dapat menerapkan sistem
biasa, berkala atau dengan jaminan.
6. Nama Pemasok. Berisi identitas lengkap pihak eksportir disertai kode negara
pengekspor.
7. Importir. Berisi data-data perusahan pengimpor seperti NPWP, Identitas, status dan
Angka Pengenal Importir (API).
8. Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. Berisi identitas lengkap pemilik jasa
kepabeanan yang diinput langsung oleh pihak penyedia jasa kepabeanan.
9. Perkiraan Tanggal tiba. Berisi estimasi waktu sampai yang bisa dilihat berdasarkan
Bill of Lading yang sudah kita miliki

Selanjutnya adalah mengenai Cara Kerja Penyampaian Pemberitahuan Impor Barang adalah
sebagai berikut:

a. PIB berisi perincian atas barang impor, termasuk jumlah pajak dan bea masuk yang
harus dibayar atas barang impor. PIB disampaikan dalam data elektronik melalui
sistem kepabeanan atau menggunakan media penyimpan data digital. PIB juga dapat
disampaikan melalui tulisan di atas formulir khusus.
b. PIB kemudian dilaporkan bersamaaan dengan beberapa dokumen pelengkap serta
bukti pembayaran bea masuk, cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang
disampaikan kepada pejabat di kantor pabean.
c. Barang Kena Cukai (BKC) dapat dilunasi dengan pelekatan pita cukai yang dokumen
pemesananannya telah disampaikan kepada pejabat di kantor pabean tempat
pengeluaran barang.
d. Untuk dokumen seperti Surat Pemberitahuan Jalur Merah, Surat Pemberitahuan Jalur
Kuning, SPPB untuk jalur hijau pelunasannya dilakukan dalam jangka waktu 3 hari
kerja setelah tanggal.
e. Sementara, untuk dokumen SPPB untuk jalur MITA Prioritas dan jalur MITA Non
Prioritas pelunasannya dilakukan dalam jangka waktu 5 hari kerja.

Berikut ini merupakan contoh dokumen PIB beserta lampirannya:


b. Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2006 perubahan atas


Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan pada pasal 3 menyebutkan
bahwa, terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean. Pemeriksaan pabean
sebagaimana dimaksud meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang
pemeriksaan pabean sebagaimana dilakukan secara selektif. Kementerian Keuangan Republik
Indonesia salinan peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : PER-16/BC/2016
tentang petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai, pasal 24
menjelaskan dalam rangka pemeriksaan pabean secara selektif, ditetapkan jalur pengeluaran
barang Impor. Penetapan Jalur Penetapan jalur menurut Purwito (2015:147).

a. Jalur merah adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan barang impor dengan
dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat
Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

b. Jalur kuning adalah mekanisme palayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor
dengan tidak melakukan pemeriksaan fisik tetapi melakukan penelitian dokumen
sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang Impor (SPPB).

c. Jalur hijau adalah mekanisme pelayanan dan pengawasan pengeluaran barang impor
dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik. Penelitian dokumen dilakukan setelah
penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dikeluarkan.

Penerbitan SPPB dan Pengeluaran Barang Impor Peraturan Kementrian Keuangan


Republik Indonesia salinan peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : PER-
16/BC/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai,
merupakan aturan yang berlaku dalam mengawasi pengeluaran barang impor.
Sistem, Mekanisme dan Prosedur SPPB adalah sebagai berikut:

 Importir menyerahkan SPPB kepada petugas yang mengawasi pengeluaran barang.


 Petugas pengeluaran barang mencocokkan data SPPB dari Importir dengan data yang
ada pada Sistem Komputer Pelayanan (SKP), dan menyerahkan kembali SPPB
kepada Importir.
 Importir menyiapkan barang untuk dikeluarkan, setelah siap SPPB kembali
diserahkan kepada petugas pengeluaran barang.
 Petugas pengeluaran barang menerima SPPB kembali dari importir untuk selanjutnya
mengawasi proses pengeluaran barang, menandatangani SPPB dan memberikan
catatan pengeluaran.
 Petugas pengeluaran barang menyerahkan kembali SPPB yang telah diberikan catatan
pengeluaran kepada Importir.

