Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

2.1.1 Pengertian Remaja

Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere (kata

bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescere mempunyai arti yang

cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik

(piaget).

( Eva Sibagariang, 2016, Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi Revisi)

Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa,

dimana terjadi pacu tumbuh (grow spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder,

tercapai fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta

kognitif. (Soetjiningsih, 2004)

Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya

perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja berada diantara usia 10-

19 tahun yang merupakan suatu periode masa pematangan organ

reproduksi manusia dan sering disebut masa pubertas. (Hasdianah

Hasan, 2013, Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Nuha

Medika )

2.1.2 Perkembangan Masa Remaja


Tingkat-tingkat masa remaja bisa dibagi beberapa bagian. Salah

satu pembagian yang dilakukan oleh Stolz adalah sebagai berikut :

1. Masa prapuber : 1-2 tahun sebelum masa remaja yang

sesungguhnya. Anak menjadi gemuk, pertumbuhan tinggi badan

terhambat untuk sementara waktu.

2. Masa puber (masa remaja) : perubahan-perubahan sangat nyata dan

cepat. Dimana anak perempuan lebih cepat memasuki masa ini dari

pada anak laki-laki. Lama terjadinya masa ini sekitar 2,5-3,5 tahun.

3. Masa postpuber : pertumbuhan yang cepat sudah berlalu, namun

masih Nampak perubahan-perubahan yang berlangsung pada

beberapa bagian anggota tubuh.

4. Masa akhir puber : melanjutkan perkembangan sampai terlihat

tanda-tanda kedewasaan.

(Purwanto. Hubungan Citra Tubuh dengan Perilaku seksual

dalam berpacaran. Skripsi, jkarta: FPSI UI.2013)

2.1.3 Tahap – Tahap Remaja

Perkembangan dalam segi rohani atau kejiwaan juga melewati

tahapan-tahapan yang dalam hal ini dimungkinkan dengan adanya

kontak terhadap lingkungan atau sekitarnya. Masa remaja dibedakan

menjadi :

1. Masa remaja awal (10-13 tahun)

a. Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman

sebaya.
b. Tampak dan merasa ingin bebas.

c. Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan

tubuhnya dan mulai berfikir khayal (abstrak).

2. Masa remaja tengah (14-16 tahun)

a. Tampak dan merasa ingin mencari identitas diri.

b. Ada keinginan untuk berkencan atau tertarik pada lawan jenis.

c. Timbul perasaan cinta yang mendalam.

d. Kemampuan berfikir abstrak (berkhayal) makin berkembang.

e. Berkhayal mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksual.

3. Masa remaja akhir (17-19 tahun)

a. Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.

b. Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

c. Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.

d. Dapat mewujudkan perasaan cinta.

e. Memiliki kemampuan berfikir khayal atau abstrak.

(Erna Setiyaningrum, Zulfa Binti Aziz. 2014. Pelayanan Keluarga Berencana dan

Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Trans Info Media)

2.1.4 Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja

Pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja sangatlah penting.

Berikut pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja yang sangat

diperlukan :

1. Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi dan

hak-hak reproduksi.
2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana

merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan

pasangannya.

3. PMS, HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan

reproduksi.

4. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi.

5. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual.

6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya.

7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk

memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang

bersifat negatif.

(Erna Setiyaningrum, Zulfa Binti Aziz. 2014. Pelayanan Keluarga Berencana dan

Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Trans Info Media)

2.2 Kejadian Keputihan (Fluor Albus)

2.2.1 Pengertian Keputihan (Fluor Albus)

Keputihan atau flour albus adalah kondisi vagina saat

mengeluarkan cairan atau lendir menyerupai nanah. Keputihan tidak

selamanya merupakan penyakit karena ada juga keputihan yang normal.

(Hamid Bahari, Cara Mudah Atasi Keputihan, 2017)

Flour albus adalah cairan yang keluar berlebihan dari vagina

bukan berupa darah. Fluor albus adalah nama gejala yang diberikan

kepada cairan yang dikeluarkan dari alat genetalia yang tidak berupa
darah. ( Eva Sibagariang, 2016, Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi

Revisi)

2.2.2 Gejala Keputihan (Fluor Albus)

Sesuai dengan faktor penyebabnya, gejala yang timbul akibat

keputihan beraneka ragam. Cairan yang keluar bisa saja sangat banyak,

sehingga harus berkali-kali mengganti celana dalam, bahkan

menggunakan pembalut, namun dapat pula sangat sedikit.

Warna cairan yang keluar juga bisa berbeda-beda, seperti

berwarna keputih-putihan (tetapi jernih), keabu-abuan, kehijauan, atau

kekuningan. Tingkat kekentalan cairan tersebut juga berbeda-beda,

mulai dari encer, berbuih, kental, hingga menggumpal seperti “kepala”

susu. Cairan itu dapat pula berbau busuk, meskipun ada juga cairan

keputihan yang tidak berbau.

Keputihan juga berpengaruh besar terhadap kondisi psikologis

penderitanya. Jika keputihan tersebut berlangsung lama (tidak kunjung

sembuh), penderita keputihan akan merasa malu, sedih bahkan menutup

diri. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemasan yang berlebihan karena

takut terkena penyakit kanker. (Hamid Bahari, Cara Mudah Atasi

Keputihan, 2017)

2.2.3 Etiologi Keputihan (Fluor Albus)

Secara umum, keputihan bisa disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu:
1. Penggunaan tisu yang terlalu sering untuk membersihkan organ

kewanitaan. Biasanya, hal ini dilakukan setelah buang air kecil

ataupun buang air besar.

2. Mengenakan pakaian berbahan sintetis yang ketat, sehingga ruang

yang ada tidak memadai. Akibatnya, timbullah iritasi pada organ

kewanitaan.

3. Sering menggunakan WC yang kotor, sehingga memungkinkan

adanya bakteri yang dapat mengotori organ kewanitaan.

4. Jarang mengganti panty liner.

5. Sering menggunakan celana maupun handuk orang lain, sehingga

kebersihan tidak terjaga.

