Anda di halaman 1dari 8

Abstrak

Latar belakang
Penyakit autoimun tiroid sering kali menyertai penyakit celiac.
Objektif
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah diet bebas gluten mempengaruhi
autoimunitas tiroid, aktivitas hipotalamus- pituitary-tiroid dan tes fungsi tiroid pada wanita
dengan tiroiditis Hashimoto dan ditemukan adanya antibodi transglutaminase anti-jaringan.
Metode
Penelitian tersebut melibatkan 34 wanita dengan autoimun tiroiditis yang dibagi menjadi dua
kelompok. Pasien kelompok pertama (grup A, n = 16) memenuhi diet bebas gluten selama 6
bulan, sedangkan pasien sisanya (kelompok B, n = 18) tetap tanpa perawatan diet apa pun. Titer
serum dari tiroid peroksidase dan antibodi tiroglobulin, serta tingkat serum tirotropin, hormon
tiroid bebas dan 25-hidroksivitamin D diukur pada awal penelitian dan 6 bulan kemudian.
tirotropin dan kadar hormon tiroid bebas, indeks tirotropin Jostel, indeks SPINA-GT dan indeks
SPINA-GD kemudian dihitung.
Hasil
Semua pasien menyelesaikan protokol penelitian. Pada kelompok B, tirotropin serum dan kadar
hormon tiroid bebas, kadar serum 25-hidroksivitamin D serta indeks yang dihitung tetap pada
kadar yang sama. Diet bebas gluten mengurangi titer antibodi tiroid, serta sedikit peningkatan
kadar 25-hidroksivitamin D dan indeks SPINA-GT. Di kelompok A, efek pada titer TPOAb dan
TgAb berkorelasi dengan perubahan indeks SPINA-GT, sedangkan TPOAb berpengaruh pada
perubahan kadar 25-hidroksivitamin D.
Kesimpulan
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa diet bebas gluten dapat membawa manfaat klinis bagi
wanita dengan penyakit autoimun tiroid.

PENGANTAR
Tiroiditis Hashimoto, kelainan autoimun yang menghancurkan sel folikel tiroid oleh sel
dan proses kekebalan yang dimediasi oleh antibody. Tiroiditis Hashimoto adalah penyakit tiroid
yang paling umum terjadi di daerah yang cukup yodium dan salah satu penyakit pada manusia
yang paling umum [1, 2]. Penyakit ini disebabkan oleh penggantian sel folikel oleh infiltrat
limfositik dan fibrosis dan ditandai dengan adanya antibodi tiroid, terutama antibodi peroksidase
tiroid (TPOAb) dan antibodi tiroglobulin (TgAb).
Hasil dari beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara Tiroiditis
Hashimoto dan penyakit celiac atau peningkatan asimtomatik antibodi transglutaminase di dalam
jaringan [5–8]. Tiroiditis autoimun adalah gangguan autoimun yang paling umum terjadi pada
pasien dengan penyakit celiac [9]. Sebuah analisis yang dikumpulkan, yang melibatkan 6024
pasien dengan tiroiditis autoimun, ditemukan hasil peningkatan prevalensi penyakit celiac yang
dikonfirmasi dengan biopsi, sehingga penulis menyimpulkan bahwa semua pasien dengan
tiroiditis autoimun harus diskrining untuk mengetahui adanya penyakit celiac [10]. Hubungan
antara penyakit tiroid autoimun dan penyakit celiac dikarenakan oleh kadar selenium [11] atau
vitamin D [12] yang rendah akibat malabsorpsi, interaksi jaringan transglutaminase-2 IgA
antibodi terhadap folikel tiroid dan matriks ekstraseluler tiroid [13], atau dengan susunan
imunogenetik bersama [14]. Baik vitamin D eksogen (cholecalciferol) [15] dan selenium [16]
tampaknya berperan dalam perkembangan Tiroiditis Hashimoto.
Sepengetahuan kami, tidak ada penelitian sebelumnya yang menyelidiki apakah
pembatasan asupan gluten mempengaruhi autoimunitas dan fungsi tiroid. Oleh karena itu, tujuan
penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah diet bebas gluten berdampak pada autoimunitas
tiroid, aktivitas axis hipotalamus-hipofisis-tiroid, dan tes fungsi tiroid pada wanita yang (naif
obat?) dengan tiroiditis Hashimoto.

