Anda di halaman 1dari 15

Kemanjuran dan Kemanan Saxagliptin, sebuah Inhibitor Dipeptidil

Peptidase-4, pada Pasien Hemodialisa dengan Nefropati Diabetik: Sebuah


Percobaan Prospektif Randomisasi Label-Terbuka

INTISARI

Tujuan: Saxagliptin adalah inhibitor dipeptidil peptidase-4 yang disetujui di Jepang untuk terapi
diabetes tipe 2 pada tahun 2013. Kami melakukan penilaian terhadap kemanjuran dan
keamanannya pada pasien Jepang yang menjalani hemodialisa dengan nefropati diabetikum.

Metode: pada penelitian prospektif, label terbuka, kelompok paralel ini, pasien hemodialisa kami
randomisasi untuk menerima terapi saxagliptin (2,5 mg/hari) dan pada kelompok kontrol
menerima perawatan seperti biasanya selama 24 minggu. Sebelum dilakukan randomisasi, pasien
menerima obat fix dose antidiabetes konvensional (obat oral maupun insulin) selama 8 minggu;
obat-obat ini tetap dilanjutkan selama penelitian berlangsung. Titik akhirnya yaitu perubahan
pada albumin glikasi (GA), hemoglobin A1c (HbA1c), kadar glukosa post prandial (PPG) dan
kondisi buruk yang terjadi.

Hasil: kedua kelompok terdiri dari 41 pasien. Rerata GA, HbA1C dan PPG menurun secara
bermakna pada kelompok saxagliptin (masing-masing -3.4%, -0.6% [-7 mmol/mol], dan -38.3
mg/dL, semua nilai P < 0.0001) namun pada kelompok kontrol (masing – masing 0%, -0.1% [-1
mmol/mol], dan -3.7 mg/dL) (P < 0.0001, P < 0.001, dan P < 0.0001). pada kelompok yang
mnerima terapi saxagliptin, penurunan GA sangat bermakna jika saxagliptin digunakan sebagai
monoterapi dibandingkan dengan yang terapi kombinasi (-4.2% vs. -3.0%, P = 0.012) meskipun
nilai dasarnya serupa (24,5% vs 23,3%). Penurunan GA, HbA1c, dan PPG lebih besar pada
pasien dengan nilai dasar yang melebihi nilai median (23,8% untuk GA).

1. PENDAHULUAN

Pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang menajalani hemodialisis, akumulasi obat
antidiabetik atau metabolitnya antara sesi hemodialisis dan pembersihan cepat selama
hemodilisis menyebabkan sulit untuk menduga efek farmakologi dari obat-obat ini, menghambat
upaya untuk meraih dan mempertahankan kontrol glikemik. Untuk alasan ini, penggunaan
sulfonilurea tidak cocok karena memiliki resiko hipoglikemik, dan untuk metformin terdapat
kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, termasuk pasien hemodialisa. Pasien
dengan hemodialisi juga memiliki resiko tinggi terhadap hipoglikemi-akibat hemodialisis, dan
tinggi serta rendahnya kadar gula berhubungan dengan hasil yang tidak baik, termasuk resiko
tinggi terhadap kematian.

Insulin dipertimbangkan sebagai terapi yang paling efektif untuk diabetes tipe 2 pada
pasien hemodialisis, namun resiko hipoglikeminya tinggi dan sangat membutuhkan perhatian
dalam memberikan dosis dan monitoring kadar gula darah. Inhibitor α-Glukosidase dan glinid
dilaporkan efektif dalam meningkatkan kontrol glikemik dan memiliki resiko rendah terhadap
hipoglikemi pada pasien hemodialisa. Namun, obat-obat ini tidak tersedia diseluruh negara, dan
guideline National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
merekomendasikan bahwa inhibitor α-glukosidase harus dihindari pada pasien dengan gagal
ginjal kronik (CKD) dan yang menjalani dialisis. Beberapa kelas baru dari obat antidiabetik telah
diperkenalkan sejak guideline KDOQI ada, termasuk inhibitor dipeptidil peptidase-4 (DPP-4),
dan kelas obat tersebut telah masuk dalam guideline terbaru.

Pada pasien jepang yang menjalani hemodialisis, penelitian sebelumnya telah


menunjukan kemanjuran dan keamanan inhibitor DPP-4 alogliptin, tenegliptin, dan vildagliptin.
Saxagliptin merupakan anggota terbaru dari golongan ini yang disetujui untuk pasien jepang
yang menjalani hemodialisis dengan diabetes tipe 2. Maka dari itu, kami melakukan penelitian
kontrol randomisasi untuk mengkofirmasi kemanjuran dan keamanan penggunaan saxagliptin
pada pasien tersebut.

Untuk tujuan penelitian, titik poin glikemik mayor yaitu perubahan dari albumin glikasi
(GA), bukan perubahan hemoglobin A1c (HbA1c), karena perubahan GA merupakan tanda yang
lebih baik untuk variabilitas glikemik pada pasien yang menjalani hemodialisis dan hanya sedikit
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti dosis erythropoiesis stimulating agent (ESA), anemia, dan
konsumsi serum besi.

2. MATERIAL DAN METODE

2.1. Etika
Protokol penelitian ini disetujui oleh komite etik rumah sakit Keiai, dan seluruh pasien
menyetujui informed consent secara tertulis (Nomer registrasi percobaan klinis:
UMIN000018445; nomer persetujuan etika: RK-20140701-02). Protokol penelitian dirancang
sesuai dengan deklarasi Helsinki.

2.2. Subyek

Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) usia ≥ 20 tahun dan ≤ 80
tahun, (2) durasi hemodialisis > 6 bulan, (3) diabetes melitus tipe 2, dan (4) kontrol glikemik
yang buruk dinilai berdasarkan albumin glikasi (GA) lebih dari 20.0% setelah 8 minggu
pemberian terapi kovensional (terapi diet tunggal, antidiabetik oral dan/atau insulin). Kriteria
ekslusi sebagai berikut: (1) usia <20 atau >80 tahun; (2) memiliki riwayat penyakit gagal jantung
berat, angina, infark miokardium atau stroke dalam 6 bulan terakhir; (3) memiliki penyakit
infeksi, gangguan fungsi hati, penyakit tiroid, tumor ganas, atau terapi steroid atau
imunosupresan; (4) sedang dalam masa rawat inap rumah sakit; (5) menggunakan terapi salah
satu golongan inhibitor DPP-4 dalam 6 bulan terakhir.

2.3. Rancangan Penelitian dan Terapi

Penelitian ini dirancang serupa dengan penelitian-penelitian sebelumnya tentang


alogliptin dan vildagliptin. Penelitian prospektif, label terbuka, kelompok paralel, multi-center
ini berhubungan dengan penetilitian di bulan juni 2014 dan oktober 2015, dan pasien secara acak
berhak menerima saxagliptin (2,5 mg/hari) atau mendapat terapi biasa selama 24
minggu.sebelum randomisasi dilakukan, pasien menerima fixed dose terapi konvensional obat
antidiabetik (obat hipoglikemik oral dan/atau insulin) selama 8 minggu, dan terapi ini diteruskan
selama 24 minggu berikutnya. Jika nilai GA menetap ≥ 20.0% setelah 12 minggu terapi pada
salah satu grup, dosis obat antidiabetik sebaiknya ditingkatkan. Jika peneliti menilai bahwa
saxagliptin menunjukan masalah keamanan dalam pemakaian, terapi ini akan dihentikan. Selama
masa penelitian, pasien juga akan melanjutkan terapi regularnya seperti obat hipertensi, ESA,
pengikat fosfat, obat penurun kadar lemak.

Subyek penelitian dimonitor oleh pihak lain yang tidak mengetahui tentang subyeknya
sebelumnya keseimbangan dinamis rendomisasi diterapkan, menghitung jumlah usia, jenis
kelamin, durasi hemodialisis, dan konsentrasi hemoglobin untuk meminimalisir perbedaan
potensial pada batas dasar karakteristik antara kedua kelompok. Rincian tugas kemudian
diberikan kepada tujuh pihak pengawas yang merawat pasien pada empat pusat hemodialisis
yang tergabung dalam penelitian ini.

2.4. Hemodialisis

Pada seluruh pasien dilakukan 4 jam hemodialisis dengan kecepatan 200ml/menit dan
500 ml/menit. Hemodialisis dilakukan menggunakan mesin dialisis dengan membrane highg-
flux. Permukaan area membrane dializer dipilih berdasarkan berat badan pasien. Kadar gula
darah pasien ketika didialisis adalah 100mg/dl. Heparin diberikan dengan dosis 2500-5000 unit
per 4 jam sebagai antikoagulan. Volume ultrafiltrasi dipertahankan atas dasar berat kering klinis
setiap sesi.

Sampel darah diperiksa sebelum setiap akan dilakukan hemodialisis. Seluruh pasien
menerima eritropoietin manusia rekombinan (epoetin alfa). Indek respon eritropoietin (ERI)
ditentukan sebagai rerata mingguan dosis ESA dibagi dengan berat kering klinik dan rerata
hemogloblin darah [contohnya, ERI = dosis mingguan ESA (unit)/berat kering (kg)/hemoglobin
(g/dL)] untuk menormalkan dosis ESA tergantung pada keparahan anemianya.

2.5. Evaluasi Penelitian dan Titik Akhir

Titik akhir kemanjuran utama adalah perubahan pada GA. Titik akhir kedua yaitu
perubahan tanda vital dan pemeriksaan laboratorium selama penelitian, dan keamanannya. GA
dan HbA1c diukur setiap bulan sebagai indeks konrol glikemik. Kadar gula post prandial (PPG)
diukur tiga kali seminggu sebelum dilakukan hemodialisis, dan hasilnya dinyatakan dengan
rerata PPG dari 12 kali pengukuran perbulan. Setiap bulan dilakukan pemeriksaan tanda vital,
termasuk berat badan, kenaikan berat badan saat dialisis, massa indeks tubuh (BMI), rasio
kardiothorax pada pemeriksaan radiologi thorax, dan tekanan darah sistolik dan diastolik
sebelum dilakukan dialisis. Kadar hemoglobin, aspartat, aminotransferase, aminotransferase
alanine, dehidrogenase laktat, alkalin fosfat, ᵧ-glutamil transpeptidase, kolesterol total, HDL,
trigliserid, total protein,dan albumin diukur secara rutin. PPG, HbA1c, dan GA diukur
menggunakan perangkat pemeriksa yang sama diseluruh pusat. GA diukur dengan metode
enzimatik menggunakan Lucia GA-L® kit (Asahi Kasei Pharma Co., Tokyo, Japan).
Seluruh variabel diukur setiap bulan selama 8 minggu sebelum penelitian dan selama 24
minggu periode penelitian. Variabel kemanjuran dianalisis pada seluruh subyek, dan pasien
dikelompokkan pada beberapa subkelompok berdasarkan usia, BMI, dan regimen terapi
(monoterapi vs kombinasi OHO dan/atau insulin).

Subyek dapat berhenti obat karena alergi/intoleransi terhadap obat tersebut, jika masing-
masing kadar serum transaminase atau kreatinin kinase meningkat lebih dari 2x dari batas
normal tertinggi, atau diikuti dengan kondisi tadi, maka berdasarkan pendapat peneliti, dapat
menimbulkan resiko terhadap pasien atau mengacaukan hasil penelitian.

Pada setiap kunjungan, subyek ditanyai terkait kepatuhan penelitian (diet dan medikasi),
obat-obatan lain yang dikonsumsi dan efek samping (AEs). Penilaian keamanan dilakukan
selama penelitian. AEs dikelompokkan berdasarkan intensitasnya: ringan, sedang, atau berat.
Efek samping yang berat diartikan sebagai kejadian medis yang menimbulkkan kematian, rawat
inap atau kecacatan bermakna.

2.6. Analisis Statistik

Data ditampilkan dalam bentuk rerata ± deviasi standar atau median (jarak interkuartil).
Variabel berkelanjutan dibandingkan menggunakan Student’s T-Test atau tes Mann-whitney U,
dan variabel katergorik dibandingkan menggunakan tes χ2 atau Fisher’s exact test.
Kebermaknaan statistic dinilai dengan P<0.05. Seluruh Analisis ditunjukan menggunakan
perangkat lunak JMP versi 12 (SAS Institute Ltd., Cary, NC, USA).

Ukuran sampel ditentukan berdasarkan kekuatan 80%, dengan asumsi efek ukuran
perbedaan 4% pada perubahan GA awal antara kedua kelompok dan standar deviasi 3,0%,
berdasarkan hasil uji coba sebelumnya. Hal ini menghasilkan tingkat signifikansi dua sisi dari
0,05, dan diperkirakan jumlah pasien yang dievaluasi dari 26 (13 per kelompok). Kemungkinan
nilai dropout adalah 10% setelah randomisasi, ukuran sampel dari 30 subyek randomisasi (15 per
kelompok) itu diperlukan untuk penelitian ini. Untuk mengumpulkan data tambahan pada efikasi
dan keamanan saxagliptin, kami memilih untuk mendaftarkan sekitar 40 pasien per kelompok.

3. HASIL

3.1. Subyek
Total 534 pasien awalnya diskrining dan 84 pasien secara acak dimasukkan kedalam
kelompok saxagliptin (n=42) dan kelompok kontrol (n=42). Karakteristik pasien secara detail
ditunjukan pada tabel 1. Seluruh pasien memiliki kondisi anuria dan kontrol glikemik yang
buruk. Diagnosis renal utama adalah nefropati diabetik yang disebabkan oleh diabetes tipe 2.
Satu pasien pada kelompok saxagliptin membutuhkan perawatan di rumah sakit karena
menderita pneumonia, dan satu pasien pada kelompok kontrol diresepkan inhibitor DPP-4 karena
mengalami hiperglikemi berat. Kedua pasien ini dieksklusi dari analisis akhir, sehingga total 41
pasien dianalisis dari masing-masing kelompok. Data yang tersedia adalah data dari 82 pasien
dan disajikan pada tabel 1. Tidak ada perbedaan bermakna pada demografi, hemodinamik atau
variabel antropometrik, mode dialisis, tipe akses vaskular, komorbid kardiovaskular, atau
medikasi diantara kedua kelompok. Dosis saxagliptin tidak berubah pada seluruh pasien dan
pada kelompok saxagliptin, tidak ada subyek yang mengkonsumsi obat antidiabetik lain. Dosis
repaglinid ditingkatkan pada tiga pasien di kelompok kontrol karena kontrol glikemik yang
buruk. Durasi mengidap diabetes juga secara bermakna berkaitan dengan durasi hemodialisis.

3.2. Kontrol Glikemik

Gambar 1. menunjukan perubahan variasi glikemik selama 24 minggu pemeriksaan. GA


(%) menurun secara bermakna dari 23.7±2.9 menjadi 20.3±2.0 pada minggu ke 24 di kelompok
saxagliptin (P<0.0001) tetapi tetap tidak berubah pada kelompok kontrol dengan nila 23.6±2.7
dan 23.6±3.1 pada minggu ke 24. Kadar GA menurun secara bermakna pada setiap kunjungan
pada kelompok saxagliptin dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dua puluh dua pasien pada
kelompok saxagliptin memiliki nilai GA <20% pada akhir terapi. Rerata GA , HbA1c dan PPG
semuanya menurun secara bermakna di kelompok saxagliptin (masing-masing -3.4%,-0.6% [-7
mmol/mol], dan -38.3 mg/dL, seluruh P < 0.0001), namun tidak pada kelompok kontrol (masing-
masing 0%,-0.1% [- 1 mmol/mol], dan -3.7 mg/dL,) (P < 0.0001, P < 0.001, dan P < 0.0001).
Gambar 1. – GA (A), HbA1c (B), dan PPG (C) pada setiap kunjungan. Hasil ditampilkan sebagai
rerata±SD. Lingkaran hitam, kelompok saxagliptin; lingkaran abu-abu, kelompok kontrol. *P <
0.01 dan ***P < 0.0001 vs. minggu 0. †P < 0.01, ††P < 0.001, dan †††P < 0.0001 vs. kelompok
kontrol. GA, albumin glikasi; HbA1c, hemoglobin A1c; PPG, kadar gula darah post prandial.

3.3. Kemanjuran pada Subkelompok Pasien

Kemanjuran dari saxagliptin juga dinilai pada subkelompok pasien yang dibagi
berdasarkan usia, BMI, dan regimen terapi. Hasil yang ditampilkan pada tabel 2, merupakan
perbaikan nilai GA HbA1c, dan PPG yang dibandingkan antara subkelompok yang dibagi
berdasarkan usia (<70 vs. ≥ 70 tahun) dan BMI (<23 vs ≥ 23kg/m2).

Ketika pasien dibagi menjadi subkelompok monoterapi saxagliptin (n=13) dan


subkelompok terapi kombinasi (saxagliptin ditambah OHO dan/atau insulin) (n=28), kami
menemukan tidak adanya perbedaan bermakna pada distribusi jenis kelamin, usia atau BMI
diantara keuda subkelompok ini. Terutama pada penurunan GA yang secara bermakna lebih
besar pada subkelompok monoterapi daripada subkelompok terapi kombinasi (-4.2% vs. -3.0%,
P = 0.012) meskipun nilai dasar nya sama (24.5% vs. 23.3%). Penurunan kadar HbA1c secara
angka lebih besar pada subkelompok monoterapi (-0.8% vs. -0.55%), walaupun tidak bermakna
(P=0.053). Sedangkan penurunan PPG dibandingkan dengan kedua subkelompok (-41 vs. -37
mg/dL, P = 0.539).

Kami juga mengkalkulasi penurunan GA, HbA1c, dan PPG pada subkelompok pasien
yang mendapat terapi saxagliptin dibagi berdasarkan nilai median dari masing-masing variabel
(23.85 untuk GA, 6.6% untuk HbA1c dan 180 mg/dL untuk PPG) (gambar 2). Sesuai yang
ditampilkan pada gambar ini, penurunan pada masing-masing variabel dari baseline sampai
minggu ke 24 sangat bermakna pada pasien dengan nilai yang melebihi batas median.

3.4. Tanda Vital dan Variabel Laboratorium

Tabel 3 meninjukan tanda vital dan variabel laboratorium pada kedua kelompok
penelitian. Dengan catatan, penurunan yang bermakna pada ERI terlihat pada kelompok
saxagliptin. Dan juga, saxagliptin berhubungan dengan penurunan bermakna pada kadar
trigliserid, yang mana mungkin merupakan efek sekunder dari efek menurunkan glukosanya.

3.5. Keamanan

Tidak ada pasien yang menunjukan efek samping yang merugikan seperti hipoglikemik
simptomatik atau disfungsi liver. Saxigliptin merupakan obat yang sangat baik toleransinya, dan
obat ini tidak mengganggu pasien. Meskipun salah satu pasien pada kelompok saxagliptin masuk
rumah sakit karena pneumonia, hal ini tidak berhubungan dengan terapi saxagliptin.

4. DISKUSI

Temuan kunci pada penelitian ini adalah saxagliptin secara bermakna meningkatkan
kontrol glikemik dalam hal GA, HbA1c, dan PPG ketika dijadikan menjadi terapi utama pada
pasien jepang dengan diabetes tipe 2 yang menjalani hemodialisis. Selain itu, saxagliptin juga
sangat ditoleransi dan tidak menyebabkan perubahan tanda vital atau variabel laboratorium.

Penelitian Jepang terdahulu menunjukan bahwa kelas obat lainnya termasuk inhibitor α-
glukosidase (misalnya voglibose) dan glinid (misalnya mitiglinid), meningkatkan kontrol
glikemik dan diikuti dengan resiko rendah terjadi hipoglikemik pada pasien yang menjalani
hemodialisis. Namun, KDOQI saat ini merekomendasikan bahwa diduga inhibitor α-glukosidase
akarbose dan miglitol harus dihindari pada pasien dengan GFR masing-masing <30 dan
<25ml/menit/1.73m2 dan glinid repaglinid dan nateglinid harus digunakan dengan perhatian
khusus pada pasien dengan GFR <30ml/menit/1.73m 2. Guideline KDOQI terbaru juga
menyebutkan bahwa harus menghindari pemberian metformin dan beberapa golongan
sulfonilurea, dan menyatakan juga bahwa dosis inhibitor DPP-4 harus dikurangi. Dengan
tambahan, guideline ini menyebutkan untuk menambahkan pemberian saxagliptin pada dosis
rendah (2.5 mg/hari) pada pasien dengan GFR ≤ 50 ml/min/1.73m 2. Namun, rekomendasi ini
berdasarkan penelitian barat dan untuk pasien dengan CKD stadium 3-5, tidak harus pada
stadium akhir atau sedang menjalani dialisi. Dan juga, diperlukan penelitian lanjutan mengenai
keamanan obat-obat ini pada pasien Jepang.

Beberapa inhibitor DPP-4 telah disetujui di Jepang, dan penelitian sebelumnya telah
melakukan penelitian tentang kemanjuran dan keamanan obat alogliptin, teneligliptin dan
vildagliptin pada pasien jepang yang menjalani hemodialisis. Penelitian-penelitian tersebut
menunjukan perbaikan yang bermakna dalam kontrol glikemik tanpa meningkatkan resiko
hipoglikemia.
Gambar 2. Perubahan nilai GA, HbA1c, PPG dari baseline hingga titik akhir pada pasien dengan
terapi saxagliptin berdasarkan pada baseline GA (A), HbA1c (B), dan PPG (C). Hasilnya
ditunjukan sebagai rerata ± deviasi standar. GA, albumin glikasi; HbA1c, hemoglobin A1c; PPG,
kadar glukosa postprandial.
Penelitian terbaru dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran dan keamanan dari
saxagliptin pada pasien hemodialisis, dan karenanya ternyata saxagliptin memiliki property yang
serupa dengan alogliptin, tenegliptin dan vildagliptin. Dengan catatan, kami menemukan bahwa
saxagliptin secara bermakna dapat menurunkan variabel glikemik pada GA, HbA1c, dan PPG
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, saxagliptin berhubungan dengan penurunan
secara bermakna terhadap kadar trgliserid, yang mana mungkin efek sekunder dari efek
menurunkan kadar gula. Penurunan kadar trigliserid juga dilaporkan pada penelitian vildagliptin
namun tidak pada penelitian lainnya.

Nowicki dkk menguji kemanjuran dan keamanan saxagliptin pada penelitian kohort
heterogen terhadap pasien dengan gangguan renal (sedang, berat, atau stadium akhir penyakit
ginjal yang menjalani dialisis) pada percobaan fase III. Namun, hanya 19 dan 20 pasien yang
menjalani hemodialisis masing-masing masuk kedalam randomisasi saxagliptin dan placebo,
yang mana 10 dan 13 pasien dari pasien pada masing- masing kelompok menyelesaikan 12
minggu terapi dan 6 dan 9 pasien menyelesaikan 52 minggu terapi. Kemudian mereka menilai
kontrol glikemik dengan menilai HbA1c bukan GA. Untuk alasan tersebut, penelitian tambahan
dibutuhkan untuk menyediakan pengetahuan yang lebih baik terkait kemanjuran dan keamanan
saxagliptin pada pasien yang menjalani hemodialisis. Sementara itu, Nakamura dkk melaporkan
bahwa inhibitor DPP4 menurunkan angka HbA1c dan GA sebanyak masing-masing 0.3%-1.3%
dan 1.7%-4.9% pada pasien hemodialisis. Namun, laporan tersebut hanya disebutkan pada satu
penelitian saxagliptin, yaitu penelitian oleh Nowicki dkk. Efek dari saxagliptin terhadap GA
tidak dilaporkan. Maka dari itu penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengevaluasi
kemanjuran saxagliptin terhadap perubahan baik HbA1c maupun GA pada pasien yang
menjalani hemodialisis.

Penelitian ini juga menunjukan bahwa saxagliptin efektif pada subkelompok pasien yang
dibagi berdasarkan karakteristik, terapi kombinasi, dan status gikemik. Menariknya, meskipun
begitu, kemanjuran saxagliptin dalam hal menurunkan angka GA secara bermakna lebih baik
pada pasien yang menjalani terapi tunggal saxagliptin dibandingkan dengan pasien yang
mendapat terapi kombinasi saxagliptin dengan OHO lainnya.

Pada penelitian ini, 28.0% pasien mendapat terapi diet tunggal dan 21.9% mendapat resep
insulin dengan atau tanpa obat antidiabetik oral. Pada penelitian sebelumnya, terapi diet tunggal
sebanyak 30%, 50%, 40% dan yang mendapat terapi insulin 0%, 0%, 26.6%. Proporsi pasien
yang menjalani terapi diet tunggal dapat dijelaskan dengan adanya fakta bahwa pada beberapa
pusat terapi, kontrol glikemik pada pasien yang menjalani hemodialisis hanya dinilai HbA1c nya
saja dan agen antidiabetik tidak rutin diresepkan jika nilai HbA1c nya < 7.0%. Anemia renal,
ESA, dan kehilangan darah selama hemodialisis mungkin dapat menurunkan nilai HbA1c tanpa
menurunkan nilai GA. Maka dari itu, proporsi pasien yang menjalani terapi diet tunggal menjadi
lebih tinggi dari yang dilakukan pada penelitian kami dan penelitian sebelumnya, dan akan lebih
banyak pasien yang akan mendapat terapi obat antidiabetik jika kontrol glikemik dinilai dengan
GA bukan HbA1c.

Berdasarkan variabel laboratorium dan pengamatan efek samping pada penelitian ini,
saxagliptin tidak menunjukan adanya perhatian khusus. Pada penelitian ini, 21.9% pasien
mendapatkan resep insulin dengan atau tanpa obat antidiabetik oral, dan 28% mendapat terapi
diet tunggal. Selain itu, sulfonilurea menjadi kontraindikasi pada pasien hemodialisis di Jepang.
Hal ini memungkinkan bahwa rendahnya penggunaan insulin dan larangan penggunaan
sulfonilurea berkontribusi pada rendahnya kejadian efek samping buruk (khususnya hipoglikemi)
pada penelitian ini. Namun, terdapat penurunan pada dosis ESA, ERI dan kenaikan berat badan
saat dilakukan hemodialisis pada kelompok saxagliptin dibandingkan dengan kelompok kontrol
pada penelitian kami. Penurunan kecil pada kenaikan berat badan saat dilakukan dialisis ini juga
diamati pada penelitian dengan vildagliptin. Sebagai pengetahuan kita, ini merupakan kali
pertama yang menunjukan bahwa inhibitor DPP-4 memiliki efek anti inflamasi dan
meningkatkan fungsi sumsum tulang, yang mana dapat berkontribusi dalam menurunkan ERI
dan dosis ESA pada kelompok saxagliptin. Penurunan ERI mungkin relevan secara klinis karena
memungkinkan untuk menurunkan dosis ESA dalam jangka panjang, hal itu menurunkan
paparan dan biaya terapi, dan meningkatkan efektivitas biaya seiring dengan mempertahankan
target nilai hemoglobin pada psien yang menjalani hemodialisis. Namun, kemungkinan ini
membutuhkan pemeriksaan tambahan selanjutnya.

Tidak seperti obat golongan inhibitor PP-4 lainnya, saxagliptin secara cepat diekskresi
melalui jalur ekskresi hepatik dan renal. Sekitar 25% dari dosis akan dikeluarkan melalui renal
dan sekitar 22% melalui feses. Konsekuensinya, kerusakan ginjal meningkatkan bioavailabilitas
total saxagliptin dengan meningkatkan area dibawah kurva konsentrasi-waktu 16%,41% dan
108% masing-masing pada gangguan fungsi renal ringan, sedang, dan berat, dibandingkan
dengan fungsi renal normal. Maka dari itu, dosis saxagliptin harus disesuaikan dengan fungsi
renal pasien. Sedangkan, linagliptin menunjukan lebih rendah tingkat eliminasi pada renal maka
penyesuaian dosis tidak dibutuhkan untuk pasien dengan gangguan fungsi renal. Meskipun
berdasarkan profil eliminasi renal beranggapan bahwa linagliptin merupakan agen ideal untuk
pasien yang menjalani dialisis, percobaan kontrol randomisasi belum dilakukan dengan masalah
ini.

Terdapat keterbatasan dalam penelitian ini. Khususnya kerena pada penelitian ini hanya
dilakukan di empat pusat, sehingga mungkin tidak mencerminkan manajemen klinis pasien
hemodialisis pada pasien diseluruh jepang. Selain itu, hasilya mungkin tidak dapat
digeneralisasikan pada non-jepang pasien. Karena percobaan ini tidak memiliki rancangan
double-blind, tidak adanya penyembunyian dapat menyebabkan bias. Akhirnya, penelitian ini
tidak cukup kuat untuk analisis subkelompok, maka penelitian yang lebih besar mungkin
dibutuhkan untuk menilai kemanjuran saxagliptin pada subkelompok ini. Sebagai kesimpulan,
penelitian ini menunjukan bahwa saxagliptin pada dosis 2.5 mg/hari efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik jika digunakan sebagai terapi tunggal atau dengan kombinasi obat antidiabetik lain
pada pasien jepang dengan diabetes tipe 2 yang menjalani hemodialisis. Penelitian jangka
panjang dibutuhkan untuk mengkonfirmasi kemanjuran dan kemanan jangka panjang dari
saxagliptin pada pasien ini.

Anda mungkin juga menyukai