Anda di halaman 1dari 5

Norma Hukum Transplantasi Jantung di Indonesia

Andreas Andri Lensoen


Doktor Hukum, Magister Hukum; Spesialis Bedah Umum, Spesialis Bedah Torakskardiak dan Vaskuler,
Konsultan Vaskuler/ Endovaskuler

Ketua Tim Advokasi Transplantasi Organ RSPAD Gatot Soebroto

Tim Ad-Hoc Tranplantasi Organ Jantung, Komite Transplantasi Nasional,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Rumah Sakit Kepresidenan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Pada 3 Desember 1967, dunia kedokteran digemparkan dengan sesuatu yang


belum pernah terjadi sebelumnya, dimana seorang dokter bernama Christian
Barnard melakukan transplantasi jantung pertama di dunia yang dilakukan terhadap
manusia.
Hal yang dilakukan oleh Barnard berhasil. Langkah ini mengilhami dokter-dokter lain
di muka bumi untuk mengembangkan teknik transplantasi jantung.

Awalnya, Lewis Washkansky, seorang warga Afrika Selatan didiagnosis


mengalami gagal jantung. Penyakit yang dialaminya mengharuskan Washakansky
dioperasi, supaya jantungnya bisa berfungsi normal. Dilansir dari History, pasien
berusia 53 tahun itu akhirnya mendapatkan jantung dari wanita berusia 25 tahun
bernama Denise Darvall yang terluka parah dalam kecelakaan mobil. Darvall
menderita cedera otak yang cukup fatal. Christian Barnard, yang belajar di
Universitas Cape Town dan Amerika Serikat, melakukan operasi medis revolusioner.
Operasi transplantasi jantung manusia pertama pun dilakukan di Rumah Sakit
Groote Schuur, Cape Town, Afrika Selatan.
Teknik yang digunakan Barnard awalnya dikembangkan oleh sekelompok peneliti
Amerika Serikat pada 1950-an. Ahli bedah AS, Norman Shumway tercatat
melakukan transplantasi jantung pertama yang berhasil pada seekor anjing. Operasi
dilakukan di Stanford University di California pada 1958. Setelah operasi,
Washkansky diberi obat untuk menekan sistem kekebalannya dan menjaga
tubuhnya agar bisa menerima jantung. Obat-obatan ini juga membuatnya tak rentan
terhadap penyakit. Kata-kata pertama Washkansky setelah transplantasi adalah
“Saya masih hidup”.Delapan belas hari kemudian, dia meninggal karena penyakit
pneumonia dan tak ada hubungan dengan jantung barunya. Terlepas dari
kematiannya, jantung baru Washkansky telah berfungsi normal. Pada 1970-an,
pengembangan obat yang lebih baik membuat transplantasi lebih layak dilakukan
demi membantu segelintir orang. Dr. Barnard terus melakukan operasi transplantasi
jantung, dan sebagian besar pasiennya hidup hingga lima tahun dengan jantung
baru mereka.

Menuai Kontroversi

Di tahun-tahun awal transplantasi jantung muncul, banyak pertanyaan mengenai


etika dan caranya melakukan hal itu. Kendala lain adalah sulitnya menemukan
donor.
Pada 1968, The Guardian mengutip seorang ahli penyakit jantung dan konsultan di
Rumah Sakit London yang menggambarkan transplantasi jantung sebagai “hampir
kanibalisme”.
Terlepas dari segala kontroversi, transplantasi tetap dilakukan. Transplantasi jantung
pertama di Inggris, 3 Mei 1968, adalah yang ke-10 di dunia. Operasi di Rumah Sakit
Jantung Nasional di London itu dilakukan oleh Donald Ross. Namun, pasca 50 tahun
berlalu, kekurangan organ donor tetap menjadi masalah utama yang dihadapi dalam
transplantasi. Disebutkan di negara Amerika Serikat dalam setahun dibutuhkan
jantung donor sekitar 40.000, sedangkan yang tersedia hanya sekitar 4000.
Pertanyaan yang timbul, bagaimanakah dengan nasib calon resipien sebanyak
36.000 orang ?

Tranplantasi Jantung di Indonesia


Setahu saya di Indonesia belum pernah dilakukan Prosedur Transplantasi
Jantung. Padahal di negara tetangga kita, Malaysia pertama kali melaksanakan
prosedur transplantasi jantung 25 tahun yang lalu. Seperti kita ketahui bersama di
kisaran tahun 1970, negara Malaysia mendapat bantuan tenaga Dosen Fakultas
Kedokteran dari Indonesia. Dan Indonesia juga menjadi pelopor pengembangan
bedah jantung terbuka di Asia Tenggara , dengan pelopor pelopornya Mayjend (Pur)
Prof. Dr. dr. Ery Soedewo , dan Prof. Dr. dr. Iwan )
Yang menjadi pertanyaan di benak penulis, apa yang menjadi “Permasalahan
dalam pengembangan prosedur transplantasi jantung di Indonesia “ ? Penulis
mencoba meneliti dari perspektif Norma, khususnya Norma Hukum di Indonesia.