BAHAN DAN METODE


Pasien
Partisipan penelitian yang dipilih adalah wanita muda yang berusia antara 20-45 tahun,
dengan tiroiditis autoimun yang baru didiagnosis dan belum mendapat pengobatan. Untuk masuk
dalam kriteria penelitian, partisipan harus memenuhi (a) TPOAb positif (> 100U / mL), (b)
berkurangnya echogenisitas parenkim tiroid pada USG tiroid (c) fungsi thyroid normal (kadar
tirotropin 0,4-4,5 mU / L, tiroksin bebas antara 10.0-21.0 pmol / L dan kadar triiodothyronine
bebas 2,6-6,5pmol / L) dan (d) ditemukan antibodi transglutaminase dalam jaringan tanpa
disertai gejala klinis penyakit celiac. Semua pasien diberikan gluten dalam makanan mereka
sebelum memulai penelitian.
Kami mengeksklusikan wanita dengan penyakit celiac simtomatik, antibodi positif
terhadap reseptor tirotropin, diabetes atau gangguan endokrin lainnya, gangguan fungsi ginjal
atau hati, terdapat proses inflamasi kronis atau gangguan serius lainnya, wanita yang sedang
hamil atau menyusui, serta wanita yang menjalani pengobatan penyakit kronis.
Penelitian tersebut dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki. Penelitian ini disetujui
oleh dewan peninjau lokal dan sudah mendapat persetujuan tertulis dan terinformasi (inform
consent) dari setiap peserta.

DESAIN STUDI
Sebelum penelitian, semua peserta sudah diberitahu tentang manfaat dan risiko mengikuti
diet bebas gluten. Berdasarkan preferensi pasien, peserta dialokasikan ke salah satu dari dua
kelompok. Pasien termasuk dalam kelompok A (n = 16) diinstruksikan oleh seorang dokter dan a
ahli diet profesional dengan bantuan leaflet untuk mengikuti diet bebas gluten. Pasien dari
kelompok B (n = 18) tidak diresepkan diet khusus apapun. Peserta dievaluasi setiap dua bulan
untuk memastikan kepatuhan diet dan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap protokol. Selama
kunjungan, peserta diminta untuk mengisi kuesioner yang mengevaluasi seberapa sering dalam
dua bulan terakhir mereka mengkonsumsi masing-masing dari dua puluh bahan makanan yang
ada dalam masakan Polandia. Frekuensi asupan makanan dinilai dalam enam kategori berikut:
setiap hari, 5-6 kali per minggu, 3-4 kali seminggu, 1-2 kali seminggu, kurang dari sekali per
minggu dan tidak pernah. Pertanyaan kuesioner juga mencakup pertanyaan dalam penggunaan
produk bebas gluten. Apalagi setiap pasien diharapkan dapat memberikan kemasan dan label
pada produk bebas gluten yang dia dikonsumsi.

TES LABORATORIUM
Tes laboratorium dilakukan dua kali (untuk meminimalkan kesalahan analitik) pada awal
dan 6 bulan kemudian (pada akhir periode perawatan). Sampel darah vena dikumpulkan dari
vena antekubital antara pukul 8 dan 9 pagi (untuk menghindari kemungkinan fluktuasi sirkadian
pada parameter yang diteliti) setelah berpuasa 12 jam di malam hari. Kadar tirotropin, tiroksin
bebas dan triiodotironin bebas dalam serum serta titer TPOAb dan TgAb diukur dengan
chemiluminescence langsung menggunakan acridinium ester technology (ADVIA Centaur XP
Immunoassay System, Siemens Healthcare Diagnostics, Munich, Jerman). Kadar 25-
hidroksivitamin D serum diuji dengan immunoassay kompetitif menggunakan kit komersial
Roche Diagnostic dan penganalisis otomatis multichannel (Roche Cobase 411, Mannheim,
Jerman). Deteksi imunoglobulin A terhadap jaringan transglutaminase antigen menggunakan
metode enzyme linked immunosorbent assay (Euroimmun, Lübeck, Jerman). Indeks tirotropin
Jostel, pendekatan inferensi struktur parameter indeks (SPINA)-GT serta indeks SPINA-GD
dihitung oleh peneliti berdasarkan tirotropin dan tingkat hormon tiroid bebas menggunakan
perangkat lunak SPINA-Thyr 4.0.1 untuk perangkat lunak Windows sesuai dengan rumus yang
dijelaskan sebelumnya [17-19].

ANALISIS STATISTIK
Nilai untuk tes hormon, antibodi dan fungsi tiroid adalah log alami yang diubah untuk
menghasilkan distribusi normal untuk analisis statistik. Kelompok perlakuan dikomparasi dengan
menggunakan uji t untuk sampel independen. Perbedaan antara rata-rata variabel dalam
kelompok perlakuan yang sama dianalisis dengan uji t berpasangan. Kepentingan klinis dari hasil
tersebut dinilai dengan interval kepercayaan 95%. Pada perhitungan statistik dan rata-rata dua
sampel digunakan untuk menghasilkan perkiraan interval dari perbedaan antara rata-rata dua
populasi. Kategori variabel dianalisis dengan uji χ2, sedangkan uji-r Pearson digunakan untuk
menghitung signifikansi setiap korelasi. Signifikan secara statistik jika interval kepercayaan 95%
tidak termasuk nilai nol dan / atau nilai p two tailed yang berada di bawah 0,05.

HASIL
Pada awal penelitian, kedua kelompok pasien sebanding dalam hal usia, indeks massa
tubuh, perokok, persentase melahirkan di masa lalu, jumlah persalinan, serta serum kadar
hormon dan 25-hidroksivitamin D, titer serum dari antibodi tiroid, indeks tirotropin Jostel,
indeks SPINA-GT dan indeks SPINA-GD (▶ Tabel 1, 2). Diet bebas gluten ditoleransi dengan
baik dan tidak ada pasien yang dikeluarkan dari penelitian sebelum waktunya. Selain daripada
produk bebas gluten dan produk yang mengandung gluten, kelompok penelitian tidak dibedakan
dalam hal frekuensi konsumsi makanan tertentu. Selama masa follow up, tidak ada pasien yang
mengalami gejala klinis penyakit celiac. Di akhir penelitian, ditemukan positif Antibodi
transglutaminase dalam serum 6 pasien (38%) dari grup A dan 18 pasien dari grup B.
Diet bebas gluten mengurangi titer serum TPOAb dan TgAb, serta meningkatkan kadar
serum 25-hidroksivitamin D dan Indeks SPINA-GT (▶ Tabel 2). Diet bebas gluten tidak
mempengaruhi tirotropin, hormon tiroid bebas, indeks tirotropin Jostel dan Indeks SPINA-GD.
Dalam kelompok B, antigen tiroid serum, tirotropin, tiroksin bebas, triiodotironin bebas dan 25-
hidroksivitamin D serta tirotropin Jostel, indeks SPINA-GD, dan SPINA-GT tetap pada tingkat
yang sama selama penelitian. Di akhir penelitian ini, terdapat perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok dalam hal titer antibodi tiroid, kadar 25-hidroksivitamin D dan indeks SPINA-
GT (▶ Tabel 2).
Saat masuk, titer TPOAb berkorelasi dengan titer TgAb (r = 0,60, p <0,001). Titer
antibodi berkorelasi terbalik dengan kadar 25-hidroksivitamin D (TPOAb: r = - 0,37, p <0,01;
TgAb: r = - 0,25, p <0,05). Titer TPOAb dan TgAb berkorelasi juga dengan indeks SPINAGT
(TPOAb: r = - 0,35, p <0,01; TgAb: r = - 0,29, p <0,05). Di kelompok A, dampak pengobatan
pada titer TPOAb berkorelasi dengan perubahan titer TgAb (r = 0,52, p <0,001) dan dengan
perubahan kadar 25-hidroksivitamin (r = 0,34, p <0,05). Diet bebas gluten memicu perubahan
pada titer antibodi yang berkorelasi juga dengan dampak pada indeks SPINA-GT (TPOAb: r =
0,40, p <0,001; TgAb: r = 0,32, p <0,05). Tidak ada korelasi lain yang ditemukan.

