Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MACAM - MACAM

AKAD RAHN

Dosen Pengampu : Abdul Muhyi, S.Pd.I

Mata Kuliah : Fiqh Rahn

Disusun oleh :
Rosa Amelia (19461141)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARIAH

INDONESIA PURWAKARTA

JL. Veteran No.150-152, Kel. Cisereuh, Kec. Purwakarta, Kab. Purwakarta, 41118, Jawa Barat.

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 3

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 4

A. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily) ....................................................... 4

B. Rahn Hiyazy .............................................................................................................. 4

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 8

Kesimpulan .................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 9

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam bermuamalah, tentunya sebagai umat muslim perlu untuk mengetahui
apa saja yang termasuk dalam kegiatan tersebut. Ada beragam cara untuk dapat
bermuamalah, salah satunya dengan cara rahn (gadai). Para ulama berpendapat
bahwa rahn boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan
rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan. Rahn yang
dimaksud di sini adalah rahn yang menggunakan prinsip syariah.

Membahas tentang rahn, ada hal yang perlu untuk kita ketahui dan bahas lebih
dalam. Salah satunya adalah macam-macam akad yang digunakan dalam prinsip
rahn syariah. Oleh karena itu, penulis akan mencoba sedikit menjelaskan macam –
macam akad rahn.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam - macam akad rahn ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui macam – macam akad rahn

3
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, Wahbah Zuhaily menjelaskan gadai


ada dua macam : Rahn Ta’miny/Rasmy dan Rahn Hiyazy.

A. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)


Rahn ‘Iqar/Resmi (rahn takmini/rahn tasjily) merupakan bentuk gadai, dimana
barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri
masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Rahn Ta’miny/Rasmy,
dimana pihak Murtahin hanya mempunyai kewenangan memegang surat bukti
kepemilikan saja –semisal BPKB, sedangkan marhun tetap berada ditangan rahin.

Contoh kasus Rahn 'Iqar / Resmi (Rahn Takmini / Rahn Tasjily.


Irma memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas
pelunasan hutang tersebut, Irma menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara

Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada
Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Irma dan dipergunakan olehnya
untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil
di maksud.

Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan
Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam
konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda
tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat
dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.

B. Rahn Hiyazy
Rahn Hiyazy merupakan praktik gadai yang telah dikenal banyak orang dari
dulu hingga sekarang. Dalam prosedur pelaksanaannya, marhun berada dalam
kekuasaan murtahin.

Bentuk Rahn Hiyazy inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam
hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya

4
menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya
pun dikuasai oleh Kreditur.

Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah
Rahn Hiyazy, maka Mobil milik Irma tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan

pelunasan hutangnya. Dan jika hutang Irma kepada Elda sudah lunas, maka Irma bisa
mengambil kembali mobil tersebut.

Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang


digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka
penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya
perawatan dan pemeliharaannya.

Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda


bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam Bank syariah juga
biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh
Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang
bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka
pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka
waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh:

Putri sudah merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang


bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa
diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit anaknya
adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20
juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari alternative dengan cara
menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram
dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena
Putri merasa hanya membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya
mengambil dana tunai sebesar Rp. 10 juta saja.

Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai
kepada Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran
kembali dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan

5
emas tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas
dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan
berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika
Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan),
maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah sebesar:

Rp. 3.500,– X 30 hari = Rp. 105.000,–


Jadi, pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Putri harus membayar uang
sebesar:

Rp. 10 jt + Rp. 105.000,– = Rp. 10.105.000,–

Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa


mengembalikan dana tersebut? Jika demikian, maka Putri dapat mengajukan
perpanjangan jangka waktu gadai tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan
tersebut dapat dilakukan secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank
tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan
dana yang diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan
membayar biaya sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja.

Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:


1) Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
2) Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang
diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual
barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh
pemilik barang.

3) Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan,
kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai
berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan
atas barang yang digadaikan tersebut.

Dari dua model gadai diatas, hanya Rahn Ta’miny/Rasmy yang menyisakan pertanyaan
terkait kebolehannya. Dalam memberi pandangan hukum terkait Rahn Ta’miny/Rasmy,
ulama kontemporer terjadi perbedaan. Dr. Hasan Wahdan mengatakan bahwa rahn

6
dalam bentuk ini bertentangan dengan syariah karena pihak murtahin tidak menerima
marhun. Menurutnya, bentuk transaksi semacam ini telah terkontaminasi produk
transaksi Barat. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama. Mereka
mengatakan bahwa penerimaan (qabdh) pihak murtahin atas marhun tidak terbilang
rukun menurut pendapat sebagian ulama. Lagi pula pemindahan kepemilikan melalui
penyerahan surat bukti kepemilikan juga dapat masuk kategori qabdh.

Qabdh adalah penguasaan aset oleh pembeli yang menyebabkan dia berhak untuk
melakukan tindakan hukum (tasharruf, seperti menjual) terhadap aset tersebut,
menerima manfaat, atau menanggung risikonya. Qabdh terdiri dari Qabdh Haqiqi dan
Qabdh Hukmi. Qabdh Haqiqi adalah penguasaan aset oleh pembeli atas fisik aset yang
dibelinya. Qabdh Hukmi adalah penguasaan aset oleh pembeli secara dokumen
kepemilikan aset yang dibelinya baik dalam bentuk catatan elektronik maupun
nonelektronik.

7
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily) merupakan bentuk gadai, dimana


barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri
masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.

Rahn Hiyazy merupakan praktik gadai yang telah dikenal banyak orang dari dulu
hingga sekarang. Dalam prosedur pelaksanaannya, marhun berada dalam kekuasaan
murtahin.

Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:


1) Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
2) Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang
diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual
barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh
pemilik barang.

3) Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan,
kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai
berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan
atas barang yang digadaikan tersebut.

8
DAFTAR PUSTAKA

Djoko Muljono, Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah,


(Yogyakarta: PT Andi, 2015), h.238-239
Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 88
Markaz ad-Dirasat al-Fiqhiyyah al-Iqtishadiyyah, Mausu’ah Fatawy al-Mu’amalat al-
Maliyyah, vol.13 (t.c.; Kairo: Dar- as-Salam, t.t.), hlm 352
https://irmadevita.com/2010/jenis-jenis-rahn/

Anda mungkin juga menyukai