Laporan Infusa 1 PDF Free
Laporan Infusa 1 PDF Free
Kelompok 2A
2016
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman sirih merupakan tanaman yang tumbuh memanjat dengan tinggi tanaman 5
sampai 15 cm. Helaian daun berbentuk bundar telur atau bundar telur lonjong. Pada bagian
pangkal berbentuk jantung atau agak bundar, tulang daun bagian bawah atau berbulu sangat
pendek, tebal berwarna putih, panjang 5-18 cm dan lebar 2,5-10,5 cm. Daun pelindung
berbentuk lingkaran, bundar telur sungsang atau lonjong dengan panjang kira-kira 1 mm.
Perbungaan berupa bulir. Bulir yang masak berbulu kelabu, rapat dengan tebal 1-1,5 cm. Biji
berbentuk bulat (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Kandungan kimia utama yang memberikan ciri khas daun sirih adalah minyak atsiri.
Selain minyak atsiri, senyawa lain yang menentukan mutu daun sirih adalah vitamin, asam
organik, asam amino, gula, tannin, lemak, pati dan karbohidrat. Komposisi minyak atsiri
terdiri dari senyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%). Komponen utamanya
eugenol (sampai 42,5%), karvakrol, chavikol, kavibetol, alilpirokatekol, kavibetol asetat,
alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metileter, ρ-simen, karyofilen, kadinen dan
senyawa seskuiterpen (Darwis, 1992).
Daun sirih mempunyai khasiat sebagai obat batuk, bisul, obat sakit mata, obat
sariawan dan obat hidung berdarah (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Khasiat daun sirih
ini selain sebagai stypic (penahan darah) dan vulnerary (obat luka pada kulit) juga berdaya
antioksidan, antiseptik, fungisida bahkan sebagai bakterisidal. Hal ini juga dikatakan oleh
Widarto (1990) bahwa daun sirih mengandung minyak atsiri yang bersifat menghambat
pertumbuhan mikroba. Minyak atsiri dan ekstrak daun sirih mempunyai aktivitas terhadap
beberapa bakteri gram positif dan gram negatif (Darwis, 1992).
Sebagai obat, seduhan daun sirih dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan bau mulut,
menghentikan pendarahan gusi, menciutkan pembuluh darah serta sebagai obat batuk. Daun
sirih yang masih segar dapat dipergunakan untuk mencuci mata. Demikian pula dengan
penyakit kulit, wasir, keringat bau, sakit gigi, asma dan produksi air susu ibu yang berlebihan
dapat dicegah dan disembuhkan dengan daun sirih (Dharma, 1985).
Dalam beberapa referensi di jurnal yang ditemukan, metode ekstraksi pada daun sirih
menggunakan maserasi misanya sebagai berikut:
Daun sirih dicuci, dipotong-potong dan dikeringkan dalam oven suhu 40-45ºC selama 12 jam
sambil sesekali dibolak-balik dan ditutup kain hitam agar kekeringan dan terjadi secara
merata. Terhadap daun yang kering kemudian diblender untuk memperluas permukaan
sehingga ekstraksi menjadi efisien. Ekstraksi dipilih secara dingin yaitu maserasi
menggunakan etanol 96% selama rentang waktu (24-72 jam). Adapun kelemahan dan
maserasi ini yaitu membutuhkan waktu yang lama hingga beberapa hari.
Sedangkan pada metode ekstraksi yang kita gunakan untuk membuat sediaan infusa
cair ini adalah infudasi. Dimana, infudasi merupakan proses penyarian yang pada umumnya
untuk menyari kandungan zat aktif yang ada pada sediaan tanaman yang larut dalam air.
Penyarian adalah peristiwa memindahkan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel
ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari (Anonim, 1986).
Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya
dalam melarutkan jumlah maksimal zat aktif dan seminimal mungkin zat yang tidak
digunakan (Ansel, 1989).
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia dengan air pada
suhu 90ºC selama 15 menit. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil
dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh dengan cara
ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Infusa dibuat dengan membasahi bahan bakunya,
biasanya dengan air dua kali bobot bahannya. Penyaringannya dilakukan pada saat cairan
masih panas dengan kain flanel, kecuali bahan yang mudah menguap (Anonim, 1986).
Beberapa kelebihan air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah dan mudah diperoleh,
stabil, tidak mudah terbakar, tidak beracun serta alamiah.
Metode yang digunakan analisis senyawa marker dalam ekstrak atau sediaan tertentu
yaitu secara kromatografi lapis tipis (KLT)-Densitometri. Kromatografi adalah proses
pemisahan atas perbedaan distribusi komponen diantara fase gerak dan fase diam (Vogel,
1978). Pada KLT, cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan pada lapisan tipis yang nantinya
akan diabsorbsi oleh zat penyerap dan selanjutnya dieluasi oleh fase gerak. Pemisahan ini
didasarkan pada sifat polaritas senyawa. Senyawa yang punya polaritas hampir sama dengan
fase geraknya akan tereluasi terlebih dahulu dibandingkan dengan senyawa yang sifat
polaritasnya berbeda dengan fase geraknya.
Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh
terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh
oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Nilai Retardation factor (Rf)
tersebut, digunakan sebagai metode identifikasi sederhana yang didefinisikan dengan
persamaan :
KLT
(1) Ekstrak kasar air daun sirih diuji dengan kondisi analisis sebagai berikut.
Fase diam : Silica Gel G (20x10 cm)
Fase gerak : Kloroform : methanol (90:10)
Deteksi : UV 254 nm dan 366 nm
Penampak noda : Reagen 25% Folin-Ciocalteu phenol, menunjukkan
adanya fenol
Pembanding : Asam tannin, referensi adanya fenol
Rf : 0.82 dan 0.91
(Nalina, 2007)
(2) Dapat juga dengan kondisi analisis berikut.
Fase diam : Silica Gel
Fase gerak : Kloroform : methanol : asam asetat glasial (90:10:1)
Deteksi : Reagen Folin-Ciocalteu phenol, menunjukkan adanya
fenol
Rf : 0.5 dan 0.6
(Chakraborty, 2011)
Ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan etil asetat dianalisis dengan KLT dengan
Fase diam : Silica Gel F254
Fase gerak : n-heksan : etil asetat ( 8:2 ; 7:3 ; 6:4 ; 5:5 )
Deteksi : Liebermen-Burchard
Fase gerak : Kloroform : metanol (7:3), toluen : etil asetat (6:4)
Penampak noda : FeCl3
Ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etilasetat masing-masing sebanyak 10 μl
ditotolkan dengan jarak 2 cm diantara pentotolan pada plat KLT, dimasukkan dalam bejana
kromatografi yang telah jenuh dengan larutan pengembang, kemudian dielusi sampai batas
pengembangan. Plat dikeluarkan lalu dikeringkan dan amati di bawah sinar UV, disemprot
dengan penampak noda, selanjutnya dipanaskan di oven pada suhu 110ºC selama 10 menit,
warna yang timbul diamati dan dihitung harga Rf-nya. Fase gerak n-heksan-etilasetat (8:2)
diperoleh Rf 0,41 dan 0,29 (ungu merah), dengan perbandingan (6:4) diperoleh Rf 0,84 dan
0,76 (ungu merah) yang menunjukkan adanya senyawa triterpen/streroid. Sedang dengan fase
gerak kloroform-metanol (7;3) diperoleh harga Rf 0,96 dan Rf 0,87 (hijau biru), Rf 0,77 dan
0,63 (biru hitam) menunjukkan adanya senyawa fenol (tanin dan flavonoid) (Reveny, Julia.,
2011).
Menurut Markham, 1988 harga Rf dan warna noda hasil KLT eluen terbaik metanol :
kloroform (1:39) di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm adalah :
2.4 Bentuk Sediaan dan Formula
Adapun bentuk sediaan yang akan dibuat adalah sediaan infusa daun sirih. Infusa
adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati dengan pelarut air
pada suhu 90°C selama 15 menit. Serkai selagi panas melalui kain flannel, tambahkan air
panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh volume yang dikehendaki. Untuk infusa
daun sena dan simplisia yang mengandung minyak atsiri harus diserkai setelah dingin. Karena
daun sena mengandung antrakuinon yang larut dalam air panas dan dapat menyebabkan rasa
mulas jika tedapat dalam jumlah besar. Sedangkan infusa yang mengandung minyak atsiri
dapat menguap jika langsung diserkai dalam keadaan panas. Selain itu simplisia yang
berlendir tidak boleh diperas, karena lender dapat menutupi lubang-lubang pada saringan
(Farmakope Indonesia, 1995).
Pada pembuatan ekstrak dengan metode lainnya, kandungan dari bahan tumbuhan dan
pelarut yang paling tepat untuk masing-masing kandungan harus diketahui terlebih dahulu.
Dengan zat pelarut yang tepat, zat aktif yang diinginkan akan terpisah dari bahan aslinya dan
bercampur dengan pelarut yang digunakan. Selanjutnya pemisahan zat aktif dari pelarutnya
dengan lebih mudah dilakukan untuk memperoleh zat aktif yang benar-benar murni. Dari sini
jelas terlihat bahwa metode pembuatan ekstrak dengan metode lainnya lebih rumit dan mahal
dibandingkan dengan metode pembuatan infusa. Walaupun begitu, penyarian dengan cara
infusa menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh
sebab itu, sari yang diperoleh dengan metode ini tidak dapat disimpan lebih dari 24 jam.
Pembuatan infusa daun sirih dilakukan dengan menghaluskan daun sirih yang sudah
kering sampai dengan 5/10 bagian (Farmakope Indonesia III, 1979). Derajat halus perlu
diketahui untuk menentukan alat penyaring yang akan digunakan, apakah kain flannel atau
kapas. Selanjutnya ditimbang sebanyak 10 gram, ditambah air secukupnya, dan dipanaskan
dalam pemanas air selama 15 menit, dihitung mulai suhu dalam panci mencapai 90°C sambil
sesekali diaduk. Setelah dingin, diserkai dengan kain flannel, kekurangan air ditambah dengan
air mendidih.
Infusa daun sirih dibuat dengan kadar 10% sebanyak 100 ml, maka jumlah daun sirih
yang dibutuhkan adalah:
dan volume air yang digunakan untuk menyerkai sama dengan volume infusa, yaitu 100 ml.
Untuk pembuatan sediaan infusa, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut.
1. Jumlah Simplisia
Kecuali dinyatakan lain, infus yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras dibuat
dengan menggunakan 10% simplisia.
Yang digunakan untuk infus harus mempunyai derajat halus sebagai berikut:
Serbuk (5/8) Akar manis, daun kumis kucing, daun sirih, daun sena
Serbuk (8/10) Dringo, kelembak
Serbuk (10/22) Laos, akar valerian, temulawak, jahe
Serbuk (22/60) Kulit kunir, akar ipeka, sekale kornutum
Serbuk (85/120) Daun digitalis
Umumnya untuk membuat sediaan infusa diperlukan penambahan air sebanayak 2 kali
berat simplisia. Air ekstra ini perlu karena simplisia yang kita gunakan pada umumnya dalam
keadaan kering.
4. Cara Menyerkai
Pada umumya infusa diserkai selagi panas, kecuali infusa simplisia yang mengandung
minyak aktsiri, diserkai setelah dingin.
METODE
Mengambil beberapa lembar daun sirih, memotong kecil-kecil dengan gunting dan
menimbang 10 gram yang selanjutnya dimasukan kedalam panci infus.
Mengukur 100 ml air dan memasukan kedalam panci infus yang berisi potongan daun sirih.
Memanaskan panci infus diatas penangas air (water bath) hingga suhu cairan 90oC dan
memanaskan selama 15 menit.
Mengangkat panci infus dan mendiamkan hingga suhu cairan mendekati suhu kamar.
Menyerkai infus kedalam botol yang telah dikalibrasi dengan bantuan kain flanel dan corong
gelas.
Menambahkan air masak kedalam serkaian hingga volume infusa 100 ml.
3.2 Metode Analisis
Warna Noda : Gelap (meredam sinar UV). Pada profil terdapat 4 noda dengan Rf ±
0,20 ; 0,52 ; 0,82.
3.2.2 KLT
Disiapkan eluen.
a. Bentuk : Larutan
b. Warna : Kuning kecoklatan, bening (seperti teh)
c. Bau : Aromatik
d. Rasa : Agak pahit, getir
3.3.2 Uji pH
pH = 5
Larutan infus terlebih dahulu dipekatkan dengan cara diuapkan diatas penangas
air dengan suhu tidak lebih dari 50ºC, hingga diperoleh larutan infus dengan konsentrasi
1250 mg/ml dihitung dari berat simplisia awal, kemudian disterilkan pada 121ºC selama
15 menit. Diameter zona hambatan infus daun sirih 250 mg/ml adalah 10,43 mm, 500
mg/ml adalah 12,33 mm, dan 100 mg/ml adalah 16,80 mm terhadap jamur Candida
albicans.
Rf teoritis = 0,52 ; 0,2 ; 0,82 ; 0,91 Rf sampel mendekati 0,82 dan 0,91 (0,83).
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan ekstrak dari daun sirih. Metode yang
digunakan untuk mendapatkan ekstrak daun sirih yaitu dengan metode infusa (yaitu
menggunakan pelarut berupa air kemudian dipanaskan pada suhu 90ºC selama 15 menit).
Sediaan cair infusa daun sirih (Piperis Betle Folium) dibuat dengan kadar 10% yang berarti 10
gram dalam 100 ml. Pertama untuk membuat sediaan cairan infus daun sirih 10% dibutuhkan
sebanyak 10 gram daun sirih, dengan cara mengambil beberapa lembar daun sirih, kemudian
dilakukan pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil dengan alat gunting. Tujuan
pemotongan ini yaitu agar daun sirih dapat menjadi bagian yang lebih kecil sehingga luas
permukaan daun yang kontak dengan pelarut menjadi lebih besar sehingga ekstrak yang
dihasilkan menjadi lebih baik. Tetapi pemotongan daun sirih ini tidak terlalu kecil atau tipis
karena minyak atsiri yang ada di dalam daun sirih akan rusak apabila pemotongan terlalu
tipis. Selanjutnya dilakukan penimbangan sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam panci
infus. Kemudian diukur air sebanyak 100 ml dan dimasukkan ke dalam panci infus di atas
penangas air (water bath) hingga suhu cairan mencapai 90ºC. Setelah suhu mencapai 90ºC
dilakukan pemanasan selama 15 menit. Pada waktu ini diharapkan semua kandungan minyak
atsiri dalam daun sirih akan larut ke dalam cairan. Selanjutnya panci infus didiamkan.
Kemudian dilakukan kalibrasi botol 100 ml. Disisi lain cairan infus disekai dengan bantuan
kain dan corong dan dimasukkan ke dalam botol yang telah dikalibrasi. Setelah itu
ditambahkan dengan aquadest sampai dengan volumenya mencapai 100 ml.
Setelah infusa selesai dibuat, kemudian dilakukan berbagai evaluasi sediaan salah
satunya dengan menguji dengan metode KLT. Sampel berupa infusa sirih ditotolkan sebanyak
4µl pada lempeng KLT. Adapun kondisi analisis yang digunakan dalam analisis ini adalah:
Deteksi : UV 254 nm
Setelah dilakukan penotolan, maka dilakukan eluasi terhadap lempeng KLT. Setelah
lempeng jenuh kemudian lempeng dikeringkan dan kemudian dilakukan deteksi dengan
menggunakan UV panjang gelombang 254 nm. Dilakukan perhitungan Rf dari noda yang
didapat sehingga diketahui senyawa apa saja yang terdapat dalam sediaan cair infusa daun
sirih dari nilai Rf yang didapatkan.
Pada praktikum kali ini, pada infusa yang dibuat juga dilakukan pemekatan sedian
dikarenakan infusa tersebut tidak naik pada mikropipet kapiler dan tidak nampak noda.
Pemekatan dilakukan dengan cara menuang infus pada cawan yang kemudian di panaskan
dengan uap yang berasal dari beaker yang berisi air pada hotplate. Setelah pemekatan selesai,
kemudian ditotolkan kempali pada lempeng KLT sebanyak 4µl dengan kondisi seperti pada
penentuan pola/profil kromatogram kemudian dilihat nodanya dibawah sinar UV, jika noda
terlihat kemudian dilakukan eluasi.
Dari hasil KLT, diamati warna noda dan dihitung Rf secara manual. Analisis kualitatif
ini dilakukan dengan membandingkan antara Rf sampel dan Rf pada teoritis. Tidak
menggunakan standar karena sediaan infusa tidak dihidrolisis, kami hanya memastikan sesuai
dengan teoritis atau tidak. Masing-masing kelompok melakukan 3x replikasi penotolan.
Jarak eluen = 8 cm
6,7 cm
Rf= 8 cm = 0,83
Karena Rf standar hanya ada pada teoritis (Nalina, 2007) yang menyatakan adanya senyawa
fenol yaitu 0,52; 0,2 ; 0,82 dan 0,91 maka sampel diatas kemungkinan mengandung senyawa
fenol karena mendekati teoritis yaitu 0,83.
Dari hasil kromatografi lapis tipis yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada infusa
daun sirih terdapat senyawa fenol. Dari hasil pustaka banyak menyebutkan bahwa infusa daun
sirih mengandung fenol. Dalam Materia Medika disebutkan bahwa zat yang memiliki khasiat
dalam daun sirih adalah minyak Atsiri yang mengandung fenol dan turunannya. Senyawa
seperti hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol, terpinen,
sesquiterpen, fenilpropen dan tannin juga ada pada sirih (Anonim,1978). Aktivitas dari fenol
sendiri adalah antisariawan, antiseptik, adstringen, dan anti batuk. Daun sirih banyak
digunakan untuk antiseptik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Metode ekstraksi yang dilakukan untuk membuat sediaan infusa daun sirih adalah
dengan metode infusa, yaitu menggunakan pelarut berupa air kemudian dipanaskan
pada suhu 90ºC selama 15 menit.
Hasil analisis senyawa aktif dengan metode KLT-Densitometri didapatkan nilai RF
sebesar 0,83. Nilai Rf ini sudah mendekati nilai Rf teoritis yaitu 0,82 yang
menandakan adanya senyawa fenol dalam sediaan tersebut.
Sediaan infusa daun sirih yang mengandung fenol ini biasa digunakan sebagai
antiseptik.
5.2 Saran
Pemotongan daun sirih sebaiknya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil agar
didapatkan kandungan fenol sesuai dengan yang diharapkan.
Lebih berhati-hati dalam melakukan percobaan karena berhubungan dengan
pemanasan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Moch. Futuchul. 2009. Formulasi Edible Film Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.)
sebagai Antihalitosis. Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
Chakraborty, D., Shah, B., 2011. Antimicrobial, Antioxidative And Antihemolytic Activity Of
Piper Betel Leaf Extracts. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences 3, 192– 199.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan Kosasih Padmawinata.
Bandung: Penerbit ITB.
Nalina, T. 2007. The Crude Aqueous Extract of Piper betle L. and its Antibacterial Effect
Towards Streptococcus mutans. American journal of biochemistry and biotechnology.
Sulistyawati, D. & Mulyati, S. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Infusa Daun Jambu Mete
(Anacardium ocodentak L.) terhadap Candida Aibicans. Biomedika.
LAMPIRAN