Oleh :
Agus Sriyono
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Tulang merupakan jaringan ikat yang bersifat kaku dan membentuk bagian
terbesar kerangka, serta merupakan jaringan penunjang tubuh utama. Tulang juga
merupakan organ hidup yang terasa nyeri apabila mengalami cidera, berdarah
apabila patah dan tumbuh seiring dengan usia (Moore, 2015). Tulang berfungsi
untuk melindungi struktur vital, menopang tubuh, mendasari gerak secara
mekanis, membentuk beberapa sel darah, serta menimbun berbagai mineral. Jika
terjadi kerusakan pada tulang, tentu saja menimbulkan akibat yang fatal bagi
tubuh. Salah satu kerusakan tulang yang umum terjadi adalah patah tulang atau
fraktur (Faradisi, 2012).
Fraktur merupakan gangguan penuh atau sebagian pada kontinuitas struktur
tulang. Fraktur terjadi dikarenakan hantaman langsung sehingga sumber tekanan
lebih besar daripada yang diserap, ketika tulang mengalami fraktur maka struktur
sekitarnya akan ikut terganggu (Smeltzer, 2013). Fraktur dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi (Prof.
Chairuddin Rasjad, 2012). Berdasarkan data World Health Organization (WHO)
mencatat pada tahun 2017-2018 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3
juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2018). Data
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014-2018 jumlah angka kecelakaan di
Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya, data terakhir pada tahun 2018
jumlah kecelakaan yang terjadi di Indonesia sebanyak 109.215 (BPS, 2019).
Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 didapatkan kasus fraktur di Indonesia
mencapai prevalensi sebesar 5,5% dengan jenis fraktur yang paling banyak
terjadi yaitu fraktur pada bagian ekstremitas bawah sebesar 65,2% dan
ekstremitas atas sebesar 36,9%, sedangkan 2 menurut jenisnya 5,8% diantaranya
mengalami kasus fraktur tertutup.
2
deskriptif, visual analog scale (VAS), FLACC scale, WongBaker Faces, Comport
Scale (Zakiyah, 2015)
Penatalaksanaan nyeri yang efektif adalah aspek penting dalam asuhan
keperawatan yang dapat dilakukan secara farmakologi dan nonfarmakologi.
Secara farmakologi dilakukan dengan penggunaan obat-obatan sedangkan secara
Universitas Sumatera Utara non farmakologi salah satunya dapat dilakukan
dengan memberikan stimulasi kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah memberikan
kompres dingin pada tubuh yang bertujuan untuk meredakan nyeri dengan
memperlambat kecepatan konduksi saraf dan menghambat impuls saraf (Kozier
& Erb, 2016). American College of Sports Medicine juga menyarankan pasien
untuk menggunakan kompres dingin untuk pengobatan awal cedera
muskuloskeletal akut pada ekstremitas (Millar, 2011).
Kompres dingin merupakan salah satu perawatan non farmakologi untuk
mengurangi nyeri akut karena injuri. Suhu dingin bermanfaat untuk
menghilangkan panas dari dalam tubuh sehingga menyebabkan vasokontriksi,
penurunan metabolisme, mengurangi peradangan dan mengurangi nyeri (Tilak,
2016). Kompres dingin juga dapat menekan tingkat metabolisme jaringan lunak
terkait dengan penurunan aktivitas enzimatik dan juga dapat mencegah kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh hipoksia. Hipotermia lokal menginduksi
vasokonstriksi dan menurunkan sirkulasi mikro lebih dari 60%, sehingga
vasokonstriksi menyebabkan berkurangnya ekstravasasi darah ke dalam
lingkungan jaringan sehingga rasa nyeri berkurang. Efek kompres dingin dapat
bertahan sampai 30 menit setelah kompres dingin dihentikan (Blok, 2010).
Penelitian Suryani dan Soesanto (2020) menunjukan bahwa terjadi penurunan
nilai skala nyeri setelah dilakukan terapi kompres dingin. Rata-rata nilai skala
nyeri pada pengukuran sebelum terapi adalah 3,7 dan mengalami penurunan
setelah terapi kompres dingin menjadi 2,9.
Menurut Andarmoyo (2013) dampak fisiologis penggunaan cold pack
memberikan dampak fisiologis yaitu vasokontriksi pada bagian pembuluh darah,
4
dinginterhadap tingkat
nyeri saat pemasangan
infus pada anak usia
sekolah di RSUD
Sanjiwani Gianyar