DISKUSI
Penemuan utama dari penelitian kami adalah bahwa diet bebas gluten mengurangi
autoimunitas tiroid dan sedikit meningkatkan keluaran tiroid pada wanita eutiroid dengan
tiroiditis Hashimoto. Tindakan ini sepertinya menjadi efek spesifik dari diet bebas gluten karena
pada proporsi signifikan pasien sebanyak (62%) berkurang titer antibodi tiroid dan perubahan tes
fungsi tiroid menyebabkan hilangnya antibodi transglutaminase dalam jaringan. Hasil yang
diperoleh tidak dapat dijelaskan oleh fluktuasi musiman atau perubahan yang bergantung pada
waktu dalam titer antibodi dan tes fungsi tiroid, karena kadar tirotropin serum dan hormon tiroid
bebas, titer serum TPOAb dan TgAb, serta tirotropin Jostel, the Indeks SPINA-GT dan SPINA-
GD pada individu yang tidak membatasi asupan gluten tetap pada tingkat yang sama sepanjang
penelitian. Karena mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi yang sangat ketat, akibatnya
terdapat kelompok pasien yang homogen dengan tiroiditis autoimun, dan hasil penelitian ini
tidak dapat dikaitkan dengan adanya gangguan atau tindakan apa pun dari obat yang diminum
oleh pasien. Akhirnya, hasil yang diperoleh tidak menjadi perbaikan komposisi diet karena
kuesioner analisis frekuensi makanan tiap individu mengungkapkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam konsumsi makanan tertentu, termasuk asupan ikan atau susu.
Sulit menjelaskan mekanisme yang menjadi efek menguntungkan dari diet bebas gluten
pada autoimunitas tiroid. Penelitian ini menunjukkan bahwa salah satunya adalah peningkatan
vitamin D. Sejalan dengan hipotesis ini, populasi pasien ditandai dengan kadar 25-
hidroksivitamin D dalam serum yang relatif rendah, menjadi penanda terbaik untuk menentukan
kadar vitamin D [20]. Selain itu, diet bebas gluten, tetapi bukan diet normal, meningkatkan
sirkulasi 25-hidroksivitamin D, dan hal ini berkorelasi. dengan perubahan titer TPOAb.
Menariknya, vitamin D eksogen mengurangi titer antibodi tiroid pada wanita dengan
autoimunitas tiroid, dan efek ini lebih kuat pada TPOAb dibandingkan TgAb [21], Fakta yang
didapat TPOAb memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dan spesifisitas yang sama dengan TgAb
dalam menegakkan diagnosis penyakit tiroid autoimun [22]. Korelasi antara titer TPOAb dan
kadar 25-hidroksivitamin D tampaknya dalam level sedang, dan mekanisme lain juga
mempengaruhi efek menguntungkan dari diet bebas gluten. Salah satunya adalah perbaikan
kadar selenium, karena mikronutrien ini dapat mengurangi autoimunitas tiroid, yaitu dengan
menghambat fungsi sekretori sel T manusia [16]. Ternyata wanita sehat yang tinggal di Silesia
Atas, tempat penelitian ini dilakukan, dikarakterisasi oleh kadar selenium yang rendah [23], dan
mungkin lebih rendah lagi pada peserta penelitian ini. Karena tidak ada biopsi usus halus yang
dilakukan, mungkin sebagian besar dari pasien menderita penyakit celiac asimtomatik. Penyakit
seliac, bahkan yang ringan pun, ditandai dengan penipisan selenium [24], dan lebih rendah pada
subjek yang tidak patuh dengan diet bebas gluten dibandingkan pada pasien yang patuh [25].
Kita tidak mengukur serum atau kadar selenium dalam darah karena pada populasi orang dewasa
hal ini tidak berkorelasi dengan baik dengan konsumsi makanan mikronutrien ini, namun lebih
terlihat dari asupan suplemen yang diperkaya dengan selenomethionine dan selenium yang
terkandung di dalam ragi adalah bentuk selenium yang dikonsumsi selama masa penelitian. [26].
Namun nilai dasar dari nilai indeks SPINA-GD yang tergolong rendah pada kedua kelompok
pasien secara tidak langsung mendukung ke arah defisiensi selenium pada populasi penelitian.
