Anda di halaman 1dari 16

Industri Minyak Sawit Merupakan Industri

Strategis Nasional

Industri minyak sawit nasional merupakan industri strategis dalam


perekonomian makro, pembangunan ekonomi daerah, pengurangan
kemiskinan dan pengurangan emisi GHG. Dalam perekonomian makro,
industri minyak sawit berperan strategis yakni penghasil devisa terbesar,
lokomotif perekonomian nasional, membangun kedaulatan energi, ekonomi
kerakyatan dan dalam penyerapan tenaga kerja.
Industri Minyak Sawit Merupakan Industri Strategis Nasional
Dalam pembangunan ekonomi daerah, industri minyak sawit berperan
strategis membangun daerah pinggiran/pelosok menjadi pusat pertumbuhan
baru dan memacu pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Peningkatan produksi
CPO meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan daerah sentra-
sentra sawit. Industri miyak sawit juga industri strategis dalam pengurangan
kemiskinan.
Peningkatan produksi CPO menurunkan kemiskinan secara signifikan di
sentra-sentra perkebunan kelapa sawit. Selain itu industri minyak sawit juga
bagian penting dalam penurunan emisi GHG baik nasional maupun global
yakni melalui pengurangan emisi GHG (dengan pengantian solar dengan
biodiesel sawit) dan penyerapan kembali CO2 oleh tanaman kelapa sawit dari
atmosfer bumi.
PENDAHULUAN
Saat ini pemerintah bersama rakyat Indonesia sedang berjuang untuk
mengatasi berbagai masalah pembangunan ekonomi nasional. Bagaimana
menurunkan kemiskinan, percepatan pembangunan daerah pedesaan di
pelosok-pelosok untuk mengurangi ketimpangan, mengatasi pengangguran,
peningkatan pendapatan, stabilisasi dan menyehatkan neraca pembayaran,
kemandirian energi dan lain sebagainya, merupakan deretan masalah
ekonomi yang dihadapi pembangunan ekonomi nasional.
Masalah kemandirian energi dimana lebih dari 50 persen kebutuhan BBM
kita tergantung pada impor sehingga berisiko tinggi bagi perekonomian.
Selain energi sektor industri dan keuangan juga tergantung pada impor
dengan import content sekitar 70 persen. Akibatnya perekonomian
mengalami triple-deficit (trade-deficit, fiscal-deficit, saving investment
deficit) secara bekelanjutan. Triple-deficit yang demikian menyebabkan
ruang gerak memacu pertumbuhan ekonomi terbatas (sulit mencapai di atas 6
persen), sehingga penciptaan kesempatan kerja minim, peningkatan
pendapatan terbatas dan penurunan kemiskinan berjalan lamban.
Untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi tersebut, tidak dapat dilakukan
dengan upaya-upaya kecil (bit by bit) seperti selama ini yang tidak
menghasilkan perubahan yang signifikan. Untuk keluar dari masalah-masalah
permanen tersebut memerlukan strategi berdampak besar dan luas (big-push
strategy) sehingga menghasilkan perubahan besar dan luas (big-impact). Kita
memerlukan industri industri yang memiliki dampak luas, yang sering
disebut sebagai industri strategis. Sayangnya tidak banyak kelompok
industri (cluster industry) yang dapat dijadikan sebagai industri strategis.
Sebagian besar industri yang ada di Indonesia saat ini selain tidak terkluster
juga berbasis impor sehingga tidak berdampak luas dan besar dalam
perekonomian kita.
Salah satu (jika bukan satu-satunya) yang ada adalah industri minyak sawit
(perkebunan kelapa sawit, industri hilir miyak sawit, industri pendukung).
Industri minyak sawit tersebut bukan hanya sebagai big-push industry tetapi
juga big-impact dalam perekonomian Indonesia.
STRATEGIS DALAM PEREKONOMIAN MAKRO
Dalam perekonomian makro ekonomi Indonesia, industri minyak sawit
memiliki peran strategis antara lain yakni penghasil devisa terbesar,
lokomotif perekonomian nasional, kedaulatan energi, sektor ekonomi
kerakyatan dan penyerapan tenaga kerja.
Penghasil Devisa Terbesar. Devisa negara merupakan suatu ekspor netto
yakni nilai ekspor dikurang dengan nilai impornya. Suatu industri ekspor
meskipun menyumbang nilai ekspor yang besar, apabila nilai impornya juga
besar maka secara netto akan menghasilkan devisa yang kecil bahkan dapat
menjadi defisit devisa. Dalam perekonomian Indonesia, sektor non migas
(termasuk didalamnya industri minyak sawit) merupakan sektor andalan
untuk menghasilkan devisa negara. Selama periode 2008-2014 nilai ekspor
netto sektor non migas mengalami fluktuasi tetapi secara netto masih surplus.
Jika nilai eskpor non migas dipisahkan antara ekspor minyak sawit dan non
minyak sawit akan terlihat bahwa nilai netto ekspor minyak sawit secara
konsisten mengalami surplus dengan kecenderungan yang meningkat.
Sebaliknya nilai netto ekspor non minyak sawit cenderung menurun dari
surplus menjadi defisit. Secara total nilai netto ekspor non migas masih
mengalami surplus yang disumbang oleh ekspor minyak sawit.
Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Netto Ekspor Non Migas Indonesia (USD
miliar)

Sumber : BPS
Data tersebut dengan jelas menunjukan bahwa ekspor minyak sawit
merupakan komponen penting yang membuat surplus neraca perdagangan
non migas Indonesia. Tanpa ekspor minyak sawit neraca perdagangan
Indonesia akan mengalami defisit (negatif devisa).
Lokomotif Perekonomian Nasional. Suatu sektor/industri layak menjadi
industri strategis jika pertumbuhannya bersifat inklusif. Pertumbuhan industri
strategis diharapkan mampu menarik sektor-sektor perekonomian seluas
mungkin.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit mempengaruhi pertumbuhan sektor-
sektor lain baik sektor penyediaan input bagi perkebunan kelapa
sawit (backward linkages) maupun sektor-sektor yang lebih hilir yakni sektor
ekonomi yang menggunakan output perkebunan kelapa sawit sebagai
inputnya (forward linkages).
Koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang perkebunan kelapa sawit.
Keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit bernilai US$ 1.51. Hal ini
berarti bahwa setiap pertumbuhan output perkebunan kelapa sawit (CPO)
berdampak pada penggunaan output sektor lain yang lebih besar sebagai
input perkebunan kelapa sawit. Sektor penyedia input utama dari perkebunan
kelapa sawit adalah surplus usaha tahun sebelumnya dan modal sendiri
(reinvestasi), pupuk, kimia, pestisida, tenaga kerja, sektor keuangan dan
sektor lain.
Keterkaitan ke depan perkebunan kelapa sawit bernilai US$ 1.42. Setiap
peningkatan output perkebunan kelapa sawit (CPO) akan menghela
peningkatan penggunaan CPO yang lebih besar sebagai input sektor lain.
Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang serta Indeks Multiplier Perkebunan
Kelapa Sawit

Sumber: Statistik Indonesia


Sektor pengguna CPO adalah industri minyak nabati, industri kimia, industri
makan. Sekitar 80 persen output CPO diserap oleh industri minyak nabati,
industri minyak kimia khususnya oleokimia (14 persen), industri makanan
(0.31 persen), perkebuan kelapa sawit itu sendiri (4.64 persen) dan sisanya
sektor lain.
Secara keseluruhan, keterkaitan ke belakang perkebunan kelapa sawit lebih
tinggi dibandingkan keterkaitan ke depan. Hal ini berarti perkebunan kelapa
sawit lebih berperan sebagai lokomotif ekonomi yang menarik perkembangan
sektor-sektor lain melalui penggunaan outputnya sebagai input perkebunan
kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan dampak ekonomi
yang relatif besar (big-impact).
Berdasarkan indeks multiplier output, income, labor, dan value
added, kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam
menciptakan output, pedapatan, nilai tambah dan kesempatan kerja lebih
tinggi dibandingkan dengan kemampuan rata-rata sektor-sektor
ekonomi. Indeks multiplier output perkebunan kelapa sawit 1.71. Hal ini
berarti kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan output
nasional 1.7 kali dari rata-rata sektor-sektor dalam perekonomian.
Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan
pendapatan (income generating) tercermin dari indeks multiplier income yang
bernilai 1.8. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menciptakan
pendapatan 1.8 kali dari rata-rata kemampuan menciptakan pendapatan
sektor-sektor ekonomi.
Dalam menciptakan nilai tambah, perkebunan kelapa sawit mampu
menciptakan nilai tambah tiga kali dari rata-rata sektor-sektor ekonomi dalam
perekonomian. Dalam penciptaan kesempatan kerja (job-
creation) kemampuan perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan 2.6 kali
kesempatan kerja dalam perekonomian dibandingkan rataan kemampuan
sektor ekonomi lainnya.
Sektor-sektor ekonomi utama (10 besar sektor ekonomi) yang
menikmati multiplier effect dari peningkatan permintaan akhir perkebunan
kelapa sawit (CPO). Dampak peningkatan permintaan akhir perkebunan
kelapa sawit terhadap output perekonomian (multiplier output) maupun
terhadap income (multiplier income) selain dinikmati sektor perkebunan
kelapa sawit itu sendiri, juga dinikmati sektor keuangan, sektor perdagangan,
restoran dan hotel, industri kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.
Jika permintaan CPO meningkat bukan hanya menarik
peningkatan output dan pendapatan pada perkebunan kelapa sawit saja, tetapi
juga meningkatkan output dan pendapatan sektor-sektor lain seperti sektor
keuangan, sektor perdagangan, restoran dan hotel, industri
kimia/pupuk/pestisida dan sektor-sektor lain.
Membangun Kedaulatan Energi. Membangun kedaulatan energi
merupakan hal yang penting bagi Indonesia mengingat kebutuhan energi
makin meningkat dari tahun ke tahun, makin tergantung pada BBM fosil
impor yang telah menggangu neraca perdagangan Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan upaya mengurangi ketergantungan pada BBM
fosil impor dengan mengembangkan energi subsitusi terbarukan (renewable
energy) di dalam negeri, seperti kebijakan mandatori biodiesel sawit.
Kebijakan mandatori biodiesel yang sedang di implementasikan pemerintah
yakni dari B-15 (2015) ke B-20 (2016) dan B-30 (2020) menghasilkan
penghematan solar impor dan devisa.
Jika implementasi kebijakan mandatori tersebut dilaksanakan secara penuh
terjadi peningkatan penghematan solar impor yakni sebesar 6.4 juta ton tahun
2015 menjadi 15.2 juta ton (2020). Akibatnya menghemat devisa yang
diperlukan untuk impor solar sebesar USD 5.6 miliar (2015) menjadi USD
16.7 miliar (2020). Pengurangan ketergantungan pada impor solar dan
penghematan devisa impor solar tersebut merupakan bagian penting dari
membangun kedaulatan energi.

Penghematan
Solar Impor dan Devisa Akibat Mandatori Biodiesel
Sektor Ekonomi Kerakyatan Terbesar. Perkebunan kelapa sawit juga
merupakan sektor ekonomi yang didalamnya terlibat banyak usaha rumah
tangga petani, usaha kecil menengah baik pelaku langsung perkebunan sawit
itu sendiri maupun secara tidak langsung yakni supplier perkebunan kelapa
sawit.
Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia telah meningkat dari sekitar 300
ribu hektar tahun 1980 menjadi sekitar 11 juta hektar tahun 2014
(Kementerian Pertanian, 2015). Dalam perkembangan tersebut, perkebunan
kelapa sawit rakyat menunjukan pertumbuhan yang cepat bahkan tergolong
revolusioner.
Pada tahun 1980, pangsa sawit rakyat hanya 2 persen. Namun pada tahun
2014 pangsa sawit rakyat telah mencapai sekitar 42 persen. Diproyeksikan
menuju tahun 2020 pangsa sawit rakyat akan mencapai 50 persen melampaui
pangsa sawit swasta yang diperkirakan akan menjadi 45 persen.
Perkebunan kelapa sawit yang berada pada 190 kabupaten merupakan sektor
ekonomi yang berbasis pada sumber daya lokal. Salah satu aktor penting dari
perkebunan kelapa sawit adalah usaha keluarga petani sawit (bagian dari
UKM). Perkembangan usaha keluarga petani sawit meningkat cepat dari
hanya 142 ribu unit menjadi 2.3 juta unit. Perkembangan UKM petani sawit
tersebut, sangat revolusioner dan dilakukan tanpa membebani anggaran
pemerintah.

Perubahan Pangsa Kebun Sawit Rakyat dalam Perkebunan Kelapa Sawit


Nasional
Pertumbuhan Unit
Usaha Petani Sawit Indonesia, (Kementan, 2015) *angka sementara,
**perkiraan
Selain petani sawit, banyak kegiatan penyediaan barang dan jasa yang terkait
dengan perkebunan kelapa sawit dan karyawannya melibatkan UKM.
Kegiatan seperti pengadaan pupuk, pestisida, alat dan mesin perkebunan,
pengangkutan TBS dan CPO, kebutuhan sembako khususnya bahan pangan
karyawan dan kebutuhan alat tulis kantor melibatkan UKM lokal.
Semakin berkembang dan dewasa perkebunan kelapa sawit semakin banyak
UKM yang teribat dalam perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan studi PASPI
(2014), rataan jumlah UKM supplier barang dan jasa perkebunan kelapa
sawit, mengalami pertumbuhan dari 565 menjadi 707 unit UKM per 100 ribu
hektar TM baik akibat pertambahan luas TM maupun umur TM.
Keikutsertaan UKM dalam industri minyak sawit baik sebagai aktor kebun
sawit maupun sebagai aktor supplier kebun sawit, telah melahirkan
masyarakat UKM baru di kawasan pedesaan. Masyarakat UKM baru
tersebut, lebih berkualitas karena berkembang atas inisiatif sendiri, self-
financing dan berbasis sumber daya lokal. Dengan kata lain, perkebunan
kelapa sawit bukan hanya mendorong perkembangan UKM lokal pada 190
kabupaten. Bahkan, perkebunan kelapa sawit hanya mungkin berkembang
pesat dengan dukungan UKM lokal tersebut.
Perkembanga
n Jumlah Usaha Kecil Menegah Supplier Barang dan Jasa Perkebunan
Kelapa Sawit (unit usaha/100 ribu Ha)

P
ertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja pada Perkebunan Kelapa Sawit
Penyerap Tenaga Kerja Terbesar. Menciptakan kesempatan kerja merupakan
salah satu sasaran pembangunan yang penting untuk memenuhi kebutuhan
pekerjaan bagi angkatan tenaga kerja baru yang bertambah sekitar 2.5 juta
orang per tahun. Industri minyak sawit khususnya perkebunan kelapa sawit
merupakan suatu industri dengan teknologi relatif padat karya (labor
intensive) dan bukan padat modal. Oleh karena itu, setiap pertambahan
produksi minyak sawit hanya mungkin terjadi jika dilakukan peningkatan
penggunaan tenaga kerja. Secara umum, jumlah tenaga kerja yang terserap
pada industri minyak sawit mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yakni
2.1 juta orang tahun 2000 menjadi 8.4 juta orang tahun 2015. Hal ini
menunjukan bahwa industri minyak sawit adalah padat karya yang menyerap
banyak tenaga kerja.
STRATEGIS DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
Selain berkontribusi pada perekonomian makro, suatu industri disebut
sebagai industri strategis jika memiliki kontribusi/peran penting dalam
pembangunan ekonomi daerah. Hal ini penting mengingat percepatan
pembangunan ekonomi daerah menjadi target penting pemerintah sesuai
dengan kebijakan otonomi daerah. Lagi pula, pertumbuhan ekonomi nasional
hanya mungkin terjadi jika perekonomian daerah bertumbuh. Membangun
Daerah Pinggiran/Pelosok Menjadi Pusat Pertumbuhan Baru. Pembangunan
perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan
merupakan kegiatan ekonomi pioner.
Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi dan terbelakang
yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa
sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara/BUMN (PN) dan atau
perusahaan swasta (PS) sebagai inti dan masyarakat lokal (PRP) sebagai
plasma dalam suatu kerjasama PIR atau bentuk kemitraan yang
lain. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani
mandiri mendorong berkembangnya usaha kecilmenengah-koperasi (UKMK)
yang bergerak pada supplier barang/jasa industri perkotaan (SB), maupun
pedagang hasilhasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan
(SF) masyarakat perkebunan kelapa sawit.
Evolusi Pembangunan dari Daerah Terbelakang/Terisolasi ke Perkebunan
Kelapa Sawit dan Menjadi Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Baru di
Kawasan Pedesaan
Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah
menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-
pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lainlain sedemikian rupa sehingga
secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian).
Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun
2013 setidaknya 50 kawasan pedesaan terbelakang/terisolir telah berkembang
menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis sentra produksi
CPO. Antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan
(Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain
(Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain. Sebagian besar
dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota
kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan.
Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Hasil studi PASPI (2014)
menunjukan bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit (CPO) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) daerah-daerah sentra sawit. Pertumbuhan ekonomi daerah
bahkan sangat responsif terhadap peningkatan produksi minyak sawit.
Peningkatan produksi minyak sawit menarik pertumbuhan ekonomi daerah
yang lebih besar dari peningkatan produksi CPO.
Pengaru
h Produksi CPO terhadap Produk Domestik Regional Bruto

Perba
ndingan PDRB Non Migas Kabupaten-Kabupaten Sentra Sawit dengan Non
Sentra Sawit Nasional (PASPI, 2014)
Perekonomian daerah-daerah yang dihela oleh pertumbuhan produksi minyak
sawit tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak
dihela oleh pertumbuhan sentra sawit. Akibatnya terjadi perbedaan yang
tajam dalam pertumbuhan PDRB antara daerah sentra sawit dibandingkan
dengan daerah bukan sentra sawit.
STRATEGIS DALAM PENGURANGAN KEMISKINAN
Mengurangi jumlah penduduk miskin merupakan hal yang strategis dalam
perekonomian nasional sebagaimana dimuat dalam RPJM 2014-2019,
maupun dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Jumlah
penduduk miskin sebagian besar berada di kawasan pedesaan. Oleh karena
itu tantangannya adalah bagaimana menurunkan penduduk miskin di
kawasan pedesaan. Menurut Bank Dunia, perkembangan kebun sawit yang
cepat di Indonesia ternyata memberi kontribusi penting dalam penurunan
kemiskinan. Para peneliti di dalam negeri juga membuktikan hal yang sama.
PASPI (2014) misalnya membuktikan bahwa peningkatan produksi minyak
sawit di sentra-sentra perkebunan sawit berkaitan erat dengan penurunan
kemiskinan. Peningkatan produksi minyak sawit menurunkan kemiskinan
pedesaan secara signifikan.
Berdasarkan berbagai studi menunjukan bahwa pengembangan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia justru berhasil menurunkan kemiskinan di
pedesaan. Berdasarkan studi PASPI (2014) menunjukan bahwa produksi
minyak sawit berhubungan negatif dengan kemiskinan. Peningkatan produksi
CPO menurunkan tingkat kemiskinan pedesaan secara signifikan.

Pengar
uh Produksi CPO Terhadap Kemiskinan Pedesaan
Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit
bagian penting dari pengurangan kemiskinan di Indonesia. Susila dan
Munadi (2008) maupun Joni et al (2012) menunjukan bahwa peningkatan
produksi minyak sawit nasional mengurangi kemiskinan. Goenadi
(2008) mengemukakan bahwa lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam
perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari kemiskinan. World Growth
(2011) mengemukakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian
penting dan signifikan dalam mengurangi kemiskinan.
STRATEGIS DALAM PENURUNAN EMISI GHG
Sesuai dengan komitmen pemerintah pada berbagai forum internasional
bahwa meskipun emisi gas rumah kaca (GHG) Indonesia tergolong relatif
kecil dibandingkan negara lain (sehingga tidak diwajibkan diturunkan),
namun Indonesia menempatkan diri sebagai bagian solusi dari masalah
lingkungan global pada batas-batas yang tidak merugikan kepentingan
pembangunan Indonesia. Upaya menurunkan emisi GHG dapat dilakukan
dengan dua cara yakni menyerap kembali GHG dan mengurangi emisi GHG.
Industri minyak sawit menjadi bagian penting dari pengurangan emisi GHG
nasional. Pertama, perkebunan kelapa sawit sebagaimana umumnya
tumbuhan menyerap GHG (karbondioksida) dari atmosfer bumi dan
menyimpannya dalam bentuk biomas. Berdasarkan pertumbuhan luas dan
komposisi perkebunan kelapa sawit, volume netto penyerapan CO2
perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 2015 bertumbuh sekitar 22.3 juta
ton dan tahun 2020 bertambah sekitar 183.2 juta ton. Kedua, melalui
kebijakan mandatori biodiesel sawit, terjadi penghematan emisi CO2 sebesar
10.3 juta ton (2015) dan tahun 2020 sekitar 24.6 juta ton. Dengan demikian,
industri minyak sawit berkontribusi menurunkan emisi GHG Indonesia
sebesar 30.6 juta ton tahun 2015 dan 207.8 juta ton tahun 2020. Hal ini
berarti industri minyak sawit nasional juga strategis jika dilihat dari upaya
penurunan GHG Indonesia maupun global.
Penghematan Emisi dengan Mandatori Biodiesel dan Penyerapan Netto CO2
Perkebunan Kelapa Sawit
KESIMPULAN
Pembangunan nasional saat ini masih menghadapi berbagai masalah
pembangunan ekonomi seperti menurunkan kemiskinan, percepatan
pembangunan daerah pedesaan di pelosokpelosok untuk mengurangi
ketimpangan, mengatasi pengangguran, peningkatan pendapatan, stabilisasi
dan menyehatkan neraca pembayaran, kemandirian energi dan lain
sebagainya.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut memerlukan pembangunan
sektor/industri strategis yang memiliki daya dorong besar (big-push) dan
inklusif/berdampak luas. Industri minyak sawit nasional merupakan industri
strategis dalam perekonomian makro, pembangunan ekonomi daerah,
pengurangan kemiskinan dan pengurangan emisi GHG. Dalam perekonomian
makro, industri minyak sawit berperan strategis yakni penghasil devisa
terbesar, lokomotif perekonomian nasional, membangun kedaulatan energi,
ekonomi kerakyatan dan dalam penyerapan tenaga kerja.
Dalam pembangunan ekonomi daerah, industri minyak sawit berperan
strategis membangun daerah pinggiran/pelosok menjadi pusat pertumbuhan
baru dan memacu pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Peningkatan produksi
CPO meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan daerah sentra-
sentra sawit. Industri miyak sawit juga industri strategis dalam pengurangan
kemiskinan. Peningkatan produksi CPO menurunkan kemiskinan secara
signifikan di sentrasentra perkebunan kelapa sawit.
Selain itu industri minyak sawit juga bagian penting dalam penurunan emisi
GHG baik nasional maupun global yakni melalui pengurangan emisi GHG
(dengan pengantian solar dengan biodiesel sawit) dan penyerapan kembali
CO2 oleh tanaman kelapa sawit dari atmosfer bumi
Source : PASPI

Anda mungkin juga menyukai