6. Kurangnya perhatian terhadap kebersihan organ kewanitaan.

7. Membasuh organ kewanitaan ke arah yang salah, yaitu arah

basuhan dilakukan dari belakang ke depan.

8. Aktivitas fisik yang sangat melelahkan, sehingga daya tahan tubuh

melemah.

9. Tidak segera mengganti pembalut ketika menstruasi.

10. Pola hidup yang kurang sehat, seperti kurang olahraga, pola makan

yang tidak teratur atau kurang tidur.

11. Kondisi kejiwaan yang sedang mengalami stres berat.

12. Menggunakan sabun pembersih untuk membersihkan organ

kewanitaan secara berlebihan, sehingga flora diderleins yang


berguna menjaga tingkat keasaman di dalam organ kewanitaan

terganggu.

13. Kondisi cuaca, khususnya cuaca lembab di daerah tropis.

14. Sering kali mandi dan berendam di air panas atau hangat. Kondisi

hangat justru memberikan peluang yang besar bagi jamur penyebab

keputihan untuk tumbuh dengan subur.

15. Tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang kotor.

16. Kadar gula darah yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan jamur

penyebab keputihan tumbuh dengan subur.

17. Sering kali berganti-ganti pasangan ketika melakukan hubungan

seksual.

18. Kondisi hormon yng tidak seimbang. Misalhnya, terjadinya

peningkatan hormon estrogen pada masa pertengahan siklus

menstruasi, saat hamil, atau mendapatkan rangsangan seksual.

19. Adanya peningkatan produksi kelenjar-kelenjar pada mulut rahin

saat masa ovulasi.

20. Sering kali menggaruk organ kewanitaan.

21. Infeksi akibat kondom yang tertinggal di dalam organ kewanitaan

secara tidak sengaja.

22. Infeksi yang disebabkan oleh benang AKDR (Alat Kontrasepsi

Dalam Rahim).

Selain sebab-sebab umum tersebut, risiko keputihan juga bisa

dipicu oleh beberapa penyakit kelamin yang disebakan oleh beberapa


jenis mikroorganisme dan virus tertentu. (Hamid Bahari, Cara Mudah

Atasi Keputihan, 2017)

Menurut Eva Ellya (2016) Keputihan yang fisiologis dapat

disebabkan oleh :

1. Pengaruh sisa estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina

janin sehingga bayi baru lahir sampai umur 10 hari mengeluarkan

keputihan.

2. Pengaruh estrogen yang meningkat pada saat menarrche.

3. Rangsangan saat koitus sehingga menjelang persetubuhan seksual

menghasilkan sekret, yang merupakan akibat adanya pelebaran

pembuluh darah di vagina atau vulva, sekrei kelenjar serviks yang

bertambah sehingga terjadi pengeluaran transudasi dari dinding

vagina. Hal ini diperlukan untuk melancarkan persetubuhan atau

koitus.

4. Adanya peningkatan produksi kelenjar-kelenjar pada mulut rahim

saat masa ovulasi.

5. Mukus serviks yang padat pada masa kehamilan sehingga menutup

lumen serviks yang berfungsi mencegah kuman masuk ke rongga

uterus.

Keputihan patologis terjadi karena disebabkan oleh :

1. Tubuh akan memberikan reaksi terhadap mikroorganisme yang

masuk dengan serangkaian reaksi radang. Penyebab infeksi, yaitu :

a. Jamur
Jamur yang sering menyebabkan keputihan ialah kandida

albikan. Penyakit ini disebut juga kandidasis genetalia. Jamur

ini merupakan saprofit yang pada keadaan biasa tidak

menimbulkan keluhan gejala, tetapi pada keadaan tertentu

menyebabkan gejala infeksi mulai dari yang ringan hingga

berat. Penyakit ini tidak selalu akibat PMS dan dapat timbul

pada wanita yang belum menikah. Ada beberapa faktor

predisposisi untuk timbulnya kanidosis genetalis, antara lain :

1) Pemakai obat antibiotika dan kortikosteroid yang lama.

2) Kehamilan.

3) Kontrasepsi hormonal.

4) Kelainan endokrin seperti diabetes melitus.

5) Menurunnya kekebalan tubuh seperti penyakit-penyakit

kronis.

6) Selalu memakai pakaian dalam yang ketat dan terbuat dari

bahan yang tidak menyerap keringat.

Keluhan penyakit ini adalah rasa gatal atau panas pada alat

kelamin, keluarnya lendir yang kental, putih dan bergumpal

seperti butiran tepung. Keluarnya cairan terutama pada saat

sebelum menstruasi dan kadang-kadang disertai rasa nyeri

pada waktu senggama. Pada pemeriksaan klinis terlihat vulva

berwarna merah (eritem) dan sembab, kadang-kadang ada erosi

akibat garukan. Terlihat keputihan yang berwarna putih,


kental, bergumpal seperti butiran tepung yang lengket pada

dinding vagina.

b. Bakteri

1) Gonokokus

Penyakit ini disebut dengan Gonerrhoe dan penyebab

penyakit ini adalah bakteri Neisseria Gonorrhoe atau

gonokokus. Penyakit ini sering terjadi akibat hubungan

seksual (PMS). Kuman ini berbentuk seperti ginjal yang

berpasangan disebut diplokokus dalam sitoplasma sel.

Gonokokus yang purulen mempunyai silia yang dapat

menempel pada sel epitel uretra dan mukosa vagina. Pada

hari ketiga, bakteri tersebut akan mencapai jaringan ikat di

bawah epitel dan menimbulkan reaksi radang. Gejala yang

ditimbulkan adalah keputihan yang berwarna kekuningan

atau nanah, rasa sakit pada waktu berkemih maupun saat

senggama.

2) Klamidia Trakomatis

Kuman ini sering menjadi penyebab penyakit mata

trakoma dan menjadi penyakit menular seksual. Klamidia

adalah organisme intraselular obligat, pada manusia

bakteri ini umumnya berkoloni secara lokal di permukaan

mukosa, termasuk mukosa serviks. Klamidia sering

menjadi faktor etiologi pada penyakit radang pelvis,


kehamilan di luar kandungan dan infertilitas. Gejala utama

yang ditemukan adalah servisitis pada wanita.

3) Grandnerella

Menyebabkan peradangan vagina tak spesifik, biasanya

mengisi penuh sel-sel epitel vagina membentuk khas clue

cell. Menghasilkan asam amino yang akan diubah menjadi

senyawa amin, bau amis, berwarna keabu-abuan. Gejala

klinis yang ditimbulkan ialah fluor albus yang berlebihan

dan berbau disertai rasa tidak nyaman di perut bagian

bawah.

4) Treponema Pallidum

Penyebab penyakit kelamin sifilis, ditandai kondilomalata

pada vulva dan vagina. Kuman ini berbentuk spiral,

bergerak aktif.

5) Parasit

Parasit yang sering menyebabkan keputihan adalah

Trikomonas vaginalis, berbentuk lonjong, bersilia, dapat

bergerak berputar-putar dengan cepat. Walaupun infeksi

ini dapat terjadi dengan berbagai cara, penularan dengan

jalan koitus ialah cara yang paling sering terdapat. Pada

pria dengan trikomonas biasanya parasit ini terdapat di

uretra dan prostat. Gejala yang ditimbulkan ialah fluor


albus yang encer sampai kental, berwarna kekuningan dan

agar bau serta terasa gatal dan panas.

6) Virus

Sering disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV)

dan Herpes Simpleks. HPV sering ditandai dengan

kondiloma akuminata, cairan berbau, tanpa rasa gatal.

2. Kelainan alat kelamin didapat atau bawaan

Adanya fistel vesikobaginalis atau rektovaginalis akibat cacat

bawaan, cedera persalinan dan radiasi kanker genetalia atau kanker

itu sendiri.

3. Benda asing

Kondom yang tertinggal dan pesarium untuk penderita hernia atau

prolaps uteri dapat merangsang secret vagina berlebihan.

4. Neoplasma jinak

Berbagai tumor jinak yang tumbuh ke dalam lumen akan mudah

mengalami peradangan sehingga menimbulkan keputihan.

5. Kanker

Leukorea ditemukan pada neoplasma jinak maupun ganas, apabila

tumor itu dengan permukaannya untuk sebagian atau seluruhnya

memasuki lumen saluran alat-alat genetalia. Sel akan tumbuh

sangat cepat secara abnormal dan mudah rusak, akibat dari

pembusukan dan perdarahan akibat pemecahan pembuluh darah


pada hipervaskularisasi. Gejala yang ditimbulkan ialah cairan yang

banyak, berbau busuk disertai darah tak segar.

6. Fisik

Tampon, trauma dan IUD.

7. Menopause

Pada menopause sel-sel dan vagina mengalami hambatan dan

dalam pematangan sel akibat tidak adanya hormon estrogen

sehingga vagina kering, sering timbul gatal karena tipisnya lapisan

sel sehingga mudah luka dan timbul infeksi penyerta.

2.2.4 Dampak Keputihan

Keputihan yang tidak segera ditangani dengan baik dapat

menimbulkan dampak yang buruk untuk kesehatan reproduksi seperti

infertilitas (masalah kesuburan), penyakit radang panggul (Pelvic

Inflammatory Disease/PID). Dampak keputihan secara psikologis bisa

mengakibatkan rasa cemas yang muncul karena adanya perasaan

khawatir jika terkena penyakit. Adapun dampak lain yang bisa

ditimbulkan oleh keputihan, yaitu :

1. Gangguan psikologi

Respon psikologi seseorang terhadap keputihan mampu

menimbulkan kecemasan yang berlebihan dan membuat seseorang

merasa kotor, tidak percaya diri dalam menjalankan aktifitas

sehari-hari.

2. Infeksi alat genetalia


Infeksi alat genetalia yang ditimbulkan, diantaranya :

a. Vulvitis : Infeksi kulit berambut dan infeksi kelenjar Bartholin.

b. Vaginitis : Infeksi vagina yang disebabkan oleh berbagai

bakteri dan jamur.

c. Servisitis : Infeksi dari serviks uteri.

d. Penyakit radang panggul : Infeksi genetalia wanita bagian atas.

2.2.5 Pencegahan Keputihan

Pencegah kekambuhan keputihan dilakukan dengan cara :

1. Jangan menggunakan celana dalam dari nylon karena panas dan

lembab di daerah vulva dan vagina.

2. Meningkatkan kebersihan diri (sehabis BAK/BAB, ceboklah

dengan air bersih).

3. Jangan memakai bedak yang sifatnya merangsang.

4. Jangan memakai Pantyliners terus – menerus.

5. Jangan memakai pembersih vagina secara terus – menerus karena

dapat mengurangi PH vagina.

6. Pengobatan terhadap partner seks, terutama pada kasus

trichomonisiasis dan candidosis.

7. Program pengobatan intensif dengan obat yang sesuai dan dosis

yang tepat.

2.2.6 Pengobatan Keputihan

Keputihan dapat diobati dengan cara berikut :


1. Membasuh vagina dengan air hangat dicampur dengan garam 1

sendok teh yang dimasukkan ke dalam 1,5 liter air.

2. Pengobatan dengan obat yang diminum seperti analgetik atau

aspirin, antihistamin, dan bila perlu diberi desative atau penenang.

3. Untuk memberantas penyebab keputihan obatnya adalah :

a. Obat untuk trichomonisiasis : Metronidazole.

b. Obat candidosis : Nystatin (pemberian oral maupun lokal)

c. Obat untuk bakterial vaginosis : Metronidazole, Ampisilin,

Pemakaian bethadin vagina gell.

d. Gonore : obat lain seperti : urfamisin (diminum); kanamisin

dan ceftriaxone (suntikan); obat Penisillin secara suntikan.

2.2.7 Indikator Keputihan Pada Remaja Putri

Flour albus terbagi atas dua macam, yaitu flour albus fisiologis

(normal) dan flour albus patologis (abnormal).

1. Flour Albus Fisiologis

Flour albus fisiologis terdiri atas cairan yang kadang-kadang

berupa muskus yang mengandung banyak epitel dengan leukosit

yang jarang. Alat kelamin wanita dipengaruhi oleh berbagai

hormon yang dihasilkan berbagai organ yakni: hipotalamus,

hipofisis, ovarium, dan adrenal. Estrogen dapat mengakibatkan

maturasi epitel vagina, serviks, proliferasi stroma dan kelenjar

sedangkan progesteron akan mengakibatkan fungsi sekresi.

Keputihan normal dapat terjadi pada masa menjelang dan sesudah


menstruasi, saat terangsang, hamil, kelelahan, stress dan sedang

mengkonsumsi obat-obat hormonal seperti pil KB. Keputihan ini

tidak berwarna atau jernih, tidak berbau dan tidak menyebabkan

rasa gatal.

2. Flour Albus Patologis

Merupakan cairan eksudat dan cairan ini mengandung banyak

leukosit. Eksudat terjadi akibat reaksi tubuh terhadap adanya jejas

(luka). Jejas ini dapat diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme,

benda asing, neoplasma jinak, lesi, prakanker dan neoplasma ganas.

Kuman penyakit yang menginfeksi vagina seperti jamur Kandida

Albikan, parasit Tricomonas, E.Coli, Staphylococcus, Treponema

Pallidum, Kondiloma aquiminata dan Herpes serta luka di daerah

vagina, benda asing yang tidak sengaja atau sengaja masuk ke

vagina dan kelainan serviks. Akibatnya, timbul gejala-gejala yang

sangat mengganggu, seperti berubahnya cairan yang berwarna

jernih menjadi kekuningan sampai kehijauan, jumlahnya

berlebihan, kental, berbau tak sedap, terasa gatal atau panas dan

menimbulkan luka di daerah mulut vagina. ( Eva Sibagariang,

2016, Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi Revisi)

Ciri-ciri keputihan abnormal ditinjau dari warna cairannya :

a. Keputihan dengan cairan berwarna kuning atau keruh.

Keputihan yang memiliki warna seperti ini merupakan tanda

adanya infeksi pada gonorrhea. Akan tetapi, hal tersebut harus


didukung oleh tanda-tanda lainnya, seperti perdarahan di luar

masa menstruasi dan rasa nyeri ketika buang air kecil.

b. Keputihan dengan cairan berwarna putih kekuningan dan

sedikit kental.

Keputihan ini menyerupai susu jika disertai dengan bengkak

dan nyeri pada “bibir” vagina, rasa gatal, serta nyeri ketika

berhubungan seksual, keputihan dengan cairan seperti susu

tersebut bisa disebabkan oleh adanya infeksi jamur pada organ

kewanitaan.

c. Keputihan dengan cairan berwarna cokelat atau disertai sedikit

darah.

Keputihan semacam ini layak di waspadai karena keputihan itu

sering kali terjadi karena masa menstruasi yang tidak teratur.

Apalagi, keputihan tersebut disertai darah serta rasa nyeri pada

panggul.

d. Keputihan dengan cairan berwarna kuning atau hijau, berbusa,

dan berbau sangat menyengat.

Keputihan semacam ini disertai rasa nyeri dan gatal ketika

buang air kecil. Kemungkinan terbesar akan terjadi infeksi

trikomoniasis.

e. Keputihan dengan cairan berwarna pink.

Keputihan semacam ini biasanya terjadi pasca-melahirkan.


f. Keputihan dengan cairan berwarna abu-abu atau kuning yang

disertai bau amis menyerupai bau ikan.

Keputihan semacam ini menunjukkan adanya infeksi bakteri

pada vagina. Keputihan tersebut juga disertai rasa panas seperti

terbakar, gatal, kemerahan, dan bengkak pada “bibir” vagina

atau vulva.

Dengan mengetahui ciri-ciri tersebut, hendaknya anda lebih

waspada dan cermat terkait keputihan yang dialami. Selain itu,

hindarilah penggunaan obat-obatan tanpa petunjuk dokter atau

bidan karena hal ini bisa berakibat fatal terhadap kesehatan organ

kewanitaan anda. (Hamid Bahari, Cara Mudah Atasi Keputihan,

2017)

2.2.8 Cara Ukur Keputihan Pada Remaja Putri

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner dengan cara ukur

yang digunakan untuk mengukur keputihan pada remaja adalah skala

Guttman yang bisa digunakan dengan pilihan ganda atau checklist. Pada

cara ukur ini, responden bisa memberikan jawaban baik positif maupun

negative, hal ini tergantung pada presepsi dari responden dalam

menjawabnya. Jawaban yang diberikan bersifat tegas yaitu dengan

jawaban YA dan TIDAK.

2.2.9 Sintesa Keputihan Pada Remaja Putri

Keputihan pada remaja putri yaitu kondisi dimana vagina

mengeluarkan cairan berupa lendir bukan darah yang bersifat normal


maupun abnormal serta memiliki beragam gejala sesuai dengan faktor

penyebabnya dan apabila tidak segera ditangani dapat memberikan

dampak buruk bagi kesehatan reproduksi.

2.3 Pembersih Vagina (Vaginal Douching)

2.3.1 Pengertian

Pembersih vagina adalah cairan yang digunakan dalam proses

pembersihan vagina. Alat yang dipakai dalam pembersihan vagina

biasanya antiseptik yang banyak dijual dipasaran atau yang

menggunakan cara alami seperti rebusan daun sirih. (Nara, 2011)

Pembersihan vagina dapat berupa internal dan eksternal. Untuk

eksternal yang biasa dilakukan yaitu membasuh bagian luar vagina.

Sedangkan yang internal adalah dengan cara memasukkan atau

menyemprotkan cairan ke dalam vagina dengan tujuan untuk

membersihkan. (Nara, 2011)

Sebagian besar remaja memakai pembersih vagina karena

menginginkan alat genetalianya nyaman dan berbau wangi. Penggunaan

antiseptik yang banyak dijual dipasaran justru akan mengganggu

ekosistem di dalam vagina, terutama pH dan kehidupan bakteri baik.

Jika pH terganggu maka bakteri jahat akan mudah berkembang lebih

banyak dan vagina akan mudah terkena penyakit yang salah satunya

ditandai dengan keputihan. (Iskandar, 2008)


Penggunaan pembersih vagina tidak direkomendasikan karena

bisa mengubah keseimbangan zat kimia vagina sehingga dapat

menyebabkan wanita lebih muda terinfeksi bakteri. Penelitian

membuktikan bahwa wanita yang menggunakan larutan pembersih atau

pembilas cenderung lebih sering mengalami berbagai masalah

kesehatan dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan cairan

pembersih vagina. Masalah yang bisa ditimbulkan meliputi iritasi

vagina, infeksi vagina, penyebaran penyakit seksual, dan radang

panggul.

Wanita yang menggunakan pembersih juga memiliki resiko yang

lebih tinggi terkena serangan penyakit bagian panggul. Radang panggul

disebabkan oleh bakteri yang berasal dari vagina dan serviks yang

masuk ke dalam bagian panggul. Hal ini juga dapat menyebabkan

gangguan pada kehamilan atau bahkan kemandulan permanen (tidak

bisa hamil). (Surya Gunawan, 2010 – see di referensi screenshoot)

2.3.2 Teknik dalam melakukan Vaginal Douching

Vaginal douching dapat dilakukan dalam berbagai cara, praktik

pembersihnya meliputi internal dan eksternal :

1. Internal Douching

Internal Douching meliputi proses bilas vagina dengan

memasukan cairan dengan campuran zat tertentu yang dilakukan

baik menggunakan jari, alat khusus bahkan botol yang


dimasukan ke dalam vagina secara langsung maupun

disemprotkan seperti penggunaan sprey. Tindakan ini dilakukan

banyak wanita karena anggapan yang mengatakan proses

tersebut membuat mereka lebih bersih

2. Eksternal Douching

Eksternal doucing merupakan salah satu kebiasaan yang sering

dilakukan oleh wanita pada umumnya yang membasuhkan atau

membilas vagina bagian luar sebagai salah satu bagian dari

personal hygiene dengan alas an konsmetik maupun alas an

untuk kesehatan (Ekpenyong, 2013).

2.3.3 Frekuensi Vaginal Douching

Frekuensi penggunaan vaginal douching pada wanita umumnya

disebebkan pengaruh factor social, budaya dan Pendidikan

(Mandal,2014). Pada umumnya para wanita dibenua Amerika dan

Afrika sudah melakukan vaginal douching sebagai rutinitas harian yang

teratur. Sedangkan akibat dari tindakan tersebut tidaklah baik. Pada

dasarnya penggunaan vaginal douche yang tidak tepat dapat

menyebabkan vaginitis yaitu peradangan atau infeksi pada vagina yang

disebabkan akibat tidak seimbangnya flora normal yang ada dalam

vagina. Dalam sebuah penelitian mengatakan penggunaan vaginal

douche merupakan salah satu premodifikasi vagina walaupun

digunakan dalam jumlah yang terbatas, hal ini dikarenakan didalnya


terkandung berbagai zat kimia yang dapat memberikan efek dalam

pemakaianya (Rose MD, 2015)

Tindakan vaginal douching akan membuat keseimbangan pH vagina

terganggu, apalagi hal ini dijadikan sebagai rutinitas.

Ketidakseimbangan pH dalam vagina mati dan vagina dapat dengan

mudah diserang oleh bakteri dari luar. Penyerangan yang dilakukan

oleh bakteri ini akan berlanjut menyebabkan perjalanan infeksi ke organ

yang lebih tinggi dan dapat menyebabkan terjadinya radang panggul

(PID). Penyakit ini akan menyebabkan nyeri haid dan kemandulan. Bila

terjadi kehamilan resiko kehamilan ektopik (KET) akan meningkat

(Rapaport,2015). Disebuah penelitian mengatakan wanita yang

melakukan Vagina Douching paling sedikit 1 minggu sekali memiliki

resiko 2 kali lebih besar mengalami KET. Resiko ini akan meningkat

menjadi 4,4 jika perempuan tersebut menggunakan pembersih vagina

komersial (Rapaport, 2015)

Tindakan vaginal douching juga akan mendorong mikroorganisme yang

ada di vagina dan servik masuk lebih jauh kedalam cavum uteri, tuba

falopi dan ovarium. Penelitian di Amerika membuktikan terjadinya

masalah kesehatan akan lebih besar terjadi pada wanita yang tidak

melakukannya. Ditemukan bahwa resiko PID meningkat 3,6 kali pada

wanita yang melakukan vaginal douching dibandingkan yang hanya

melakukannya 1 kali dalam sebulan (Ekpenyong, 2013)

2.3.4 Faktor Wanita Melakukan Vaginal Douching


1) Pengetahuan wanita itu sendiri

Pengaruh pengetahuan terhadap sesuatu perbuatan sangat tinggi

karena tindakan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan

apa yang diyakininya sehingga akan memunculkan minat dan

perilaku. Pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai hal seperti

pengalaman, lingkungan dan lainnya (Notoadmodjo, 2017;

Cornforth,2016)

2) Anggapan untuk membilas sisa darah haid pada akhir periode

mentruasi

Banyak wanita merasa bahwa setelah menstruasi masih ada sisa

darah yang tertinggal oleh karena itu mereka berinisiatif untuk

membersihkannya menggunakan produk vaginal douche. Namun

pada dasarnya tubuh sudah memiliki cara sendiri untuk

mengeluarkan lender dalam pemberihan kavum uteri sehingga

tidak diperlukan tindakan yang berlebihan (Clancy,2011, cornforth

2016)

3) Menghindari kehamilan atau penyakit menular seksual akibat

hubungan seksual. Namun, douching bukanlah kontrasepsi maupun

tindakan pencegahan terhadap penyakit menular seksual. Hal ini

pada keyataannya justru meningkatkan resiko pengembangan

infeksi.

