Oleh karena itu, Amnesty mendesak negara agar segera dilakukan investigasi
menyeluruh, independen, transparan dan tidak berpihak atas penembakan tersebut.
Meski berstatus militer, pelaku harus diadili di bawah jurisdiksi peradilan umum
sesuai perintah Undang-undang TNI.
"Penyelesaian kasus ini tak cukup hanya disiplin internal maupun di sidang
pengadilan militer. Sebab tindakan pelaku bukan hanya pelanggaran disipliner, tetapi
merupakan tindak pidana dan pelanggaran HAM," ujar Usman.
Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum
anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua,
Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Jika otoritas hanya membawa kasus tersebut ke pengadilan militer, itu artinya negara
gagal dalam memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia
setiap warganya. Termasuk gagal menegakkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara
sama keduduannya di muka hukum.
Selain itu, negara juga harus menyediakan reparasi yang meliputi rehabilitasi,
restitusi, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kembali penembakan itu kepada
keluarga korban. Proses dan hasil investigasi harus dipublikasikan dan diberikan
kepada keluarga korban.
Keduanya diduga ditembak oleh oknum TNI saat hendak menuju ke Kèneyam, Ibu
Kota Kabupaten Nduga. Selama ini korban bertahan di hutan tempat pengungsian
yang tidak layak. Dilaporkan banyak yang mati kelaparan di pengungsian tersebut.
Saat itu pengungsi yang hendak menuju Keneyam, tapi bersama beberapa pengungsi
lain dalam satu rombongan. Mereka berasal dari tiga distrik yang berbeda. Namun
kedua korban lebih dulu tiba dibanding yang lain.
Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum
anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua,
Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Merespon peristiwa ini, Pemerintah Daerah dan masyarakat Nduga turun ke jalan
pada Minggu, 19 Juli 2020 dari pagi hingga sore, meminta jenazah kedua korban
dimakamkan sore itu juga di pinggir lapangan terbang Keneyam. Mereka juga
meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas kasus ini dan menarik
seluruh Pasukan TNI dan Polri dari Kabupaten Nduga.
Warga Papua sudah kerap kali menjadi korban pembunuhan di luar hukum oleh
oknum-oknum aparat negara. Pada 2018, Amnesty International Indonesia
menerbitkan laporan berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat
sebanyak 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di
Papua. Sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 95 warga yang meninggal
diduga akibat pembunuhan oleh aparat keamanan.
Dalam 34 kasus pelakunya dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari TNI, dan 11
kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus
tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagian besar
korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.
Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional tentang perlindungan
terhadap hak untuk hidup, diantaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik
(ICCPR). Pasal 6 ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk
hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.” Maka
kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia.