Anda di halaman 1dari 19

Model Potensi Kembalinya Norma

Norma kelompok dapat dianggap memiliki struktur dan bentuk. Salah satu pendekatan yang
bermanfaat adalah model potensi kembali (Jackson, 1965), yang menganggap norma memiliki dua
dimensi – dimensi perilaku dan dimensi evaluasi. Dimensi perilaku menentukan frekuensi atau
jumlah perilaku yang diatur oleh norma kelompok, sedangkan dimensi evaluasi mengacu pada
respon anggota lainnya terhadap perilaku tersebut. Evaluasi perilaku dari anggota lain berkisar dari
evaluasi positif ke negatif.

Sebagai ilustrasi, Gambar 13.2 menampilkan tiga norma (norma berlabel A, B dan C). Ketiga
norma tersebut digambarkan dengan kurva dalam ruang yang didefinisikan oleh dimensi perilaku
dan dimensi evaluasi. Karena kurva mewakili norma-norma yang berbeda, mereka memiliki bentuk
yang berbeda pula; namun dalam setiap kasus mereka menunjukkan bahwa evaluasi adalah fungsi
dari perilaku.

Penerimaan
Norma B
Norma A
DIMENSI EVALUASI

Rendah Tinggi DIMENSI


Pengabaian PERILAKU

Norma C

Penolakan

Gambar 13.2 Kurva Potensi Kembali


Kurva dalam gambar ini mewakili tiga norma kelompok. Dalam setiap kasus, jumlah yang bervariasi dari
perilaku bertemu dengan beberapa jumlah penerimaan atau penolakan tertentu dari anggota kelompok. Di
bawah norma A, misalnya, jumlah perilaku yang rendah tidak diterima, sedangkan jumlah perilaku yang tinggi
diterima. Di bawah norma B, jumlah perilaku yang menengah diterima, sedangkan jumlah perilaku yang
sangat rendah dan sangat tinggi tidak diterima. Di bawah norma C, jumlah perilaku yang tinggi tidak diterima,
sedangkan jumlah perilaku yang rendah diabaikan.

SUMBER: Diadaptasi dari Jackson, 1965.

Misalkan norma A (Gambar 13.2) berkaitan dengan kegiatan produktif oleh sekelompok
editor yang bekerja pada sebuah majalah. Di bawah norma A, anggota mendorong dan memberikan
tingkat penghargaan yang lebih tinggi atas perilaku tertentu, seperti mengedit halaman naskah per
hari. Di bawah norma ini, semakin banyak halaman yang diedit oleh anggota, semakin ia akan
dihargai. Setiap anggota yang menghasilkan dimensi perilaku dengan tingkat yang rendah akan
menerima penilaian negatif dari anggota kelompok lainnya. Dia mungkin dikritik atau dihukum atau
mungkin dikenakan denda. Hanya jika ia bekerja dengan dimensi perilaku yang tingkatnya lebih
tinggi dia akan menerima evaluasi positif.

Norma B menawarkan kontras yang menarik dengan norma A. Sementara norma A pada
dasarnya mengatakan “lebih banyak lebih baik”, norma B mengatakan bahwa ada hal seperti
memproduksi terlalu banyak. Di bawah norma B, anggota akan dihargai jika ia memproduksi dalam
kisaran tengah dimensi perilaku. Produktivitas dengan tingkat yang sangat rendah atau tingkat yang
sangat tinggi akan dievaluasi secara negatif dan mengecewakan. Ketika anggota melihat bahwa salah
satu di antara mereka bekerja jauh lebih giat daripada yang lain, mereka mungkin akan menolak
“kelebihan” ini.

Norma jenis ini terbukti dalam studi klasik awal tentang kelompok kerja industri
(Roethlisberger & Dickson, 1939). Sebuah kelompok yang berisikan 14 orang, dikenal sebagai Bank
Wiring Group, bank yang mengurus peralatan switching telepon untuk Western Electric Company.
Manajemen perusahaan baru-baru ini telah menetapkan rencana upah insentif penghargaan tingkat
produktivitas yang lebih tinggi pada pekerja individu. Manajer tersebut percaya rencana ini akan
membawa peningkatan produktivitas Bank Wiring Group. Anehnya, bagaimanapun, para pekerja
terus memproduksi dimensi perilaku pada tingkat yang sama seperti sebelumnya, meskipun ini
merupakan peluang untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini terjadi karena penelitian
berikutnya mengungkapkan, kelompok memiliki norma produksi yang menyerupai norma B pada
Gambar 13.2. Pekerja takut bahwa jika mereka mulai memproduksi dengan tingkat yang lebih tinggi,
perusahaan mungkin akhirnya mengganti jadwal gaji dan masih memerlukan tingkat produktivitas
yang lebih tinggi untuk upah yang diberikan. Oleh karena itu, kelompok memberlakukan norma
produksi sendiri pada masing-masing anggota. Jika seorang pria bekerja terlalu giat, ia akan diejek
oleh anggota lain sebagai “pengejar nilai”. Jika ia memproduksi terlalu sedikit, ia diejek “lamban”.
Jika ia tidak menanggapi teguran lisan ini, dia akan segera mendapatkan sanksi lain disebut
“teguran”, dimana anggota lain akan memukul lengannya. Meskipun ini mungkin tampak biasa saja,
kelompok sering mengembangkan bentuk sanksi khusus yang mereka buat sendiri. Yang lebih
penting adalah bukan bentuk, tapi apakah sanksi tersebut efektif dalam mengatur perilaku
anggotanya.

Norma-norma yang telah kita bahas pada titik ini – A dan B – melibatkan baik evaluasi positif
maupun evaluasi negatif. Norma lainnya, bagaimanapun, mungkin berkaitan dengan perilaku yang
anggota kelompok anggap tidak diinginkan. Misalnya, di bawah norma C pada Gambar 13.2, anggota
kelompok dapat mentolerir tingkat rendah perilaku yang tidak diinginkan, tapi reaksi mereka
menjadi lebih negatif jika perilaku yang tidak diinginkan tersebut lebih sering atau intens terjadi.
Meskipun norma seperti C tidak mungkin berkaitan dengan kegiatan produktif, norma ini mungkin
berlaku untuk perilaku seperti berbicara terlalu banyak, terlalu banyak meminta kepada orang lain,
mengganggu, dan sebagainya.

Setiap norma memerlukan berbagai perilaku yang bisa ditoleransi – dimana sebagian dari
dimensi perilaku disetujui dan dievaluasi oleh anggota kelompok secara positif. Misalnya, pada
Gambar 13.2, norma A membatasi berbagai perilaku yang bisa ditoleransi pada dimensi perilaku
dengan tingkat yang paling tinggi, sementara norma B membatasi berbagai perilaku yang bisa
ditoleransi di tingkat menengah dimensi perilaku dan norma C membatasi berbagai perilaku yang
bisa ditoleransi hanya pada tingkat terendah dimensi perilaku. Perilaku diluar kisaran ini tidak
ditoleransi atau disetujui, sedangkan perilaku dalam kisaran ini ditoleransi dan disetujui.
Karakteristik lain dari norma adalah intensitasnya, yang mengacu pada berbagai potensi
kurva kembali dari titik tertinggi ke titik terendah, baik di atas dan di bawah titik indiferen. Intensitas
norma mencerminkan kekuatan perasaan kelompok (apakah setuju atau tidak setuju) mengenai
perilaku tersebut. Pada Gambar 13.2, anggota kelompok merasa lebih yakin tentang perilaku yang
diatur oleh norma B dibandingkan perilaku yang diatur oleh norma C. Norma yang mempengaruhi
pencapaian tujuan kelompok penting sering memiliki intensitas tinggi, sedangkan norma tentang
selera pribadi (seperti gaya berpakaian atau cara berbicara) memiliki intensitas yang lebih rendah.

Pengaruh Mayoritas dan Konformitas


Istilah konformitas berarti ketaatan individu terhadap norma kelompok atau norma standar. Kita
mengatakan bahwa anggota kelompok patuh pada norma yang diberikan saat perilakunya jatuh
dalam kisaran perilaku yang bisa ditoleransi oleh norma tersebut. Tidak diragukan lagi sebagian
besar perilaku yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari melibatkan konformitas terhadap satu
norma kelompok atau yang lainnya. Anggota kelompok sering mengubah perilaku mereka sehingga
perilakunya akan sesuai dengan norma-norma kelompok.

Namun demikian, konformitas tidak dapat diterima begitu saja; anggota kelompok sering
patuh tapi tidak selalu. Pada bagian ini, pertama-tama kita memperhatikan beberapa studi klasik
kepatuhan berdasarkan paradigma penilaian satu arah. Kemudian kita akan membahas dua bentuk
pengaruh – pengaruh normatif dan pengaruh informasional – yang membentuk konformitas perilaku
dalam kelompok. Selanjutnya, kita akan membahas beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah
konformitas yang terjadi dalam kelompok. Terakhir, kita akan melihat reaksi mayoritas terhadap
nonkonformitas dalam kelompok.

Paradigma Konformitas Asch


Dalam kelompok, pengaruh mengalir di banyak arah – anggota mempengaruhi anggota lain dan
sebaliknya anggota juga dipengaruhi. Namun, yang paling penting adalah pengaruh diuji oleh
mayoritas kelompok mengenai perilaku anggota individu. Psikolog sosial menggunakan istilah
pengaruh mayoritas untuk merujuk pada proses dimana tekanan mayoritas kelompok anggota
individu menyesuaikan atau mengadopsi posisi tertentu dalam beberapa masalah tertentu.
Pengaruh mayoritas tersebut penting, karena pengaruh ini memberikan integritas dan kontinuitas
kelompok dari waktu ke waktu. Tentu saja, jumlah pengaruh yang diberikan oleh mayoritas dari
anggota individu bervariasi dari satu kelompok ke kelompok. Dalam beberapa kasus, jumlah
pengaruh tersebut hanya sedikit sampai sedang, sedangkan di beberapa kasus lain jumlahnya besar.

Dampak dari pengaruh mayoritas pada anggota kelompok digambarkan dalam serangkaian
eksperimen klasik yang dilakukan oleh Asch (1951, 1955, 1957). Menggunakan setting laboratorium,
Asch menciptakan situasi dimana seorang individu dihadapkan dengan mayoritas yang menyepakati
dengan suara bulat tentang suatu masalah faktual (penilaian spasial) tapi jelas terjadi kesalahan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa, dalam batas-batas tertentu, kelompok dapat menekan anggota
mereka untuk mengubah penilaian mereka dan menyesuaikan penilaian mereka tersebut dengan
posisi mayoritas bahkan walaupun posisi tersebut jelas salah.

Dalam percobaan dasar Asch, kelompok yang beranggotakan delapan orang berpartisipasi
dalam penyelidikan “diskriminasi visual.” Semua anggota kecuali salah satu subjek di setiap
kelompok tersebut adalah sekutu yang bekerja untuk eksperimen ini. Individu yang tersisa adalah
subjek yang tidak tahu apa-apa (lugu). Di depan ruangan percobaan, kartu besar dijejerkan dengan
garis standar dan tiga garis pembandng, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.3. Tujuan subjek
adalah untuk memutuskan baris yang mana dari tiga garis pembanding yang panjangnya paling
mendekati garis standar.

Garis Standar Garis Pembanding

Gambar 13.3 Tugas Penilaian yang Digunakan dalam Penelitian Konformitas


Asch
Dalam paradigma Asch, subjek lugu diperlihatkan satu garis standar dan tiga baris pembanding. Tugas subjek
tersebut adalah untuk menilai garis mana dari tiga baris pembanding yang panjangnya paling mendekati
dengan garis standar. Tugas ini tampak mudah. Namun, subjek dikelilingi oleh orang lain (seharusnya juga
subjek lugu tapi sebenarnya mereka adalah sekutu percobaan) yang secara terbuka memberikan penilaian
yang keliru mengenai perbandingan garis tersebut. Situasi seperti ini memaksakan tekanan pada subjek untuk
patuh pada penilaian orang lain yang jelas salah.

Sumber: Diadaptasi dari Asch, 1952.

Tugas ini tampak sederhana dan mudah, karena salah satu garis perbandingan memiliki
panjang yang sama dengan garis standar, sedangkan dua garis lainnya sangat berbeda. Kelompok
tersebut mengulangi tugas ini sebanyak 18 kali, dengan menggunakan satu set garis yang berbeda
setiap kalinya. Pada setiap percobaan, ada salah satu diantara tiga garis pembanding yang cocok
dengan garis standar. Selama masing-masing percobaan, para sekutu mengumumkan penilaian
mereka secara terbuka, satu per satu. Subjek juga mengumumkan pendapatnya secara terbuka.
Kelompok ini dalam posisi duduk sehingga sekutu bisa menanggapi subjek yang sebenarnya.

Meskipun tugas ini tampak mudah, ternyata ini menjadi pengalaman yang sulit bagi subjek
yang lugu tersebut. Dalam 6 dari 18 percobaan, sekutu memberikan respon yang benar, namun pada
12 percobaan lainnya, sekutu menjawab dengan salah. Tanggapan sekutu yang tidak tepat tersebut
membuat si subjek kesulitan. Disatu sisi, dia tahu jawaban yang benar berdasarkan persepsi garisnya
sendiri. Di sisi lain, dia mendengar semua orang-orang (yang ia kira jujur) dengan suara bulat
menyatakan penilaian yang berbeda dan salah dalam 12 percobaan.

Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengobservasi bagaimana si subjek yang tidak
tahu apa-apa tersebut akan berperilaku selama 12 kali percobaan tersebut. Hasilnya menyatakan
bahwa pendapat salah yang diungkapkan oleh mayoritas anggota secara kuat mempengaruhi
penilaian yang dibuat oleh subjek yang lugu tersebut. Dalam 12 kali percobaan, hampir sepertiga
respon subjek tidak benar (Asch, 1957). Ini dibandingkan dengan tingkat kesalahan kurang dari 1%
dalam kondisi kontrol dimana tidak ada sekutu yang dimunculkan dan subjek mencatat penilaian
mereka secara pribadi dalam kertas. Walaupun sekitar seperempat subjek menunjukan
nonkonformitas (ketidakpatuhan) dan tetap mandiri, sisanya patuh, setidaknya beberapa derajat.
Sepertiga dari subjek patuh sebanyak 50% atau lebih dari percobaan kritis ini.

Wawancara dilakukan setelah percobaan menyatakan bahwa sebagian besar subjek cukup
sadar akan perbedaan antara penilaian mayoritas dan penilaian mereka sendiri. Mereka merasa
bingung dan tertekan, dan mereka mencoba untuk mencari tahu apa yang akan terjadi. Beberapa
subjek bertanya-tanya apakah mereka salah memahami petunjuk percobaan tersebut; subjek lain
mulai mencari penjelasan lain atau mempertanyakan penglihatan mereka. Bahkan subjek yang tidak
patuh pada mayoritas merasakan beberapa ketakutan tapi akhirnya mereka memutuskan bahwa
masalah terletak pada mayoritas bukan pada diri mereka sendiri. Wawancara ini menunjukkan
bahwa konformitas subjek dalam penelitian ini merupakan jenis tertentu: konformitas melibatkan
penyesuaian publik tanpa penerimaan pribadi: Meskipun banyak subjek sesuai dengan publik,
mereka secara pribadi tidak yakin dan menerima penilaian mayoritas. Akibatnya, mereka
menganggap kepatuhan masyarakat sebagai pilihan terbaik dalam situasi yang sulit.

Ketergantungan dan Pengaruh dalam Konformitas


Terjadinya pengaruh dan konformitas mayoritas dalam kelompok dapat dijelaskan secara umum
dengan adanya fakta bahwa anggota individu bergantung pada mayoritas kognitif dan sosial. Di satu
sisi, anggota mencari informasi tentang realitas sosial, dan mereka bergantung pada mayoritas
tersebut untuk memvalidasi pemahaman dan opini mereka tentang kelompok dan dunia. Di sisi lain,
masing-masing anggota ingin mendapatkan berbagai imbalan dan keuntungan – bukan hanya
sekedar penerimaan keanggotaan kontinyu mereka dalam kelompok – dan mereka bergantung berat
pada mayoritas untuk mendapatkan imbalan dan keuntungan tersebut.

Ketergantungan anggota pada mayoritas secara alamiah mengarah pada penerapan


pengaruh oleh mayoritas dalam kelompok. Pengaruh mayoritas memiliki berbagai bentuk. Ada
sebuah analisis yang membedakan antara pengaruh normatif dan pengaruh informasi (Deutsch &
Gerard, 1955; Kaplan, 1987; Turner, 1991, Bab 2). Pengaruh normatif terjadi ketika anggota patuh
pada harapan yang dipegang oleh orang lain (yaitu, norma-norma) supaya menerima penghargaan
sosial atau menghindari hukuman yang tergantung pada memenuhi harapan ini. Disukai dan
diterima oleh anggota lainnya adalah salah satu penghargaan penting dalam pengaruh normatif.
Untuk menerapkan jenis pengaruh ini, sebuah kelompok perlu mempertahankan setidaknya
beberapa tingkat pengawasan atas perilaku anggotanya. Dampak pengaruh normatif ditingkatkan,
misalnya, ketika anggota menanggapi secara terbuka bukan secara tersembunyi (Insko dkk., 1983,
1985). Pengaruh normatif mungkin merupakan sumber yang paling mendasar dari keseragaman
dalam kelompok, meskipun pengaruh informasi juga sangat penting.

Pengaruh informasi terjadi ketika anggota kelompok menerima informasi dari orang lain
sebagai bukti yang sah tentang suatu realitas. Pengaruh jenis ini khususnya terjadi ketika anggota
harus mengurangi keraguan, seperti dalam situasi yang melibatkan ambiguitas atau yang tidak
memerlukan adanya tujuan standar untuk memandu penilaian. Lebih konkritnya, pengaruh
informasi sering terjadi dalam situasi dimana anggota mencoba untuk memecahkan masalah yang
kompleks dan tidak lazim bagi mereka (Kaplan & Miller, 1987); anggota yang dianggap lebih ahli atau
berpengetahuan khususnya cenderung menerapkan pengaruh informasi dalam tugas seperti ini.
Pengaruh ini juga sering terjadi dalam situasi krisis ketika anggota harus bertindak segera tetapi
mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tindakan yang tepat. Unsur umum dalam semua situasi
ini adalah bahwa kelompok memberikan pengaruh pada anggota individu dengan memberikan
informasi yang mendefinisikan realitas dan berfungsi sebagai dasar untuk membuat penilaian atau
keputusan.

Sehubungan dengan tugas penilaian garis dari Asch, tampaknya pengaruh normatif lebih
diterapkan dalam situasi ini. Diantara subjek yang melakukan percobaan Asch, banyak yang
menerapkan pengaruh normatif untuk menghindari rasa malu, diejek, atau ditertawakan oleh
mayoritas. Mereka mencari penerimaan oleh mayoritas (atau setidaknya, mereka menghindari
penolakan publik secara langsung). Sulit untuk mengatakan bahwa mayoritas Asch ini menerapkan
pengaruh informasi yang lebih jauh; sebagian besar orang memiliki beberapa keterampilan dalam
membandingkan panjang garis dan tidak sangat bergantung pada orang lain untuk menentukan
penilaiannya. Selain itu, dalam satu variasi, Asch menguji kembali subjeknya dengan stimuli yang
sama tanpa adanya kelompok mayoritas, dan hasilnya mereka memberi jawaban yang benar;
pengalaman mereka dalam menilai garis di hadapan mayoritas tidak secara permanen mengubah
pemahaman mereka tentang panjang garis.

Penelitian Efek Autokinetis


Meskipun pengaruh informasi relatif tidak penting dalam situasi Asch, kita tidak boleh meremehkan
pentingnya pengaruh tersebut dalam situasi lain. Penelitian terkenal oleh Sherif (1935, 1936) – yang
dilakukan beberapa tahun sebelum Asch melakukan penelitian tentang penilaian panjang garis –
secara dramatis menggambarkan dampak pengaruh informasi di bawah kondisi keraguan. Penelitian
Sherif menggunakan fenomena fisika yang dikenal sebagai efek autokinetis (yang berarti “bergerak
dengan sendirinya”). Efek autokinetis terjadi ketika seseorang menatap alat penerang yang terletak
jauh di sebuah ruangan yang gelap. Bagi kebanyakan orang, cahaya ini terlihat bergerak dengan pola
yang tidak menentu, meskipun cahaya tersebut sebenarnya tidak bergerak sama sekali. Sherif
menggunakan efek autokinetis sebagai dasar untuk mempelajari pengaruh informasi dalam
kelompok. Pertama, ia menempatkan subjek di laboratorium seorang diri dan meminta mereka
untuk memperkirakan seberapa jauh cahaya bergerak. Dalam membuat penilaian ini, subjek secara
harfiah berada dalam kegelapan – mereka tidak memiliki referensi kerangka eksternal. Dari
perkiraan individual mereka, peneliti mampu menentukan kisaran stabil pada setiap subjek. Subjek
memiliki penilaian yang sedikit berbeda dalam hal ini. Sementara beberapa subjek berpikir cahaya
itu hanya bergerak satu atau dua inci, subjek lainnya meyakini bahwa cahaya tersebut bergerak
sebanyak delapan atau sepuluh inci.

Tak lama kemudian, Sherif menempatkan subjek yang sama bersama-sama dalam tiga
kelompok dan menempatkan mereka kembali dalam situasi autokinetis. Meskipun perkiraan yang
telah mereka buat ketika sendirian berbeda, perkiraan yang mereka buat dalam kelompok menyatu
dalam sebuah standar umum. Perubahan penilaian anggota ini memberikan bukti adanya penerapan
pengaruh informasi. Karena kurangnya referensi kerangka eksternal dan ragu akan penilaian mereka
sendiri, anggota kelompok mulai menggunakan perkiraan orang lain sebagai dasar untuk
mendefinisikan realitas. Setiap kelompok membuat standarnya masing-masing, dan anggota
menggunakan standar ini sebagai kerangka acuan. Proses pembentukan norma ini bisa berjalan
sangat mulus; pada kenyataannya, penelitian lain (Hood & Sherif, 1962) telah menunjukkan bahwa
subjek yang terlibat dalam percobaan autokinetis seringkali tidak menyadari bahwa penilaian
mereka dipengaruhi oleh penilaian orang lain.

Temuan menarik lainnya dari penelitian asli Sherif muncul ketika, seminggu atau dua minggu
setelah penjelasan awal mereka, para subjek lagi-lagi ditempatkan sendirian dalam situasi
autokinetis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek menggunakan norma kelompok
sebagai kerangka acuan mereka dalam membuat penilaian individual yang baru. Meskipun tidak
semua penelitian menemukan bukti tentang penerapan internalisasi norma, setidaknya ada satu
penelitian yang menguji ulang subjek individual dalam tugas autokinetis setahun setelah penjelasan
awal mereka tentang norma kelompok dan ditemukan bukti bahwa norma kelompok masih
mempengaruhi penilaian subjek meskipun waktu sudah berlalu (Rohrer dkk.,1954).

Faktor yang Mempengaruhi Konformitas


Ketika membahas penelitian tentang penilaian panjang garis Asch, kita melihat bahwa tekanan dari
mayoritas secara substansial dapat mempengaruhi perilaku anggota individu. Tapi kecenderungan
individu untuk menyesuaikan akan lebih besar di bawah beberapa kondisi tertentu. Peneliti telah
mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memiliki efek penting pada jumlah konformitas
yang terjadi dalam kelompok, dan kita akan meninjau beberapa faktor tersebut disini.

