GADAI ( AL – RAHN )
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Arief fitriyanto S.E.Se.,M.Si
sebagai dosen pengampu mata kuliah fiqh muamalah I yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I........................................................................................................................................iv
PENDAHULUAN....................................................................................................................iv
1.1 Latar Belakang................................................................................................................iv
BAB II........................................................................................................................................v
PEMBAHASAN........................................................................................................................v
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Al - Rahn..........................................................................v
2.3 Penambahan Hutang.......................................................................................................vii
2.4 Pengambilan Manfaat Barang Gadai.............................................................................vii
2.5 Berakhirnya Gadai........................................................................................................viii
BAB III.......................................................................................................................................x
PENUTUP..................................................................................................................................x
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................x
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................xi
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn()ال@@رهن. Para ulama’
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi
syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui
hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya
mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at
yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat
tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak
terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai
pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk
memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun
dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu,
dalam islam diberlakukan syari’at gadai.
BAB II
PEMBAHASAN
D. Syarat Gadai
Salah satu yang membedakan transaksi syariah dengan konvensional adalah adanya
akad. Akad yang digunakan dalam transaksi rahn adalah:
1. Qardh al-hasan, akad ini digunakan rahin untuk tujuan konsumtif, oleh karena
itu rahinakan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun)
oleh pergadaian (murtahin). Ketentuannya:
a. Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas,
barang elektronik, dan lain sebagainya.
b. Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pergadaian hanya
diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2. Mudharabah, akad yang diberikan bagi rahin yang ingin memperbesar modal
usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya:
a. Marhun dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti:
emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, dan lain-lain.
b. Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3. Ba’i Muqayyadah, akad ini diberikan kepada rahin untuk keperluan yang
bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal
ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal
kerja yang diinginkan oleh rahin. Marhun adalah barang yang dimanfaatkan
oleh rahin ataupun murtahin.
4. Ijarah, akad yang objeknya adalah pertukaran manfaat untuk masa tertentu.
Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.
Penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan
barang (deposit box) kepada nasabah. Pada akad ini, nasabah menitipkan barang
jaminannya di pergadaianselama masa pinjaman. Atas penitipan tersebut,
pergadaian membebankan ujrah (biaya sewa/ fee) dari nasabah sesuai tarif yang
telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad ijarah.
3.1 Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat
dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai
yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis.
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg). Syarat
gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada
saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan
pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang
gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi
tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini.
Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa
mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong-
menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya
agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang.
DAFTAR PUSTAKA
Muhamad Wasitho Abu Fawas, Hukum Pegadaian dalam Fiqih Islam, (Ttp: tp, tt), h. 1
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, Cet.II, h. 258
Mulazid, Ade Sofyan, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah ( Jakarta: Prenadamedia Group,
2016) h. 46
Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
21.