Anda di halaman 1dari 6

konflik antar suku

Konflik komunal antar suku di Papua Barat yang didorong sengketa tanah telah
mengakibatkan korban jiwa dan harta benda.
Kepada media lokal Tabloidjubi, Yosepa Alomang, Direktris Yayasan Hak Asasi
Manusia dan Anti Kekerasan (Yamahak) mengungkapkan jumlah korban jiwa saat ini
sudah mencapai delapan orang.
Disamping itu, ratusan korban luka-luka. Rumah dibakar dan dihancurkan. Tanaman
dan berbagai jenis harta benda milik warga dirusak. Delapan yang sudah meninggal itu,
dua orang ditembak oleh aparat keamanan sedangkan enam lainnya meninggal saat
konflik antar dua kelompok masyarakat ini terjadi, kata Yosepa pada Selasa (18/3) di
Jayapura.
Salah satu korban tewas adalah Pendeta Ekpinus Tugume Magal, Kepala Divisi
Kasus HAM di Yamahak. Almarhum ditembak saat melaksanakan tugas pengambilan
data di lokasi konflik, ungkap Markus Haluk, aktivis HAM Papua, kepada Tabloidjubi,
Selasa (18/3) di Jayapura. Pdt. Ekpinus tewas tertembak di bagian dada. Korban tewas
lainnya akibat ditembak polisi adalah Joen Wandagau.
Sejak 6 Februari 2014 kelompok masyarakat dari Suku Moni, Mee, Amungme dengan
Dani-Damal di Kabupaten Mimika telah terlibat konflik yang dipicu masalah hak
kepemilikan tanah.

Yosepa menjelaskan bahwa tanah yang menjadi sumber konflik dua kelompok suku ini
secara adat sebenarnya milik komunitas suku Kamoro, dan masyarakat yang terlibat
konflik tidak memiliki hak milik atas tanah itu. Ia berharap status kepemilikan tanah di
Tanah Amungsa-Bumi Kamoro diperjelas, dan Gubernur Papua dapat secara langsung
memfasilitasi rekonsiliasi para pihak yang bertikai dengan duduk di Honai, rumah adat
Papua.
Kapolda Papua, Irjenpol Tito Karnavian mengatakan penembakan oleh polisi yang
menewaskan dua warga sipil itu adalah pembelaan diri.
Jadi saya tegaskan sikap Brimob waktu itu bukan balas dendam, melainkan
pembelaaan diri, karena diserang oleh masyarakat yang bertikai. Penyerangan
masyarakat terhadap anggota Brimob mengakibatkan satu anggota terkena panah
pada leher dipicu meninggalnya salah satu kelompok warga oleh kelompok lain yang
bertikai, kata Kapolda pada Rabu (12/3) lalu seperti dikutip Tabloidjubi.
Dalam laporan itu Markus Haluk membantah keterangan Kepolisian bahwa salah
satu kelompok yang berkonflik menyerang dan mengarahkan panah dan busur pada
para polisi yang katanya sedang mengamankan konflik tersebut. Hal yang sama
ditegaskan Yosepa dalam surat tertulis kepada media Tempo.
Kami mendesak Kapolda Papua untuk segera menahan dan memproses hukum bagi
pelaku penembakan terhadap Pdt. Ekpinus Tagume Magal dan Joen Wadagau pada 12
Maret 2014, desak Yosepa seperti dikutip Tabloidjubi.

Konflik antar agama

Kondisi kehidupan beragama akhir-akhir ini sebagian warga negara tidak toleran terhadap
perbedaan. Hal tersebut merupakan dampak dari arus globalisasi yang disalah gunakan.
Sehingga terjadi perpecahan antar manusia karena tidak adanya toleransi terhadap
perbedaan pada manusia. Manusia yang beradab pasti bersikap toleran terhadap
perbedaan, apa pun corak perbedaan itu. Namun, dalam kenyataan empiris, idealisme ini
sering benar di runtuhkan oleh perilaku mereka yang ingin memonopoli kebenaran atas
nama agama, ideologi, atau atas nama apapun.