Diet bebas gluten secara langsung juga dapat menghambat aktivitas sel inflamasi. Sejalan dengan
penjelasan ini, ditemukan bahwa gluten makanan dapat mengubah keseimbangan sitokin pro-
inflamasi dan anti-inflamasi di sel-T tikus menjadi keadaan sitokin yang lebih inflamasi [27],
sedangkan pada diet bebas gluten mengurangi tingkat sirkulasi sitokin proinflamasi [28].
Diet bebas gluten menginduksi peningkatan indeks SPINA-GT, menjadi suatu kondisi
yang ditandai dengan sekresi maksimum di bawah stimulasi [18, 19]. Keandalan tes ulangnya
lebih tinggi daripada tirotropin, tiroksin bebas, dan triiodotironin bebas [18], dan fakta ini dapat
menjelaskan mengapa, meskipun mempengaruhi indeks SPINA-GT, diet tersebut memiliki efek
netral pada kadar hormon serum. Dampak pada keluaran tiroid relatif kecil, karena sepanjang
waktu follow up, nilai indeks SPINA-GT tetap dalam kisaran referensi. Menariknya, perubahan
yang diinduksi pengobatan pada SPINA-GT berkorelasi dengan kedua baseline titer serum
TPOAb dan TgAb dan dengan penurunan titer antibodi tiroid. Temuan ini memungkinkan kita
menarik dua kesimpulan. Pertama, efek penghambatan diet bebas gluten pada autoimunitas tiroid
dapat berperan untuk meningkatkan kapasitas sekresi tiroid. Kedua, efek pada titer antibodi
paling kuat pada pasien dengan titer antibodi tertinggi. Mempertimbangkan nilai prediktif
antibodi tiroid dan titernya sebagai faktor risiko perkembangan hipotiroidisme [29, 30], diet
bebas gluten mungkin menunda perkembangan hipofungsi tiroid di eutiroid wanita dengan
tiroiditis Hashimoto. Meskipun indeks SPINA-GT meningkat, diet bebas gluten tidak
memberikan pengaruh terhadap perhitungan parameter homeostasis thyroid yang lain. Efek
netral pada indeks SPINA-GD, memperkirakan jumlah aktivitas deiodinases perifer [19], yang
berarti diet bebas gluten tidak mempengaruhi metabolisme hormon tiroid perifer. Akhirnya, tidak
ada perubahan Indeks tirotropin Jostel, penanda kuantitatif untuk fungsi tirotropik hipofisis [17],
menunjukkan bahwa diet bebas gluten bukan efek langsung dari sel tirotropik.
Beberapa kekurangan dari penelitian ini perlu kami disebutkan. Kekurangan yang paling
penting dari penelitian ini adalah sifatnya yang tidak diacak, jumlah peserta yang sedikit dan
waktu terapi yang singkat. Selain itu, populasi penelitian ditandai dengan status selenium yang
rendah [23] dan asupan yodium yang memadai [31]. Tidak pasti bahwa dampak dari diet bebas
gluten sama pada kecukupan selenium dan / atau area yang kekurangan yodium. Selanjutnya
karena penelitian ini melibatkan hanya wanita eutiroid, pertanyaannya apakah diet bebas gluten
mempengaruhi titer antibodi dan tes fungsi tiroid pada subjek dengan hipofungsi tiroid tetap
tidak terjawab. Pada akhirnya, Hal tersebut tidak bisa diatur karena efek diet bebas gluten
mungkin berbeda pada wanita yang diobati dengan agen pengurang titer antibodi tiroid
(levothyroxine, vitamin D dan selenium), yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Kesimpulannya, diet bebas gluten mengurangi titer serum TPOAb dan TGAb pada
wanita eutiroid dengan tiroiditis Hashimoto, yang berkorelasi dengan peningkatan indeks
SPINA-GT. Temuan ini menunjukkan bahwa diet bebas gluten dapat membawa manfaat klinis
untuk wanita eutiroid dengan tiroiditis Hashimoto, yang dikarenakan oleh titer antibodi tiroid
yang meningkat tajam serta berberisiko tinggi berkembang menjadi hipotiroidisme. Karena
keterbatasan penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat menjadi uji coba, dan diperlukan uji
coba prospektif yang lebih besar untuk mengembangkan temuan-temuan dari hasil penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai