Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH JURNAL KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ANALISA JURNAL DENGAN JUDUL


PEMBERIAN RELAKSASI BENSON TERHADAP PENURUNAN
NYERI PASIEN POST OPERASI FRAKTUR FEMUR DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH MEURAKSA BANDA ACEH

DISUSUN OLEH:

ROHMI TRI HUTAMI


11212147

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER


STIKES PERTAMEDIKA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur merupakan patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price & Wilson, 2006). Penyebab fraktur adalah peristiwa trauma,
kecelakaan, dan Terdapat 2 jenis fraktur, yaitu fraktur tertutup (closed fracture)
dan fraktur terbuka (open fracture) (Mansjoer, 2010). Fraktur femur disebut juga
sebagai fraktur tulang paha yang disebabkan akibat benturan atau trauma
langsung maupun tidak langsung (Helmi, 2012). Menurut Badan Kesehatan
Dunia World Health Organization (WHO) mencatat tahun 2016 lebih dari 8 juta
jiwa meninggal dunia karena fraktur femur akibat kecelakaan lalu lintas (WHO,
2016).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Depkes RI tahun 2013 peristiwa terjatuh yang mengalami
fraktur femur sebanyak 1.775 jiwa, kasus kecelakaan yang mengalami fraktur
femur sebanyak 1.770 jiwa (Riskesdas & Depkes RI, 2013). Menurut Desiartama
dan Aryana (2017) di Indonesia kasus fraktur femur merupakan yang paling
sering yaitu sebesar 39% diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula
(11%), dimana penyebab terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas
yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi
(62,6%) dan jatuh (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%).4,5% Puncak
distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan
orang tua (diatas 70 tahun). Sedangkan proporsi jenis cidera di Aceh adalah
lecet/memar (66,7%), terkilir (38,9%), luka robek (27,8%), patah tulang/fraktur
(7,4%) cidera mata (0,9%), geger otak (0,6%), anggota tubuh terputus (0,1%),
dan lainnya (1,5%) mengalami catat fisik, (15%) mengalami stress spikilogis
seperti cemas atau bahkan depresi. Berdasarkan data tersebut patah tulang/fraktur
merupakan jenis cedera terbanyak setelah luka lecet dan memar
(Kemenkes,2013). Proporsi jumlah pasien yang mengalami fraktur Ruang Rawat
Bedah di RSUD Meuraxa Banda Aceh, di dapatkan jumlah pasien fraktur selama
Januari 2018 sampai dengan Desember 2018 sebanyak 625 pasien sedangkan
pasien dengan fraktur femur pada bulan Januari sampai dengan Desember 2018
adalah sejumlah 313 pasien (Medical Record, 2018). Fraktur yang belum dirawat
dengan baik dapat menyebabkan banyak masalah serius seperti trauma saraf,
trauma pembuluh darah, komplikasi tulang, stress paska traumatik, dan dapat
timbul emboli tulang. Masalah lainnya yang ditimbulkan dalam waktu lama
adalah mal union, delayed union, non union atau bahkan perdarahan (Rendy &
Margareth, 2012). Oleh karena itu, fraktur memerlukan penanganan dengan
segera dan tepat. Penanganan yang kurang tepat atau salah akan mengakibatkan
komplikasi lebih lanjut (Lukman & Ningsih, 2013). Salah satu penatalaksanaan
yang sering dilakukan pada kasus fraktur femur adalah tindakan operatif atau
pembedahan (Mue DD, 2013). Metode pengobatan fraktur meliputi pembedahan
dan non pembedahan, tetapi paling banyak keunggulannya adalah pembedahan.
Pembedahan orthopedic biasanya meliputi hal-hal berikut : reduksi terbuka, dan
fiksasi internal dan eksternal; graft tulang; amputasi; artroplasty; menisectomy;
penggantian sendi; penggantian sendi total; transfer tendon; dan fasiotomi;
(Smeltzer & bare 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sloman, Rosen, Rom & Shir (2005)
ditemukan bahwa 75% pasien bedah mengalami nyeri sedang sampai berat
setelah operasi.Lamanya nyeri dapat berlangsung 24 sampai 48 jam, tapi dapat
juga berlangsung lebih lama tergantung dari bagaimana klien dapat menahan dan
berespon pada rasa nyeri tersebut. Nyeri pada pasien post operasi harus segera
diatasi karena dapat berdampak pada proses penyembuhan pasien, karena dapat
mempengaruhi kondisi psikologi dan fisiologi.Dampak fisik dari nyeri yaitu
pernafasan yang cepat dan dangkal yang dapat menyebabkan hipoksemia dan
alkalosis, ekspansi paru-paru yang tidak memadai dan batuk yang tidak efektif
sehingga menyebabkan retensi cairan dan atelektasis, Peningkatan denyut nadi,
tekanan darah, peningkatan produksi hormon stress (cortisol, adrenaline,
katekolamines) yang meningkatkan metabolisme, menghambat penyembuhan dan
menurunkan fungsi imun. Ketegangan otot, kejang dan kelelahan, yang
menyebabkan keengganan untuk bergerak secara spontan dan penolakan
ambulasi, sehingga makin menunda pemulihan dan dampak psikologis dari nyeri
yaitu gangguan perilaku seperti takut, cemas, stress, gangguan tidur, selain itu
juga mengurangi koping, dan menyebabkan regresi perkembangan (Twycross,
S.J, & Bruce, 2009).
Secara umum penanganan nyeri terbagi dua yaitu farmakologi dan
nonfarmakologi. Pengkombinasian antara teknik non-farmakologi relaksasi dan
teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri
terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam jam atau
bahkan berhari-hari. Teknik relaksasi ini bermanfaat mengurangi ketegangan otot
yang akan mengurangi tingkat nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Hasil penelitian di
Medan yang dilakukan oleh Cecep Triwibowo (2016) menyatakan bahwa
kombinasi terapi relaksasi benson dan pemberian analgesic dapat menurunkan
intensitas nyeri pada pasien pasca operasi TURP secara bermakna dibandingkan
pasien pasca operasi TURP yang hanya diberikan analgesic. Hasil penelitian yang
juga dilakukan di Manado oleh Crece frida dkk (2017) menyatakan bahwa
terdapat pengaruh pemberian tekhnik relaksasi benson terhadap skala nyeri pada
pasien post operasi apendiksitis terdapat pengaruh signifikan menrunnya ska
nyeri menjadi ringan setelah diberikan tekhnik relaksasi benson sebanyak 3 kali
selama 15-30 menit.
Relaksasi benson dapat mengurangi stres, kecemasan, rasa tidak nyaman,
menurunkan metabolisme, kontraksi jantung, tekanan darah, dan melepas
hormone epinefrin (Mahdavi dkk 2013). Yang berpengaruh terhadap penurunan
intensitas nyeri, nyeri pasca operasi biasanya diikuti cemas, takut dan depresi.
Reaksi emosional ini akan meningkatkan respon simpatik yaitu meningkatkan
kadar katekolamin, noradrenalin dan norepinefrin yang akan memperparah
intensitas nyeri. Teknik relaksasi Benson ini mampu menghambat aktivitas saraf
simpatik yang mengakibatkan penurunan terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh
dan selanjutnya otot-otot tubuh menjadi rileks sehingga menimbulkan perasaan
tenang dan nyaman. Menurunnya aktivitas saraf simpatik yang mengontrol rasa
nyeri akan berpengengaruh terhadap penurunan intensitas nyeri (Benson dan
Protoc, 2000). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Mahdavi et all (2013) bahwa relaksasi benson dapat mengurangi stress dan
kecemasan pada pasien hemodialisa. Selain itu, Solehati dan Rustina (2015) juga
membuktikan bahwa relaksasi benson dapat mengurangi nyeri pada pasien pasca
operasi Caesar. Berdasarkan data di Ruang Rawat inap Raudhah 6 dan Raudhah 7
di RSUDZA Banda Aceh, di dapatkan jumlah pasien fraktur selama Januari 2017
sampai dengan Desember 2017 sebanyak 1.078 pasien sedangkan pasien dengan
fraktur femur pada bulan Januari sampai dengan Desember 2018 adalah sejumlah
317 pasien (Medical Record, 2018).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mendapat gambaran dan pengalaman tentang analisa jurnal
2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan pembelajaran tentang analisa jurnal. Maka mahasiswa/i diharapkan
mampu memahami tentang pembuatan jurnal.
BAB II
ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
1. Judul Jurnal :
PEMBERIAN RELAKSASI BENSON TERHADAP PENURUNAN NYERI
PASIEN POST OPERASI FRAKTUR FEMUR DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH MEURAXA BANDA ACEH
2. Peneliti :
Nurhayati, Dewi Marianthi, Desiana, Raima Maulita
3. Populasi/Tehnik Sampling :
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien post operasi fraktur femur
yang dirawat di ruang Rawat Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa
Banda Aceh. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling.
4. Desain Penelitian :
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi
Eksperimen dengan desain penelitian One-group pra-post test.
5. Intrumen yang di gunakan :
Instrument dalam penelitian menggunakan koesioner, lembar observasi skala
nyeri dengan menggunakan Numeric Rating Scale, Stopwatch dan Teknik
terapi relaksasi Benson.
6. Uji Statistik :
Hasil penelitian ini diperoleh melalui uji statistic paired t-tes