Kondisi yang memperihatinkan dimana sikap toleransi antar umat beragama kian hari
semakin tidak bernyawa, berbagai peristiwa terorisme menunjukkan betapa toleransi harus
menjadi pola komunikasi antar warga. Terlepas dari perbedaan agama, suku, etnis, budaya,
negara juga status sosial. Dengan sikap toleran inilah diharapkan terciptanya kerukunan
antar warga dan akan menciptakan kehidupan yang damai. Toleransi antar umat beragama
harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukkan umat saling
menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan lain-lain.
Kekerasan dengan mengatasnamakan agama (berkedok agama) menjadi salah satu
fenomena yang menyakitkan bagi kita semua. Semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika
nampaknya mulai dilupakan banyak orang. Kenyataan bahwa bangsa ini di bangun lewat
keberagaman, etnis, agama, sosial, budaya, ekonomi, dan latar belakang kehidupan lainnya
seolah terlupakan. Kekerasan atas nama agama yang terjadi berturut-turut selama
beberapa hari terakhir, makin menambah daftar panjang kasus-kasus kekerasan agama di
Indonesia. Kejadian-kejadian itu akan meruntuhkan kewibawaan pemerintah di mata publik.
Rakyat akan menilai bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan salah satu kewajiban
utamanya melindungi warga negara.
Premanisme adalah tindakan diluar hukum yang menggunakan kekerasan baik secara fisik
maupun non fisik. Ada beberapa perspektif untuk melihat kekerasan. Salah satunya
adalah perspektif konflik. Dalam perspektif konflik kekerasan dapat dilihat dalam enam
dimensi. Pertama, kekerasan adalah perilaku tidak wajar yang melanggar batas hak. Kedua,
kekerasan merupakan ekspresi untuk memperjuangkan kepentingan atau kebutuhan pihak.
Ketiga, kekerasan merupakan bagian dari konflik. Keempat, kekerasan merupakan pertanda
kelemahan para pihak dalam mengelola konflik secara damai. Kelima, kekerasan merupakan
ujung dari gerakan protes sosial. Keenam, kekerasan sengaja di pergunakan oleh pihak
tertentu untuk menunjukkan kekuatan atau gangguan.
Jika saya menjadi presiden, hal yang akan saya lakukan agar hak asasi dan kemerdekaan
setiap warga negara secara optimal dapat dilindungi adalah dengan melahirkan undangundang tentang pengadilan HAM, melakukan kerjasama Internasional dalam upaya
pemajuan dan perlindungan HAM, menelusuri pola gerakan dan kelompok yang bergerak
mengusung isi SARA. Selain itu, hal yang saya lakukan adalah membela kepentingan rakyat
kecil, mendirikan lembaga pengawas kebijakan publik, mengatasi konflik sosial antar warga,
dan lain-lain. Disisi lain, peran serta warga masyarakat dan aparatur pemerintah juga
sangat dibutuhkan dalam memajukan perlindungan HAM karena tidak hanya menjadi
kewajiban salah satu pihak saja. Melainkan perlindungan HAM menjadi tanggung jawab
bersama.

Konflik antar golongan


TANGGERANG SELATAN - Badan Musyawarah (Bamus) Kota
Tanggerang Selatan (Tangsel) siapkan "ramuan" khusus untuk
menekan banyaknya konflik horizontal, baik antar Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) ataupun dengan Organisasi Kepemudaan
(OKP).
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Bamus Tangsel, Subari Martadinata
saat ditemui usai rapat Koordinasi pengurus Bamus di kediamannya,
Cirendeu, Ciputat, Senin (14-12-2015). Menurut dia 'ramuan' yang
paling tepat untuk menyelesaikan segala persoalan adalah dengan bermusyawarah.

Anda mungkin juga menyukai