berbeda dari apa yang dipercayai target. Ketidaksesuaian pesan ini adalah masalah tingkatan; ada
beberapa pesan yang sangat tidak sesuai, sementara yang lainnya kurang begitu. Untuk
menimbulkan perubahan keyakinan dan sikap, suatu pesan setidaknya harus agak berbeda dari
posisi target saat itu; jika tidak, pesan tersebut hanya akan menegaskan kembali apa yang sudah
diyakini target. Sampai titik tertentu, tingkat perbedaan pesan yang lebih besar akan menyebabkan
perubahan sikap yang lebih besar (Jaccard, 1981). Sebuah pesan yang cukup berbeda akan lebih
efektif untuk mengubah keyakinan dan sikap target daripada pesan yang hanya memiliki sedikit
perbedaan. Tentu saja, pesan yang sangat berbeda mungkin saja memicu target akan menolak pesan
tersebut. Untuk mengatakan bahwa Ratu Inggris tingginya adalah tujuh kaki enam inci tinggi tentu
saja tidak bisa dipercaya.
Terdapat interaksi penting antara ketidaksesuaian pesan dan kredibilitas sumber. Sumber
dengan kredibilitas tinggi akan menghasilkan lebih banyak perubahan sikap dengan tingkat
perbedaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber berkredibilitas rendah. Dengan demikian,
target lebih cenderung menerima pesan yang sangat berbeda-beda dari sumber yang berkredibilitas
tinggi daripada dari sumber berkredibilitas rendah. Pesan yang sangat berbeda yang berasal dari
sumber berkredibilitas rendah tidak efektif karena target akan cepat menyimpang dari sumber.
Gambar 8.2 meringkas dampak gabungan dari ketidaksesuaian pesan dan kredibilitas komunikator
pada perubahan sikap.
PERUBAHAN SIKAP
Tinggi
Kredibilitas
Tinggi
Kredibilitas
Sedang
Kredibilitas
Rendah
Rendah
KETIDAKSESUAIAN PESAN
Ketiga kurva ini merangkum hubungan antara ketidaksesuain pesan dan perubahan sikap bersyarat
berdasarkan kredibilitas sumbernya. Perhatikan bahwa pesan yang berasal dari komunikator yang
kredibilitasnya rendah menghasilkan perubahan sikap yang maksimum pada tingkat ketidaksesuaian sedang,
sedangkan pesan yang berasal dari komunikator berkredibilitas tinggi menghasilkan perubahan sikap
maksimum pada tingkat ketidaksesuaian yang tinggi.
Banyak penelitian empiris melaporkan temuan yang konsisten dengan hubungan yang
ditunjukkan pada Gambar 8.2 (Aronson, Turner, & Carlsmith, 1963; Fink, Kaplowitz, & Bauer, 1983;
Rhine & Severance, 1970). Dalam satu penelitian, misalnya, peserta diberi pesan tertulis tentang
jumlah jam tidur efektif yang dibutuhkan orang setiap malamnya (Bochner & Insko, 1966). Pada
beberapa kasus tertentu, pesan tersebut dianggap berasal dari psikolog yang memenangkan
penghargaan Nobel (kredibilitas tinggi), sedangkan dikasus lainnya pesan tersebut dianggap berasal
dari direktur YMCA (kredibilitas menengah). Argumen yang terkandung dalam pesan sama bagi
semua peserta, dengan satu pengecualian penting. Dalam satu kasus pesan tersebut menganjurkan
bahwa orang memerlukan 8 jam tidur setiap malam; pada kasus lainnya, pesan menganjurkan 7 jam
tidur; yang lainnya, 6 jam tidur; dan seterusnya sampai turun ke nol jam tidur per malam. Sebagian
besar peserta mulai percaya bahwa orang membutuhkan sekitar 8 jam tidur setiap malam. Oleh
karena itu, pesan-pesan ini berbeda dalam hal tingkat ketidaksesuaiannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tidak sesuai posisi yang dianjurkan oleh
sumber berkredibilitas tinggi (pemenang penghargaan Nobel), semakin besar pula jumlah perubahan
sikap yang terjadi. Namun, jika sumber ini berpendapat posisi yang paling ekstrim (nol jam tidur)
peserta akan menolak untuk percaya pesan tersebut. Pola yang sama terjadi juga pada sumber yang
berkredibilitas menengah (direktur YMCA), hanya saja efektivitasnya memuncak pada tingkat
ketidaksesuaian menengah (3 jam tidur setiap malam). Bagi posisi yang sangat ekstrim (2 jam tidur
atau kurang), Sumber berkredibilitas menengah kurang efektif. Dengan demikian, penelitian ini
menunjukkan bahwa sumber dengan kredibilitas yang tinggi menghasilkan jumlah perubahan sikap
yang lebih besar pada tingkat ketidaksesuaian yang lebih tinggi.
Perasaan Takut
Hampir semua pesan yang dimaksudkan untuk membujuk menggunakan baik daya tarik rasional
atau daya tarik emosional. Daya tarik rasional itu bersifat faktual; mereka memberikan bukti
tertentu yang bisa diverifikasi untuk mendukung klaim. Daya tarik rasional sering digunakan untuk
mengatasi kebutuhan yang dirasakan oleh target dan memberikan solusi kehilangan; yaitu, pesan ini
mengurangi dorongan. Daya tarik emosional, sebaliknya, mencoba untuk membangkitkan dorongan
dasar dan merangsang munculnya kebutuhan dimana sebelumnya tidak ada yang muncul. Pesan ini
menciptakan dorongan.
Mungkin daya tarik emosional yang paling umum adalah pesan yang melibatkan rasa takut.
Pesan yang membangkitkan rasa takut sangat berguna ketika sumber mencoba untuk memotivasi
target untuk mengambil beberapa tindakan tertentu. Seorang calon politikus, misalnya, bisa saja
memperingatkan bahwa jika pemilih memilih pesaingnya, bangsa ini akan terlibat dalam konflik
internasional. Demikian juga, dalam iklan anti rokok di TV, korban meninggal karena kanker
tenggorokan dan emfisema memperingatkan orang-orang muda bahwa jika mereka merokok,
mereka juga mungkin akan berakhir seperti korban dalam iklan tersebut. Dalam setiap kasus ini,
sumber menggunakan komunikasi yang membangkitkan rasa takut. Pesan jenis ini mengarahkan
perhatian target ke beberapa hal negatif atau hasil yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi
kecuali target mengambil tindakan tertentu yang dianjurkan oleh sumber tersebut (Higbee, 1969).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa komunikasi yang membangkitkan rasa takut
dengan tingkat yang tinggi menghasilkan lebih banyak perubahan sikap dibandingkan komunikasi
yang membangkitkan rasa takut tingkat rendah (Dembroski, Lasater, & Ramires, 1978; Leventhal,
1970). Jika suatu pesan membangkitkan rasa takut dan target yakin bahwa dengan mengikuti pesan
tersebut akan menunjukkan bagaimana cara mengatasi rasa takut tersebut, maka mereka mungkin
akan menganalisis pesan tersebut dengan hati-hati dan kemudian mengubah sikap mereka (Petty,
1995). Komunikasi yang membangkitkan rasa takut efektif untuk membujuk orang agar mereka
melakukan banyak hal, termasuk mengurangi intensitas merokok mereka, berkendara dengan lebih
aman, meningkatkan kesehatan gigi mereka, mengubah sikap mereka terhadap Komunis Cina, dan
sebagainya (Insko, Arkoff,& Insko 1965; Leventhal, 1970; Leventhal & Singer, 1966).