Berikut terlampir contoh SPPB


c. Commercial Invoice

Commercial invoice merupakan dokumen nota atau faktur penjualan barang ekspor


impor yang diterbitkan oleh eksportir (penjual atau pengirim barang). Secara kasar,
commercial invoice adalah surat permintaan pembayaran kepada importir (pembeli)
sesaat setelah eksportir selesai memproduksi barang pesanan importir. Commercial
Invoice dari eksportir ditujukan kepada importir yang nama dan alamatnya sesuai dengan
yang tercantum dalam Letter of Credit (L/C) dan ditandatangani oleh pihak yang berhak
menandatangani. Formulir invoice yang asli diberikan kepada bank sebagai bukti
pembayaran untuk diteruskan kepada importir. Commercial invoice terdiri dari beberapa
lembar antara lain bill of lading dan dokumen transportasi lainnya. Di dalam commercial
invoice wajib mencantumkan nomer dan tanggal dokumen invoice, nama importir atau
consignee, nama barang, harga per unit (dijual berdasarkan, pcs/ kgm/ cbm/ dozen/
lainnya), harga total seluruh barang, cara penyerahan barang (FOB, CNF, CIF).

Contoh Commercial Invoice adalah sebagai berikut:

d. Packing List

Packing List adalah dokumen penting sebagai tempat informasi dari isi paket yang
dikirim. Dalam Packing List terdapat informasi alamat lengkap dari Pengirim/Shipper dan
juga Penerima/Receiver di bagian atas. Lalu di bawahnya ada table berisi informasi
barang, jumlah, dan juga beratnya. Setelah itu ada juga table invoice dengan isi data yang
sama dilengkapi dengan harga perunit dan totalnya. Lengkapi dengan tanda tangan Anda
sebagai pengirim di pojok kanan bawah.

Contoh Packing List adalah sebagai berikut:


e. Original Bill of Landing

Original Bill of Landing biasa disebut juga Konosemen adalah surat tanda terima


barang yang telah dimuat di dalam kapal laut yang juga merupakan tanda bukti
kepemilikan barang dan juga sebagai bukti adanya kontrak atau perjanjian pengangkutan
barang melalui laut. Banyak istilah yang pengertian dan maksudnya sama dengan B/L
seperti Air Waybill untuk pengangkutan dengan pesawat udara, Railway Consignmnet
Note untuk pengangkutan menggunakan kereta api dan sebagainya. B/L memiliki fungsi
antara lain:

1. Bukti tanda penerimaan barang, yaitu barang-barang yang diterima oleh


pengangkut (carrier) dari shipper (pengirim barang atau eksportir) ke suatu tempat
tujuan dan selanjutnya menyerahkan barang-barang tersebut kepada pihak
penerima (consignee atau importir)
2. Bukti pemilikan atas barang (document of title) , yang menyatakan bahwa orang
yang memegang B/L merupakan pemilik dari barang-barang yang tercantum pada
B/L/
3. Bukti perjanjian pengangkutan dan penyerahan barang antara pihak pengangkut
dengan pengiriman.
Contoh Original Billing of Landing adalah sebagai berikut:
f. Bukti Penerimaan Negara
Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos
Persepsi atas transaksi penerimaan negara, sebagaimana dijelaskan pada Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik.
Dalam BPN tertera nomor transaksi penerimaan negara (NTPN) dan nomor transaksi bank
(NTB) atau nomor transaksi pos (NTP), sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya
sama dengan surat setoran. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan pemberitahuan
kepada seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), serta Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), bahwa kedudukan BPN
dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP).

Bentuk-Bentuk BPN
1. Dokumen bukti pembayaran dari bank atau pos persepsi, untuk penyetoran pajak yang
melalui teller menggunakan kode billing.
2. Struk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau Electronic Data Capture (EDC), untuk
pembayaran melalui ATM atau mesin EDC.
3. BPN digital, yakni dokumen elektronik yang diperoleh Wajib Pajak yang membayar
atau menyetor pajak secara online. Melalui internet banking atau Application Service
Provider (ASP) yang meraupakan mitra resmi DJP.
4. Teraan BPN pada SSP atau SSP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), untuk pembayaran
melalui teller bank atau pos persepsi dengan menggunakan SSP/SSP PBB.
Contoh Bukti Penerimaan Negara:

 Pemungutan PPh 22
Berdasarkan penjelasan Pasal 22 UU PPh, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah:

1. bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah


Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya,
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam
pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi
yang sama;

2. badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan


kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha
produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen; dan

3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini
akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai
barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun
harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium
sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.

Pemungut PPh Pasal 22

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh
Pasal 22 impor barang;

2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut


pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;

3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang


dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);

5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:

a. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT


Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya
(Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero);

b. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas


pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,


pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang
izin usaha pertambangan.

Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat
penjualan adalah:

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
kepada distributor di dalam negeri;

2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan
industri hilir.

5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:

a. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan


perikanan; dan

b. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan.

6. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.  90/PMK.03/2015, pemerintah


menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;

2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan
Nilai;

3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali;

4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor


kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:

a. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan


Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

b. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank
BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

c. pembayaran untuk:

 pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-


benda pos;

 pemakaian air dan listrik.

6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor;

7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan


Operasional Sekolah (BOS).

Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor


sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut
dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). Pengecualian sebagaimana dimaksud
pada point 1 dan 6 dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada
point 4, 5, dan 7 di atas dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). Ketentuan
Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor barang yang dibebaskan dari
pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas impor sementara dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai
dan/atau Direktur Jenderal Pajak.
Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut,
harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:

1. yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk


hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan
Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan
barang dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk
sebagaimana mestinya;

2. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969


tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir
dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun
1973;

3. berupa kiriman hadiah;

4. untuk tujuan keilmuan.

3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja


negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,-(bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah).

 Penyetoran PPh 22

PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan
tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor. PPh Pasal 22
atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA, bendahara pengeluaran dan
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan kegiatan usaha oleh BUMN tertentu dan Bank BUMN, terutang dan
dipungut pada saat pembayaran.

PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi dan
atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh ATPM, APM dan
importir umum kendaraan bermotor terutang dan dipungut pada saat penjualan. PPh Pasal 22
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas terutang dan dipungut
pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).

Cara Penyetoran

1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran
oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan
KPA, bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib
disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

Surat Setoran Pajak tersebut berlaku juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak.Pemungutan
PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak. Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh
Pasal 22. Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 22

 Bagi PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM oleh Bea Cukai, maka batas waktu
pembayaran/penyetoran pajak adalah 1 (satu) hari setelah dipungut. Sedangkan untuk
batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Masa-nya adalah pada hari kerja terakhir
minggu berikutnya (melapor secara mingguan).
 PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah memiliki batas waktu pembayaran/penyetoran
pajak pada hari yang sama saat penyerahan barang dan untuk batas waktu pelaporan
Surat Pemberitahuan Masa-nya adalah tanggal 14 bulan berikutnya.
 Untuk PPh Pasal 22 Pertamina, maka batas waktu pembayaran/penyetoran pajak
adalah sebelum delivery order dibayar.
 PPh Pasal 22 Pemungut Tertentu memiliki batas waktu pembayaran/penyetoran pajak
pada tanggal 10 bulan berikutnya. Sedangkan untuk batas waktu pelaporan Surat
Pemberitahuan Masa-nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

 Pelaporan PPh 22

Ketentuan dan tata cara membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta
Bukti Pemotongan/Pemungutannya.Dalam beleid ini, cara pengisian Bukti Pemungutan PPh
Pasal 22 sesuai petunjuk dalam Lampiran III.2, dengan cara mengunduh beberapa Formulir
Bukti Potong PPh Pasal 22, yang bisa diunduh di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP),
di antaranya:

 Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Badan Usaha Industri Eksportir Tertentu
(F.1.1.33.04)
 Daftar Bukti Pungut PPh Pasal 22
 Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 (D.1.1.32.04)

Sebelumnya, tata cara pelaporan SPT Masa PPh Pasal 22 diatur dan sesuai Lampiran III.1
Perdirjen No. PER-53/PJ/2009. Terbaru, penyampaian SPT Masa PPh Pasal 22 berdasarkan
PMK No. 224/PMK.011/2012 melalui:

 e-SPT Masa PPh Pasal 22


 Dengan cara melakukan install atau update e-SPT Masa PPh Pasal 22
 Memasukkan tarif PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, gas, dan pelumas (baik final
maupun tidak final) berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK-224/2012 dengan
ketentuan salah satu saja yang dimasukkan

Pada umumnya, ketentuan penyampaian SPT Masa adalah:

 Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir Tahun
Pajak:
 Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT Masa,
yaitu:

 Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari
sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
 Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu
atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan
umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh pemerintah.

Sedangkan batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk


SPT Masa PPh Pasal 22, adalah:

No Jenis Pajak Batas Pembayaran (Paling Batas Pelaporan


. Lambat)
    (Pasal 2 PMK UU Bidang
242/PMK.03/2014) Perpajakan
1. PPh Pasal 22 Impor Setor Saat penyelesaian dokumen –
Sendiri (dilunasi bersama dengan PIB
Bea Masuk, PPN, PPnBM)
2. PPh Pasal 22 Pemungutan oleh 1 hari kerja berikutnya Hari kerja
Bea Cukai terakhir minggu
berikutnya
3. PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Hari yang sama dengan 14 hari setelah
Bendaharawan pembayaran atas penyertaan masa pajak
barang berakhir
4. PPh Pasal 22 Migas Tgl. 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan
berikutnya
5. PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Tgl. 10 bulan berikutnya Tgl;.20 bulan
WP Badan Tertentu berikutnya

Anda mungkin juga menyukai