Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

GADAI ( AL – RAHN )

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9 ( EKONOMI ISLAM )

IMELDA SURYA SANTOSO


REZA CHOIRULLAH
SYAHRIL AMIR

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA,2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Arief fitriyanto S.E.Se.,M.Si
sebagai dosen pengampu mata kuliah fiqh muamalah I yang telah membantu memberikan
arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I........................................................................................................................................iv
PENDAHULUAN....................................................................................................................iv
1.1 Latar Belakang................................................................................................................iv
BAB II........................................................................................................................................v
PEMBAHASAN........................................................................................................................v
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Al - Rahn..........................................................................v
2.3 Penambahan Hutang.......................................................................................................vii
2.4 Pengambilan Manfaat Barang Gadai.............................................................................vii
2.5 Berakhirnya Gadai........................................................................................................viii
BAB III.......................................................................................................................................x
PENUTUP..................................................................................................................................x
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................x
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(‫)ال@@رهن‬. Para ulama’
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi
syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui
hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya
mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at
yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat
tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak
terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai
pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk
memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun
dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu,
dalam islam diberlakukan syari’at gadai.

Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan


memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV,
kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah,
mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang
dianggap bernilai. Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah
ini.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Al - Rahn


A. Pengertian Gadai
Gadai adalah salah satu alternatif untuk mendapat dana cepat dengan menjadikan
barang bergerak sebagai jaminan atas suatu pinjaman agar dapat dicairkan kepada
perusahaan pembiayaan atau lembaga keuangan. Merujuk pada KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), pengertian gadai adalah meminjam uang dalam batas waktu tertentu
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Apabila telah sampai pada waktunya
barang tersebut tidak ditebus, maka akan menjadi hak pemberi pinjaman. Sedangkan
apabila menurut (Otoritas Jasa Keuangan), gadai adalah hak tanggungan atas barang
bergerak; barang jaminan harus lepas dari kekuasaan debitur. Maksud dari barang
bergerak adalah suatu benda atau barang yang dapat dipindahkan, bukan barang tetap
misalnya tanah atau bangunan.
B. Dasar Hukum Gadai
Karena gadai adalah salah satu kegiatan ekonomi yang sudah ada sejak lama, di
Indonesia pun gadai sudah diatur dalam pasal 1150 KUHP dengan beberapa unsur, di
antaranya:
 Hak yang didapatkan kreditur atas barang bergerak sebagai jaminan.
 Barang bergerak diserahkan kepada pihak kreditur dari debitur.
 Penyerahan barang bergerak digunakan sebagai jaminan utang.
 Pihak kreditur berhak melelang barang jaminan tersebut jika debitur gagal bayar
atau melunasi pinjaman.
 Pelunasan pinjaman harus didahulukan dari kreditur-kreditur lain.
 Biaya lelang dan pemeliharaan barang jaminan harus dilunasi terlebih dulu dari
hasil lelang sebelum pelunasan piutang.

2.2 Rukun dan Syarat – Syarat Al – Rahn


C. Rukun Gadai
Dalam pelaksanaannya, mayoritas ulama memandang terdapat
empat rukun rahn, yaitu:
1. Barang yang digadaikan (marhun)
2. Utang (marhun bihi)
3. Ijab qabul (shighat)
4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu, pemberi gadai (rahin) dan penerima
gadai (murtahin)

D. Syarat Gadai
Salah satu yang membedakan transaksi syariah dengan konvensional adalah adanya
akad. Akad yang digunakan dalam transaksi rahn adalah:
1. Qardh al-hasan, akad ini digunakan rahin untuk tujuan konsumtif, oleh karena
itu rahinakan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun)
oleh pergadaian (murtahin). Ketentuannya: 
a. Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas,
barang elektronik, dan lain sebagainya.
b. Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pergadaian hanya
diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin. 
2. Mudharabah, akad yang diberikan bagi rahin yang ingin memperbesar modal
usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya:
a. Marhun dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti:
emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, dan lain-lain.
b. Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun. 
3. Ba’i Muqayyadah, akad ini diberikan kepada rahin untuk keperluan yang
bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal
ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal
kerja yang diinginkan oleh rahin. Marhun adalah barang yang dimanfaatkan
oleh rahin ataupun murtahin. 
4. Ijarah, akad yang objeknya adalah pertukaran manfaat untuk masa tertentu.
Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.
Penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan
barang (deposit box) kepada nasabah. Pada akad ini, nasabah menitipkan barang
jaminannya di pergadaianselama masa pinjaman. Atas penitipan tersebut,
pergadaian membebankan ujrah (biaya sewa/ fee) dari nasabah sesuai tarif yang
telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad ijarah. 