Ukuran Mayoritas
Pikirkan kembali situasi Asch dimana seorang subjek dihadapkan dengan sebuah mayoritas. Jika
mayoritas sepakat – yaitu, jika semua anggota mayoritas bersatu dalam posisi mereka – maka
ukuran mayoritas akan berdampak pada perilaku subjek. Saat ukuran mayoritas yang sepakat
meningkat, jumlah konformitas subjek juga akan meningkat (Asch, 1955; Rosenberg, 1961).
Contohnya, subjek yang dihadapkan dengan satu orang lain dalam jenis situasi Asch hanya akan
sangat sedikit patuh; ia akan menjawab secara independen dan benar pada hampir semua
percobaan. Namun, ketika berhadapan dengan dua orang, subjek tersebut akan lebih tertekan dan
lebih sering setuju dengan jawaban keliru mayoritas. Dihadapkan dengan tiga orang, subjek akan
lebih patuh dengan tingkat yang lebih tinggi lagi. Dalam penelitian sebelumnya, Asch (1951)
menemukan bahwa konformitas terhadap penilaian palsu oleh mayoritas yang sepakat akan
meningkat dengan ukuran mayoritas sampai tiga anggota dan kemudian tetap konstan pada
dasarnya di luar titik tersebut. Meskipun beberapa penelitian (Gerard, Wilhelmy, & Conolley, 1968)
telah mempertanyakan titik pasti dimana efek dari ukuran mayoritas mulai meningkat, peningkatan
ukuran mayoritas lebih dari tiga orang umumnya sedikit menambahkan dampak.

Pelanggaran dalam Mayoritas


Apa yang akan terjadi ketika mayoritas kelompok ini tidak sepakat? Pada dasarnya, kurangnya
kesepakatan dalam anggota mayoritas memiliki efek yang membebaskan perilaku subjek. Seorang
subjek cenderung tidak akan patuh jika anggota lainnya jauh dari mayoritas (Gorfein, 1964; Morris &
Miller, 1975). Penjelasan untuk hal ini adalah bahwa anggota yang meninggalkan mayoritas
memberikan validasi dan dukungan sosial untuk subjek. Dalam penelitian Asch, misalnya, jika satu
atau beberapa anggota meninggalkan mayoritas dan memberikan penilaian yang benar, perilaku
mereka akan menegaskan kembali persepsi subjek sendiri mengenai realitas yang ada dan
mengurangi kecenderungannya untuk mematuhi mayoritas.

Terlepas dari hal ini, bagaimanapun, pelanggaran dalam mayoritas – apakah pelanggaran
tersebut memberikan dukungan sosial atau tidak – akan mengurangi tekanan pada subjek untuk
patuh (Allen & Levine, 1971; Levine, Saxe, & Ranelli, 1975). Dalam satu penelitian (Allen & Levine,
1969), subjek berpartisipasi dalam kelompok yang beranggotakan lima orang, empat diantaranya
adalah sekutu. Para subjek membuat penilaian pada berbagai hal. Penilaian tersebut mencakup
tugas-tugas visual yang mirip dengan tugas yang digunakan oleh Asch, serta benda informasi
(Misalnya, “Pada jarak ribuan mil, seberapa jauh jarak dari San Francisco ke New York?”) dan barang-
barang opini dimana tidak ada jawaban yang benar (“Setuju atau tidak setuju: ‘Kebanyakan anak
muda terlalu banyak mendapatkan pendidikan’”). Tergantung pada kondisi eksperimental, subjek
dihadapkan dengan mayoritas sepakat yang terdiri dari empat orang (kondisi kontrol), mayoritas
yang berisi tiga orang dan orang keempat yang meninggalkan mayoritas dan memberi jawaban yang
benar (kondisi dukungan sosial), atau mayoritas yang berisi tiga orang dan orang keempat yang
meninggalkan mayoritas tetapi memberi jawaban yang bahkan lebih keliru daripada mayoritas
(kondisi perbedaan ekstrim pendapat yang keliru).

Hasil dari penelitian ini ditunjukan dalam Gambar 13.4. Kondisi kontrol, yang melibatkan
mayoritas yang sepakat, menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi. Kondisi dukungan
sosial, dimana ada anggota mayoritas yang bergabung dengan subjek, menghasilkan konformitas
yang secara signifikan lebih rendah dari kondisi kontrol. Bahkan kondisi perbedaan ekstrim pendapat
yang keliru, dimana anggota mayoritas yang ingkar memberi jawaban yang lebih ekstrim dan tidak
benar dari mayoritas, menghasilkan rendahnya tingkat konformitas secara signifikan. Dengan
demikian, setiap pelanggaran dalam mayoritas akan mengurangi tingkat konformitas. Subjek dalam
berbagai kondisi tadi, bagaimanapun, memiliki kesan yang berbeda terhadap anggota mayoritas
yang ingkar. Dalam kondisi dukungan social, subjek memiliki kesan positif terhadap anggota
tersebut, sementara dalam kondisi perbedaan pendapat keliru yang ekstrim, subjek memiliki kesan
yang negatif dan memandang anggota tersebut sebagai orang yang ia tidak suka, bodah, tidak tulus,
dan tidak bisa diatur. Sama halnya, pelanggaran dalam mayoritas memiliki dampak yang sama:
kebenaran dari posisi mayoritas akan dipertanyakan dan pelanggaran ini akan mengurangi
kecenderungan subjek untuk patuh.
TINGKAT KONFORMITAS

Kontrol Perbedaan Dukungan


(mayoritas Pendapat Sosial
sepakat) Ekstrim

PERLAKUAN PERCOBAAN
Gambar 13.4 Tingkat Konformitas dan Perbedaan Pendapat dari Mayoritas
Dalam percobaan Asch, subjek akan kurang patuh jika ada satu anggota yang meninggalkan mayoritas dan
memberikan jawaban yang sama dengan jawaban subjek tersebut (kondisi dukungan sosial) dibandingkan jika
subjek dihadapkan dengan mayoritas yang sepakat (kondisi kontrol). Konformitas juga akan lebih rendah jika
satu anggota yang meninggalkan mayoritas tapi ia memberikan jawaban yang bahkan lebih keliru dari
jawaban mayoritas (kondisi perbedaan pendapat keliru yang ekstrim). Dengan demikian, suatu pelanggaran
dengan bentuk apapun dalam mayoritas menimbulkan dampak yang membebaskan subjek dan mengurangi
konformitas.

SUMBER: Diadaptasi dari Allen dan Levine, 1969.

Ketertarikan terhadap Kelompok


Anggota yang sangat tertarik terhadap suatu kelompok akan lebih patuh pada norma kelompok
dibandingkan anggota yang kurang tertarik (Kiesler& Kiesler, 1969; Mehrabian & Ksionzky,1970).
Satu penjelasan untuk hal ini adalah bahwa ketika individu tertarik pada suatu kelompok, mereka
juga ingin secara pribadi diterima oleh anggotanya. Karena penerimaan dan persahabatan diperkuat
ketika anggota memiliki sikap dan standar yang sama, individu yang sangat tertarik pada kelompok
lebih patuh pada pandangan yang dipegang oleh anggota lain (Feather & Armstrong, 1967; McLeod,
Price, & Harburg, 1966). Namun, ketertarikan terhadap suatu kelompok akan meningkatkan
konformitas hanya jika konformitas tersebut mengarah pada penerimaan oleh anggota lain dalam
kelompok (Walker & Heyns, 1962).

Komitmen untuk Interaksi Di Masa Depan


Anggota lebih cenderung patuh pada norma kelompok ketika mereka berantisipasi bahwa hubungan
mereka dengan kelompok tersebut akan permanen atau tahan lama, bukan hanya jangka pendek.
Hal ini ditunjukan dalam sebuah penelitian dimana kelompok-kelompok yang beranggotakan lima
orang diminta untuk mendiskusikan beberapa masalah seperti urusan perkotaan, hubungan
internasional, polusi, dan populasi (Lewis, Langan, & Hollander, 1972). Beberapa peserta diberikan
harapan bahwa mereka akan mengkaji masalah-masalah ini dengan anggota kelompok kembali di
masa depan, sementara beberapa peserta lainnya tidak diberikan harapan seperti itu. Peserta yang
mengantisipasikan interaksi di masa depan lebih patuh pada opini mayoritas dibandingkan peserta
yang tidak mengantisipasikan interaksi di masa depan.

Komitmen untuk interaksi di masa depan mempengaruhi konformitas apakah anggota


tertarik pada suatu kelompok atau tidak. Misalnya, satu penelitian menunjukan bahwa walaupun
anggota secara khusus tidak menyukai anggota lainnya dalam suatu kelompok, mereka memberikan
konformitas tingkat tinggi yang sudah mereka komitmenkan untuk tetap bertahan dan tidak akan
meninggalkan kelompok tersebut. Orang-orang yang seperti itu cenderung mengalami kesulitan atau
ketidakcocokan untuk berinteraksi dengan orang lain yang mereka tidak sukai, dan mereka bisa
mengatasi masalah ini dengan membawa sifat dan keyakinan mereka sendiri sejalan dengan standar
kelompok (Kiesler & Corbin, 1965; Kiesler, Zanna, & DeSalvo, 1966).
Kompetensi
Faktor lain yang mempengaruhi konformitas adalah tingkat keahilan anggota individu relatif
terhadap anggota lain. Jika seorang anggota yang terampil dalam tugas kelompok memiliki
pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas, dia akan menahan tekanan ke tingkat yang
mereka percaya diri lebih kompeten dari anggota kelompok yang lainnya (Ettinger dkk., 1971).
Menariknya, sejauh mana seseorang percaya bahwa dia kompeten mungkin lebih penting daripada
tingkat kompetensi yang sebenarnya (Stang, 1972). Orang yang, pada kenyataannya, tidak kompeten
akan tetap menolak tekanan konformitas jika mereka yakin bahwa mereka lebih kompeten daripada
anggota lainnya. Ini disebabkan karena anggota kelompok yang meyakini bahwa diri mereka
memiliki kompetensi bersandar pada penilaian tentang orang lain; ketika dihadapkan dengan sebuah
mayoritas; mereka biasanya mencoba untuk mengajak anggota lain untuk merubah posisi mereka.

Jenis Kelamin
Komposisi jenis kelamin dalam kelompok juga mempengaruhi jumlah konformitas anggotanya. Bukti
perbandingan yang dikumpulkan selama empat dekade terakhir menunjukkan bahwa, dalam
kelompok yang semua anggotanya memiliki jenis kelamin yang sama, wanita menghasilkan sedikit
lebih banyak konformitas dibandingkan laki-laki (Becker, 1986; Cooper, 1979; Eagly & Carli, 1981).
Dengan kata lain, perempuan menghasilkan agak lebih tekanan dari perempuan lain dibandingkan
laki-laki menghasilkan tekanan dari laki-laki lain. Kita menyimpulkan, bagaimanapun, bahwa
besarnya efek jenis kelamin terhadap konformitas cukup kecil, dan beberapa penelitian
menunjukkan tidak ada perbedaan sama sekali antara jenis kelamin dalam konformitas atau
keterpengaruhan.

Beberapa penjelasan telah dikemukakan untuk perbedaan ini. Salah satu penjelasan
menyatakan bahwa perbedaan tersebut berasal dari perbedaan harapan peran jenis kelamin (Eagly,
1987). Peran perempuan tradisional di Amerika Serikat sangat menghargai kepatuhan, perawatan,
kepasifan, dan berorientasi pada orang – semua kualitas yang berkaitan dengan konformitas. Peran
tradisional laki-laki sangat menghargai agresivitas, ketegasan, dominasi, dan berorientasi pada tugas
(Wiley, 1973). Akibatnya, harapan peran jenis kelamin dapat menyebabkan konformitas yang lebih
besar diantara perempuan dibandingkan diantara laki-laki. Beberapa dukungan untuk pandangan ini
berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Eagly dan Chrvala (1986) dan Goldberg (1974, 1975).
Dalam penelitian ini, perempuan yang menerima peran seks tradisional lebih patuh daripada wanita
yang menolak peran tradisional atau yang secara aktif mendukung gerakan perempuan. Pola ini
terutama ditandai ketika item tes secara tradisional feminin sifatnya.

Penjelasan kedua untuk perbedaan jenis kelamin dalam konformitas menekankan sifat tugas
yang digunakan dalam eksperimen konformitas mereka sendiri. Setidaknya beberapa penelitian
tentang konformitas menggunakan item tugas dan opini yang melibatkan kegiatan yang bersifat
lelaki. Dengan demikian, perbedaan konformitas yang muncul akibat dari perbedaan jenis kelamin
sebenarnya bisa mengacaukan yang dihasilkan dari perbedaan dalam keakraban atau kompetensi
dalam tugas-tugas yang digunakan dalam beberapa penelitian.

Beberapa penelitian telah menyelidiki kemungkinan ini (Karabenick, 1983; Sistrunk &
McDavid, 1971). Misalnya, Sistrunk dan McDavid beralasan bahwa jika perempuan lebih konformis
dalam kegiatan yang dianggap kegiatan lelaki secara tradisional, maka laki-laki mungkin lebih
konformis dalam kegiatan yang dianggap sebagai kegiatan perempuan secara tradisional. Sementara
wanita mungkin lebih konformis tentang mobil dan politik, misalnya, pria mungkin lebih konformis
tentang perawatan anak dan gaya pakaian. Para peneliti ini menjelaskan beberapa pernyataan,
termasuk opini dan hal-hal yang merupakan fakta sehari-hari. Beberapa item ini lebih menarik dan
lebih akrab dengan perempuan. Mereka diberikan benda-benda ini (bersama dengan beberapa item
yang netral) pada beberapa kelompok yang berisikan subjek laki-laki dan perempuan dan termasuk
informasi tentang tanggapan khas dari mayoritas rekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-
laki lebih sesuai dibandingkan perempuan pada item feminin, dan perempuan lebih sesuai
dibandingkan laki-laki pada item maskulin. Kedua jenis kelamin ini memiliki tingkat konformitas
dengan jumlah yang sama pada item netral. Temuan ini menunjukkan bahwa jumlah konformitas
tergantung pada sifat dari tugas serta jenis kelamin subjek. Baik wanita dan pria menghasilkan
tekanan lebih ketika diberikan tugas yang tidak familiar bagi mereka.

Dengan demikian, baik orientasi peran jenis kelamin dan kompetensi tugas berfungsi sebagai
faktor mediasi dampak jenis kelamin dalam konformitas. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa
perempuan lebih sesuai dibandingkan laki-laki dalam kelompok jenis kelamin yang sama, hal ini
mungkin terutama berlaku ketika wanita menerima peran seks tradisional atau ketika mereka
kurang mampu dan tidak familiar dengan tugas yang diberikan.

13.2 Hambatan Perilaku Independen


Konformitas norma-norma sangat penting untuk fungsi kelompok. Tanpa konformitas ini, setiap
kelompok berisiko mengalami kekurangan koordinasi yang serius antar anggota dan kegagalan
prospek untuk mencapai tujuan penting. Tentu saja, ada beberapa kasus dimana seorang individu
mungkin ingin bertindak secara independen dan tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok. Seseorang mungkin tidak setuju dengan posisi mayoritas dan lebih memilih untuk
inovatif. Kegiatan jenis ini, bagaimanapun, sering mengganggu kinerja sudut pandang kelompok, dan
kelompok menggunakan berbagai metode untuk mencegah perilaku independen ini. Salah satu
pendekatan teoritis (Carpenter & Hollander, 1982; Hollander, 1975) menunjukan enam hambatan
utama yang menghambat perilaku independen oleh anggota kelompok:

1. Risiko penolakan dari anggota kelompok lainnya. Sebagian besar kelompok menetapkan
norma-norma yang mengatur kegiatan pusat. Norma-norma ini menentukan berbagai
perilaku yang bisa ditoleransi. Sejauh mana perilaku independen anggota keluar dari norma
tersebut, anggota tersebut akan menghadapi risiko penolakan dari orang lain dalam
kelompok. Jika ia menyimpang terlalu jauh, anggota mungkin akan menghadapi penolakan
langsung.
2. Kurangnya persepsi alternatif. Individu sering tidak menyadari alternatif lain selain yang
ditentukan oleh norma-norma kelompok. Jika orang lain berbicara dan mengusulkan
alternatif, anggota mungkin tidak akan menyadari ada pilihan lain selain mematuhi
keinginan mayoritas.
3. Takut mengganggu kinerja kelompok. Karena norma kelompok biasanya mencerminkan
dasar dari tujuan kelompok, individu tahu bahwa jika ia menyimpang dari norma-norma
tersebut mungkin akan “memecah ketenangan”. Dengan demikian, ia menghindari bertindak
secara independen karena takut bahwa hal itu dapat menghalangi pencapaian tujuan
kelompoknya. Efek ini sangat kuat jika ada anggota yang takut harus bertanggung jawab
secara pribadi atas kegagalan kelompok.
4. Tidak adanya komunikasi antara anggota kelompok. Bahkan jika sejumlah anggota secara
pribadi memiliki pendapat yang berbeda dari standar kelompok, masing-masing mungkin
ragu untuk mengungkapkan pendapatnya itu secara terbuka. Tapi tanpa komunikasi
tersebut, mereka tidak akan tahu bahwa orang lain juga berpikir hal yang sama, dan
kebodohan kolektif akan terjadi. Kurangnya informasi bahwa orang lain juga ingin bergabung
dalam perilaku independen, malah membuat anggota tersebut bertindak sendirian saja.
5. Tidak ada rasa tanggung jawab mengenai hasil kelompok. Dalam beberapa kasus, saat
norma-norma dan prosedur kelompok didirikan kekurangan dan menghasilkan hasil yang
buruk, anggota benar-benar bisa membuat kelompok gagal dengan mematuhi norma-
norma. Meskipun beberapa anggota mungkin menyadari bahwa perilaku konformisnya
tersebut menyebabkan hasil yang buruk, mereka mungkin ragu-ragu untuk mengambil
inisiatif, berbicara, dan mencoba untuk mengubah situasi. Hal ini dapat terjadi terutama
ketika individu merasa mereka secara pribadi tidak bertanggung jawab atas keberhasilan
atau kegagalan kelompoknya.
6. Rasa ketidakberdayaan. Jika anggota merasa tidak mampu untuk mengubah situasi, dia tidak
akan mungkin mencoba sesuatu yang baru. Apatis menjadi egois – tidak ada yang mencoba
sesuatu yang berbeda, dan akibatnya tidak ada peningkatan.

Semua hambatan perilaku independen ini berfungsi untuk meningkatkan konformitas dalam
kelompok. Jika beberapa hambatan berfungsi secara bersamaan, konformitas mungkin bisa
meningkat lebih lanjut lagi.

Pengaruh Minoritas
Meskipun pengaruh yang dilakukan oleh mayoritas atas individu anggota kelompok penting,
pengaruh ini tidak boleh membutakan kita terhadap kegiatan minoritas dalam kelompok. Dalam
beberapa kasus, sebuah subkelompok kecil mungkin tidak setuju dengan mayoritas dalam beberapa
hal dan menyarankan posisi yang berbeda. Sebuah minoritas yang menentang adalah koalisi anggota
kelompok yang memegang sudut pandang yang berbeda dari mayoritas dalam beberapa isu penting
dan menekankan untuk pengakuan oleh kelompok tentang posisi mereka. Jika anggota minoritas
yang menentang mampu membujuk atau mendorong anggota mayoritas untuk menerima
pandangan mereka, mereka diminta untuk menerapkan pengaruh minoritas. Contohnya, koalisi
minoritas mungkin mencoba untuk memberikan pengaruh supaya kelompok mau merubah penilaian
atau keputusan mayoritas atau merubah norma dan prosedur kelompok. Perubahan yang signifikan
ini terkadang mengacu pada sebuah inovasi.

Upaya mempengaruhi oleh individu atau koalisi minoritas terbukti efektif dalam beberapa
kasus tertentu (Kalven & Zeisel, 1966, Bab 38). Sepanjang sejarah, kita menemukan banyak contoh
kelompok atau individu minoritas dalam konteks ilmiah atau agama yang menganjurkan sudut
pandang yang pada awalnya ditanggapi dengan resistensi atau cemoohan. Beberapa minoritas ini
akhirnya berhasil membujuk atau mengkonversi orang lain – contohnya Galileo, Darwin, Pasteur,
Freud, dan Yesus Kristus – tetapi banyak minoritas lainnya kurang berhasil dan pesan mereka
sekarang terlupakan atau hilang begitu saja. Pandangan yang dianjurkan oleh minoritas sering
menghadapi resistensi (atau setidaknya penolakan) dari orang lain, dan kadang-kadang mereka
bahkan dianggap menyimpang atau tidak sepantasnya, dan memiliki potensi untuk merusak cara
hidup yang dibuat oleh kelompok. Hal ini menimbulkan pertanyaan dasar: Dalam kondisi apa upaya
mempengaruhi oleh koalisi minoritas akan berhasil? Kita akan beralih ke pertanyaan ini sekarang.
Efektivitas Pengaruh Minoritas
Menurut teori konversi pengaruh minoritas (Moscovici, 1980, 1985b), ketika koalitas minoritas
memberikan pengaruh, proses yang terlibat biasanya konversi, tidak sesuai. Dengan kata lain, koalisi
minoritas mencoba untuk menang dari anggota lain dengan mengubah dasar sikap dan keyakinan
mereka bukan dengan memaksa kepatuhan mereka. Untuk mencapai tujuan ini, koalisi minoritas
biasanya menggunakan persuasi atau pemberian contoh; hal ini kontras dengan koalisi mayoritas,
yang lebih sering menggunakan tekanan atau ancaman koersif (terselubung) untuk mendapatkan
tujuan mereka.

Lebih spesifik lagi, teori ini menyatakan bahwa bagi koalisi minoritas untuk sukses dalam
menjalankan pengaruhnya, biasanya harus melakukan hal-hal tertentu. Pertama, minoritas harus
menciptakan konflik dan mengganggu prosedur yang sudah didirikan, sehingga menghasilkan
keraguan dan ketidakpastian di benak anggota kelompok lainnya. Kadang-kadang hal ini dapat
dicapai hanya dengan keras kepala menolak tekanan untuk menyesuaikan diri dengan pandangan
mayoritas. Dalam melakukan hal ini, minoritas akan membuat dirinya terlihat dan menonjol,
memfokuskan perhatian pada dirinya sendiri. Kedua, minoritas perlu menawarkan alternatif yang
bersifat membangun – titik yang koheren dari pandangan yang berbeda dari mayoritas – dan
menunjukkan bahwa ia memiliki kepercayaan yang kuat dalam kebenaran sudut pandang ini. Ketiga,
minoritas harus mengukuhkan niatnya untuk tidak berkompromi atau meninggalkan pandangan
yang mereka yakini, dengan implikasi bahwa jika anggota lain ingin membangun kembali konsensus
dan stabilitas dalam kelompok, mereka harus berpindah posisi ke arah minoritas.

Konsistensi Minoritas
Hipotesis pusat dari teori konversi adalah bahwa koalisi minoritas memiliki kesempatan lebih besar
untuk mempengaruhi penilaian atau pendapat orang lain jika mereka memiliki posisi yang
bertentangan dan memegang posisi tersebut secara konsisten dalam menghadapi tekanan. Dengan
memegang posisi tersebut secara konsisten, koalisi minoritas dapat menunjukkan komitmen dan
keyakinannya dalam posisi tersebut. Hipotesis ini telah didukung dalam penelitian empiris.

Misalnya, satu penelitian (Moscovici, Lage, & Naffrechoux, 1969) menggunakan persepsi
paradigma warna (“Paradigma Biru-hijau”) untuk menunjukkan bahwa bahkan jika koalisi minoritas
tidak memiliki kekuasaan atau status, minoritas dapat mempengaruhi penilaian dari anggota lain
dengan mempertahankan posisi yang konsisten dari waktu ke waktu. Kelompok dalam penelitian ini
terdiri dari enam anggota; empat diantaranya adalah peserta yang lugu, sedangkan dua orang
lainnya bersekutu yang merupakan koalitas minoritas. Kelompok-kelompok ini melakukan tugas
persepsi warna yang sederhana. Para anggota duduk di depan layar yang menampilkan satu set
enam slide biru yang cahayanya berbeda-beda. Mereka melihat enam slide ini dengan urutan yang
berbeda; setiap slide ditampilkan selama 15 detik. Anggota menilai warna setiap slide dan
mengutarakan penilaian mereka dengan keras. Pada kenyataannya, warna dari semua slide tersebut
adalah biru. Namun, koalisi minoritas menyuarakan beberapa penilaian yang bermula dari standar
ini. Dalam satu kondisi eksperimental, dua sekutu dalam koalisi minoritas merespons secara
konsisten dan selalu menyebut slide biru tersebut dengan “hijau.” Dalam kondisi eksperimental
lainnya, dua sekutu tersebut merespon secara tidak konsisten – mereka menandai slide “Hijau” 24
kali dan “biru” 12 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku koalisi minoritas mempengaruhi penilaian
yang diberikan oleh peserta yang tidak tahu apa-apa (lugu). Dalam kondisi konsistensi minoritas,
8.42 persen dari semua jawaban dari peserta yang lugu adalah “hijau,” dan sebanyak 32 persen dari
peserta yang lugu melaporkan bahwa mereka melihat slide hijau setidaknya sekali selama sesi.
Dalam kondisi minoritas yang tidak konsisten, hanya 1,25 persen dari tanggapan peserta lugu adalah
“hijau.” (Hasil ini kontras dengan tingkat kesalahan dalam kelompok kontrol yang terdiri enam
peserta lugu, yaitu hampir nol. Para peserta kontrol selalu melihat slide biru.) Dengan demikian,
secara keseluruhan, konsistensi minoritas memberikan pengaruh lebih dari minoritas yang tidak
konsisten, seperti yang diperkirakan oleh teori konversi. Hasil yang serupa dengan penelitian ini
telah ditemukan dalam penelitian berikutnya (Moscovici & Lage, 1976; Nemeth, Swedlund, & Kanki,
1974; Nemeth, Wachtler, & Endicott, 1977).

Gaya Perilaku
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan minoritas yang bertentangan adalah sejauh mana gaya
negosiasi mereka fleksibel. Minoritas paling berpengaruh saat posisi mereka konsisten tetapi
perilaku mereka gaya tidak kaku – yaitu, ketika gaya presentasi mereka fleksibel dan multifaset.
Minoritas yang menggunakan gaya ini lebih cenderung untuk berhasil daripada minoritas yang
mengadopsi gaya kaku, garis keras, pendekatan catatan tunggal (Mugny, 1982, 1984; Papastamou &
Mugny, 1985). Gaya negosiasi yang fleksibel cenderung berkonotasi kompetensi dan kejujuran,
sedangkan gaya negosiasi yang kaku, dengan segala penolakan untuk membuat konsesi, lebih
cenderung menyebabkan orang lain untuk memandang konsistensi minoritas dogmatis (dan,
karenanya, menjadi aneh).

Ukuran Minoritas
Faktor lain yang mempengaruhi kapasitas koalisi minoritas untuk mempengaruhi orang lain adalah
ukurannya. Secara umum, koalisi minoritas memiliki banyak anggota yang dapat mengerahkan
pengaruh lebih dari mereka yang hanya memiliki beberapa anggota. Contohnya, satu penelitian
menemukan bahwa koalisi minoritas yang terdiri dari dua anggota lebih berpengaruh daripada
minoritas satu orang (Arbuthnot & Wayner, 1982). Dalam penelitian lain, ukuran mayoritas harus
berisikan enam orang, dan ukuran koalisi minoritas itu bervariasi. Hasil menunjukkan bahwa
minoritas yang terdiri dari tiga atau empat orang memberikan pengaruh yang lebih dari minoritas
yang terdiri dari satu atau dua orang (Nemeth, Wachtler, & Endicott., 1977). Meninjau temuan
penelitian, Wood dan rekannya (1994) melaporkan bahwa pengaruh koalisi minoritas meningkat
sebagai fungsi dari ukurannya. Efek ini khususnya terlihat pada langkah-langkah perubahan
masyarakat dan perubahan pribadi langsung.

Identitas Sosial Minoritas


Sebelum lanjut lebih jauh, kita harus mengetahui bahwa istilah minoritas setidaknya memiliki dua
makna yang berbeda. Di satu sisi, minoritas adalah subkelompok sederhana yang kekurangan
predominasi numerik. Jika 15% anggota dalam suatu kelompok dalam beberapa isu mendukung
posisi A dan 49% mendukung posisi B, maka mereka yang mendukung B merupakan minoritas
numerik. Meskipun makna istilah minoritas ini tepat untuk tujuan tertentu (seperti pengambilan
keputusan panitia), istilah ini mengabaikan konotasi penting – yaitu, bahwa dalam beberapa
konteks, menjadi minoritas berarti ditindas atau dipandang kurang mampu. Ketika kelompok terdiri
dari orang-orang yang secara heterogen memiliki karakteristik sosial yang berbeda (ras, agama,
etnis, dan sejenisnya), maka orang-orang yang dianggap minoritas atau orang diluar kelompok
tersebut akan dievaluasi negatif atau didiskriminasi.
Penelitian tentang pengaruh minoritas telah dimulai untuk mengatasi arti yang berbeda dari
minoritas ini, dan pengakuan kini diberikan kepada perbedaan antara minoritas ganda dan minoritas
tunggal. Minoritas ganda adalah orang yang tidak hanya menyarankan sikap pada beberapa masalah
yang berbeda dari yang dimiliki oleh mayoritas, tetapi mereka juga memiliki identitas sosial diluar
kelompok (didefinisikan dalam hal etnis, ras, kebangsaan, atau sifat-sifat askriptif lainnya). Orang
yang merupakan minoritas ganda tidak sama dengan minoritas tunggal (yaitu, anggota dalam
kelompok yang menyarankan sudut pandang minoritas) untuk berhasil dalam menerapkan pengaruh
terhadap mayoritas. Dalam penambahan teori percakapan, beberapa ahli teori telah mengusulkan
bahwa koalisi (atau orang) minoritas yang menyarankan posisi yang berbeda dari mayoritas akan
lebih berpengaruh ketika identitas sosial mereka sama, atau mirip dengan identitas sosial target
(Mugny, 1984; Mugny & Papastamou, 1982; Turner, 1982). Jika anggota mayoritas menganggap
minoritas memiliki sifat dan kategori keanggotaan yang mirip dengan diri mereka, mereka akan lebih
mudah menerima pengaruh dari minoritas dibandingkan jika mereka menganggap minoritas
memiliki sifat dan kategori keanggotaan yang berbeda.

Temuan-temuan penelitian sangat mendukung hipotesis ini, dan mereka menunjukkan


bahwa target sangat enggan untuk sepakat dengan minoritas diluar kelompok. Beberapa penelitian
telah menemukan bahwa orang-orang minoritas memiliki kategori sosial yang nyatanya berbeda –
misalnya, jenis kelamin yang berbeda, afiliasi sekolah yang berbeda, orientasi seksual yang berbeda,
dan sejenisnya – memiliki sedikit dampak terhadap pendapat orang lain atau penilaian subjektif
dibandingkan anggota minoritas yang memiliki identitas sosial yang sama dengan mayoritas (Clark &
Maass, 1988; Martin, 1988; Perez & Mugny, 1987). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Maass dan
Clark (1984), misalnya, melaporkan bahwa seolah-olah minoritas gay berdebat tentang hak-hak gay
memberikan pengaruh yang kurang tentang heteroseksual daripada minoritas heteroseksual yang
berdebat mengenai hak-hak gay. Hal ini hanya berakibat kecil karena minoritas gay dianggap lebih
mementingkan diri sendiri dalam isu tersebut, sehingga menyebabkan kesalahpahaman.

Perbedaan Antara Pengaruh Minoritas dan Pengaruh Mayoritas


Salah satu kontroversi saat ini adalah apakah pengaruh minoritas (inovasi) dan pengaruh mayoritas
(konformitas) pada dasarnya sama atau berbeda. Beberapa ahli teori telah memperkirakan bahwa
pengaruh yang dilakukan oleh minoritas dan pengaruh yang dilakukan oleh mayoritas melibatkan
proses dasar yang sama (Doms, 1984; Latane & Wolf, 1981; Tanford & Penrod, 1984). Dalam
pandangan ini, pengaruh minoritas dan mayoritas mungkin berbeda dalam segi kuantitas (dengan
lebih menerapkan pengaruh mayoritas) tapi tidak dalam segi kualitas. Beberapa penelitian telah
melaporkan hasil yang konsisten dengan pandangan proses tunggal ini (Doms & Van Avermaet,
1980; Personnaz, 1981; Wolf, 1985).