B. Jurnal Pendukung
1. Judul Jurnal :
PENGARUH TEKNIK RELAKSASI BENSON TERHADAP TINGKAT
STRES PADA LANSIA DIRUANG RAWAT INAP RSU
BHAYANGKARA TEBING-TINGGI.
2. Peneliti :
Deddy S Sagala
3. Hasil Penelitian :
Ada pengaruh yang signifikan terhadap intensitas nyeri setelah dilakukaan
Relaksasi Benson pada pasien post operasi Fraktur Femur. Diharapkan
kepada pasien dan perawat dapat mengaplikasikan Tekhnik Relaksasi Benson
setelah operasi Fraktur
C. Analisa Pico
1. Problem :
Nyeri pada pasien post operasi Fraktur Femur harus segera diatasi karena
berdampak pada proses penyembuhan pasien, karena dapat mempengaruhi
kondisi psikologis dan fisiologis. Relaksasi Benson adalah salah satu metode
yang dapat mengurangi Nyeri, Tekhnik ini mampu menurunkan aktivitas
saraf simpatik yang mengontrol rasa nyeri sehingga menimbulkan perasaan
tenang dan nyaman dan akan berpengaruh terhadap penurunan intensitas
Nyeri.
2. Intervensi :
Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi
pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat
menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien
mencapai kondisi kesehatan dan kesejahtraan yang lebih tinggi (Benson &
Proctor 2000, dalam Purwanto, 2014). Kelebihan latihan tehnik relaksasi dari
pada latihan yang lain adalah latihan relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan
dalam kondisi apapun serta tidak memiliki efek samping apapun (Deleon,
1999). Disamping itu kelebihan dari tehnik relaksasi lebih mudah
dilaksanakan oleh pasien, dapat menekan biaya pengobatan, dan dapat
digunakan untuk mencegah terjadinya stres. Sedangkan kita tahu pemberian
obat-obatan kimia dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan efek
samping yang dapat membahayakan pemakainya seperti gangguan pada
ginjal (Yosep, 2015).
3. Comparation
Judul :
PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN FRAKTUR
TERTUTUP DENGAN PEMBERIAN TERAPI KOMPRES DINGIN
Peneliti:
Made Suryani, Edy Soesanto
Hasil Penelitian:
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kedua subjek studi kasus berusia
diatas 20 tahun, jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kedua subjek studi
kasus mengeluh adanya nyeri yang dibuktikan dengan subjek studi kasus 1
mengatakan nyeri pada paha kanan bagian tengah dan seluruh kaki kanan, P:
bertambah apabila paha ditekan, Q: nyeri seperti ditusuk- tusuk, R: paha
kanan bagian tengah dan menjalar keseluruh kaki kanan, S: skala 6 dari 0-10,
T: nyeri terus menerus, sedangkan pada subjek studi kasus 2 mengatakan
nyeri pada lengan atas tangan kiri, P: bertambah saat melakukan perubahan
posisi dan ditekan, Q: nyeri seperti di tusuk-tusuk, R: bagian lengan atas
tangan kiri, S: skala 5 dari 0-10, T: hilang timbul dengan durasi ± 5 menit.
4. Outcome
1. Karakteristik pasien yang menjadi responden penelitian sebagian besar
jenis kelamin terbanyak pada kedua kelompok sama yaitu perempuan sebesar
57,1%.Pendidikan responden paling banyak pada kedua kelompok sama
yaitu pendidikan SMA (Pendidikan Menengah Atas)sebesar 57,1%. Dan
pekerjaan responden paling banyak pada kedua kelompok sama yaitu
Pelajar/mahasiswa sebesar 28,6% dan petani 28,6%.
2. Gambaran pengaruh pemberian relaksasi benson terhadap penurunan nyeri
pada pasien post operasi fraktur di RSUD Meuraxa Banda Aceh didapati
hasil dari paired sample t-test nilai p<0,05 menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan dari hubungan antar variabel dalam satu kelompok. Karena
nilai kelompok intervensi adalah (sig.=0,000<0,05) maka Ho ditolak. Jadi
dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan pada kelompok
intervensi dari pre-test dan post-test.
3. Nilai post-test kelompok intervensi dan post-test kelompok kontrol yaitu
(nilai sig.=0,010<0,05), maka Ho ditolak. Artinya ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
BAB III
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu.
Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi
tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus,
atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi
pemulihan klien ( Black dan Hawks, 2014).
2. Etiologi / Penyebabnya
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang tulang
dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang terjadi
pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio,
Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi :
a. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
b. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali.
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif.
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
3. Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014)
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis.
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain :
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada
lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat,
lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa
pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-
masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur
dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau
karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovascular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau
kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
4. Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur.
Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang
mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti
tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi
fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat
mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok
otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari
tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser
karena faktor penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar.
Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk
sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau
cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma
terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan
tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan
yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan
tahap penyembuhan tulang.
5. Klasifikasi fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera,
sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang.
Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi
berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :
a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka
dengan derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain :
a. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada
bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak
berhubungan dengan bagian luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya
luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan
udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak.
Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit,
namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar.
Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya
infeksi dan faktor penyulit lainnya.
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas
terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang
patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka
segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari
dua fragmen tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap
tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur
jenis ini biasanya sulit ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi.
6. Komplikasi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain : Ada
beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia
klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat
yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin kortikosteroid, dan NSAID.
Komplikasi yang terjadi setelah fraktur antara lain :
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai
klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien
untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau
adanya keluhan nyeri yang meningkat.
b. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar
jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon
terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen
yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal
tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolic jaringan, maka terjadi
iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan
sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi
secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun
yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau faktor-
faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang
berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-otot
yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi
lebih lanjut. Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak
metabolisme anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn
peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan menyebabkan suatu siklus
peningkatan tekanan kompartemen. Sindroma kompartemen dapat
terjadi dimana saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau
lengan. Dapat juga ditemukan sensasi kesemutanatau rasa terbakar
(parestesia) pada otot.
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh
jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen
setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas,
disfungsional, dan mengalami deformasi.
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang
panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.
Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:
a. Kaku sendi atau artritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi dapat
terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen,
atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan
semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan
resiko kekauan sendi.
b. Nekrosis avascular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur
diproksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan
sirkulasi lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya
nekrosis vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk perbaikan
tulang setelah terjadinya fraktur.
c. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang
tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta
gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada
tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat
bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi
fraktur.
d. Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi
tidak benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada
fragmen fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.
e. Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan
setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya
tidak terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak
cukup dan tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur.
f. Penyatuan fibrosa
Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur.
Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan meningkatkan
resiko pasien terhadap jenis penyatuan fraktur.
g. Sindroma nyeri regional kompleks
Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma
disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan
pembengkakan tungkai yang sakit,
7. Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.
8. Penatalaksaan fraktur
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah
tulang. Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau
imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur
iga dan fraktur klavikula pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa
reposisi, biasanya dilakukan pada patah tulang tungkai bawah tanpa
dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti
dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara
keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa
tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan
terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-
operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif. Cara
ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna yang
biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara yang
terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis
(Sjamsuhidayat dkk, 2010).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1) Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang
sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2) Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk
mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal
atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi
terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk
mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat
fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat
tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
3) Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan
mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
4) Rehabilitasi Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
Setelah pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan
latihan. Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi
menjadi tiga kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan
rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau
kontraktur jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot
yang diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat
otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4- 6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien
yang mengalami gangguan ekstremitas atas

5. Konsep Intervensi Yang Diberikan


1. Definisi
Terapi benson merupakan Teknik relaksasi pernapasan dengan melibatkan
keyakinan yang mengakibatkan penurunan terhadap konsumsi oksigen oleh
tubuh dan otot-otot tubuh menjadi rileks sehingga menimbulkan perasaan
tenang dan nyaman.
2. Mekanisme Relaksasi Benson
Adanya penurunan skala nyeri pada responden terjadi setelah diberikan terapi
relaksasi Benson selama 15 menit. Relaksasi benson merupakan relaksasi
yang menggabungkan antara teknik respons relaksasi dan system keyakinan
individu atau faith factor (difokuskan pada ungkapan tertentu berupa nama-
nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna menenangkan bagi pasien itu
sendiri) yang diucapkan berulang-mulang dengan ritme teratur disertai sikap
pasrah. Relaksasi bertujuan untuk mengatasi atau mengurangi kecemasan,
menurunkan ketegangan otot dan tulang, serta secara tidak langsung dapat
mengurangi nyeri dan menurunkan ketegangan yang berhubungan dengan
fisiologi tubuh. Pelatihan relaksasi bertujuan untuk melatih pasien agar dapat
mengkondisikan dirinya untuk mencapai suatu keadaan rileks. Pemberian
terapi benson kepada responden yang seluruhnya beragama Islam, maka
terapi benson diberikan dengan cara membimbing responden untuk berdoa
seperti biasa dilakukan seperti menyebut nama Allah. Terapi benson ini
dengan mengucapkan Subhanallah (Maha suci Allah), Alhamdullilah (segala
puji bagi Allah), Allahuakbar (Allah Maha Besar), Lailaha-illallah (Tiada
Tuhan selain Allah ) dengan nada suara rendah dan berulang - ulang dalam
waktu 15 menit. Pada proses meditasi terapi benson ini konsentrasi pikiran
dilakukan pada Allah secara terus menerus, tanpa henti dan secara sadar serta
dilakukan dengan totalitas baik kognitif atau emosional terhadap Allah SWT.
Terapi benson yang dilakukan pasien sebagai bentuk relaksasi untuk
mencegah stimulus nyeri masuk kedalam otak sangat bermanfaat untuk
membantu pasien mengontrol nyeri pasca operasi fraktur femur.

BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN
Terdapat pengaruh terapi relaksasi Benson terhadap skala nyeri pada pasien post
operasi fraktur femur di rumah sakit umum daerah meuraksa banda aceh
B. SARAN
Dapat menjadi media pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan tentang
pengaruh terapi Relaksasi Benson terhadap skala nyeri pada pasien post operasi
fraktur femur di rumah sakit umum daerah meuraksa banda aceh.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Afroh, F., Mohammad Judha. Sudarti, (2012). Teori Pengukuran Nyeri & Persalinan.
Yogyakarta : Nuha Medika.

Appley, AG & Solomon. (2010). Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta: Widya
medika.

American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS). (2013). Distal Radius Fracture


(Broken Wrist). Diakses melalui: http://othoinfo.aaos.org/PDFs/A00412.pdf .

Andarmayo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta.

Benson H. the relaxation response. New York: Morrow, 1975. From:

Alifbaja.wordpress.com/tag/dr-herbert-benson/ Diunduh pada tanggal 14 Oktober


2013.

Benson H & Proctor W. (2000). Keimanan Menyembuhkan Dasar-Dasar Respon Relaksasi.


From: bkdsurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/KTIPDarmaniz.pdf. diunduh pada
tanggal 15 November 2013.

Brunner, & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah (8th ed.). Jakarta: EGC.
Carpintero, P., Caerio, J., Morales, A., Carpintero, R., Mesa, M., Silva, S. (2014). Compilcations
of Hip Farctures: A Review. Word Journal Orthopedics. Vol. 5 (4), 402-411.

Cummings, T.G & Worley, C.G (2006), Organisation Development & Change, 8 th edition,
Thomson South-Western College Publishing, Cincinati, Ohio.

Dahlan, M. S. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan (edisi 5). Jakarta: Salemba
Medika.

Day, W., (2000). Relaxation: A Nursing Therapy To Help Relieve Cardiac Chest Pain. Aust .
j. adv. Nurs. 18, 40-44.

Darmawan, K. (2014). Pengaruh Relaksasi Benson Terhadap Tekanan Darah Pada Pasien
Hipertensi Di Puskesmas Denpasar Timus II. Jurnal Keperawatan Universitas Udayana
Denpasar.

Datak G. (2008). Efektifitas Relaksasi Benson Untuk Penurunan Nyeri pada Pasien Pasca
Bedah Tur Prostat di RSU Fatmawati Jakarta. From:
http://eprints.lib.ui.ac.id/4461/6/127176-TESIS0443GadNo8e-EfektifitasrelaksasiHA.pdf.
Diunduh pada tanggal 10 januari 2019.

Anda mungkin juga menyukai