4) Mengurangi Bau Vagina


Dalam keadaan normal vagina memiliki bau yang khas, namun bila

kondisi kebersihan vagina tidak terjaga dan terjadi infeksi maka

vagina akan menimbulkan bau yang tidak sedap, menyengat dan

amis. Wanita dengan bau vagina yang tidak biasa harus

memeriksakan kepada dokter untuk diagnose dengan tepat, karena

hal ini dikarenakan bau yang timbul dapat menjadi tanda infeksi,

dan menggunakan douche hanya dapat mempersulit kondisi

(Pribakti B 2012; cornforth, 2016)

5) Merasa bersih, kesat dan rapat

Secara alami vagina yang sehat akan mampu membersihkan dirinya

sendiri. Namun, sebagian wanita merasa lebih bersih bila

melakukan vagina douching, apalagi dengan berbagai macam

produk yang menjanjikan vagina menjadi lebih rapat bersih dan

harum.

6) Mengikuti pengobatan dokter yang diresepkan untuk infeksi kronis

yang disebabkan oleh jamur atau kronis infeksi bakteri

2.3.5 Indikator Pembersih Vagina (Vagina Douching)

Bahan-bahan yang digunakan untuk Vaginal doucing dikategorikan

menjadi bahan alami dan bahan kimia :

1. Bahan tradisional

 Ekstrak daun siri

Ekstak daun sirih dapat dengan mudah didapatkan yakni

dengan cara merebus daun sirih dan menggunakan larutan hasil


rebusan tersebut untuk membilas vagina. Dalam daun sirih

terdapat senyawa fito-kimia yaitu alkoloud, sarponin,

terpenoid,polivenolad, tannin dan flanoid.

Diantara senyawa tersebut senyawa yang paling diminat adalah

alkaloid. Alkoloid merupakan senyawa organic yang

mengandung nitrogen. Sedangkan senyawa lainnya seperti

flanoid dan polivenolad merupakan senyawa aktif yang

mengandung antiseptic. Karena kandungan inilah daun sirih

sering digunakan dalam membersihkan area vagina (sukma,

2013)

2. Bahan Kimia

Berbagai bentuk produk vaginal doucing berbahan kimia dapat

dijumpai dalam berbagai bentuk seperti bentuk batangan atau steak,

sprey, dan cairan yang dikemas dalam berbagai merek seperti

Resik-V, Lactasid, betadin feminime hygiene dan lain sebagainya.

Prodak ini dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarakat karena

dijual bebas.

Adapun bahan kimia yang biasanya terkandung dalam cairan

tersebut adalah :

1) Sabun mandi

Sabun mandi merupakan zat yang bersifat basa. Penggunaan

sabun mandi untuk membilas vagina sangat tidak dianjurkan

karena akan mengganggu keseimbangan pH (keasaman) dalam


vagina dan memudahkan terjadinya infeksi. Di dalam sabun

mandi juga terdapat zat kimia lainnya seperti pembersih,

pengharum, dan sebaginya sehingga akan memudahkan

timbulnya iritasi dan menyebakan infeksi pada vagina (Rose

MD, 2015)

2) Asam Asesat dan Asam Laktat

Asam asesat yang biasanya digunakan dalam tindakan bilas

vagina adalah larutan asam asesat 0,25% dan 1%. Larutan

asam asetat dalam konsentrasi tersebut dapat menjadi

antiseptic untuk mengobati infeksi keputihan yang disebabkan

oleh camdida dan Trichomonas vaginalis. Namun penggunaan

asam asetat harus terkontrol dan dalam konsentrasi yang tepat,

karena akan menimbulkan iritasi pada kulit dan vagina. Lain

halnya dengan asam laktat senyawa ini lebih sukar menguap

dibandingkan dengan asam asetat. (Pribakti B, 2012)

3) Yodium Povidon

Yodium povidone merupakan senyawa kimia yang biasanya

sering ditemukan dalam bilas vagiba dalam bentuk vaginal

doucle. Dalam senyawa ini peniliti menemukan bahwa

senyawa tersebut mempengaruhi penurunanan kuman aerob

dan anaerob dalam jumlah yang besar. Akan tetapi penggunaan

produk yang mengandung senyawa yodium povid on dalam


tindakan vaginal douching dapat menurunkan insiden

terjadinya gonorrhea secara signifikan. (Pribakti B, 2012)

Vaginal douching dilakukan hanya bila ada indicator media

yang mengharuskan tindakan tersebut. Bahan yang digunakan

juga harus sesuai dengan penyebabnya. Misalnya seperti

keputihan yang disebabkan karena jamur maka gunakan

pembersih yang mengandung anti jamur. Dan untuk vagina

yang terkena bisur gunakan pembersih yang mengandung anti

bakteri. Pembersih vagina yang mengandung antiseptic tinggi

sebaiknya hanya digunakan saat terjadinya menstruasi. Karena

pada saat terjadinya menstruasi nilai pH vagina wanita

umumnya adalah 7,4 yang artinya pH vagina dalam keadaan

netral dan tidak dapat mempertahankan tingkat keasamannya

sehingga akan memicu bau pada vagina (Pribakti B, 2012)

2.3.6 Cara Ukur Pembersih Vagina (Vagina Douching)

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner dengan cara ukur

yang digunakan untuk mengukur keputihan pada remaja adalah skala

Guttman yang bisa digunakan dengan pilihan ganda atau checklist. Pada

cara ukur ini, responden bisa memberikan jawaban baik positif maupun

negative, hal ini tergantung pada presepsi dari responden dalam

menjawabnya. Jawaban yang diberikan bersifat tegas yaitu dengan

jawaban YA dan TIDAK.

2.3.7 Sintesa Pembersih Vagina (Vaginal Douching)


Pembersih vagina adalah cairan yang digunakan oleh kaum

wanita yang memiliki fungsi untuk membersihkan dan menghilangkan

bau pada vagina. Akan tetapi, apabila digunakan secara berlebihan

dalam waktu yang singkat, akan menyebabkan gangguan kesehatan

reproduksi.

2.4 Vulva Hygiene

2.4.1 Pengertian Vulva Hygiene

Vulva hygiene merupakan suatu tindakan untuk memelihara

kebersihan organ kewanitaan bagian luar (vulva) yang dilakukan untuk

mempertahankan kesehatan dan mencegah infeksi (Ayu, 2010).

2.4.2 Manfaat Vulva Hygiene

Perawatan vagina memiliki beberapa manfaat, antara lain :

1. Menjaga vagina dan daerah sekitarnya tetap bersih dan nyaman.

2. Mencegah munculnya keputihan, bau tidak sedap dan gatal-gatal.

3. Mejaga agar Ph vagina tetap normal (3,4-4,5).

2.4.3 Tujuan Vulva Hygiene

Ada beberapa tujuan dari vulva hygiene, antara lain :

1. Menjaga kesehatan dan kebersihan vagina.

2. Membersihkan bekas keringat dan bakteri yang ada di sekitar vulva

di luar vagina.

3. Mempertahankan Ph derajat kesamaan vagina normal yaitu 3,5

sampai 4,5.
4. Mencegah rangsangan tumbuhnya jamur, bakteri dan protozoa.

5. Mencegah timbulnya keputihan dan virus.

2.4.4 Cara Perawatan Vulva Hygiene

Menjaga kesehatan berawal dari menjaga kebersihan. Hal ini juga

berlaku bagi kesehatan organ-organ seksual. Cara memelihara organ

intim tanpa kuman dilakukan sehari-hari dimulai bangun tidur dan

mandi pagi. Alat reproduksi dapat terkena sejenis jamur atau kutu yang

dapat menyebabkan rasa gatal atau tidak nyaman apabila tidak dirawat

kebersihannya. Mencuci vagina dengan air kotor, pemeriksaan dalam

yang tidak benar, penggunaan pembersih vagina yang berlebihan,

pemeriksaan yang tidak higienis dan adanya benda asing dalam vagina

dapat menyebabkan keputihan yang abnormal. Keputihan juga bisa

timbul karena pengobatan abnormal, celana dalam yang tidak menyerap

keringat dan penyakit menular seksual (Kusmiran Eni, 2011)

1. Perawatan Saat Menstruasi

Perawatan pada saat menstruasi juga perlu dilakukan karena

pada saat menstruasi pembuluh dalam rahim sangat mudah terkena

infeksi. Kebersihan harus sangat dijaga karena kuman mudah sekali

masuk dan dapat menimbulkan penyakit pada saluran reproduksi.

Pembalut tidak boleh dipakai lebih dari enam jam atau harus ganti

sesering mungkin bila sudah penuh oleh darah menstruasi

(Kusmiran Eni, 2011).


2. Efek perawatan yang salah pada alat reproduksi eksternal

mengatakan bahwa efek samping dari kesalahan dalam merawat

alat reproduksi eksternal yaitu :

a. Jika ada pembersih atau sabun berbahan daun sirih digunakan

dalam waktu lama, akan menyebabkan keseimbangan

ekosistem terganggu.

b. Produk pembersih wanita yang mengandung bahan providone

iodine mempunyai efek samping dermatitis kontak sampai

reaksi alergi yang berat.

2.4.5 Indikator Vulva Hygiene

Berikut ini beberapa cara merawat organ reproduksi wanita :

1. Cuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh vagina.

2. Gantilah pakaian dalam sekurang-kurangnya dua kali dalam sehari.

3. Hindari menggunakan sabun mandi pada alat kelamin karena dapat

menyebabkan kekeringan dan iritaso kulit atau gatal. Gunakan

pembersih kewanitaan yang menggunakan Ph balance 3,5 untuk

menghindari iritasi.

4. Mengeringkan daerah di sekitar vagina sebelum berpakaian, karen

jika tidak dikeringkan menyebabkan celana dalam yang dipakai

menjadi basah dan lembab berpotensi mengundang bakteri dan

jamur.

5. Tidak diperbolehkan menaburkan bedak pada vagina dan daerah di

sekitarnya, karena kemungkinan bedak tersebut akan menggumpal


di sela-sela lipatan vagina yang sulit terjangkau tangan untuk

dibersihkan dan akan mengundang kuman.

6. Menyediakan celama dalam ganti di dalam tas kemanapun pergi,

hal ini menghindari kemungkinan celana dalam kita basah.

7. Pakailah celana dalam yang terbuat dari bahan katun karena dapat

menyerap keringat dengan sempurna.

8. Menghindari pemakaian celana dalam dari satin ataupun bahan

sintetik lainnya karena menyebabkan organ intim menjadi panas

dan lembab.

9. Penggunaan pantyliner sebaiknya digunakan antara dua sampai tiga

jam. Penggunaan pantyliner setiap hari ternyata justru dapat

mengakibatkan infeksi bakteri, jamur, serta jerawat atau bisul pada

daerah genetalia. Ini terjadi karena pantyliner membuat daerah

kewanitaan makin lembab. Meskipun lapisan atas pantyliner

memiliki daya serap untuk menjaga higienitas daerah kewanitaan,

akan tetapi bagian dasar dari pantyliner ini terbuat dari plastik,

sehingga kulit tidak bisa bernafas lega karena kurangnya sirkulasi

udara. Jadi sebaiknya jangan menggunakan pantyliner terlalu

sering.

10. Basuhlah dengan cara yang benar, yaitu dari arah depan atau

vagina ke arah belakang atau anus. Jangan terbalik karena bisa

menyebabkan bakteri yang ada di sekitar anus terbawa masuk ke

vagina.
11. Memotong atau mencukur rambut kemaluan sebelum panjang

secara teratur.

12. Memakai handuk khusus untuk mengeringkan daerah kemaluan.

13. Sebaiknya tidak menggunakan celana ketat, berbahan nilon, jeans

dan kulit.