2.3 Penambahan Hutang


E. Penambahan Hutang
Proses dimana antara nasabah dan pihak pegadaian memilih untuk
menambahkan utang atau memilih untuk mengakhiri akad yang dilakukan oleh pihak
dari rahin dan murtahin adapun poin atau rumusan yang ada dalam kasus Top Up atau
penambahan utang ialah: 85% x barang yang ditaksirkan oleh pihak pegadaian syariah
Sebagai contoh nasabah melakukan Top Up dalam penambahan utang nasabah
mengadaikan emas 10 gram ketika pihak pegadaian menaksirkan emas menurut harga
pasaran adalah senilai dengan harga per gram Rp 5.000.000., nilai taksirannya sebesar
Rp 5.000.000., maka pihak pegadaian menaksirkan emas tersebut sebesar Rp
5.000.000,. maka angka penggali sebesar 85% dari harga atau taksiran emas tersebut
dalam jangka waktu satu periode atau dalam jangka waktu empat bulan dan ketika
sebelum jangka waktunya habis nasabah balik lagi ke pegadaian untuk melakukan
Top Up maka jumlah pengambilan yang akan diambil oleh nasabah adalah 85% dari
harga emas tersebut maka uang yang akan diambil oleh nasabah sekitar Rp
4.500.000., ditentukan oleh pihak pegadaian syariah. Adapun sisa dana taksiran dari
barang nasabah dengan nilai 15% ini akan dijadikan jaminan risiko barang jika dalam
masa gadai tersebut mengalami penyusutan berat dan penurunan harga barang. 

2.4 Pengambilan Manfaat Barang Gadai


F. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemilik
barang maupun oleh penerima Gadai, kecuali apabila telah mendapat izin dari
masing-masing pihak yang bersangkutan. Sebab hak pemilik barang tidak memiliki
secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan Hukum, misalnya
mewakafkan, menjual, dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang miliknya itu.
Sedangkan hak penerima gadai terhadap barang gadai hanya ada pada keadaan
atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna dan
pemanfaatan/ pengambilan hasilnya. Penerima gadai hanya berhak menahan barang
Gadai, tetapi tidak berhak menggunakannya atau memanfaatkan/ mengambil hasilnya.
Sementara itu, pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barang tersebut,
namun sebagai pemilik apabila barang yang digadaikan itu mengeluarkan hasil, maka
hasil itu adalah menjadi miliknya.
Imam Ahmad hanbali menyatakan bahwa murtahin tidak dapat mengambil
manfaat dari barang jaminan kecuali hanya pada hewan yang dapat ditunggangi dan
diperah susunya karena atas pertimbangan biaya-biaya yang dikeluarkannya. Hadist
ini sahih yang diriwayatkan imam bukhari dalam kitab sahihnya sehingga kedudukan
hadist ini kuat dan dapat dijadikan hujjah. Hadist tersebut menunjukkan bahwa
murtahin dapat mengambil manfaat atas barang jaminan karena seimbang dengan
nafaqah yang telah dikeluarkan, meskipun tanpa ada izin dari pemiliknya.
Namun hadist tersebut khusus bagi binatang yang dapat ditunggangi dan
diperah. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum atas pihak yang berhak
mengambil manfaat dari barang jaminan adalah pihak rahin, walaupun demikian,
pihak murtahin bisa mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut dengan syarat-
syarat yang telah disebutkan diatas.
2.5 Berakhirnya Gadai
G. Berakhirnya Gadai
Hapusnya gadai telah ditentukan di dalam pasal 1152 Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata dan Surat Bukti Kredit (SBK).13 Di dalam pasal 1152 ditentukan dua cara
hapusnya hak gadai, yaitu :
1. Barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai, misalnya utang pemberi
gadai telah dibayar lunas, maka gadai otomatis hapus.
2. Hilangnya barang gadai atau terlepasnya barang gadai dari kekuasaan
pemegang gadai
Begitu juga dalam Surat Bukti Kredit (SBK) telah diatur tentang
berakhirnya gadai. Salah satunya adalah jika jangka waktu gadai telah berakhir. Ari
hutagalung telah menyistemisasi hapusnya hak gadai. Ia mengemukakan lima cara
hapusnya hak gadai, yaitu :
1. Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai
2. Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan penerima gadai
3. Musnahnya barang gadai
4. Dilepaskannya benda gadai secara sukarela
5. Percampuran (penerima gadai menjadi pemilik benda gadai).
Perjanjian pokok dalam perjanjian gadai adalah perjanjian pinjam meminjam uang
dengan jaminan gadai. Apabila debitur telah membayar pinjamannya kepada
penerima gadai, maka sejak saat itulah hapusnya perjanjina gadai.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat
dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai
yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis. 
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg). Syarat
gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada
saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan
pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang
gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi
tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini.
Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa
mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong-
menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya
agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literasi Keuangan Tingkat Perguruan 


Tinggi Seri “Industri Jasa Keuangan Syariah”

Muhamad Wasitho Abu Fawas, Hukum Pegadaian dalam Fiqih Islam, (Ttp: tp, tt), h. 1

Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, Cet.II, h. 258

Mulazid, Ade Sofyan, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah ( Jakarta: Prenadamedia Group,
2016) h. 46
Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
21.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Hukum Jaminan di Indonesia; Pokok-pokok Hukum


Jaminan dan Jaminan Perorangan. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1980), 46.

Anda mungkin juga menyukai