Norma Hukum Transplantasi di Indonesia


Seperti kita ketahui bahwa Sistem Hukum terdiri dari 3 komponen yang
merupakan satu kesatuan yang terikat dan bekerja sebagai satu sistem, yakni:
1. Legal Substance (Substansi Hukum), berupa materi/ aturan aturan tertulisnya
2. Legal Structure (Struktur Hukum), berupa para penegak hukum, pembuat
peraturan hukumnya.
3. Legal Culture (Kultur/Budaya Hukum), berupa budaya hukum internal
maupun eksternal.
Agar tercapai tujuan hukum (efektivitas) dari Norma Hukum Transplantasi Jantung di
Indonesia, maka ketiga komponen di atas harus diperhatikan.

Substansi Hukum Transplantasi Jantung di Indonesia


Substansi Hukum di Indonesia yang berupa peraturan perundang-undangan
tersusun secara Hierrarkis menurut segitiga Hans Kelsen/ Hans Nawiasky di mana
berlaku asas Lex Specialis Derogate Legi Inferiori. Peraturan yang di atas mengatur
peraturan yang di bawah, dan sebaliknya peraturan di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan di atasnya. Norma Hukum di Indonesia telah
mengatur secara lengkap dan tersusun sebagai berikut:
1. UUD NRI 1945 (pasal 28 H ayat (1) dan (2)
2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2021 Tentang
Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016
Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014
Tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/Menkes/139/2021 Tentang Komite Transplantasi Nasional

Bahkan penulis mendapatkan bahwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah


mengeluarkan Fatwa :
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesai Nomor : 11 Tahun 2019 Tentang
Transplantasi Organ Dan/ Atau Jaringan Tubuh Untuk Diri Sendiri.
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 12 Tahun 2019 Tentang
Transplantasi Organ Dan/ Atau Jaringan Tubuh dari Pendonor Mati Untuk
Orang Lain
3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 13 Tahun 2019 Tentang
Transplantasi Organ Dan/ Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk
Orang Lain
ditandangi oleh Ketua MUI waktu itu, yang saat ini adalah Wakil Presiden
Republik Indonesia, Prof. Dr, KH. Ma’ruf Amin. Substansi dari kedua Norma di
atas baik Norma Hukum maupun Norma Agama mengenai Transplantasi Organ
maupun jaringan, tidak ditemukan adanya hal hal yang dapat menyebabkan
konflik norma (Norm Conflict)

Struktur Hukum Transplantasi Jantung


Struktur hukum, komponen sistem hukum yang terdiri dari para penegak hukum
dan pembuat undang undang, sudah seharusnyalah tahu mengenai substansi
hukum dari Norma Hukum Transplantasi Jantung, sehingga bila didapatkan
pelanggaran hukum terutama pidana dari transplantasi organ ini dapat memberikan
justifikasi dengan tepat. Perlu sosialisasi (diseminasi) secara intensif “Pengetahuan
Hukum Transplantasi Jantung” di kalangan para penegak hukum

Budaya Hukum Transplantasi Jantung


Budaya hukum juga merupakan unsur yang penting dalam sistem hukum, karena
budaya hukum memperlihatkan pemikiran dan kekuatan masyarakat yang
menentukan bagaimana hukum tersebut ditaati, dihindari, atau disalahgunakan.
Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di dalam air.
Dilihat dari subjek yang membentuk budaya hukum tersebut, dibedakan menjadi
dua. Ada budaya hukum eksternal yang melibatkan masyarakat luas . Selain itu ada
budaya hukum internal, yaitu budaya yang dikembangkan oleh para aparat penegak
hukum. Kedua jenis budaya hukum ini saling mempengaruhi. Jika budaya hukum
ekternalnya baik, maka dengan sendirinya budaya hukum internal akan ikut
menyesuaikan karena aparat penegak hukum pada hakikatnya adalah produk dari
masyarakatnya sendiri
Untuk terbentuknya Budaya Hukum yang terkait dengan Transplantasi Organ
Jantung di Indonesia, harus dimulai dengan adanya substansi hukumnya berupa
peraturan perundang-undangan mengenai Transplantasi Jantung. Budaya Hukum
Transplantasi Jantung ini dapat terbentuk melalui internasilisasi maupun dari luar
(eksternal) melalui pemaksaan (rekayasa) dengan sanksi sanksi.
Budaya Hukum dapat dibentuk melalui proses internalisasi dengan melibatkan
para tokoh masyarakat, ulama-rohaniawan maupun tokoh-tokoh adat. Proses
internalisasi membutuhkan waktu yang cukup panjang, namun demikian akan
bertahan lama di dalam kehidupan masyarakat bahkan menjadikan nilai nilai yang
selalu dijunjung tinggi. Atau dengan menggunakan eksternal rekayasa (Law is a tool
of social engineering, Roscoe Pound). Negara Indonesia masih menggunakan
aturan OPT-IN di dalam mendapatkan donor organ, yang berarti untuk seseorang
bersedia mendonorkan organnya harus mendapatkan informed consent menyetujui
organnya akan diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Sedangkan negara
Singapura adalah negara yang pertama kali menerapkan aturan OPT- OUT, yang
berarti bila seseorang menolak (presumed consent) memberikan organnya, dia
harus menandatangi penolakan. Solusi dengan pemberlakuan OPT-OUT ini
menyebabkan Singapura mendapatkan kemudahan dalam meningkatkan
persediaan organ donor.