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pesan yang membangkitkan rasa takut
bisa jadi gagal jika pesan tersebut terlalu kuat dan terlalu menimbulkan banyak ketakutan. Jika orang
merasa sangat terancam, mereka bisa menjadi defensif dan menolak realitas atau pentingnya
ancaman tersebut daripada berpikir rasional tentang masalah tersebut (Johnson, 1991; Lieberman&
Chaiken, 1992). Dalam hal ini, sebuah pesan yang membangkitkan rasa takut tingkat menengah
mungkin terbukti lebih efektif daripada pesan yang membangkitkan rasa takut tingkat tinggi.
Dampak dari komunikasi yang membangkitkan rasa takut dengan jelas ditunjukan oleh
sebuah penelitian dimana mahasiswa menerima pesan advokasi inokulasi terhadap tetanus (Dabbs
& Leventhal, 1966). Pesan-pesan ini menjelaskan bahwa tetanus mudah terjangkit dan menimbulkan
konsekuensi yang fatal bahkan serius. Pesan tersebut juga menunjukkan inokulasi menyerang
tetanus, yang dapat diperoleh dengan mudah, memberikan perlindungan yang efektif terhadap
penyakit. Berdasarkan perlakuan dalam eksperimen ini, peserta menerima pesan dengan rasa takut
yang tinggi, rasa takut yang rendah, atau kontrol komunikasi. Dalam kondisi rasa takut yang tinggi,
pesan tersebut menjelaskan tetanus dalam istilah yang sangat jelas (sehingga menimbulkan rasa
takut dan kekhawatiran yang tinggi). Dalam kondisi rasa takut yang rendah, pesan tersebut
menjelaskan tetanus dalam istilah yang kurang rinci, (sehingga menimbulkan rasa takut yang rendah
atau menengah). Dalam kondisi kontrol komunikasi, pesan tersebut hanya memberikan sedikit
informasi tentang penyakit ini (sehingga tidak membangkitkan rasa takut).
Untuk menentukan efektivitas pesan, para mahasiswa tersebut ditanyai apakah mereka pikir
penting untuk melakukan inokulasi terhadap tetanus dan apakah mereka benar-benar bermaksud
untuk melakukan inokulasi juga. Tanggapan menunjukkan bahwa mahasiswa yang mendapatkan
pesan yang membangkitkan rasa takut tingkat tinggi memiliki niat kuat untuk melakukan inokulasi
dibandingkan mereka yang mendapatkan pesan lainnya. Selain itu, catatan yang disimpan di
pelayanan kesehatan universitas menunjukkan bahwa mahasiswa yang menerima pesan dengan
rasa takut yang tinggi lebih cenderung benar-benar melakukan inokulasi selama bulan berikutnya
dibandingkan dengan mahasiswa yang menerima pesan lain. Secara keseluruhan, rasa takut yang
lebih tinggi mengarah pada perubahan sikap dan perilaku yang lebih besar dalam penelitian ini.
Secara umum, pesan yang membangkitkan rasa takut hanya efektif jika kondisi tertentu
bertemu. Pertama, pesan tersebut harus menegaskan bahwa jika target tidak mengubah perilaku, ia
akan menerima konsekuensi negatif yang serius. Kedua, pesan tersebut harus menunjukkan secara
meyakinkan bahwa konsekuensi negatif itu sangat mungkin terjadi. Ketiga, pesan tersebut harus
merekomendasikan tindakan tertentu itu, dimana jika tindakan tersebut dilakukan, target akan
terhindar dari konsekuensi negatif tersebut. Sebuah pesan yang memprediksi konsekuensi negatif
tapi gagal menjamin target bahwa ia dapat menghindari konsekuensi tersebut dengan mengambil
tindakan tertentu hanya akan menghasilkan sedikit perubahan sikap. Sebaliknya, pesan tersebut
akan membuat target merasa bahwa konsekuensi negatif tak terelakkan lagi terlepas dari apa yang
dia mungkin lakukan (Ayub, 1988; Maddux & Rogers, 1983; Patterson & Neufeld, 1987).
Yang manakah yang lebih efektif, pesan satu sisi atau pesan dua sisi? Jawabannya sangat
bergantung pada sifat target sendiri. Pesan satu sisi memiliki keuntungan yang tidak rumit dan
mudah dipahami. Pesan ini lebih efektif bila target sudah setuju dengan sumber; dan juga cenderung
efektif ketika target tidak tahu banyak tentang masalah yang disampaikan, karena pesan ini
mempertahankan ketidaktahuan target agar target tidak menentang sudut pandang. Sementara itu,
pesan dua sisi lebih kompleks, namun pesan ini memiliki keuntungan membuat sumber terlihat tidak
berat sebelah dan lebih terpercaya. Pesan ini akan lebih efektif ketika target pada awalnya
menentang sudut pandang sumber atau tahu banyak tentang posisi alternatif (Karlins & Abelson,
1970; Sawyer, 1973).
Target
Sejauh ini, kita telah membahas bagaimana karakteristik dari sumber dan isi dari pesan akan
mempengaruhi persuasi. Namun juga benar bahwa karakteristik target memainkan peran dalam
persuasi. Salah satu karakteristik penting dari target yang mempengaruhi persuasi adalah tingkat
kecerdasan target, sejauh mana target terlibat dalam suatu masalah. Karakteristik penting lainnya
adalah apakah target sudah kebal terhadap persuasi. Berikut ini kita akan membahas kedua hal
tersebut.
Keterlibatan dengan masalah mempengaruhi cara target mengolah suatu pesan. Ketika
target sangat terlibat dengan masalah, target ingin meneliti pesan tersebut dengan teliti dan berpikir
hati-hati tentang isinya. Argumen yang kuat cenderung akan menghasilkan perubahan sikap
substansial, sedangkan yang argumen yang lemah akan menghasilkan sedikit atau tidak ada
perubahan sikap. Sebaliknya, target yang tidak terlibat dalam masalah kurang memiliki motivasi
untuk berpikir hati-hati tentang isi pesan. Jika perubahan dalam sikap terjadi, pesan tersebut akan
menghasilkan lebih dari sekedar faktor peripheral (seperti keahlian atau keterpercayaan sumber),
daripada dari argumen mereka sendiri (Chaiken, 1980; Leippe &Elkin, 1987; Petty, Cacioppo, &
Heesacker, 1981).
Dalam sebuah penelitian, pesan yang serupa dengan yang baru saja dijelaskan disampaikan
kepada sekelompok mahasiswa (Petty, Cacioppo, & Goldman, 1981). Pesan tersebut mengusulkan
bahwa senior perguruan tinggi diminta untuk mengambil ujian komprehensif sebelum kelulusan.
Tiga variabel independen dimanipulasikan dalam penelitian ini. Variabel pertama adalah keterlibatan
pribadi dengan masalah tersebut. Setengah dari para peserta diberitahu bahwa kebijakan baru ini
akan berlaku tahun depan di kampus mereka (keterlibatan tinggi), sedangkan setengah peserta yang
lainnya diberitahu bahwa kebijakan ini akan diberlakukan sepuluh tahun yang akan dating
(keterlibatan rendah). Variabel kedua adalah kekuatan argumen pesan. Setengah peserta menerima
delapan argumen yang kuat dan argumen yang meyakinkan untuk mendukung usulan tersebut;
peserta lainnya menerima delapan argumen yang lemah. Variabel ketiga adalah keahlian dari
sumber. Setengah dari peserta diberitahu bahwa sumber pesan itu berasal dari professor pendidikan
di Princeton University (Sumber yang keahliannya tinggi); setengah peserta lainnya diberitahu bahwa
sumber pesan ini adalah seorang siswa di sebuah SMA lokal (sumber yang keahliannya rendah).
Hasil dari penelitian ini digambarkan dalam Gambar 8.3. Dalam kondisi keterlibatan tinggi,
sikap target terhadap ujian komprehensif khususnya ditentukan oleh kekuatan argumen. Argumen
SIKAP SETELAH MENERIMA PESAN
Dengan demikian, keterlibatan target dengan masalah menentukan faktor mana yang paling
mempengaruhi perubahan sikap. Bagi peserta dengan keterlibatan tinggi, kekuatan argumen lebih
Argumen Kuat
penting daripada keahlian sumber (faktor periferal) karena peserta peduli tentang masalah tersebut.
Bagi mereka dengan keterlibatan rendah, keahlian sumber lebih penting karena peserta hanya
memiliki sedikit motivasi untuk meneliti argumen. Temuan serupa telah dilaporkan baru-baru ini
oleh Chaiken dan Maheswaran (1994).
Argumen Lemah
Argumen Lemah
Tidak semua orang memiliki eksposur yang sama terhadap media massa. Misalnya, di
Amerika Serikat, wanita lebih sering menonton televisi daripada pria. Anak-anak dan pensiunan lebih
sering menonton televisi daripada remaja dan orang dewasa yang sudah bekerja. Menonton televisi
berhubungan negatif dengan tingkat pendidikan, pendapatan, dan status pekerjaan (Comstock dkk.,
1978; Biro Iklan Koran Bureau, 1980).
Setiap tahunnya, pengiklan menghabiskan puluhan miliar dolar untuk kampanye media.
Namun demikian, sebagian besar kampanye media tidak menghasilkan banyak perubahan sikap.
Secara umum, pesan yang dikirim melalui media massa hanya memiliki dampak kecil pada sikap
target (Barber & Grichting, 1990; Bauer, 1964). Perhatikan, misalnya, apa yang terjadi selama
kampanye presiden. Segera setelah konvensi politik mencalonkan kandidat mereka di tengah musim
panas, kebanyakan orang Amerika tahu bagaimana mereka akan memilih di pemilu November
mendatang. Meskipun partai sudah menghabiskan jutaan dolar untuk iklan politik selama kampanye
musim gugur, mereka tidak akan mengubah banyak sikap pemilih. Dalam kebanyakan pemilihan
presiden, hanya sekitar 7 sampai 10% dari pemilih beralih preferensi mereka mengenai calon selama
masa kampanye. Sulit bagi pengkampanye untuk mengubah sikap politik melalui media massa.
Tentu saja, dari perspektif lain, pergeseran 7 sampai 10% mungkin sangat signifikan. Banyak
pengiklan profesional dan politisi puas jika pesan media mereka bisa menggeser opini publik
beberapa persentase pada arah yang dituju. Dalam sebuah kompetisi politik, keuntungan sebesar 1
atau 2% mungkin cukup untuk memenangkan pemilu. Dengan demikian, meskipun kampanye media
mungkin mengecewakan dalam hal menghasilkan perubahan sikap secara luas, kampanye media
mungkin sukses secara bersamaan dari sudut pandang supaya kandidat terpilih (Mendelsohn, 1973).
Bahkan perubahan sikap yang kecil juga mungkin cukup untuk mengembalikan modal kampanye
media dalam pemilu.
Mengapa kampanye media biasanya hanya mampu menghasilkan perubahan sikap yang
kecil? Ada beberapa alasan. Pertama, ada fenomena eksposur selektif. Banyak pesan gagal
menjangkau target yang mereka ingin pengaruhi, karena target kebanyakan terpengaruh oleh
sumber-sumber yang mereka setujui. Bukan menjangkau orang yang tidak setuju dengan pendapat
pesan tersebut (dan yang pendapatnya bisa dirubah), banyak media komunikasi diterima oleh orang
yang sudah setuju dengan pesan tersebut (dan yang pendapatnya diperkuat, tidak berubah). Dalam
paparan media, orang lebih dipengaruhi oleh pesan yang mendukung daripada pesan yang tidak
mendukung sikap mereka yang sudah ada sebelumnya (Klitzner, Gruenewald, & Bamberger, 1991;
Sears & Freedman, 1967).
Kedua, walaupun target menerima pesan dari media, mereka mungkin menolak atau
menyimpang dari sumber. Penerima media komunikasi tentunya tidak pasif, dan dampak dari pesan
sangat bergantung pada penggunaan dan gratifikasi yang bisa target peroleh dari informasi tersebut
(Dervin, 1981; Swanson, 1979). Sebagai contoh, untuk menjual produk konsumen, persuasi media
lebih efektif ketika keterlibatan target dengan keputusan rendah dan ketika ia merasakan perbedaan
yang relatif kecil antara produk alternatif. Sebaliknya, dampak dari media akan sedikit ketika
keterlibatan target dengan keputusan tinggi dan perbedaan antara produk jelas muncul (Chaffee,
1981; Ray, 1973).
Ketiga, walaupun target merasa pesan media tersebut menarik, ia mungkin akan
mendapatkan tekanan yang menghambat perubahan sikap (Atkin, 1981). Beberapa tekanan ini
berasal dari kelompok-kelompok sosial (seperti keluarga, teman, dan rekan kerja); kelompok-
kelompok ini dapat memberikan pengaruh yang membatalkan dampak media. Selain itu, target
terkena konflik komunikasi persuasif dan lintas-tekanan yang ditransmisikan melalui media.
Misalnya, iklan bir mungkin akan sangat sukses jika hanya ada satu produsen yang mengiklankan
produknya. Tetapi karena banyak merek lainnya juga beriklan, pesan media menjadi imbang satu
sama lain.
Selain memperkuat sikap yang sudah ada sebelumnya, media massa berhasil menciptakan
sikap terhadap objek yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak penting untuk target. Pengiklan
menggunakan kampanye media untuk menumbuhkan sikap positif terhadap produk baru yang
diperkenalkan (sereal sarapan, mainan dengan rancangan baru untuk anak-anak). Partai politik juga
menggunakan kampanye media untuk menciptakan sikap positif terhadap kandidat yang kurang
terkenal sebelumnya. Misalnya, mantan Presiden Jimmy Carter yang terkenal dan banyak disukai
oleh publik di Amerika. Tapi ketika ia pertama kali mencalonkan sebagai presiden pada tahun 1976,
situasinya sangat berbeda. Walaupun Carter telah menjadi gubernur Georgia, ia hampir sama sekali
tidak dikenal diluar Negara Amerika bagian Selatan. Untuk memenangkan nominasi demokratis
dalam pemilu presiden, Carter sangat perlu membuat namanya terkenal dikalangan pemilih.
Sukarelawan politiknya mengatasi masalah inii dengan membuat kampanye media yang bertajuk
“Jimmy siapa?” Dengan pertanyaan ini, kampanye tersebut memancing keingintahuan pemilih dan
kemudian membangun pandangan positif tentang kandidat yang sebelumnya tidak terkenal ini
(Patterson, 1980). Tingkat masalah yang lebih rendah namun dengan masalah yang sama dihadapi
oleh Michael Dukakis dalam pemilu tahun 1988 dan oleh Bill Clinton dalam pemilu tahun 1992. Tidak
ada satupun dari para kandidat ini terkenal diluar Negara bagiannya masing-masing, dan mereka
semua mencoba untuk menggunakan media untuk membangun sudut pandang positif dari public
yang akan memilih dalam pemilu.
Pengaruh berdasarkan janji dan ancaman pada dasarnya berbeda dari persuasi. Ketika
menggunakan persuasi, sumber mencoba untuk mengubah cara pandang target terhadap suatu
situasi. Sorenson, misalnya, mungkin telah berusaha untuk membujuk anak yang menyekop salju
dengan cara yang menyenangkan atau jika anak tersebut mau membersihkan jalan dan trotoarnya
dia akan menjadikan anak tersebut tetangga yang baik. Daya tarik tersebut, jika berhasil, akan
mengubah cara anak tersebut dalam melihat situasi, tetapi daya tarik tersebut tidak akan benar-
benar mengubah situasi itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan penggunaan janji atau ancaman,
dimana sumber membangun kembali situasi. Dengan menjanjikan akan membayar uang jika anak itu
mau membersihkan jalan, Sorenson telah menambahkan kemungkinan penguatan baru dalam
situasi tersebut – uang sebagai imbalan membersihkan salju. Ia berharap anak tersebut akan patuh
pada permintaannya.
Ketika sumber mengeluarkan ancaman, sanksi yang diancam bisa jadi dalam bentuk apapun
– pemukulan fisik, hilangnya pekerjaan, masalah keuangan, kehilangan kekasih. Hal yang penting
disini adalah supaya ancaman bisa efektif, target harus ada keinginan untuk menghindari sanksi. Jika
karyawan yang diancam oleh bosnya ternyata memiliki pekerjaan baru ditempat lain, dia tidak akan
peduli jika bosnya itu berniat untuk memotong gajinya, dan ancaman akan berdampak kecil.
Janji hampir mirip dengan ancaman, bedanya janji melibatkan imbalan kontingen, bukan
hukuman. Seseorang yang menggunakan janji mengatakan, “Jika Anda melakukan X (yang saya
inginkan), maka saya akan melakukan Y (yang Anda inginkan).” Perhatikan bahwa janji melibatkan
imbalan yang dikendalikan oleh sumber. Richard Sorenson berjanji akan membayar 10 dolar jika
anak tetangganya membersihkan jalan dan trotoar. Orang sering menggunakan janji-janji dalam
pertukaran, baik moneter dan nonmoneter.
Dengan mengeluarkan janji, sumber menciptakan beberapa pilihan bagi target. Anggaplah,
misalnya, sumber membuat janji, “Saya akan memberikan Anda 10 dolar jika kamu membersihkan
salju dari jalan masuk ini.” Sebagai tanggapannya, target bisa (1) mematuhi permintaan sumber dan
membersihkan jalan masuk, (2) menolak untuk mematuhi dan mengabaikan masalah tersebut, atau
(3) membuat tawaran balik (Seperti “Bagaimana jika 15 dolar? Jalan masuknya panjang, dan saljunya
sangat dalam.”). Dalam cara yang sama, ancaman menciptakan pilihan bagi target. Setelah ancaman
dikeluarkan, target bisa (1) mematuhi ancaman tersebut, (2) menolak untuk mematuhi, atau (3)
mengeluarkan ancaman balik (Boulding, 1981).
Kisaran kemungkinan tanggapan yang akan muncul dari penggunaan ancaman dan janji
menimbulkan pertanyaan mendasar: Dalam kondisi seperti apa ancaman dan janji-janji akan berhasil
menghasilkan kepatuhan, dan dalam kondisi apa pengguanaan dua hal tersebut akan gagal?
Karakteristik tertentu dari ancaman dan janji-janji, seperti seberapa besar dan kredibilitas mereka,
mempengaruhi probabilitas target akan mematuhi.
Prinsip yang sama berlaku juga untuk ancaman. Kepatuhan dengan menggunakan ancaman
bervariasi secara langsung dengan besarnya hukuman yang disertakan. Faktor-faktor lainnya sama,
target akan menghentikan ancaman yang konsekuensinya sepele, tetapi mereka cenderung akan
mematuhi ancaman yang konsekuensinya besar dan serius (Miranne & Gray, 1987).
Menggertak atau tidak, setiap orang yang mengeluarkan ancaman ingin targetnya percaya
bahwa ancamannya kredibel dan ingin target mematuhi tuntutannya. Dia tidak ingin target
mengiranya hanya menggertak. Kesimpulannya, ancaman yang sukses adalah ancaman yang
mendapatkan kepatuhan tanpa benar-benar harus melakukan ancaman tersebut. Jika target
menolak untuk mematuhi, sumber harus mengakui bahwa ia hanya menggertak atau menanggung
resiko melakukan ancaman tersebut.
Untuk menilai kredibilitas ancaman, target mengukur resiko dari sumber yang mengeluarkan
ancaman. Ancaman yang terlalu beresiko untuk dilakukan tampaknya kurang kredibel daripada
ancaman yang kurang beresiko. Target juga memperkirakan kredibilitas ancaman dari identitas sosial
sumber. Ancaman yang melibatkan kekerasan fisik, misalnya, akan lebih kredibel jika ancaman
tersebut berasal dari seorang ahli karate yang mengenakan sabuk hitam daripada jika ancaman itu
berasal dari orang lemah yang berat badannya 97 pound.
Model SEV
Subjective expected value (SEV) dari sebuah ancaman adalah ukuran tekanan yang target rasakan
dari ancaman. Tingkat SEV tergantung pada beberapa faktor. SEV meningkat seiring meningkatnya
kredibilitas ancaman dan seiring meningkatnya besaran hukuman dari ancaman tersebut (Stafford
dkk., 1986; Tedeschi, Bonoma, & Schlenker, 1972). Ketika kredibilitas dan besaran hukuman tinggi,
SEV ancaman akan tinggi juga; akibatnya, target akan merasakan banyak tekanan untuk mematuhi.
Ketika kredibilitas dan besaran hukuman rendah, SEV juga akan rendah; oleh karena itu, target akan
merasa sedikit atau tidak ada tekanan untuk mematuhi. Ketika salah satu tinggi dan lainnya rendah
(seperti, misalnya, jika besaran hukuman tinggi tetapi kredibilitasnya rendah), ancaman akan
memiliki SEV rendah sampai menengah.
Efektivitas ancaman model SEV memprediksi bahwa kepatuhan target dengan ancaman
tergantung pada dua faktor: SEV ancaman dan resiko yang target dapatkan jika mematuhi ancaman
tersebut (Tedeschi dkk., 1972). Artinya, ketika memutuskan untuk mematuhi ancaman, target akan
memperkirakan SEV ancaman dan resiko kepatuhan. Faktor-faktor ini memiliki efek yang berlawanan
pada kepatuhan. Probabilitas kepatuhan akan meningkat langsung sebagai fungsi SEV tapi
probabilitas tersebut akan berkurang sebagai fungsi dari resiko kepatuhan target.
Berbagai penelitian empiris telah mendukung efektivitas ancaman model SEV (Faley &
Tedeschi, 1971; Grasmick & Bryjak, 1980; Stafford dkk., 1986). Contohnya, dalam satu penelitian
laboratorium yang dilakukan oleh Horai dan Tedeschi (1969), beberapa pasangan memainkan
permainan yang diulang lebih dari 150 kali percobaan. Pasangan-pasangan ini terdiri dari satu
anggota yang merupakan subjek naif dan anggota lainnya adalah sekutu dari peneliti yang meminta
mereka untuk mengikuti strategi tertentu. Baik subjek dan sekutu diminta untuk membuat pilihan
tertentu yang menentukan bagaimana poin akan dialokasikan dalam setiap percobaannya. Tujuan
dari permainan ini adalah untuk memperoleh poin sebanyak mungkin.
Dalam permainan ini, kemampuan untuk mengancam secara sepihak; yaitu, sekutu bisa
mengeluarkan ancaman namun subjek tidak bisa. Untuk mempengaruhi pilihan subjek dan
memperoleh poin tambahan, sekutu mengeluarkan bentuk ancaman seperti: “Jika Anda tidak
memilih satu pilihan di percobaan selanjutnya, saya akan mengambil [salah satu nomor] poin dari
lawan Anda.” Besaran hukuman dalam ancaman oleh sekutu tersebut bisa saja tinggi (20 poin),
menengah (10 poin), atau rendah (5 poin), tergantung pada tindakan dalam eksperimen tersebut.
Kredibilitas ancaman ini dimanipulasi dengan membedakan frekuensi hukuman yang dilakukan
sekutu jika subjek tidak mau mematuhi. Dalam kondisi kredibilitas tinggi, sekutu mengeluarkan 90%
ancaman, dalam kondisi kredibilitas menengah 50%, dan dalam kondisi kredibilitas rendah sebesar
10%.