Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MORAL REASONING

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan Mata Kuliah Berfikir Kritis

Dosen Pengampu : Happy Marthalena S, SST.,M.Keb

Disusun Oleh:

Kelompok V

ENDAH L : PO.62.24.2.22.505 NURUL ISTIQOMAH : PO.62.24.2.22.520


FEBBY S : PO.62.24.2.22.508 QOTRUN N.S.W : PO.62.24.2.22.521
FITRYA M : PO.62.24.2.22.509 RIZKA R : PO.62.24.2.22.528
MAHMUDAH : PO.62.24.2.22.514 SITI MAYSARAH : PO.62.24.2.22.529
MARETHALINA : PO.62.24.2.22.515 SRI FITRIA : PO.62.24.2.22.530
MERY O : PO.62.24.2.22.517 THERESYA N. T : PO.62.24.2.22.531
NUR INDAH P. D : PO.62.24.2.22.519 NORKAMILAH : PO.62.24.2.22.560

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDRAL MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALANGKARAYA
PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN
2022

I
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-

Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Moral Reasoning ” yaitu

mengenai tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang berhubungan dengan nilai-nilai

susila, larangan, tindakan salah ataupun benar dan juga mengacu pada baik buruknya perilaku

manusia.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah

Berfikir Kritis. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan

serta pengetahuan kita mengenai tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang berhubungan

dengan nilai-nilai susila, larangan, tindakan salah ataupun benar dan juga mengacu pada baik

buruknya perilaku manusia. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari

kata sempurna untuk itu kami menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi

menyempurnakan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi kita semua.

Palangka Raya, Juli 2022

Penulis

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.............................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................2
C. TUJUAN PENULISAN...........................................................................3
D. MANFAAT...............................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................4


A. Pengertian Moral Reasoning............................................................................4
B. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Moral Reasoning...............................4
C. Tahap - Tahap Moral Reasoning.....................................................................5
D. Langkah-Langkah Melakukan Critical Thinking.......................................9
E. Jurnal Tentang Moral Reasoning..........................................................10

BAB III PENUTUP.............................................................................................14


A. KESIMPULAN........................................................................................14
B. SARAN.....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berpikir kritis (critical thinking) dalam kebidanan merupakan suatu proses disiplin
atau pendisiplinan intelektual aktif dan kemahiran dalam mengkonsep, menerapkan dan
mengevaluasi informasi dari hasil pengumpulan atau ditimbulkan dari pengamatan,
pengalaman, perenungan, penalaran atau komunikasi sebagai petunjuk yang dapat
dipercaya dan dalam bertindak. Berpikir kritis berdasarkan nilai-nilai akal budi yang
sesuai dengan “subject-matter” dan mencakup kejernihan, ketelitian, ketepatan, bukti,
kesempurnaan dan kejujuran.

Bepikir kritis dalam clinical practise merupakan suatu proses intelektual dari
penerapan proses penalaran yang mahir, sebagai petunjuk ‘untuk dipercaya’ atau
bertindak. Dengan maksud tertentu, proses berpikir dalam usaha untuk memecahkan
masalah. Berpikir kritis merupakan suatu kemampuan yang utama dalam penyediaan
pelayanan kesehatan yang professional terumata dalam Kebidanan. Betapa pentingnya
berpikir kritis ‘dibangun’ dalam praktek, sehingga sesuai dengan intelektual standard serta
keahlian dalam menggunakan penalaran, kemampuan untuk menggunakan “thinking
skills” dan kemampuan untuk mengambil pertimbangan klinis yang aman. Seseorang
yang berpikir kritis tidak akan menerima informasi (baik verbal atau tertulis) begitu saja,
tetapi mereka akan mencari fakta-fakta yang mendukung, mencari asumsi yang
tersembunyi dan membentuk berbagai macam keputusan atau kesimpulan. Sedangkan
orang yang tidak berpikir kritis, tidak dapat menggunakan dan menentukan pilihan secara
rasional, dapat membahayakan dirinya sendiri dan juga orang lain. Berpikir kritis
sangatlah berperan penting dalam penalaran klinis, sehingga didapatkan suatu
petimbangan klinis yang sesuai dengan diagnosis yang tepat.
Penalaran moral atau sering disebut moral thinking merupakan keputusan
seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan alasanny a. Sejalan
dengan tahap perkembnagan kognisi, maka keputusan moral atau penalaran moral
memiliki tahap-tahap perkembangan moral. Sidi Gazalba mengatakan bahwa moral itu

1
suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran tindakan umum diterima oleh kesatuan sosial
atau lingkungan tertentu (Abdul Muki, 2101: 33). Bagi Gazalba, ada perbedaan antara
moral dan etika. Moral bersifat praktik sedangkan etika bersifat teori.
Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-
nilai susila (Abdul Muki, 2101: 24). Sedangkan menurut Magnis Suseno, bahwa moral
selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan manusia.
Dalam kerangka pendidikan moral, perlu diperhatikan unsur nilai moral, yaitu
penalaran nilai moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Penalaran moral terkait
dengan kesadaran atau alasan mengapa seseorang harus melakukan sesuatu hal, perasaan
moral adalah lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan
mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap oang lain merupakan ekspresi dari perasaan
moral(F, 2018).
Penalaran moral menekankan tentang alasan mengapa tindakan itu dilakukan,
daripada sekedar arti suatu tindakan, sehingga di sini tindakan itu dapat dinilai baik atau
buruk. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatianya pada pernyataan orang apakah
tindakan itu benar atau salah. Alasannya, mungkin orang dewasa akan melakukan
tindakan yang sama dengan anak-anak, maka di sini tidak tampak adanya perbedaan
antara keduanya. Apa yang beda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang
diberikan terhadap suatu hal yang benar atau salah (F, 2018).
Penalaran moral bukan isi tetapi merupakan konstruksi atau struktur pemikiran.
Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik atau yang buruk,
tetapin tentang bagaimana seseorang berfikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu itu
baik atau buruk(F, 2018).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dalam Makalah ini, yaitu Apa yang dimaksud
dengan Moral Reasoning dalam mengambil suatu keputusan dalam Kebidanan?

2
C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui moral reasoning dalam
mengambil suatu keputusan
D. MANFAAT
1. Bagi Mahasiswa(i)
Manfaat bagi mahasiswa, yaitu untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang
Moral Reasoning dan bagaimana penerapannya dalam Kesehatan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Moral Reasoning


Moral berasal dari bahasa Latin mores berarti adat kebiasaan. Maksud moral
ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana
yang baik dan wajar. Menurut Yusuf (2012 : 132) istilah moral berasal dari kata
Latin mos (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, tatacara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilali-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online (kbbi.web.id, 2015)
menyatakan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.
moral reasoning ialah penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau “nilai”, melainkan selalu
mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat
konstruktif kognitif yang aktif terhadap titik pandangan masing- masing partisipan
dan kelompok yang terlibat, sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak,
kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi atau kelompok terhadap yang baik dan yang
adil(Ii, 2019)

B. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Moral Reasoning


Perkembangan moral remaja dapat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama keluarga
tepatnya yaitu orang tua. Maka patut diperhatikan oleh orang tua sehubungan dengan
perkembangan moral remaja (Ii & Pustaka, 2019), diantaranya:
1. Konsisten dalam mendidik anak
Kedua orang tua antara ayah dan ibu harus memiliki peraturan yang sama dalam
mendidik anak dan senantiasa tetap dan tidak mudah berubah dalam menerapkan
peraturan.

4
2. Sikap orang tua dalam keluarga
Sikap orang tua terhadap anak, ayah terhadap ibu, dan sebaliknya mampu
mempengaruhi perkembangan moral anak sebab anak mudah sekali meniru apa
yang dilihatnya.
3. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut
Orang tua yang menanamkan nilai-nilai atau ajaran agama dengan
mengaplikasikannya maka akan dapat membentuk perkembangan moral anak dengan
baik.
4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua harus mampu menerapkan norma-norma yang ada secara konsisten
dan tidak melanggar norma yang ada agar anak pun bersikap yang demikian,
sehingga dapat membentuk moral yang baik pada diri anak.

C. Tahap - Tahap Moral Reasoning


Piaget (dalam Papalia, dkk, 2018 : 440) berpendapat bahwa penalaran moral (moral
reasoning) berkembang dalam tiga tahap, diantaranya yaitu :
1. Tahap pertama (usia 2-7 tahun, praoperasional)
Didasarkan kepada kepatuhan terhadap otoritas. Anak berpikiran kaku tentang
konsep moral. Mereka percaya bahwa aturan datang dari orang dewasa yang
memegang otoritas dan tidak bisa dicegah atau diubah, sehingga setiap pelanggaran
akan mendapatkan hukuman, terlepas dari niat yang terkandung
2. Tahap kedua (usia 7-11 tahun, operasional konkrit)
Ditandai dengan meningkatnya fleksibilitas dan beberapa tingkat otonomi tergantung
kepada rasa hormat dan kerjasama mutual. Ketika anak berinteraksi dengan banyak
orang dan bersentuhan dengan berbagai sudut pandang, mereka mulai membuat ide
bahwa hanya ada standart tunggal dan absolut dan benar atau salah dan mulai
mengembangkan perasaan akan keadilan yang didasarkan kepada keadilan atau
perlakuan yang sama untuk semua, seperti memasukkan dalam pertimbangan niat
yang melatar belakangi suatu tindakan.
3. Tahap ketiga (usia 11-12 tahun, operasional formal)

5
Pada tahap ini perkembangan moral mulai muncul. Memiliki keyakinan
bahwa semua orang harus diperlakukan sama dengan perlahan akan membuka jalan
ide-ide tentang keadilan, mempertimbangkan situasi tertentu. Anak yang memasuki
tahap ini biasanya akan menyatakan bahwa anak yang melakukan suatu kesalahan
harus diperlakukan tuntutan standar moral yang lebih longgar dibandingkan anak
usia 10 tahun yang melakukan hal sama.

Kohlberg mengatakan ada enam tahap perkembangan moral, yang dikelompokan menjadi tiga
tingkatan (C. Asri Budiningsih, 2004: 29-32, Lawrence Kohlberg, 1995: 231-234, Barry
Chazan,tth: 71) .

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi hukuman dan kepatuhan


Pada tahap ini, anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada
kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya
sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang
didukung oleh hukuman dan otoritas. Jadi pada tahap ini sesuatu perbuatan baik
buruknya hanya sekedar menghidari akibat-akibat fisik, tanpa menghiraukan arti dan
nilai manusiawi dari akibat tersebut.
2. Orientasi relativis-instrumental (Apa untungnya buat saya?)
Pada tahap ini, perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
Pada tahap ini, hubungan antar manusia dipandang seperti di pasar. Terdapat elemen
kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsikan
secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal “jika engkau menggaruk
punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas,
rasa terima kasih atau keadilan.

Tingkat 2 (Konvensional)

3. Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis” atau keserasian
interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik)

6
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang
disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip
mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut
niatnya, ungkapan “ dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang
mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
4. Orientasi hukum dan ketertiban (Moralitas hukum dan aturan)
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial.
Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati
otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirina
sendiri.

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

5. Orientasi kontrak social


Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat unitarian. Perbuatan yang baik
cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah
diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran
yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya,
terdapat sesuatu penekanan atas auran prosedural untuk mencapai kesepakatan secara
konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya
adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada
kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai
manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kotrak merupakan unsur
pengikat kewajiban.
6. Orentasi Prinsip Etika universal (Principled conscience)
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang
dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi
logis. Prinsip ini bersifat abstrak dan etis dan mereka tidak merupakan aturan moral
konkret. Pada hakekatnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan
persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi
individu.

7
Keenam tingkat penalaran moral tersebut dibedakan satu dengan lainya bukan berdasarkan
keputusan yang dibuat, melainkan didasarkan pada alasan yang digunakan untuk mengambil
keputusan.

8
D. Langkah-langkah Melakukan Critical Thinking

9
E. Jurnal Tentang Moral reasoning

LEGALITAS ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK


AKIBAT PERKOSAAN INSES
Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai legalitas aborsi yang dilakukan oleh
anak korban perkosaan inses. Merujuk pada catatan Komnas Perempuan tahun 2021 telah
terjadi kasus perkosaan inses terhadap perempuan sebanyak 215 kasus dimana 15 kasus
terjadi pada anak. Dari perkosaan inses tidak menutup kemungkinan terjadi kehamilan
pada anak dan ketidaksiapan fisik maupun psikis membuat seorang anak memilih jalan
untuk aborsi. Sehingga patut dipertanyakan tentang legalitas aborsi sebagaimana Pasal
75 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jika yang
melakukan aborsi adalah anak korban perkosaan inses. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode yuridis normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aborsi dengan indikasi perkosaan adalah legal
karena adanya trauma psikologis yang diderita oleh korban dan dimungkinkan adanya
indikasi kedaruratan medis akibat perkosaan inses. Aborsi dapat dilakukan pada saat usia
kehamilan tidak lebih dari 6 minggu dihitung dari awal pertama haid, namun
tidak menutup kemungkinan aborsi dilakukan ketika usia kandungan melebihi batas
tersebut. Sehingga penegak hukum harus dapat memastikan bahwa aborsi akibat
perkosaan inses tidak dapat dituntut pidana karena telah dilindungi oleh hukum.
Kepastian hukum yang ada harus dapat ditegakan agar tercipta keadilan dan kemanfaatan
yang menjadi tujuan dari hukum. Selain itu, diperlukan adanya suatu edukasi mengenai
kesehatan reproduksi oleh ahli kesehatan agar kasus aborsi dapat diminimalisir.
Kata kunci: Hak Anak; Legalitas Aborsi; Perkosaan Inses

10
TINDAKAN ABORSI AKIBAT PEMERKOSAAN DITINJAU MENURUT
PANDANGAN ISLAM, BIOETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM DI INDONESIA
Abstrak
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus menjadi sorotan, dimana
terdapat peningkatan kasus dari tahun sebelumnya (Tahun 2020). Pada tahun 2021 muncul
kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu kasus pemerkosaan yang dilakukan pada 13
santriwati. Aborsi sering menjadi pilihan sebagai cara menekan trauma psikologis yang
dialami korban pemerkosaan. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan tinjauan tindakan
aborsi akibat pemerkosaan ditinjau menurut pandangan islam dan bioetika kedokteran
serta memberikan gambaran kebijakan hukum tindakan aborsi akibat pemerkosaan di
negara yang telah memiliki sistem aborsi secara legal akibat perkosaan, serta memberikan
gambaran dampak dari kebijakan yang telah dilakukan. Jenis penelitian yang
digunakan yuridis empiris dengan mengumpulkan dan menganalisis, serta berfokus pada
pandangan Islam, kaidah bioetika, dan norma hukum yang berlaku. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kajian dari sisi agama islam, tindakan aborsi akibat perkosaan di
perbolehkan, sebelum usia kehamilan 40 hari dan di sepakati oleh tim yang berwenang.
Sedangkan dari kajian bioetika kedokteran, dapat dilihat dari indikasi medis dalam hal ini
kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan mental
dengan menerapkan prinsip beneficence and non-maleficence, respect for human dignity
and human right, respect for autonomy, dan respect for confidentiality and privacy. Tindakan
aborsi akibat pemerkosaan secara hukum di Indonesia dan beberapa negara telah banyak
diatur, akan tetapi dalam implementasinya masih menjadi tantangan dalam menyediakan
akses informasi dan penyediaan layanan kesehatan yang memadai.

PANDANGAN ETIKA KRISTEN TERHADAP


TINDAKAN ABORSI PADA JANIN YANG CACAT

Abstrak

Salah satu risiko kehamilan adalah memiliki janin yang cacat. Dengan teknologi saat ini,
kecacatan pada janin dapat dideteksi sedini mungkin. Untuk menghindari komplikasi dan
beban di masa datang maka sang ibu diperbolehkan untuk melakukan aborsi yang secara legal
diperbolehkan dan dilindungi oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah di Indonesia.
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan
data dari berbagai buku, baik dari buku kedokteran, buku etika moral, kitab hukum di
Indonesia, maupun buku-buku etika Kristen. Secara moral dan hukum maka aborsi akibat cacat
janin diperbolehkan yang memberikan legalitas aborsi bagi sang ibu. Namun demikian aborsi
tetaplah tindakan pembunuhan terhadap manusia yang tidak berdaya. Hal ini menuai pro dan

11
kontra bagi banyak kalangan. Untuk itu penelitian ini menjawab bagaimana orang percaya
akan memandang hal ini dan mencari kebenarannya di dalam Alkitab.

Kata-kata kunci: Aborsi; Cacat Janin; Etika Kristen; Rencana Allah; Aturan manusia

SURVEI PENGETAHUAN REMAJA TERHADAP PERILAKU SEKS BEBAS


DITINJAU DARI TINGKAT PENALARAN MORAL PADA SISWA KELAS
DUA SMA 2 BANDA ACEH TAHUN AJARAN 2019/2020
Abstrak
Masa remaja adalah masa rentang usia berkisar 10 - 24 tahun merupakan suatu fase
peralihan dari masa kanak-kanak (dependent) menuju masa dewasa (independent). Perilaku
seks bebas merupakan aktivitas seksual yang dilakukan oleh individu dengan orang lain
sebelum menikah. Berdasarkan rumusan masalah, Bagaimanakah pengetahuan remaja terhadap
perilaku seks bebas. Bagaimanakah tingkat penalaran moral remaja. Apakah ada hubungan
antara tingkat penalaran moral dengan sikap remaja terhadap perilaku seks bebas. Tujuan
penelitian ini Untuk mengetahui pengetahuan remaja terhadap perilaku seks bebas. Untuk
mengetahui tingkat penalaran moral remaja. Untuk mengetahui ada tindaknya hubungan antara
tingkat penalaran moral dengan pengertahuan remaja terhadap perilaku seks bebas di SMA 2
Banda Aceh. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Deskriptif Kuantitatif. Dengan
subjek penelitian siswa kelas II SMA Negeri 2 Banda Aceh yang berusia 16- 17 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siswa SMA Negeri 2 Banda Aceh. Tingkat
pengetahuan tentang seks bebas remaja di SMA Negeri 2 Banda Aceh mayoritas memiliki
tingkat pengetahuan Pengetahuan Remaja Terhadap Perilaku Seks Bebas terbagi menjadi 3
aspek. Aspek biologis dengan tingkat memahami Perilaku Seks Bebas 50% menjawab YA
siswa memahami Perilaku Seks Bebas dan 50% siswa menjawab TIDAK kurang dalam
memahami Perilaku Seks Bebas. Pada aspek Psikologis tingkat memahami siswa terhadap
Perilaku Seks Bebas 62% siswa menjawab Ya dan 38% siswa menjawab TIDAK kurang
mengerti terhadap Perilaku Seks Bebas. Dan pada aspek Sosial 60% siswa menjawab Ya
mengerti terhadap Perilaku Seks Bebas dan 40% siswa menjawab TIDAK.

Kata Kunci: Pengetahuan Tentang Seks Bebas, Moral, SMA

12
DOES MORAL REASONING INflUENCE PUBLIC VALUES FOR
HEALTH CARE PRIORITY SETTING?: A POPULATION-BASED
RANDOMIZED STATED PREFERENCE SURVEY
Abstrak
Objective: Preferences of members of the public are recognized as important inputs into health
care priority-setting, though knowledge of such preferences is scant. We sought to generate
evidence of public preferences related to healthcare resource allocation among adults and
children.
Methods: We conducted an experimental stated preference survey in a national sample of
Canadian adults. Preferences were elicited across a range of scenarios and scored on a visual
analogue scale. Intervention group participants were randomized to a moral reasoning exercise
prior to each choice task. The main outcomes were the differences in mean preference scores by
group, scenario, and demographics. Results: Our results demonstrate a consistent preference by
participants to allocate scarce health system resources to children. Exposure to the moral
reasoning exercise weakened but did not eliminate this preference. Younger respondent age and
parenthood were associated with greater preference for chil- dren. The top principles guiding
participants’ allocative decisions were treat equally, relieve suffering, and rescue those at risk of
dying.
Conclusions: Our study affirms the relevance of age in public preferences for the allocation of
scarce health care resources, demonstrating a significant preference by participants to allocate
healthcare resources to children. However, this preference diminishes when challenged by
exposure to a range of moral prin- ciples, revealing a strong public endorsement of equality of
access. Definitions of value in healthcare based on clinical benefit and cost-effectiveness may
exclude moral considerations that the public values, such as equality and humanitarianism,
highlighting opportunities to enrich healthcare priority-setting through public engagement.

13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Moral Reasoning merupakan kesadaran moral yang menjadi faktor utama yang
mempengaruhi perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis dalam mencapai
kesadaran etika bagi seorang profesional untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Moral
reasoning pada setiap individu memengaruhi mereka dalam membangun dan
meningkatkan efektivitas atas implementasi kode etik yang meliputi nilai akuntabilitas.
Terutama bidan dalam upaya melakukan critical reasoning akan melalui tahapan
menyusun data (look), pengumpulan data (collect), pemrosesan data (process), membuat
kesimpulan berupa keputusan atau diagnosis (decide), menyusun rencana asuhan (plan),
melaksanakan asuhan (act), melakukan evaluasi (evaluate) dan refleksi proses
pengalaman yang telah dilewati (reflect).
B. SARAN
Dalam menjalankan tugasnya sebagai professional tenaga kesehatan khususnya
bidan diharapakan mampu mengimplementasikan tahapan critical Thingking dan moral
reasoning dengan baik dalam memberikan asuhan yang tepat kepada klien/pasien sesuai
dengan kebutuhan wewenang yang dimiliki. Oleh kerena itu, diharapkan makalah ini
bisa memberi manfaat bagi pembaca dan menjadi referensi dalam menambah ilmu
pengetahuan.

14
DAFTAR PUSTAKA

F, K. Ge. (2018). Penalaran moral. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Ii, B. A. B. (2019). digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id. 20–52.
Ii, B. A. B., & Pustaka, T. (2019). 1 ), 2 ). 17–61.
ASTUTI, D. P. (2022). Penalaran mahasiswa ditinjau dari. 2005–2003 ,)8.5.2017(4 ,‫הארץ‬.
Denburg, A. E., Ungar, W. J., Chen, S., Hurley, J., & Abelson, J. (2020). Does moral reasoning
influence public values for health care priority setting?: A population-based randomized
stated preference survey. Health Policy, 124(6), 647–658.
https://doi.org/10.1016/j.healthpol.2020.04.007
Fatahaya, S., & Agustanti, R. D. (2021). Legalitas Aborsi Yang Dilakukan Oleh Anak Akibat
Perkosaan Inses. Jurnal Usm Law Review, 4(2), 504. https://doi.org/10.26623/julr.v4i2.4041
Fitriani, I., Rahmat, Z., & Sarwita, T. (2021). P-ISSN Jurnal Ilmiah Mahasiswa SURVEI
PENGETAHUAN REMAJA TERHADAP PERILAKU SEKS BEBAS DITINJAU DARI
TINGKAT PENALARAN MORAL PADA SISWA KELAS DUA SMA 2 BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2019 / 2020. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan, 2(1).
https://jim.bbg.ac.id/pendidikan/article/download/324/161
Hakiim, A., Abdullah, M., & Romelah. (2022). Tindakan Aborsi Akibat Pemerkosaan Ditinjau
Menurut Pandangan Islam, Bioetika Kedokteran dan Hukum di Indonesia. Jurnal Health
Sains, 3(3).
Islam, U., & Sunan, N. (2019). pembelajaran moral reasoning pada anak sejak dini. Mansasa,
2(0274), 2018.
Kruijtbosch, M., Floor-Schreudering, A., van Leeuwen, E., Göttgens-Jansen, W., & Bouvy, M.
L. (2022). Moral reasoning perspectives of community pharmacists in situations of drug
shortages. Research in Social and Administrative Pharmacy, 18(3), 2424–2431.
https://doi.org/10.1016/j.sapharm.2020.11.012
Faiz, A. (2018). Perkembangan Moral : Teori Piaget & Kohlberg. Academia, 2(3), 1–17.
https://padlet.com/mujarabatillah_alhassan/s1r1tr2ve7jz

15

Anda mungkin juga menyukai