Anda di halaman 1dari 15

De Quervain Thyroiditis dan Covid-19: Suatu Serial Kasus

Pendahuluan
Tiroiditis subakut (SAT) adalah penyakit kelenjar tiroid yang bisa sembuh sendiri yang
ditandai dengan peradangan kelenjar tiroid akut akibat infeksi virus. Tiroiditis subakut biasanya
terjadi 2 - 8 minggu setelah terjadinya infeksi saluran pernapasan akibat virus. Nyeri kelenjar
tiroid umumnya merupakan gejala yang berkembang tiba-tiba atau terkadang menjadi lebih jelas.
Kelenjar tiroid menjadi besar, nyeri, dan lunak. Hal ini juga sering dikaitkan dengan gejala asal
virus, seperti demam subfebrile, mialgia, artralgia, kelemahan, dan sakit tenggorokan.1
Di penghujung tahun 2019, muncul virus baru di Wuhan, China, yang dengan cepat
menyebar ke seluruh negeri bahkan hingga ke negara lain di seluruh dunia, menyebabkan
pandemi. Pada Februari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO menamai penyebab penyakit
tersebut sebagai sindrom pernafasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan penyakit itu sendiri
sebagai penyakit coronavirus 2019 (COVID-19).1
Tiroiditis subakut dapat berkembang sebagai akibat dari infeksi virus atau respons
postviral. Kemungkinan terjadinya tiroiditis subakut setelah infeksi saluran pernapasan bagian
atas meningkat sejak adanya wabah COVID-19. Beberapa penelitian telah melaporkan kejadian
tiroiditis subakut setelah wabah virus. Penelitian lain juga melaporkan bahwa virus H1N1, pada
pandemi 2009, telah menyebabkan tiroiditis subakut. Saat ini, penelitian juga melaporkan
kejadian tiroiditis subakut setelah infeksi SARS-CoV-2 diberbagai tempat. Oleh karena itu,
klinisi harus memperhatikan perkembangan tiroiditis subakut pasca COVID-19.1 
Tujuan dari penulis adalah untuk menggambarkan kasus tambahan SAT yang terkait
dengan infeksi SARS-CoV-2 untuk mengingatkan para dokter bahwa SAT mungkin merupakan
manifestasi dari infeksi SARS-CoV-2.
Pasien 1
Wanita, 36 tahun mengeluh nyeri dibagian leher yang menjalar ke bagian rahang, dan
demam (38,5oC) selama 4 hari. Nyeri di bagian leher yang disertai dengan nyeri tekan di bagian
leher yang didapat dari pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis 22.000x103/mm3 kadar serum FT4 2,4 ng/dL (meningkat) dan kadar serum TSHS
1,1 µIU/mL (dalam batas normal), LED 68 cm/jam.  USG leher menunjukkan kelenjar tiroid
dengan struma difus bilateral, hypoechoic dan tidak ada vaskularisasi pada color Doppler. Pasien
terkonfirmasi positif covid-19. Didiagnosis dengan SAT dan diberi terapi prednison 40 mg/hari.
Pada evaluasi 2 minggu kemudian pasien tidak menunjukkan gejala dan tes fungsi tiroid berada
dalam kisaran normal.

Pasien 2
Wanita usia 62 tahun, datang dengan keluhan demam dalam 3 hari terakhir, nyeri di bagian leher
yang disertai dengan nyeri tekan, fatigue, berdebar, sering berkeringat dalam jumlah lebih
banyak dari biasanya, fungsi tiroid FT4 2,1 ng/dL, LED: 80 cm/jam, memiliki riwayat penyakit
DM dalam 10 tahun terakhir yang terkontrol baik dengan obat oral. USG tiroid didapatkan area
hipoechoic difus. Saat dilakukan pemeriksaan, pasien sedang menjalani isolasi mandiri di rumah
1 minggu terakhir dan sedang menunggu hasil pemeriksaan swab nasofaring untuk konfirmasi
covid-19. Pasien ini diberikan terapi ibuprofen 3x400mg. Setelah 1,5 bulan tatalaksana, keluhan
dan fungsi tiroid kembali normal.

Pasien 3

Wanita usia 40 tahun mengeluh nyeri leher ringan yang disertai dengan nyeri tekan, demam
dalam 5 hari terakhir, lemas dan tidak nafsu makan, pasien menjalani tes rapid untuk covid-19
dengan hasil reaktif. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dan didapatkan kadar FT4
serum meningkat sebesar 1,9 ng/dL, LED 68 cm/jam, dengan leukositosis sebesar 15.000. Hasil
pemeriksaan usg tiroid didapatkan gambaran area hipoechoic dengan minimal vaskularisasi.
Pasien diberikan terapi ibuprofen 3x400 mg/hari kemudian pasien menunjukkan klinis yang baik
disertai dengan fungsi tiroid kembali normal.

Pasien 4

Wanita usia 32 tahun, berprofesi sebagai tenaga kesehatan, mengeluh nyeri ringan di bagian
leher yang timbul 1 minggu terakhir disertai dengan nyeri tekan, demam 1 minggu, Nyeri seluruh
badan, lemas, dan tidak nafsu makan. Pasien terkonfirmasi Covid-19 sejak bulan September
2020. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium dan usg leher. Didapatkan hasil
fungsi tiroid serum FT4 3,0 ng/dL, leukosit: 17.000 x10 3/mm3, LED: 80 cm/jam, usg tiroid
didapatkan gambaran hipoechoic segmental kanan dengan minimal vaskularisasi. Pasien
diberikan terapi ibuprofen 3x400mg/hari namun setelah 5 hari konsumsi obat pasien mengeluh
nyeri semakin berat di bagian leher. Dokter memutuskan untuk mengganti terapi pengobatan
dengan prednisone 40mg/hari dan ibuprofen dihentikan penggunaannya sementara waktu. Bulan
berikutnya kondisi klinis membaik dan fungsi tiroid kembali dalam batas normal.

Pasien 5

Pasien wanita, usia 34 tahun yang berprofesi sebagai seorang tenaga kesehatan, mengeluh nyeri
ringan di bagian leher yang disertai dengan nyeri tekan. Demam 1 minggu terakhir. Pasien sudah
terkonfirmasi positif covid-19 sejak September 2020. Hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis 20.000x103/mm3 , LED: 65 cm/jam, dan kadar FT4 serum1,7 ng/dL, usg
leher didapatkan gambaran hipoechoic segmental kiri dengan minimal vaskularisasi. Pasien
diberikan terapi ibuprofen 3x400mg/hari namun di hari ketiga mengeluh nyeri di leher semakin
berat. Kemudian terapi pengobatan diganti dengan prednisone 40mg/hari dan dilakukan follow
up di bulan berikutnya dengan hasil fungsi tiroid kembali normal dan keluhan klinis membaik.

Pasien 6

Wanita usia 38 tahun, seorang tenaga kesehatan, mengeluh nyeri di bagian leher disertai nyeri
tekan, demam 5 hari, berdebar. Pasien mengaku sudah terkonfirmasi positif covid-19 sejak bulan
Juli 2020. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan hasil leukositosis 17.000
x103/mm3, LED: 87 cm/jam, dan fungsi tiroid FT4 serum meningkat menjadi 2,8 ng/dL, TSHS:
0,2 µIU/mL Pemeriksaan usg Doppler di leher menunjukkan gambaran hipoechoic difus bilateral
dengan minimal vaskularisasi. Pasien diberikan terapi prednisone 40mg/hari dan ibuprofen
3x400mg, menunjukkan hasil yang baik di awal pengobatan. Namun pada minggu ketiga, pasien
datang dengan keluhan timbul gelembung-gelembung air yang mudah pecah dan kulit terkelupas
akibat alergi ibuprofen. Pasien dikonsultasi ke bagian kulit untuk mendapatkan terapi tambahan.
Ibuprofen dihentikan pemakaiannya dan prednisone diteruskan seperti biasa. Pada bulan kedua
kondisi klinis pasien membaik disertai hasil laboratorium fungsi tiroid kembali normal.

Pasien 7

Wanita usia 37 tahun, datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari lalu,
demam sejak 4 hari lalu, berdebar, tidak ada keluhan batuk, tidak ada nyeri di bagian leher,
penurunan berat badan sebanyak 20kg dalam 5 minggu terakhir. Leukosit: 11.000 x10 3/mm3,
Neutrofil limfosit ratio (NLR): 7,9, LED: 85 cm/jam, fungsi tiroid FT4: 23,71 pmol/l, TSHS:
0,021 µIU/mL. USG tiroid dalam batas normal, CT scan thorax: Proses metastase. Pasien sudah
dilakukan swab PCR dengan hasil negatif namun dari hasil rontgen thorax menunjukkan
gambaran pneumonia interstitial dd TB milier sehingga pasien masih dicurigai menderita covid-
19. Pasien diterapi dengan propanolol 2x10 mg selama masa rawatan.
No. Jenis umur Keadaan Status covid Hasil lab USG tiroid Terapi outcome
kelamin klinis
pertama
1 Perempuan 36th konfirmasi Prednison 40
mg/hari
2 Perempuan 62th Probable Ibuprofen 2x400mg
3 Perempuan 40th Nyeri leher Konfirmasi FT4: 2,5 ng/dL, hipoechoic Ibuperofen 2x400 1 bulan kemudian
ringan, nyeri LED: 95 cm/jam, dengan minimal mg/hari respons pengobatan
tekan, leukosit: 15..000 baik
demam,
vaskularisasi
x103/mm3
lemas, dan
tidak nafsu
makan
4 Perempuan, 32 th Nyeri ringan konfirmasi FT4: 3,0 ng/dL, hipoechoic Ibuprofen 1 bulan kemudian
di leher, nyeri LED: 80 cm/jam, segmental kanan 2x400mg/hari respons pengobatan
tekan, Leukosit: 14.000 nyeri makin berat, baik, fungsi tiroid
dengan minimal
demam, x103/mm3 ganti dengan normal
fatigue, vaskularisasi prednisone
Lemas, dan 40mg/hari
tidak nafsu
makan
5 Perempuan 34 th Nyeri ringan Konfirmasi FT4: 2,5 ng/dL, hipoechoic Ibuprofen 2x400 1 bulan setelah terapi
di leher, nyeri LED: 80, segmental kiri mgnyeri makin respon baik, fungsi
tekan, Leukosit: 20.000 berat, ganti dengan tiroid normal, gejala
demam,
dan kanan dengan prednisone klinis hilang
minimal 40mg/hari
vaskularisasi

6 Perempuan Nyeri di Konfirmasi FT4: 3,4 ng/dL, hipoechoic difus Prednisone dan Alergi ibuprofen
leher, nyeri LED: 87, bilateral dengan ibuprofen stop, prednisone
tekan, Leukosit: 17.000 lanjut 2 bulan
berdebar,
minimal kemudian respons
penurunan vaskularisasi baik
BB
7 Perempuan, 37th Nyeri berat di Konfirmasi FT4: 3,0 ng/dL, Hipoechoic difus Prednisone Fungsi tiroid normal
leher, nyeri LED: 75, bilateral, minimal 40mg/hari dan gejala klinis
tekan, demam Leukosit: 15.000 vaskularisasi membaik setelah
pengobatan 2 minggu
Pembahasan
Secara umum, tiroiditis diartikan sebagai peradangan pada kelenjar tiroid. Ada beberapa jenis tiroiditis yang dapat dikaitkan
dengan peningkatan, penurunan, atau fungsi tiroid yang masih normal. Penyakit tiroiditis ini dapat diklasifikasikan berdasarkan nyeri
atau tidak ada nyeri, tergantung etiologinya. Yang membedakan tergantung pada manifestasi klinis, riwayat medis dan keluarga,
seberapa cepat gejala berkembang, dan yang paling penting, ada atau tidaknya nyeri pada leher.2
Subakut Thyroiditis adalah proses inflamasi yang dapat sembuh sendiri yang berasal dari virus atau postviral, ditandai dengan
gejala umum, nyeri leher, dan disfungsi tiroid, yang biasanya tidak diikuti oleh gejala sisa autoimun (5-7 hari). Meskipun korelasi
langsung dengan penyakit virus jarang dibuktikan, etiologi virus didukung oleh awitan Subakut Thyroiditis setelah infeksi saluran
pernapasan atas dan kejadiannya selama wabah virus. 3Penelitian yang dilakukan oleh Fatma Aybala Altay pada tahun 2016
menemukan terjadinya subakut thyroiditis setelah pemberian vaksin influenza dan hepatitis B. Pasien menerima vaksin influenza dan
tidak lama kemudian muncul sindrom mirip flu yang berkembang dan diikuti oleh episode kedua Subakut Thyroiditis. Karena tidak
ada bukti infeksi baru, sebelum episode kedua Subakut Thyroiditis dan karena temuan klinis terjadi segera setelah vaksinasi flu,
diduga episode kedua Subakut Thyroiditis secara langsung berkaitan dengan vaksin flu atau bahwa kekambuhan Subakut Thyroiditis
diperparah oleh vaksinasi influenza, tetapi metode yang lebih tepat diperlukan untuk menentukan kemungkinan ini.4
SARS-COV-2 adalah agen patogen, milik keluarga virus corona, yang bertanggung jawab atas pandemi dunia global saat ini.
Gambaran klinis penyakit COVID-19 sebagian mirip dengan yang dilaporkan sebelumnya pada infeksi virus corona lainnya (yaitu
SARS dan MERS). Secara khusus, gejalanya terkait pneumonia, sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), sepsis, dan kegagalan
multi organ adalah manifestasi khas penyakit COVID-19 yang parah. Sayangnya, saat ini tidak ada terapi yang disetujui untuk
pengobatan COVID-19. Oleh karena itu, para ilmuwan berusaha keras untuk menjelaskan SARSCOV-2 untuk mengembangkan
kemungkinan strategi terapeutik yang efektif sambil menunggu pengembangan vaksin.5
Bukti hubungan erat antara penyakit SARS-CoV-2 dan Subakut Thyroiditis pada 4 dari 10 pasien, meskipun perkiraan paparan
SARS-CoV-2 kurang dari 1% pada populasi, anggapan yang sangat mendukung bahwa SARS-CoV-2 dapat dianggap bertanggung
jawab atas terjadinya Subakut Thyroiditis. Brancatella,A, dkk dalam penelitiannya melaporkan bahwa terdapat 3 kasus Subakut
Thyroiditis pada pasien yang melakukan isolasi terkait SARS-CoV-2, 2 kasus terjadi bersamaan dengan dilakukannya tes COVID-19
dan 1 kasus terjadi pada 6 minggu setelah terdiagnosis COVID-19 . Selain itu, penelitian lain telah melaporkan tingginya tingkat
tiroiditis destruktif "subakut" di antara pasien yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19 berat. Beberapa diantara pasien
mengalami Subakut Thyroiditis setelah gejala khas infeksi SARS-CoV-2 sembuh. Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa Subakut
Thyroiditis dapat terjadi sebagai manifestasi virus atau infeksi SARS-CoV-2 postviral. Menariknya, keterlibatan tiroid selama
COVID-19 didukung oleh laporan bahwa reseptor virus (ACE-2) sangat banyak ditemukan di kelenjar tiroid.3
Etiologi
Etiologi dan patogenesis tiroiditis subakut belum sepenuhnya dipahami, tetapi ada pendapat umum yang mengatakan bahwa
penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus atau reaksi inflamasi postviral pada individu yang memiliki kecenderungan genetik.
Beberapa haplotipe antigen leukosit manusia (HLA) (terutama HLA-Bw35, tetapi juga HLAB67, HLA-B15 / 62, dan HLA-Drw8)
telah dilaporkan menjadi predisposisi SAT.6
Tiroiditis De Quervain adalah penyebab paling umum dari nyeri tiroid / leher dan biasanya terjadi beberapa minggu (2-8
minggu) setelah infeksi virus dan dapat berkembang terutama karena virus gondongan, campak, coxsackie, influenza, virus
EpsteinBarr, virus human immunodeficiency, dan adenovirus. Musim panas dan transisi musiman mendukung etiologi
virus.1,2,4,7Virus-virus lain yang terlibat dalam tiroiditis subakut terkadang jugaditemukan di jaringan tiroid dan otopsi yang dilakukan
saat wabah SARS pada tahun 2002-2003 menemukan kerusakan luas pada epitel tiroid folikuler, yang merupakan gambaran
histopatologis dari tiroiditis destruktif.8Kemungkinan lokalisasi SARS-CoV-2 di folikel tiroid bisa saja terjadi karena penelitian
sebelumnya menunjukkan adanya beberapa partikel mirip virus di epitel folikel pasien dengan tiroiditis subakut. Selain itu, kelenjar
ini sangat berdekatan dengan struktur saluran napas superior, yang sebelumnya juga diserang oleh virus ini.9

Epidemiologi
Insiden thyroiditis subakut adalah 12,1 kasus per 100.000 / tahun, dan lebih sering terjadi pada wanita muda jika dibandingkan
dengan pria (masing-masing 19,1 vs 4,1 per 100.000 / tahun). 10Penyakit ini menyerang wanita hampir empat kali lebih sering daripada
pria dan biasanya terjadi antara usia 18 dan 60 tahun. Ini juga tampaknya musiman, karena kebanyakan kasus terjadi di musim panas
dan musim gugur.2,7

Patogenesis
SARS-CoV-2 berikatan dengan sel inang melalui glikoprotein yang berbentuk duri yang terdapat pada amplop virus dengan
reseptor ACE-2 yang berada pada organ sel inang seperti paru-paru, jantung, dan jaringan endokrin seperti kelenjar adrenal, hipofisis,
pancreas, dan tiroid.11Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SARS-COV-2, mirip dengan SARS-COV dan NL63 / HCoV-NL63
yang menggunakan ACE-2 sebagai reseptor masuk ke dalam sel. ACE-2 adalah tipe I transmembran metallo-carboxypeptidase yang
terlibat dalam jalur Renin-Angiotensin yang ditargetkan untuk pengobatan hipertensi. ACE-2 memetakan ke kromosom Xp22,
mencakup 39,98 kb DNA genom, dan mengandung 20 intron dan 18 ekson. ACE-2 terutama terletak di daerah ekstraseluler (membran
sel) atau disekresikan. SARS-CoV-2 terdeteksi di berbagai jaringan manusia seperti sistem pernapasan, kardiovaskular, pencernaan,
kemih dan reproduksi. Infeksi SARS-CoV-2 bergantung pada keberadaan reseptor sel inang ACE-2. Selain itu, juga ditemukan bahwa
pengobatan dengan antibodi antiACE-2dapat mencegah masuknya sel SARS-COV-2. Berdasarkan temuan ini, dan bukti bahwa ACE-
2 diekspresikan oleh beberapa jaringan, dihipotesiskan bahwa SARS-COV-2 tidak hanya akan menginfeksi sel saluran pernapasan,
target utama penyakit COVID-19, tetapi juga jaringan lain yaitu sel yang mengekspresikan ACE-2. 5Infeksi SARS-CoV-2 dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan tiroid. Kerusakan yang terjadi apakah dipicu oleh efek citopatik yang kemungkinan
berhubungan dengan replikasi virus lokal ataukah dari respon system imun belum diketahui secara pasti dan harus dievaluasi lebih
jauh.11
Kemungkinan SARS-CoV-2 dapat menginfeksi sel tiroid berasal dari gagasan bahwa ditemukan partikel mirip virus di epitel
folikuler pasien dengan tiroiditis subakut (SAT) pada beberapa laporan kasus subakut thyroiditis terkait dengan SARS-CoV-2. Letak
anatomi tiroid yang bersebelahan dengan saluran udara bagian atas, tempat masuk utama virus korona, semakin mendukung hipotesis
bahwa tiroid dapat menjadi sasaran SARS-CoV-2. Fakta yang dilaporkan sebelumnya bahwa sejumlah besar pasien dengan Sindrom
Pernafasan Akut pada SARS-CoV-2 menunjukkan kelainan fungsi tiroid dan gangguan arsitektur folikel. Dari sudut pandang
manifestasi klinis, beberapa pasien COVID-19 mengeluh sakit telinga (gejala klasik subakut thyroiditis) semakin mendukung
hipotesis bahwa SARSCoV-2 dapat menginfeksi tiroid, sehingga menghasilkan peradangan subakut.5
Penelitian lain juga mengidentifikasi keberadaan ACE-2 di beberapa jaringan manusia termasuk tiroid. mRNA ACE2 ditemukan
diekspresikan dalam spermatogonia, serta sel Leydig dan Sertoli, sehingga menunjukkan bahwa testis berpotensi rentan terhadap
infeksi SARS-CoV-2. SARS-Cov-2 dapat menginfeksi ovarium, rahim, vagina dan plasenta melalui ekspresi reseptor ACE-2 di mana-
mana. Ekspresi ACE-2 juga ditunjukkan pada sel endotel dari pembuluh arteri dan vena. Sel-sel endotel cenderung terkena infeksi
SARS-CoV-2, dengan perkembangan selanjutnya menjadi endotelitis, kerusakan sel endotel, vaskulitis sistemik dan koagulasi
intravaskular diseminata.5
Analisis RT-PCR menunjukkan bahwa ACE-2 mRNA diekspresikan pada tingkat yang konsisten dalam spesimen dan sel
jaringan tiroid. Temuan ini sejalan dengan data dari studi in silico sebelumnya. Deteksi pengkodean mRNA untuk ACE-2 di jaringan
tiroid pasti merupakan temuan yang relevan. Namun, studi imunohistokimia akan diperlukan untuk memastikan bahwa protein ACE-2
terdapat pada sel tiroid. Tingkat ekspresi ACE-2 mRNA di tiroid, lebih rendah daripada di paru-paru, usus kecil dan usus besar, dan
lebih tinggi daripada di payudara, hati dan otot rangka. Penelitian lebih lanjut, yang dirancang khusus untuk membandingkan ekspresi
relatif mRNA ACE-2 di jaringan manusia yang berbeda, akan diperlukan untuk lebih memperjelas masalah ini. Secara keseluruhan,
data yang dijelaskan di atas mendukung pandangan bahwa keberadaan reseptor virus berkorelasi dengan kerentanan terhadap infeksi
SARS-CoV-2 dan bahwa ekspresi reseptor di jaringan selain paru-paru dapat menjelaskan kegagalan multi-organ yang diamati pada
kasus yang parah.Ekspresi ACE-2 mRNA dengan dua transkrip yang berbeda seperti GAPDH dan β-aktin pada preparat bedah sel
tiroid dan sel primer kultur, mRNA ACE-2 ditemukan berlimpah dan, yang lebih penting, diekspresikan secara homogen oleh sel
tiroid. infeksi SARS-CoV-2 memerlukan reseptor ACE-2 untuk hidup berdampingan dengan membran trans protease serin tipe II
(TMPRSS2). Jaringan tiroid, tanpa perbedaan jenis kelamin, menunjukkan ekspresi TMPRSS2 mRNA yang tinggi. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa tiroid mungkin rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Menarik untuk diingat bahwa dampak tiroid juga
dijelaskan selama wabah SARS-CoV tahun 2002 dimana ekspresi ACE-2 terkait dengan agresi virus corona SARS di kelenjar
endokrin lainnya.5

Manifestasi klinis
Tiroiditis subakut sering terjadi beberapa minggu setelah infeksi virus pada saluran pernapasan bagian atas dan kemudian
mungkin merupakan komplikasi lanjut dari infeksi SARS-CoV-2.7,9Temuan klinis yang khas dari tiroiditis subakut adalah nyeri pada
kelenjar tiroid yang biasanya dimulai secara tiba-tiba yang semakin lama semakin berat. Nyeri dapat menjalar ke leher atau area
rahang pada kasus yang parah dan dapat memburuk dengan gerakan leher dan batuk. Demam, lemas, dan kelelahan juga bisa diamati
akibat peradangan dan hipertiroidisme ringan. Terutama pada awal periode tiroiditis subakut, jantung berdebar, berkeringat, dan
tremor dapat terjadi karena titer hormon tiroid yang tinggi dalam darah. Temuan ini biasanya hilang setelah 4 - 10 minggu, dan pasien
dapat mengalami hipotiroidisme asimtomatik.1,2

Penegakan Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan kombinasi manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, termasuk ada atau
tidaknya nyeri / nyeri leher, dan autoantibodi. Pemeriksaan fisik menyeluruh harus mencakup pemeriksaan HEENT lengkap (kepala,
mata, telinga, hidung, dan tenggorokan) untuk menyingkirkan penyebab lain dari nyeri leher. Secara klinis, kondisi ini ditandai dengan
tirotoksikosis dengan nyeri hebat pada aspek anterior leher. 2Tes umum yang biasa diakukam adalah pemeriksaan tiroid (termasuk
tiroksin bebas (T4) dan kadar hormon perangsang tiroid (TSH), laju sedimentasi eritrosit (ESR), dan protein C-reaktif diikuti dengan
tes lain sesuai kebutuhan berdasarkan tanda dan gejala pada pasien. Pasien dengan tiroiditis de Quervain akan sering mengalami
peningkatan kadar ESR dan CRP, bersama dengan leukositosis ringan. FT3 dan FT4 meningkat dan TSH menurun karena pelepasan
hormonal ke dalam sirkulasi dari kelenjar tiroid yang meradang. Kadar antitiroid peroksidase dan antibodi antitiroglobulin umumnya
normal. Karena pasien sering datang dengan demam, pemeriksaan septik biasanya dilakukan. Jika takikardia perlu dilakukan
pemeriksaan EKG dan pemeriksaan jantung lainnya.1,2Pemeriksaan radiologi meliputi radioiodine atau teknesium dan USG Doppler.
Studi radioiodine akan menunjukkan serapan rendah (kurang dari 1-3 persen) atau pola serapan radionuklida heterogen samar selama
fase hipertiroid. USG akan menunjukkan tiroid normal atau membesar tetapi biasanya, berbeda, atau secara fokal hipoekogenik, dan
sonografi Doppler warna akan menunjukkan aliran rendah.10
Pasien dengan penyakit ini melalui fase yang berbeda selama beberapa minggu sampai bulan. Awalnya, mereka akan menjadi
hipertiroid dan kemudian beralih ke fase eutiroid singkat. Ini diikuti oleh fase hipotiroid sebelum akhirnya kembali menjadi eutiroid.
Hipertiroidisme dalam hal ini disebabkan oleh sel-sel folikel yang diserang oleh limfosit T sitotoksik yang menyebabkan pelepasan
sejumlah besar T4 dan T3 ke dalam sirkulasi. Pasien akan tetap mengalami hipertiroid selama berminggu-minggu sampai simpanan
tiroid mereka berkurang. Nilai laboratorium selama periode ini kemungkinan besar akan mencerminkan hal yang sesuai, dengan
tingkat TSH yang rendah dan T4 bebas yang meningkat.1,2
Hipertiroidisme yang ditemukan di de Quervain dapat dibedakan dari penyakit Graves dengan kurangnya exophthalmos dan
miksedema pretibial. Ini biasanya tidak ditemukan pada tiroiditis de Quervain tetapi umum pada pasien dengan penyakit Graves. USG
tiroid dapat menunjukkan peningkatan vaskularisasi pada penyakit Graves. Penemuan ini tidak ada pada penyakit de Quervain.2

Tatalaksana
Perawatan untuk tiroiditis de Quervain cukup mudah, dengan perawatan anti-inflamasi menjadi kuncinya. Salisilat atau NSAID
dapat digunakan untuk pasien dengan penyakit ringan atau sedang. Untuk kasus yang lebih lanjut, kortikosteroid dapat dimulai dengan
dosis mulai dari 15 hingga 20 mg sehari, dikurangi selama 4 hingga 6 minggu. Biasanya gejala membaik dalam waktu 48 jam. 2 Pasien
yang mengalami gejala hipertiroidisme yang mengganggu seperti jantung berdebar, cemas, atau tremor dapat diberi beta blocker
seperti propranolol (40-120mg). Tionamida sebaiknya tidak digunakan.10Steroid, sekaligus dapat mengurangi rasa sakit yang terkait
dengan de Quervain, tidak serta merta mencegah disfungsi tiroid yang dapat terjadi selama perjalanan penyakit. Selain itu, dalam
beberapa kasus, pasien bahkan mungkin memerlukan levothyroxine jangka pendek (dimulai dan dipantau oleh penyedia layanan
primer mereka) selama fase hipotiroid.2

Prognosis
Tiroiditis De Quervain biasanya sembuh sendiri dengan keadaan pasien kembali eutiroid dalam beberapa bulan. Kekambuhan
jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada hingga 2% pasien. Hipotiroidisme juga bisa menjadi permanen dalam 5% kasus.2

Komplikasi
Tiroiditis subakut diketahui dapat menyebabkan badai tiroid dalam kasus yang jarang terjadi. 2SARS-CoV-2 diketahui memiliki
kemampuan menginduksi terjadinya ARDS, miokarditis, dan gagal ginjal. Komplikasi ini muncul karena induksi dari sel proinflamasi
yang telah mati yang mengakibatkan over reaksi dari sistem imun, yang biasa disebut dengan efek sitotoksik dari kelenjar tiroid. 11
Beberapa pasien COVID-19 mengeluh sakit telinga (gejala dari tiroiditis subakut) dan salah satu komplikasi kardiovaskular yang
paling umum terjadi adalah takiaritmia.9 Penelitian yang dilakukan oleh Alessandro, dkk dilaporkan pada salah satu pasien mengalami
atrium fibrilasi. Beberapa penelitian baru-baru ini menceritakan terjadinya insiden aritmia yang tinggi di antara pasien COVID-19,
meskipun komplikasi ini muncul terkait dengan badai sitokin yang khas dari perjalanan COVID-19 yang berat.3

Penutup
Peradangan pada sel tiroid berupa De Quervain Thyroiditis (Thyroiditis Subakut) dapat disebabkan oleh infeksi virus salah
satunya adalah SARS-CoV-2 yang saat ini sedang mewabah di seluruh dunia. Tanda dan gejala yang timbul terkadang bisa samar atau
bahkan tidak bergejala sama sekali namun akan mengalami perburukan beberapa waktu setelah periode penyembuhan COVID-19.
Seringkali penyakit ini menjadi underdiagnosis atau tidak terpikirkan sama sekali sehingga penanganannya menjadi kurang optimal,
padahal dengan terapi yang efektif dan tepat sasaran penyakit ini dapat sembuh sempurna dan jarang mengalami kekambuhan.
Daftar Pustaka
1. Guven, M. 2020. Subacute Thyroiditis in the Course of Coronavirus Disease 2019: A Case Report. J Endocrinol Metab.
2020;10(3-4):110-112.
2. Tabassom, A and Mary Ann Edens. 2020. De Quervain Thyroiditis. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526066/).
3. Brancatella, A, et al. 2020. Is Subacute Thyroiditis an Underestimated Manifestation of SARS-CoV-2 Infection? Insights From a
Case Series. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 2020, Vol. 105, No. 10, 1–5
4. Altay, F.A; et al. 2016. Subacute thyroiditis following seasonal influenza vaccination. HUMAN VACCINES &
IMMUNOTHERAPEUTICS 2016, VOL. 12, NO. 4, 1033–1034.
5. Rotondi, M, et al.Detection Of SARS-COV-2 Receptor ACE-2 Mrna In Thyroid Cells: A Clue For COVID-19-Related Subacute
Thyroiditis. Journal of Endocrinological Investigation. https://doi.org/10.1007/s40618-020-01436-w.
6. Brancatella, A, et al. 2020. Subacute Thyroiditis After Sars-COV-2 Infection. J Clin Endocrinol Metab, July 2020, 105(7):1–4.
7. Zeilberger, M.S, et al. 2020. Case Presentation: COVID-19 Associated Hyperthyroidism Due to Destructive Thytoxicosis in
Young Female Patient. ACEM: Annals of Clinical Endocrinology And Metabolism ISSN 2640-284x: 023-025.
8. Ippolito, S, et al. 2020. SARS-CoV-2: A Potential Trigger For Subacute Thyroiditis? Insights From A Case Report. Journal of
Endocrinological Investigation, https://doi.org/10.1007/s40618-020-01312-7
9. Bellastella, G, et al. 2020. Endocrine Complications Of COVID-19: What Happens To The Thyroid And Adrenal Glands?.
Journal of Endocrinological Investigation (2020) 43:1169–1170.
10. Barrera, E.C, et al. 2020. Case Report: Subacute Thyroiditis Associated with COVID-19. Hindawi Case Reports in
Endocrinology Volume 2020, Article ID 8891539, 4 pages https://doi.org/10.1155/2020/8891539.
11. Mattar, S.A.M, et al. 2020. Case report: Subacute thyroiditis associated with COVID-19. BMJ Case Rep 2020;13:e237336.
doi:10.1136/bcr-2020-23733.

Anda mungkin juga menyukai