14. Pakailah handuk kering setelah BAK dan BAB.

15. Apabila kita menggunakan WC umum, sebaiknya sebelum duduk

siram terlebih dahulu WC tersebut (di-flishing) terlebih dahulu baru

kemudian digunakan.

16. Jangan menggaruk organ intim segatal apa pun. Membilas dengan

air hangat juga tidak disarankan mengingat cara itu justru bisa

membuat kulit di sekitar vagina bertambah merah dan membuat

rasa gatal semakin menjadi-jadi. Lebih baik kompres vagina

dengan air es sehingga pembuluh darah di wilayah organ intim

tersebt menciut, warna merahnya berkurang dan rasa gatal

menghilang. Alternatif lain, basuh vagina dengan rebusan air sirih

yang sudah di dinginkan.

17. Saat menstruasi, gunakan pembalut berbahan lembut, dapat

menyerap dengan baik, tidak mengandung pewangi atau membuat

alergi, gantilah pembalut jangan sampai menungggu basah.

18. Jangan menggunakan waslap atau handuk milik orang lain untuk

mengeringkan vagina.
19. Berhati-hatilah jika mengeringkan vagina dengan tisu. Jika tisunya

tertinggal lama akan menimbulkan bau tak sedap dan akhirnya

terjadi infeksi.

20. Apabila rambut kemaluan terlalu panjang, hendaknya dicukur

untuk menghindari kelembaban yang berlebihan di daerah vagina.

21. Jangan terlalu sering membasuh vagina dengan cairan vagina,

pewangi/parfum, karena akan merusak keseimbangan Ph vagina

sehingga menjadi sumber infeksi.

(Ratna, 2010) buku pink ku

2.4.6 Cara Ukur Vulva Hygiene

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner dengan cara ukur

yang digunakan untuk mengukur keputihan pada remaja adalah skala

Guttman yang bisa digunakan dengan pilihan ganda atau checklist. Pada

cara ukur ini, responden bisa memberikan jawaban baik positif maupun

negative, hal ini tergantung pada presepsi dari responden dalam

menjawabnya. Jawaban yang diberikan bersifat tegas yaitu dengan

jawaban YA dan TIDAK.

2.4.7 Sintesa Vulva Hygiene

2.5 Penggunaan Celana Dalam Yang Ketat

2.5.1 Pengertian
Celana dalam wanita adalah pakaian dalam yang di rancang untuk

wanita dan gadis. Pakaian dalam wanita digunakan untuk menutupi

daerah selangkangan di bawah pinggang. (id.m.wikipedia.org )

Banyak wanita menaruh perhatian khusus dalam memilih pakaian

dalam mereka. Pakaian dalam yang sehat dapat membantu mengurangi

risiko infeksi. Meski tidak dilihat banyak orang, pakaian dalam

memang berpengaruh besar terhadap rasa nyaman dan kepercayaan diri

juga kesehatan penggunanya.

Saat memilih pakaian dalam, khususnya celana dalam, ada

banyak hal yang sebaiknya menjadi pertimbangan para wanita. Selain

bagaimana pakaian dalam tersebut terlihat di tubuh, hal lain yang perlu

pertimbangkan adalah apakah pakaian dalam tersebut berisiko

menimbulkan masalah kesehatan atau tidak.

2.5.2 Indikator Celana Dalam Ketat

Membicarakan jenis bahan dan tipe celana favorit tentunya akan

berbeda-beda bagi setiap orang. Hal penting untuk dipertimbangkan

saat memilih pakaian dalam adalah bahan celana tersebut.

Celana dalam standar berbahan katun adalah pilihan yang bagus,

baik dari segi kenyamanan maupun kesehatan. Meski dari segi

penampilan, celana dalam jenis ini memang terlihat lebih ketinggalan

zaman, tapi celana dalam ini dapat mengurangi risiko terjadinya

masalah kesehatan seperti ruam kulit sampai infeksi jamur.


Untuk penggunaan sehari-hari, tidak akan ada yang bisa

mengalahkan kenyamanan katun. Bahan ini lembut, ringan, dan sangat

nyaman. Bukan hanya itu, katun juga baik untuk kesehatan

serta kebersihan organ intim. Mengenakan celana dalam katun berarti

membiarkan vagina ‘bernapas’. Katun juga menyerap keringat yang

ada, dan dengan demikian mencegah pertumbuhan jamur. (TIM

NAVIRI, 2016. Buku Pintar Kesehatan dan Kecantikan Payudara.

Jakarta : PT Elex Media Komputindo)

Jika ingin menggunakan celana dalam dari bahan nylon atau

sintetis, pastikan bagian yang menutupi labia atau vagina terbuat dari

katun yang dapat menyerap keringat.

Biasanya, di pasaran banyak celana dalam yang terbuat dari bahan

nylon atau polyster stretch-chyarn yang sebenarnya kurang memenuhi

syarat kesehatan. Kalau pemakainya tidak banyak berkeringat atau

alergi, tentu aja tidak masalah. Tetapi bagi yang memilki problem

keputihan atau jamur pada vagina, sebaiknya menghindari celana dalam

dari bahan ini. Lebih baik memakai celana dalam yang terbuat dari

bahan katun dan tidak terlalu ketat. Mengenakan celana dalam yang

longgar relatif lebih baik daripada mengenakan yang ketat. (Kevin Lau,

2012. Panduan Esensial Untuk Skoliosis dan Kesehatan Kehamilan.

Singapura : Helath In Your Hands Pte Ltd)

2.5.3 Cara Ukur Celana Dalam Ketat


Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner dengan cara ukur

yang digunakan untuk mengukur keputihan pada remaja adalah skala

Guttman yang bisa digunakan dengan pilihan ganda atau checklist. Pada

cara ukur ini, responden bisa memberikan jawaban baik positif maupun

negative, hal ini tergantung pada presepsi dari responden dalam

menjawabnya. Jawaban yang diberikan bersifat tegas yaitu dengan

jawaban YA dan TIDAK.

2.5.4 Sintesa Celana Dalam Ketat

2.6 Landasan Teori Menuju Konsep

Anda mungkin juga menyukai