Anda di halaman 1dari 5

Amnesty: Penembakan Ayah dan Anak di Nduga Oleh Anggota

TNI Pelanggaran HAM

Suara.com - Amnesty International Indonesia menyebut kasus penembakan terhadap


dua warga Nduga, Papua, oleh oknum anggota TNI adalah pelanggaran hak asasi
manusia. Penembakan terhadap ayah dan anak hingga tewas di Kabupaten Nduga itu
menunjukan negara represif di Papua.
Merespon tewasnya dua warga Nduga, Papua, akibat penembakan oleh anggota TNI,
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut
tindakan tersebut pelanggaran HAM.
“Ini adalah tindakan yang tak terukur, brutal dan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid
dalam keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020).

Oleh karena itu, Amnesty mendesak negara agar segera dilakukan investigasi
menyeluruh, independen, transparan dan tidak berpihak atas penembakan tersebut.
Meski berstatus militer, pelaku harus diadili di bawah jurisdiksi peradilan umum
sesuai perintah Undang-undang TNI.
"Penyelesaian kasus ini tak cukup hanya disiplin internal maupun di sidang
pengadilan militer. Sebab tindakan pelaku bukan hanya pelanggaran disipliner, tetapi
merupakan tindak pidana dan pelanggaran HAM," ujar Usman.

Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum
anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua,
Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Jika otoritas hanya membawa kasus tersebut ke pengadilan militer, itu artinya negara
gagal dalam memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia
setiap warganya. Termasuk gagal menegakkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara
sama keduduannya di muka hukum.

Selain itu, negara juga harus menyediakan reparasi yang meliputi rehabilitasi,
restitusi, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kembali penembakan itu kepada
keluarga korban. Proses dan hasil investigasi harus dipublikasikan dan diberikan
kepada keluarga korban.

“Kami mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan


pelanggaran HAM yang kerap kali terjadi di Papua," tegasnya.
Usman menambahkan, Amnesty International percaya bahwa terdapat hubungan
langsung dan kausalitas antara impunitas dan terus terjadinya penembakan yang
menyebabkan pembunuhan di luar hukum di Papua.

"Setiap kegagalan dalam menyelidiki ataupun membawa para pelaku insiden


kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua ke pengadilan, akan memperkuat
keyakinan bahwa memang mereka berdiri di atas hukum," tuturnya.

Sebelumnya Kodam Cendrawasih telah mengonfirmasi dan membenarkan adanya


penembakan hingga tewas terhadap dua warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, oleh
oknum anggota TNI yang bertugas di sana. Insiden tersebut terjadi pada hari Sabtu,
18 Juli 2020.

Berdasarkan kronologi yang dihimpun Amnesty International Indonesia, penembakan


terjadi sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Kedua korban atas nama Selu Karunggu
20 thn (anak laki-laki) dan Elias Karunggu 34 thn (ayah). Mereka adalah penduduk
sipil berstatus pengungsi pasca peristiwa 2 Desember 2018 di Distrik Yigi, Nduga.

Keduanya diduga ditembak oleh oknum TNI saat hendak menuju ke Kèneyam, Ibu
Kota Kabupaten Nduga. Selama ini korban bertahan di hutan tempat pengungsian
yang tidak layak. Dilaporkan banyak yang mati kelaparan di pengungsian tersebut.

Lokasi kejadian bertempat di kampung Masanggorak di pinggir sungai Keneyam,


setengah kilometer dari Kota Keneyam. Oknum TNI menembak kedua korban dari
pos darurat mereka di pinggir sungai saat keduanya menyeberang sungai.

Saat itu pengungsi yang hendak menuju Keneyam, tapi bersama beberapa pengungsi
lain dalam satu rombongan. Mereka berasal dari tiga distrik yang berbeda. Namun
kedua korban lebih dulu tiba dibanding yang lain.
Keluarga korban warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, yang ditembak oleh oknum
anggota TNI melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan di Kenyam, Nduga, Papua,
Senin (20/7/2020). (Foto dok. warga)
Merespon peristiwa ini, Pemerintah Daerah dan masyarakat Nduga turun ke jalan
pada Minggu, 19 Juli 2020 dari pagi hingga sore, meminta jenazah kedua korban
dimakamkan sore itu juga di pinggir lapangan terbang Keneyam. Mereka juga
meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas kasus ini dan menarik
seluruh Pasukan TNI dan Polri dari Kabupaten Nduga.

Warga Papua sudah kerap kali menjadi korban pembunuhan di luar hukum oleh
oknum-oknum aparat negara. Pada 2018, Amnesty International Indonesia
menerbitkan laporan berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat
sebanyak 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di
Papua. Sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 95 warga yang meninggal
diduga akibat pembunuhan oleh aparat keamanan.

Dalam 34 kasus pelakunya dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari TNI, dan 11
kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus
tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagian besar
korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.
Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional tentang perlindungan
terhadap hak untuk hidup, diantaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik
(ICCPR). Pasal 6 ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk
hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.” Maka
kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai