Anda di halaman 1dari 275

i

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan


rahmat dan izinNya, buku “Manajemen Sumber Daya Manusia,
Pendekatan Teoritis dan Praktis” untuk menunjang kegiatan
pengelolaan sumber daya manusia pada perusahaan dan kegiatan
pembelajaran dapat terselesaikan. Buku Manajemen Sumber
Daya Manusia, Pendekatan Teoritis dan Praktis berisikan tentang
bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga
kerja) yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta
dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan
bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi
maksimal. Buku “Manajemen Sumber Daya Manusia,
Pendekatan Teoritis dan Praktis” ini berisikan bahasan yang
didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan
adalah manusia bukan mesin dan bukan semata menjadi sumber
daya bisnis.
Isi dari Buku “Manajemen Sumber Daya Manusia,
Pendekatan Teoritis dan Praktis” ini juga menyangkut desain dan
implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan,
pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja,
kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik.
Manajemen sumber daya manusia melibatkan semua keputusan
dan praktik manajemen yang memengaruhi secara langsung
sumber daya manusianya.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis, bila ada
kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan senang
hati. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada orang
tua, istri, dan anak-anak tercinta atas dukungannya, seterusnya
terima kasih untuk semua pihak yang telah memberikan
dukungan baik berupa moril maupun materil agar terwujudnya
buku ini. Semoga apa yang telah kami terima dari semua pihak,
mudah-mudahan mendapat imbalan dari Allah Subhanahuwataala
dan menjadi amal baik bagi kita semua, amin yarobbil’alamin.

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Hal
BAB I
KERANGKA KERJA MANAJEMEN
SUMBER DAYA MANUSIA

1.1 Perkembangan Manajemen Suber Daya


Manusia (MSDM) ........................................................ 1
1.2 Pengertian MSDM....................................................... 3
1.3 Fungsi MSDM .............................................................. 6
1.4 Tujuan MSDM ............................................................. 9
1.5 Kebijakan dan Kegiatan MSDM .................................. 11
1.6 Kerangka Kerja Teori MSDM ....................................... 14

BAB II
PERAMALAN SUMBER DAYA MANUSIA
2.1 Proses Peramalan SDM............................................... 15
2.2 Investasi Persediaan Ketrampilan Masa Datang ........ 28
2.3 Proyeksi Persediaan Ketrampilan Masa Depan .......... 36
2.4 Peramalan Permintaan Staff....................................... 38

BAB III
PENGADAAN DAN SELEKSI
3.1 Pentingnya Pengadaan SDM....................................... 41
3.2 Dasar Pengadan SDM ................................................. 42
3.3 Spesifikasi Pekerjaan .................................................. 51
3.4 Proses Pengadaan SDM .............................................. 52

BAB IV
ANALISIS PEKERJAAN
4.1 Pengertian Analisis Pekerjaan .................................... 67
4.2 Manfaat Analisis Pekerjaan ........................................ 72

iv
4.3 Tahap-Tahap Analisis Pekerjaan ................................. 79
4.4 Aspek-Aspek Pekerjaan Yang Dianalisis...................... 83
4.5 Teknik Analisis Data .................................................... 87
4.6 Kriteria Teknis Aanalisis Pekerjaan ............................. 94
4.7 Deskripsi Pekerjaan .................................................... 97

BAB V
ORGANISASI
5.1 Pengertian Tentang Organisasi ................................... 99
5.2 Pengertian Iklim Organisasi ........................................ 108

BAB VI
KEPEMIMPINAN
6.1 Pengertian Kepemimpinan ......................................... 117
6.2 Evolusi Teori Kepemimpinan ...................................... 131
6.3 Teori Kepemimpinan Situasional ................................ 138
6.4 Model Kepemimpinan Pengambilan
Keputusan Normatif ................................................... 146
6.5 Teori-Teori Kepemimpinan Baru ................................ 151
6.6 Kepemimpinan Transaksional
Dan Transformasional................................................. 157

BAB VII
KEPUASAN KERJA
7.1 Kepuasan Kerja ........................................................... 170
7.2 Teori Kepuasan Kerja .................................................. 181
7.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja .. 182

BAB VIII
KARAKTERISTIK KINERJA
8.1 Definisi Kinerja ............................................................ 196
8.2 Pengertian Kinerja/Prestasi Kerja ............................... 204
8.3 Penilaian Kinerja ......................................................... 205
8.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan 212

v
BAB IX
SERIKAT PEKERJA
9.1 Serikat Pekerja ............................................................ 215
9.2 Dampak Serikat Pekerja Terhadap Manajemen ......... 222
9.3 Pengertian Pemberhentian ........................................ 226

BAB X
MOTIVASI, KONSEP DAN APLIKASI
MANAGEMENT BY OBJECTIVE (MBO)
10.1 Pengertian Motivasi .................................................... 234
10.2 Teori Motivasi ............................................................. 240
10.3 Konsep Aplikasi Management By Objective (MBO) ... 253

DAFTAR PUSTAKA

vi
BAB I
KERANGKA KERJA MANAJEMEN
SUMBER DAYA MANUSIA

1.1 Perkembangan Manajemen Suber Daya Manusia


(MSDM)
Manajemen sumber daya manusia bukanlah merupakan hal
yang timbul secara mendadak. Sudah sejak lama manusia hidup
berorganisasi, seiring dengan itu manajemen sumber daya
manusia sebenarnya juga dilakukan. Kehidupan organisasi yang
telah lama ada, seperti misalnya di bidang pemerintahan,
ekonomi dan kemasyarakatan dibutuhkan satuan kerja yang
secara khusus akan mengelola sumber daya manusia.
Tonggak sejarah yang teramat penting dalam menandai
diperlukannya sumber daya manusia adalah timbulnya Revolusi
Industri di Inggris. Dampak Revolusi Industri tidak hanya
merubah cara produksi, tetapi juga penanganan sumber daya
manusia yang berbeda dengan sebelumnya, lahirnya berbagai
perusahaan dengan penggunaan teknologi memungkinkan
diproduksinya barang secara besar-besarnya dengan
memanfaatkan tenaga manusia yang tidak sedikit.
Penggunaan tenaga secara besar-besaran ini akan menuntut
pemilik perusahaan mulai memikirkan gaji, penempatan,
perlakuan terhadap karyawan termasuk kesejahteraannya.

1
Akhirnya saat itu dibentuk apa yang disebut ”Sekretaris
Kesejahteraan” (Hasibuan, 1997). Tugas utama Sekretaris
kesejahteraan tersebut adalah memikirkan cara perumusan
kebutuhan ekonomi para pekerja dan mencegah para pekerja
jangan sampai membentuk serikat pekerja.
Dengan semakin berkembangnya jumlah organisasi
berskala besar, para manajer puncak merasa bahwa mereka tidak
lagi mampu untuk menangani sendiri masalah kesejahteraan
pekerja, sehingga diperlukan “sekretaris kesejahteraan” untuk
membantunya. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa para
“sekretaris kesejahteraan” itulah sebenarnya yang menjadi
pelopor keberadaan tenaga spesialis yang menangani pengelolaan
sumber daya manusia.
Revolusi Industri yang lahir di Inggris telah “menjalar” ke
berbagai dunia pada permulaan abad ke-20, terutama di daratan
Eropa dan Amerika Utara. Salah satu dampak Revolusi Industri
tersebut adalah makin banyak berdirinya perusahaan besar yang
bergerak dalam bidang perekonomian (industri, perdagangan,
pertambangan). Perkembangan ini ternyata berdampak pula pada
kehidupan manajemen umumnya dan manajemen sumber daya
manusia khususnya. Dua tokoh besar yang menjadi bapak
manajemen adalah Frederick W. Taylor dan Henry Fayol.
Tanpa mengetahui apa yang dikerjakan oleh yang lain,
ternyata kedua pelopor tersebut saling mengisi. Taylor melihat
gerakan manajemen ilmiah sebagai usaha meningkatkan efisiensi

2
dan produktivitas, sedangkan Fayol lebih memfokuskan pada
peningkatan kemampuan memecahkan masalah majerial.
Timbulnya berbagai teori motivasi pada tahun 1940-an
dengan Abraham H. Maslow sebagai pelopornya merupakan
bukti bahwa perlunya perhatian kepada unsur manusia dalam
suatu organisasi. Kebutuhan manusia memerlukan pemenuhan
secara hirarki, untuk menunjang prestasinya dalam berkarya.
Semuanya itu perlu mendapat perhatian di dalam pengelolaan
sumberdaya manusia.

1.2 Pengertian MSDM


Organisasi merniliki berbagai macam sumber daya sebagai
‘input’ untuk diubah menjadi ‘output’ berupa produk barang atau
jasa. Sumber daya tersebut meliputi modal atau uang, teknologi
untuk menunjang proses produksi, metode atau strategi yang
digurunakan untuk beroperasi, manusia dan sebagainya. Diantara
berbagai macam sumber daya tersebut, manusia atau sumber daya
manusia (SDM) merupakan elemen yang paling penting. Untuk
merencanakan, mengelola dan mengendalikan sumber daya
manusia dibutuhkan suatu alat manajerial yang disebut
manajemen sumber daya manusia (MSDM).
MSDM dapat dipahami sebagai suatu proses dalam
organisasi serta dapat pula diartikan sebagai suatu kebijakan
(policy). Sebagai suatu proses, Cushway (1994:13) misalnya,
mendefinisikan MSDM sebagai ‘Part of the process that helps the

3
organization achieve its objectives’. Pernyataan ini dapat
diterjemahkan sebagai ‘bagian dari proses yang membantu
organisasi mencapai tujuannya’.
Schuler, Dowling, Smart dan Huber (1992:16) mengartikan
MSDM dalam rumusan seperti berikut ini:
Human Resource Management (HRM) is the recognition of
the importance of an organization’s workforce as vital
human resources contributing to the goals of the
organization, and the utilisation of several functions and
activities to ensure that they are used effectively and fairly
for the benefit of the individual, the organization, and
society’.
Pernyataan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Manajemen Sumber Daya Manusia/MSDM merupakan
pengakuan tentang pentingnya tenaga kerja organisasi
sebagai sumber daya manusia yang sangat penting dalam
memberi kontribusi bagi tujuan-tujuan organisasi, dan
penggunaan beberapa fungsi dan kegiatan untuk
memastikan bahwa SDM tersebut digunakan secara
Mefektif dan adil bagi kepentingan individu, organisasi dan
masyarakat.
Fokus MSDM terletak pada upaya mengelola SDM di
dalam dinamika interaksi antara organisasi-pekerja yang acap
memiliki kepentingan berbeda. Menurut Stoner (1995:4) MSDM
meliputi penggunaan SDM secara produktif dalam mencapai

4
tujuan organisasi dan pemuasan kebutuhan pekerja secara
individual.
Stoner menambahkan bahwa karena berupaya
mengintegrasikan kepentingan orgarnisasi dan pekerjanya, maka
MSDM lebih dari sekadar seperangkat kegiatan yang berkaitan
dengan koordinasi SDM organisasi. MSDM adalah kontributor
utama bagi keberhasilan organisasi. Oleh karena itu, jika MSDM
tidak efektif dapat menjadi hambatan utama dalam memuaskan
pekerja dan keberhasilan organisasi.
Sedangkan dalam pengertiannya sebagai kebijakan, MSDM
dimaksudkan sebagai suatu sarana untuk memaksimalkan
efektifitas organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam konteks
yang demikian ini, MSDM didefinisikan oleh Guest (1987)
dengan uraian seperti berikut ini:
Human resource management (HRM) comprises a set of
policies designed to maximise organizational integration,
employee commitment, flexibility and quality of work.
Menurut Guest, kebijakan yang diambil organisasi dalam
mengelola SDM-nya diarahkan pada penyatuan elemen-elemen
organisasional, komitmen pekerja, kelenturan organisasi dalam
beroperasi serta pencapaian kualitas hasil kerja secara maksimal.
Dengan merujuk pada pengertian tersebut, ukuran
efektifitas kebijakan MSDM yang dibuat dalam berbagai
bentuknya dapat diukur pada seberapa jauh organisasi mencapai
kesatuan gerak seluruh unit organisasi, seberapa besar komitmen

5
pekerja terhadap pekerjaan dan organisasinya, sampai sejauh
mana organisasi toleran dengan perubahan sehingga mampu
membuat keputusan dengan cepat dan mengambil langkah
dengan tepat, serta seberapa tinggi tingkat kualitas `output’ yang
dihasilkan organisasi.

1.3 Fungsi MSDM


Terdapat beberapa macam fungsi utama MSDM. Di dalam
buku ini dikemukakan 5 fungsi, yaitu:
a. Perencanaan untuk kebutuhan SDM
Fungsi perencanaan kebutuhan SDM setidaknya meliputi 2
kegiatan utama, yaitu:
1. Perencanaan dan peramalan permintaan tenaga kerja
organisasi baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
2. Analisis jabatan dalam organisasi untuk menentukan
tugas, tujuan, keahlian, pengetahuan dan kemampuan
yang dibutuhkan.
Kedua fungsi tersebut sangat esensial dalam melaksanakan
kegiatan MSDM secara efektif.
b. Staffing sesuai dengan kebutuhan organisasi
Setelah kebutuhan SDM ditentukan, langkah selanjutnya
adalah mengisi formasi yang tersedia. Dalam tahapan
pengisian staf ini terdapat dua kegiatan yang diperlukan,
yaitu:

6
1. Penarikan (rekrutmen) calon atau pelamar pekerjaan
2. Pemilihan (seleksi) para calon atau pelamar yang dinilai
paling memenuhi syarat.
Umumnya rekrutmen dan seleksi diadakan dengan
memusatkan perhatian pada ketersediaan calon tenaga kerja baik
yang ada di luar organisasi (eksternal) maupun dari dalam
organisasi (internal).
c. Penilaian kinerja
Kegiatan ini dilakukan setelah calon atau pelamar
dipekerjakan dalam kegiatan organisasi. Organisasi
menentukan bagaimana sebaiknya bekerja dan kemudian
memberi penghargaan atas kinerja yang dicapainya.
Sebaliknya organisasi juga harus menganalisis jika terjadi
kinerja negatif dimana pekerja tidak dapat mencapai standar
kinerja yang ditetapkan. Dalam penilaian kinerja ini
dilakukan dua kegiatan utama, yaitu:
1. Penilaian dan pengevaluasian perilaku pekerja.
2. Analisis dan pemberian motivasi perilaku pekerja.
Kegiatan penilaian kinerja ini dinilai sangat sulit baik bagi
penilai maupun yang dinilai. Kegiatan ini rawan dengan
munculnya konflik.
d. Perbaikan kualitas pekerja dan lingkungan kerja
Saat ini pusat perhatian MSDM mengarah pada 3 kegiatan
strategis, yaitu:

7
1. Menentukan, merancang dan mengimplementasikan
program pelatihan dan pengembangan SDM guna
meningkatkan kemampuan dan kinerja karyawan;
2. Memperbaiki kualitas lingkungan kerja, khususnya
melalui kualitas kehidupan kerja dan program-program
perbaikan produktifitas;
3. Memperbaiki kondisi fisik kerja guna memaksimalkan
kesehatan dan keselamatan pekerja.
Salah satu outcome yang dapat diperoleh dari ketiga kegiatan
strategis tersebut adalah peningkatan atau perbaikan kualitas fisik
dan non-fisik lingkungan kerja.
e. Pencapaian efektifitas hubungan kerja
Setelah tenaga kerja yang dibutuhkan dapat terisi, organisasi
kemudian mempekerjakannya, memberi gaji dan memberi
kondisi yang akan membuatnya merasa tertarik dan nyaman
bekerja. Untuk itu organisasi juga harus membuat standar
bagaimana hubungan kerja yang efektif dapat diwujudkan.
Dalam hal ini terdapat tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Mengakui dan menaruh rasa hormat (respek) terhadap
hak-hak pekerja;
2. Melakukan tawar-menawar (bargaining) dan menetapkan
prosedur bagaimana keluhan pekerja disampaikan
3. Melakukan penelitian tentang kegiatan-kegiatan MSDM.
Persoalan yang harus diatasi dalam ketiga kegiatan utama
tersebut sifatnya sangat kritis. Jika organisasi tidak

8
berhatihati dalam menangani setiap persoalan hak-hak
pekerja maka yang muncul kemudian adalah aksi-aksi
protes seperti banyak terjadi di banyak perusahaan di
Indonesia.

1.4 Tujuan MSDM


Tujuan MSDM secara tepat sangatlah sulit untuk
dirumuskan karena sifatnya bervariasi dan tergantung pada
pentahapan perkembangan yang terjadi pada masing-masing
organisasi. Menurut Cushway, tujuan MSDM meliputi:
1. Memberi pertimbangan rnana;ernen dalam membuat
kebijakan SDM untuk memastikan bahwa organisasi
memiliki pekerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi,
memiliki pekerja yang selalu siap mengatasi perubahan
dan memenuhi kewajiban pekerjaan secara legal.
2. Mengimplementasikan dan menjaga semua kebijakan dan
prosedur SDM yang memungkinkan organisasi mampu
mencapai tujuannya.
3. Membantu dalam pengembangan arah keseluruhan
organisasi dan strategi, khususnya yang berkaitan dengan
implikasi SDM.
4. Memberi dukungan dan kondisi yang akan membantu
manajer lini mencapai tujuannya.

9
5. Menangani berbagai krisis dan situasi sulit dalam
hubungan antar pekerja untuk meyakinkan bahwa mereka
tidak menghambat organisasi dalam mencapai tujuannya.
6. Menyediakan media komunikasi antara pekerja dan
manajemen organisasi.
7. Bertindak sebagai pemelihara standar organisasional dan
nilai dalam manajemen SDM.
Sementara itu menurut Schuler et al setidaknya MSDM
memiliki 3 tujuan utama yaitu:
1. Memperbaiki tingkat produktifitas
2. Memperbaiki kualitas kehidupan kerja
3. Meyakinkan bahwa organisasi telah memenuhi
aspekaspek legal.
4. Produktifitas merupakan sasaran organisasi yang sangat
penting. Dalam hal ini MSDM dapat berperan dalam
meningkatkan produktifitas organisasi. Organisasi yang
telah mencapai tingkat produktifitas tinggi di dalamnya
terdapat praktek MSDM yang unik. Keunikan tersebut
menunjuk secara khusus pada suatu keadaan dimana:
a. Organisasi membatasi peran SDM menurut tingkat
partisipasinya di dalam pembuatan keputusan bisnis
yang mengimplementasikan strategi bisnis.
b. Organisasi memfokuskan penggunaan sumber daya
yang tersedia dicurahkan pada fungsi-fungsi SDM

10
dalam mengatasi setiap masalah sebelum menambah
program baru atau mencari sumber daya tambahan.
c. Staf SDM organisasi berinisiatif untuk membuat
program dan berkomunikasi dengan manajemen lini.
d. Manajemen lini berbagi tanggung jawab untuk seluruh
program SDM.
e. Staf perusahaan berbagi tanggung jawab untuk
perumusan kebijakan SDM dan administrasi program
pada seluruh tingkatan organisasional.

1.5 Kebijakan dan Kegiatan MSDM


Untuk dapat memahami kebijakan dan kegiatan MSDM
dapat dilihat dari suatu pendekatan yang spesifik. Pendekatan
tersebut penggunaan MSDM sebagai sebuah cara untuk
melakukan rekonseptualisasi dan pengorganisasian kembali peran
SDM dan penjelasan ulang tentang tugas dan fungsi departemen
personalia dalam organisasi.
Berdasarkan pendekatan tersebut, Guest menyatakan ada 4
kebijakan utama dalam MSDM yaitu:
1. Employee Influence
2. Human resource flow
3. Rewards systems
4. Work systems
Fokus kebijakan MSDM tersebut dapat dipahami sebagai
strategi dalam mempengaruhi pekerja guna mengarahkannya

11
pada tujuan organisasi. Sebagai suatu proses pencapaian tujuan,
organisasi mengorganisasikan SDM dalam suatu mekanisme
sistemik berupa alur SDM (human resources flow) mulai dari
perencanaan SDM, rekrutmen, seleksi, perumusan analisis
jabatan, dan seterusnya.
Kebijakan lainnya berkaitan dengan sistem penghargaan
yang merupakan bagian utama organisasi memberi motivasi guna
memaksimalkan kerja dan proses pemekerjaan. Sistem
penghargaan (rewards systems) misalnya dapat berupa paket
rernunerasi yang terdiri dari penggajian, pemberian bonus dan
insentif serta berbagai bentuk kompensasi lainnya.
Di dalam organisasi, peran dan fungsi SDM harus
dise!araskan dengan elemen-elemen sumber daya lainnya. Oleh
karena itu dalam membuat kebijakan, organisasi memusatkan
perhatiannya pada bagaimana sistem kerja disusun sedemikian
rupa sehingga ada kesesuaian antara gerak SDM dengan sumber
daya lainnya.
Sementara itu, dengan merujuk pada pendapat ahli-ahli
lainnya, Guest menyatakan kegiatan MSDM terdiri dari 4 proses
generik yaitu:
1. Selection
2. Appraisal
3. Rewards
4. Development

12
Seorang manajer SDM paling tidak harus menguasai 4
kegiatan mendasar tersebut. Kegiatan seleksi tidak lain berkaitan
dengan penyediaan staf dan pekerja yang akan mengisi berbagai
formasi pekerjaan dan jabatan dalam organisasi.
Sebagai suatu kegiatan generik, seleksi akan diikuti dengan
kegiatan lainnya misalnya berupa penempatan pada pekerjaan
(job placement) yang segera disertai dengan kegiatan generik
lainnya yaitu penilaian kinerja (performance appraisal).
Organisasi harus memiliki standar yang dapat dipakai sebagai
ukuran dalam menentukan dan menilai apakah seorang pekerja
memiliki kualitas kerja baik atau sebaliknya.
Sementara itu, untuk memotivasi pekerja organisasi
menailiki skema (scheme) Yang dirupakan dalam bentuk gaji atau
upah dan penghargaan lainnya. Untuk menetapkan besaran dan
bentuk penghargaan ini organisasi juga telah memiliki berbagai
acuan yang mengatur tentang Remunerasi.
Sedangkan kegiatan generik MSDM yang terakhir adalah
pengembangan; SDM (human resource development).
Pengembangan SDM ini dapat berupa pendidikan, pelatihan serta
program-program pengembangan SDM lainnya. Umumnya
kegiatan pengembangan SDM diarahkan pada pencapaian
penguasaan keahlian (skills), pengetahuan (knowledge) dan
kemampuan (ability). Arah rogramm pengembangan SDM
diarahkan selaras dengan perkernbangan dan kemajuan
organisasi.

13
1.6 Kerangka Kerja Teori MSDM
Menurut Guest, tidak ada teori dalam MSDM. Namun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa di belakang MSDM
berdiri secara implisit beragam teori pendukung. Dengan merujuk
pada hasil studi beberapa ahli di Harvard University, Guest
membuat suatu kerangka kerja teori MSDM seperti dapat dilihat
dalam gambar 1.1. berikut ini:

Gambar 1.1. Kerangka Kerja Teori MSDM


( Guest, 1987)

Kerangka kerja seperti digambarkan dalam skema tersebu


di atas dinilai sebagai basis teori MSDM dengan mendasarkan
diri pada dukungan sejumlah teori lintas ilmu. MSDM bersifat
multidisipliner. Oleh karena itu dibelakang MSDM dapat
dijumpai disiplin ilmu ekonomi manajemen, psikologi, hukum,
sosial, sejarah, serta hubungan industrial.

14
BAB II
PERAMALAN SUMBER DAYA MANUSIA

2.1 Proses Peramalan SDM


Peramalan (forcasting) adalah proses memprediksi kondisi
di masa mendatang yang akan mengarahkan dan mempengaruhi
aktivitas, perilaku, dan dampak tindakan operasional. Ramalan
memiliki peran yang penting untuk dimainkan tidak hanya dalam
fungsi perencanaan saja, tetapi juga dalam keseluruhan proses
manajemen.
Peramalan sering dianggap sebagai salah satu masukan
utama terhadap proses perencanaan organisasional. Meskipun
demikian peramalan hanya akan sebaik kualitas dan validitas
informasi yang digunakan untuk membuat prediksi. Menilai
kualitas dan validitas informasi adalah perjuangan yang sulit,
karena hal ini biasanya diperoleh hanya melalui pengalaman dan
waktu yang faktor-faktornya dapat dipertimbangkan.
Peramalan sumber daya manusia berusaha menentukan
sumber daya manusia bagaimana yang dibutuhkan oleh
organisasi untuk mempertahankan pertumbuhannya serta
memanfaatkan peluang di waktu mendatang. Peramalan sumber
daya manusia tidaklah harus menghasilkan estimasi yang akurat
akan kebutuhan sumber daya manusia di masa depan, agar dapat
disebut bermanfaat. Proses peramalan itu sendiri terlepas dari

15
jumlah yang dihasilkan memudahkan proses perencanaan.
Peramalan menyebabkan manajer wajib untuk memikirkan masa
mendatang serta mengantisipasi berbagai kejadian yang
kemungkinan terjadi, meskipun kejadian itu pada akhirnya tidak
seperti yang diperkirakan semula.
Peramalan akan kebutuhan sumber daya manusia seringkali
dibagi lagi ke dalam peramalan jangka panjang dan jangka
pendek. Jenis terakhir ini hampir tidak terhindarkan pada
sebagian besar perusahaan, tetapi suatu penelitian atas 589
anggota American Society of Personal Administration
mengungkapkan bahwa hanya 32% melaporkan adanya
perencanaan jangka panjang atau kebutuhan sumber daya
manusia dalam organisasi mereka.
Masalah yang paling membingungkan dalam meramalkan
permintaan sumber daya manusia adalah memperkirakan
huhungan antara permintaan terhadap sumber daya manusia
dengan keluaran (out put) barang dan jasa yang dihasilkan oleh
perusahaan. Peramalan baik permintaan SDM maupun suplai
internal yang tersedia hendaknya meliputi: pengalaman,
kemampuan, jenis kelamin.
Organisasi yang berbeda mempunyai kebutuhan yang
berbeda, sehingga ramalan haruslah dibuat sesuai dengan
organisasi tersebut. Jumlah rincian yang dibutuhkan dapat
bervariasi dengan ukuran organisasi, akurasi informasi yang
tersedia, dan rencana khusus yang telah diperhitungkan.

16
Perhitungan ini mempengaruhi peramalan dalam beberapa hal
yaitu: (1) tipe organisasi, perusahaan manufaktur cenderung lebih
kompleks dibandingkan perusahaan jasa, (2) ukuran organisasi,
semakin besar organisasi semakin besar karyawan yang
dibutuhkan, (3) penyebaran organisasi, semakin tersebar secara
geografis semakin sukar melakukan peramalan SDM karena
adanya tekanan pasar tenaga kerja, (4) akurasi informasi,
ketepatan informasi akan memudahkan melakukan peramalan
SDM yang mendekati akurasi, sehingga memudahkan dalam
memberikan judgment.
Proses peramalan paling tidak memperhatikan enam hal
yaitu:
1. Memahami lingkungan dan kondisi organisasi,
meliputi: suplai tenaga kerja eksternal, paksaan hukum,
ekonomi, desain tugas dan struktur organisasi.
Perubahan teknologi, pola produktivitas, dan
kecenderungan yang ada, filosofi dan kebijakan
manajemen, tujuan dan perencanaan. Pola perputaran
dan mobilitas tenaga kerja.
2. Analisis SDM saat ini (tenaga kerja yang tersedia), data
demografi, data penilaian, interes tenaga kerja,
pengalaman dan pendidikan.
3. Persediaan tenaga kerja (SDM) yang diproyeksikan di
masa depan, pengurangan, mobilitas, penggunaan skill,
perubahan produktivitas.

17
4. Analisis keperluan SDM saat ini, posisi otorisasi,
struktur organisasi, perpaduan pekerjaan, kriteria
perencanaan.
5. Keperluan SDM untuk masa yang akan datang,
perubahan organisasi, anggaran, perubahan perencanaan
dalam aktivitas/operasional.
6. Forcasting diperlukan/ditampilkan, kebutuhan
rekrutmen, kebutuhan latihan dan pengembangan,
perencanaan suksesi dan mobilitas, perubahan
kebijakan, perubahan jabatan dan organisasional.
Dalam abad 21 organisasi harus dapat merespon banyak
kejadian yang disebabkan oleh perubahan kekuatan lingkungan
yang mempengaruhi organisasi. Karena sebagian besar perubahan
melibatkan manusia dan akan mempengaruhi manusia, perubahan
ini membawa implikasi utama pada pengelolaan SDM dan
menimbulkan isu signifikan bagi pihak yang terkait dengan SDM.
Untuk dapat membahas implikasi ini dengan efektif, organisasi
perlu memahami perubahan tersebut dan memaharni proses
perubahannya.
Implikasi utama terhadap pengelolaan SDM pada abad 21
ditandai oleh:
1. Perubahan yang terus berlangsung ke arah strategi yang
berfokus/berorientasi kepada konsumen dan kualitas
yang menyeluruh (total quolity),

18
2. Restrukturisasi organisasional dan terus berlangsungnya
upaya perampingan perusahaan dan pemutusan
hubungan kerja,
3. Inisiatif untuk merespon terhadap tuntutan angkatan
kerja yang semakin beragam (Schuller & Susan, 1997).
Perubahan organisasi akibat ke tiga hal tersebut
memerlukan persyaratan SDM masa depan yang harus
diantisipasi dan dipenuhi melalui kegiatan peramalan dan
perencanaan.
Mengapa peramalan perlu dilakukan? Untuk menjawab
pertanyaan ini paling tidak harus melihat bahwa keberadaan
organisasi tidak mungkin dilepaskan dari kondisi lingkungan
eksternal, kondisi organisasi sendiri serta kondisi tenaga kerja
yang kenyataannya senantiasa berubah.
Para manajer hendaknya mempertimbangkan beberapa
faktor bila akan meramal kebutuhan personil dan sudut
pandangan praktis, tuntutan untuk produk atau jasa adalah yang
tertinggi, dengan demikian dalam sebuah perusahaan manufaktur,
penjualanlah yang pertama diperhitungkan. Kemudian volume
dari produksi yang dituntut untuk memenuhi tuntutan penjualan
ini ditentukan. Akhirnya staf yang dubutuhkan untuk
mempertahankan volume keluaran (output) ini diperkirakan.
Selain untuk produksi atau tuntutan penjualan, juga harus
dipertimbangkan:

19
1. Perputaran yang diperhitungkan sebagai akibat dari
pengunduran diri atau PHK,
2. Mutu dan sifat karyawan dalam hubungannya dengan
apa yan dilihat sebagai kebutuhan yang berubah dari
organisasi,
3. Keputusan untuk meningkatkan mutu produk atau jasa
atau masuk ke dalam pasar baru,
4. Perubahan teknologis dan administratif yang
mengakibatkann produktivitas semakin bertambah dan
5. Sumber daya keuangan yang tersedia.

2.1.1 Periode Waktu Dalam Peramalan


Untuk dapat mengevaluasi teknik yang tepat dalam
meramal kebutuhan SDM, sangat membantu apabila kita
membagi kebutuhan dan persediaan SDM dalam tiga batasan
waktu yaitu jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
Apa yang dimaksud dengan Perencanaan SDM?
 Perencanaan SDM adalah proses sistematis untuk
meramalkan permintaan (demand) dan penawaran
(supply) SDM di masa depan.
 Tujuan perencanaan SDM adalah menentukan jumlah
SDM beserta karakteristiknya masing-masing (usia,
pendidikan, keahlian, sifat, dsb.) yang dibutuhkan
organisasi untuk mencapai tujuan stratejik, operasional,
dan fungsionalnya

20
Perencanaan SDM
Perencanaan Sumber Daya Manusia (human resource
planning) adalah proses sistematis untuk mencocokkan pasokan
karyawan internal dan eksternal dengan lowongan-lowongan
jabatan yang diperkirakan muncul dalam organisasi sepanjang
periode waktu tertentu (Mondy 2008).
Perencanaan sumber daya manusia memiliki dua
komponen:
 Peramalan kebutuhan (requirement forecast)
 Peramalan ketersediaan (availability forecast)

Peramalan Kebutuhan
 Peramalan kebutuhan (requirement forecast) adalah
aktivitas penentuan jumlah, keterampilan, dan lokasi
karyawan yang akan dibutuhkan organisasi di masa
mendatang dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya.
 Peramalan tersebut mencerminkan berbagai faktor,
seperti perencanaan produksi dan perubahan
produktivitas.
 Peramalan kebutuhan akan menentukan besarnya
permintaan akan SDM (the demand for human resources

21
Penyebab Permintaan SDM
Faktor Eksternal
 Ekonomi
 Sosial-politik-hukum
 Teknologi
 Pesaing
Faktor Organisasional
 Rencana stratejik
 Anggaran
 Ramalan penjualan dan produksi
 Perusahaan baru
 Desain organisasi dan jabatan
Faktor Angkatan Kerja
 Pensiun
 Pengunduran diri
 Pemberhentian
 Kematian
 Kemangkiran

Metode Peramalan Kebutuhan SDM


 Zero-Base Forecasting: menggunakan tingkat
kekaryawanan organisasi saat ini sebagai titik awal
untuk menentukan kebutuhan penyediaan
staf (staffing) di masa depan.

22
 Bottom-Up Approach: setiap level yang berurutan dalam
organisasi, mulai dari yang terendah, meramalkan
kebutuhannya, hingga akhirnya menghasilkan ramalan
agregat mengenai karyawan yang dibutuhkan.
 Hubungan antara Volume Penjualan dengan Jumlah
Karyawan yang Dibutuhkan: Salah satu prediktor tingkat
kekaryawanan yang paling berguna adalah volume
penjualan. Ada hubungan positif antara permintaan
produk dengan jumlah karyawan yang dubutuhkan.
 Model Simulasi: teknik peramalan dengan melakukan
eksperimen mengenai situasi nyata menggunakan model
matematis.

Peramalan Ketersediaan
 Peramalan ketersediaan (availability forecast) adalah
aktivitas untuk memperkirakan kemampuan perusahaan
untuk mendapatkan karyawan-karyawan dengan
keterampilan yang dibutuhkan, dan dari mana
sumbernya.
 Dalam rangka meramalkan ketersediaan (penawaran
SDM), manajer sumber daya manusia mengamati
sumber-sumber internal (para karyawan yang
dipekerjakan saat ini) dan sumber-sumber eksternal
(pasar tenaga kerja).

23
Penawaran SDM
 Estimasi Penawaran Internal
• Audit SDM
• Rencana suksesi
• Bagan penggantian
 Estimasi Penawaran Eksternal
• Kebutuhan eksternal
• Analisis pasar tenaga kerja
• Sikap masyarakat
• Demografi

Penggunaan Basis Data SDM


 Banyak karyawan yang dibutuhkan untuk posisi-posisi
masa depan di suatu perusahaan mungkin sudah bekerja
di perusahaan itu sendiri. Jika perusahaan tersebut kecil,
manajemen mungkin mengenali seluruh karyawan
dengan cukup baik guna mencocokkan keterampilan dan
aspirasi mereka dengan kebutuhan-kebutuhan
perusahaan.
 Namun, seiring bertumbuhnya perusahaan, proses
pencocokkan menjadi semakin sulit. Basis data
digunakan oleh organisasi-organisasi yang menganggap
serius permasalahan sumber daya manusia dalam
mencocokkan orang-orang dengan posisi-posisi.

24
 Kemajuan teknologi telah menciptakan cara-cara
mengelola dan menganalisis informasi. Basis data saat
ini mencakup informasi mengenai seluruh karyawan
manajerial dan non-manajerial.
 Sebelum dirasa perlu mencari sumber eksternal,
perusahaan dapat menggunakan basis data tersebut untuk
meneliti dalam perusahaan itu sendiri guna melihat
keberadaan para karyawan dengan kualifikasi yang
dibutuhkan.
 Tren yang meningkat adalah perusahaan secara otomatis
memberitahukan adanya posisi-posisi baru kepada para
karyawan yang memenuhi syarat.

Informasi dalam Basis Data SDM


 Riwayat dan pengalaman kerja
 Keterampilan dan pengetahuan khusus
 Lisensi atau sertfikat yang dimiliki
 Pelatihan yang telah diselesaikan dalam organisasi
 Latar belakang pendidikan
 Hasil penilaian kinerja terdahulu
 Penilaian atas kekuatan dan kelemahan
 Kebutuhan pengembangan
 Potensi promosi saat ini, dan dengan pengembangan
lebih lanjut
 Kinerja jabatan saat ini

25
 Bidang spesialisasi
 Preferensi jabatan
 Preferensi geografis
 Sasaran dan aspirasi karir
 Perkiraan tanggal pensiun
 Riwayat pribadi, termasuk penilaian psikologis

Alternatif Tindakan jika Diramalkan Defisit (Kekurangan)


Karyawan
 Rekrutmen Kreatif: Pendekatan-pendekatan baru untuk
merekrut. Organisasi mungkin harus merekrut di
wilayah-wilayah geografis yang berbeda dibandingkan
pada masa lalu, menggali metode-metode baru, dan
mencari tipe-tipe kandidat yang berbeda.
 Insentif Kompensasi: Karena persaingan yang ketat
dalam mendapatkan karyawan pada situasi permintaan
tinggi, perusahaan harus mengandalkan insentif
kompensasi.
 Program Pelatihan: Program-program pelatihan khusus
diperlukan untuk mempersiapkan orang-orang yang
sebelumnya belum mampu bekerja agar dapat mengisi
posisi-posisi dalam perusahaan.
 Standar Seleksi yang Berbeda: Memperendah standar-
standar kekaryawanan agar cukup banyak orang tersedia
untuk mengisi jabatan-jabatan. .

26
 Alternatif Tindakan jika Diramalkan Surplus
(Kelebihan) Karyawan
 Penarikan Terbatas: Mengurangi angkatan kerja dengan
tidak mengganti para karyawan yang keluar.
 Pengurangan Jam Kerja: Perusahaan juga bisa
menanggapi berkurangnya kebutuhan beban kerja
dengan mengurangi jumlah total waktu kerja.
 Pensiun Dini: Mendorong karyawan untuk pensiun lebih
awal dengan total paket uang pensiun yang cukup
menarik.
 Perampingan (downsizing): juga dikenal sebagai
restrukturisasi dan rightsizing, pada dasarnya adalah
kebalikan dari pertumbuhan perusahaan dan
menyarankan perubahan sekali waktu dalam organisasi
dan jumlah karyawan yang dipekerjakan. Biasanya, baik
struktur organisasi maupun jumlah karyawan dalam
organisasi tersebut menyusut.

2.1.2 Segmentasi
Cara lain yang dapat membantu menyederhanakan
peramalan adalah dengan cara mensegmentasikan SDM yang
akan diramalkan kebutuhannya. Segmentasi yang diambil dapat
menurut tingkatannya, atau menurut segmentasi tenaga kerjanya,
tergantung dari model organisasi. Sebagai contoh untuk
organisasi besar dimana aktifitas SDM seperti rekrutment,

27
pengembangan, dan penugasan semuanya desentralis, maka
peramalan secara menyeluruh tidak diperlukan.

2.2 Investasi Persediaan Ketrampilan Masa Datang


Untuk dapat mengetahui persediaan dan kebutuhan SDM
masa depan, diperlukan adanya inventorisasi ketrampilan yang
ada saat ini. Inventori diperlukan untuk mengetahui secara pasti
kualitas maupun kuantitas SDM yang dimiliki organisasi. Hal ini
dapat membantu menunjukkan perencanaan kebutuhan masa
datang, memahami permasalahan potensial yang mungkin
muncul dan permasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan penyusunan staff masa datang, dan memperkirakan
pengurangan atau mobilitas masa datang.
Pada bagian ini kita akan membahas data penting pada
inventori SDM, analisis dan pelaporan dasar, dan karakteristik
sistem informasi yang dipakai.

2.2.1 Elemen-Elemen Data


Data penting untuk perencanaan SDM meliputi data
individu dan data organisasional. Beberapa elemen data yang
diperlukan dalam menginventorisasi persediaan SDM yaitu:
a. Data individu termasuk
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Ras

28
4. Pendidikan
b. Data perusahaan termasuk:
1. Tanggal direktur
2. Sumber perekrutan
3. Status pegawai (tetap, sementara, dll)
4. Posisi yang dipegang
5. Data penilaian kerja saat ini
Untuk dapat menganalisis pencapaian karir, dan upah,
beberapa elemen data harus tersedia antara lain :
c. Dari karir dan upah :
1. Tingkat upah atau tingkat kinerja
2. Posisi menurut tingkatan upah
3. Rata-rata pendapatan
d. Data pengembangan karir
1. Ketrampilan khusus
2. Ketertarikan (ketrampilan, fungsi, atau target yang
diinginkan)
3. Pengalaman pelatihan terakhir
4. Tingkat pendidikan dan spesialisasi yang dimiliki
5. Target posisi pada pencapaian posisi karir
6. Rating untuk dipromosikan, potensi, atau kesiapan

2.2.2 Analisis dan Pelaporan Data


Pengumpulan data dapat dikatakan merupakan pekerjaan
yang relatif mudah. Akan tetapi untuk menyusun pelaporan yang

29
dapat dipakai untuk mempermudah manajemen dalam membuat
perencanaan adalah hal lain.
Untuk dapat menyusun pelaporan yarig mempermudah dan
bermanfaat bagi manajemen, maka pelaporan tersebut harus
disusun menurut item berikut yaitu:
1. Daftar nama pegawai, yang didalamnya berisi nama
pekerja, posisi, umur, jenis kelamin, unit dalam
organisasi, dan data lainnya.
2. Stafing saat ini, tabulasi numeris dari posisi
masingmasing unit, level atau grade dan stafing aktual
saat ini.
3. Distribusi pegawai, tabulasi berdasarkan umur, jenis
kelamin, kebangsaan, suku, lama bekerja, dan faktor
laiimya.
4. Penilaian kinerja, tabulasi berdasarkan rating dari
penilai, persentasi peningkatan kinerja tahunan, level
atau grade gaji, urutan kinerja terbaik, peningkatan
kinerja tertinggi yang pernah diraih.
5. Posisi jabatan, posisi dan lamanya memegang posisi
tersebut, pengindikasian mudah tidaknya diganti.
6. Posisi yang ditawarkan, penawaran posisi saat ini.
7. Pegawai baru.
8. Pengurangan pegawai, pensiun, pensiun dini,
mengundurkan diri, dipecat, dll.

30
9. Penugasan kemhali, perpindahan posisi didalam
organisasi.
10. Perubahan pekerjaan.

2.2.3 Sistem Informasi MSDM


Dasar dari pengambilan keputusan yang tepat mengenai
sumberdaya manusia ditentukan oleh ketepatan informasi
sumberdaya manusia yang dibutuhkan. Informasi sumberdaya
manusia harus mampu mendukung dalam pengambilan
keputusan. Konsep seperti ini dikenal dengan nama decision
support system (DSS). Dengan menggunakan PC atau terminals,
para manajer dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan mulai
dari penerimaan karyawan, promosi, penggajian maupun
pembuatan kebijakan yang menyangkut sumberdaya manusia.
HRIS sebagai suatu system juga terdiri dari bagianbagian
antara lain input (aplikasi pekerjaan pada departernen keuangan,
sebagai contoh), proses (persetujuan penerimaan karyawan dari
departernen HR); output (pemberian persetujuan pada
departemen keuangan), teknologi (PC), data base (data-data
karyawan), dan control (password atau umpan balik berupa
laporan hasil dari departemen keuangan).
HRIS merupakan sub system dari Manajemen information
system yang lebih besar dari organisasi, yang didalamnva juga
termasuk akuntansi, produksi, dan fungsi marketing. Fungsi

31
khusus dari HRIS adalah untuk pengambilan keputusan bagi
fungsi sumberdaya manusia dengan lebih efektif dan efisien.

2.2.4 Inputs
lnformasi tentang pegawai, kebijakan perusahaan, dan
informasi terkait lainnya harus dimasukkan kedalam system agar
dapat dipergunakan. Informasi tersebut biasanya dimasukkan dari
document kedalam PC yang tersambung dengan mainframe.

32
Sebagai satu contoh jika salah satu departemen membutuhkan
karyawan, maka departemen tenaga kerja akan dengan mudah
mendapatkan informasi yang tepat tentang calon karyawan jika
input data sudah dimasukkan kedalam system.

2.2.5 Transformation / Proses


Pada bagian ini terdiri dari hardware dan software yang
didalamnya juga memuat instruksi-instruksi tentang apa yang
harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan kapan
mengerjakannya. Computer dan software yang dipergunakan
tergantung dari kebutuhan dan kemampuan masing-masing
organisasi. Untuk perusahaan kecil dapat menggunakan PC dan
standart database. Sedangkan untuk perusahaan besar atau
perusahaan multinasional mungkin menggunakan mainframe
computer.
Sebagai contoh fungsi dari transformation misalnya, dengan
kita memasukkan jam kerja karyawan, maka system akan
mengelolanya mulai dari gaji kotor karyawan tersebut, pajak
yang ditanggung, sampai pada gaji bersih yang akan diterimanya.

2.2.6 Outputs
Outputs dalam hal ini adalah hasil yang dibutuhkan
misalnya slip gaji karyawan, absensi karyawan, promosi, dll.
Syarat dari output yang berkualitas yaitu:

33
1. Accurate. Informasi yang diberikan harus benar-benar
merefleksikan apa yang dilaporkannya.
2. Significant and rclevant. Informasi yang dihasilkan
harus berguna dan dapat dipergunakan, serta tepat
waktu.
3. Comprehensive. Informasi yang dihasilkan harus benar
- benar menggambarkan masalah yang ada dan
memberikan kemungkinan kemungkinan solusinya.
4. Readable and visual impact. Informasi yang dihasilkan
harus mudah dimengerti.
5. Consistent in fornlat. Untuk informasi yang sejenis, user
akan mendapatkan laporan yang sama.

2.2.7 Benefit
1. EEO compliance: informasi pada penerimaan
karyawan, pengerahan, dan kenaikan pangkat.
2. Labor relations: data kontrak karyawan, informasi
keluhan, dan daftar masa kerja pegawai
3. Training and development: infonnasi tentang
programprogram pelatihan, daftar pegawai yang
sedang rnengikuti pelatihan, dll.
4. Health and safety: informasi tentang kecelakaan kerja
dan karyawan yang mengalami kecelakaan kerja, biaya
atas kecelakaan kerja, dan data lain yang dibuhillkan
oleh pemerintah nranpun perusahaan asuransi.

34
Management successior/career planning: informasi
tentang skill, specialisasi, prestasi, dan kemungkinan
promosi.
5. HR planning: proyeksi tentang kebutuhan pada masa
yang akan datang. Staffing:
6. HR data management: informasi dasar pegawai seperti
gaji, jenis pekerjaannya, dll.
7. Monitoring and reporting HR policy: komponen DSS.
8. General organizational data: struktur organisasi, level
Manajemen, informasi tentang fungsi-fungsi khusus.
9. Demographics: informasi tentang keadaan, pendidikan,
dan umur pegawai.
10. External database: informasi tentang organisasi lain
atau trend perekonomian.
HRIS dapat digunakan untuk membantu mempermudah
pekerjaan departemen SDM pada khususnya dan seluruh
organisasi pada umumnya untuk mensejalankan antara strategi
organisasi dengan strategi SDM. Dengan menggunakan HRIS,
pengambil keputusan akan membuat keputusannya dengan lebih
cepat dan tepat serta dapat mengurangi biayabiaya yang harus
dikeluarkan perusahaan.
Agar tujuan HRIS dapat diperoleh, dibutuhkan piranti
system yang sejalan baik berupa hardware maupun software dan
didukung dengan kemampuan untuk memakai system tersebut.
Besar kecilnya piranti system tergantung dari kebutuhan dan

35
kemampuan tiap-tiap organisasi. Dan didukung dengan adanya
system control yang baik agar kerahasiaan informasi dapat dijaga.

2.3 Proyeksi Persediaan Ketrampilan Masa Depan


Setelah menginventori staff saat ini dan memiliki informasi
tentang penerimaan masa sebelumnya, perpindahan, dan
pengurangan, langkah selanjutnya dalam peramalan SDM adalah
memproyeksikan perubahan inventori tersebut untuk masa
datang. Disini membutuhkan adanya tabel/gambaran yang jelas
tentang kondisi mendatang tentang:
1. Pekerjaan permanen dijadikan temporer
2. Penugasan kembali
3. Perpindahan antar unit
4. Pemecatan dan pensiun
Cara yang dapat dipakai untuk lebih memperbaiki metode
peramalan adalah dengan lebih fokus path proyeksi perubahan
pada klasifikasi pekerjaan, lokasi, unit-unit organisasi, klasifikasi
pekerja (umur, masa kerja, dll), atau level pekerja. Estimasi yang
dilakukan juga dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik
statistik; untuk mengetahui aliran pekerja baik masuk, pindah,
atau keluar.

2.3.1 Proyeksi Turnover


Faktor perubah utama dalam supply tenaga kerja adalah
berkurangnya jumlah pekerja. Pekerja keluar kerena beberapa

36
alasan seperti: pensiun, mengundurkan diri karena mendapatkan
pekerjaail lain, dan mengundurkan diri karena rendahnya nilai
kinerja. Biasanya, tingkat turnover dilaporkan sebagai rasio
keluarnya karyawan pada periode waktu tertentu.

2.3.2 Mobilitas Karyawan


Turnover didalam perusahaan atau mobilitas karyawan juga
dibutuhkan untuk menyusun proyeksi persediaan ketrampilan
masa datang. Data yang diperoleh dapat diambil dari pola
mobilisasi karyawan masa sebelumnya dan kebijakan mobilisasi
saat ini. Mobilisasi karyawan dapat terjadi sebagai akibat
perlunya peningkatan ketrampilan karyawan, atau perlunya
mengisi suatu posisi atau jabatan. Oleh sebab itu, cara peramalan
mobilitas karyawan adalah dengan menganalisis rencana
pengembangan karyawan dan rating kesiapan karyawan untuk
dipromosikan.

2.3.3 Pemanfaatan Skill dan Waktu Karyawan


Banyaknya orang dalam daftar gaji tidak secara langsung
merefreksikan kapabilitas yang mereka pergunakan dalam
pencapaian tujuan organisasi. Dengan semakin meningkatnya
biaya personel dan adanya pekerja yang ingin mendapatkan
pekerjaan yang lebih menantang, kita memerlukan cara untuk
memanfaatkan karyawan semaksimal mungkin. Tiga pertanyaan
utama pada aspek ini adalah:

37
a. Apakah para karyawan menghabiskan waktunya secara
tepat? Dapatkah pekerjaan direlokasi untuk meyakinkan
efektifitas pemanfaatan skill? Dapatkah pekerjaan
direstrukturisasi?
b. Apakah rata-rata produktifitas berubah? Apakah
penyusunan staff saat ini sudah sesuai untuk pencapaian
output sesuai yang direncanakan? Apakah pertumbuhan
karyawan melebihi perkembangan output kita?
c. Apakah penyusunan staff yang kita lakukan sudah sesuai
dengan skill yang tersedia? Apakah ketrampilan yang
ada belum dipergunakan secara tepat? Apakah ada
kehilangan ketrampilan?

2.4 Peramalan Permintaan Staff


Apabila kita tidak mengetahui permintaan staff, maka kita
tidak dapat mengetahui persediaan staff. Asumsi kita disini
adalah kebutuhan staff dalam perencanaan sumberdaya manusia
untuk masa datang akan sama dengan kebutuhan saat ini, atau
paling tidak berbeda tetapi dapat diprediksi. Asumsi ini masuk
akal untuk permintaan jangka pendek. Akan tetapi untuk jangka
panjang atau dalam kondisi lingkungan yang berubah cepat
seperti pertumbuhan yang tinggi dari organisasi, diperlukan
adanya teknik peramalan.

38
Untuk dapat membuat ramalan kebutuhan masa datang dan
menyesuaikan antara kebutuhan dengan persediaan SDM kita
membutuhkan:
1. Pengetahuan tentang tujuan masa datang dan mengetahui
indikator apa yang ingin dicapai (pendapatan, output,
voielme, dil).
2. Rencana organisasi
3. Pengetahuan terhadap aktifitas dan kebutuhan pekerjaan
4. Apresiasi terhadap perubahan teknologi dan
produktifitas

2.4.1 Analisis Permintaan Saat Ini


Pendekatan yang paling sering digunakan dalam peramalan
adalah dengan analisis permintaan staff saat ini. Struktur
organisasi dan definisi pekerjaan (ditunjukkan dalam deskripsi
pekerjaan) menipakan awal logis untuk menganalisis permintaan
staff.
Banyak perusahaan menggunakan alokasi lowongan dan
kontrol prosedur sebagai dasar pengaturan staff dan modifikasi
pekerjaan dan struktur organisasi. Disini para eksekutif atau
komite bertanggung jawab mereview rekomendasi posisi baru
atau perubahan organisasi termasuk penambahan staff. Ketika ada
suatu posisi lowong, maka pada saat itu juga perlu dilihat apakah
posisi tersebut masih perlu untuk diisi atau sudah dapat
dihilangkan.

39
2.4.2 Kebijakan Peramalan
Untuk mengestimasi permintaan masa datang, seseorang
harus membuat kebijakan. Analisis matematis dan data yang
banyak mungkin sangat berguna, akan tetapi, keputusan tentang
bagaimana penentuan staff merupakan keputusan manusia.
Biasanya pendekatan yang biasa dipakai adalah proses
estimasi “bottom-up”, pada model ini, biasanya perlu disesuaikan
dengan anggaran dan prosedur kontrol posisi. Pada banyak
instansi hal tersebut tidak bersifat perencanaan formal, tetapi
direpresentasikan dalam autorisasi aktual pada posisi baru,
perubahan pada judul atau isi suatu pekerjaan, penarikan dan
penerimaan, dan posisi yang belum ditempati.
Manajer pada unit lokal adalah orang yang paling
mengetahui kebuthunan staff unitnya. Kualitas kebijakan dari
manajer ini tergantung dari kemampuan estimasinya. Beberapa
cara yang paling sening digunakan dalam membuat keputusan
model bottom-up adalah:
1. Rules of thumb untuk pengisihan staff
2. Perbandingan dengan unit lain
3. Rasio atau panduan standar dalam mengisi staff,
biasanya berdasarkan tipe posisi atau operasional
Informasi tentang isi pekerjaan, yang didasarkan oleh
analisis pekerjaan
Metode kedua yang seringkali dipakai yaitu “ask and find
out” pendekatan ini bersifat formal, proses perencanaannya

40
sistematis, tetapi sangat tergantung pada kebijakan subyektif dan
pengetahuan manajer unit. Faktor “Asking” pada peramalannya
meliputi :
Posisi baru yang dibutuhkan, posisi yang perlu diganti atau
dihilangkan perubahan pada posisi yang saat ini ada, jabatan
ganda, dll.
Teknik terakhir adalah “Delphi technique”. Pada teknik ini,
dalam melakukan peramalan kebutuhan, menggunakan masukan
dari beberapa manajer atau ahli sesuai dengan kebutuhan. Inti
dari pendekatan ini adlah upaya mencari alternatif jawaban
melalui pengumpulan ide tanpa mempertahankan pemberi ide
atau para manajer dan para ahli tersebut. Hal ini dilakukan untuk
menghindari adanya dominasi pendapat atau ide apabila
dipertemukan.

41
BAB III
PENGADAAN DAN SELEKSI

3.1 Pentingnya Pengadaan SDM


Pengadaan (procurement) adalah fungsi operasional
pertama MSDM. Pengadaan karyawan ini merupakan masalah
penting, sulit dan kompleks, karena digunakan untuk
mendapatkan dan menempatkan orang-orang yang kompeten,
serasi, serta efektif.
Karyawan adalah asset utama perusahaan. Berhasil
tidaknya perusahaan tergantung pada kemampuan karyawan yang
dimilikinya. Karyawan sebagai manusia memiliki pikiran,
perasaan, status, serta latar belakang yang heterogin. Sehingga
perlakuan terhadap karyawan berbeda dengan perlakuan terhadap
mesin.
Kualitas dan kuantitas karyawan harus sesuai dengan
kebutuhan perusahaan. Agar terwujud adanya efektifitas dan
efisiensi dalam pencapaian tujuan perusahaan (organisasi).
Pengadaan karyawan didasarkan pada prinsip ”apa” dan
baru ”siapa”. Apa dalam arti menetapkan lebih dahulu pekerjaan
yang akan ditangani sesuai dengan ”job description”. Sedangkan
”siapa”, merujuk kepada kualifikasi orang yang akan menempati
jabatan tersebut, dengan mendasarkan pada ”job specification”.
Bila pengadaan karyawan mendasarkan pada ”siapa” lebih dulu,

42
baru kemudian ”apa”, akan menyebabkan terjadinya
mismanajemen dalam penempatan, karena kemungkinan akan
terjadi kesalahan dalam penempatan.
Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi,
penempatan karyawan yang efektif dan efisien dalam membantu
tercapainya tujuan (perusahaan /organisasi). Pengadaan karyawan
ini merupakan langkah pertama dan dapat mencerminkan
berhasil-tidaknya suatu perusahaan mencapai tujuannya. Jika
karyawan yang diterima kompeten (memiliki kemampuan yang
memadai), maka usaha untuk mewujudkan tujuan relatif mudah,
sebaliknya bila karyawan yang diperoleh kurang memenuhi
syarat, akan sulit bagi perusahaan mencapai tujuan.
Pada perusahaan besar fungsi pengadaan ini biasanya
didelegasikan kepada para ahli di bagian personalia. Sedangkan
untuk perusahaan kecil dijalankan sendiri oleh pimpinan
perusahaan.

3.2 Dasar Pengadan SDM


Pengadaan karyawan harus mendapatkan perhatian yang
serius, serta didasarkan pada analisis pekerjaan (job analysis),
uraian pekerjaan (job description), spesifikasi pekerjaan (job
specification), dan evaluasi pekerjaan (job evaluation).

43
3.2.1 Analisis Pekerjaan
Analisis pekerjaan merupakan usaha yang sistematis dalam
mengumpulkan, menilai dan mengorganisasikan semua jenis
pekerjaan yang terdapat dalam suatu organisasi. Dengan
demikian analisi jabatan (pekerjaan) akan mengupas suatu
jabatan, dengan memberi jawaban atau pertanyaan tentang apa
yang harus dilakukan, bagaimana menjalankannya, mengapa
pekerjaan tersebut harus dilakukan.
Analisis pekerjaan (job analysis) perlu dilakukan agar dapat
didesain organisasi dan ditetapkan uraian pekerjaan, spesifikasi
pekerjaan serta evaluasi pekerjaan. Analisis pekerjaan adalah
informasi tertulis mengenai pekerjaan apa saja yang harus
dikerjakan dalam suatu perusahaan agar tujuan tercapai. Manfaat
diadakannya analisis pekerjaan ini adalah akan memberikan
informasi tentang aktivitas pekerjaan, standar pekerjaan, konteks
pekerjaan, persyaratan personalia, perilaku manusia serta alat
yang digunakan.
Pengertian analisis pekerjaan ini berbeda dengan motion
study (studi gerak). Analisis pekerjaan menganalisis pekerjaan
apa saja yang harus dikerjakan dalam suatu perusahaan agar
tujuan tercapai, sedangkan studi gerak mempelajari gerakan
gerakan yang paling efektif dan efisien untuk melakukan
pekerjaan. Secara rinci perbedaan diantara keduanya
digambarkan sebagai berikut :

44
Perbedaan Job Analisis dengan Motion Study :
AKTOR JOB ANALISIS MONTION
STUDY
Tujuan Memberikan Merubah dan
gambaran terhadap mem-perbaiki
suatu jabatan metode kerja
Ruang Lingkup Menyeluruh, Merubah dan
mencakup tugas, mem-perbaiki
tanggung jawab gerakan-ge-rakan
Tingkat Kesehatan Kurang teliti Sangat teliti
Organisasi Dilakukan oleh Dilakukan
bagian personalia oleh indus-trial
engineers
Teknik Observasi, Observasi,
wawancara, photographi,
kuesioner stopwatch
Kegunaan Perekrutan, latihan Memperbaiki
Pengupahan metode dan

Langkah yang dapat dilakukan dalam rangka mengadakan


analisis pekerjaan adalah :
a. Menentukan penggunaan hasil informasi hasil analisis
pekerjaan. Dalam hal ini penganalisis harus mengetahui
secara jelas apa kegunaan hasil informasi dari analisis
pekerjaan ini. Karena hasil ini akan dipergunakan untuk
menentukan jenis data yang akan dipergunakan untuk
menentukan jenis data yang akan dikumpulkan dan teknik
pengumpulan datanya. Informasi hasil analisis pekerjaan
dipergunakan untuk menetapkan job description, job
specification, dan job evaluation dalam pengadaan.

45
b. Mengumpulkan informasi tentang latar belakang (bagan
organisasi, bagan proses, uraian pekerjaan)
c. Menyeleksi muwakil (representative) jabatan yang akan
dianalisis. Dalam hal ini dipilih beberapa sample
(muwakil) jabatan yang akan dianalisis.
d. Mengumpulkan informasi analisis pekerjaan (aktivitas
pekerjaan, perilaku karyawan yang diperlukan, kondisi
kerja dan syarat yang diperlukan).
e. Meninjau informasi dengan pihak yang berkepentingan
(untuk memverifikasi informasi yang diperoleh)
f. Menyusun uraian pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan
g. Meramalkan/memperhitungkan perkembangan
perusahaan.
Analisis pekerjaan selain menghasilkan job description, job
spesification dan job evaluation juga berguna bagi :
a. Perekrutan dan seleksi (recruitment dan selection)
Analisis pekerjaan memberikan informasi tentang uraian
pekerjaan dan syarat-syarat manusia yang diperlukan
untuk melaksanakan pekerjaan itu. Isi spesifikasi
dipergunakan menjadi dasar seleksi untuk memutuskan
jenis orang yang perlu direkrut dan diangkat.
b. Kompensasi (compensation)
Informasi analisis pekerjaan memberikan pemahaman
yang jelas tentang latar belakang (pendidikan, usia,

46
pengalaman, dll) orang yang akan menjabat jabatan itu,
sehingga kita dapat menentukan gajinya.
c. Evaluasi Jabatan (job evaluation)
Informasi analisis pekerjaan memberikan p[emahaman
yang jelas mengenaio berat/ringannya pekerjaan, besar/
kecilnya resiko yang dihadapi pekerja, sulit/mudahnya
mendapatkan orangnya. Dengan demikian kita dapat
menetapkan harga/gaji pejabat yang menjabat jabatan
tersebut.
d. Penilaian Prestasi Kerja (preformance appraisal)
Penilaian prestasi kerja merupakan upaya
membandingkan prestasi aktual pegawai dengan prestasi
kerja yang diharapkan darinya. Untuk menentukan apakah
suatu pekerjaan bisa dikerjakan/diselesaikan dengan baik,
maka uraian pekerjaan akan sangat membantu dalam
penentuan sasaran pekerjaannya.
e. Latihan (training)
Informasi analisis pekerjaan dipergunakan untuk
merangsang program latihan dan pengembangan. Uraian
pekerjaan perlengkapan dan jenis keterampilan pekerja
digunakan bahan pembantu di dalam pengembangan
program-program latihan ini.
f. Promosi dan Pemindahan

47
Informasi analisis pekerjaan akan dipergunakan untuk
membantu dalam menentukan promaosi ataupun
pemindahan karyawan.
g. Organisasi
Informasi analisis pekerjaan yang diperoleh dari analisis
pekerjaan seringkali memberikan petunjuk bahwa
organisasi yang ada perlu diperbaiki.
h. Pemerkayaan Pekerjaan (job enrichment)
Informasi analisis pekerjaan dapat dipergunakan untuk
memperkaya pekerjaan pada suatu jabatan tertentu.
i. Penyederhanaan Pekerjaan (work simplification)
Informasi analisis pekerjaan dipergunakan juga untuk
penyederhanaan/spesialisasi pekerjaan, karena
perkembangan perusahaan yang spesifikasi yang
mendalam, akibatnya pekerjaan-pekerjaan yang harus
dilakukan dalam suatu jabatan semakin terspesialisasi.
j. Penempatan (placement)
Informasi analisis pekerjaan digunakan untuk
menempatkan para karyawan pada pekerjaan-pekerjaan
yang sesuai dengan keterampilannya agar mereka bekerja
secara efektif.
k. Peramalan dan perekrutan
Informasi analisis pekerjaan digunakan untuk peramalan
dan perekrutan tenaga kerja yang akan dibutuhkan
perusahaan.

48
i. Orientasi dan Induksi
Informasi analisis pekerjaan digunakan untuk orientasi
dan induksi bagi karyawan baru mengenai sejarah
perusahaan, hak dan kewajibannya, menginduksi dan lain-
lainnya.

3.2.2 Uraian Pekerjaan


Uraian pekerjaan (job description) dan uraian jabatan (job
position) diketahui serta disusun berdasarkan informasi yang
telah dihasilkan oleh analisis pekerjaan. Uraian pekerjaan
biasanya digunakan untuk tenaga kerja operasional, sedang uraian
jabatan untuk tenaga kerja manajerial.
Uraian pekerjaan/jabatan ini harus ditetapkan secara jelas
untuk setiap jabatan, supaya pejabat tersebut mengetahui tugas
dan tanggungjawab yang harus dilakukannya. Uraian pekerjaan
ini akan memberikan ketegasan dan standar tugas yang harus
dicapai oleh seorang pejabat yang menjabat jabatan tersebut.
Uraian pekerjaan ini menjadi dasar untuk menetapkan
spesifikasi pekerjaan dan evaluasi pekerjaan bagi pejabat yang
menjabat jabatan itu. Uraian kurang mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya pada jabatan tersebut. Hal ini mengakibatkan
pekerjaan tidak beres, bahkan pejabat bersangkutan menjadi
overacting. Di sinilah letak pentingnya peranan uraian pekerjaan
dalam setiap organisasi.

49
Uraian pekerjan adalah informasi tertulis yang menguraikan
tugas dan tanggung jawab, kondisi pekerjaan, hubungan
pekerjaan dan aspek-aspek pekerjaan pada suatu jabatan tertentu
dalam organisasi. Uraian pekerjaan harus jelas dan persepsinya
mudah dipahami, serta menguraikan hal-hal berikut :
1. Identifikasi pekerjaan atau jabatan yakni memberikan
nama jabatan seperti rektor, dekan, dosen, kabag
administrasi dan lain-lainnya.
2. Hubungan tugas dan tanggung jawab, yakni perincian
tugas dan tanggung jawab secara nyata, yang diuraikan
secara terpisah, agar jelas diketahui. Rumusan hubungan
hendaknya menunjukkan hubungan antara pejabat dengan
orang lain di dalam maupun di luar organisasi.
3. Standar wewenang dan pekerjaan yakni kewenangan dan
prestasi yang harus dicapai oleh setiap pejabat harus jelas.
4. Syarat kerja harus diuraikan dengan jelas seperti alat-alat,
mesin dan bahan baku yang akan dipergunakan untuk
melakukan pekerjaan tersebut.
5. Ringkasan pekerjaan/pejabat, yaitu hendaknya
menguraikan bentuk umum pekerjaan dengan hanya
mencantumkan fungsi-fungsi dan aktivitas utamanya.
6. Penjelasan tentang jabatan di bawah dan di atasnya, yaitu
harus dijelaskan jabatan dari mana si petugas
dipromosikan dan ke jabatan mana si petugas
dipromosikan.

50
Di dalam membuat deskripsi jabatan bagian terpenting adalah
membuat/menuliskan tugas yang harus dilaksanakan untuk
jabatan tersebut. Untuk itu dapat dimulai dengan mencoba
menjawab pertanyaan ”apa” dan ”mengapa” kita melaksanakan
pekerjaan tersebut, dan ”bagaimana” melaksanakannya.
Uraian pekerjaan harus diuraikan secara jelas agar pejabat
yang akan menjabat jabatan tersebut mengetahui tugas dan
tanggung jawab dan standar prestasi yang harus dicapainya.
Uraian pekerjaan harus menjadi dasar penetapan spesifikasi
pekerjaan, supaya pengisian jabatan didasarkan apa baru siapa
sehingga mismanajemen dapat dihindari.

3.3 Spesifikasi Pekerjaan


Spesifikasi pekerjaan (job spesicification) disusun
berdasarkan pekerjaan dengan menjawab pertanyaan ”apa ciri,
karakteristik, pendidikan, pengalaman, dan lain-lain orang yang
akan melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik. Spesifikasi
pekerjaan menunjukkan persyaratan orang yang akan direkrut dan
menjadi dasar untuk melaksanakan seleksi.
Spesifikasi pekerjaan adalah uraian persyaratan kualitas
minimum orang yang bisa diterima agar dapat menjalankan satu
jabatan dengan baik dan kompeten.
Pada umumnya spesifikasi pekerjaan memuat ringkasan
pekerjaan yang jelas dan kualitas definitif yang dibutuhkan dan

51
pemangku jabatan itu. Spesifikasi pekerjaan memberikan uraian
informasi mengenai :
1. Tingkat pendidikan pekerja
2. Jenis kelamin pekerja
3. Keadaan fisik pekerja
4. Pengetahuan dan kecakapan pekerja
5. Batas umur pekerja
6. Status perkawinan
7. Minat pekerja
8. Emosi dan temperamen pekerja
9. Pengalaman pekerja

3.4 Proses Pengadaan SDM


Seperti telah dijelaskan bahwa pengadaan merupakan
proses penarikan, seleksi, penempatan dengan maksud untuk
memperoleh karyawan yang kompeten dan sesuai dengan
kebutuhan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan
SDM yaitu :
1. peramalan kebutuhan tenaga kerja
2. penarikan
3. seleksi
4. penempatan.

52
3.4.1 Peramalan Kebutuhan Tenaga Kerja
Peramalan kebutuhan tenaga kerja sangat erat hubungannya
dengan peramalan kondisi perusahaan di masa yang akan datang.
Banyak sedikitnya masing-masing jenis karyawan yang
diperlukan akan tergantung pada prospek-prospek ekonomi
perusahaan dan kebijakan perusahaan dalam melakukan investasi
peralatan/mesin-mesin yang akan dipakai dalam produksinya.
Karena itu untuk meramalkan kebutuhan akan tenaga kerja
biasanya dimulai dari ramalan penjualan. Dari ramalan yang telah
dibuat, disusunlah rencana produksi, yang biasa disebut sebagai
progrm produki, master schedule, dan departement schedule.
Untuk bagian penjualan ramalan penjualan ini biasanya akan
diwujudkan sebagai suatu penjualan yang harus tercapai. Setelah
itu bisa mulai menentukan kebutuhan akan karyawan.
Salah satu cara yang bisa dipergunakan, terutama untuk
karyawan-karyawan operasional, adalah dengan berusaha
menterjemahkan beban kerja ke dalam ”man hours”, dan
menentukan berapa ”man hours” yang diperlukan untuk
menyelesaikan satu barang, memproses satu formulir, melayanim
seorang pelanggan dan lain sebagainya. Kemudian beban kerja
dalam total ”man hours” dibagi dengan ”man hours” persatuan
barang, akan menghasilkan ”man hours” yang diperlukan selama
periode tersebut dibagi dengan lama kerja tiap karyawan, akan
menghasilkan jumlah yang diperlukan.

53
Sebagai misal, apabila dalam satu bulan direncanakan
untuk membuat 22.000 unit, sedangkan proses tiap unit
memerlukanm 0,09 jam kerja karyawan, maka ini berarti sama
dengan beban kerja selama 1980 jam kerja karyawan. Kalau
setiap karyawan di dalam satu bulan bekerja 180 jam, maka
berarti diperlukan 11 orang karyawan.
Cara semacam ini hanya bisa dipergunakan untuk pekerjaan
yang hasilnya bisa diukur satuannya. Sedangkan untuk jenisjenis
pekerjaan karena hasil kerjanya tidak bisa diwujudkan satuannya.
Untuk jenis pekerjaan semacam itu kita harus memperhatikan
berbagai faktor seperti kompleksitas pekerjaan, kepandaian
karyawan yang diawasi dan lain sebagainya. Dengan kata lain
untuk pekerjaan mandor misalnya kita perlu memperhatikan
tentang pengawasannya. Bagaimanapun prinsip kewajaran perlu
diperhatikan dalam menentukan jumlah karyawan yang
diinginkan.
Kadang-kadang perusahaan memakai cara sebagai berikut,
apabila penjualan naik dengan Rp. 10.000.000 misalnya, maka
perlu menambah seorang karyawan. Atau apabila terjadi kerjam
lembur melebihi suatu jumlah waktu tertentu, perlu ditarik tenaga
kerja baru. Cara-cara ini biasanya mendasarkan diri atas
pengalaman waktu-waktu yang lain.
Peramalan kebutuhan tenaga kerja dimaksudkan agar
kebutuhan tenaga kerja masa kini dan masa depan sesuai dengan
beban pekerjaan, kekosongan dapat dihindarkan dan semua

54
pekerjaan dapat dikerjakan. Peramalan kebutuhan tenaga kerja
didasarkan kepada faktor internal dan eksternal perusahaan
seperti: jumlah produksi, ramalan usaha, perluasan perusahaan,
perkembangan teknologi, tingkat permintaan dan penawaran
tenaga kerja, serta perencanaan karier pegawai.
Selain peramalan, untuk menentukan kebutuhan tenaga
kerja juga dapat dilakukan analisis tentang kemampuan tenaga
kerja yang ada. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam
mengadakan analisis kemampuan tenaga kerja adalah :
1. melihat tingkat absensi,
2. melihat perputaran karyawan (turn over).
Tingkat absensi dapat dihitung dengan rumus :

Untuk menekan tingkat absensi perlu diidentifikasi


beberapa hal yaitu :
(1) mencatat nama karyawan yang absen,
(2) mencatat sebab-sebab ketidakhadiran,
(3) memperhatikan kelompok umur yang sering absen,
(4) kelompok jenis kelamin,
(5) hari-hari absen,
(6) kondisi kerja.
Tingkat perputaran karyawan bisa dinyatakan dengan
berbagai rumusan. Rumusan tersebut menyangkut masalah

55
”accession” (penambahan dalam pengeluaran upah), ”separation”
(pemberhentian), dan ”replacement”.
Tingginya tingkat absensi dan turn over menunjukkan
bahwa organisasi (perusahaan) tersebut perlu diperbaiki dalam
hal kondisi kerja dan supervisornya.

3.4.2 Penarikan
Proses rekrutmen dimulai pada waktu yang diambil langkah
mencari pelamar dan berakhir ketika para pelamar mengajukan
lamaran. Artinya secara konseptual dapat dikatakan bahwa
langkah yang segera mengikuti proses rekrutmen adalah seleksi,
dan seleksi itu sendiri tidak termasuk proses rekrutmen.
Jika proses rekrutmen ini berhasil dengan baik, maka hasil
yang diperoleh adalah sejumlah pelamar yang kemudian mereka
siap diseleksi guna menentukan kualifikasi calon karyawan yang
dibutuhkan.
Kegiatan rekrutmen tidak bisa tidak, harus di dasarkan pada
perencanaan sumber daya manusia, karena dalam rencana
tersebut telah ditetapkan berbagai persyaratan yang harus
dipenuhi oleh orang-orang yang ingin bekerja dalam organisasi
yang bersangkutan.
Agar supaya proses rekrutmen berhasil dengan tepat
hendaknya harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

56
1. para pencari tenaga kerja (tenaga rekrutmen) perlu
mengkaitkan identifikasi lowongan dengan informasi
tentang analisis pekerjaan.
2. komentar para manajer yang kelak akan membawahi
tenaga kerja baru tersebut juga harus diperhatikan bahkan
dipertimbangkan.
Siapakah yang dimaksud tenaga kerja. Menurut UU No. 14
tahun 1969, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Dengan demikian pengertian tenaga kerja
sebenarnya lebih luas dari pengertian karyawan.
Penarikan (rekrutmen) merupakan usaha mencari dan
mempengaruhi tenaga kerja agar mau melamar lowongan
pekerjaan yang ada dalam suatu perusahaan. Flippo (1984)
menyatakan bahwa penarikan (recruitment) merupakan proses
pencarian dan pemikatan para calon pegawai yang mampu
bekerja di dalam organisasi.
Dalam hal ini berhasil tidaknya penarikan (rekrutmen) ini
dipengaruhi oleh tiga hal yaitu (1) kondisi organisasional
(kebijaksanaan dalam promosi, kebijaksanaan tentang imbalan,
kebijaksanaan tenang status karyawan, job specification, (2)
kebiasaan pencari kerja (pengalaman, pendidikan) dan (3) kondisi
eksternal (lingkungan) seperti pengangguran, pesaing langka

57
tidaknya keahlian yang diperlukan, proyeksi angkatan kerja,
peraturan perundang-undangan.

3.4.3 Penentuan Sumber Penarikan


Penarikan dapat berasal dari sumber internal dan eksternal.
Sumber internal merupakan karyawan perusahaan yang akan
mengisi tempat (lowongan) yang ada dengan cara memutasikan
karyawan yang memenuhi jabatan yang diperlukan, sebaiknya
pengisian jabatan diambil dari dalam perusahaan, khususnya
untuk jabatan manajerial.
Kebaikan penggunaan sumber internal antara lain:
Meningkatkan moral kerja dan kedisiplinan karyawan, karena ada
kesempatan promosi.
a. Perilaku dan loyalitas karyawan semakin besar terhadap
perusahaan
b. Biaya penarikan relatif lebih kecil
c. Waktu penarikan relatif singkat
d. Kestabilan karyawan lebih terjamin
Kelemahannya seringkali kewibawaan karyawan yang
dipromosikan kurang dan kurang membuka kesempatan sitem
kerja baru dalam perusahaan.
Penggunaan sumber eksternal adalah penarikan karyawan
dengan mengambil tenaga dari luar perusahaan misalnya melalui
kantor penempatan tenaga kerja, lembaga pendidikan, referensi

58
karyawan atau rekanan, serikat buruh, pencangkokan dari
perusahaan lain, nepotisme (leasing), pasar tenaga kerja (iklan).
Kebaikan penggunaan sumber eksternal adalah kewibawaan
pejabat relatif baik dan kemungkinan dibukanya sistem kerja baru
ada. Sedangkan kelemahannya antara lain: (1) prestasi karyawan
lama cenderung turun, (2) biaya penarikan lebih besar, (3) waktu
relatif lama, turnover cenderung meningkat, perilaku dan
loyalitasnya belum diketahui.

Proses Penarikan Tenaga Kerja


Untuk menentukan kebutuhan tenaga kerja dilakukan lebih
dulu identifikasi tentang kebutuhan tenaga kerja dan analisis
beban, kemudian menentukan standar pembanding (analisis
jabatan dan spesifikasi jabatan) melakukan proses penarikan
melalui lamaran. Informasi yang diperoleh dan pelamar
dibandingkan dengan spesifikasi jabatan sebagai standar
personalia.
Surat lamaran pekerjaan biasanya berisi tentang: data
pribadi, status pelamar, keahlian dan keterampilan, riwayat
pengalaman, piagam penghargaan, kegemaran (hobi), referensi.
Dapat juga format lamaran disesuaikan dengan kebutuhan,
organisasi. Secara visual proses penarikan tenaga kerja tersebut
digambarkan sebagai berikut :

59
Gambar 3 : Kerangka Penarikan Tenaga Kerja

3.4.4 Seleksi
Karyawan adalah asset utama dari setiap perusahaan,
karena peranan mereka sangat menentukan berhasil tidaknya
perusahaan dalam mencapai tujuan. Setiap perusahaan harus
selalu berusaha memperoleh dan menempatkan karyawan yang
qualified pada setiap jabatan dan pekerjaan supaya pelaksanaan
pekerjaan lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Proses seleksi pegawai merupakan salah satu bagian yang
teramat penting dalam keseluruhan proses manajemen sumber
daya manusia. Dikatakan demikian karena dalam organisasi
sekelompok pegawai dapat memenuhi tuntutan perusahaan atau

60
tidak itu tergantung pada tepat tidaknya proses seleksi yang
dilakukan.
Seleksi bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan kelanjutan dari proses penarikan (rekrutment) dan
juga Yode (1981) menyatakan bahwa seleksi adalah suatu proses
dengan mana calon karyawan dibagi ke dalam dua bagian yaitu
yang akan diterima dan ditolak. Mandel memberikan definisi
bahwa seleksi merupakan pemilihan yang cermat dan
penempatan karyawan membuat mereka secara fisik, mental dan
temperamen sesuai dengan pekerjaan yang mereka harapkan,
membuat karyawan baru dapat berkembang dengan keinginan
mereka dengan demikian akan memperkecil jumlah karyawan
yang tidak pada tempatnya. Sedangkan Stoner (1978)
menyatakan bahwa proses seleksi meliputi penilaian dan
penetapan di antara calon pengisi jabatan.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
seleksi adalah kegiatan pemilihan dan penentuan calon karyawan
(pelamar) untuk diterima atau ditolak menjadi karyawan yang
didasarkan pada spesifikasi jabatan yang dibutuhkan.

3.4.6 Tujuan Pelaksanaan Seleksi


Seleksi penerimaan karyawan baru bertujuan untuk
mendapatkan karyawan yang :
1. berkualitas dan potensial
2. jujur dan disiplin

61
3. cakap, terampil dan bergairah dalam bekerja
4. memenuhi persyaratan UU perburuhan
5. dapat bekerjasama (secara vertikal dan horisontal)
6. dinamis dan kreatif, inovatif dan bertanggung jawab
7. loyal dan berdedikasi, dapat bekerja secara mandiri serta
memiliki budaya malu
Kesemuanya itu tidak lain juga untuk mengurangi tingkat
turnover karyawan, sehingga kredibilitas perusahaan tetap
terjaga.
Setelah tujuan ditetapkan langkah selanjutnya menetapkan
jumlah karyawan yang dibutuhkan. Untuk penetapan kebutuhan
tenaga kerja seperti yang telah disinggung sebelumnya dengan
menggunakan tingkat absen serta menggunakan analisis beban
kerja dan turn over.
Untuk menghitung analisis beban kerja dapat digunakan
rumus :

62
Dari perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa jumlah
tenaga yang dibutuhkan adalah jumlah analisis beban kerja
ditambah (absen dan turnover).

3.4.7 Sistem dan Prosedur Seleksi


Sistem dan prosedur seleksi harus berasaskan efisien (uang,
waktu, tenaga) dan bertujuan untuk memperoleh karyawan yang
terbaik dengan penempatannya yang tepat. Sistem seleksi ada dua
macam, yaitu :
1. Succesive-Hurdles adalah sistem seleksi yang
dilaksanakan berdasarkan uraian testing, yakni jika
pelamar tidak lulus pada suatu testing maka ia tidak boleh
mengikuti testing berikutnya dan pelamar tersebut
dinyatakan gugur.
2. Compensatory-approach adalah sistem yang dilakukan di
mana si pelamar mengikuti seluruh testing, kemudian
dihitung nilai rata-rata tes apakah mencapai standar atau
tidak. Pelamar yang mencapai nilai standar dinyatakan
lulus, sedang pelamar yang tidak mencapai standar
dinyatakan guru atau tidak diterima (Sikula, 19).
Prosedur (proses) atau langkah-langkah pelaksanaan seleksi
perlu ditetapkan dengan cermat dan berdasarkan asas efsiensi
untuk memperoleh karyawan yang qualified dengan penempatan
yang tepat. Langkah-langkah seleksi :
a. Seleksi surat-surat lamaran

63
b. Pengisian blanko lamaran
c. Pemeriksaan referensi
d. Wawancara pendahuluan
e. Tes-tes penerimaan
f. Tes psikologi
g. Tes kesehatan
h. Wawancara akhir atasan langsung
i. Memutuskan diterima atau ditolak

3.4.8 Penempatan, Orientasi dan Indeksi


Penempatan (placement) karyawan adalah tindak lanjut dan
seleksi yaitu menempatkan calon karyawan yang diterima (lulus
seleksi) pada jabatan/pekerjaan yang membutuhkannya dan
sekaligus mendelegasikan authority kepada orang tersebut.
Dengan demikian calon karyawan itu akan dapat mengerjakan
tugas-tugasnya di jabatan bersangkutan. Penempatan ini harus
didasarkan job description dan job specification yang telah
ditentukan serta berpedoman kepada prinsip “penempatan orang-
orang yang tepat pada tempat yang tepat dan penempatan orang
yang tepat untuk jabatan yang tepat” atau “The right man in the
right place and right man behind the right job”.
Prinsip penempatan ini harus dilaksanakan secara
konsekuen supaya seorang pekerja, bekerja sesuai dengan
spesialisasinya/ keahliannya masing-masing. Dengan penempatan
yang tepat itu maka gairah kerja, mental kerja dan prestasi kerja

64
akan mencapai hasil yang optimal bahkan kreativitas serta
prakarsa karyawan dapat berkembang.
Memang banyak yang menyatakan bahwa penempatan
merupakan akhir dari proses seleksi. Pendapat ini benar
senyampang seleksi dilakukan pada pegawai baru. Namun teori
sumber daya manusia modern menekankan bahwa penempatan
tidak hanya berlaku bagi karyawan baru, melainkan juga bagi
karyawan lama yang mengalami alih tugas dan mutasi.
Dengan demikian konsep penempatan ini sebenarnya juga
menyangkut promosi, transfer, dan bahkan demosi sekalipun.
Dikatakan demikian karena sebagaimana pegawai baru, pegawai
lamapun perlu direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya
juga perlu mengalami program pengenalan sebelum mereka
ditempatkan pada posisi baru dan melakukan pekerjaan baru.

3.4.9 Orientasi Karyawan


Orientasi atau perkenalan bagi setiap karyawan baru harus
dilaksanakan untuk menyatakan bahwa mereka betul-betul
diterima dengan tangan terbuka menjadi karyawan yang akan
bekerja sam dengan karyawan lainnya pada perusahaan itu.
Dengan orientasi ini dapat diatasi keragu-raguan,
kecanggungan dan menimbulkan rasa percaya diri karyawan baru
dalam melakukan pekerjaannya. Orientasi ini dapat dilakukan
oleh manajer personalia atau oleh atasan langsung karyawan
bersangkutan. Hal-hal yang akan diperkenalkan adalah ”sejarah

65
perusahaan, bidang usaha perusahaan, struktur organisasi
perusahaan, kesejahteraan karyawan, peraturan-peraturan dalam
perusahaan, hak dan kewajiban karyawan, peraturan promosi, dan
karyawan lama beserta kedudukannya dalam perusahaan itu.”

3.4.10 Induksi Karyawan


Induksi karyawan adalah kegiatan untuk mengubah
perilaku karyawan baru supaya menyesuaikan diri dengan tata
tertib perusahaan. Induksi ini pada dasarnya tugas dari atasan
langsung karyawan bersangkutan sehingga karyawan baru
menyadari bahwa dia harus mentaati peraturan-peraturan
perusahaan dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

66
BAB IV
ANALISIS PEKERJAAN

4.1 Pengertian Analisis Pekerjaan


Dari sudut pandang organisasi, tujuan utama proses seleksi
adalah menemukan individu kompeten yang mampu
melaksanakan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan
posisi yang sedang terisi. Tujuan utama ini mengakibatkan adarya
penekanan terhadap perilaku pegawai yang sedang memegang
jabatan maupun yang akan mendudukinya. Jika organisasi ingin
mampu menemukan seseorang yang dapat melaksanakan
pekerjaan dengan baik, maka pertama-tama organisasi itu
haruslah memiliki diskripsi yang sangat jelas dan spesifik
mengenai apakah yang akan dikerjakan tersebut. Sebagai
akibatnya, defnisi-definisi dari apa yang mendasari pekerjaan dan
apa yang mendasari analisis pekerjaan adalah berorientasi pada
perilaku; sebagai contohnya definisi itu terfokus pada tindakan
dan perilaku anggota organisasi yang dapat diamati.
Analisis pekerjaan adalah proses pengumpulan dan
pemeriksaan (examining) atas aktivitas kerja pokok di dalam
sebuah posisi, serta kualifikasi (keahlian, pengetahuan,
kemampuan, serta sifat-sifat individu lainnya) yang diperlukan
untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas ini. Analisis pekerjaan
sering disebut dengan berbagai istilah seperti analisis jabatan (job

67
analysis), analisis aktivitas, analisis tugas, ataupun penelitian
kerja. Analisis pekerjaan secara sisternatis mengumpulkan data
dan membuat pertimbangan tertentu mengenai semua informasi
penting yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan tertentu.
Hasil analisis pekerjaan merupakan masukan bagi banyak
aktivitas manajemen sumberdaya manusia. Analisis pekerjaan
terdiri dari analisis terhadap hal-hal seperti: aktivitas yang
dilakukan seorang pegawai; alat, perlengkapan, dan bantuan kerja
yang digunakan oleh pegawai; dan kondisi di mana aktivitas
tersebut dilaksanakan.
Analisis pekerjaan bertujuan untuk menyediakan bagi
manajemen suatu pemahaman yang mendalam tentang isi dan
persyaratan dari sebuah posisi atau pekerjaan. Hasil analisis
pekerjaan merupakan masukan untuk berbagai aktifitas
sumberdaya manusia. Analisis pekerjaan biasanya
mengumpulkan informasi mengenai tugas tertentu atau apa yang
dikerjakan oleh seseorang. Sekelompok tugas yang dikerjakan
oleh seseorang akan membentuk suatu posisi. Posisi-posisi yang
identik akan membentuk sebuah pekerjaan, dan pekerjaan yang
serupa secara luas dikombinasikan menjadi jabatan/pekerjaan.
Tugas (task) adalah unit terkecil dari analisis, merupakan
pernyataan khusus atau spesifik mengenai apa yang dikerjakan
seseorang: contohnya, mengoperasikan sebuah PC, menjawab
surat-surat masuk, dll.

68
Posisi (position) adalah sekelompok tugas yang
dilaksanakan oleh seseorang, sebagai contoh, semua tugastugas
yang dikerjakan oleh seorang operator komputer atau sekretaris.
Pekerjaan (job) adalah beberapa posisi dengan tugas mendasar
yang sama dan dengan beberapa orang yang melaksanakannya.
Dalam beberapa kasus hanya satu posisi yang mungkin terlibat
karena tidak ada posisi lain yang serupa Misal, di dalam
perusahaan tertentu posisi manajer sumber daya manusia juga
merupakan pekerjaan karena hanya ada satu manajer sumber daya
manusia di dalam organisasi tersebut.
Jabatan (occupation) adalah sekelompok pekerjaan dengan
isi yang secara umum serupa; sebagai contoh : manajerial, teknis,
operasional. Sebuah jabatan adalah kategori pekerjaan yang
dijumpai dalam banyak perusahaan. Seseorang dapat saja
memegang sebuah posisi, pekerjaan, dan jabatan sekaligus.
Seseorang selalu memiliki posisi dan pekerjaan, tetapi mungkin
tidak dalam jenis pekerjaan yang ditemukan seluruhnya di dalam
sebuah industri sehingga orang tersebut tidak memiliki jabatan.
Deskripsi pekerjaan (job description) adalah pernyataan
faktual dan terorganisasi kewajiban dan tanggung jawab dari
pekerjaan tertentu. Secara ringkas deskripsi pekerjaan
menyatakan apa yang dikerjakan, bagaimana cara
melaksanakannya, dan mengapa dikerjakan. Deskripsi pekerjaan
merupakan ringkasan sistematik informasi yang dikumpulkan
dalam analisis pekerjaan.

69
Spesifikasi pekerjaan (job spesification) adalah keahlian,
pengetahuan dan kemampuan minimal yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan. Spesifikasi pekerjaan merupakan
standar personalianya dan menunjukkan kualitas yang
disyaratkan untuk pelaksanaan yang dapat diterima.
Evaluasi pekerjaan (job evaluation) adalah proses
sistematik dan berurutan untuk menentukan nilai suatu pekerjaan
dalam kaitannya terhadap pekerjaan yang lain. Tujuan proses ini
adalah untuk menentukan tingkat penggajian yang benar.
Perlu diketahui perbedaan antara analisis pekerjaan (job
analysis) dengan evaluasi pekerjaan (job evaluation). Analisis
peker jaan berhubungan dengan penelitian pekerjaan atau
aktivitas rutin dari sudut perspektif sistem. Manusia dan mesin
dipandang sebagai satu unit; analis rnencoba untuk memahami
hubungan mereka dalam apa yang digambarkan sebagai
pendekatan sosioteknis (sociotechnical approach). Evaluasi
kinerja berhubungan dengan nilai dari pekerjaan yang
dilaksanakan untuk menyediakan basis bagi kompensasi.
Evaluasi pekerjaan dimulai apabila analisis pekerjaan telah
diselesaikan.
Informasi yang dikumpulkan melalui analisis pekerjaan
memainkan peranan yang sangat penting bagi departemen sumber
daya manusia, karena analisis pekerjaan menyediakan data
minimal untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan personalia.
Analisis pekerjaan dapat membantu penciptaan prosedur dan

70
dokumentasi personalia, seperti deskripsi jabatan, yang menyoroti
tanggungjawab dan hubungan pekerjaan; spesifikasi jabatan,
yang mendefinisikan keahlian dan pengalaman pendidikan; dan
evaluasi pekerjaan, yang membuat nilai relatif pekerjaan untuk
gaji dan upah. Analisis pekerjaan diperlukan untuk menilai
kinerja dan kebutuhan akan pelatihan dan juga menyediakan
informasi dasar untuk perekrutan. Analisis pekerjaan dapat
menopang struktur dan desain organisasi dengan menjelaskan
peran (pola perilaku yang diharapakan berdasarkan tujuan
organisasional). Tanggung jawab karyawan pada semua tingkat
hirarki dari penyapu lantai sampai dewan direksi dapat
ditentukan, sehingga menghindari overlapping dan duplikasi
upaya serta meningkatkan keharmonisan dan efisiensi diantara
individu dan departemen. Analisis pekerjaan melengkapi audit
situasional dan membentuk landasan bagi sebagian besar praktik
manajemen sumber daya manusia. Analisis pekerjaan bertindak
sebagai batu penjuru bagi fungsi sumber daya manusia seperti
rekrutmen, seleksi, penilaian, kinerja, pelatihan dan
pengembangan, pengelolaan karir, kompensasi, dan hubungan
perburuhan. Analisis pekerjaan dimaksudkan sebagai gambaran
dari tugas-tugas yang dilaksanakan, keahlian dan pengalaman
yang dibutuhkan, pengharapan kinerja untuk setiap pekerjaan.
Analisis pekerjaan mencakup tiga komponen yaitu ;
1. deskripsi pekerjaan;
2. spesifikasi pekerjaan, dan

71
3. standar kinerja pekerjaan.

4.2 Manfaat Analisis Pekerjaan


Analisis pekerjaan membantu dalam mengkomunikasikan
harapan dari sebuah pekerjaan terhadap pemegang jabatan,
pengawasnya, dan teman sejawatnya. Dengan meninjau deskripsi
pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, dan standar kinerja pekerjaan
yang ada, karyawan dapat lebih cepat mempelajari ruang lingkup
dan batasan dari tanggung jawab mereka. Sebuah analisis
pekerjaan yang dapat memfokuskan peramalan dan perencanaan
kepegawaian. Spesialis sumber daya manusia dan manajer
kemudian dapat meramal dan membandingkan suplai dan
permintaan pekerjaan beserta peserdiaan keahlian pekerjaan dan
membandingkannya dengan persyaratan pekerjaan. Analisis
pekerjaan yang disusun, dirancang, dan diimplementasikan
dengan baik berpotensi menyediakan basis informasi yang
berfungsi tidak hanya satu tujuan, tetapi beberapa tujuan. Biaya
yang meningkat dalam mendapatkan data kerja untuk berbagai
tujuan adalah dibenarkan atas dasar berbagai nilai aplikasinya
yang berlipat ganda.
Berbagai manfaat analisis pekerjaan ini merupakan alat
yang baru muncul bagi perencanaan sumber daya manusia pada
tingkat manajerial, profesional, dan teknis. Manfaat analisis
pekerjaan adalah:
1. Analisis penyususnan pegawai desain organisasi

72
2. Telaah dan perencanaan kinerja pegawai sukses
manajemen
3. Pelatihan dan pengembangan jalur karir
4. Kriteria seleksi evaluasi pekerjaan
Analisis penusunan kepegawaian dalam analisis keperluan
penyusunan kepegawaian, manajer mencari informasi mengenai
pekerjaan yang dilaksanakannya dan bukan hanya sekedar berapa
jumlah pegawai yang dibutuhkan. Penting bagaimana pekerjaan
didistribusikan diantara posisi di dalam sebuah organisasi untuk
menentukan keperluan penyusunan staf tambahan, kesempatan,
untuk pengurangan staf, dan kesempatan untuk relokasi pekerjaan
guna meningkatkan pendayagunaan staf pegawai. Pada umumnya
organisasi akan menerima aktivitas yang tidak secara langsung
memberikan kontribusi terhadap tujuan organisasi jika aktivitas
tersebut diakui dan dirasakan perlu. Sulit untuk mengurangi staf
pegawai organisasi secara signifikan tanpa mengalokasikan
pekerjaan secara berarti sehingga menciptakan perubahan
organisasional.
Desain organisasi. Informasi pekerjaan yang diperoleh
melalui analisis pekerjaan seringkali mengungkapkan contoh
contoh organisasi yang jelek dalam kaitannya dengan faktorfaktor
yang mempengaruhi desain pekerjaan. Proses analisis, dengan
demikian; menjadi sejenis audit organisasi. Analisis pekerjaan
sering diaplikasikan dalam desain dan desain ulang pekerjaan
tertentu dan pekerjaan lainnya yang berkaitan. Adalah tidak

73
rnemadai untuk sekedar mendesain ulang nama pekerjaan, tingkat
dan hubungannya jika diharapkan perubahan signifikan dari
perilaku organisasional. Penting untuk menganalisis elemen
tertentu dari setiap posisi dan menyususn setiap posisi dalam
organisasi melalui cara terbaik yang akan mendayagunakan
tenaga berbakat. Pemahaman aktivitas yang ada sekarang akan
memberikan dasar bagi penyusunan pekerjaan dan penyusunan
ulang sistem manajemen yang berkaitan.
Telaah dan perencanaan kinerja. Dalam menentukan tujuan
atau standar, informasi mengenai pekerjaan adalah vital sebagai
titik awal. Analisis pekerjaan memberikan dasar perencanaan dan
evaluasi kinerja yang berhubungan dengan pekerjaan secara lebih
akurat. Analisis pekerjaan melengkapi pendekatan pembuatan
tujuan bagi manajemen, menyediakan dasar yang lebih realistik
untuk pembuatan tujuan kinerja tertentu atau kriteria untuk
evaluasi kinerja berikutnya. Perencanaan kinerja haruslah
mempertimbangkan baik aktivitas yang dilaksanakan pada suatu
pekerjaan maupun hasil akhir atau penyelesaian hasil aktivitas
tersebut. Seringkali perencanaan kinerja atau program penetapan
tujuan gagal karena tidak adanya perhatian yang memadai dan
seimbang pada kedua aspek kunci pekerjaan tersebut. Pemusatan
hanya pada aktivitas belaka mengandung resiko perilaku yang
tidak bertujuan; penekanan pada pengukuran saja mengandung
resiko hilangnya pengendalian terhadap waktu dan tenaga yang
dicurahkan. Dalam perencanaan dan analisis kerja, pada

74
umumnya dianggap perlu bahwa pegawai berpartisipasi dalam
pendefinisian pekerjaan serta perencanaan dan pencapaian
aktivitas tersebut untuk memberikan arah yang jelas dan
komitmen terhadap pekerjaan.
Suksesi manajemen. Analisis pekerjaan sering pula
digunakan dalam perencanan suksesi manajemen. Di dalam
perusahaan besar, sebagai contoh, setiap posisi manajemen kunci
dianalisis secara terinci melalui proses wawancara dan diskusi.
Profil pekerjaan yang dikembangkan akan menentukan bidang
aktivitas pokok, persyaratan kualifikasi, dan pertanggungjawaban
setiap eksekutif. Profil ini berfungsi sebagai kriteria untuk
menilai calon pegawai pengganti untuk setiap posisi dan
menentukan pula pelatihan dan pengembangan yang diperlukan
untuk setiap calon favorit.
Di dalam banyak perusahaan, program suksesi manajemen
mencakup ratusan manajer dan eksekutif potensial sebagai
kumpulan tenaga berbakat untuk posisi kunci yang lebih kecil.
Dalam kassus ini, profil posisi mencari guna menentukan aktifitas
dan kualifikasi yang diinginkan, melihat kearah penerus untuk
posisi tersebut. Kendatipun demikian, dalam membuat informasi
seperti ini analis pekerjaan dapat memulainya dengan definisi
mengenai apa yang dipikirkan pemangku jabatan sekarang yang
mereka lakukan dalam posisinya; informasi ini kemudian
dimodifikasi melalui diskusi manajemen untuk memberikan
kriteria pengembangan manajemen yang perlu. Pada tingkat

75
manajemen, individu membentuk pekerjaan sehingga ada
kebutuhan untuk memikirkan ulang isi dan persyaratan pekerjaan
dalam perencanaan terhadap penerus. Sering dirasakan bahwa
orang paling buruk untuk memilih penerus atau pengganti adalah
pemegang jabatan sekarang, karena kriteria yang cenderung
merupakan aktivitas dan persyaratan pekerjaan saat ini, tidak
pada apa yang perlu di masa depan.
Pelatihan dan pengembangan. Analisis pekerjaan sering
digunakan untuk menentukan pelatihan dan pengembangan yang
diperlukan karyawan pada semua level organisasi. Program
pelatihan dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan yang
ditentukan untuk kelompok pegawai sebagai contoh pemahaman
mengenai konsep dan teknik finansial. Program pengembangan
pengawasan dapat dibuat terfokus pada keahlian tertentu dan
persyaratan pengetahuan yang ditemukan kurang melalui usaha
analisis pekerjaan. Deskripsi tugas dan sarana yang digunakan
merupakan materi yang membantu dalam membuat isi program
pelatihan. Persyaratan pekerjaan dapat ditentukan dalam
hubungannya dengan keahlian dan pengetahuan berdasarkan
aktifitas kerja yang sesungguhnya dilaksanakan pada pekerjaan.
Data ini kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk
menunjukkan kesenjangan aktivitas pengembangan individu.
Manfaat menggunakan persyaratan kerja untuk menganalisis
kebutuhan peaatihan adalah bahwa hal tersebut memungkinkan

76
sebuah organisasi menyediakan bangunan bagi pengembangan,
tidak hanya semata-mata program belaka.
Jalur karir. Memiliki informasi yang tersedia menyangkut
persyaratan pekerjaaji memungkinkan perencanaan karir yang
berarti oleh karyawan. Jalur karir merupakan deskripsi eksplisit
dari urutan alternatif pekerjaan yang kemungkinan dapat
diduduki oleh seorang individu dalam sebuah karir
organisasional. Banyak perusahaan telah menggunakan program
kursus, konseling, analisis individual dan perencanaan karir, dan
jenis program lainnya yang ditujukan untuk membantu menilai
tujuan mereka sendiri, kebutuhan pengembangan karir, dan
perencanaan. Hasil analisis pekerjaan menyediakan informasi
vital atas kesempatan realistik yang tersedia bagi individu di
dalam sebuah organisasi. Analisis pekerjaan memiliki potensi
membuat pengharapan karir individu menjadi realistik dan tidak
idealistik. Analisis pekerjaan dapat memberikan fokus terhadap
pengembangan karir untuk memastikan bahwa karyawan saat ini
memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk melaksanakan
pekerjaan di masa mendatang. Informasi pekerjaan membantu
perusahaan untuk membuat bagan saluran promosi dan
menyediakan karyawan data yang berhubungan dengan
kesempatan dan persyaratan karir di dalam organisasi.
Kriteria seleksi. Hasil analisis pekerjaan juga memberikan
dasar untuk seleksi karyawan, baik pada awal rekrutmen maupun
pada keputusan promosi atau penugasan berikutnya. Meskipun

77
banyak cara untuk mendefinisikan persyaratan kerja sebagai
bagian dari sistem seleksi yang valid, minat terhadap teknik-
teknik seleksi yang berorientasi hasil semakin meningkat.
Aktivitas aktual merupakan fokus yang diinginkan dari analisis
pekerjaan. Aktivitas pekerjaan yang diinginkan sering digunakan
sebagai dasar untuk membuat kriteria seleksi yang berhubungan
dengan pekerjaan. Analisis pekerjaan dapat menunjukkan kepada
pewawancara menilai kecocokan antara pelamar dengan
pekerjaan secara lebih baik, dan memungkinkan pelamar
memutuskan apakah mereka benar-benar tertarik.
Evaluasi pekerjaan. Analisis pekerjaan sering merupakan
langkah awal dalam mengevaluasi pekerjaan untuk tujuan
pengupahan. Analisis pekerjaan memberikan deskripsi pekerjaan
dalam cara memungkinkan evaluasi terhadap pekerjaan berharga
sebagai bagian dari sitem administrasi pengupahan. Sebagian
besar metode untuk evaluasi pekerjaan membutuhkan informasi
isi pekerjaan, tanggung jawab, pertanggungjawaban, hubungan
pelaporan, dan faktor-faktor lain yang dipertimbangkan dalam
penentuan tingkat upah. Dengan demikian, adalah penting untuk
mendapatkan informasi akurat yang berhubungan dengan
pekerjaan. Tingkat gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama
tetap merupakan tujuan dalam sistem administrasi pengupahan
yang sebenarnya, dan informasi akurat mengenai pekerjaan yang
dilaksanakan adalah penting.

78
Evaluasi pekerjaan, yang merupakan dasar bagi skala gaji,
haruslah terkait erat dengan analisis pekerjaan yang berisi daftar
aktivitas pekerjaan kunci yang akhirnya diberi imbalan.
Mendasarkan evaluasi atas informasi analisis pekerjaan
membantu meyakinkan bahwa evaluasi tersebut berkaitan dengan
pekerjaan.

4.3 Tahap-Tahap Analisis Pekerjaan


Suatu sitem analisis pekerjaan haruslah dinamik. Sejalan
dengan perubahan pekerjaan-pekerjaan, manajer sumber daya
manusia haruslah secara otomatis merevisi analisis pekerjaan.
Sebagai contoh jika seorang sekretaris mengganti mesin ketiknya
dengan pengolah kata (word processor), deskripsi pekerjaan
haruslah ditulis ulang (rewrinen) dan perubalaan itu bisa saja
membuat pekerja berhak atas gaji yang lebih tinggi. Jika seorang
pekerja meningkatkan tanggung jawab pengawasannya tetapi
tetap pada pekerjaan yang sama maka analisis pekerjaan yang
baru haruslah dilaksanakan. Spesifikasi pekerjaan yang telah
direvisi mungkin saja menganjurkan bidang-bidang yang
membutuhkan pelatihan dari pemangku jabatan. Semua analisis
pekerjaan haruslah ditelaah dan jika perlu, direvisi secara teratur.
Sebagai tambahan manajer dan karyawan haruslah didorong
untuk meminta analisis pekerjaan yang baru apabila mereka
merasa telah terjadi perubahan signifikan dalam sebuah
pekerjaan.

79
Prosedur analisis pekerjaan haruslah memastikan bahwa
data yang dikumpulkan akurat, dapat diandalkan, dan lengkap.
Berbagai jenis data dapat memberikan informasi mengenai
pekerjaan sehingga sistem analisis pekerjaan haruslah
menentukan bentuk data yang akan dikumpulkan dan orangorang
yang bertanggungjawab untuk mengumpulkannya. Analis
mengumpulkan informasi mengenai karakteristik pekerjaan dan
pemegang jabatan. Sebelum meneliti pekerjaan, analis
mempelajari organisasi, tujuan, desain, masukan (orang-orang,
bahan baku, prosedur), dan keluaran (produk atau jasa). Analis
juga meninjau perusahaan, industri, dan laporan pernerintah
mengenai pekerjaan yang dianalisis. Gambar 3 menggambarkan
tahaptahap analisis pekerjaan. Setelah pemahaman umum
mengenai organisasi dan pekerjaan diperoleh, maka langkah-
langkah selanjutnya adalah:
1. Menentukan pekerjaan yang akan dianalisis
2. Membuat koesioner analisis pekerjaan
3. Mengumpulkan informasi analisis pekerjaan

4.3.1 Penentuan Pekerjaan Yang Akan di Analisis


Seleksi pekerjaan yang akan di analisis adalah keputusan
pertama dari sejumlah keputusan penting yang harus dibuat.
Sebuah pekerjaan mrmgkin dipilih karena pekerjaan tersebut
telah mengalami perubahan yang tidak terdokumentasikan dalam
isi pekerjaan, dan fungsi personalia yang tergantung pada

80
dokumentasi yang akurat tidak dapat dijalankan secara tepat. Di
bawah kondisi seperti ini, permintaan untuk analisis sebuah
pekerjaan mungkin dimulai dengan karyawan, penyelia, atau
manajer. Jika karyawan meminta suatu analisis, hal ini biasanya
karena tuntutan pekerjaan yang baru belum tercermin dalam
perubahan kompensasi. Gaji karyawan, sebagian, didasarkan
pada bentuk pekerjaan yang mereka laksanakan. Karena
pekerjaan berubah, kompensasi yang tepat untuk pekerjaan
mungkin juga berubah. Penyelia dan manajer dapat pula meminta
analisis untuk menentukan kompensasi yang tepat, tetapi mereka
juga tertarik dalam dokumentasi secara formal perubahan-
perubahan dalam rekrutrnen, seleksi, dan pelatihan untuk
pekerjaan.
Analis menentukan setiap pekerjaan yang berbeda di dalam
organisasi sebelum mereka mengumpulkan informasi mengenai
pekerjaan. Di dalam perusahaan yang kecil proses ini biasanya
sederhana karena hanya sedikit pekerjaan yang tidak tercakup. Di
dalam perusahaan besar, analis mungkin harus membuat daftar-
daftar pekerjaan mulai dari catatan gaji, bagan organisasi, atau
diskusi dengan pekerja atau pengawas. Jika analisis pekerjaan
telah pernah dilakukan sebelumnya, maka analis dapat
menggunakan catatan sebelumnya untuk menentukan jumlah
pekerjaan di dalam perusahaan.

81
4.3.2 Pembuatan Koesioner
Untuk meneliti pekerjaan, analis membuat daftar atau
koesioner yang terkadang disebut jadwal analisis pekerjaan.
Terlepas dari sebutan itu, koesioner ini mengumpulkan informasi
pekerjaan secara beragam. Koesioner membongkar tugas,
tanggung jawab, kemampuan manusianya, dan standar kinerja
pekerjaan yang diselidiki. Penting untuk menggunakan koesioner
yang sama pada pekerjaan yang serupa. Ar.alis menginginkan
perbedaan dalarn informasi pekerjaan untuk memperlihatkan
perbedaan dalarn pekerjaanpekerjaan, bukannya perbedaan dalam
pertanyaan yang ditanyakan. Keseragmnan sangat sulit untuk
dipertahankan di dalam organisasi yang besar. Pada saat seorang
analis meneliti pekerjaan-pekerjaan yang serupa di dalam
departernen yang berbeda, hanya koesioner yang seragamlah
yang kemungkinan memberikan data yang berguna.

4.3.3 Pengumpulan Data


Tidak ada cara yang terbaik untuk mengumpulkan
informasi analisis pekerjaan. Analis haruslah mengevaluasi
pengorbanan antara waktu, biaya dan akurasi yang berkaitan
dengan setiap teknik. Manakala analis telah menentukan
pengorbanan mana yang paling penting, maka mereka
menggunakan wawancara, koesioner, catatan harian karyawan di
beberapa kombinasi teknik ini.

82
4.4 Aspek-Aspek Pekerjaan Yang Dianalisis
Untuk menyediakan berbagai manfaat tersebut diatas,
analisis pekerjaan dapat memberikan beberapa aspek pekerjaan.
Aspek-aspek pekerjaan yang dapat dianalisis meliputi:
1. Keluaran pekerjaan
2. Aktivitas/tugas yang dilakukan
3. Kemampuan/kompetensi
4. Struktur imbalan/balas jasa

4.4.1 Keluaran Pekerjaan


Mengukur keluaran pekerjaan (work output) adalah penting
dalam mendesain pekerjaan, menentukan persyaratan penyusunan
staf, menetapkan standar dan tujuan kinerja, dan mengevaluasi
nilai pekerjaan. Pada umunnya, keluaran pekerjaan yang khusus
lebih mudah ditentukan dan diukur pada pekerjaan yang berlaku
dimana tugas individu mengarah kepada hasil yang dapat diamati.
Contohnya adalah pekerjaan produksi, posisi penjualan,
pekerjaan pemrograman komputer, dan posisi administratif dan
klerikal.
Di sini, perekayasaan pekerjaan membutuhkan adanya
penelitian pada keluaran yang berhubungan dengan sistem kerja
yang lebih besar, perlengkapan, aliran kerja dan bahan baku, pola
gerak dan waktu, dan seterusnya. Pada profesi manajerial dan
teknis, keluaran khusus tersebut jauh lebih sulit untuk ditentukan
dan pengukuran menjadi lebih subyektif. Perhatian berpaling

83
kepada upaya yang dicurahkan dibandingkan pada hasil, dan
kontribusi individu pada produk dan jasa terjalin dengan
pekerjaan orang lainnya. Dalam pekerjaan seperti ini pemusatan
pada pengukuran keluaran tertentu dapat menghasilkan adanya
pandangan sempit terhadap pekerjaan. Semakin banyak jenis
indikator keluaran adalah perlu mituk mendapatkan dan
meiryempurnakan pandangan atas pekerjaan.

4.4.2 Aktivitas/Tugas Yang Dilakukan


Bagaimana seseorang melaksanakan pekerjaan sering sama
pentingnya dengan apa yang, dicapainya. Mengetahui aktivitas
atau tugas yang membentuk suatu pekerjaan akan berharga untuk
tujuan peancangan pekerjaan dan struktur organisasi,
mendefinisikan persyaratan pekerjaan dan jalur karir,
menentukan keperluan pelatihan dan pengembangan,
mendefinisikan kelebihan suksesi manajemen, serta perencanaan
dan tinjauan kinerja.
Pada level manajerial yang lebih tinggi, profesional, dan
pekerjaan teknis, analisis umumnya terfokus pada aktivitas
pelaporan, yaitu perilaku yang dapat dirasakan. Sangat sulit untuk
meneliti perilaku aktual karena sampel apapun memang seperti
itu, dan prosedur pengumpulan data membuktikan persepsi
seseorang tentang perilaku aktual itu. Pekerjaan menganalisis
seperti yang seharusnya dilaksanakan atau direncanakan untuk
dilaksanakan di dalam sebuah organisasi mungkin merupakan

84
pendekatan praktis, tetapi kualitas pertimbangan subyektif yang
diperlukan dapat ditingkatkan dengan memusatkannya pertama-
tama pada perilaku aktual. Deskripsi pekerjaan yang mengatakan
apa yang harus dilaksanakan oleh seseorang tidak akan berarti
kecuali jika deskripsi pekerjaan tersebut mewakili secara akurat
pekerjaan yang sedang dilaksanakan.
Hampir sebagian besar teknik analisis pekerjaan terfokus
pada aktivitas pelaporan-khususnya pada perilaku yang dapat
dilihat sebagai dasar untuk definisi yang lebih lanjut dari perilaku
masa depan yang diinginkan ataupun aktivitas di waktu
mendatang yang direncanakan.

4.4.3 Kopetensi
Data kemampuan menangkap pengetahuan dan keahlian
yang harus dimiliki untuk kinerja yang memuaskan. Kemampuan
ini mendasari perilaku yang terjadi pada pekerjaan. Sering perlu
untuk mengetahui apa keahlian, pengetahuan, dan kemampuan
yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan secara
efektif. Informasi mengenai kemampuan dinamakan dalam
mendefinisikan persyaratan kerja untuk seleksi dan penempatan,
menetapkan jalur karir, merencanakan desain organisasi,
menentukan kebutuhan pelatihan, dan kadangkadang membuat
evaluasi pekerjaan. Dikarenakan kompetensi sulit untuk
ditentukan dengan ukuran yang obyektif perusahaan bergantung
pada pendidikan sebagai indikator. Pendidikan mungkin relevan,

85
tetapi hanya mewakili keahlian, pengetahuan, atau kemampuan
tertentu yang ditunjukkan berkaitan dengan keluaran atau
perilaku pada pekerjaan. Pendidikan hanya merupakan pengganti
yang lebih subyektif dari aspek pengalaman dan keahlian aktual,
kemampuan, dan pengetahuan.
Analisis pekerjaan normalnya mencari untuk menentukan
kompetensi yang diperlukan dengan mengartikan perilaku yang
dibutuhkan. Sebagai contoh, pengetikan naskah dapat diartikan
sebagai suatu kompetensi yang menunjukkan “kemampuan untuk
mengetik naskah.” Tentu saja, kompetensi umum ini mencakup
sejumlah subkomponen yang dapat dianalisis lebih lanjut sebagai
pertimbangan yang perlu dan tepat dalam penerapan yang
diberikan.

4.4.4 Struktur Balas Jasa


Sistem evaluasi pekerjaan digunakan dalam administrasi
gaji khususnya mempertimbangkan beberapa faktor yang
termasuk dalam kategori di atas, seperti keluaran, tingkat
pendidikan, dan masa jabatan. Di antara faktor-faktor tambahan
yang sering digunakan, dan dengan demikian merupakan pokok
persoalan bagi analisis pekerjaan dalam mendukung pelaksanaan
pengupahan, adalah hubungan pelaporan, jumlah bawahan yang
melapor secara langsung, dan aset atau pengendalian anggaran.
Hal-hal ini langsung dapat diukur dan ditentukan, meskipun
terdapat pertanyaan apakah hal-hal tersebut merupakan faktor

86
yang paling tepat untuk digunakan dalam mengevaluasi nilai
pekerjaan.

4.5 Teknik Analisis Data


Berbagai teknik tersedia untuk menggambarkan pekerjaan,
meskipun teknik-teknik tersebut sangat berbeda dalam asumsi
yang mereka buat mengenai pekerjaan, dalam luas cakupannya,
dan akurasinya. Beberapa di antaranya berorientasi pada
pekerjaan dan yang lainnya berorientasi pada karyawan/ pekerja,
tetapi setiap teknik tersebut memiliki keunggulan dan
kelemahannya tersendiri.
Untuk mengumpulkan informasi mengenai pekerjaan
membutuhkan pemilihan teknik yang akan digunakan. Ruang
lingkup teknik yang ada terbatas pada: mewawancarai pemegang
jabatan maupun manajer, mengirimkan beberapa jenis kuesioner,
atau langsung mengamati pekerjaan yang dilaksanakan dengan
beberapa cara. Tidak ada satupun dari cara tersebut yang terbaik
pada semua situasi, dari setiapnya memiliki keunggulan dan
kelemahan. Teknik/ metode yang paling tepat untuk setiap situasi
akan tergantung pada sejumlah faktor, seperti bentuk pekerjaan
yang sedang dianalisis, sumber daya yang tersedia untuk
pelaksanaan analisis pekerjaan, dan ukuran organisasi.
Jika digunakan dengan benar, setiap teknik ini
memungkinkan pengembangan akan pemahaman yang mendalam
atas isi dan persyaratan sebuah posisi. Untuk tujuan eksposisi,

87
berbagai teknik tersebut disajikan secara terpisah, tetapi dalam
praktiknya beberapa teknik tersebut digunakan untuk saling
melengkapi satu sama lain sehingga hasil akhirnya mewakili
gambaran yang valid dan komprehensif dari pekerjaan, tanggung
jawab, dan perilaku.
Dalam menelaah teknik yang digunakan, penting untuk
diingat bahwa tujuan analisis pekerjaan adalah penyusunan
sebuah pernyataan yang akurat dan sejelas mungkin mengenai
bentuk pekerjaan, perilaku yang dibutuhkan dari pemegang
jabatan dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut, dan karakteristik
yang diperlukan untuk kinerja yang efektif. Teknik-teknik
pengumpulan informasi analisis pekerjaan yang dapat
dipergunakan meliputi :
1. Observasi
2. Wawancara
3. Kuesioner
a. Kuesioner disesuaikan
b. Kuesioner lengkap
c. Kuesioner analisis posisi
4. Catatan harian karyawan

88
4.5.1 Observasi
Barangkali teknik yang paling nyata dan terang-terangan
dalam analisis pekerjaan adalah mengobservasi orang-orang yang
melaksanakan pekerjaan. Sangat mungkin mempelajari banyak
hal yang berkaitan dengan apa yang dituntut pekerjaan dari
pemegang jabatan dengan mengamati secara cermat individu
yang melaksanakan tugas yang tercakup dalam pekerjaannya.
Observasi sesungguhnya adalah teknik yang berguna untuk
analisis pekerjaan dan membentuk bagian yang terpadu dari
beberapa program analisis pekerjaan. “teknik observasi ini
mengasumsikan bahwa pekerjaan relatif statik, sehingga tetap
konstan sepanjang waktu dan tidak banyak berubah oleh
pemangku jabatan yang berbeda atau situasi yang berbeda.
Teknik observasi pekerjaan adalah akurat untuk pekerjaan yang
membutuhkan kerja manual, standarized, aktivitas bersiklus
pendek, dan pelaksanaan pekerjaan cocok dengan pekerjaan yang
akan dipelajari oleh analis.
Observasi biasanya lambat, mahal, dan kemungkinan tidak
begitu akurat dibandingkan metode yang lain. Akurasinya
kemungkinan rendah karena analis mungkin kehilangan aktivitas
reguler yang terjadi. Tetapi, dalam beberapa situasi observasi ini
lebih disukai. Jika analis mendapatkan data melalui teknik lain,
observasi dapat merupakan konfirmasi atau untuk menghilangkan
keragu-raguan. Hambatan bahasa juga menjadi penyebab
digunakannya observasi, khususnya bagi pekerja berbahasa asing.

89
Teknik observasi ini bukannya tidak memiliki beberapa
kelemahan. Beberapa kelemahan ini dapat diatasi dengan
perancangan dan penerapannya secara hati-hati; yang lainnya
merupakan kelemahan yang melekat pada teknik ini sehingga
tidak dapat dihindari. Terdapat dua faktor dalam kategori masalah
yang dapat dihindari. Pertama adalah perlunya beberapa metode
yang sistematik dan standar dalam pencatatan observasi analisis
pekerjaan. Tanpa ini, analisis pekerjaan melalui observasi akan
menjadi sangat aneh dan amat sulit untuk membuat analisis
pekerjaan yang dapat diperbandingkan dari suatu pekerjaan ke
pekerjaan yang lain dan dari satu analis ke analis yang lain.
Kedua adalah perlunya mengamati secara sistematis pelaksanaan
dan sejumlah pemegang jabatan yang berbeda. Tujuan analisis
pekerjaan adalah untuk menganalisis persyaratan dari pekerjaan,
bukan untuk menilai pelaksanaan dari pemegang jabatan.
Semakin besar ruang gerak yang dimungkinkan pekerjaan bagi
pemangku jabatan maka semakin penting untuk mengamati
berbagai pemegang jabatan.
Sementara problem-problem seperti ini dapat diatasi lewat
perencanaan dan implementasi yang hati-hati, terdapat beberapa
masalah yang inheren pada teknik ini sehingga tidak dapat
dihindari, Pertama, adanya kehadiran pengamat dapat mengubah
perilaku pemegang jabatan. Hasilnya mungkin merupakan
analisis dari pekerjaan “seperti yang dilaksanakan pada saat

90
kehadiran analis pekerjaan,” daripada sebuah analisis pekerjaan
seperti yang sesungguhnya dilaksanakan sehari-hari.
Menggunakan pengamat untuk mengumpulkan informasi
dapat menciptakan situasi yang tidak realistik karena karyawan
dapat berperilaku berbeda ketika mereka mengetahui bahwa
mereka sedang diamati. Kesulitan ini biasanya akan semakin
besar manakala mereka mengetahui bahwa hasil pengamatan
akan digunakan untuk menentukan tingkat upah. Karyawan yang
berharap tmtuk menaikkan tingkat gaji mereka ke tingkat yang
lebih tinggi mungkin akan menambahkan jumlah waktu yang
diperlukan untuk membuat pekerjaan mereka kelihatan sulit.
Kedua, teknik ini tidaklah praktis dan dapat dipergunakan
pada semua jenis pekerjaan. Nilai observasi cenderung menjadi
sangat tinggi untuk pekerjaan yang komponen-komponennya
terutama bersifat fisik daripada yang bersifat mental dan pada
pekerjaan yang siklus waktunya relatif pendek. Jika persyaratan
pekerjaan terutama bersifat mental (seperti insinyur, penulis, dan
desainer), hanya sedikit perilaku yang jelas yang dapat diamati
dan dicatat oleh analis pekerjaan.
Demikian pula, jika siklus waktu pekerjaan adalah panjang,
bahkan meskipun pekerjaannya terutama bersifat fisik, analisis
pekerjaan mungkin membutuhkan waktu berbulanbulan bahkan
bertahun-tahun untuk mendapatkan gabungan gambaran seluruh
persyaratan pekerjaan (sebagai contoh, pekerja dalam
pembangunan turbin pembangkit tenaga listrik mungkin bekerja

91
selama berbulan-bulan atau bahkan tahunan). Dalam situasi
seperti ini, observasi jelas tidaklah mencukupi dan disarankan.
Analisis Pekerjaan Fungsional. Teknik ini merupakan
teknik khusus yang juga menggunakan observasi. Teknik mi
memerlukan analis yang terlatih untuk menganalisis aktivitas
pekerjaan. Analis dapat rnengamati perilaku aktual atau
mewawancarai pemegang jabatan dengan menggunakan prosedur
standar untuk membuat definisi dan persyaratan pekerjaan yang
lengkap. Teknik ini menggolongkan pekerjaan ke dalam rencana-
rencana yang ditentukan, membuat jenjang karir, membuat
rencana pelatihan, konseling kejuruan, dan membentuk
persyaratan pekerjaan untuk penempatan kepegawaian. Teknik
ini telah lama digunakan pada banyak pekerjaan di berbagai
industri di Amerika. Tetapi teknik ini baru akhir-akhir ini saja
diterapkan pada pekerjaan manajerial, profesional, dan teknis dan
tetap dapat diaplikasikan pada level yang lebih rendah.
Analisis pekerjaan fungsional tergantung pada penentuan
analis terhadap tujuan organisasi dan apa yang perlu dilakukan
dalam pekerjaan yang diteliti untuk mencapainya. Setiap
pekerjaan digambarkan kaitannya terhadap tiga fungsi mendasar:
data, orang, dan hal-hal lainnya. Setiap dimensi fungsional diberi
kode yang berhubungan dengan tingkat kompleksitasnya dan
dirangking tingkat signifikansinya.
Metodologinya mudah untuk diperbarui dan diaplikasikan
pada berbagai pekerjaan. Tetapi teknik ini cenderung mahal

92
disebabkan perlunya analis yang terlatih dan tidak begitu dapat
diterapkan pula pada posisi manajerial dan profesional.

4.5.2 Catatan Harian Karyawan


Karyawan secara periodik meringkas-tugas-tugas dari
aktivitas mereka di dalam catatan harian (logs). Jika pemasukan
ke catatan tersebut dibuat mencakup seluruh siklus pekerjaan,
catatan harian ini terbukti cukup akurat. Bahkan boleh jadi
merupakan satu-satunya cara yang mungkin untuk
mengumpulkan informasi pekerjaan. Laporan aktivitas yang tepat
tidak hanya berisi informasi yang jauh lebih terinci dibanding bila
direkonstruksi melalui ingatan, tetapi juga cenderung
menekankan masalah tertentu yang terjadi dan perasaan kepuasan
pribadi atau frustrasi. Catatan waktu atau catatan harian karyawan
(employee logsdiary) akan sangat berguna dalam membantu
pemegang jabatan untuk menganalisis kemana waktu meraka
sesungguhnya digunakan dan aktivitas apa yang sesungguhnya
mereka lakukan setiap hari. Analisis haruslah melihat catatan
harian dari mentabulasikan jenis aktivitas dan waktu yang
dicurahkan untuk aktivitas tersebut. Dalam beberapa kasus, analis
menemukan kejadian yang mencerminkan jalannya/ perilaku
pekerjaan kunci.
Perilaku ini kemudian diubah kedalam berbagai dimensi
(dengan gambaran perilaku yang “diinginkan” dan “tidak
diinginkan”). Teknik ini memiliki manfaat nyata karena bersifat

93
empirik, memiliki struktur metodologis, dari masih tetap
berkaitan erat dengan pekerjaan. Teknik ini tentu saja
membutuhkan tingkat kedisiplinan dari komitmen atas
keikutsertaan individu, tetapi teknik ini memiliki potensi
memberikan catatan empirik yang tinggi mengenai perilaku
pekerjaan. Hasilnya sebagian besar data pengamatan, tetapi
biasanya cukup terperinci.

4.6 Kriteria Teknis Aanalisis Pekerjaan


Proses analisis pekerjaan, baik itu konvensional maupun
kuantitatif, melibatkan pertimbangan (judgment) yang sangat
tinggi. Analis membandingkan teknik analisis pekerjaan,
khususnya yang menyangkut:
1. Keandalan
2. Validitas
3. Kemamputerimaan
4. Daya guna

4.6.1 Keandalan.
Keandalan (reliability) adalah konsistensi hasil yang
diperoleh. Penilaian bobot kerja dan kualifikasi haruslah sama
tidak peduli siapa yang terlibat (penyelia, pemegang jabatan,
analis, konsultan) dan metode yang digunakan. Analis pekerjaan
konvensional tidaklah selalu memberikan kemungkinan untuk

94
keandalan analisis formal karena output yang tidak terstruktur
dan naratif.
Informasi analisis pekerjaan yang konsisten (dapat
diandalkan) tidak harus berarti bahwa informasi tersebut akurat,
komprehensif, atau bebas dari bias. Untuk menemukan bahwa
hasil yang diperoleh akurat, maka validitas teknik perlu
dipertimbangkan.

4.6.2 Validitas.
Mengukur validitas (validity) analisis pekerjaan adalah sulit
karena hampir tidak ada cara yang menunjukkan di mana hasil
merupakan gambaran akurat pekerjaan. Barangkali pendekatan
yang paling menjanjikan adalah memeriksa konvergensi basil di
antara berbabai sumber pekerjaan (analis, pemegang jabatan,
penyelia) dan berbagai teknik.

4.6.3 Kemamputerimaan
Kemamputerimaan hasil analisis pekerjaan oleh karyawan
dan manajer tetaplah merupakan pengujian kritis. Tidak peduli
seberapa baik sistem manajemen samberdaya manusia lainnya
dilaksanakan, jika pemegang jabatan tidak puas dengan data awal
yang dikumpulkan dan dalam proses pengumpulannya, mereka
kemungkinan tidak akan merasa hasilnya pantas secara internal.
Analisis pekerjaan tradisional tidaklah selalu diterima baik
oleh pihak-pihak yang terlibat karena potensinya terhadap

95
subyektivitas. Meskipun demikian, kemamputerimaan teknik
analisis kuantitatif juga memiliki beberapa kelemahan meliputi:
1. Pemahaman karyawan/manajer. Metode statistik yang
digunakan sulit untuk dimengerti sehingga banyak
manajer yang tidak mampu menyampaikan hasilnya
kepada karyawan. Akibatnya, iklim antagonistik
berkembang dan kredibilitas sistem memburuk.
2. Data berorientasi pada perilaku vs. Data ruang lingkup.
Menghilangkan data ruang lingkup (contohnya: besarnya
anggaran, total gaji, kontribusi pada tujuan
organisasional) menyebabkan manajer merasa bahwa
kuesioner tidak secara akurat menganalisis pekerjaan
mereka.
3. Faktor-faktor abstrak dan mendua. Bentuk data yang
dikumpulkan (contohnya: analisis kelemahan dan
kekuatan bawahan dirasa menjadi sangat abstrak dan
mendua/bias). Hasil-hasil yang didapat dianggap sangat
subyektif dan terbuka terhadap interpretasi pribadi.

4.6.4 Daya guna.


Daya guna perlu dipertimbangkan daya guna teknik analisis
pekerjaan menurut tujuan analisis. Jika ada kebutuhan untuk
keseragaman data pekerjaan pada beberapa lokasi, apa teknik
tersebut menyediakannya? Dapatkah teknik tersebut memberikan
bukti struktur gaji yang berhubungan dengan pekerjaan yang

96
dapat di dokumentasikan? Apakah pekerjaan yang sangat tidak
kentara dari keunikan pekerjaan terhadap organisasi dinilai secara
memadai? Apakah orang-orang yang pekerjaannya dianalisis
telah yakin bahwa teknik yang dipergunakan telah secara wajar
menggambarkan pekerjaan mereka? Tantangan analisis pekerjaan
ini memberikan kriteria untuk menimbang daya guna sebuah
teknik analisis.

4.7 Deskripsi Pekerjaan


Setiap pekerjaan adalah berbeda, masing-masing menuntut
pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula. Sebelum
memulai menganalisis tipe karyawan seperti apa yang
dibutuhkan, paling tidak harus melihat apa yang dituntut dari
setiap pekerjaan didalam organisasi.
Hasil yang pertama dan langsung diperoleh dari proses
analisis pekerjaan adalah uraian pekerjaan. Deskripsi pekerjaan
atau uraian pekerjaan merupakan pernyataan yang akurat dan
ringkas mengenai apa yang diharapkan akan dilakukan oleh
karyawan dalam pekerjaannya.
Sebagaimana ditunjukkan oleh judul, dokumen ini pada
dasarnya adalah bersifat deskriptif dan merupakan suatu catatan
atas fakta pekerjaan yang ada dan berkaitan. Fakta ini harus
disusul dalam suatu cara agar dapat dipergunakan. Urutan yang
disusun adalah:
1. Identifikasi pekerjaan

97
2. Uraian singkat tentang pekerjaan
3. Tugas yang dilaksanakan
4. Pengawasan yang diberikan dan diterima
5. Hubungan dengan pekerjaan lain
6. Mesin, alat, dan bahan
7. Kondisi kerja
8. Definisi dan istilah yang tidak biasa
9. Penjelasan yang menambah dan memperjelas hal di atas
(Flippo, 1996)

98
BAB V
ORGANISASI

5.1 Pengertian Tentang Organisasi


Selama masa hidupnya orang lebih banyak berada dalam
saling berhubungan dengan orang lain daripada menyendiri. Pada
dasarnya orang tidak mampu hidup sendiri, hampir sebagian
besar tujuannya hanya dapat terpenuhi apabila yang bersangkutan
berhubungan dengan orang lain. Organisasi merupakan suatu
sistem yang terdiri dari subsistem atau bagian-bagian yang saling
berkaitan satu sama lainnya dalam melakukan aktivitasnya.
Aktivitas ini bukanlah merupakan suatu kegiatan yang temporer
atau sesaat saja, akan tetapi merupakan kegiatan yang memiliki
pola atau urut-urutan yang dilakukan secara relatif teratur dan
berulang-ulang.
Organisasi sering diartikan sebagai kelompok yang secara
bersama-sama ingin mencapai suatu tujuan yang sama. Handoko
(2000:6) mendifinisikan organisasi sebagai suatu proses
perencanaan yang meliputi penyusunan, pengembangan dan
pemeliharaan suatu struktur atau pola hubungan-hubungan kerja
dari orang-orang dalam suatu kelompok kerja. Artinya, organisasi
juga merupakan kumpulan dari peranan, hubungan dan tanggung
jawab yang jelas dan tetap, paling tidak

99
Hicks dalam Sutarto (1998:2) berpendapat bahwa hampir
setiap orang dipengaruhi secara mendalam oleh kelompok.
Melibatkan diri dalam beberapa macam kelompok atau organisasi
menempatkan kedudukan penting dari kehidupan kebanyakan
orang. Artinya, banyak keuntungan dapat diperoleh dari
penyempurnaan hubungan antara individu-individu dan
kelompok. Sebagai contoh, berhasilnya suatu usaha sering
tergantung dari produktivitas perilaku para individu dalam
kelompok kerja. Juga seseorang pengusaha harus membagi
keberhasilannya dengan para pelanggan, para pemberi sumber
dana, material, satuan organisasi pemerintah dan masyarakat
umum.
Anthony (995:1) menjelaskan bahwa organisasi merupakan
suatu kelompok manusia yang berinteraksi melakukan berbagai
kegiatan secara koordinasi untuk mencapai tujuan, dimana pada
dasarnya bahwa individu tidak dapat mencapai tujuan secara
sendiri-sendiri. Artinya tujuan organisasi dapat dicapai melalui
tatanan/manajemen yang dilakukan terhadap sejumlah orang
sebagai pelaksana pekerjaan-pekerjaan organisasi.
Organisasi memperoleh sumber daya dan menggunakannya
secara efisien dan efektif dalam suatu aturan yang telah
disepakati bersama, untuk itu perlu adanya penataan pembagian
kerja, struktur pola hubungan kerja antara sekelompok
orangorang yang memegang posisi untuk bekerja sama secara
teratur guna mencapai tujuan tertentu.

100
Pengertian organisasi seperti yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh dibawah ini (Sutarto, 1998:22-23): Organisasi
adalah proses penggabungan pekerjaan yang para individu atau
kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa
memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efisien,
sistematis, positif dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia.
Jadi organisasi adalah suatu sistem tentang
aktivitasaktivitas kerja sama dari dua orang atau lebih sesuatu
yang tak berwujud dan tak bersifat pribadi, sebagian besar
mengenai hal hubungan-hubungan. Hubungan-hubungan yang
dilakukan orang-orang tersebut dalam keterkaitannya dengan
aktivitas kerja.
Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk
pencapaian suatu tujuan bersama, organisasi merupakan bantuan
bagi manajemen. Ini mencakup kewajiban-kewajiban merancang
satuan-satuan organisasi pejabat yang harus melakukan
pekerjaan, menentukan fungsi-fungsi mereka dan merinci
hubungan-hubungan yang harus ada diantara satuansatuan dan
orang-orang. Organisasi sebagai suatu aktivitas, sesungguhnya
adalah cara kerja manejemen.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang organisasi yang
telah dikemukakan sebelumnya bahwasanya hakekat dari
organisasi itu adalah manusia dan kerjasama dalam suatu struktur

101
organisasi yang menciptakan pembagian tugas dan jabatan serta
meletakkan batas-batas kebebasan seseorang dalam organissi.
Untuk itu Handoko (2000:5) mengatakan bahwa
“pengakuan” terhadap pentingnya satuan tenaga kerja dalam
suatu organisasi. Hal ini dapat diartikan bahwa sumberdaya
manusia merupakan unsur yang vital bagi pencapaian tujuan
organisasi, maka pemanfaatan sebagai fungsi dan kegiatan
personalia secara efektif dan bijak dapat mendukung pencapaian
tujuan organisasi.
Hicks dan Gullet (1996:204) menjelaskan perkembangan
teori-teori organisasi secara garis besarnya dapat dikembangkan
dalam 3 fase, yaitu:

1. Teori Klasik
Konsep klasik telah berlangsung dan berkembang dalam tiga
jalur, dikenal dengan teori birokrasi, teori administrasi dan
teori manajemen ilmiah. Pada dasarnya teori klasik
menekankan pada rasionalitas struktur dan berbagai
spesialisasi, selain itu juga paham klasik memandang pekerja
sebagai manusia ekonomi (economic man) atau dianggap
manusia yang bekerja tersebut semata-mata didorong oleh
rangsangan ekonomi.

102
2. Teori Neoklasik
Teori ini memandang bahwa organisasi sebagai
pengelompokan orang-orang dengan tujuan umum. Perubahan
atas teori klasik tidak lain adalah merubah asumsi dasar. Pada
neoklasik asumsi yang digunakan mencakup aspek-aspek
psikologis dan sosial dari pekerja, dan hendaknya pekerja
individu dan pekerja kelompok haruslah ditegaskan. 3
pandangan yang mendasar bagi teori neoklasik yaitu:
1. Manusia berbeda, setiap orang adalah unik,
masingmasing telah membawa pendirian sesuai situasi
kerjanya, kepercayaan dan cita-cita kehidupan seperti
pengetahuan tertentu, teknik sosial dan logika.
2. Penekanannya terhadap aspek-aspek sosial dan
kelompok kerja, tanggapan manusia mengenai dirinya
dan lingkungan di sekitarnya tergantung pada
kelompoknya, sehingga organisasi informal menjadi
perhatian mereka, menurut neoklasik kelompok kerja
telah memberikan pengaruhnya pada motivasi dan
produktivitas.
3. Manajemen yang partisipatif untuk mengambil
keputusan agar selalu berbincang-bincang terlebih
dahulu dengan bawahan, karena keputusan yang akan
diambil dapat mempengaruhi mereka, maka bawahan
diajak berfikir dalam pengambilan keputusan.

103
3. Teori Modern
Perkembangan lebih lanjut dari teori organissi adalah lahirnya
teori modern yang kadang-kadang disebut dengan teori
analisis sistem organisasi. Teori ini mengembangkan semua
unsur organisasi pada umumnya dan kepraktisan komponen-
komponennya :
1. Organisasi, adalah sebagai suatu sistem yang terdiri
dari 5 bagian pokok yaitu: input, proses, output, arus
balik dan lingkungan yang menyangkut manusia
umumnya meliputi semua jenis sistem biologis, fisik
yang berhubungan dengan tingkah laku manusia.
2. Kedinamisan, penekanannya adalah pada proses yang
dinamis dengan interaksi yang terjadi dalam suatu
organisasi.
3. Multi level dan multidimensional, teori modern
mempertimbangkan setiap tingkatan suatu organisasi.
Dengan mengenali masalah-masalah pada setiap
tingkat, berarti memberikan kesempatan pada setiap
tingkatan untuk memecahkan masalah sendiri,
sehingga terdapat keseimbangan umum pada setiap
tingkat.
4. Multimotivasi, teori modern mengakui bahwa suatu
kegiatan dapat didorong oleh beberapa keinginan.
Dengan demikian secara lebih luas organisasi
diharapkan untuk hidup, karena para pesertanya

104
berkeinginan untuk mencapai beberapa tujuan dengan
baik.
5. Multidisipliner, menggambarkan konsep dan teknik
dari variabel bidang studi, ilmu kemasyarakatan, teori
adminsitrasi, psikologi, ekonomi, ekologi, pelaksanaan
riset, antropologi budaya, sosiologi dan beberapa
bidang lainnya yang dapat memberikan sumbangan
kepada ilmu manajemen dan organisasi.
Gagasan tentang organisasi berasal dari kenyataan bahwa
setiap individu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan
harapannya seorang diri. Individu terutama dalam masyarakat
modern, merasa bahwa ia kurang mampu dan tidak berdaya bila
harus memenuhi kebutuhan dasarnya. Baru setelah beberapa
orang mengkoordinasikan usaha secara bersama, mereka lebih
banyak berhasil daripada kalau melakukannya sendirisendiri.
Organisasi terbesar yakni masyarakat memungkinkan
anggotanya memenuhi kebutuhan mereka melalui koordinasi
kegiatan dari banyak individu. Dengan demikian salah satu
gagasan dasar konsep organisasi usaha saling mambantu (Schein,
1992:14). dapat dirasakan eksistensinya baik oleh individu yang
berada didalam organisasi itu sendiri maupun yang berada di
masyarakat (Soenyoto,1994:3). Organisasi dapat pula dilihat
sebagai suatum sistem dimana anggota-anggotanya memiliki
kesamaan tujuan dan perilaku untuk mencapainya. Organisasi

105
dibentuk karena organisasi dapat mencapai masalah sesuatu yang
tidak dapat dicapai oleh perorangan.
Dengan konsep ini dapat dikatakan bahwa organisasi
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya dua orang atau lebih;
2. Adanya maksud untuk bekerja sama;
3. Adanya pengaturan hubungan;
4. Adanya tujuan yang hendak dicapai.
Batasan mengenai organisasi oleh Miles seperti yang dikutip
oleh Gomes(1977:9): ”…an organization is nothing more than a
collection people grouped is envirnment into marketable goods or
service”. Artinya organisasi tidak lebih dari sekelompok orang
yang berkumpul bersama sekitar suatu teknologi yang
dipergunakan untuk mengubah input-input dari lingkungan
menjadi barang atau jasa yang dapat dipasarkan. Dari gambar 2.1
tampak bahwa suatu organisasi tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan yang ada di sekitar organisasi. Lingkungan
merupakan sumber pasokan input-input bagi oraganisasi dan
sebagai penerima output-output dari organisasi.
Unsur manusia didalam organisasi seperti tampak pada
skema, memiliki kedudukan yang strategis karena manusialah
yang bisa mengetahui input-input apa yang perlu diambil dari
lingkungan dan bagaimana cara memperolehnya, teknologi dan
cara yang dianggap tepat untuk mengolah atau
mentransformasikan input-input menjadi output yang memenuhi

106
keinginan pasar atau lingkungannya. Secara sederhana definisi
tersebut dapat digambarkan melalui skema berikut :
Gambar
Hubungan Antara Organisasi Dan Lingkungan

Sumber : Gomes (1997:25).


Jadi dalam manajemen terdapat kurang lebih tiga variabel
utama, yakni organisasi, manusia dan lingkungan karakteristik,
yang saling berinteraksi menurut pola tertentu dan masing-
masing memiliki karakteristik atau nilai-nilai tertentu
(Gomes,1997:25). Dengan demikian organisasi tidak akan
terlepas dari lingkungan dimana organisasi itu berada dan
manusianya yang merupakan pusat dari organisasi itu sendiri.

107
5.2 Pengertian Iklim Organisasi
Iklim organisasi disebut juga suasana organisasi adalah
serangkaian sifat lingkungan kerja yang dapat diukur berdasarkan
persepsi kolektif dari orang-orang yang hidup dan bekerja dalam
lingkungan tersebut dan diperlihatkan untuk mempengaruhi
motivasi serta perilaku mereka (Timpe,1999:4).
Bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan mungkin
menjadi pendorong bagi para karyawan untuk menghasilkan
kinerja puncak. Suasana organisasi telah diukur dari berbagai
dimensi, termasuk tingkat struktur, sentralisasi pengambilan
keputusan, keterbukaan versus sifat mempertahankan diri, serta
pengakuan dan umpan balik.
Kenyataan telah memperlihatkan bahwa suatu iklim
organisasi atau lingkungan kerja yang menyenangkan begitu
penting untuk mendorong kinerja karyawan yang paling
produktif. Pada waktu penerimaan pegawai selama wawancara
kontak psikologis telah terbentuk, beberapa diantaranya realistis
dan beberapa diantaranya tidak. Didalam interaksi seharihari
antara atasan dan bawahan, berbagai asumsi dan harapan lain
muncul. Ketika atasan dan karyawan terus membentuk
serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang sering agak
berbeda, perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya berpengaruh
dalam tingkat kinerja. Iklim organisasi ditentukan berdasarkan
enam dimensi yaitu:
1. tanggung jawab

108
2. keseragaman
3. semangat kelompok
4. penghargaan
5. standar
6. kejelasan organisasi (Timpe,1999:6),
Selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tanggung-Jawab
Kewajiban seseorang untuk melaksanakan tugas atau fungsi
organisasi. Setiap orang dalam suatu organisasi mempunyai
tanggung jawab karena setiap orang mempunyai jabatan dan
fungsi. Dan ini berhubungan dengan perasaan seseorang tentang
pekerjaan yang dilakukannya (Handoko,2000:99). Jadi, tanggung
jawab adalah kewajiban seseorang bawahan yang diberi tugas
oleh atasannya untuk melakukan sesuatu yang dinginkan
atasannya tersebut.
Bila karyawan diberi tanggung jawab dalam perencanaan dan
pelaksanaan pekerjaan, mereka lebih bertanggung jawab atas
hasilnya. Para karyawan harus mempunyai ketiga tahap
manajemen perkerjaan: perencanaan (apa yang harus dikerjakan),
pelaksanaan (pekerjaan) dan pengendalian kinerja menurut
standar yang telah ditetapkan. Sementara manajer pemegang
tanggung jawab akhir dalam perencanaan dan pengendalian,
membiarkan para karyawan untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut, tidak ada alasan bahwa para karyawan tidak boleh
memiliki beberapa tanggung jawab untuk merencanakan dengan

109
tepat bagaimana dan kapan pekerjaan tersebut harus dilaksanakan
sepanjang pelaksanaannya berada didalam petunjuk yang telah
ditetapkan manajemen. Demikian juga para karyawan harus
mempunyai cukup pengetahuan untuk menilai apakah mereka
telah melakukan pekerjaannya sesuai standar manajemen.
Akhirnya, penting untuk memastikan bahwa para karyawan
diberitahu secara teratur bagaimana hasil pekerjaan mereka. Akan
lebih baik bila karyawan mengetahui kinerja mereka secara
langsung dan teratur dari manajemen daripada memberi mereka
laporan atau evaluasi. Meskipun pesannya mungkin tidak selalu
jelas, para karyawan tertentu yang harus bersikap ramah
mendapatkan umpan-balik seketika dalam bentuk saran dari
pembina, yaitu dari orang yang memberikan penilaian terakhir.
2. Keseragaman
Keseragaman atau koordinasi merupakan proses
penginterasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada
satuansatuan yang terpisah pada suatu organisasi untuk
tercapainya tujuan organisasi secara efisien. Tanpa koordinasi
satuan-satuan akan kehilangan pegangan/peranan, sehingga
mereka akan mengejar kepentingan sendiri-sendiri.
Ketergantungan diantara satuan-satuan organisasi sebagai
berikut:
a. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled
interdependence), bila dalam melaksanakan tugastugas

110
harian tidak saling tergantung tetapi tergantung untuk satu
hasil akhir.
b. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential
interdependence), dimana satuan kerja harus melakukan
pekerjaan lebih dari satuan kerja yang lainnya.
c. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal
interdependence), saling memberi dan menerima antar
satuan kerja.
3. Semangat Kelompok
Strauss & Staylesm (1981 : 231) menyatakan bahwa
hubungan atasan dan bawahan tidaklah terjadi didalam suatu
vakum. Manusia termasuk kedalam kelompok-kelompok, dan
kelompok-kelompok ini amat mempengaruhi harapan, keinginan
dan tingkah laku mereka.
Tingkat semangat kelompok dapat dianggap suatu ukuran
loyalitas bawahan kepada atasan. Perasaan-perasaan positif
diantara karyawan-karyawan memberikan lebih banyak waktu
untuk pekerjaan yang dihadapi, karena para karyawan
menghabiskan lebih sedikit waktu untuk melindungi diri mereka
sendiri.
Manajemen dapat menentukan irama sebagai berikut :
1. Mendorong para bawahan untuk mengutarakan perasaan,
keraguan dan perhatian;
2. Bersikap mendorong terhadap perasaan bawahan;
3. Jelas dalam alasan-alasan permintaan dan keputusan;

111
4. Mencari penyebab-penyebab masalah, bukan kambing
hitam;
5. Menetapkan kejujuran sebagai suatu standar yang tidak
dapat dikompromikan;
6. Mempercayai para karyawan.
Menerapkan rasa saling percaya yang lebih besar diantara
karyawan mungkin akan mengurangi kebutuhan akan
strategistrategi lain untuk memperbaiki suasana organisasi. Saling
percaya adalah suatu faktor motivasi yang kuat dan tidak adanya
kepercayaan sering mengurangi kinerja karyawan. Setiap metode
motivasi yang dibahas diatas tepat dalam sebuah kasus yang
berbeda. Penekanan pemerkayaan jabatan adalah kepada sifat-
sifat intrinsik pekerjaan, sementara manajemen melalui sasaran
berhubungan dengan hasil-hasil akhir dari pekerjaan. Sebaliknya,
dorongan positif bertalian dengan faktor-faktor yang bersifat
ekstrinsik dari pekerjaan. Manajemen dapat mendiagnosis faktor-
faktor yang merintangi motivasi karyawan, manajemen mungkin
dapat memilih strategi yang tepat untuk mendorong perbaikan
kinerja karyawan.
4. Penghargaan
David J. Cheriington dan B. Jackson Wixom, Jr., (Timpe,
1999:100) menyatakan bahwa para karyawan yang percaya
bahwa usaha-usaha mereka meinmbulkan kinerja dan yang
mengantisipasi penghargaan-penghargaan penting bagi prestasi

112
mereka menjadi produktif dan tetap produktif bila panghargaan
memenuhi harapan mereka.
Pencarian cara-cara untuk memotivasi para karyawan
sekarang telah membawa para manajer ke banyak arah. Sebagian
besar karyawan melihat kembali dengan alat-alat lama dan
menemukan bahwa dengan sedikit perbaikan mereka masih
menjadi motivator yang berharga. Banyak perusahaan menyadari
bahwa mengakui para karyawan dari pekerjaan yang
diselesaikannya dengan baik masih memberikan pengaruh ampuh
terhadap produktivitas.
Para manajer yang sangat berhasil dalam menggunakan
pengakuan sebagai alat memotivasi telah mendesain dan
melaksanakan program-program dengan seksama yang sesuai
dengan teori-teori motivasi modern. Masalah-masalah seperti
kemangkiran, keluarnya karyawan ketidakpuasan kerja dan
rendahnya produktivitas telah membuat banyak administrator
berkonsultasi dengan para ahli teori motivasi untuk mencari
jawaban-jawabannya. Meskipun demikian, ahli-ahli teori tersebut
lebih sering tidak mendorong daripada membantu. Cara para ahli
teori menggambarkan perilaku manusia kadang-kadang
menimbulkan kebingungan model-model kompleks sulit
diterapkan di lingkungan kerja. Melihat dari dekat semua teori
motivasi, mengungkapkan prinsip perilaku manusia yang umum
dan sederhana: orang berbuat atas dorongan atau penghargaan
terhadap mereka karena malakukannya.

113
5. Standar
Suasana organisasi dapat diukur dari dimensi kualitatif,
seperti standar. Yang dimaksud disini adalah standar kerja.
Standar kinerja ditetapkan dengan pengalaman dan kematangan
karyawan, para karyawan merasa bangga dengan kinerja mereka,
sehingga bisa mencapai kepuasan kerja yang diharapkan. Agar
bisa terjadi persaingan yang sehat diantara para karyawan,
pimpinan menetapkan sasaran-sasaran kerja yang menantang.
Adanya perasaan nyaman dan aman untuk bekerja, tanpa
adanya tekanan dari pimpinan, akan terjadi iklim organisasi
Kepuasaan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan
mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja,
kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja juga dapat
dinyatakan sebagai keadaan emosional karyawan dimana terjadi
titik temu antara nilai balas jasa kerja dengan perusahaan dengan
tingkat balas jasa yang diinginkan karyawan. Baik berbentuk
finansial maupun non-finanisal. Kepuasan kerja tidak selamanya
menjadi faktor motivasional yang kuat untuk berprestasi, karena
karyawan yang puas dalam bekerja belum tentu prestasi kerjanya
meningkat. Namun paling tidak masalah kepuasan kerja perlu
mendapat perhatian yang serius oleh para pengelola organisasi.
Standar atau tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak
ada, karena pada umumnya setiap karyawan berbeda standar
kepuasannya. Tetapi paling tidak ada indikator yang dapat
digunakan untuk melihat ada tidaknya kepuasan kerja,

114
diantaranya adalah kedisiplinan, moral kerja karyawan serta
rendahnya turn over. Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi
fakor-faktor antara lain:
a. Balas jasa yang adil dan layak.
b. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
c. Berat ringannya pekerjaan.
d. Suasana dan lingkungan pekerjaan.
e. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
f. Sikap pemimpin dan kepemimpinannnya.
g. Sifat pekerjaan (monoton atau tidak).
Pemahaman tentang kepuasan kerja dapat terwujud bila
analisis tentang kepuasan kerja dikaitkan dengan prestasi kerja,
tingkat kemangkiran, keinginan pindah, usia pekerja, tingkat
jabatan dan besar kecilnya organisasi.
6. Kejelasan Organisasi
Iklim organisasi dapat juga diukur dari dimensi kualitatif,
seperti kejelasan organisasi. Sebagai gambaran, beberapa
pertanyaan dapat digunakan untuk mengundang
komentarkomentar para karyawan, misalnya:
1. Anda mengetahui apa yang diharapkan dari Anda?
2. Apakah penugasan-penugasan kerja terstruktur dengan
logis?
3. Apakah produktivitas terganggu karena perencanaan yang
buruk?

115
Menurut pendapat Timpe (1999:6) bahwa apabila standar
dipandang begitu lemah dan bila kejelasan organisasi rendah,
suatu program Manajemen yang Berdasarkan Sasaran (MBS)
mungkin dapat mengatasinya. Manajemen berdasarkan sasaran
meliputi pendefinisian apa yang diharapkan dari para karyawan,
memperoleh komitmen mereka terhadap sasaran-sasaran yang
ditetapkan, dan memastikan bahwa sasaran-sasaran tersebut
terpenuhi. Tanpa kecuali setiap sistem Manajemen Berdasarkan
Sasaran (MBS) membuka selubung kekacauan yang ada yang
menutupi isi pekerjaan dan tanggung gugat manajemen.
Kekacauan ini harus dihilangkan sebelum melangkah ke
tahap berikutnya atau ke tingkat manajemen yang lain. Masalah
dapat dihilangkan dengan lebih efektif dengan ancangan
“setingkat demi setingkat” dengan alasan berikut: jika ada
kekacauan organisasi di puncaknya–katakanlah di tingkat yang
tertinggi– kekacauan ini akan terurai titik demi titik pada saat
manajer mendelegasikan wewenang setingkat demi setingkat
akan memungkinkan kekacauan dihilangkan pada tingkat yang
lebih tinggi sebelum kekacauan ini menyebar ke seluruh
organisasi melalui proses delegasi.

116
BAB VI
KEPEMIMPINAN

6.1 Pengertian Kepemimpinan


Kepemimpinan (Leadership) adalah proses mempengaruhi
atau memberi contoh yang dilakukan oleh pemimpin kepada
pengikutnya atau anggotanya yang bertujuan untuk mencapai
tujuan organisasi. Kepemimpinan juga merupakan salah satu
faktor yang sangat penting bagi keberhasilan manajemen
organisasi. Kepemimpinan yang efektif akan mampu mendorong
motivasi anggota organisasi sehingga produktifitas, loyalitas dan
kepuasan bawahan atau anggota organisasi meningkat. Pada
awalnya banyak yang berpendapat bahwa pemimpin itu
dilahirkan, namun dengan berkembangnya pengetahuan diketahui
bahwa terbentuknya kepemimpinan yang efektif dapat dipelajari.
Kepemimpinan mengalami pergeseran dari waktu ke waktu
dan bersifat kontekstual yang dilatarbelakangi oleh
perkembangan sosial, politik dan budaya yang berlaku pada
jamannya. Dalam pendekatan situasional disadari bahwa tidak
ada satupun gaya kepemimpinan yang terbaik dan berlaku
universal untuk segala situasi dan lingkungan. Pengertian tunggal
tentang kepemimpinan masih belum ada kesepakatan diantara
para ahli ilmu perilaku.

117
William G. Scott (1962) Kepemimpinan ialah proses
mempengaruhi aktifitas yang diorganisir dalam suatu kelompok
dalam usahanya untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. F. A. Nigro (1965) Inti dari kepemimpinan ialah
mempengaruhi aktifitas orang lain. F. I. Munson “The
Management of Man”. Kepemimpinan sebagai kesanggupan atau
kemampuan untuk mengatasi orang-orang yang sedemikian rupa
agar mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan kemungkinan
pergesekan yang sekecil-kecilnya dan sebesar mungkin
terjalinnya kerja sama. Ordway Tead (1929) Kepemimpinan
sebagai penggabungan perangai yang membuat seseorang
mungkin dapat mendorong beberapa pihak lain untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Hemhill dan Coon (1995)
Kepemimpinan merupakan sikap dari seorang individu yang
memimpin berbagai kegiatan dari suatu kelompok menuju suatu
tujuan yang ingin dicapai bersama-sama. Rauch dan Behling
(1984) Kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi
kegiatan-kegiatan suatu kelompok yang diorganisasi menuju arah
pencapaian sebuah tujuan.
Kartini Kartono (1994 : 48) Kepemimpinan itu karakternya
khas, spesifik, dibutuhkan pada satu situasi tertentu. Sebab di
dalam sebuah kelompok yang melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu dan memiliki sebuah tujuan serta berbagai macam
peralatan yang khusus. Pemimpin sebuah kelompok dengan ciri-
ciri yang karakteristik adalah fungsi dari situasi tertentu.

118
Tannenbaum, Weschler dan Massarik (1961) Kepemimpinan
ialah sebuah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan pada
keadaan tertentu, serta diarahkan lewat proses komunikasi,
menuju arah pencapaian satu tujuan tertentu atau lebih. P. Pigors
(1935) “Kepemimpinan ialah proses dorong mendorong lewat
keberhasilan sebuah interaksi dari berbagai perbedaan individu,
mengontrol daya seseorang dalam mengejar tujuan bersama”.
George R. Terry Kepemimpinan merupakan suatu hubungan yang
ada di dalam diri seseorang atau pemimpin dan mempengaruhi
orang lain agar mau bekerja dengan sadar dalam hubungan tugas
agar tercapainya sebuah tujuan yang diinginkan.
Stephen J. Carrol dan Henry L. Tosj (1977) Kepemimpinan
ialah seuatu proses mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan
apa yang kita kehendaki untuk mereka kerjakan. Theo Haiman
dan William G.Scott Kepemimpinan merupakan suatu proses
beberapa orang diarahkan, dipimpin dan dipengaruhi di dalam
sebuah pemilihan dan pencapaian sebuah tujuan. Duben (1954)
Kepemimpinan ialah kegiatan para pemegang kekuasaan dan
pembuat suatu keputusan. Reed (1976) Kepimpinan ialah suatu
cara mempengaruhi perilaku seseorang agar perjuangan dapat
dilakukan mengikuti kehendak dari seorang pemimpin. G. L.
Feman dan E. K. Taylor (1950) Kepemimpinan merupakan suatu
kemampuan untuk menciptakan aktifitas suatu kelompok untuk
mencapai tujuan organisasi dengan efektifitas yang maksimal dan
kerjasama dari tiap individu.

119
James M. Black (1961) Kepemimpinan ialah kemampuan
yang mampu meyakinkan orang lain agar mau bekerjasama
dibawah pimpinannya menjadi kesatuan dari tim untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. P. Pigors “Ledearship and Domination
“Kepemimpinan merupakan suatu proses dorong-mendorong
yang mengontrol daya manusia guna mengejar tujuan bersama,
lewat interaksi yang berhasil dari bermacam-macam perbedaan
individual. C. Schenk “Leadership”: Infantry Journal. 1928.
Kepemimpinan ialah manajemen mengenal seseorang dengan
jalan persuasi dan inspirasi bukan melalui pengarahan dan
semacamnya, atau bahkan paksaan, ancaman yang terselubung.
H. Kootz & O’ Donnel “Principles of Management”
Kepemimpinan merupakan aktifitas mempersuasi orang agar mau
bekerjasama dalam suatu pencapaian tujuan bersama.
Hersey dan Blanchard (1995), kepemimpinan adalah suatu
proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mencapai suatu tujuan dalam
situasi tertentu. Gibson, Ivancevich, dan Donnelley (1991),
memberikan pengertian kepemimpinan sebagai suatu upaya
penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi
orangorang mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain seorang
leader adalah seseorang yang mempunyai daya untuk menarik
orang lain dengan tanpa paksaan agar mereka secara
bersamasama mewujudkan visinya.

120
Hersey dan Blanchard (1982), mencoba mengatasi
kelemahan teori sifat dan teori perilaku dengan mengembangkan
pendekatan situasional. Mereka menyumbangkan “Cycle Theory
of Leadership” yang bertolak dari siklus kehidupan manusia.
Menurut studinya ditemukan bahwa gaya kepemimpinan
cenderung berbeda-beda dari situasi ke situasi yang lain. Untuk
menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif harus diawali
dengan mendiagnosis situasi sebaik-baiknya. Diagnosis situasi
berkaitan dengan kapan, tuntutan iklim organisasi, harapan,
kemampuan atasan dan bawahan. Pendekatan situasional
menyarankan bahwa perilaku pemimpin yang efektif harus :
1. Selalu memperhatikan situasi yang dihadapi.
2. Memperlakukan bawahan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Pemimpin penganut pendekatan situasional cenderung
berperilaku yang dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Perilaku Direktif, leader bersifat memberi pengarahan,
perintah, petunjuk yang berorientasi pada tugas.
2. Perilaku Supportif, leader memberikan dukungan,
motivasi, semangat kerja, pertimbanganpertimbangan
manusiawi yang berorientasi pada perbaikan
hubungan atasan bawahan.
Selanjutnya kedua perilaku ini dihubungkan dengan tingkat
kematangan (maturity) bawahan. Maturity mengukur sejauhmana
bawahan mempunyai kemampuan dan kemauan melaksanakan

121
tugas dengan baik dengan tanpa diawasi. Hubungan antara kedua
jenis perilaku pimpinan dan kematangan bawahan menunjukkan
empat jenis gaya kepemimpinan yang efektif untuk situasi
tertentu. Ke empat gaya kepemimpinan tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Gaya Instruktif : leader cenderung memberikan pengarahan
dan suportif yang rendah. Leader memberikan instruksi
disertai pengawasan yang ketat. Gaya ini sesuai untuk
menghadapi bawahan yang belum matang.
2. Gaya Konsultatif : leader memberikan direktif dan suportif
yang tinggi. Setiap keputusan memperhatikan masukan
bawahan yang telah lebih matang.
3. Gaya Partisipatif : leader memberikan suportif tinggi tetapi
direktif yang rendah. Leader mengambil keputusan yang
memperhatikan masukanmasukan bawahan. Gaya ini sesuai
untuk menghadapi bawahan yang sudah agak matang.
4. Gaya Delegatif : leader memberikan direktif dan suportif
yang rendah. Leader menyerahkan pengambilan keputusan
dan pertanggungjawaban penuh pada bawahan. Gaya
Delegatif hanya cocok untuk menghadapi bawahan yang
benarbenar sudah matang.
Menurut Beni Agus Setiono (2017): Pada dasarnya faktor-
faktor yang berkontribusi terhadap kepemimpinan dan
manajemen yang efektif di dalam K3 adalah sama dengan area
oprasional yang lain seperti kualitas dan produktifitas. Ada dua

122
faktor penting dalam kepemimpinan yang efektif yaitu
kepedulian dan pengendalian.
Kepedulian adalah perhatian dalam hal kesejahteraan
pekerja, membantu pekerja ketika diperlukan, membangun
hubungan baik dengan bawahan/pekerja, membangun komunikasi
dua arah dengan menjelaskan segala sesuatu yang perlu dan
selalu ada atau bersedia ditemui. Sedangkan pengendalian adalah
membuat target yang jelas, menjaga kinerja sesuai standar,
memberi klarifikasi yang jelas tentang ruang lingkup pekerjaan,
ekspektasi dan tanggung jawab dan memotivasi pekerja untuk
mengikuti peraturan dan prosedur.
Kedua faktor tersebut harus dijalankan secara seimbang,
jika tidak seimbang akan bisa menimbulkan dampak negatif
terhadap kepemimpinan. Misalnya, jika kepedulian lebih
dominan atau kuat dibandingkan pengendalian, maka manajemen
akan dianggap terlalu lemah, tidak tegas atau tidak bisa membuat
keputusan. Demikian juga sebaliknya, jika pengendalian terlalu
dominan maka manajemen akan dianggap terlalu keras dan tidak
mempercayai pekerja, sehingga pekerja akan cendrung menjaga
jarak dengan manajemen karena ketakutan, berusaha
menyelamatkan diri masing-masing dan saling menyalahkan. Jadi
kepemimpinan yang efektif adalah pemimpin yang tingkat
kepedulian dan pengendaliannya tinggi, mereka akan didengar
dan dipatuhi oleh pekerja. Pemimpin yang efektif bersifat
mengayomi dan mengutamakan pendekatan team dalam setiap

123
penyelesaian masalah, semua keputusan dibuat dengan semangat
kerjasama team, dan mengkomunikasi secara jelas setiap
keputusan atau programyang dibuat. Maka secara ringkas dapat
dijelaskan bahwa kepemimpinan yang efektif memperlihatkan
unsur-unsur kepedulian dan pengendalian berikut:
a. Mengkomunikasikan secara jelas kepada pekerja
bagaimana cara mencapai target yang sudah
ditetapkan.
b. Menentukan jangka waktu untuk mencapai target
tersebut.
c. Membantu pekerja dalam mencapai target tersebut
dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan.
d. Menghilangkan atau meminimalkan semua rintangan
yang dapat menghalangi tercapainya target tersebut.
Kepemimpinan menurut Handoko (2003:294) merupakan
“kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi
orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran”. Sedangkan
menurut Stoner,dkk (1996:161) mendefinisikan kepemimpinan
sebagai, “Proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang
berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok”. Definisi ini
menunjukkan bahwa kepemimpinan menggunakan pengaruh
yang ditujukan pada peningkatan kemampuan seorang bawahan.
Menurut Daft (2003:50) kepemimpinan didefinisikan
sebagai, “kemampuan mempengaruhi orang lain yang mengarah
pada pencapaian tujuan. Dari definisi kepemimpinan dapat

124
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah merupakan suatu cara
bagaimana seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk
mencapai tujuan organisasi melalui hubungan yang baik dengan
bawahan.
Dalam organisasi modern saat ini sedang mengalami
sejumlah perubahan penting yang mengelilingi pencapaian
kesuksesan. Penguasa yang tidak fleksibel, otoriter dimasa lalu
telah digantikan oleh pemimpin yang Iebih partisipatif dan
visoner (Lews, et aL, 2004). Para pemimpin dalam Iingkungan
usaha saat ini tidak lagi takut akan perubahan; bahkan para
pemimpin seharusnya menyukai dan lebih senang mempengaruhi
perubahan.
Efektifitas pemimpin dalam rnenghadapi aktifitas
organisasi sekarang ini sangat ditentukan oleh kualitas hubungan
(relasi) antara pemimpin dan bawahan. Hubungan yang terjalin
antara pemimpin dengan bawahan hendaknya tidak hanya sebatas
hubungan kerja formal dimana pemimpin bertindak sebagai
atasan bagi bawahan mereka dalam organisasi, namun hubungan
tersebut harus terjalin secara luas dimana pemimpin dapat
berindak sebagai patner bagi bawahan mengatasi berbagai
hambatan dan dapat memotivasi bawahan untuk berprestasi
dalam pekerjannya.
Karena itu keberadaan seorang pemimpin merupakan hal
yang sangat mutlak diperlukan dalam suatu organisasi, baik
organsiasi pemerintah maupun swasta ataupun organisasi profit

125
maupun non profit. Kesuksesan suatu perusahaan akan sangat
ditentukan pada peranan pemimpin dalam mengelola sumber
daya organisasi dan menjalankan segala aktivitas organisasi
secara optimal.
Yukl (1989), mengatakan bahwa leadership
(kepemimpinan) adalah proses dimana seseorang individu
mempengaruhi anggota group yang lainnya untuk mencapai
tujuan organisasi. Studi kepemimpinan menunjukkan bahwa
kepemimpinan memiliki dua gaya yaitu kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan transformasional. Antara
kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional
menurut
Bass dalam Hem (2002 : 9) adalah sebagai sesuatu yang
berbeda namun tidak sebagai proses yang mutually exclusitve.
Dengan demikian dimungkinkan seorang pemimpin menerapkan
kedua tipe tersebut pada situasi yang berbeda. Disatu sisi individu
tidak mungkin menerapkan kedua gaya tersebut pada suatu waktu
tertentu oleh karenanya pada kepemimpinan terdapat unsur
kecenderungan, baik itu kecenderungan untuk mengarah pada
gaya kepemimpinan transaksional maupun pada gaya
kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang sangat
menarik dan paling banyak dibahas dalam manajemen, sehingga
berbagai definisi disampaikan oleh para praktisi organisasi

126
maupun para pakar sumber daya manusia untuk menunjukkan arti
pentingnya kepemimpinan dalam suatu organisasi.
Kepemimpinan menurut Johns (1996) didefinisikan sebagai
pengaruh agar pribadi individu mengusahakan pencapaian tujuan
organisasi diatas tujuan yang lain dalam konteks organisasional.
Sedangkan kepemimpinan menurut (Luthans, 1981) didefinisikan
sebagai suatu interaksi antar anggota suatu kelompok, dimana
mimpin merupakan agen perubahan dan merupakan orang yang
perilakunya akan lebih mempengaruhi orang lain daripada
perilaku orang lain yang mempengaruhi mereka. Kepemimpinan
timbul ketika satu anggota kelompok mengubah motivasi dan
kompetensi anggota lainnya di dalam kelompok. Definisi lain
dari kepemimpinan juga disampaikan oleh Sosik (1997) sebagai
pusat proses, aktivitas, hubungan dan perubahan kelompok. Oleh
karena itu kepemimpinan yang efektif menggunakan pengaruh
dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi dengan jalan
meningkatkan produktivitas, inovasi, kepuasan dan komitmen
terhadap pekerjaan.
Sedangkan menurut Stoner (1995), kepemimpinan dapat
diartikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian
pengaruh pada kegiatan-kegiatan dan sekelompok orang yang
saling berhubungan tugasnya. Definisi tersebut terdapat 3
implikasi penting, yakni
1. Kepemimpinan menyangkut orang lain (bawahan atau
pengikut). Bawahan yang bersedia menerima pengarahan

127
dan atasan akan membantu proses kepemimpinan dapat
terlaksana.
2. Kepemimpinan menyangkut pembagian kekuasaan.
Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan
berbagai kegiatan para anggota kelompoknya, tetapi para
anggota kelompok tidak dapat mengarahkanm kegiatan-
kegiatan pemimpin secara langsung.
3. Kepemimpinan yang menggunakan pengaruh. Dalam
menghadapi perubahan yang sangat pesat dan tekanan-
tekanan persaingan bisnis yang semakin meningkat,
perusahaan dipaksa untuk melakukan efisiensi dan
efektivitas yang tinggi terhadap aktivitas organisasi.
Para pemimpin dituntut untuk memikirkan kembali secara
radikal cara mengelola sumber daya manusia dan institusinya
(Kuhnert dalam Bass, 1994). Para pemimpin harus terus menerus
berupaya mengembangkan kapasitas dan kemampuan sumber
daya manusianya sejalan dengan berbagai perubahan aturan main
(rule of the game) dalam industri dan persaingan yang terjadi
secara cepat. Implikasi dan semua hal tersebut adalah munculnya
kebutuhan akan kepemimpinan baru dalam style (berkaitan
dengan apa yang dilakukan pemimpin), dan skill (berkaitan
dengan bagaimana pemimpin dapat bekerja secara efektif) untuk
menghadapi perubahan lingkungan yang berlangsung semakin
cepat (Luthans, 1995). Apabila Style, activities dan skill yang

128
dilakukan dengan tepat, pemimpin diharapkan dapat mewujudkan
kesuksesan organisasi dalam jangka panjang.
Para peneliti selalu memberikan definisi kepemimpinan
sesuai dengan perspektifnya sendiri-sendiri dan aspek fenomena
yang paling menarik bagi dirinya (Yuki, 1989) Setelah meninjau
ulang cara komprehensif kepustakaan kepemimpinan, Stogdill
(1974) menyimpulkan, bahwa sebagian besar definisi
kepemimpinan adalah pendapat pribadi seseorang yang berusaha
untuk mendefinisikan konsep. Sebagai akibatnya, kepemimpinan
telah didefinisikan dalam batasan karakteristik pribadi, perilaku
individual, pengaruh interpersonal, faktor-faktor situasional, dan
kombinasi dan semua itu (Steers, Porter, and Bigley, 1996).
Sebagian besar dari perbedaan pendapat tersebut bermula
dari kenyataan bahwa kepemimpinan adalah fenomena kompleks
yang melibatkan pemimpin, bawahan, dan situasi (Hughes,
Ginnet, and Curphy, 1999). Meskipun demikian, terdapat satu
definisi kepemimpinan yang diyakini mampu menampung dan
membantu mengatasi semua perbedaan tersebut dalam
memahami kepemimpinan yaitu proses mempengaruhi kelompok
ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan (Roach and Behling,
1984).
Baik secara eksplisit maupun implisit, sebagian besar
peneliti kepemimpinan mengasumsikan bahwa kepemimpinan
adalah penentu penting keefektifan organisasi (Yukl, 1989).
Beberapa diantaranya adalah Neihoff (1990), yang mengatakan

129
bahwa kepemimpinan merupakan kunci untuk meningkatkan
produktivitas dan inovasi organisasi; Meyer (1998), yang
mengatakan bahwa kepemimpinan mengubah masalah menjadi
kesempatan organisasi; Takala (1998), yang mengatakan bahwa
kepemimpinan menempati posisi sentral dalam manajemen; Sosik
(1997), yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan
sumber proses, aktivitas, pengaruh, dan perubahan kelompok; dan
Peffer (1977), mengatakan bahwa kepemimpinan memiliki
hubungan sebab akibat dengan kinerja organisasi. Lalu
bagaimanakah agar proses mempengaruhi kelompok kearah
tujuan yang ditetapkan (kepemimpinan) itu dapat dibedakan
secara efektif? Menurut Ichikawa (1993), agar seorang pemimpin
dapat mengarahkan organisasi (individu atau kelompok yang ada
didalam organisasi) secara efektif, maka seorang pemimpin
tersebut harus memahami:
1. Kesesuaian sasaran atau tujuan kelompok dengan sasaran
atau tuntutan organisasi.
2. Lingkungan eksternal kelompok atau organisasi untuk
membangun lingkungan internal organisasi
3. Karaktersitik individu atau kelompok untuk menentukan
bentuk dan intensitas pengarahannya, dan yang tidak
kalah penting.
4. Bagaimana penerimaan bawahan terhadap
kepemimpinannya

130
5. Meskipun sampai saat ini belum dapat dicapai suatu grand
theory of leadership, tetapi telah terjadi kemajuan yang
berkelanjutan dalam mengembangkan pemahaman secara
baik terhadap karakteristik pribadi, perilaku individual,
pengaruh interpersonal, faktorfaktor situasional, dan
kombinasi dan semua itu dalam kepemimpinan (Yukl,
1989).

6.2 Evolusi Teori Kepemimpinan


Kerangka teoritis yang paling awal dalam studi ilmiah
kepemimpinan adalah pendekatan karakteristik pemimpin. Dan
perspektif ini, peneliti memusatkan perhatiannya pada penentuan
atribut yang membedakan pemimpin dan bawahannya atau
pemimpin efektif dan pemimpin yang tidak efektif. Kedua,
perkembangan signifikan dalam teori kepemimpinan adalah
pendekatan perilaku. Para peneliti yang tertarik dalam perilaku
pemimpin memfokuskan perhatiannya pada uji-coba untuk
menemukan gaya kepemimpinan yang efektif dalam semua
situasi (Steers, Porter, and Bigley, 1996).

6.2.1 Pendekatan Karakteristik Pemimpin


Analisis ilmiah kepemimpinan dimulai dengan
memfokuskan pada pemimpin itu sendiri. Secara lebih spesifik,
awal konsentrasi pendekatannya pada atribut phisik, mental, dan
sosial yang nampak untuk membedakan pemimpin dan

131
bawahannya. Teori karakteristik kepemimpinan didasarkan pada
asumsi bahwa seseorang yang disebut pemimpin memiliki
keunggulan karakteristik tertentu yang tidak dimiliki oleh orang
lain. Berdasarkan perspektif ini, para peneliti membuat hipotesis
bahwa pemimpin dapat dibedakan dan bawahan berdasarkan pada
keunggulan atribut pribadinya seperti kecerdasan, energi, daya
ingat, intuisi, dan daya persuasif yang lebih unggul dan tidak
dimiliki oleh orang lain.
Sejumlah besar studi karakteristik yang telah dilakukan
sepanjang dekade tahun 1930an, dan 1940an secara umum
dilakukan secara sederhana, baik secara teoritis maupun
metodologis. Contoh, proses penjelasan keterkaitan karakteristik
terhadap berbagai basil yang pada dasarnya tidak tepat.
Kemudian, penggunaan prosedur penelitian yang utama adalah
analisis korelasi. Hal ini, dapat dikatakan bahwa para peneliti
dalam memandang signifikansi keterkaitan antara karakterstik
pemimpin dan berbagai indikator kesuksesannya terlalu
sederhana (Steers, Porter, and Bigley, 1996).
Sebagian besar hasil dan penelitian ini ditinjau ulang oleh
Stogdill (1984) yang menguji lebih dan seratus studi empiris
tentang atribut pemimpin yang mencakup 27 karakteristik, dan
berpendapat bahwa usaha penelitian karakteristik adalah sesuatu
yang mengecewakan, karena, sejumlah atribut yang diuji oleh
para peneliti hanyalah tingginya kecerdasan yang nampak

132
membedakan pemimpin dan bawahannya dengan tingkat
konsistensi yang minimal.
Berdasarkan dari semua itu, maka konklusinya adalah
semua penelitian itu hanya menunjukkan bahwa pemimpin hanya
sedikit Iebih cerdas dan pandai daripada individu lainnya.
Semenjak karakteristik nilai analitis dan perspektif yang
kecil, para peneliti kepemimpinan menggeser tekanan
penelitiannya dalam akhir dekade tahun 1940an dan awal tahun
1950an dan karakteristik pemimpin ke perilaku pemimpin
sebagai dasar analisisnya. Konsekuensinya, teori karaktersitik
pemimpin mengalami keterpurukan dalam tahun tersebut,
meskipun tidak mati (Steers, Porter, and Bigley, 1996). Bahkan,
investigasi karakteristik pemimpin telah menjadi semakin
produktif karena para peneliti telah membangun teori yang lebih
tepat, menggunakan ukuran karakteristik yang lebih baik
(karakteristik yang lebih relevan), dan menggunakan dáta
longitudinal (Yuld, 1994). Akibatnya, berbagai atribut personal
sèperti tingkat enerji dan kedewasaan emosi saat ini telah
dikaitkan pada keefektifan kepemimpinan (Bass, 1990). Dan
karakteristik dihubungkan dengan sosialisasl atau pembelajaran
pola motivasional, seperti kebutuhan kekuasaan (the need for
power) dan kebutuhan berprestasi (the needfor achievement),
secara empiris telah dihubungkan dengan keefektifan manajer
(McClelland, 1975; McClefland and Boyatzis, 1982; McCleIland
and Bumham, 1976). Di samping itu, tipe keterampilan yang

133
berbeda (keterampilan interpersonal, keterampilan tehnikal, dan
keterampilan kognitif) tampak menjadi relevan untuk kesuksesan
manajerial, serta karakteristik tampak menjadi suatu hal yang
penting dalam kerangka kepemimpinan karismatik dan
transformasional (Bass, 1990).

6.2.2 Pendekatan Perilaku Pemimpin


Sampai dengan akhir tahun dekade 1 940an, tampak
kegagalan pendekatan karakteristik untuk mempelajari
kepemimpinan, dan sejak saat itu para peneliti mengadopsi fokus
baru dalam kegiatannya sepanjang dekade tahun 1950an. Para
peneliti mulai konsentrasi pada perilaku pemimpin sebagai
variabel penjelasan (explanatory variable). Pendekatan ini
membandingkan antara perilaku pemimpin yang efektif dan yang
tidak efektif.
Dua proyek penelitian utama melakukan investigasi
perilaku pemimpin dalam waktu yang bersamaan. Satu penelitian
dilakukan oleh Ohio State University di bawah pengarahan
Stogdill, Fleishman, Hemphill, dan koleganya.
Sedangkan yang satunya lagi dilakukan oleh University of
Michigan di bawah pengarahan Likert dan koleganya. Kedua
proyek tersebut menghasilkan konklusi yang sama yaitu perilaku
kepemimpinan dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori. Satu
kategori berisi perilaku yang berkaitan dengan hubungan

134
interpersonal, dan kategori yang lain berisi perilaku yang
berkaitan dengan penyelesaian tugas.

1. Studi Kepemimpinan Ohio State University


Program Ohio State University dilaksanakan dalam akhir
dekade tahun 1940an. Diawali dengan peneliti membangun
kuesioner yang dapat digunakan oleh bawahan untuk
menggambarkan perilaku atasan langsungnya. Untuk membangun
instrument ini, para peneliti mengkompilasi kurang lebih 1800
contoh perilaku kepemimpinan. Kemudian dari jumlah tersebut
dikurangi menjadi 150 item yang tampak sebagai contoh yang
baik dan paling penting. Item ini digunakan dalam kuesioner
yang diatur secara berbeda untuk sampel personil militer dan
sipil.
Bawahan berdasarkan kuesioner tersebut memberikan
tanggapan terhadap perilaku atasan Iangsungnya dalam batasan
dua kategori dasar yaitu konsiderasi (consideration) dan struktur
inisiatif (initiating structure).
Konsiderasi (consideration) didefinisikan sebagai tingkat
sejauh mana seorang pemimpin menunjukkan perhatiannya,
bertindak dalam gaya yang ramah, dan memberikan dukungan
kepada bawahannya. Pemimpin dengan gaya ini melakukan
hubungan dengan bawahannya berdasarkan saling percaya, dan
mereka menghormati ide serta perasaan karyawannya.

135
Struktur inisiatif (initiating structure) didefinisikan sebagai
tingkat sejauh mana seorang pemimpin mengorganisasikan dan
menyusun pekerjaannya sendiri serta pekerjaan bawahannya.
Pemimpin dengan gaya ini cenderung mengarahkan kepada
kelompok melalui perencanaan aktivitas, penemuan tugas,
penjadwalan dan penetapan batas akhir penyelesaian pekerjaan/
tugas.
Studi ini menghasilkan arah pengembangan dan beberapa
kuesioner, dua diantara kuesioner yang paling penting adalah
kuesioner deskripsi perilaku pemimpin (Leader Behavior
Description Questionnaire /LBDQ) dan kuesioner deskripsi
perilaku supervisor (Supervisory Behavior Description
Questionnaire /SBDQ).

Gambar 1
Perilaku Kepemimpinan Hasil Penelitian Universitas Ohio
Sumber : James S.F. Stoner dan R. Edward Freeman Withelmus
W. Bakowatun dan Benyamin Molan dalam Hadari (2003)

136
2. Studi Kepemimpinan University of Michigan
Studi Michigan meneliti hubungan antara perilaku pemimpin
dan kinerja kelompok. Para manajer dikiasifikasikan dalam dua
kriteria yaitu relatif efektif dan tidak efektif berdasarkan pada
berbagai ukuran sasaran kinerja kelompok. Memperbandingkan
manajer yang efektif dengan yang tidak efektif, studi Michigan
menemukan bahwa para manajer ini dapat dibedakan satu sama
lain ke dalam dua dimensi perilaku pemimpin (Likert, 1961,
1967).
Dimensi itu sama dengan yang ditemukan dalam studi Ohio
State yang diberi nama perilaku ori hubungan
(relationshiporiented) dan orientasi tugas (task-oriented). Perilaku
relationship-oriented menunjukkan perilaku seperti bertindak
akrab terhadap bawahañnya, menunjukkan penghargaan atas
kontribusi bawahannya, mengakui apa yang dicapai bawahannya,
dan menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan
kebutuhan bawahannya. Perilaku relationship-oriented ini adalah
sama dengan dimensi consideration dalam studi Ohio State
University. Sedangkan perilaku task-oriented menunjukkan pada
perilaku seperti perencanaan dan penjadwalan kerja,
mengkoordinasikan aktivitas bawahan, menyediakan supplies
serta perlengkapan, dan bantuan teknis yang diperlukan. Kategori
ini, sama dengan dimensi yang disebut initiating structure oleh
para peneliti Ohio State.

137
3. Evaluasi Terhadap Pendekatan Perilaku Pemimpin
Banyak usaha memasukkan pekerjaan dalam kategori
orientasi tugas (atau stmktur inisiatif dan orientasi hubungan
(atau konsiderasi) perilaku pemiinpin telah dihasilkan oleh pam
peneliti menggunakan pendekatan Ohio State. Secara empiris
dukungan untuk dampak dan dimensi perilaku kepemimpinan
konsiderasi (consideration) dan struktur inisiatif (initiating
structure) tidak terlalu kuat. Bawahan cenderung lebih puas bila
pemimpin berperilaku konsiderasi (consideration) (Fleishmen and
Harris, 1962).
Program riset memberikan terlalu sedikit perhatian terhadap
dampak situasi pada perilaku kepemimpinan dan/ atau
keefektifan pemimpin. Meskipun interaksi antara pemimpin dan
bawahannya dipertimbangkan secara hati hati, perbedaan situasi
yang mungkin mempengaruhi keefektifan pemimpin tidak cukup
diuji. Perbedaan situasi, atau contingencies. baru ditekankan
dalam penelitian pada awal tahun 1960.

6.3 Teori Kepemimpinan Situasional


Setelah pendekatan karakteristik dan perilaku gagal sebagai
teori untuk memahami kompleksitas kepemimpinan, perhatian
beralih pada aspek situasional kepemimpinan. Para peneliti
memandang situasi sebagai variabel yang dapat dimasukkan
dalam karaktenstik dan perilaku pemimpin untuk menjadikannya
efektif didalam kelompok kerjanya atau di dalam konteks

138
organisasional. Beberapa pendekatan contingency pada
kepemimpinan dapat diidentifikasikan. Tiga diantaranya adalah
sebagai berikut : (1) Fiedler’s contingency model, (2) House’s
path-goal theory, dan (3) Vroom, Yetton, and Jago’s normative
decision model of leadership.

139
6.3.1 Teori Kepemimpinan Jalan-Tujuan House’s
House’s (1971; House and Dessler, 1974) mengatakan
bahwa teori kepemimpinan path goal dibangun secara kuat pada
model motivasi kerja harapan/valensi (ecpectancy/ valency model
of work motivation) dan menekankan pada cara pemimpin dapat
memfasilitasi kinerja pelaksanaan tugas dengan menunjukkan
kepada bawahan bagaimana kinerja dapat digunakan sebagai
instrumen dalam mencapai penghargaan (reward) yang
diingirikan. Secara lebih spesifik, teori House berpendapat bahwa
kepuasan dan kinerja bawahan tergantung pada harapan dan
valensinya yang ditentukan oleh perilaku atau gaya
pemimpinnya. Selanjutnya, harapan dan valensi bawahan juga
dipengaruhi oleh dua variabel situasi (contingency) dasar yaitu:
karaktersitik bawahan dan karaktersitik lingkungan yang dihadapi
oleh bawahan. Kedua variabel situasi ini memoderatkan
hubungan antara perilaku pemimpin dan kepuasan serta kinerja
bawahan. Hubungan diantara variabel tersebut tampak dalam
Gambar 2- 1.
Perilaku pemimpin atau, gaya kepemimpinan. Versi onsinil
teori path-goal dari House (1971) hanya berisi dua fungsi
pemimpin: (1) pemimpin membantu bawahan memahami tipe
perilaku yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan
menghasilkan reward, (2) meningkatkan ketersediaan reward
untuk bawahan melalui dukungan dan perhatiannya pada
kesejahteraan bawahannya. Didalam teori versi yang baru (House

140
and Dessler, 1974), model path-goal mengidentifikasikan secara
jelas empat tipe perilaku pemimpin: (1) Supportive leadership.
Pemimpin dengan gaya ini menunjukkan perhatiannya pada
kesejahteraan dan kebutuhan pnbadi bawahannya. Pemimpin ini
berusaha untuk mengembangkan kepuasan hubungan
interpersonal diantara anggota kelompok dan menciptakan iklim
keakraban didalam kelompok keija. Perilaku kategori ini adalah
sama dengan dimensi consideration dalam program penelitian
ohio state; (2) Directive leadership. Pemimpin dengan gaya ini
menyediakan pedoman spesifik untuk bawahannya melalui
penentuan standar kinerja, enjadwalan dan koordinasi
pelaksanaan pekerjaan, dan mengatakan kepada bawahannya
untuk mengikuti prinsip-prinsip dan peraturan, yang telah
ditetapkan. Pemimpin dengan gaya ini membiarkan bawahan
mengetahui tentang apa yang diharapkan darinya. Perilaku
kategori ini sama dengan dimensi initiating structure dalam
program penelitian Ohio State; (3) achievement-oriented
leadership. Gaya kepemimpinan ini melibatkan penetapan tujuan
yang menantang, mencari perbaikan kinerja, menekankan pada
kinerja yang baik (excellence), dan menunjukkan kepercaaannya
bahwa bawahan akan dapat mencapai kinerja pada tingkat yang
tinggi; (4) participative leadership. Pemimpin dengan gaya ini
mencari pendapat dan saran dan bawahannya serta mengambil
informasi ini sebagai salah satu pertimbangannya saat mengambil
keputusan.

141
Harapan dan valensi bawahan. Sebagaimana diindikasikan di
atas, komponen sentral dan House path-goal theory adalah
expectaney theory of work motivation. Mengacu pada expectancy
models, karyawan membuat keputusan secara sadar dan rasional
tentang perilaku kerja mereka. Mereka akan memilih tugas yang
menarik bagi dirinya dan yakin dapat melaksanakan.
Daya tank suatu tugas tergantung pada sejauh mana
karyawan berfikir tentang pencapaian tujuan dan tugas tersebut
akan mengarahkannya pada hasil yang bernilai bagi dirinya.
Pengaruh perilaku pemimpin adalah pada modifikasi persepsi
bawahan dalam menghargai nilai hasil yang dapat dicapai dan
pada probabilitas untuk mencapainya. Karakteristik bawahan.
Karaktenstik bawahan adalah satu set variabel situasi yang
mempengaruhi hubungan antara perilaku pemimpin dan variabel
hasil berupa kepuasan (satisfacfion) dan upaya (effort) bawahan.
Dengan kata lain, karakteristik pribadi karyawan itu sendiri
menentukan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap perilaku
pemimpin. Contoh, karyawan yang memiliki internal locus of
control (misalnya, percaya bahwa keseluruhan reward yang akan
diterima ditentukan oleh usahanya sendiri) mungkin akan Iebih
puas dengan gaya kepemimpinan partisipatif, sedangkan
karyawan yang memiliki external locus of control (misalnya,
percaya bahwa reward yang akan diterima adalah di luar
kontrolnya) mungkin akan lebih puas dengan gaya kepemimpinan
directive. Contoh lainnya, karyawan dengan kebutuhan untuk

142
dapat diterima dan afiliasi yang kuat akan mendapatkan kepuasan
atas kebutuhannya tersebut dari gaya kepemimpinan supportive,
sedangkan karyawan dengan kebutuhan otonomi yang kuat akan
lebih termotivasi oleh gaya kepemimpinan participative daripada
supportive. Pada individu yang merasa bahwa ia memiliki
kemampuan yang sangat sesuai dengan tugasnya, maka ia tidak
akan menanggapi secara baik terhadap perilaku gaya
kepemimpinan directive; dan ia akan lebih menyukai gaya
kepemimpinan achievement-oriented.
Faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor lingkungan adalah
variabel situasi lainnya yang mempengruhi hubungan antara gaya
pemimpin dan hasil. Di dalam teori mi, terdapat tiga kategori
faktor: tugas, sistem wewenang formal organisasi, dan kelompok
kerja. Variabel-variabel dalam kategori ini dapat berfungsi
memotivasi atau mendesak bawahan. Contoh, pekerjaan yang
secara intrinsik memuaskan mungkin dapat memotivasi bawahan.
Tetapi disisi yang lain, karakteristik teknologi dan tugas, seperti
bagian perakitan, mungkin mendesak variabilitas perilaku, atau
kelompok kerja mungkin memotivasi bawahan dengan
memberikan penghargaan kepada individu yang paling besar
membantu kelompok tersebut mencapai sasaran pelaksanaan
tugas.
Mengacu pada teori path-goal, variabel-variabel yang
digambarkan diatas berinteraksi untuk menentukan kepuasan dan
usaha karyawan. Contoh, jika tugasnya tidak terstruktur, jika

143
bawahan tidak berpengalaman, dan jika hanya terdapat sedikit
peraturan dan prosedur formal untuk pedoman pelaksanaan kerja,
maka penggunaan gaya kepemimpinan directive dalam situasi
yang demikian itu mungkin yang paling efektif untuk memotivasi
karyawan, dan menghasilkan kepuasan serta usaha bawahan yang
tinggi. Sebaliknya, jika tugas itu merupakan tugas rutin dan
membosankan, jika bawahan telah berpengalaman, dan jika
terdapat banyak aturan dan prosedur formal yang ada untuk
mengarahkan pelaksanaan kerja, maka penggunaan gaya
kepemimpinan supportive mungkin yang paling efektif.

6.3.2 Evaluasi Teori Path-Goal


Penelitian empiris yang didesain untuk menguji teori
pathgoal menunjukkan kencenderungan untuk fokus pada
dimensi kepemimpinan supportive dan directive (Szilagyi and
Wallace, 1990). Penelitian secara umum mendukung bahwa
posisi perilaku kepemimpinan directive lebih efektif pada tugas-
tugas yang ambigu dan tidak terstruktur (House and Dessler,
1974; House and Nlitchell, 1974; Filley, House, and Kerr, 1976).
Lebih jauh lagi, fakta-fakta yang ada tampak juga mendukung
hipotesis bahwa perilaku supportive lebih memberikan manfaat
untuk tugas-tugas yang tidak terstruktur (1-louse and Dessler,
1974; House and Mitchell, 1974; Filley, House, and Kerr, 1976).
Sejumlah kecil studi telah dilakukan untuk menguji hipotesis

144
tentang kepemimpinan participative dan achievement-oriented,
dan beberapa hasilnya mendukung hipotesis (lndvik, 1986).
Meskipun hasil dan penelitian empiris pengujian teori
pathgoal telah menunjukkan sebagai sesuatu yang menjanjikan,
tetapi banyak dari penemuannya menimbulkan pertanyaan karena
teori itu sendiri mengandung beberapa kekurangan. Contoh, teori
tersebut tidak menunjukkan bagaimana pengaruhnya jika variabel
situasi yang berbeda saling berinteraksi (Osborn, 1974).
Tambahan pula, teori tersebut mempertimbangkan pengaruh
empat perilaku kepemimpinan secara sendiri-sendiri, meskipun
terdapat kemungkinan terjadinya interaksi di antaranya (Yukl,
1994). Model path-goal dibatasi oleh kekuarangan secara teoritis
dan expectancy model of work inotivation yang mendasarinya
(Scbriesheim and Kerr, 1977). Teori expectancy telah
mendapatkan kecaman dan selain model penelitian rasional
(rational choice model), untuk mempresentasikan keterlibatan
faktor-faktor yang tidak realistik dalam proses pengambilan
keputusan oleh manusia. Beberapa studi yang berusaha menguji
teori tersebut berpendapat bahwa teori tersebut mengandung
berbagai masalah metodologi.
Walaupun dikritik, bagaimanapun teori path-goal dan
House telah memberikan kontribusi yang signifikan pada topik
kepemimpinan karena pendapatnya tentang pentingnya variabel
perilaku kepemimpinan dan situasi yang hams dipertimbangkan
didalam setiap organisasi. Lebih lanjut, sebagaimana teori

145
Fiedler, model House ini menekankan bahwa hubungan antara
pemimpin dan bawahannya tidak terjadi di ruang hampa. Para
peneliti dan manajer jelas perlu untuk mempertimbangkan faktor-
faktor situasional sebelum mereka dapat memprediksi pengaruh
spesifik perilaku pemimpin pada kepuasan dan kinerja
bawahannya.

6.4 Model Kepemimpinan Pengambilan Keputusan


Normatif
Vroom, Yetton, and Jago (dalam Heru, 2002: 39)
mengembangkan model kepemimpinan yang menekankan pada
peran yang dimainkan pemimpin dalam mengambil keputusan.
Pada dasarnya, model ini memfokuskan pada sejauh mana
karyawan diijinkan untuk berpartisipasi dalam mengambilan
keputusan. Mengacu pada model ini, prosedur pengambilan
keputusan yang digunakan oleh pemimpin mempengaruhi
keefektifan keputusan melewati semua variabel intervening. Tiga
diantaranya adalah decision quality, decision acceptance, dan
decision timeliness.

1. Decision quality.
Kualitas keputusan akan tinggi bila dipilih alternatif yang
terbaik, apapun dampaknya yang mungkin berkaitan dengan
diterimanya keputusan tersebut oleh bawahan. Dimensi kualitas
merupakan pertimbangan utama saat suatu keputusan adalah

146
penting untuk memfasilitasi kinerja kelompok dan saat adanya
variasi yang signifikan di antara alternatif, contoh; keputusan
tentang di mana akan ditempatkan pendingin air di pabrik
tidaklah memerlukan kualitas keputusan yang tinggi, sedangkan
keputusan yang bertujuan pada kinerja memerlukan kualitas
keputusan yang tinggi.

2. Decision acceptance.
Decision acceptance adalah penting bila keputusan memiliki
implikasi bagi motivasi keda bawahan dan bila keputusan akan
diimplementasikan oleh bawahan. Beberapa keputusan tidak
perlu persetujuan kelompok untuk dapat sukses dalam
mengiimplementasikan (misalnya, keputusan mengenai apa
warna karpet yang akan digunakan pada lantai kantor), sedangkan
yang lain harus dapat diterima/disetujui oleh anggota kelompok
untuk sukses dalam pelaksanaannya (misalnya, penelitian strategi
untuk meningkatkan penjualan).

3. Decision fimeliness.
Decision fimeliness adalah penting untuk dipertimbangkan
kapan saja ada keterbatasan waktu dalam pengambilan keputusan.
Contoh, beberapa keputusan dapat dibuat pada pertimbangan
kelompok kerja (misalnya, apakah yang perlu diubah berkaitan
dengan laporan sekretaris ), sedangkan yang lain dapat menuntut
segera adanya tindakan (misalnya, apakah untuk

147
memperkenalkan produk baru dilakukan dalam kuartal
berikutnya).
Gaya pemimpin mengambil keputusan. Model Vroom,
Yetton, and Jago berpendapat bahwa pemimpin dengan banyak
bawahan memiliki lima gaya utama pengambilan keputusan atau
prosedur yang tersedia untuk dirinya. Lebih jauh, pendekatan ini
berpendapat bahwa lima gaya itu dapat ditempatkan pada
kontinum disatu sisi prosedur yang sangat otokratik (disebut
“AI”) dan disisi lainnya prosedur yang sangat partisipatif (disebut
“All”). Mengacu pada Vroorn and Yatton (1973), lima gaya
pengambilan keputusan itu adalah sebagai berikut: (1) manajer
mengambil keputusan atau mengatasi masalah sendiri dan hanya
menggunakan informasi yang tersedia untuknya pada saat itu
(Al), (2) manajer meminta informasi dan bawahannya tetapi
mengambil keputusan sendiri, bawahan hanya berfungsi sebagai
sumber informasi (All); (3) manajer berbagai masalah dengan
bawahan yang relevant secara individual, menerima ide dan
pendapatnya, tanpa mendudukannya menjadi satu kelompok,
kemudian manajer mengambil keputusan sendiri.
Keputusannya mungkin mencerminkan atau tidak
mencerminkan pengaruh dan bawahannya (CI); (4) manajer dan
bawaban bertentu sebagai kelompok untuk mendiskusikan
masalah, tetapi manajer yang mengambil keputusan.
Keputusannya mungkin menceminkan atau tidak mencerminkan
pengaruh dan bawahannya (CII); (5) manajer dan bawahan

148
bertemu sebagai kelompok untuk mendiskusikan masalah, dan
kelompok yang mengambil keputusan. Manajer dan bawahannya
mencari dan mengevaluasi altematif secara bersama. Kemudian
mereka berusaha untuk mencapai kesepakatan (konsensus)
tentang solusinya. Manajer menerima, dan melaksanakan setiap
solusi yang didukung oleh seluruh kelompoknya.

6.4.1 Menggunakan Model Normatif


Model kepemimpinan keputusan normatif dan Vroom,
Yetton, and Jago menyediakan alat untuk membantu pemimpin
untuk memilih gaya pengambilan keputusan yang efektif yang
disebut dicision three. Proses pengambilan keputusan
memerlukan jawaban dan serangkaian pertanyaan tentang
karakteristik dan suatu permasalahan. Setelah seorang pemimpin
bekerja dengan menggunakan. decision three, kemudian memilih
gaya yang paling tepat untuk situasi yang ada

149
QR(QualityRequiriment sejauh mana arti pentingnya
kualitas tehnis keputusan
CR (Commitment Sejauh mana arti pentingnya
Requiriment) komitmen bawahan pada
keputusan
LI (Leader’s Information) Apakah anda memiliki cukup
informasi untuk mengambil
keputusan yang berkualitas
tinggi?
ST (Problemi Structure) Apakah masalahnya terstruktur
dengan baik?
CP (Commitmentt Jika anda mengambil
Probability) keputusan
sendiri, apakah pasti layak bagi
anda yang akan menjalankan
keputusan tersebut?
GC (Goal Congurence) Apakah bawahan memberikan
andil pada tujuan
organisasional
yang akan dicapai dalam
mengatasi masalah?
CO (Subordinate Conflict): Is conflict among subordinate
over prefered solution likely
SI (Subordinate Apakah bawahan memiliki
Information): cukup informasi untuk
mengambil keputusan
berkultas
tinggi?

150
6.4.2 Evaluasi Model Vroom, Yetton, Jago
Sejak pertama kali model kepemimpinan pengambilan
keputusan normative diperkenalkan oleh Vroom and Yetton
dalam tahun 1973, sejumlah studi telah dilakukan untuk
mengujinya. Secara umum, hasil dan penelitian empiris adalah
mendukung (Field, Read and Louviere, 1990; Fieald, Wedly and
Hayward, 1989). Meskipun demikian, revisi versi model tetap
dilakukan (Vroom and Jago, 1988)
Model tersebut memiliki beberapa keterbatasan yang harus
dicatat. Contoh, model menganggap proses pengambilan
keputusan sebagai hasil dan sesuatu yang tunggal, discrete
episode. Meskipun banyak keputusan penting biasanya
memerlukan pertemuan yang lebih dan satu kali dengan berbagai
ke!ompok yang sama pada waktu yang berbeda dan dengan
perubahan lingkungan yang mengelilinginya (Yuld, 1994).
Bahkan, model menggunakan asumsi yang salah bahwa
semua pemimpin cukup terampil untuk menggunakan setiap
prosedur pengambilan keputusan (Crouch and Yetton, 1987;
Field, 1979).

6.5 Teori-Teori Kepemimpinan Baru


Menurut Steers (1996), kerangka karakteristik pemimpin,
perilaku pemimpin, dan contigency, atau teori-teori
kepemimpinan tersebut telah mendapatkan kritikan yang serius.
Hal ini, termasuk sebagian besar teori-teori kepemimpinan

151
lainnya yang secara konsep dan metodologinya sangat kurang,
dan semuanya secara empiris sangat kurang mendapatkan
dukungan yang konsisten. Bahkan, setelah Iebih dari setengah
abad para peneliti ilmiah tetap tidak menemukan kesepakatan
berkenaan dengan konsep umum dan keseluruhan proses
kepemimpinan. Meskipun demikian, karena pentingnya
kepemimpinan bagi organisasi untuk menanggulangi peningkatan
pergolakan lingkungan yang terjadi, para peneliti tetap berusaha
keras untuk menciptakan pendekatan yang mantap. Munculnya
pendekatan baru pada kepemimpinan merepresentasikan
pergeseran paradigma dan pendekatan transaksional ke
pendekatan pertukaran pemimpinanggota (leader member
exchange/LMX), karismatik, dan transformasional (Metcalfe and
Metcalfe,2000).

6.5.1 Teori Pertukaran Pemimpin-anggota


Leader-member exchange (LMX) sebelumnya disebut
sebagai “vertical dyad linkage theory” (Dansereau, Graen, and
Hage, 1975). Menurut Dansereau, Graen, and Hage (1975),
model ini fokus pada proses saling mempengaruhi dalam
hubungan antara pemimpin dan bawahan. Menurut teori ini,
pemimpin tidak memperlakukan semua bawahannya secara sama.
Pada waktu tertentu, pemimpin menciptakan hubungan
interpersonal yang dekat dengan beberapa bawahannya (disebut
“in-group” tetapi pada waktu yang sama membiarkan dirinya jauh

152
dan bawahannya yang lain (disebut “out-group”). Para anggota
in-group melakukan hubungan dengan atasannya didasari oleh
rasa percaya, setia, dan senasib. Individu-individu ini berfungsi
sebagai asisten atau penasehat pimpinannya. Para anggota out-
group tidak memiliki hubungan seperti itu terhadap
pemimpinnya. Konsekuensinya, mereka cenderung keluar dan
pengambilan keputusan atau aktivitas-aktivitas penting.
Meskipun hal itu tidak selalu jelas mengapa terjadi hubungan
yang berbeda, tetapi mereka tampak jelas keberadaannya dalam
hubungan pemimpin dan bawahannya.

6.5.2 Evaluasi Teori LMX


Yukl (1994) mengatakan bahwa teori LMX perlu
pengembangan lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan
keefektifan kepemimpinan karena teori ini tetap saja lebih
merupakan deskriptif daripada perspektif. Teori ini
menggambarkan spesifikasi tipe peran yang diambil dalam proses
hubungan antara pemimpin dan bawahannya, tetapi teori ini tidak
memberikan pendapat tentang seperti apa pola pertukaran yang
optimal antara pemimpin dan bawahannya bagi keefektifan
kepemimpinannya. Selanjutnya, teori ini tidak melihat adanya
potensi pemimpin yang dapat menciptakan hubungan pertukaran
khusus dengan semua anggota kelompok bawahannya dan semua
hubungan tersebut masing-masing berbeda. Contoh, pemimpin
mungkin mendelegasikan kepada beberapa bawahannya

153
sementara tetap memelihara hubungan, perhatian, dan
kepercayaan yang sama dengan bawahannya yang lain.

6.5.3 Teori Kepemimpinan Karismatik


Karisma dalam pengertian bahasa Yunani adalah divinely
inspired gift, seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban
(Steers, Porter, and Bigly, 1996). Weber (1947), menggunakan
pengertian tersebut untuk menggambarkan kekuatan atau
pengaruh yang mendasari persepsi bawahan bahwa seorang
pemimpin diberkahi dengan kualitas kepribadian yang istimewa.
Dua diantara teori-teori kepemimpinan karismatik adalah teori
kepemimpinan karismatik House (1977), dan teori kepemimpinan
karismatik Conger and Kanungo (1987).

1. Teori Kepemimpinan Karismatik House


Teori kepemimpinan karismatik House (1977)
mengembangkan proposisi pengujian yang berkenaan dengan
pengidentifikasian karakteristik pemimpin karismatik, perilaku
yang dijalankan oleh pemimpin karismatik, dan kondisi yang
muncul di bawah kepemimpman karismatik. Berkenaan dengan
karakteristiknya, House berpendapat bahwa pemimpin karismatik
memiliki need for power yang kuat, percaya diri yang tinggi, dan
strong conviction in their own beliefs. Dan berkenaan dengan
perilakunya, House berpendapat bahwa memimpin karismatik
menggunakan manajemen pengaruh (impression) untuk

154
meningkatkan dukungan bawahannya terhadap keputusan yang
dibuatnya, untuk mengartikulasikan visinya, untuk membuat
model perilaku yang diinginkan dan membuat bawahannya
kagum serta mengidentikkan dengannya, untuk
mengkomunikasikan harapannya yang tinggi mendorong
bawahannya menetapkan tujuan kinerja yang tinggi dan
menjadikannya lebih bertanggung-jawab kepada pimpinannya,
dan untuk bertindak dalam cara yang dapat menimbulkan motif
yang relevan dengan misi kelompok.
Serta yang berkenaan dengan kondisi, pemimpin karismatik
mampu untuk merumuskan peran tugas sebagai suatu ideologi
bagi bawahannya. House (1977) berpendapat bahwa identifikasi
karakteristik pemimpin, perilaku pemimpin dan karakteristik
situasi yang ada dalam kepemimpinan karismatik adalah penting
karena, tipe pemimpin ini memiliki pengaruh yang luar biasa
pada bawahannya. Bawahan dan pemimpin karismatik umumnya
menerima pemimpin dan pandangan-pandangannya tanpa
mempertanyakan. Mereka menyayangi dan mematuhinya, dan
mereka merasa terlibat dalam misi kelompok atau organisasi
secara emosional. Mereka yakin bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk memberikan kontribusi pada tujuan organisasi,
dan mereka menetapkan tujuan kinerja yang tinggi untuk dirinya
sendiri.

155
2. Teori Kepemimpinan Karismatik Conger dan
Kanungo
Conger dan Knungo (1987) berpendapat bahwa
kepemimpinan karismatik esensinya adalah atribusi dan bawahan.
Oleh karena itu, teoritisi ini menekankan perhatiannya pada
pengidentifikasian variabel-variabel yang dihasilkan dalam
atribusi. Mengacu pada teori ini, pemimpin yang memiliki visi ke
depan yang radikal (tetapi tetap di dalam bidang yang dapat
diterima oleh bawahan) Iebih diterima, sebagai karismatik.
Dan pemimpin yang bertindak tidak konvensional atau tidak
ortodoks dalam mencapai visinya Iebih dipandang sebagai
karismatik oleh bawahannya. Bawahan lebih suka memberikan
atribut karisma kepada pemimpin yang mau mengorbankan
dirinya dan mengambil risiko pribadi daripada pemimpin yang
tidak mau melakukannya. Karisma lebih suka diberikan sebagai
atribut pada pemimpin yang menggunakan persuasi pribadi untuk
mendapatkan komitmen dan bawahan dalam pelaksanaan
pekerjaan baru daripada pemimpin yang menggunakan partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan atau wewenang formal.
Pemimpin yang mengajukan proposalnya dengan penuh
keyakinan lebih dipandang sebagai karismatik daripada
pemimpin yang tampak tidak yakin. Teori ini berpendapat bahwa
perilaku pemimpin mempengaruhi atribusi bawahan melalui
pengaruh proses pengidentifikasian pribadi (berdasarkan pada
keinginan bawahan yang menyenangi dan mengagumi pemimpin)

156
dan internalisasi (memasukan nilai-nilai ke dalam jiwa atau hati
bawahan), khususnya jika bawahan tidak puas dengan status quo.

6.5.4 Evaluasi kepemimpinan karismatik


Pendekatan ini sepertinya merupakan teori yang tidak
mudah diuji dengan metoda riset konvensional. Meskipun
demikian, teori ini tampak memberikan kontribusi pada
pemahaman kita tentang kepemimpinan dalam lingkungan kerja,
teori ini secara keseluruhan berusaha menggambarkan tingkat
pengaruh/ kinerja, teori ini melibatkan atribut emosional individu
(Steers, Porter, and Bigley, 1996).

6.6 Kepemimpinan Transaksional


Dan Transformasional

Pada dasarnya kepemimpinan transaksional merupakan


dasar dari sebuah kepemimpinan. Demikian pula kepemimpinan
transformasional yang pada beberapa dekade terakhir muncul
sebagai fenomena dan dirasakan memiliki dampak positif
terhadap beberapa aspek yang dapat meningkatkan efektivitas
organisasi. Berbagai temuan dan bukti empiris mendukung bahwa
praktek tranformasional mampu membawa perubahan yang
mendasar (Avolio, el a!., 1988 path Muchiri, 2001). Hal ini
dikarenakan prakrek transformasional dirasakan mampu
meningkatkan komunikasi antar pimpinan dan bawahan, sehingga

157
dengan demikian kebutuhan bawahan akan Iebih banyak dapat
terpenuhi melalui praktek kepemimpinan transfonnasional.
Kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan
transformasional merupakan dua konsep kepemimpinan yang
muncul sebagai altematif kepemimpinan untuk mengadakan
perubahan setelah ketiga teori kepemimpinan (teori sifat, perilaku
dan kontingensi) dianggap tidak lagi sesuai dengan kondisi yang
terjadi pada saat ini. Gagasan awal munculnya kedua konsep
kepemimpinan ini dikembangkan oleh Burn yang menerapkannya
dalam konteks politik dan selanjutnya disempurnakan dan
diperkenalkan dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass
(Elsenbech, el aL, 1999) Sesuai dengan topik utama dalam
penelitian ini, maka pembahasan lebih lanjut mengenal
kepemimpinan transaksional dan transformasional serta
pengaruhnya terhadap kepuasan dan kinerja bawahan.

6.6.1 Kepemimpinan Transaksional


Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara
pemimpin dan bawahan yang berlandaskan pada adanya
pertukaran atau adanya tawar menawar antara pemimpin dan
bawahan, serta ditetapkan dengan jelas peran dan tugasnya.
Sampai dengan akhir tahun 1970, banyak penelitian
kepemimpinan yang fokus pada rasional, berorientasi pertukaran
atau hubungan transaksional antara pemimpin dan bawahannya
(Kudish, Poteet, Dobbins, Rush, and Russel, 1995).

158
Kepemimpinan transformasional pertama kali dibedakan oleh
Downton (1973) dalam membahas perbedaan antara pemimpin
revolusi, dan pemimpin pemberontak, pemimpin reformasi, dan
pemimpin sebagaimana Iazimnya. Kemudian Zaleznik (1977)
melakukan pembahasan terhadap perbedaan antara pemimpin
transaksional dan pemimpin transformasional melakukan survei
kebutuhan bawahannya dan menetapkan untuk bawahannya
tersebut berdasarkan apa yang dapat iam harapkan dan
bawahannya tersebut secara rasional. Konsepsi tersebut kemudian
digunakan oleh Burns (1978) (dalam Jung, and Avolio, 1999),
pada saat ia melakukan pembahasan tentang pemimpin politik,
pemimpin politik transaksional memotivasi pengikutnya dengan
mempertukarkan penghargaan (reward) untuk jasa yang
diberikan. Burns menggambarkan pemimpin transaksional
sebagai seseorang yang mengetahui apa yang diinginkan dan
bawahannya tersebut dalam melaksanakan pekerjaan, dan
berusaha untuk mengetahui apa yang dihasilkan oleh bawahannya
dalam melaksanakan pekerjaan; jika kinerja bawahannya sesuai
dengan yang diinginkannya, akan ditukarnya dengan
penghargaan yang sesuai seperti yang dijanjikan; memberikan
tanggapan terhadap kebutuhan dan keinginan bawahan hanya
pada saat setelah bawahannya selesai melaksanakan tugasnya.
Kemudian Bass (1985) memperluas definisi pemimpin
transaksional pada sektor-sektor, militer, industri, publik, dan
pendidikan. Cardona (2000) mendefinisikan kepemimpinan

159
transaksional sebagai hubungan pertukaran yang saling
menguntungkan antara pemimpin dan bawahannya, pemimpin
menunjukkan kesetaraan penghargaan ekstrinsik (extrinsic
reward) positif atau negatif kepada pihak yang bekerjasama
dengannya.
Menurut Avolio, Waldman, and Einstein (1988); Masi and
Robert (2000), kepemimpinan transaksional digambarkan sebagai
mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara
pemimpin dan bawahannya (contingent reward), intervensi yang
dilakukan oleh pemimpin dalam proses organisasional
dimaksudkan untuk mengendalikan dan memperbaiki kesalahan
yang melibatkan interaksi antara pemimpin dan bawahannya
bersifat proaktif (active management by exception), contoh,
memberikan penghargaan yang tepat saat bawahannya mampu
mencapai standar yang ditetapkan atau di atasnya, dan intervensi
yang dilakukan oleh pemimpin dalam proses organisasional
dimaksudkan sebagai reaksi dan tidak tercapainya standar yang
telah ditetapkan atau mengikuti cara yang sebelumnya sudah ada,
sepanjang cara tersebut bekerja baik dan pemimpin baru akan
melakukan tindakan perbaikan bila terjadi penyimpangan (pasive
management by exception).
Kepemimpinan transaksional aktif menekankan pemberian
penghargaan kepada bawahan untuk mencapai kinerja yang
diharapkan. Oleh karena itu, secara proaktif seorang pemimpin
memerlukan informasi untuk menentukan apa yang saat ini

160
dibutuhkan bawahannya, dan pemimpin harus membantu
mengarahkan bawahannya pada peran dan tugas yang diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkannya melalui penetapan
tujuan yang jelas, penjelasan keterkaitan antara kinerja
penghargaan, serta memberikan balikan yang konstruktif untuk
mempertahankan bawahan pada tugasnya (Jung and Avolio,
1999). Atau seorang pemimpin harus melakukan identifikasi
kebutuhan bawahannya dan kemudian menukarkannya sebagai
penghargaan atas tingkat kinerja yang sesuai (Bycio, Allen, and
Hacket, 1995).
Berdasarkan dan uraian tersebut diatas, maka dapat
dikatakan bahwa prinsip utama dari kepemimpinan transaksional
adalah mengkaitkan kebutuhan individu pada apa yang
diinginkan pemimpin untuk dicapai dengan apa penghargaan
yang diinginkan oleh bawahannya memungkinkan adanya
peningkatan motivasi bawahan (Steers, Porter, and Biglev, 1996).
Oleh karena itu, maka kepemimpinan transaksional aktif sama
dengan path-goal theory (Evans, 1974), dan mencakup semua
pendekatan situasional (contingency) yang antara lain
dikemukakan oleh Fiedler (1967), Vroom and Yetton (1973), dan
Yukl (1989) (Metcalfe and Metcalife, 2000). Serta memiliki
empat karakteristik utama yaitu: 1) contingent reward; 2) active
management by exception; 3) pasive management by exception;
dan 4) laissez-faire (Bass, 1990). Di samping itu, kepemimpinan
transaksional menekankan pada legitimasi wewenang dan

161
birokrasi didalam organisasi, menekankan pada penyelesaian
pekerjaan (penugasan), dan task-oriented goal, serta cenderung
fokus pada penyelesaian penggunaan penghargaan dan hukuman
(punishment) untuk mempengaruhi kinerja bawahan (Tracey and
Hinkin, 1998).
Menurut Bass (1990), meskipun dalam hubungan
transaksional, pemimpin menjanjikan dan membedakan
penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta
mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang berkinerja
buruk. Tetapi apakah penghargaan yang dijanjikan atau
terhindarnya dan hukuman itu memotivasi bawahan untuk
meningkatkan kinerjanya, tergantung pada apakah pemimpin
mampu mengontrol penghargaan dan hukuman tersebut ?
Disamping itu, tidak sedikit pendukung yang ada dalam literatur
kepemimpinan mencemaskan keefektifan kepemimpinan
transaksional aktif (komaki, 1986, Luthan, Paul and Baker, 1981;
Podsakoff, Todor, and Skov, 1982), karena saat
diimplementaslkan, kepemimpinan transaksional aktif justru
membentuk dasar lower-order change yang efektif(Avolio and
Bass, 1987).
Dengan kepemimpinan transaksional, maka pemimpin
mendorong bawahannya mencapai tingkat kinerja yang disepakati
bersama dan keduanya bersama-sama menepati kesepakatan
tersebut.

162
6.6.2 Kepemimpinan Transformasional
Teori ini mengacu pada kemampuan seseorang pemimpin
untuk memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang
di individukan, dan yang memiliki karisma. Dengan kata lain
pemimpin transfomasional adalah pemimpin yang mampu
memperhatikan keprihatinan dan kebutuhan pengembangan diri
pengikut, menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami
pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra untuk mencapai
tujuan kelompok (Bowel and Frort dalam Podsakoffel al., 1996)
Dalam kepemimpinan transformasional pertukaran yang
terjadi antara bawahan dan pimpinan tidak sekedar pertukaran
seperti yang terjadi pada kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transformasional juga melibatkan pengembangan
hubungan yang Iebih dekat antara pemimpin dengan bawahan.
Dengan kepemimpinan transformasional, pemimpin
membantu bawahan untuk melihat kepentingan yang lebih
penting daripada kepentingan mereka sendiri demi misi dan visi
organisasi atau kelompok. Dengan mengembangkan kepercayaan
diri, keefektifan diri dan harga diri bawahan, diharapkan
pemimpin mempunyai pengaruh yang kuat pada tingkat
identifikasi, motivasi dan pencapaian tujuan pengikut.
Saat ini, sebagian besar hubungan antara pemimpin dan
bawahannya telah berubah sama sekali, bergeser fokusnya pada
pendekatan transformasional, pendekatan yang dimaksudkan

163
untuk mempengaruhi bawahan tidak hanya melalui penggunaan
alasan logis tetapi juga melalui penggunaan emosi (Bass, 1985).
Pendekatan transformasional pada kepemimpinan berusaha
memperbaiki teori-teori yang telah ada dengan menekankan pada
rasionalitas dan emosi sebagai dasar motivasi dan perilaku
bawahan (Koh, Steers and Terborg, 1995). Kepemimpinan
transformasional berbeda dan kepemimpinan transaksional,
kepemimpinan transformasional tidak hanya mengetahui
kebutuhan bawahan tetapi juga berusaha mengungkit kebutuhan
tersebut dan tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Burns (1978), dan Bass (1985) menggambarkan pemimpin
transformàsional sebagai seseorang yang meningkatkan
kesadaran bawahan tentang arti pentingnya pencapaian hasil yang
bernilai dan strategi untuk mencapainya, mendorong, bawahan
untuk lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada
kepentingan pnibadi, mengembangkan kebutuhan bawahan ke
tingkat yang lebih tinggi dibidang achievement, autonomy, dan
affiliation baik yang berkaitan dengan pekerjaan maupun yang
tidak berkaitan dengan pekerjaannya. Pemimpin transformasional
mendorong bawahan pada pengembangan dan kinerja melebihi
yang diharapkan (Avolio and Bass, 1988).
Kepemimpinan transformasional berbeda dan
kepemimpinan transaksional aktif (active managemet by
exception) dalam dua hal (Avolio, Waidman and Einstein, 1988).
Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga

164
memerlukan pemahaman terhadap kebutuhan dan tujuan bawahan
saat ini, ia berbeda dengan pemimpin transaksional aktif pada
tingkat usahanya mengungkit kebutuhan bawahan, mempertinggi
tingkat motivasi yang dilakukan melalui memperbesar harapan
bawahan terhadap kebutuhan dan kinerjanya sendiri. Kedua,
kepemimpinan transformasional aktif pada tingkat usaha
pemimpin memperbaiki dan mengembangkan kemampuan
bawahan untuk mengatasi permasalahannya sendiri dan orang
lain di dalam organisasi. Di samping itu, kepemimpinan
transformasional berbeda dengan kepemimpinan karismatik,
pemimpin transformasional mentransformasikan bawahan dengan
membuatnya lebih menyadari betapa penting dan bernilainya
keberhasilan pelaksanaan tugas melalui penggiatan higher order
need mereka dan mendorongnya untuk melebihkan perhatian
pribadi demi organisasi, sehingga bawahan merasa hormat dan
percaya kepada pemimpinnya dan termotivasi untuk bekerja lebih
dan yang sebenarnya mereka harapkan. Sedangkan,
kepemimpinan karismatik mentransformasikan bawahan hanya
dengan menimbulkan emosi dan kedekatan yang kuat kepada
pemimpinnya, sehingga karisma memang dibutuhkan tetapi tidak
cukup sebagai syarat dalam kepemimpinan transformasional
(Bass, 1985).
Bass and Avolio (1994) mengatakan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki empat dimensi karaktersitik (the Four
l’s) yang berbeda dengan karakteristik kepemimpinan

165
transaksional, yakni: idealized, inspiration, intellectual
stimulaion, dan individualized consideration. Masing masing
dapat dijelaskan sebagal berikut :
1. Charisma: Kharisma menggambarkan perilaku pemimpin
yang menimbulkan perasaan kagum, rasa hormat, dan
kepercayaan bawahan yang mencakup pembagian risiko
dan pihak pemimpin, mempertimbangkan kebutuhan
bawahan melebihi kebutuhan pribadi, serta tingkah-laku
yang didasarkan pada etika dan moral.
2. Inspiration: Inspirasi, mencerminkan perilaku pemimpin
dalam memberikan pengertian dan tantangan, tentang
tugas bawahan yang mencakup perilaku
mengartikulasikan harapan secara jelas dan menunjukkan
komitmen semuanya untuk tujuan organisasional, serta
semangat kelompok ditimbulkan memalui antusiasme dan
optimisme.
3. Intellectual Stimulation: Stimulasi Intelektual, adalah
perilaku pemimpin dalam mencari ide pemecahan
masalah yang kreatif dari bawahannya, serta mendorong
munculnya hal baru dan pendekatan baru dalam
melaksanakan pekerjaan.
4. Individualized Consideration: Konsiderasi Individualisme,
mencerminkan perilaku pemimpin dalam mendengarkan
dengan penuh perhatian pribadi apa yang disampaikan

166
bawahannya dan memberikan perhatian khusus pada
pencapaian dan pengembangan kebutuhan bawahannya.

Kontroversi mengenai adanya dimensi perilaku


kepemimpinan transaksional dan transformasional pada diri
seorang pemimpin telah berlangsung beberapa waktu yang lalu.
Burns (dalam Sosik, 1997) memandang kepemimpinan
transformasional dan kepemimpinan transaksional sebagai ujung
dan satu continuum (rangkaian kesatuan) yang berseberangan.
Sejumlah penulis menyatakan bahwa banyak pemimpin
melakukan kedua perilaku tersebut tetapi dalam tingkat
komposisi yang berbeda dimana pada posisi senior manajemen
kepemimpinan transformasional lebih terpola dibandingkan
dengan posisi dibawahnya dalam hirarkhi organisasional. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Bass (dalam Al Fajar, 202: 47) juga
menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional merupakan
bagian dari kepemimpinan transformasional. Beberapa ahli
berpendapat bahwa konsep kepemimpinan transaksional akan
mengarah pada upaya mempertahankan atau melanjutkan status
quo. Pada perkembangan selanjutnya, hubungan yang terjalin
antara pemimpin dengan bawahan telah mengalami perubahan.
Bass (1985) mengemukakan bahwa hubungan antara
pemimpin dengan bawahan telah bergeser fokusnya pada
pendekatan transformasional dimana pendekatan ini dimaksudkan
untuk mempengaruhi bawahan tidak hanya melalui penggunaan

167
logika dan alasan, namun juga melalui penggunaan emosi.
Kepemimpinan transformasional dipandang memiliki perspektif
jangka panjang, dimana pendekatan ini tidak hanya menekankan
perhatian pada situasi saat ini namun juga mempertimbangkan
dan memperhatikan situasi dimasa mendatang. Kepemimpinan
transformasional memandang faktor internal dan ekstrenal
organisasi sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisah.
Pendekatan konsep kepemimpinan ini didasarkan pergeseran
nilai, kepercayaan dan kebutuhan pimpinan terhadap
bawahannya.
Essensi dan kepemimpinan transformasional adalah
meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan bawahan dalam
aktivitas organisasi, dimana kepemimpinan transformasional
berupaya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Model kepemimpinan ini diyakini akan mengarah pada kinerja
superior dalam organisasi yang sedang menghadapi tuntutan
pembaharuan dan perubahan. Dubinsky, Yammarino and Jelson
(1995) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional
berdampak terhadap hasil kerja karyawan yang lebih
menyenangkan dibandingkan dengan pendekatan kepemimpinan
yang lainnya. Dalam pendekatan ini, pemimpin menciptakan visi
dan Iingkungan yang dapat memotivasi bawahan untuk
memberikan inspirasi dan motivasi bagi bawahan untuk mencapai
hasil yang lebih besar dan yang direncanakan.

168
The model of the full range of ledership dan the
augmentation model of transactional and tranformational
leadership. Kepemimpinan transaksional dan transformasional
sebenarnya merupakan ujung dan satu continumm yang
berseberangan (Burns, 1978). Sejumlab penulis mengatakan
bahwa semua pemimpin menunjukkan ciriciri kedua
kepemimpinan tersebut, banyak pemimpin yang melaksanakan
keduanya tetapi dalam bauran komposisi yang berbeda-beda,
pada posisi senior manajemen kepemimpinan transformasional
lebih terpola daripada posisi dibawahnya dalam hirarkhi
organisasional (Haddock, 1989). Bass (1998) mengatakan bahwa
setiap pemimpin melaksanakan setiap gaya kepemimpinan yang
ada dengan tingkat frekuensi (keseringan) penggunaan setiap
gaya dan keefektifan serta keaktifan berbeda-beda yang
dijelaskannya dalam “The Model of the Full Range of
Leadership.”

169
BAB VII
KEPUASAN KERJA

7.1 Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap seseorang
mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, pengertian
kepuasan kerja mencakup berbagai hal seperti kondisi dan
kecenderungan perilaku seseorang. Kepuasan-kepuasan itu tidak
tampak serta nyata, tetapi dapat diwujudkan dalam suatu hasil
pekerjaan. Salah satu masalah yang sangat penting dalam bidang
psikologi industri adalah mendorong karyawan untuk bekerja
dengan lebih produktif. Untuk itu, perlu diperhatikan agar
karyawan sebagai penunjang terciptanya produktivitas kerja
dalam bekerja senantiasa disertai dengan perasaan senang dan
tidak terpaksa sehingga akan tercipta kepuasan kerja para
karyawan. Kepuasan kerja akan berbeda pada masing-masing
individu. Sangat sulit untuk mengetahui ciriciri kepuasan dari
masing-masing individu.
Menurut Robbins (2003:91) istilah kepuasan kerja merujuk
kepada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaan yang
dilakukannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi
menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu; seseorang
yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang
negatif terhadap pekerjaan itu. karena pada umumnya apabila

170
orang berbicara mengenai sikap karyawan, lebih sering mereka
memaksudkan kepuasan kerja. Hasibuan (2006:202) kepuasan
kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai
pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja,
kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam
pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi antara keduanya.
Veithzal Rivai (2004:475) kepuasan merupakan evaluasi yang
menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau
tidak puas dalam bekerja. Sedangkan menurut Cherington
(1987:82) “kepuasan kerja pada dasarnya merujuk pada seberapa
besar seorang pegawai menyukai pekerjaannya”. Pekerjaan
merupakan bagian yang penting dalam kehidupan seseorang,
sehingga kepuasan kerja juga mempengaruhi kehidupan
seseorang. Oleh karena itu kepuasan kerja adalah bagian
kepuasan hidup (Wether dan Davis, 1982:42). Kepuasan kerja
juga tergantung pada hasil intrinsik, ekstrinsik, dan persepsi
pemegang kerja pada pekerjaannya, sehingga kepuasan kerja
adalah tingkat di mana seseorang merasa positif atau negatif
tentang berbagai segi dari pekerjaan, tempat kerja, dan hubungan
dengan teman kerja (Gibson Ivanicevic Donely, 1985:464465).
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat
individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada
dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan
sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi

171
kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara garis besar
kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan
atau yang tidak menyenangkan yang mana pegawai memandang
pekerjannya. Menurut Herzberg seperti yang dikutip oleh
Sumantri (2001:83), ciri perilaku pekerja yang puas adalah
mereka yang mempunyai motivasi yang tinggi untuk bekerja,
mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan
ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas
berangkat kerja ke tempat bekerja, dan malas dalam melakukan
pekerjaannya.
Menurut Davis (1996:105) : kepuasan kerja adalah
seperangkat perasaan tentang menyenangkan atau tidaknya
pekerjaan karyawan. Menurut Luthans (2006:243) : kepuasan
kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang
berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Menurut Kreitner (2005:202) : kepuasan kerja adalah respons
emosional terhadap pekerjaan seseorang.
Pengertian Kepuasan Kerja menurut Martoyo (2000:142),
yaitu : “Keadaan emosional karyawan di mana terjadi ataupun
tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari
perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang
memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa
kerja karyawan ini, baik yang berupa finansial maupun yang non
finansial”.

172
Sedangkan menurut Robbins, (2006:15), kepuasan kerja
adalah : “Suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai
perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan
banyaknya yang diyakini yang seharusnya diterima”. Serta
Menurut Handoko (2001:193) kepuasan kerja adalah :
"Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan
memandang pekerjaan mereka". Berdasarkan beberapa pengertian
kepuasan kerja di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong
dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun
kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan
melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan
pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan
kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang
berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi
kesehatan, kemampuan dan pendidikan.
Kepuasan kerja menurut Mangkunegara (2009:117), bahwa
ada empat teori kepuasan kerja, antara lain :
1. Teori keseimbangan
Teori ini dikemukakan oleh Wexley dan yukl, mengaatakan
bahwa semua nilai yang diterima pegawai yang dapat
menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya, pendidikan,
pengalaman, skill, usaha, perlatan pribadi, dan jam kerja.
2. Teori perbedaan

173
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Proter yang
berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan
dengan cara menghitung selisih anatara apa yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai.
Sedangkan Locke megemukakan bahwa kepuasan kerja
pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang
didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai.
3. Teori pemenuhan kebutuhan
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada
terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pegawai. Pegawai akan
meras puas apabila ia mendapatkan apa yang
dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi,
makin puas pula pegawai tersebut. Begiti pula sebaliknya
apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi , pegawai akan
merasa tidak puas.
4. Teori pandangan kelompok
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bukanlah
bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat
bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang
oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok cuan.
Kelompok acuan tersebut dijadikan tolak ukur untuk
menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, pegawai akan
lebih merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan
minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok
acuan.

174
Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yulk yang dikutip
oleh As’ad (2003:105), pada dasarnya teoriteori tentang kepuasan
kerja yang lazim dikenal ada tiga macam yaitu :
a. Discrepancy theory Discrepancy theory yang dipelopori
oleh Porter menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang
diukur dengan menghitung selisih apa yang seharusnya
diinginkan dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian
Locke dalam As’ad (2003:105) menerangkan bahwa
kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara
apa yang diinginkan dengan apa yang menurut persepsinya
telah diperoleh melalui pekerjaannya. Orang akan puas
apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan
persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang
diinginkan maka orang akan menjadi lebih puas lagi
walaupun terdapat “discrepancy”, tetapi merupakan
discrepancy positif. Sebaliknya, semakin jauh dari
kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum
sehingga menjadi negatif discrepancy, maka makin besar
pula ketidakpuasan terhadap pekerjaannya.
b. Equity theory Dalam equity theory, kepuasan kerja
seseorang tergantung apakah ia merasakan keadilan atau
tidak atas situasi. Perasaan keadilan atau ketidakadilan atas
suatu situasi diperoleh dengan membandingkan dirinya
dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat
lain. Menurut teori ini, elemenelemen dari equity ada tiga

175
yaitu : input, out comes, comparation person. Yang
dimaksud dengan input adalah sesuatu yang berharga yang
dirasakan pegawai/karyawan sebagai sumbangan terhadap
pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman kerja, dan
kecakapan. Out comes adalah sesuatu yang berharga yang
dirasakan pegawai/karyawan sebagai hasil dari
pekerjaannya, seperti gaji, status, symbol, dan enghargaan.
Comparation person adalah dengan membandingkan input,
out comes terhadap orang lain. Bila perbandingan itu tidak
seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan
kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Akan tetapi bila
perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan, akan
menimbulkan ketidakpuasan. Kelemahan dari teori ini
adalah kenyataan bahwa kepuasan kerja seseorang juga
ditentukan oleh individual differences (misalnya pada
waktu orang melamar kerja apabila ditanya tentang
besarnya upah/gaji yang diingnkan). Selain itu, tidak
liniernya hubungan antara besarnya kompensasi sengan
tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan
kenyataan.
c. Two factor teory Menurut two factor theory, kepuasan kerja
itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan
suatu variabel kontinyu. Herzberg dalam bukunya As’ad
(2003:105) membagi situasi yang mempengaruhi perasaan

176
seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok
yaitu kelompok satisfiers atau motivator yang terdiri dari
prestasi pengakuan, tanggungjawab. Dan yang kedua yaitu
kelompok sebagai sumber ketidakpuasan atau dissatisfiers
yang terdiri dari prosedur kerja, upah atau gaji, hubungan
antar karyawan/pegawai.
Kepuasan kerja dari masing-masing individu pekerja
berlainan, karena memang pada dasarnya kepuasan kerja bersifat
individual dimana masing-masing individu akan memiliki tingkat
kepuasan kerja yang berlainan sesuai dengan sistem nilai yang
berlaku pada masing-masing individu tersebut.
Dengan demikian kepuasan kerja pada satu individu dapat
dirasakan berbeda pada individu yang lain. Menurut Gibson et a!.
(1997), kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap
pekerjaannya. Sikap tersebut berasal dan persepsi mereka
mengenai pekerjannya dan hal itu tergantung pada tingkat
outcomes instrinsik maupun ekstrinsik dan bagaimana pekerja
memandang outcome tersebut. Kepuasan kerja akan
mencerminkan perasaan mereka terhadap pekerjanya.
Menurut Locke (1976), yang dikutip dan Noe, et a!. (1999)
dan Rifai (2001), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
perasaan senang atau emosi positif dan merupakan hasil persepsi
pengalaman kerjanya. Dikatakan pula bahwa kepuasan kerja
berhubungan dengan individu dan menyangkut suatu kondisi
yang telah lalu. Sifat kepuasan kerja yang individu, menyebabkan

177
pada suatu situasi yang sama, belum tentu masing-masing
individu memiliki kepuasan kerja yang sama. Hal itu dikarenakan
pandangan mereka yang berbeda-beda terhadap suatu situasi
tersebut. Milton dalam Soehardi Sigit (2003), menyebutkam
adanya dimensi- dimensi kepuasan kerja yang diperoleh dan studi
dan penelitian, sebagai berikut :
1. Kerja (work) : termasuk minat instrinsik, variasi,
kesempatan untuk belajar, kesulitan, banyaknya kegiatan,
kesempatan untuk sukses, dan penguasaan Iangkah dan
metode. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang
menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak
menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada
kondisi ini tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan
akan mengalami kesenangan dan kepuasan
2. Bayaran (pay) : banyaknnya bayaran, kelayakan atas adil,
dan cara pembayaran. Bila bayaran dilihat sebagai adil
yang didasarlan pada tuntutan pekerjaan, tingkah
keterampilan, kemungkinan besar akan menghasilkan
kepuasan
3. Promosi (promotion) : kesempatan untuk promosi,
kejujuran, dan dasar untuk promosi
4. Pengakuan (recogniting) : pujian atas pelaksanaan,
penghargaan atas selesainya pekerjaan, dan kritik

178
5. Kondisi kerja (work conditions) : jam kerja, istirahat,
peralatan, temperatur, ventilasi, kelembaban, lokasi, dan
layout fisik.
6. Teman-pekerja (co-worker) : kemampuan, kesukaan
menolong, dan keramahan. Oleh karena itu tidaklah
mengejutkan bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan
mendukung menghantarkan ke kepuasan kerja yang
meningkat. Perilaku atasan seseorang juga merupakan
determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi
menemukan bahwa kepuasan-kepuasan bawahan
ditingkatkan bila penyelia (supervisi) Iangsung bersikap
ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk
kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan
menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
7. Perusahaan dan manajemen (company and management)
perhatiannya terhadap karyawan, bayaran, dan kebijakan.
Berpijak dan uraian diatas, kepuasan merupakan dampak
dan semua pelaksanaan pekerjaan dan tingkah laku manusia.
Dalam konteks organisasi, karyawan terdorong untuk bekerja
adalah untuk memuaskan kebutuhan kebutuhannya. Apabila hasil
kerja yang ia hasilkan memberikan imbalan yang sesuai, maka ia
akan merasa puas atas pekerjannya. Jika imbalan yang diterima
tidak sesuai dengan beban hasil kerjanya, maka akanm muncul
ketidakpuasan dalam diri karyawan. Bila kondisi ini, terjadi
berlarut-larut, maka dalam dirinya akan terjadi frustasi, sedih dan

179
kekecewaan yang mendalam, akibatnya produktivitas kerjanya
akan menurun. Oleh karena itu, ada hubungan antara sikap dan
motif manusia dengan penggerak-penggerak dalam uraian
kegiatan dan tingkah laku manusia.
Kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap
seseoarang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan hubungan
dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan
antar teman kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan lain
sebagainya. Kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa
keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau bekerja.
Masing-masing karyawan akan memiliki ukuran kepuasan kerja
yang berbeda-beda antara karyawan satu dengan yang lainnya.
Kepuasan kerja berbeda-beda disebabkan juga oleh perbedaan
status sosial di dalam masyarakat.
Lok, Crawford (999) mengemukakan bahwa dimensi
kepuasan kerja berhubungan dengan kualitas dan motivasi
khususnya dalam needs in Maslow’s hierarchy. Artinya kepuasan
kerja akan diperoleh apabila kebutuhan kebutuhan yang
dinginkan dapat terpenuhi. Schermerhorn Jr. (993:338) : “Job
satisfaction is the degree to which an individual feels positively
or negatively about various aspect of the job. It represent the
personal meaning of the job”. Artinya kepuasan kerja merupakan
tingkat perasaan positif atau negatif dari individu.

180
7.2 Teori Kepuasan Kerja
Jewell, Siegall (1998:337-344) menyatakan bahwa terdapat
tiga teori tentang kepuasan kerja yaitu :
1. Teori keadilan (Equity Theory), Adam (1963).
Kepuasan atau ketidak puasan seseorang akan dirasakan
apabila ada ketidakkeadilan (equity) dari tempat kerja atau
dalam melaksanakan pekerjaannya dan kondisi yang didapat
dari tempat kerja atau membandingkan dirinya dengan
karyawan yang lainnya baik di organisasi maupun di luar
organisasi. Elemen-elemen dari teori keadilan antara lain :
a. Adil dalam Input artinya adanya tambahan/
perkembangan yang dirasakan oleh karyawan sehingga
dapat mendorong pekerjaan atau tugasnya misalnya
tambahan pendidikan, pengalaman, keterampilan,
alatalat kerja dan sebagainya.
b. Adil dalam Out come artinya, karyawan merasakan
hasil pekerjaannya berupa gaji, bonus, pengakuan dan
kesempatan untuk berprestasi.
c. Adil dalam Comparison artinya, karyawan dapat
perlakuan yang sama bila dibandingkan dengan
karyawan yang lainnya baik di dalam intern perusahaan
maupun ekstern perusahaan.
2. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory), Porter (1961)
Mengukur kepuasan kerja seseorang melalui perhitungan

181
selisih antara apa yang seharusnya diterima dengan
kenyataan yang ia terima.
3. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory), Herzberg (1959).
a. Hygiens Factor yaitu faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan karyawan, yaitu :
1. Kualitas Pengawasan.
2. Gaji.
3. Kebijakan-Kebijakan Perusahaan.
4. Kondisi Kerja Fisik.
5. Hubungan dengan orang lain.
6. Keamanan Kerja.
b. Motivators Factor yaitu faktor pemuas karyawan, yaitu:
1. Kesempatan Promosi.
2. Kesempatan Berkembang.
3. Pengakuan.
4. Tanggung Jawab.
5. Prestasi.

7.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan


Kerja
Menurut Robbins (2002:36), kepuasan kerja karyawan
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : pekerjaan yang
menantang secara mental, penghargaan, kondisi lingkungan kerja
dan hubungan interpersonal.
1. Pekerjaan yang menantang secara mental

182
Pada umumnya individu lebih menyukai pekerjaan yang
memberi peluang untuk menggunakan keterampilan dan
kemampuan serta memberi beragam tugas, kebebasan dan
feedback tentang seberapa baik pekerjaanya. Hal ini akan
membuat pekerjaan lebih menantang secara mental.
Pekerjaan yang kurang menantang akan menciptakan
kebosanan, akan tetapi yang terlalu menantang juga dapat
menciptakan frustasi dan perasaan gagal.
2. Penghargaan yang sesuai
Karyawan menginginkan sistem bayaran yang adil, tidak
ambigu, dan selaras dengan harapan karyawan. Saat
bayaran dianggap adil, dalam arti sesuai dengan tuntutan
pekerjaan, tingkat keterampilan individual, dan standar
bayaran masyarakat, kemungkinan akan tercipta kepuasan.
3. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan berhubungan dengan lingkungan kerjanya untuk
kenyamanan pribadi dan kemudahan melakukan pekerjaan
yang baik. Yang termasuk di dalamnya seperti tata ruang,
kebersihan ruang kerja, fasilitas dan alat bantu, temperatur,
dan tingkat kebisingan.
4. Kolega yang suportif
Individu mendapatkan sesuatu yang lebih daripada uang
atau prestasi yang nyata dari pekerjaan tetapi karyawan
juga memenuhi kebutuhan interaksi sosial. Perilaku atasan
juga merupakan faktor penentu kepuasan yang utama. Oleh

183
karena itu, perlu diterapkan rasa saling menghargai, loyal
dan toleran antara satu dengan yang lain, sikap terbuka, dan
keakraban antar karyawan.
Menurut Hasibuan (2003:203), kepuasan kerja dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain :
1. Balas jasa yang adil dan layak;
2. Penempatan yang tepat dan sesuai dengan keahlian;
3. Suasana dan lingkungan pekerjaan;
4. Berat ringannya pekerjaan;
5. Peralatan yang menunjang;
6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.
Nelson and Quick (2006) mengungkapkan bahwa
kepuasan kerja dipengaruhi 5 dimensi spesifik dari pekerjaan
yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisi
dan rekan kerja.
1. Gaji
Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini
bisa diangap sebagai hal yang pantas dibandingkan dengen
orang lain di dalam organisasi. Karyawan memandang gaji
sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang
kontribusi mereka terhadap perusahaan.
2. Promosi
Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada atau
tidaknya kesempatan memperoleh peningkatan karier

184
selama bekwerja. Kesempatan inilah yang memiliki
pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja.
3. Supervisi
Merupakan kemampuan atasan untuk memberikan bantuan
teknis dan dukungan perilaku kepada bawahan yang
mengalami permasalahan dalam pekerjaan.
4. Rekan Kerja
Merupakan tungakat di mana rekan kerja yang pandai dan
mendukung secara social merupakan faktor yang
berhubungan dengan hubungan antara pegawai dan
atsannya dan dengan pegawai lainnya baik yang sama
maupun yang berbeda jenis pekerjaan.
Indikator Pengukuran Kepuasan Kerja menurut Yuwono
(2005:69) mendefinisikan kepuasan sebagai cluster perasaan
evaliatif tentang pekerjaan dan ia dapat mengidentifikasikan
indikator kepuasan kerja dari sembilan aspek yaitu :
1. Upah yaitu jumlah dan rasa keadilannya
2. Promosi yaitu peluang dan rasa keadilan untuk
mendapatkan promosi
3. Supervisi yaitu keadilan dan kompetensi penugasan
menajerial oleh penyelia
4. Benefit yaitu asuransi, liburan dan bentuk fasilitas yang lain
5. Contingent rewards yaitu rasa hormat, diakui dan diberikan
apresiasi
6. Operating procedures yaitu kebijakan, prosedur dan aturan

185
7. Coworkers yaitu rekan kerja yang menyenangkan dan
kompeten
8. Nature of work yaitu tugas itu sendiri dapat dinikmati atau
tidak
9. Communication yaitu berbagai informasi di dalam
organisasi (vebal maupun nonverbal)
Sebagian besar orang berpendapat bahwa gaji atau
upah merupakan faktor utama untuk dapat menimbulkan
kepuasan kerja. Sampai taraf tertentu, hal ini memang bisa
diterima, terutama dalam negara yang sedang berkembang, di
mana uang merupakan kebutuhan yang sangat vital untuk bisa
memenuhi kebutuhan pokok seharihari. Akan tetapi kalau
masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara
wajar, maka gaji atau upah ini tidak menjadi faktor utama. Sesuai
dengan tingkatan motivasi manusia yang dikemukakan oleh
Maslow, maka upah atau gaji merupakan kebutuhan dasar.
Harold E. Burt dalam bukunya As’ad (2003:112 )
mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kepuasan kerja antara lain :
1. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan
antara pimpinan dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi
kerja, hubungan sosial diantara karyawan, sugesti dari
teman kerja, emosi dan situasi kerja.

186
2. Faktor individual, antara lain sikap kerja seseorang
terhadap pekerjaannya, umur orang sewaktu bekerja, serta
jenis kelamin karyawan.
3. Faktorfaktor dari luar (ekstern) antara lain keadaan keluarga
karyawan, rekreasi, pendidikan (training, up grading dan
lain-lain).
Tingkat upah dan gaji yang diterima, diartikan sebagai
imbalan keuangan yang diterima karyawan seperti upah, premi,
bonus, atau tunjangantunjangan keuangan lainnya. Dalam
menetapkan tingkat upah atau gaji, perusahaan dapat membuat
keputusan dengan mempertimbangkan halhal sebagai berikut: a)
tingkat upah umum dalam masyarakat, b) kebutuhan pokok
tenaga kerja (karyawan) dan tingkat biaya hidup fisik minimum,
c) kualitas karyawan, d) persaingan antar organisasi, dan e)
kemampuan perusahaan untuk membayar upah dan gaji yang
cukup untuk dapat menarik dan mempertahankan karyawan yang
dibutuhkan. Dalam konteks produktivitas, semakin tinggi gaji
yang diterima bukanlah suatu jaminan karyawan tersebut untuk
berprestasi lebih baik. Prinsip teori keadilan perlu diperhatikan
dalam penilaian komponen ini. Seseorang bekerja dalam
organisasi mungkin mempunyai Perbedaan keterampilan,
pengamalan, pendidikan dan senioritas. Mereka mengharapkan
imbalan keuangan yang diterima mencerminkan perbedaan
tanggung jawab, pengalaman, kecakapan ataupun senioritas,
sehingga apabila kebutuhan akan gaji atau upah dapat terpenuhi,

187
maka karyawan akan memperoleh kepuasan dari apa yang
mereka harapkan.
Pekerjaan itu sendiri, komponen pekerjaan sangat berperan
daam menentukan kepuasan kerja. Ada dua aspek penting yang
mempengaruhi kepuasan kerja yang berasal dari pekerjaan itu
sendiri, yaitu : variasi pekerjaan, dan kontrol atas metode dan
langkahlangkah kerja. Secara umum, pekerjaan dengan jumlah
variasi yang moderat akan menghasilkan kepuasan kerja yang
relatif besar. Pekerjaan yang sangat kecil variasinya akan
menyebabkan pekerja merasa jenuh dan keletihan, dan
seba1iknya pekerjaan yang terlalu banyak variasinya dan terlalu
cepat menyebabkan karyawan merasa tertekan secara psikologis.
Pekerjaan yang menyediakan kepada para karyawan sejumlah
otonomi akan memberikan kepuasan kerja yang tinggi. Sebalikya,
kontrol manajemen atas metode dan langkahlangkah kerja yang
berlebihan akan mengarah pada ketidakpuasan kerja tingkat
tinggi.
Rekan kerja, bagi kebanyakan karyawan, kerja juga butuh
interaksi sosial, oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila
mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung kerja kita
maka kepuasan kerja dapat kita capai (Soedjono:2005). Untuk itu
hal ini sangat berhubungan dengan kondisi kerja kita. Pengertian
kondisi kerja disini adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan
kerja karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas. Dalam pengertian sederhana karyawan

188
menginginkan kondisi di sekitar pekerjaannya baik, karena
kondisi tersebut mengarah kepada kenikmatan atau kesenangan
secara fisik. Dalam Robbins, (2006:46) menyebutkan bahwa
ketidakpuasan kerja terjadi apabila kondisi kerja tidak harmonis
sehingga timbul Perilaku menyimpang ditempat kerja. Ada empat
kategori penyimpangan perilaku di tempat kerja (1) Produksi,
contohnya karyawan pulang cepat, karyawan bekerja dengan
lamban; (2) Properti, contohnya adanya sabotase dari rekan kerja,
menyebutkan waktu kerja yang tidak benar; (3) Politik,
contohnya Adanya pilih kasih antar para karyawan, Menyalahkan
teman kerja dan sering menyebar gossip dan rumor; (4)
Keberingasan individu, contohnya Adanya pelecehan seksual dan
mencuri dari teman kerja. Robbins (2006:49) menyebutkan
bahwa kelompok kerja adalah kelompok yang berinteraksi
terutama untuk berbagi informasi dan mengambil keputusan agar
bisa membantu tiap anggota berkinerja dalam bidang sesuai
tanggung jawab masing-masing. Kelompok kerja tidak perlu atau
tidak punya kesempatan untuk terlibat dalam kerja kolektif yang
menuntut upaya gabungan.
Promosi karir, adalah perencanaan karir seseorang pada
pekerjaan yang lebih baik dalam bentuk tanggung jawab yang
lebih besar, prestise atau status yang lebih, skill yang lebih besar,
dan khususnya meningkatnya upah atau gaji. Dalam era
manajemen modern, promosi telah dianggap sebagai imbalan
yang cukup efektif untuk meningkatkan moral pekerja dan

189
mempertinggi loyalitas terhadap organisasi. Selain itu, promosi
berfungsi sebagai perangsang bagi mereka yang memiliki ambisi
dan prestasi kerja tinggi. Dengan demikian, usaha-usaha
menciptakan kepuasan atau komponen promosi dapat mendorong
mereka untuk berprestasi lebih baik di masamasa yang akan
datang.
Kepenyeliaan (Supervisi) mempunyai peran yang sangat
penting dalam manajemen. Supervisi berhubungan dengan
karyawan secara langsung dan mempengaruhi karyawan dalam
melakukan pekerjaannya. Umumnya karyawan lebih suka
mempunyai supervisi yang adil terbuka dan mau bekerja sama
dengan bawahan (Soedjono, 2005). Untuk itu perusahaan harus
dapat melakukan pengawasan terhadap karyawan agar tejadi
hubungan yang harmonis antara bawahan dan atasan. Tugas
pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan,
yaitu usaha mempengaruhi kegiatan pengikut melalui proses
komunikasi untuk tujuan tertentu. Supervisor secara langsung
mempengaruhi kepuasan kerja dan prestasi melalui
kecermatannya dalam mendisiplinkan dan menerapkan
peraturanperaturan. Beberapa pedoman pengawasan yang perlu
diperhatikan (Siagian, 2003), adalah sebagai berikut :
1. Pengawasan hendaknya lebih menekankan pada usaha-
usaha yang bersifat prefentif.

190
2. Pengawasan tidak ditujukan untuk mencari siapa yang
salah, tetapi kepada halhal yang perlu disempurnakan
dalam system kerja organisasi
3. Jika terjadi penyimpangan, tindakan korektif yang
dilakukan seyogyanya bersifat edukatif.
4. Obyektivitas dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian hanya dapat dipertahankan apabila standard,
prosedur kerja, dan kreatifitas prestasi jelas diketahui oleh
yang diawasi atau yang mengawasi.
5. Pengawasan yang bersifat edukatif dan obyektif tidak
berarti bahwa tindakan indisipliner tidak usah ditindak.
Nursalam (2008:118), kepuasan adalah perasaaan senang
seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan
aktivitas dan suatu produk ataupun harapannya. Dan Handi
Irawan (2003:118), menyatakan kepuasan adalah rasional dan
emosional. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa,
kepuasan adalah emosional seseorang dalam menunjukkan rasa
senang atau tidak senang atas sesuatu yang dilakukan dan juga
sesuatu yang terjadi pada dirinya.
Menurut Lloyd Byars dan Leslie W. Rue (2006:246),
kepuasan kerja adalah gambaran umum sikap karyawan terhadap
pekerjaannya. Ada 5 unsur utama dalam kepuasan kerja, yaitu:
1. Sikap terhadap kelompok kerja
2. Kondisi kerja sehari-hari
3. Sikap terhadap perusahaan

191
4. Keuntungan moneter
5. Sikap terhadap manajemen
Menurut pendapat Robbins (2003:101), kepuasan kerja
sebagai suatu sikap umum seseorang individu terhadap
pekerjaannya. Berdasarkan pendapat Siagian (2003:295),
kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik
yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif tentang
pekerjaannya. Menurut Mathis dan Jackson (2006:121), kepuasan
kerja dalam arti yang paling mendasar adalah keadaan emosional
yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja
seseorang.
Berdasarkan pendapat Kreitner dan Kinichi (2005:271),
kepuasan kerja adalah suatu efektifitas atau respon emosional
terhadap berbagai aspek pekerjaan. Menurut Colquitt, LePine,
dan Wesson (2009:105), kepuasan kerja adalah suatu pernyataan
emosi yang menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan
terhadap pekerjaan seseorang dan apa yang anda pikirkan tentang
pekerjaan anda.
Menurut Handoko (1992) dalam Soedjono (2005),
kepuasan kerja atau job satisfaction adalah keadaan emosional
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para
karyawan memandang pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap
positif pekerja terhadap pekerjaan yang dihadapi dan
lingkungannya. Sebaliknya, karyawan yang tidak puas akan

192
bersikap negatif terhadap pekerjaan dan bentuk yang berbedabeda
satu dengan yang lainnya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan
seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi
karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang
tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan
tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-
perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut. Unsur lainnya
adalah pola pikir karyawan terhadap pekerjaan dan kehidupan
sehari-hari, sikap karyawan terhadap pekerjaan, kesehatan, umur,
tingkat aspirasi, status sosial, dan kegiatan sosial politik dapat
mempengaruhi kepuasan kerja.
Fred Luthans (2006:243), membagi kepuasan kerja menjadi
lima dimensi dasar, yaitu:
1. Pembayaran seperti gaji dan upah (kompensasi)
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan pegawai yang
dianggap layak atau tidak. Tetapi kunci yang
menghubungkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah
mutlak yang dibayarkan, yang lebih penting adalah persepsi
keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan
kebijakan dan praktik promosi lebih banyak, dan status
social yang ditingkatkan. Oleh karena itu, individuindividu
yang mempersepsikan keputusan promosi dibuat dalam

193
cara yang adil (fair) kemungkinan besar akan mengalami
kepuasan dari pekerjaan mereka.
2. Pekerjaan itu sendiri
Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya
suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa
keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan
tersebut akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan
kerja.
3. Promosi jabatan
Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya
kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama
bekerja. Promosi menunjuk pada suatu kesempatan untuk
memperoleh jenjang jabatan tertentu yang lebih tinggi
dalam organisasi. Kesempatan tersebut bisa timbul karena
berbagai faktor diantaranya pengetahuan dan kemampuan
yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaan. Pencapaian
prestasi tertentu juga memungkinkan diberikannya
kesempatan untuk mendapatkan jenjang jabatan yang lebih
menantang.
4. Kepemimpinan (supervisi)
Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan
bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai
seorang figur ayah, ibu, teman dan sekaligus atasannya.

194
Perilaku seorang atasan merupakan faktor determinan
utama dari kepuasan kerja.
5. Hubungan dengan rekan sekerja
Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan
antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain,
baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan
akan sosial. Oleh karena itu, bila mempunyai rekan sekerja
yang ramah dan menyenangkan dapat menciptakan
kepuasan kerja yang meningkat. Dukungan, motivasi,
perhatian, dan tingkat pemahaman ditunjukkan sebagai
suatu proses positif dari sebuah interaksi antar sesama
pegawai dalam organisasi. Kepuasan kerja seseorang dapat
dipengaruhi oleh kelima faktor diatas, apabila seseorang
karyawan memiliki kepuasan kerja terhadap organisasi di
mana ia bekerja, maka dapat mempengaruhi dan
mendukung karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan yang dibebankan kepada mereka.

195
BAB VIII
KARAKTERISTIK KINERJA

8.1 Definisi Kinerja


Menurut Seymour dalam Swasto (1996), kinerja merupakan
tindakan-tindakan atau pelaksanaan yang dapat diukur.
Sedangkan Stoner (1986), mendefiniskan kinerja sebagai
kuantitas dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh individu,
kelompok atau organisasi.
Definisi diatas menunjukkan hasil-hasil perilaku yang
dinilai dengan kriteria atau standart mutu. Ketika membicarakan
kinerja, biasanya berfikir tentang dimensi baik-buruk. Artinya,
apabila seseorang memberikan hasil pekerjaan yang sesuai
dengan standart atau kriteria yang telah dibakukan oleh
organisasi, maka kinerja yang dimiliki orang tersebut tergolong
baik, jika tidak, berarti berkinerja buruk.
Penjelasan mengenai pengertian kinerja karyawan berkaitan
dengan sumber daya manusia yang cukup urgen bagi perusahaan
atau organisasi dalam mengelola, mengatur, memanfaatkan
pegawai sehingga dapat berfungsi secara produktif untuk
tercapainya tujuan. Sumber daya manusia merupakan salah satu
faktor produksi potensial secara nyata.
Faktor produksi manusia bukan hanya bekerja secara fisik
saja akan tetapi juga bekerja secara pikir. Optimalisasi sumber

196
daya manusia menjadi titik sentral perhatian organisasi dalam
meningkatkan kinerja pegawai. Sehingga dapat dikatakan sumber
daya manusia adalah sumber yang sangat penting atau faktor
kunci untuk mendapatkan kinerja yang baik. Berikut akan
diuraikan pengertian kinerja secara umum dan pengertian kinerja
karyawan menurut para ahli.
Kinerja adalah keberhasilan seseorang secara keseluruhan
selama periode/waktu tertentu dalam melaksanakan tugas
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil
kerja, target atau sasaran maupun kriteria yang ditentukan
terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal
katanya, kata kinerja berasal dari kata performance, yang menurut
The Scribner Bantam English Dictionary (dalam Rivai dan Basri,
2005:14) berasal dari akar kata to perform yang mempunyai
beberapa masukan (entries), yakni:
(1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry
out execute);
(2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau
nazar (to dischange of fulfill; as vow);
(3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to
execute or complete an understanding);
(4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau
mesin (to do what is expected of a person machine). Dari
masukan tersebut dapat diartikan, kinerja adalah
melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakan

197
pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya
sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang
diharapkan.
Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri,
tetapi berhubungan dengan kemampuan dan motivasi kerja. Oleh
karena itu menurut Keith Davis (dalam Mangkunegara, 2005:13),
ada dua faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu yakni
kemampuan (ability), dan motivasi kerja (motivation) individu
tersebut. Kemampuan individual tergantung dari tingkat
pengetahuan (knowledge) yang dimiliki, latar belakang
pendidikan, dan keterampilan (skill) yang dikuasai. Sedangkan
motivasi kerja individual tergantung sikap (attitude) sebagai
motivasi dasar dan lingkungan yang mempengaruhi motivasi
tersebut. Oleh karena itu, pembinaan dan peningkatan kinerja
individu dapat dilakukan dengan pembinaan dan peningkatan
kemampuan dan motivasi kerja yang dimiliki. Peningkatan
kemampuan kerja dilakukan dengan upaya peningkatan aspek-
aspek yang mendasari unsur tersebut yakni pengetahuan dan
keterampilan kerja individu serta peningkatan motivasi kerja
dilakukan dengan cara membina sikap mental individu serta
situasi/lingkungan yang mendorong timbulnya kepuasan dan
kemauan kerja individu.
Menurut Hasibuan (2002:160), kinerja adalah merupakan
suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugasnya atas kecakapan, usaha dan kesempatan.

198
Berdasarkan paparan diatas kinerja adalah suatu hasil yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta
waktu menurut standar dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Pengertian kinerja karyawan adalah hasil dari proses
pekerjaan tertentu secara berencana pada waktu dan tempat dari
karyawan serta organisasi bersangkutan menurut Mangkuprawira
dan Hubeis (2007:153). Menurut Stolovitch and Keeps Kinerja
adalah seperangkat hasil yang dicapai danmerujuk pada tindakan
pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta.
Kinerja menurut Faustino Cardosa Gomes (2003:195)
kinerja karyawan sebagai ungkapan seperti output, efisiensi serta
efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas. Kinerja
menurut Simamora (1997:339) bahwa untuk mencapai agar
organisasi berfungsi secara efektif dan sesuai dengan sasaran
organisasi, maka organisasi harus memiliki kinerja karyawan
yang baik yaitu dengan melaksanakan tugas-tugasnya dengan
cara yang handal. Menurut Casio 1992 dalam Kinerja adalah
pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan.
Mangkunegara (2006:67), mengemukakan pengertian
kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Kinerja menurut Robert L. Mathis dan John

199
H. Jackson (2006:378) adalah apa yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh karyawan.
Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job
performance) sumber daya manusia, untuk itu setiap perusahaan
akan berusaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Budaya
organisasi yang tumbuh dan terpelihara dengan baik akan mampu
memacu organisasi ke arah perkembangan yang lebih baik. Disisi
lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan
memberdayakan pegawainya akan berpengaruh pada kinerja.
Istilah kinerja dari kata job performance atau actual performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh
seseorang). Prestasi kerja pada umumnya dipengaruhi oleh
kecakapan, keterampilan, pengalaman dan kesungguhan kerja
dari tenaga kerja yang bersangkutan.
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja
(performance). Sebagaimana dikemukan oleh Mangkunegara
(2007) bahwa isitilah kinerja dari kata kata job performance atau
actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya
yang dicapai oleh seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan padanya. Lebih lanjut Mangkunegara (2007)
menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi
dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Nawawi (2008)

200
menyatakan bahwa, “Kinerja adalah hasil pelaksanaan suatu
pekerjaan, baik bersifat fisik/ material maupun non fisik/ non
material. Menurut Simanjutak (2005), ”Kinerja adalah tingkatan
pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Simanjuntak
juga mengartikan kinerja individu sebagai tingkat pencapaian
atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau
tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu”.
Foster dan Seeker (2001) menyatakan bahwa, “Kinerja
adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku
untuk pekerjaan yang bersangkutan”. Kinerja individu adalah
hasil kerja pegawai baik dari segi kualitas maupun kuantitas
berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan
kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dan
kinerja kelompok.
Dari beberapa pengertian kinerja menurut para ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa definisi kinerja karyawan adalah hasil
kerja yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu organisasi agar
tercapai tujuan yang diiginkan suatu organisasi dan
meminimalisir kerugian.
Ukuran secara kualitatif dan kuantitatif yang menunjukkan
tingkatan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan adalah merupakan sesuatu yang dapat dihitung serta
digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat bahwa
kinerja setiap hari dalam perusahaan dan perseorangan terus

201
mengalami peningkatan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
Indikator Kinerja Karyawan berdasarkan pendapat Mathis
dan Jackson (2006:378) yang terdiri dari 5 indikator kinerja
karyawan yakni:
1. Kuantitas
Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan
dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas
yang diselesaikan. Kuantitas yang diukur dari persepsi
pegawai terhadap jumlah aktivitas yang ditugaskan
beserta hasilnya.
2. Kualitas
Kualitas adalah ketaatan dalam prosedur, disiplin,
dedikasi. Tingkat dimana hasil aktivitas yang dikehendaki
mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa
cara ideal dari penampilan aktivitas, maupun memenuhi
tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas.
Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap
kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan
tugas terhadap ketrampilan dan kemampuan pegawai.
3. Keandalan
Keandalan adalah kemampuan untuk melakukan
pekerjaan yang disyaratkan dengan supervisi minimum.
Menurut Zeithaml & Berry (dalam Sudarmanto, 2009:14 )

202
kehandalan yakni mencakup konsistensi kinerja dan
kehandalan dalam pelayanan; akurat, benar dan tepat.
4. Kehadiran
Kehadiran adalah keyakinan akan masuk kerja setiap hari
dan sesuai dengan jam kerja.
5. Kemampuan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama adalah kemampuan seorang
tenaga kerja untuk bekerja bersama dengan orang lain
dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang
telah ditetapkan sehingga mencapai daya guna dan hasil
guna yang sebesar-besarnya.
Adapun indikator kinerja karyawan menurut Guritno dan
Waridin (2005) adalah sebagai berikut :
1. Mampu meningkatkan target pekerjaan.
2. Mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
3. Mampu menciptakan inovasi dalam menyelesaikan
pekerjaan.
4. Mampu menciptakan kreativitas dalam menyelesaikan
pekerjaan.
5. Mampu meminimalkan kesalahan pekerjaan.
Berdasarkan keseluruhan definisi diatas dapat dilihat bahwa
kinerja pegawai merupakan output dari penggabungan faktor-
faktor yang penting yakni kemampuan dan minat, penerimaan
seorang pekerja atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta
tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi faktor-

203
faktornya, maka semakin tinggi kinerja karyawan yang
bersangkutan.
Beragamnya definisi kinerja menunjukkan konsep kinerja
belum mendapatkan kata sepakat diantara para peneliti. Secara
umum, menurut Mitchell (1988), kinerja bisa ditunjukkan dalam
berbagai cara:
1. Kinerja bisa menunjukkan perilaku yang sama yang
berlangsung sepanjang waktu (misalnya, rata-rata
pukulan)
2. Kinerja bisa menunjukkan perilaku yang berbeda yang
ditunjukkan dengan tingkat konseptualisasi yang tinggi
(misalnya, kehadiran)
3. Kinerja bisa menunjukkan perolehan-perolehan
(outcomes) yang tidak erat kaitannya dengan
tindakantindakan tertentu (misalnya, penjualan)
4. Kinerja bisa didefinisikan dalam istilah yang umum yang
menunjukkan sifat-sifat global daripada perilaku spesifik
(misalnya ketegasan, keramah-tamahan)
5. Kinerja bisa didefinisikan sebagai hasil-hasil perilaku
kelompok daripada perilaku individu (seperti,
kemenangan permainan)

8.2 Pengertian Kinerja/Prestasi Kerja


As’ad (1998:47) memberikan batasan bahwa prestasi kerja
sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan

204
atau “successful role achievement” dimana seseorang
memperolehnya dari perbuatannya sendiri. Artinya prestasi kerja
merupakan hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang
berlaku terhadap pekerjaan yang bersangkutan.
Soeprihanto (2000:7) memberikan pendapat tentang
prestasi kerja merupakan hasil kerja seseorang selama periode
tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya
standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih
dahulu dan telah disepakati bersama. Maka dapat disimpulkan
bahwa prestasi kerja merupakan taraf kesuksesan yang dicapai
oleh tenaga kerja baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif
sesuai dengan kriteria dan ukuran yang ditetapkan untuk
pekerjaan itu sendiri.

8.3 Penilaian Kinerja


Handoko (1987:135) menyatakan bahwa penilaian kerja
(performance appraisal) adalah proses melalui mana
organisasiorganisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja
karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan
personalia dan memberikan umpan-balik kepada para karyawan
tentang pelaksanaan kerja mereka. Artinya penilaian kerja
merupakan suatu tahapan-tahapan yang dilakukan untuk
melakukan penilaian terhadap hasil kerja karyawan.
Alewine (Timpe,1999:244) menyatakan bahwa penilaian
kinerja adalah untuk membuat karyawan memandang diri mereka

205
sendiri seperti adanya, mengenali kebutuhan perbaikan kinerja
kerja dan untuk berperan serta dalam membuat rencana perbaikan
kinerja. Dari uraian-uraian tentang penilaian kinerja dapat
disimpulkan bahwa setiap penilaian prestasi kerja karyawan
haruslah benar-benar memiliki tujuan yang jelas, seperti apa yang
ingin dicapai, sehingga manfaat penilaian prestasi kerja menjadi
lebih dirasakan organisasi dan karyawan yang bersangkutan.
Setiap perusahaan, lembaga pendidikan, yayasan pendidikan
perlu melakukan penilaian prestasi kerja para karyawannya,
untuk mengetahui prestasi yang dapat dicapai oleh setiap
karyawan, apakah prestasinya termasuk kategori baik, cukup atau
kurang. Dengan melaksanakan penilaian berarti karyawan
mendapat perhatian dari pimpinan, sehingga akan mendorong
mereka untuk lebih giat dalam bekerja. Kesemuanya itu dapat
terjadi bila penilaian dilakukan secara jujur dan obyektif.
Selanjutnya Timpe menguraikan adanya empat alasan
mengapa harus dilakukan penilaian kinerja para karyawan, yaitu:
1. Sebagai alat memotivasi karyawan yang berorientasi
prestasi;
2. Sebagai dasar pemberian ganjaran (kenaikan gaji),
kompensasi, insentif, hadiah pelayanan, liburan, dan
promosi;
3. Sebagai dasar disiplin (status pekerjaan tetap, penurunan
pangkat, pemecatan);

206
4. Sebagai pedoman untuk persyaratan pelatihan dan
pengembangan perorangan.
Suatu tinjauan sepintas lalu saja mengenai alasan diatas
segera mengungkapkan bahwa alasan itu langsung menuju
jantung syarat keberhasilan kelompok manajemen. Alasan
tersebut menyangkut segi-segi yang bisa mendorong datau bisa
menghambat kamajuan organisasi.
Handoko (1996:136) menyatakan kegunaan-kegunaan
penilaian prestasi kerja dapat dirinci sebagai berikut :
1. Perbaikan Prestasi Kerja
Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinan karyawan,
manajer dan departemen personalia dapat membetulkan
kegiatan-kegiatan mereka untuk memperbaiki prestasi.
2. Penyesuaian-penyesuaian Kompensasi
Evaluasi prestasi kerja membantu para pengambil
keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian
bonus dan bentuk kompenssi lainnya.
3. Keputusan-keputusan Penempatan
Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada
prestasi kerja masa lalu atau antisipasinya. Promosi sering
merupakan bentuk penghargaan terhadap restasi kerja
masa lalu.
4. Kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan
Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan
kebutuhan latihan. Demikian juga prestasi yang baik

207
mungkin mencerminkan potensi yang harus
dikembangkan.
5. Perencanaan dan Pengembangan Karier
Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan
karier, yaitu tentang jalur karier tertentu yang harus
diteliti.
6. Penyimpangan-penyimpangan Proses Staffing
Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan
kekuatan atau kelemahan prosedur staffing Departemen
Personalia.
7. Ketidakakuratan Informasional
Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan
kesalahan-kesalahan dalam informasionalis jabatan,
rencana-rencana sumber daya manusia, atau komponen
komponen lain sistem informasi manajemen personalia.
Menggantungkan diri pada informasi yang tidak akurat
dapat menyebabkan keputusan-keputusan personalia yang
diambil tidak tepat.
8. Kesalahan-kesalahan Desain Pekerjaan
Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan suatu tanda
kesalahan dalam mendesain pekerjaan. Penilaian prestasi
membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.
9. Kesempatan Kerja yang Adil

208
Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin
keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa
diskriminasi.
10. Tantangan-tantangan Eksternal
Kadang-kadang prestasi kerja dipengaruhi oleh
faktorfaktor diluar lingkungan kerja, seperti keluarga
kesehatan, kondisi finansial atau masalah-masalah pribadi
lainnya.
Dengan penilaian prestasi Departemen Personalia mungkin
dapat menawarkan bantuan. Moekiyat(2002:69) mengemukakan
ada 5 tujuan penilaian prestasi kerja yaitu :
1. Untuk mengadakan hubungan antara karyawan dan
pengawas mereka yang akan menghasilkan tingkat
produktivitas yang tinggi.
2. Untuk membantu memperkirakan secara seksama apakah
yang dapat dihasilkan oleh masing-masing pegawai dalam
suatu keseluruhan.
3. Mengupayakan agar karyawan mengetahui dengan tepat
apa yang diharapkan dari mereka, dan seberapa jauh
mereka memenuhi harapan ini.
4. Melakukan upaya tertentu untuk perbaikanperbaikan.
5. Untuk sampai kepada suatu penilaian kecakapan pegawai
apabila hal ini dibutuhkan oleh perusahaan.
Dari uraian Moekiyat dapat disimpulkan bahwa setiap
penilaian prestasi kerja karyawan haruslah benar-benar memiliki

209
tujuan yang jelas, seperti apa yang ingin dicapai, sehingga
manfaat penilaian pretasi kerja menjadi lebih dirasakan oleh
perusahaan, lembaga pendidikan dan karyawan yang
bersangkutan.
Bagi pegawai, penilaian berguna untuk memberikan umpan
balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kekurangan,
potensi yang pada akhirnya berguna ntuk menentukan jalur,
rencana dalam pengembangan karier. Bagi organisasi hasil
penilaian prestasi kerja bermanfaat untuk pengambilan keputusan
tentang berbagai hal seperti kebutuhan program pelatihan,
rekruitmen, seleksi, penempatan, promosi, sistem imbalan dan
keseluruhan proses manajemen sumber daya manusia secara
efektif.

8.3.1 Metode Penilaian Kerja Karyawan


Ada berbagai metode yang biasa digunakan dalam
pelaksanaan penilaian prestasi kerja. Metode-metode penilaian
prestasi kerja pada dasarnya dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Penilaian secara “kebetulan”, tidak sistematis dan sering
membahayakan.
2. Metode tradisional yang sistematis, yang mengukur:
karakteristik individu, sumbangan karyawan kepada
organisasi atau keduanya.

210
3. Penilaian yang berdasarkan pada tujuan yang ditetapkan
bersama dengan menggunakan “Manajemen Berdasarkan
Sasaran” (MBS) atau dikenal sebagai
“Management By Objective” (MBO).
a. Cara Penilaian yang Tidak Sistemati. Cara penilaian
yang tidak sistematis dan dilakukan secara kebetulan,
sering berbahaya didalam penerapannya. Misalkan ada
suatu jabatan yang kosong pada suatu organisasi, baru
kemudian diadakan penilaian seketika terhadap
karyawan untuk kemungkinan pengisian jabatan
tersebut. Tentu saja cara ini kurang sistematis karena
baru dilakukan pada saat ada lowongan dan tidak
konsisten. Karena itu perusahaan yang teratur
sebaiknya menggunakan pendekatan yang sistematis.
b. Penilaian Sistematis yang Tradisional Penilaian yang
sistematis dan dilakukan secara berkala mempunyai
banyak manfaat bagi organisasi. Manfaat pertama dan
yang paling penting adalah memberikan informasi
yang sangat membantu didalam keputusan-keputusan
yang menyangkut masalahmasalah seperti promosi “lay
off dan transfer”. Penilaian yang sistemtis ini
memberikan informasi sebelum sesuatu itu mungkin
diperlukan. Jadi menghindari kemungkinan digunakan
“judgement” sesaat.

211
8.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Karyawan
Menurut Handoko (2001:193) yaitu faktor-faktor kinerja
juga dipengaruhi oleh motivasi, kepuasan kerja, tingkat stres,
kondisi fisik pekerjaan, sistem kompensasi, desain pekerjaan,
komitmen terhadap organisasi dan aspek-aspek ekonomis, teknis
serta keperilakuan lainnya.
Sementara itu, menurut Tiffin dan Mc. Cormick (dalam
As’ad 2001:49), mengemukakan bahwa ada dua macam faktor
yang mempengaruhi kinerja seseorang yaitu:
1. Faktor Individual
Yaitu faktor-faktor yang mencakup sikap, sifat
kepribadian, sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman,
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, serta faktor
individual lainnya.
2. Faktor Situasional
a. Faktor fisik pekerjaan, meliputi: metode kerja, kondisi
dan desain perlengkapan kerja, penentuan ruang, dan
lingkungan fisik (penyinaran, temperatur dan ventilasi).
b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi peraturan
organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah
dan lingkungan sosial.
Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yakni
motivasi, kepuasan kerja, tingkat stres, kondisi fisik pekerjaan,
sistem kompensasi, desain pekerjaan, komitmen terhadap

212
organisasi dan aspek-aspek ekonomis, teknis serta keperilakuan
lainnya (Handoko, 2001:193).
Menurut Siagian dalam Dhina Rista Harpitasari, (2010: 12)
bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh gaji, lingkungan kerja,
budaya organisasi, kepemimpinan dan motivasi kerja
(motivation), disiplin kerja, kepuasan kerja, motivasi.
Menurut Bernardin (dalam Robbins, 2003:260) bahwa
kinerja dapat dikatakan baik bila karyawan memenuhi hal sebagai
berikut:
1. Kualitas kerja, diukur dari persepsi karyawan terhadap
kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta
kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan
kemampuan karyawan.
2. Kuantitas, diukur dari persepsi karyawan terhadap
jumlah aktivitas yang ditugaskan beserta hasilnya.
3. Waktu produksi (production time), diukur dari
persepsi pegawai terhadap suatu aktivitas yang
diselesaikan dari awal waktu sampai menjadi output.
4. Efektivitas, persepsi karyawan dalam menilai
pemanfaatan waktu dalam menjalankan tugas,
efektivitas penyelesaian tugas dibebankan organisasi.
5. Kemandirian, tingkat dimana karyawan dapat
melakukan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan
atau bimbingan dari orang lain, diukur dari persepsi

213
karyawan dalam melakukan fungsi kerjanya masing-
masing sesuai dengan tanggung jawabnya.
6. Komitmen kerja, tingkat dimana karyawan
mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan
tanggung jawab karyawan terhadap kantor

214
BAB IX
SERIKAT PEKERJA

9.1 Serikat Pekerja


Kehadiran serikat pekerja (union) secara signifikan
mengubah beberapa aktivitas sumber daya manusia. Proses
perekrutan, prosedur seleksi, level-level upah, kenaikan gaji,
paket tunjangan, sistem keluhan, dan prosedur disiplin dapat
berubah secara dratis disebabkan oleh persyaratan perjanjian
perburuhan ( labor aqreement). Tanpa serikat pekerja, perusahaan
bebas untuk membuat keputusan unilateral (unilateral decisions)
menyangkut gaji, jam kerja, dan kondisi-kondisi kerja.
Keputusan ini dapat dilakukan oleh perusahaan tanpa
masukan atau persetujuan dari para karyawan. Karyawan yang
tidak menjadi anggota serikat pekerja mestilah menerima
persyaratan manajemen, menegosiasikannya sendirian jika ingin
mengubahnya, atau keluar dari perusahaan. Bagaimanapun, pada
saat karyawan memilih untuk mewakili serikat pekerja sebagai
wakil mereka, perusahaan diwajibkan untuk menegosiasikan
dengan serikat pekerja dalaan mengambil keputusan bilateral
(bilateral decision making) mengenai level gaji, jam kerja,
kondisi kerja, dan masalah lain dari keamanan pekerjaan.
Serikat pekerja biasanya mencoba untuk memperluas
pengaruh mereka ke dalam wilayah lain manajemen lain seperti

215
penjadualan kerja, penyusunan standar kerja, desain ulang
pekerjaan, dan pengenalan peralatan dan metode baru.
Perusahaan biasanya menolak pelanggaran batas ke wilayah
pengambilan keputusan ini dengan mengklaim bahwa persoalan
ini merupakan hak prerogatif manajemen. Aapakah manajemen
berhasil dalam mempertahankan pengendalian eksekutif terhadap
hakhak prerogatif ini akan teryantung pada kekuatan relatif dari
kedua belah pihak dalam perundingan kolektif (collective
bargaining) dan pada resolusi terhadap konflik lainnya seperti
keluhan, pemogokan, dan perlambatan kerja.

9.1.1 Alasan Karyawan Masuk Serikat Pekerja


Alasan pekerja memilih untuk masuk serikat pekerja atau
tidak sangatlah bervariasi, berbeda mulai dari kepercayaan
ideologis sampai alasan pragmatis sederhana. Beberapa orang
mendasarkan keputusan mereka pada kepercayaan ideologis
fundamental. Bagi orang seperti ini, perjuangan buruh
manajemen merupakan konflik kelas antara kaum "berpunya"
dengan yang "tidak berpunya" atau antara kapitalis dengan para
buruh. Sungguhpun demikian, isu filosofis ini kemungkinan
hanya memiliki pengaruh kecil terhadap keputusan ratarata
pekerja. Untuk sebagian besar karyawan, keputusan untuk
bergabung dengan serikat pekerja terletak pada dua persoalan
utama: keuntungan ekonomik dan penghapusan kondisi yang
tidak adil.

216
Sebagian besar anggota serikat pekerja percaya bahwa
serikat pekerja haruslah diberi kredit kerena menciptakan banyak
keuntungan ekonomik, termasuk upah yang lebih tinggi,
tunjangan kesehatan yang meningkat, tunjangan pensiun yang
lebih besar, liburan yang lebih panjang, waktu istirahat yang lebih
lama, dan berbagai keuntungan lainnya. Anggota serikat pekerja
juga percaya bahwa serikat pekerja melindungi mereka terhadap
perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif oleh manajemen.
Individu bergabung dengan serikat pekerja karena banyak
alasan yang berbeda dan alasan tersebut cenderung berubah
sepanjang waktu. Alasan tersebut dapat meliputi pertimbangan
pekerja, pribadi, sosial, atau politis. Mustahil untuk
membahasnya semua, tetapi berikut ini terdapat beberapa alasan
utama yaitu:
a. Ketidakpuasan terhadap manajemen
b. Kebutuhan akan saluran sosial (social outlet)
c. Kesempatan bagi kepimpinan
d. Paksaan pembentukan serikat pekerja
e. Tekanan rekan sejawat.
f. Ketidakpuasan terhadap Manajemen
Setiap pekerjaan memiliki potensi untuk tidak puas secara
nyata. Setiap individu menniliki titik didih yang dapat
memacunya untuk mempertimbangkan serikat pekerja sebagai
sebuah solusi bagi problem nyata atau yang dirasakannya. Serikat
pekerja melihat permasalahan di dalam organisasi dan kemudian

217
menekankan manfaat keanggotaan serikat pekerja sebagai sarana
untuk menyelesaikan masalah tersbut. Beberapa alasan yang
lumrah bagi ketidakpuasan karyawan antara lain Kompensasi.
Para karyawan menginginkan kompensasi mereka sangat wajar
dan adil. Upah penting bagi mereka karena upah menyediakan
kebutuhan hidup dan kesenangan. Jika karyawan tidak puas
dengan upah mereka maka mereka kemungkinan akan melirik
serikat pekerja untuk bantuan dalam meningkatkan standart hidup
mereka.
Aspek psikologis penting dari kompetisi menyangkut 'jumlah
gaji yang diterima oleh individu dalam kaitannya dengan pekerja
lain yang melakukan pekerjaan yang serupa. Jika seorang
karyawan merasa bahwa manajemen telah memperlihatkan
favoritisme dengan menggaji seseorang lebih banyak utnuk
melakukan pekerjaan yang sama atau pekerjaan level yang lebih
rendah, karyawan kemungkinan akan menjadi tidak puas.
Anggota serikat pekerja mengetahui secara persis basis gaji
mereka dan bagaimana basis ini dibandingkan dengan yang lain.
Oleh karena itu, ketidakadilan gaji, dengan senioritas sebagai
kriteria yang dapat diterima untuk ketidakadilan, kecil
kemungkuiannya menjadi bidang masalah utama.
Two-ticr wage system. 7bvo-tier wage system adalah struktur
upah yang mencerrninkan tarif gaji yang lebih rendah bagi
karyawan yang baru diangkat tatkala dibandingkan dengan yang
diterima oleh karyawan mapan yang mengerjakan pekerjaan yang

218
serupa. Sistem ini adalah salah satu perkembangan yang paling
kotroversial dalam perundingan kolektif. Dibawah sistem
dibandingkan karyawan yang telah ada dalam daftar gaji.
Meskipun twotier wage system ini pada dasarnya
memberikan gaji yang sama untuk pekerjaan yang serupa, sistem
ini tidak menghemat banyak uangm perusahaan dalam biaya
tenaga kerja dan pada pada saat yang sama menyediakan lebih
banyak pekerjaan. Terdapat dua tipe dasar dari skala two-tierr
tempore dan permanen. Dalam sistem tempore, karyawan yang
baru diangkat lebih sedildt dari yang diangkat sebelumnya tetapi
mereka dapat meningkat menjadi seimbang sepanjang waktu.
Dalam sistem yang permanen, karyawan yang baru diangkat tidak
akan pernah men.capai keseimbangan.
Keselamatan kerja. Bagi karyawan muda, keselamatan kerja
(job security) seringkali kurang penting dibandingkan bagi
karyawan melihat manajemen secara konsisten memberhentikan
karyawan yang lebih tua menyediakan tempat bagi karyawan
yang lebih muda, lebih agresif, mereka mungkin memikirkan
keselamatan kerja mereka. Jika perusahaan tidak memberikan
karyawannya adanya rasa keselamatan kerja, pekerja mungkin
akan berpaling ke serikat pekerja. Karyawan bahkan lebih
memperhatikan daripada sebelumnya mengenai keselamatan
kerja disebabkan karena adanya penurunan lapangan pekerjaan
dalam industri ,kunci seperti otomotif dan perrn.inyakan.. Sikap
manajemen. Orang ingin merasa bahwa mereka penting. Mereka

219
tidak ingin dianggap komiditi yang dapat dibeli dan dijual. Oleh
karenanya, para karyawan tidak rnenyukai menjadi subjek
tindakan yang serampangan dan tidak terduga-duga yang
dilakukan manajemen. Di dalam beberapa perusahaan,
manajemen tidak sensitif terhadap kebutuhan para karyawannya.
Pada saat situasi ini terjadi, para karyawan mungkin memandang
bahwa mereka mempunyai sedikit atau tidak ada sama sekali
pengaruh dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja
yang merasa bahwa mereka ben.ar-benar bukan bagiz.n dari
perusahaan merupakan target utama bagi pembentukan serikat
pekerja.
Sikap manajemen dapat tercermin dalam tindakan kecil
seperti bagaimana surat edaran ditulis. Surat edaran yang
dialamatkan: "Kepada Semua Karyawan" sebagai pengganti
"Kepada Karyawan Karni" dapat menunjukkan bahwa manajer
acuh tak acuh terhadap kebutuhan kebutuhan karyawan. Sikap
seperti ini kemungkinan berasal dari manajemen puncak, tetapi
sikap tersebut diparhatikan pada mulanya oleh karyawan dalam
tindakan penyelia lini pertama. Para karyawan mungkin
memperhatikan bahwa penyelia menilai orang secara keseluruhan
pada apa yang dapat mereka lakukan, berapa banyak yang dapat
mereka lakukan, dan kapan mereka dapat melakukannya. Para
karyawan mungkin mulai merasa bahwa mereka diperlakukan
lebih sebagai mesin daripada sebagai orang. Penyelia mungkin
gagal memberikan alasan untuk penugasan yang tidak biasanya

220
dan mungkin berharap para karyawan mendedikasikan kehidupan
mereka kepada perusahaan tanpa memberikan imbalan yang
memadai. Manajemen yang tidak memikirkan kebutuhan
karyawannya sebagai individu akan membuat perusahaan matang
bagi pembentukan serikat pekerja.
a. Saluran Sosial
Secara alamiah banyak orang yang memiliki kebutuhan
sosial yang kuat. Mereka umumnya menikmati berada di
sekitar orang lain yang memiliki minat dan keinginan yang
serupa. Beberapa karyawan bergabung dengan serikat
pekerja karena tidak ada alasan lain kecuali mengambil
keuntungan dari aktivitas rekreasi dan sosial yang disponsori
oleh serikat pekerja. Orang yang membentuk hubungan
pribadi yang dekat, baik dalam organisasi yang memiliki
serikat pekerja ataupun tidak, kemungkinan akan bertahan
bersama-sama dalam masa-masa sulit.
b. Menyediakan Kesempatan untuk Kepimpinan
Beberapa individu menginginkan peran kepemimpinan tetapi
tidak selalu mudah bagi karyawan operasional berkembang
ke arah karyawan manajerial. Karyawan dengan aspirasi
kepemimpinannya sering dapat dipenuhinya melalui serikat
pekerja. Manajemen sering memperhatikan karyawan yang
menjadi pemimpin dalam serikat pekerja dan bukanlah hal
yang luar biasa untuk mempromosikan mereka ke posisi
manajerial.

221
c. Paksaan Bergabung
Sering kali terjadi bahwa, karyawan masuk serikat pekerja
karena scrikat pekerja memiliki ketentuan dalam kontrak dan
karyawan harus menjadi anggota serikat pekerja untuk
rnempertahankan pekerjaan mcreka.
d. Tekanan teman sejawat
Banyak diantara karyawan yang masuk serikat pekerja
karena didesak oleh rekan sejawatnya. Karena bagaimanapun
ada rasa solidaritas diantara mereka. Mereka yang tidak mau
diajak masuk serikat pekerja berarti penolakan terhadap
rekan sejawatnya, dan ini sering kali juga merupakan
ancaman bagi dirinya.

9.2 Dampak Serikat Pekerja Terhadap Manajemen


Serikat pekerja memiliki sumber kekuatan dan pengaruh
yang luar biasa terhadap praktek majerial, perilaku pekerja dan
kondisi dasar pekerjaan. Serikat pekerja mengakibatkan erosi
signifikan otoritas pengambilan keputusan manajerial untuk
mengendalikan karyawan. Pengurangan ini terutama sekali
terbukti pada penyelia tingkat pertama yang berinteraksi dengan
para karyawan sehari-harinya. Banyak keputusan personalia yang
penting harus sesuai dengan isi kontrak perjanjian antara
manajemen pekerja.
Pcrtarungan untuk otoritas semakin menghebat karena para
manajerlah yang pada akhirnya bertanggung jawab bagi

222
kesuksesan atau kegagalan organisasi, bukan serikat pekerja.
Karena alasan ini banyak manajer yang rnemberikan kesaksian
bahwa serikat pekerja memaksa mereka untuk melanggar prinsip
dasar organisasional dengan menyatakan bahwa otoritas haruslah
sepadan dengan tanggung jawab.
Meskipun serikat pekerja tidak menyerang perusahaan,
hubungan yang sulit dan berhati-hati antara persekutuan buruh
manajemen menghasilkan stress harian dan ketegangan bagi
pihak pekerja serta penyelia tingkat rendah. Agitasi yang konstan
antara pekerja dan manajemen seririgkali menimbulkan iklim
kerja yang mempercepat perputaran karyawan yang tinggi dan
ketidak hadiran serta moral kerja dan produktivitas yang rendah.
Hal ini tidak untuk memberikan kesan bahwa kemitraan buruh-
majikan yang kooperatif dan bebas konflik tidak ada dalam
masyarakat industrial.
Banyak perusahaan yang tidak menikmati adanya
pemogokan, hubungan manajemen karyawan yang harmonis
selama bertahun-tahun. Tetapi kemungkinan konflik manajemen
buruh haruslah menjadi perhatian utama bagi manajer masa
depan yang akan memikul tanggung jawab yang penting untuk
penciptaan dan pemeliharaan kedamaian antara buruh dan
manajemen.
a. Tujuan Serikat Pekerja
Tujuan utama serikat pekerja adalah mempromosikan
kepentingan anggotanya. Melalui perundingan kolektif, lobi

223
bagi legislasi perburuhan, pemimpin serikat pekerja
meningkatkan standar kehidupan anggotanya dan
memperbaiki banyak kondisi di sekitar pekerjaan mereka.
Tujuan yang lain adalah peningkatan tujuan sosial secara
keseluruhan. Melalui pemanfaatan dana dan energi serikat
pekerja yang dibuktikan secara khusus untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri. Secara lebih rinci tujuan masuk
serikat pekerja dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Keselamatan serikat pekcrja
Keselamatan serikat pekerja atau kemampuan untuk
bertumbuh dan lebih sejahtera dalam kondisi ekononuk
merupakan tujuan paling penting serikat pekerja yang
terorganisasi. Dalam menjamin keselamatan serikat pekcrja
dapat dilakukan dengan melaksanakan:
a) Union shop yaitu semua karyawan baru harus bergabung
dengan serikat pekerja dalam jangka waktu tertentu (30
hari). Para karyawan harus tetap menjadi anggota serikat
pekerja sebagai suatu kondisi kepegawaian.
b) Agency shop yaltu karyawan yang tidak bergabung
dengan serikat pekerja diwajibkan membayar iuran serikat
pekerja
c) Maintenance of membership shop yaitu para karyawa
tidak diwajibkan bergabung dengan serikat pekerja.
Namun bagi mereka yang bergabung harus tetap
bergabung hingga kontrak berakhir.

224
d) Close shop karyawan akan menjadi serikat pekerja saat
mereka diangkat menjadi pegawal tetap. Sedangkan open
shop adalah kebebasan yang diberikan kepada karyawan
untuk bergabung atau tidak dengan serikat pekerja.
e) Sole bargaining unit serikat pekerja mewakili semua
karyawan dalam perundingan.
2) Keselamatan Pekerjaan
Keselamatan pekerjaan (job security) merupakan salah satu
tujuan utama karyawan. Keselamatan pekerjaan biasanya
mencakup dua bentuk perlindungan yaitu keselamatan
finansial sclama pemberhentian dan perlindungan dari seluruh
perlakuan yang tidak adil terhadap pekerja. Untuk melindungi
anggota yang di PHh, perjanjian kcrja dapat menyediakan
tunjangan pengangguran tambahan, uang pesangon dan
bentuk perlindungan lainnya. Perlindungan utama terhadap
perlakuan yang tidak adil adalah melalui hak istimewa
senioritas. Serikat pekerja meningkatkan keselamatan
pekerjaan terutama melalui pembatasan suplai tenaga kerja,
mengendalikan out put dan projek yang menghasilkan
pekerjaan.
3) Mengendalikan Output Karyawan
Pemimpin serikat pekerja pada umumnya khawatir terhadap
kemajuan teknologi dan praktek manajemen tertentu yang
akan menggantikan karyawan yang tidak ahli dan semi ahli.
Mereka merasa penerapan manajemen ilmiah dan teknologi

225
yang semakin canggih akan menyebabkan pengangguran
yang semakin meluas.
4) Peningkatan Kompensasi
Isu ekonomik telah menjadi perhatian utama serikat pekerja.
Di sektor industrial tuntutan untuk upah yang lebih tinggi
hampir selalu menjadi topik dalam bernegosiasi.
5) Kondisi Kerja
Kondisi kerja menjadi perhatian penting bagi scrikat pekerja.
Scrikat pekerja mengajukan adanya perlengkapan
keselamatan kerja yang baik, hari kerja yang lebih pendek,
kewajiban lembur yang sedikit, jam istirahat yang panjang
dan seterusnya.

9.3 Pengertian Pemberhentian


Pemberhentian adalah fungsi operasional terakhir dari
manajemen sumber daya manusia. Istilah pemberhentian ini
identik dengan separation, pemisahan, atau pemutusan hubungan
kerja (PHK) karyawan dari suatu orgaruisasi perusahaan.
Pemberhentian adalah pernutusan hubungan kerja seseorang
(karyawan) dengan suatu organisasi perusahaan. Dengan
pernberhentian berarti berakhir keterikatan kerja karyawan
dengan perusahaan.
Menurut Pen.Menaker No. Per 03/Men/ 1996 pasal 1 ayat
d, pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan

226
izin Panitia daerah atau Panitia Pusat. Pemutusan hubungan kerja
secara besar-besaran (massal) adalah pemutusan hubungan kerja
terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu
perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan
hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad
pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara
besarbesaran.
Dalam kaitannya dengan perselisihan antara karyawan dan
perusahaan, pemberhentian (termination) sebenarnya merupakan
hukuman yang paling keras kepada seorang karyawan.
(Simamora, 1997). Oleh karenanya pemberhentian dalam arti
terminasi harus dipertimbangkan secara hati-hati, karena akan
membawa dampak yang sangat besar.
Pemberhentian dilaksanakan sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku (UU No. 12 th. 1964 KUHP dan seizin
P4D dan P4P terutama mengenai tenggang waktu saat dan izin
pemberhentian. Menurut UU No. 12 tahun 1b64 KUHP,
pemberhentian didasarkan atas perikemanusiaan dan menghargai
pengabdian yang diberikan kepada perusahaan.
a. Alasan Dilaksanakannya Pemberhentian
1. Berhenti karena Undang-undang
Undang-undang dapat menyebabksn seseorang karyawan
harus diberhentikan dari suatu organisasi perusahaan.
Misalnya karyawan anakanak, karyawan WNA, karyawan
yang terlibat organisasi terlarang.

227
2. Berhenti Karena Keinginan Perusahaan
Perusahaan dapat memberhentikan karyawannya baik
secara terhormat maupun tidak terhormat. Pemberhentian
semacam ini telah diatur oleh Undang-undang No. 12
tahun 1964, seizin P4D, P4P, serta tergantung status
kepegawaian karyawan yang bersangkutan.
Alasan perusahaan memberhentikan karyawan antara lain,
karyawan tidak mampu mengerjakan pekerjaannya;
perilaku dan kedisiplinannya kurang baik; melanggar
peraturan dan tata tertib perusahaan; tidak dapat bekerja
sama; konflik dengan karyawan lain serta melakukan
tindakan amoral.
Konsekuensinya perusahaan harus memberikan uang
pesangon dan uang jasa kepada karyawan dengan status
pegawai tetap yang besarnya disesuaikan dengan undang-
undang yang berlaku. Sedangkan bagi karyawan dalam
masa percobaan dan kontrak tanpa uang pesangon. Dalam
memberhentikan karyawan manajer harus melakukan
berbagai hal seperti:
a) Mendaftar kekurangan kinerja secara jelas
b) Menunjukkan alasan yang menyebabkan dilakukan
pemecatan
c) Bersikap sensitif terhadap pribadi karyawan
d) Bila dimungkinkan menawarkan pensiun dini

228
e) Memberi kesempatan agar karyawan dapat tetap
bekerja
Proses pemberhentian karena keinginan perusahaan ini
dilakukan melalui beberapa tingkatan yaitu:
a) Perundingan antara karyawan dengan pimpinan
a. perusahaan
b) Perundingan antara pimpinan serikat buruh dengan
pimpinan perusahaan
c) Perundingan P4D dengan pimpinan perusahaan
d) Perundingan P4P dengann pimpinan perusahaan
e) Keputusan Pengadilan Negeri.
3. Berhenti Karena Kinginan karyawan
Karyawan yang ingin berhenti mengajukan permohonan
untuk berhenti dari perusahaan tersebut. Permohonan ini
disertai alasan dan saat kapan akan berhenti. Hal ini perlu
dilakukan agar perusahaan dapat mencari pengganti, agar
kegiatan perusahaan tidak terganggu. Alasan pengunduran
diri ini antara lain: pindah ke tempat lain (alasan
keluarga), kesehatan kurang baik, melanjutkan
pendidikan, berwiraswasta. Kalau banyak karyawan yang
berhenti karena keinginannya hendaknya manajer lebih
perhatian untuk mencari sebab-sebab yang sebenarnya,
sehingga turn over dapat dicegah. Bila berhenti atas
permintaan sendiri maka uang pesangon hanya diberikan

229
berdasarkan kebijaksanaan perusahaan saja, sebab tidak
ada ketentuan hukum yang mengaturnya.
4. Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan
perusahaan, undang-undang ataupun keinginan karyawan
sendiri. Keinginan perusahaan mempensiunkan karyawan,
karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia
lanjut, cacat fisik karena kecelakaan dalam melaksanakan
pekerjaan.
Undang-undang mempensiunkan seseorang karena telah
mencapai batas usia dan masa kerja tertentu. Misalnya
usia 55 tahun dan minimun memiliki masa kerja 15 tahun.
Keinginan karyawan adalah pensiun atas permintaan
sendiri dengan mengajukan surat permohonan setelah
mencapai masa kerja tertentu dan permohonannya
dikabulkan oleh perusahaan. Bagi karyawan yang pensiun
mendapat uang pensiun yang besarnya diatur oleh UU
atau peraturan yang dibuat oleh perusahaan. Pembayaran
uang pensiun sebenarnya merupakan pengakuan,
penghargaan atas pengabdian seseorang kepada organisasi
dan memberikan sumber penghidupan bagi masa usia
lanjutnya
5. Kontrak Kerja berakhir, Kesehatan karyawan, dan
meninggal dunia.

230
Karyawan kontrak akan diberhentikan bila masa kontrak
telah berakhir. Pemberhentian atas dasar berakhirnya
kontrak ini tidak menimbulkan konsekuensi, karena telah
diatur dalam perjanjian kontrak. Kesehatan karyawan juga
dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan.
Inisiatif pernberhentian ini dapat berasal dari kedua belah
pihak. Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis
putus hubungan kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan
memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga
yang ditinggalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
6. Perusahaan Dilikuidasi
Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau
ditutup karena bangkrut. Bangkrutnya perusahaan harus
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedang
karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai
dengan ketentuan pemerintah.
b. Memberhentikan sementara
Siklus perusahaan sering kali naik dan turun. Pada saat
permintaan banyak perusahaan banyak memerlukan tenaga
kerja untuk memenuhi permintaan tersebut, tetapi manakala
permintaan turun, tidak ada pilihan lain kecuali
memberhentikan sementara atau merumahkan (layofly
karyawannya. Meskipun dinimahkan tidaklah sama dengan
dipecat (fired), namun keduanya mempunyai efek yang sama
yaitu menyebabkan karyawan menganggur.

231
Dinimahkan dapat menjadi lebih buruk secara psikologis
daripada diberhentikan. Dengan diberhentikan hubungan dengan
perusahaan diputus dan mantan karyawan tidak mempunyai
pilihan lain kecuali mencari pekerjaan lain. Sedangkan hal ini
tidak terjadi manakala karyawan dinimahkan karena karyawan
memiliki hubungan dengan perusahaan. Banyak karyawan yang
dinimahkan tidak tahu pasti kapan yang bersangkutan akan
ditarik atau dipanggil kembali. Bersamaan dengan itu sumber
daya finansial karyawan berkurang, yang semakin lama
menyebabkan semakin frustasi karyawan tersebut.
Untuk itulah maka setiap karyawan yang akan diterima wajib
diberitahi sistem yang dilakukan oleh perusahaan termasuk bila
karyawan terpaksa dinimahkan. Prosedur layoff ini biasanya
dinyatakan secara jelas dalam perjanjian kerja manajemen
karyawan. Prosedur menarik kembali (recalling) karyawan yang
dinimahkan biasanya harus dinyatakan secara jelas pula dalam
perjanjian manajemen karyawan.
c. Proses Pemberhentian
Pemberhentian karyawan hendaknya berdasarkan peraturan
dan perundang-undangan yang ada, agar tidak menimbulkan
masalah. Seyogyanya pemberhentian dilakukan dengan cara yang
sebaik-baiknya sehingga tetap terjalin hubungan informal yang
baik antara perusahaan dengan mantan karyawan tersebut. Hal di
alas pada dasarnya menjadi keinginan kedua belah pihak, tetapi
tidak dapat diingkari sering kali terjadi pemberhentian yang

232
berdasarkan pemecatan, akibat terjadinya konflik yang tidak
dapat diatasi lagi. Proses pemecatan harus melalui prosedur
sebagai berikut:
1. Musyawarah karyawan dengan pimpinan
2. Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan
perusahaan
3. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan
perusahaan dan P4D
4. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan
perusahaan dan P4P
5. Pemutusan berdasarkan keputusan pengadilan negeri

233
BAB X
MOTIVASI, KONSEP DAN APLIKASI
MANAGEMENT BY OBJECTIVE (MBO)

10.1 Pengertian Motivasi


Menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner
(1854:109) dalam H.B. Siswanto (2005:119) :
All those inner striving conditions variously describes as
wishes, desires, needs, drives, and the like.
Motivasi dapat diartikan sebagai keadaan kejiwaan dan
sikap mental manusia yang memberikan energi,
mendorong kegiatan (moves), dan mengarah atau
menyalurkan perilkau kearah mencapai kebutuhan yang
memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
Kebutuhan tersebut timbul akibat adanya berbagai
hubungan. Kebutuhan dapat berwujud fisik biologis serta sosial
ekonomis. Akan tetapi, yang lebih penting adalah adanya
kebutuhan (needs) yang bersifat sosial psikis, misalnya
penghargaan, pengakuan, keselamatan, perlindungan, keamanan,
jaminan sosial dan sebagainya.
Menurut Berelson dan Steiner (1964) dalam Koontz, dkk
(1984) mendefinisikan bahwa :
A motive ”is an inner state that energizes, activates, or
moves (hence ’motivation’), and that directs or channels

234
behavior toward goals.” In other words, “motivation” is
a general term applying to the entire class of drives,
desires, needs, wishes, and similar forces. Likewise, to say
that managers motivate their subordinates is to say that
they do those things which they hope will satisfy these
drives and desires and induce the subordinates to act in a
desired manner.
(Suatu motif adalah kondisi di dalam diri yang
memberikan energi, aktivitas atau gerakan.motivasi, dan
yang mengarahkan atau memberikan jalan pada perilaku
untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, motivasi adalah
suatu istilah umum yang diterapkan kepada keseluruhan
kelompok yang mengarahkan, menimbulkan keinginan,
kebutuhan, keinginan yang kuat dan dorongan yang
sejenis. Jadi, manajer memotivasi bawahannya dengan
alasan untuk melakukan semua pekerjaan yang mereka
harapkan dapat memberi kepuasan apa yang diinginkan
dan keinginan yang kuat dan menyebabkan bawahannya
bertindak sesuai dengan apa yang dinginkan.).

Gambaran ini dapat ditunjukkan ke dalam hubungan


rantai kebutuhan-keinginan-kepuasan (need-want-
satisfaction chain) dalam gambar di bawah ini.

235
Gambar 10.1. Rantai Kebutuhan-Keinginan-Kepuasan
Sumber : Koontz, dkk (1984,h.479).

Menurut Keith Davis dan John W. Newstrom (1985:88)


motivasi prestasi adalah dorongan dari orang-orang untuk
mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai
tujuan. Orang yang memiliki dorongan ini ingin berkembang dan
tumbuh, serta ingin maju menelusuri tangga keberhasilan.
Penyelesaian sesuatu merupakan hal yang penting demi
penyelesaian itu sendiri, tidak untuk imbalan yang menyertainya.
Menurut J. Winardi (2001:1) istilah motivasi (motivation)
berasal dari perkataan bahasa latin, yakni movere, yang berarti
“menggerakan”. (to move). Menurut Gray et al (1984:69) dalam
J. Winardi (2001:2) motivasi merupakan hasil sejumlah proses,
yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang

236
menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi, dalam
hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
Menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2003:248)
istilah motivasi diambil dari istilah Latin movere, berarti
“pindah”. Dalam konteks sekarang motivasi adalah proses-proses
psikologis meminta mengarahkan, arahan, dan menetapkan
tindakan sukarela yang mengarah pada tujuan. Para manajer perlu
memahami proses psikologi ini jika ungin berhasil memandu para
karyawan menuju mencapai sasaran organisasi. Bagian ini oleh
karena itu memberikan suatu kerangka kerja konsep untuk
memahami motivasi dan menguji akar sejarah beberapa konsep
yang berkaitan dengan motivasi. Terence Mitchel, seorang
peneliti Perilaku Organisasi yang terkenal, mengusulkan suatu
model konsep yang menjelaskan bagaimana motivasi
mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja.
Menurut Marihot Tua Efendi Hariandja (2002:320)
motivasi merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam
menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku kerja. untuk
dapat memotivasi seseorang diperlukan pemahaman tentang
bagaimana proses terbentuknya motivasi.

Menurut Stephen P. Robbins (2006:213) mendefinisikan


motivasi sebagai proses yang kuat menentukan intensitas, arah,
dan ketentuan individu dalam usaha mencapai sasaran.

237
Tiga unsur definisi kita adalah intensitas,, arah, dan
berlangsung lama. Intensitas terkait dengan seberapa keras
seseorang berusaha. Ini adalah unsur yang mendapatkan perhatian
paling besar dari kita bila bicara tentang motivasi. Akan tetapi,
intensitas yang tinggi kemungkinan tidak akan menhasilkan kerja
yang diinginkan jika upaya itu tidak disalurkan ke arah yang
menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, kita harus
mempertimbangkan kualitas upaya itu maupun integritasnya.
Upaya yang diarahkan ke sasaran dan konsisten dengan sasaran
organisasi adalah hal yang seharusnya kita usahakan. Pada
akhirnya,, motivasi memiliki dimensi berlangsung laima. Ini
adalah ukuran tentang berapa lama seseorang dapat
mempertahankan usahanya. Individu-individu yang termotivasi
tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu lama untuk
mencapai sasaran mereka.
Gibson, dkk (2006,h. 132) menyatakan motivasi sebagai
berikut :
Motivation is the concept we use when we describe the
forces acting on or within an individual to initiate and
direct behavior.
(Motivasi adalah pemikiran kita gunakan ketika kita
menyatakan adanya dorongan kepada atau dalam diri kita
sendiri untuk memulai dan mengarahkan perilaku).

238
Menurut R.L. Mathis dan J.H.Jackson (2006, h.548),
motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang
menyebabkan orang tersebut bertindak.
Motivasi menurut F.Luthans (2006,h.270), motivasi
adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau
psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang
diajukan untuk tujuan atau insentif. Dengan demikian, kunci
memahami motivasi bergantung kepada pengertian kebutuhan,
dorongan dan insentif.
Menurut Stephen P. Robbins dan Timothy A. Jugde
(2007:222) motivasi (motivation) sebagai proses yang
menjelaskan intensias, arah, dan kekuatan seorang individu untuk
mencapai tujuannya. Sementara motivasi umum berkaitan dengan
usaha mencapai tujuan apa pun.
Menurut Agus Suntoyo (2008, h.160) motivasi adalah
kekuatan yang dinamik yang mendorong seseorangan utnuk
berprestasi disebut motivasi. Motivasi sering diberi atasan
sebagai dorongan untuk mengurangi tekanan (stress) yang
disebabkan oleh kebutuhan yang belum terpenuhi. jika seorang
manajer dapat memenuhi seluruh kebutuhan karyawan, maka
karyawan tersebut tidak termotivasi lagi untuk bertindak.
Kebutuhan diartikan debagai keadaan dimana intern
seseorang yang jika berhasil dipenuhi menjadi menarik bagi
orang tersebut. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan memaksa
orang merasa stress, tegang yang menyebabkan terjadinya suatu

239
dorongan kuat didalam diri orang itu, untuk bertindak dan
berperilaku dakam mencapai tujuan, yang jika berhasil akan
memenuhi tuntutan kebutuhan itu, dan akan mengurangi
ketegangan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan
itu.
Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud dalam organisasi
adalah yang ditunjukan kepada tujuan organisasi. Seorang
karyawan bisa saja di tempat kerjanya berhubungan dengan
teman-teman dan mitra kerja lainnya dalam rangka penuasan
kebutuhan akan masyarakat, namun dari sudut padang organisasi,
kegiatan itu bertentangan dengan tujuan dan dapat mengurangi
produktivitas karyawan.

10.2 Teori Motivasi


Untk menjelaskan teori motivasi berawal dari individu
diri sendiri. Secara teoritis munculnya motif dan motivasi tidak
terlepas dari kesenjangan atau kekurangan (defieciency).
Kesenjangan tidak lain adalah kesenjangan dalam kebutuhan
karena kebutuhan (needs) adalah sesuatu yang harus dipenuhi.
Gibson, dkk (2006,h. 132) menyatakan bahwa :
A need is a defieciency or lack of something of value that
an individual experiences at a particular of time.
Defieciencies may be phsysiological (e.g. a need for
food), psychological (e.g. a need for self esteem), or
sociological (e.g. a need social interaction).

240
(Kebutuhan adalah kesenjangan atau kekurangan sesuatu
nilai yang mana individu mengalaminya pada waktu
tertentu. Kesenjangan itu mungkin fisiologis, seperti
kebutuhan untuk makan, psikologis, seperti kebutuhan
untuk penghargaan diri, atau sosiologis, seperti kebutuhan
interaksi sosial).
Secara garis besar teori motivasi dibagi 2 (dua) klasifikasi
yaitu :
a. Teori Motivasi Isi (Content Motivation Theories) : teori
motivasi yang memfokuskan pada faktor-faktor yang ada di
dalam diri seseorang yang memberikan energi, dorongan,
berkelanjutan,menghentikan perilaku.
b. Teori Motivasi Proses (Process Motivation Theories) : teori
yang menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku
diberi energi, didorong, dilanjutkan bahkan dihentikan oleh
faktor-faktor dari (eksternal) utama terhadap seseorang.

241
Perspektif Manajerial Teori Isi dan Teori Proses
Klasifikasi Penjelasan Penggagas Teori Penerapan
Teori Teori Manajerial
Teori Fokus pada Maslow : hirarki Manager
Motivasi Isi faktor-faktor lima tingkatan menyadari
yang ada di kebutuhan. adanya
dalam diri Alderfer : hirarki perbedaan
seseorang yang tiga tingkatan kebutuhan,
memberi energi, kebutuhan keinginan,
mendorong, (ERG). tujuan karena
melanjutkan dan Herzberg : dua masing-masing
menghentikan faktor yaitu individu adalah
perilaku. Ini hygiene dan unik dalam
hanya dapat motivator. segala hal.
disimpulkan. McClelland :
tiga kebutuhan
yang diperlukan
sesuai budaya
yaitu pencapaian,
afiliasi dan
kekuasaan.
Teori Menjabarkan, Vroom : teori Manajer perlu
Motivasi menjelaskan dan harapan dan memahami
Proses menganalisis pilihan. proses motivasi
bagaimana Adams : teori dan bagaimana
perilaku diberi keadilan atas indiividu
energi, didorong, perbandingan membuat
dilanjutkan dan individu. keputusan atas
dihentikan. Skinner : teori dasar
penegakkan yang preferensi,
terjadi sebagai imbalan dan
akibat perilaku. pencapaian
Locke : teori sesuatu.
pencapaian tujuan
yang mana tujuan
dan keinginan
sebagai
determinan
perilaku.
Sumber : Gibson, dkk (2006,h.135).

242
TEORI MOTIVASI ISI
TEORI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW
Salah satu model teori motivasi isi adalah yang
dikemukakan oleh Abraham Maslow. Teori Maslow
mengemukakan tentang hirarki kebutuhan manusia terdiri dari 5
(lima) untuk memuaskan keinginannya dalam rangka memotivasi
dirinya, yaitu :
a. Fisiologi (pshysiological) : kebutuhan akan makan, minum,
tempat tinggal dan kesehatan.
b. Keamanan (safety and security) : kebutuhan akan bebas
ancaman, bebas ancaman dari perisitiwa dan lingkungan
sekitarnya.
c. Sosial (belongingness, social and love) : kebutuhan akan
persahabatan, afiliasi, interaksi, dan kasih saying.
d. Penghargaan (esteem) : kebutuhan akan kebanggan diri dann
rasa hormat dari pihak lain.
e. Aktualisasi diri (self actualization) : kebutuhan untuk
memenuhi dengan memaksimalkan penggunaan kemampuan,
keterampilan dan potensi yang dimiliknya.
Berikut adalah tingkatan hirarki kebutuhan menurut
Maslow :

243
Gambar Hirarki Kebutuhan Menurut Maslow

TEORI ERG ALDERFER


Teori ini juga mengajukan teori kebutuhan seperti teori
Maslow. Tetapi Clayton P.Alderfer mengajukan 3 (tiga) hirarki
kebutuhan yaitu :
a. Eksistensi (existence) atau E : kebutuhan yang dapat dipenuhi
dan dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan, udara, air,
imbalan dan kondisi kerja.
b. Hubungan (relatedness) atau R : kebutuhan yang dapat
dipenuhi dan dipuaskan melalui hubungan sosial dan antar
pribadi.

244
c. Pertumbuha (growth) atau G: kebutuhan yang dapat dipenuhi
dan dipuaskan dengan membuat kontribusi yang produktif
dan kreatif.
Teori kebutuhan ini juga disebut teori ERG.

TEORI DUA FAKTOR HERZBERG


Frederick Herzberg mengemukakan ke dalam 2 (dua)
faktor yaitu : faktor-faktor ketidakpuasan-kepuasan (dissatisfiers-
satisfiers); higine-motivator (hygiene-motivators); ekstinsik-
intrinsik (extrinsic-intrinsic).
Hasil studi Herzberg disimpulkan ke dalam 2 (dua) hal
spesifik yaitu : kondisi ektrinsik, job context atau dissatisfiers
atau hygiene factors yang meliputi ; imbalan, status dan kondisi
kerja. Keberadaannya membawa kepuasan, dan tidak semestinya
memotivasi pegawai yang bersangkutan. Namun demikian
ketidakberadaannya akan menimbulkan ketidakpuasan. Kedua,
yaitu kondisi intrinsik, job content, atau satisfiers atau motivators
yang meliputi pencapaian tujuan, tanggung jawab dan
penghargaan. Ketidakberadaannya akan menciptakan tidak akan
menimbulkan ketidakpuasan. Keberadaannya akan membangun
tingkat motivasi yang kuat serta berakibat pada kinerja baik.

245
TEORI KEBUTUHAN MCCLELLAND
David C. Mc Clelland mengajukan motivasi teori
kebutuhan pembelajaran motivasi (learned need theory of
motivation). Mc Clelland yakin bahwa banyak kebutuhan terkait
dengan budaya dalam masyarakat. Terdapat 3 (tiga) kebutuhan
yaitu : kebutuhan pencapaian (need for achievement-n Ach),
kebutuhan afiliasi ( need for affiliation n Aff), kebutuhan
kekuasaan (need for power n Pow). Untuk mengukur seseorang
terhadap ketiga kebutuha tersebut digunakan uji ”Thematic
Apperception Test” (TAT).

TEORI MOTIVASI PROSES


TEORI HARAPAN VROOM
Victor Vroom dalam Gibson, dkk (2006,h.147) membuat
definisi sebagai berikut :
Motivation as a process governing choices among
alternatives forms of voluntary activity.
(Motivasi adalah suatu proses menentukan pilihan
diantara bentuk aktivitas yang bebas untuk dipilih).
Pada dasarnya teori Vroom adalah mengenai Teori
Harapan Motivasi (expectation theory of motivation). Teori ini
pada dasarnya pegawai dihadapkan pada suatu kumpulan hasil
tingkat pertama (first-level outcome) dan seleksi hasil atas dasar
bagaimana pilihan dikaitkan dengan hasil tingkat kedua (second-
level outcome) . Preferensi seseorang didasarkan pada kekuatan

246
(valensi = valence) dari keinginan yang kuat untuk mencapai
tingkat kedua dan persepsi hubungan antara hasil tingkat pertama
dan kedua.
Yang dimaksud dengan hasil tingkat pertama (first-level
outcome) adalah hasil perilaku yang dikaitkan dengan pekerjaan
itu sendiri seperti produktivitas, absenteeism, perputaran
pegawai, serta kualitas produktivitas. Hasil tingkat kedua
(second-level outcome) adalah peristiwa yang menyangkut
imbalan dan hukuman yang mana hasil dari tingkat pertama
seperti kenaikan upah, harapan kelompok dan penolakan serta
promosi.
Selain itu menyangkut instrumentalitas (instrumentality)
yaitu pemikiran yang berdasarkan persepsi seseorang kaitannya
antara hasil tingkat pertama dengan hasil tingkat kedua.
Valensi (valence) adalah kekuatan dari preferensi
seseoran terhadap hasil. Dengan demikian secara prinsipil dapat
dijabarkan sebagai berikut :
V1 = S (V2 x I)
M = f (V1 x E)
P = f (M x A)
Keterangan :
V1 = valensi tingkat pertama
V2 = valensi tingkat kedua
I = Instrumentalitas
M = Motivasi

247
A = Kemampuan
P = Kinerja
Teori harapan (expectaancy theory) berdasarkan prinsip
bahwa tindakan seseorang akan cenderung untuk dilakukan
karena harapan hasil yang akan dicapai. Harapan ini seperti
bonus, kenaikan gaji, promosi dan penghargaan. Teori ini
memfokuskan hubungan sebagai berikut : a) effort-performance
yakni probabilitas yang akan diterima oleh individu dengan
mengerahkan kemampuannya untuk suatu hasil kerja; b)
performance-reward relationship yakni tingkatan kepercayaan
individu atas hasil kerja tertentu mengakibatkan harapan yang
diinginkannya; c) reward-personal goal relationship yaitu
penghargaan organisasi atas seseorang mengakibatkan kepuasan
individu di dalam bekerja.
Teori ini berusaha menjelaskan mengapa banyak
karyawan tidak termotivasi dalam pekerjaan mereka dan hanya
melakukan usaha minimum untuk mencapai tujuan tertentu.
Beberapa pertanyaan perlu diajukan yakni : a) apabila saya
memberikan usaha maksimum, akankah usaha saya mendapat
pengakuan dalam penilaian kinerja saya ? ; b) apabila saya
mendapat penilaian kerja yang baik, akankah penilaian tersebut
membawa penghargaan organisasional ?; c) bila saya mendapat
penghargaan, apakah penghargaan yang saya terima sanggup
memenuhi kebutuhan pribadi saya ?

248
Secara skematis hubungan tersebut dapat ditunjukkan
sebagai berikut :

A B C

Usaha Kinerja Penghargaan Tujuan


Individual Individual Organisasional Pribadi

Sumber : S. P. Robbin dan T.A.Judge (2008,h.254).

A = Hubungan Usaha Kinerja


B = Hubungan Kinerja-Penghargaan
C = Hubungan Penghargaan-Tujuan Pribadi
Dalam bentuk formula sebagai berikut :

P = f (M x A)
Dimana : P = performance
M = motivation
A = ability

TEORI KEADILAN STACEY ADAMS


Menurut J.Stacey Adam, Teori keadilan (equity theory)
menekankan bahwa bawahan membandingkan usaha mereka dan
imbalan mereka dengan usaha dan imbalan yang diterima orang
lain dalam iklim kerja yang sama. Dasar dari teori motivasi ini

249
dengan dimensi bahwa individu dimotivasi oleh keinginan untuk
diperlakukan secara adil. Dalam pekerjaan, individu bekerja
untuk memperoleh imbalan.
Empat hal yang penting dalam teori keadilan adalah :
a. Orang : orang yang secara individu merasa adil atau tidak adil
b. Perbandingan dengan pihak lain : siapa saja atau kelompok
yang dibandingkan sebagai rasio masukan dan hasil.
c. Masukan (input) : karaktaeristik individu seseorang dari
pekerjaaan (misalnya : keterampilan, keahlian, pendidikan)
atau bisa juga umur, jenis kelamin atau ras, dan sebagainya.
d. Hasil (outcome) : apa yang diterima yang bersangkutan dari
pekerjaan (penghargaan, tunjangan, gaji dan upah, dsb).

Proses tersebut dapat digambarkan pada skema di bawah ini

Seseorang Perbandingan Refrenesi


dengan masukan dengan Rasio seseorang OP/IP =
(I) dan hasil (O) I/O (RP), Persep ORP/IRP =
si berarti Adil
I dan O
OP/IP <
ORP/IRP =
berarti
tidak Adil

OP/IP >
ORP/IRP =
berarti
tidak Adil

Sumber : Gibson, dkk (2006,h.152).

250
Keterangan :
IP = masukan seseorang
OP = hasil seseorang
IRP = masukan referensi seseorang
ORP = hasil referensi seseorang

TEORI PRILAKU SKINNER


Teori yang dikemukakan oleh B.F. Skinner dikenal
dengan teori penguatan (reinforcement theory) menjelaskan
tentang bagaimana konsekuensi perilaku di masa yang lalu
mempengaruhi tindakan di masa yang akan datang dalam suatu
siklus proses belajar. Individu bertingkah laku tertentu karena di
masa lalu mereka belajar bahwa perilaku seseorang akan
berhubungan dengan hasil yang menyenangkan terhadap orang
lain, dan perilaku tertentu akan menyebabkan akibat yang tidak
menyenangkan. Pada umumnya individu akan lebih suka akibat
yang menyenangkan, karena mereka akan mengulangi
konsekuensi yang menyenangkan.
Dalam contoh tersebut adalah ilustrasi dalam penguatan
kontingensi dari S1, R1, S2 dan R2 dalam pemberian tugas
penyusunan anggaran melalui memo sebagai berikut :

251
S1 R1 S2 R2

Perintah/memo Menyusun Mendapat Merasa puas


kepada bawahan anggaran penghargaan
untuk menyusun mingguan. dari
anggaran. pimpinan

Operant response
Rangsangan
Antcedent bersyarat Behavior Penguatan Consequence
bersyarat rangsangan Respons
dipenuhi

Sumber : Gibson, dkk (2006,h.163).

TEORI PENETAPAN TUJUAN LOCKE


Menurut Edwin Locke ini merupakan teori penetepan
tujuan (goal-setting) yaitu proses penentuan tujuan yang
melibatkan atasan dan bawahan yang bekerja sama dalam
menentukan tujuan bawahan untuk periode waktu tertentu.
Tujuan yang secara sadar (conscious goals) adalah tujuan
utama yang diperjuangkan seseorang dan menyadari dalam
mengarahkan perilakunya. Tujuan (goal) adalah sasaran spesifik
yang mana seseorang berusaha mencapainya; sasaran (obyek)
dari suatu tindakan.
Menurut Locke ada 4 (empat) macam tujuan yaitu : tujuan
spesifik (goal specificity) adalah tingkat presisi kuantitatif tujuan;
tujuan kesulitan (goal difficulty) adalah tingkat profisiensi atau
tingkatan kinerja tujuan yang dicari; tujuan intensitas (goal
intensity) adalah proses dalam penentuan tujuan atau penentuan

252
bagaimana mencapainya; tujuan komitmen (goal committment)
adalah sejumlah usaha yang nyata digunakan untuk mencapai
tujuan.
Teori Penetapan-Sasaran/Tujuan menurut Stephen P.
Robbins (2006:227) pada akhir tahun 1960-an Edwin Locke
mengemukakan bahwa niat-niat untuk bekerja menuju sasaran
merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, sasaran
memberitahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan berapa
banyak upaya akan harus dilakukan. Bukti sangat medukung nilai
ini dari sasaran. Teori penetapan-sasaran bahwa sasaran yang
khusus dan sulit akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.
Teori penguatan menurut Stephen P. Robbins (2006:230)
lawan pendapat terhadap teori penentuan-sasaran adalah teori
penguatan (reinforcement theory). Yang pertama merupakan
pendekatan kognitif, yang mengemukakan bahwa sasaran
individu mengarahkan tindakannya. Dalam teori penguatan, kita
mempunyai pendekatan perilaku (bihavioristik), yang
berargumen bahwa penguatan yang mengkondisikan perilaku.
Jelas secara fisiologis bahwa keduanya berlawanan.

10.3 Konsep Aplikasi Management By Objective


(MBO)
Menurut Agus Suntoyo (2008,h.172) MBO sering
disebut dengan tool atau alat manajemen lengkap, yang penuh
dengan pertimbangan perilaku karyawan. Alat manajemen

253
tersebut sering dianggap sebagai aktualisasi dan interaksi dari
pengetahuan mengenai perilaku manusia secara utuh, Suatu
pendekatan sistem yang mencakup seluruh segi dan bidang yang
dianggap manajemen. yang menjadi tanggung jawab seorang
manajer pimpinan.
Menurut Stephen P. Robbins dan Timothy A. Jugde
(2007:240) manajemen berdasarkan tujuan-tujuan nyata yang
ditentukan secara partisipasi, bisa diuji, dan bisa diukur. Daya
tarik MBO niscaya terletak pada penekanannya terhadap
perubahan tujuan-tujuan organisasional menjadi tujuan-tujuan
khusus untuk unit-unit organisasional dan anggota-anggota
individual. MBO mengoprasionalkan konsep tujuan-tujuan
tersebut dengan memikirkan sebuah proses dimana tujuan-tujuan
tersebut.
Tujuan-tujuan keseluruhan organisasi menjadi tujuan-
tujuan untuk setiap tungkat di bawahnya (divisional,
departemental, dan individual). Tetapi karena unit yang lebih
rendah bersama-sama berpartisipasi dalam menetukan tujuan-
tujuan mereka sendiri, MBO bekerja dari : ’bawah ke atas”
(bottom-up) dan dari “atas ke bawah” (top-down) hasilnya adalah
sebuah hierarki yang menghibungkan tujuan-tujuan di satu
tingkat dengan tujuan-tujuan di tingkat berikutnya. Untuk
karyawan individual, MBO memberikan tujuan-tujuan kinerja
pribadi yang spesifik.

254
Banyak elemen dari program MBOyang seseuai dengan
proporsi teori penentuan tujuan. Sebagai contoh, memepunyai
periode waktu yang eksplisit untuk mencapai tujuan-tujuan sesuai
dengan penekanan teori penentuan tujuan pada kekhususan
tujuan. Demikian halnya, kita telah mengemukakan sebelumnya
bahwa umapan balik tetang kemajuan tujuan merupakan elemen
penting dalam teori penentuan tujuan. Satu-satunya bidang yang
memungkinkan adalah pertentangan antara MBO dan teori
penentuan tujuan berhubungan dengan persoalan partisipasi-
MBO sanagat mendukungnya, sementara teori penentuan tujuan
menunjukan bahwa manajer menetapkan tujuan-tujuan yang
biasanya sama efektifnya.
Menurut Stephen. P. Robbins (2006:262) manajemen
berdasarkan tujuan (MBO) menetapkan sasaran secara partisipatif
yang berwujud, dapat tercipta kebenarannya, dan dapat diukur.
Itu bukanlah gagasan baru. Bahkan MBO dikemukakan lebih dari
45 tahun lalu sebagai sarana penggunaan sasaran untuk
memotivasi karyawan, bukanya untuk mengendalikan mereka.
Tidak diragukan lagi, daya tarik MBO terletak pada
tekanannya untuk mengubah tujuan organisasi secara keseluruhan
menjadi tujuan khusus untuk unit-unit organisasi dan para
individu yang menjadi anggotanya. MBO menjalankan konsep
tujuan dengan merancang suatu proses, dimana dengan proses
tersebut sasaran-sasaran secara beringkat diturunkan kesepanjang
organisasi itu. Ada empat unsur umum dalam program MBO

255
yakni spesifikasi sasaran pengambilan keputusan partisipatif,
jangka waktu yang eksplisit, serta umpan balik kinerja.
MBO hendaknya merupakan pernyataan ringkas
mengenai pencapaian tujuan yang diharapkan. Tidaklah
memadai, misalnya, untuk sekedar menyatakan hasrat
mengurangi biaya, memperbaiki pelayanan, atau meningkatkan
kualitas. Keinginan-keinginan semacam itu harus diubah menjadi
tujuan yang dapat diukur dan dievaluasi. Untung mengurangi
biaya departemen sebanyak 7 persen, memperbaiki layanan
dengan memastikan bahwa semua pesanan lewat telepon diproses
dalam 24 jam setelah diterima, atau untuk meningkatkan kualitas
dengan mempertahankan laba kurang dari 1 persen dari penjualan
merupakan contoh dari tujuan spesifik.
Tujuan dari MBO tidaklah ditentukan secara sepihak oleh
atasan dan kemudian ditugaskan ke bawahan. MBO.
Menggantikan sasaran yang dipaksakan dengan sasaran yang
ditentukan secara partisipasif. Atasan dan bawahan bergantung
untuk memilih sasaran dan sepakat mengenai cara mengukur
sasaran itu. Tiap tujuan mempunyai kurun waktu penyelesaian
yang spesifik, lazimnya kurun waktu itu adalah tiga bulan, enam
bulan, atau stahun. Jadi para manajer dan bawahan tidak hanya
mempunyai tujuan yang spesifik, tetapi juga kurun waktu yang
ditetapkan untuk mencapai tujuan itu.
Unsur terakhir dari MBO adalah upman balik terhadap
kinerja. MBO berusaha memberikan umpan balik yang terus-

256
menerus mengenai kemajuan ke sasaran. Idealnya, ini dicapai
untuk memberikan upan balik berkelanjutan ke individu sehingga
mereka dapat membantu dan mengkoreksi tindakan mereka
sendiri. Ini dilengkapi dengan evaluasid manajerial secara
berkala, ketika kemajuan itu ditunjau ulang.
Menurut Edwin Locke dalam Robert Kreitner dan Angelo
Kinicki (2003:308) mendefinisikan tujuan sebagai “sesuatu yang
ingin dicapai individu, tujuan merupakan sasaran atau target dari
tindakan. Untuk memperluas definisi ini mereka menambahkan:
Konsep tersebut serupa dengan pengertian tujuan dan
maksud… konsep lain yang sering kali digunakan dalam
pengertian tujuan adalah standar prestasi (suatu pengurutan untuk
mengevaluasi prestasi), kuota (suatu jumlah pekerjaan atau
produksi minimal), norma kerja (suatu standar perilaku yang
ditentukan oleh sebiah kelompok kerja), tugas (suatu pekerjaan
yang harus diselesaikan), sasaran (target mutlak dari suatu
tindakan atau serangkaian tindakan), jatuh tempo (batas waktu
untuk menyelesaikan tugas), dan anggaran (biaya untuk mencapai
tujuan atau batas yang digunakan)
Belakangan ini, penetapan tujuan telah diperkenalkanagar
melalui suatu teknik manajemen yang digunakan secara luas yang
disebut sebagai management by objective (MBO).
Management of objective adalah sistem manajemen yang
berkaitan dengan partisipasi dalam pembuatan kepuasan,
penetapan tujuan, dan sasaran umpan balik. Suatu meta analisis

257
terhadap program MBO menunjukan terhadap peningkatan
produktivitas antara 68 dampai 80 organisasi yang berlainan.
Secara khusus, penelitian pengungkapan peningkatan
produktivitas rata-rata 56% pada saat top manajemen memiliki
komitmen tinggi. Penilaian rata-rata 6% pada saat komitmen
rendah. Meta analisis kedua yang terdiri dari 18 penelitian
menunjukan bahwa kepuasan kerja para karyawan berkaitan
secara signifikan dengan komitmen top manajemen dari
penerapan MBO. Hasil yang mengesahkan ini menyoroti manfaat
positif dari penerapan MBO dan penetapan tujuan. Untuk
memahami lebih lanjut mengenai bagaimana program-program
MBO dapat meningkatkan produktivitas maupun kepuasan,
marilah kita menguji proses penetapan di mana penetapan tujuan
berkembang.
Teori penetapan-sasaran menunjukan bahwa yang sulit
menghasilkan tingkat kinerja individu yang lebih tinggi daripada
sasaran yang mudah. Selain itu, sasaran sulit yang spesefik
menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi daripada tanpa
sasaran sama sekali atau sasasran yang bersifat umum seperti
“berusaha sebaik-baiknya”. Juga, umpan balik terhadap kinerja
seseorang akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.
Bandingkan penemuan-penemuan ini dengan MBO.
MBO secara langsung mendukung sasaran spesifik dan
umpan balik. MBO menyiratkan, bukannya menyatakan secara
eksplisit, bahwa sasaran harus dipersiapkan sebagai hal yang

258
dapat dilaksanakan (feasible). Konsisten dengan penerapan-
sasaran, MBO akan sangat efektif bila sasaran itu cukup sulit agar
dapat menuntut orang itu memaksa diri bekerja.
Satu-satunya wilayah yang mungkin terdapat
ketidakcocokan antara MBO dan teori penetapan-sasaran adalah
yang berkaitan dengan isu partisipasi: MBO sangat mendukung
partisipasi itu sedangkan penetapan-sasaran menunjukan bahwa
penugasan sasaran ke bawahan sering sama berhasilnya.
Bagaimanapun, manfaat utama penggunaan partisipasi adalah
untuk mendorong individu menetapkan sasaran yang lebih sukar.
MBO dalam Praktik
Seberapa luas dari penggunaan MBO? Tinjauan ulang
dari studi-studi yang diusahakan untuk menjawab pernyataan ini
menunjukan bahwa MBO merupakan teknik yang populer. Anda
akan menemukan program-program MBO dalam banyak
organisasi bisnis, pemeliharaan kesehatan, pendidikan,
pemerintahan, dan nirlaba.
Kepopuleran MBO hendaknya tidak ditafsirkan bahwa
MBO selalu berhasil. Dalam sejumlah kasus yang
terdokumentasi, MBO teleh dilaksanakan tetapi gagal memenuhi
harapan manajemen. Tetapi bila kasus-kasus ini dicermati,
ternyata jarang masalahnya disebabkan karena komponen-
komponen dasar MBO itu. Sebabnya lebih cenderung berupa
faktor-faktor seperti misalnya penghargaan yang tak realistis
mengenai hasil, kurangnya komitmen manajemen puncak, dan

259
ketidakmampuan atau ketidaksediakan manajemen untuk
memberikan imbalan yang didasarkan pada pencapaian sasaran.
Kegagalan dapat juga muncul karena ketidaksesuaian budaya,
seperti contoh, Fujitsu telah membatalkan program jenis MBO-
nya karena manajemen menilaki tidak cocok dengan tekanan
budaya Jepang soal meminimalkan risiko dan sasaran jangka
panjang.

Langkah-langkah Proses MBO (antara karyawan &


manajer)
1. Menyatakan dengan tertulis tanggung jawab pokok dari
pekerjaannya.
MBO dimulai dengan persetujuan dengan atasan langsung,
tentang tanggung jawab pokok dari pekerjaan karyawan yang
dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis ini sangat
berarti, karena jika terjadi perbedaan pendapat, mereka selaku
bisa merujuk kembali kepada kesepakatan tertulis hendaknya
rinci untuk menghindarkan pebedaan yang harus dilakukan
oleh karyawan, dan uraian dari tugas yang harus dilakukan
menurut harapan dari manajemen.
2. Pernyataan sementara dari sasaran (objective)
Karyawan menmbuat usulan (pernyataan) sementara dari
tujuan pekerjaanyan untuk periode yang akan datang. Ini
tidak berarti bahwa tanggung jawab manajer tentang
pernyataan objektif itu diserahkan sepenuhnya kepada

260
karyawan. Manajer harus memeriksa dan jika setuju,
menyatakan persetujuannya secara tertulis.
3. Manajer membuat review dari butir 2 di atas.
Sesudah data terkumpul, manajer membuat review dari setiap
peryataan (draft), mendiskusikan dengan karyawan yang
membuat draft tersebut, dan membuat berbagai revisi yang
memang diperlukan, akhirnya pertanyaan persetujuan dari
kedua belah pihak harus tercapai untuk melaksanakan
selanjutnya. Akhir dari diskusi dengan karyawan itu adalah
sasaran (objektif) dapat disetujui bersama, yaitu tingkat
pencapaian dari prestasi karyawan, yang sejujur-jujurnya
dapat diraih.
4. Karyawan: inisiatif untuk membuat evaluasi pelaksanaan
sendiri
Pada akhir suatu pelaksanaan, karyawan hendaknya
dimotivasi utnuk membuat penilaian sendiri (make his own
performance appraisal), yang mungkin dilaksanakan bulanan,
enam bulan atau tahunan. Periode dari penilaian ini sangat
tergantung dari kegiatan perusahaan, dan dapat saja berfariasi
sesuai dengan tuntutan dari operasi perusahaan.
5. Bicarakan performance appraisal tersebut dengan para
karyawan
Ciri khas dari MBO adalah bahwa setiap langkah dari inisiatif
karyawan diharapkan pada komunikasi langsung dengan
manajer. Jadi performance appraisal yang telah dibuat dan

261
direvisi oleh karyawan itu kemudian disesuaikan antara
mereka dengan manajer.
6. Tidakan manajer berdasarkan hasil diskusi
Setiap kita berinteraksi dengan karyawan, terjadi
interpersonal communication, maka jelas-jelas manajer dapat
mendasarkan kebijakannya sesuai dengan informasi langsung
yang diperolehnya dari karyawan.
7. Tahap memulai lagi silkus MBO
Tentu saja setiap sesudah dengan MBO, karyawan dihimbau
untuk menyusun objektif yang baru dan daur seperti di atas
dimulai kembali. Mungkin tanggung jawab seseorang tidak
akan jauh berbeda dengan pertanyaan yang lalu, namun
tujuan pencapaian mungkin mengalami revisi. Demikian juga
proses pemerikasaan (review) oleh manajer mungkin sudah
dapat delegasikan kepada para penyelia, sehingga setiap saat
langkah panjang MBO bisa dijurangi dan disederhanakan.
Kriteria Sasaran (objektif) dari MBO yang efektif.Objektif
atau sasaran dari MBO yang memuaskan, yang akan
menghasilkan interaksi karyawan dengan pimpinan secara
efektif, adalah:
1. Sasaran yang dapat menggunakan potensi secara
optimal, pada tingkat kemampuan karyawan.
2. Sasaran dapat dinyatakan secara spesifik, tepat dan jelas.
3. Sasaran yang dapat dinyatakan dengan tolak ukur yang
tepat secara rinci dan kuantitatif.

262
4. Sasaran yang mencakup periode pencapaian terget yang
jelas, kapan harus diselesaikan, dan diajukan sebagai
hasil akhir pekerjakan.
Model modifikasi perilaku organisasi yang disingkat
menjadi OB Mod, adalah suatu penerapan dari teori penguatan
(reinforcement theory) kepada karyawan dalam keadaan yang
sesungguhnya dilingkungan pekerjaannya. OB Mod ini
dilaksanakan dalam 5 tahapan:
1. Identifiksi perilaku yang menunjang kinerja
Apa yang dilakukan oleh seorang karyawan, tidak semua
berkaitan atau tidak semua penting untuk menjadi suatu
tingkat untuk kerja yang tinggi. Karena itu pada tahap awal
OB Mod ini, pimpinan hendaknya jeli mengamati dan
membuat identifikasi, perilaku yang mana saja yang
memberikan dampak terbesar untuk keberhasilan karyawan
itu dalam menggerakan tugasnya. Perilaku lainnya juga
diamati, yaitu yang tidak memberikan dampak penentuan
dalam melakukan tugasnya. Menurut beberapa pengamat
hanya 5 sampai 10% kegiatan yang menunjang 70 sampai
80% kinerja. Jadi sekitar 90 samapi 95% kegiatan yang
dilakukan karyawan hanya menyumbang kinerja sebesar 20
samapai 30% saja.
2. Mengembangkan dan menentukan data sebagai ukuran baku
Pada tahap ini manajer menganalisis hasil pengamatannya,
mungkin suatu survei, dan menetukan frekuensi terjadinya

263
perilaku tertentu yang diamati, pada keadaan sekarang ini.
Jadi hendaknya dapat dilihat, apakah perilaku yang dianggap
penyumbang terbesar kinerja itu dilakukan berulang-ulang
oleh satu orang, atau dilakukan bersama oleh banyak
karyawan dengan frekuensi yang lebih rendah.
3. Identifikasi komponen perilaku yang menjadi pemicu awal
atau yang menjadi penyebabnya
Pada tahap ini hendaknya dapat dikenali perilaku yang
mendukunga atau menyebabkan terjadinya perilaku yang
diinginkan, atau akibat dari perilaku itu terhadap unjuk kerja.
demikian juga hendaknya dapat dikenali penyebab dari
dipertahankannya cara kerja (perilaku) yang mendukung
untuk kerja, dan sejauh mana terjadi diterimanya perilaku itu
pada lingkungan karyawan (social acceptance), atau
kebalikannya dimana karyawan lalu menghindarkannya
(karena tidak mau bekerja lebih keras lagi). Upaya membuat
identifikasi semacam ini termasuk dalam kawasan analisis
dari fungsi-fungsi tugas seseorang dalam organisasi.
4. Kembangkan strategi investasi
Pada tahap ini dikembangkan suatu strategi investasi untuk
memperkuat perilaku yang dikehendaki, dan melemahkan
perilaku yang dikehendaki. Strategi yang dirumuskan
mungkin menyangkut penilaian terhadap sistem imbalan-
misalnya struktur pengkajian, proses pemberian insentif,
teknologi yang dipakai, pengelompokan karyawan, atau

264
pengelompokan tugas (work group) yang tujuannya dalah
memberikan kesan bahwa pekerjaan yang prima akan
menghasilkan suatu kepuasan yang menyeluruh, termasuk
suatu kepuasan ekstrinsik dari pekerjaan itu. Kualitas dan
kuantitas suatu pekerjaan yang telah dilakukan oleh kelompok
karyawan itu memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka.
5. Evaluasi perbaikan kinerja
OB Mod ini dianggap telah dapat memperluas wawasan para
manajer dalam melihat karyawan sebagai mitra kerja.
terutama sekali manajer dapat menerima umpan balik dengan
sikap yang menunjukan kedewasaan, umpan balik tidak lagi
dianggap sebagai serangan yang bersifat probadi, manajer
akan lebih menghayati kebenaran dari penelitian kinerja
(performance appraisal), dan manajer juga akan lebih
berwawasan dalam membuat alokasi terhadap imbalan dan
intensif pada simpul organisasi yang paling mendukung
kinerja perusahaan.

265
DAFTAR PUSTAKA

ACSNI, 1993. Organising for Safety D Third Report of the


Human Factors Study Group of ACSNI. HMSO,
London.
Anatan, L. dan Lena Ellitan. 2002. Manajemen Sumber Daya
Manusia Dalam Bisnis Modern. Edisi pertama.
Bandung: Alfabeta.
Baron dan Greenberg, 2011 .Behavior in Organizations. 10 thed.
New York: Mc-Graw Hill.
BA Setiono, AR Pamungkas, (2017) Manajemen Sumber Daya
Manusia, CV. Berkah Wisnu, Jl. MW. Maramis No. 29
Cengklik Surakarta
BA Setiono, The Effect Of Marketing Mix, Quality Of Service
And Orientation Of Entrepreneurship To Competitive
Advantages The People's Market In Surabaya City,
Journal Of Indonesian Science Economic Researh 1 (1),
22-25
http://www.journalindonesia.org/index.php/JISER/articl
e/view/3
BA Setiono, (2016) “Pengaruh Budaya Organisasi, Karakteristik
Individu, Karakteristik Pekerjaan Terhadap Kinerja
Karyawan PT. Pelindo III Surabaya”, Jurnal Aplikasi
Pelayaran dan Kepelabuhanan 6 (2), 128-146 http://pdp-
journal.hangtuah.ac.id/index.php/japk/article/view/30
BA Setiono, IA Brahmasari, S Mujanah 2018. “Effect of Safety
Culture, Safety Leadership, and Safety Climate on
Employee Commitments and Employee Performance PT.
Pelindo III (Persero) East Java Province” Sebelas Maret
Business Review Vol. 3 Issue 1, pp. 6–10 ISSN: 2528-
0627 (print) / 2528-0635 (online)
https://jurnal.uns.ac.id/SMBR/article/view/13680

266
Bernardin, H. John, & Joyce E.A Russel. (2003). Human
resource management (An Experimental Approach
International Edition), Singapore : Mc.Graw Hill Inc.
Byars, Lloyd L., & Rue, Leslie W. (2008). Human Resource
Management. (9th ed.). New York: McGraw-Hill Irwin.
Davis, Keith, Werther, William B. Jr (2006), Human Resources
Management, 5th Edition, New Jersey, McGraw-Hill,
Inc.
Dessler, Gary. 1997. Management Sumber Daya Manusia.
Terjemahan. Benyamin Molan. Edisi Bahasa Indonesia.
PT Prenhallind. Jakarta.
Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnelly
(2000), Organization Behavior, Structure, Processes,
10th Edition, New York, McGraw-Hill
Goldstein, Irwin L., Ford J. Kevin., 2002, Training in
Organization : Fourth Edition, Wadsworth Group-
Thomson Learning, Canada.
Gomes, Faustino Cardoso, 2003, Manajemen Sumber Daya
Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Handoko, T. 2000. Manajemen Personalia dan Sumber Daya
Manusia. Edisi 2. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Hartono,
J. 2017.
Handoko, T. Hani., 2001, Manajemen Personalia dan
Sumberdaya Manusia, Yogyakarta, BPFE-UGM
Hasibuan, Malayu, S.P. 2003. Manajemen Dasar, Pengertian dan
Masalah. Jakarta : PT Toko Gunung Agung.
King, C.J., 1982, “Separation Processes”, 2 ed., Mc.Graw Hill
Publishing Book Company, Ltd., New Delhi.
Kirkpatrick, D.L. dan Kirkpatrick, J.D., 2006. Evaluating
Training Programs: The Four Levels. San Fransisco :
Berrett-Koehler Publishers, Inc.
Kreitner, Robert, Kinicki, Angelo (2007) Organizational
Behavior. 7th ed. McGraw-Hill Inc. New York.

267
Luthans, Fred. (2006). Perlaku organisasi. Edisi 10. ANDI,
Yogyakarta.
Malayu S.P. 2007. Buku Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hasibuan, Malayu S.P. 2009.
Mangkunegara, A 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan. Cetakan Ketujuh. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Mathis, L. R. and Jackson, H. J. (2006) Human Resorce
Management. Essential Perspectives. Third Edition.
South West-ern:Thomson Corporation
McShane, Steven L., and Mary Ann Von Glinow, 2000,
Organizational Behavior, McGraw-Hill Companies,
Inc., USA.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (2009). Commitment in the
workplace: Theory, research and application. Thousand
Oaks, CA: Sage.
Nelson, D.L dan J.C. Quick, 2006, Organizatonal Behavior
Foundations Realities and Challenges, Thompson South
Western, United States of America.
Nitisemito, A. S. 2002. Buku Manajemen Personalia Edisi Revisi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Noe, R.A., Hollenbeck, J.R., Gerhart, B. and Wright, P.M.
(2008). Human Resource Management: Gaining a
competitive advantage, New York: McGraw Hill.
Pinder, C.C (1984). Work motivation: Theory, issues and
applications. Illinois: Scoff, Foresmen and Company.
Prabu Mangkunegara, Anwar. 2009. Manajemen Sumber Daya
Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Robbins, Stephen P. (2015), Organization Theory: Structure,
Design and Application, Third Edition, Terjemahan:
Yusuf Udaya, Penerbit Arcan, Jakarta; Englewood
Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall International Inc.
Samsudin, S. 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia.

268
Bandung: Pustaka Setia.
Sastrohadiwiryo, Siswanto. 2002. Manajemen Tenaga Kerja
Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara
Siagian, Sondang P. (2003), Manajemen Sumber Daya Manusia,
Edisi Keduabelas, Jakarta, Bumi Aksara
Simanjuntak. 2005. Manajemen Dan Evaluasi Kinerja. Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Soekidjan. 2009. Manjaemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
BumiAksara
Sofyandi, Herman dan Garniwa, Iwa. 2007. Perilaku
Organisasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Steers, M Richard, and Porter M, 2004. Introduction to
Organizational Behavior, 4th Edition, New Jersey:
Harper Collins Publisher
Stoner, James A.F., Freeman,R.,& Gilbert, D.
(2006).Management. (6th ed.).New Delhi: Prentice Hall.
Andjarwati, T., Setiono, B. A., Susilo, K. E., Budiarti, E.,
Sustiyatik, E., Audah, A. K., & Winarno, A. F. (2019).
“The Effect Of Osha, Work Environment And Work
Discipline On Employee Satisfaction And Employee
Performance”, Archives of Business Research,
7(11),14-20.
http://116.203.177.230/index.php/ABR/article/view/7281
Yukl, Wexley, Kenneth N. dan Gary A. (2002), Perilaku
Organisasi dan Psikologi Personalia, Alih Bahasa:
Much. Shobaruddin, Jakarta, Binarupa Aksara

269

Anda mungkin juga menyukai