Norma Moral/ Etik Kedokteran Transplantasi Jantung


Rendahnya jumlah transplantasi di dalam negeri karena sumber Pendonor masih
banyak berasal dari Pendonor Hidup dan belum adanya aturan yang dapat
memberikan kepastian hukum untuk Transplantasi yang berasal dari Pendonor Mati
Batang Otak, faktor biaya dan faktor budaya serta kesadaran masyarakat yang
masih rendah tentang pentingnya upaya Transplantasi Organ.
Penyelenggaraan Transplantasi Organ dan Jaringan dilakukan sesuai dengan
prinsip:
1. Autonomy ; seseorang mempunyai hak penuh untuk mengizinkan/ tidak
mengizinkan suatu tindakan atas dirinya
2. Beneficense ; tindakan yang dilakukan untuk kebaikan seseorang atau
masyarakt
3. Nonmalificence ; tindakan yang dilakukan tidak boleh merugikan seseorang/
masyarakat
4. Justice ; tindakan dilaksanakan secara adil dan transparan serta tidak
membedakan seseorang/ masyarakat berdasarkan status sosial ekonomi
tetapi hanya berdasarkan status kesehatan
5. Moralitas ; pengakuan atas norma agama dan budaya yang berlaku

Konsep Kematian
Salah satu hambatan yang menyebabkan kesulitan mendapatkan organ donor
adalah mengenai konsep “kematian” yang pada umumnya masyarakat menganggap
kematian seseorang adalah henti napas dan jantung. Khusus untuk transplantasi
jantung dapat diambilkan pada orang dengan Kematian MBO (Mati Batang Otak).
Diperlukan keterlibatan Tokoh Masyarakat, Ulama-Rohaniawan, Ketua Masyarakat
Adat untuk mendefinisikan bersama mengenai konsep “Kematian” ini, sehingga
setelah tercapai kesamaan definisi kematian, dapat didesiminasikan ke masyarakat.
Masyarakat Indonesia yang terbanyak masih bersifat Paternalistik akan dengan
mudah menerima Konsep “Kematian” yang dimaksud untuk Prosedur transplantasi
Jantung atas arahan dari Tokoh Masyarakat, Ulama-Rohaniawan, Ketua Masyarakat
Adat yang sudah menerima konsep “Kematian” yang didasarkan pada Norma
Hukum dan Norma Agama

Konsep Kepemilikan
Konsep-konsep hukum yang berlaku dan diterima di masyarakat belum tentu
sesuai dengan peraturan hukum transplantasi jantung. Konsep kepemilikan akan
organ yang dimiliki masyarakat yang bersifat “ownership” (sebagai kepemilikan akan
kebendaan yang bersifat mutlak) bertentangan dengan peraturan hukum yang
mengikuti konsep “possession”
Masyarakat yang akan menjual organnya beranggapan bahwa organnya adalah
benda yang dimiliki dengan mutlak/ absolut, sehingga tidak berpikir bahwa prosedur
pendonoran organ tidak boleh/ dilarang diperjual-belikan oleh peraturan perundang-
undangan bahkan terdapat sanksi pidananya.

Komite Tranplantasi Nasional


Menteri Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/ Menkes/139/2021 Tentang Komite Transplantasi
Nasional yang ditetapkan tanggal 2 Februari 2021. Dalam rangka meningkatkan
akses, akuntabilitas, dan mutu pelayanan transplantasi organ, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38.
Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ, Menteri Kesehatan
membentuk Komite Transplantasi Nasional.
Kita berharap melalui Komite Transplantasi Nasional, Prosedur Tansplantasi
Ogan Jantung di Indonesia dapat segera dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Salah
satu yang mendorong percepatan terlaksananya prosedur transplantasi ini karena
adanya Pandemi Covid- 19 ini, yang bukan hanya membutuhkan alat bantu napas
(ventilator) ataupun ECMO pada pasien pasien yang gagal napas namun juga
Transplantasi Organ Paru.

Anda mungkin juga menyukai