Namun demikian, pandangan proses tunggal tersebut tidak diterima secara mendunia.
Sebagian ahli teori lainnya (Maass, Barat, & Cialdini, 1987; Moscovici, 1985a, 1985b) telah
mengusulkan pandangan proses ganda, yang menyatakan bahwa mayoritas dan minoritas berbeda
secara kualitatif dalam cara mereka mempengaruhi target mereka. Dalam teori ini, pengaruh
mayoritas didasarkan pada proses perbandingan sosial dimana anggota membandingkan responnya
sendiri dengan respon mayoritas sebagai upaya untuk mencapai konsensus, sedangkan pengaruh
minoritas didasarkan pada proses validasi dimana anggota mencoba untuk memahami sudut
pandang minoritas sebagai upaya untuk mencari tahu apa yang berlaku atau nyata tentang dunia.
Pengaruh mayoritas sebagian besarnya bersifat normatif dan melibatkan kepatuhan berdasarkan
keinginan target untuk mendapatkan penghargaan dan penerimaan sosial; pengaruh minoritas
sebagian besarnya bersifat informasi, melibatkan konversi (yaitu, kesepakatan dan perubahan
keyakinan pribadi).

Model proses ganda ini kontroversial, dan beberapa penulis menyimpulkan bahwa bukti
yang mendukung proses ini lemah (Kruglanski & Mackie, 1990). Namun, penelitian lainnya
memberikan setidaknya beberapa dukungan untuk proses ini. Sebuah penelitian meta-analisis yang
menangani masalah ini (Wood dkk., 1994) menyimpulkan bahwa mayoritas dan minoritas memiliki
dampak yang berbeda dalam pengaruh respon publik dan pribadi target. Mayoritas cenderung
mengerahkan pengaruh lebih daripada minoritas atas langkah-langkah perubahan masyarakat dan
perubahan pribadi langsung, sedangkan minoritas memberikan pengaruh yang sama atau lebih
besar dari mayoritas pada langkah-langkah perubahan pribadi tidak langsung.

Relevan dengan model proses ganda, beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang
dihadapkan dengan minoritas yang menentang cenderung berpikir lebih hati-hati dan lebih kreatif
tentang masalah tersebut (Nemeth & Kwan, 1985, 1987). Meskipun mereka mungkin tidak dibujuk
untuk mengikuti anjuran posisi dari minoritas, mereka berpikir lebih divergen, memahami aspek
dalam situasi tersebut, dan mencari solusi baru (Maass, Barat, & Cialdini, 1987). Dengan demikian,
efektivitas minoritas yang menentang mungkin paling baik diukur dari segi kapasitasnya untuk secara
langsung mengubah opini dan sudut pandang, bukan kapasitasnya untuk memaksa kepatuhan
perilaku.

Ringkasan
Sebuah kelompok adalah unit sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih dan yang memiliki sifat-
sifat tertentu untuk memberikan definisi, yang mencakup keanggotaan yang diakui, interaksi antara
anggota, tujuan bersama, dan norma-norma yang memandu perilaku anggota. Model input-proses-
output memberikan kerangka kerja untuk analisis kelompok.

Kohesi Kelompok
Kelompok yang kohesif adalah kelompok yang dapat sangat menarik dan mempertahankan
anggotanya. (1) Dua jenis kohesi yang penting yaitu kohesi sosial dan kohesi tugas. Sebuah kelompok
akan lebih kohesif jika anggotanya mirip satu sama lain, menemukan daya tarik dan keterlibatan
dalam sebuah tugas, meyakini bahwa tujuan kelompok sejalan dengan tujuan individu mereka
sendiri, dan mendapatkan imbalan (martabat, uang) dengan menjadi anggota kelompok. (2) Tingkat
kohesi suatu kelompok mempengaruhi interaksi antara anggota. Anggota dalam kelompok yang
sangat kohesif lebih sering berkomunikasi daripada orang-orang dalam kelompok yang kurang
kohesif; mereka juga mengerahkan pengaruh yang lebih satu sama lain, dan interaksi mereka lebih
ramah dan kooperatif. Kelompok dengan kohesi tugas yang tinggi cenderung agak lebih produktif
daripada kelompok dengan tugas kohesi yang rendah.

Tujuan kelompok
Tujuan kelompok adalah hasil yang diinginkan dimana anggota berusaha secara kolektif untuk
mencapainya. Anggota dapat menentukan tujuan kelompok pada beberapa tingkat spesifisitas yang
berbeda – misi, tujuan, sasaran, dan tugas. (1) Tujuan kelompok berbeda dari tujuan individu, yaitu
hasil yang diinginkan oleh anggota untuk diri mereka sendiri. Sebagian besar kelompok berjalan
dengan sangat jika ada kesamaan substansial, atau isomorfisma, antara tujuan kelompok dan tujuan
individu anggota. (2) Grup yang bekerja untuk mencapai tujuan eksplisit dan menantang biasanya
memiliki kinerja yang lebih baik daripada kelompok yang bekerja tanpa tujuan eksplisit. Kinerja
kelompok juga sangat bergantung pada komitmen tujuan anggota; maka dari itu, tingkat komitmen
tujuan akan tinggi jika anggota menghargai tujuan itu sendiri dan memegang harapan kuat bahwa
tujuan tersebut bisa dicapai oleh kelompok tersebut.

Norma Kelompok
Norma adalah aturan atau standar yang menentukan bagaimana anggota kelompok diharapkan
untuk berperilaku dalam situasi tertentu. (1) Norma kelompok memberikan beberapa fungsi.
Mereka membawa koordinasi antara anggota, memberikan kerangka acuan yang memungkinkan
anggota untuk menginterpretasikan lingkungan mereka, dan menentukan identitas umum dari
anggota kelompok. (2) Model potensi kembalinya norma menggambarkan hubungan antara perilaku
dan imbalan atau hukuman berikutnya.

Pengaruh Mayoritas dan Konformitas


Konformitas berarti kepatuhan dari individu terhadap norma dan harapan kelompok. (1) Paradigma
Konformitas Asch menggunakan tugas diskriminasi visual yang sederhana untuk menyelidiki kondisi
yang menghasilkan konformitas dari individu terhadap penilaian mayoritas. (2) Mayoritas kelompok
dapat menggunakan baik pengaruh normatif maupun pengaruh informasi untuk memberikan
tekanan pada anggota individu. Penelitian efek autokinetik Sherif menggambarkan dampak dari
pengaruh informasi pada anggota kelompok. (3) Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah
konformitas dalam situasi jenis penelitian Asch. Konformitas meningkat dengan ukuran kelompok
yang terdiri dari sampai tiga orang, dan konformitas tersebut akan lebih besar ketika mayoritas
sepakat. Konformitas juga lebih besar ketika anggota sangat tertarik terhadap suatu kelompok dan
ketika konformitas mengarah pada penerimaan oleh anggota lainnya. Komitmen untuk interaksi
masa depan juga mempengaruhi konformitas; konformitass akan lebih besar ketika anggota
meyakini bahwa hubungan mereka dengan kelompok akan relatif permanen. Kompetensi tugas
mempengaruhi konformitas; anggota yang menentang pandangan mayoritas akan menolak tekanan
konformitas sejauh mereka percaya diri untuk menjadi lebih kompeten daripada anggota lainnya.
Akhirnya, jenis kelamin mempengaruhi konformitas. Perempuan lebih patuh dari laki-laki dalam
kelompok yang jenis kelaminnya sama, meskipun besarnya perbedaan ini kecil.

Pengaruh Minoritas
Pengaruh minoritas mengacu pada upaya yang dilakukan oleh minoritas yang menentang untuk
membujuk anggota mayoritas untuk menerima sudut pandang baru dan menerapkan posisi baru. (1)
Sebuah minoritas akan lebih berpengaruh jika ia mempertahankan posisinya secara konsisten dari
waktu ke waktu, menerapkan gaya negosiasi yang fleksibel, memiliki banyak anggota, dan terdiri dari
anggota dalam kelompok yang memiliki identitas sama dengan mayoritas. (2) Meskipun
kontroversial, beberapa bukti menunjukkan bahwa minoritas dan mayoritas mengerahkan berbagai
jenis pengaruh. Meskipun mayoritas bisa sering memaksa anggota untuk patuh, minoritas harus
bergantung terutama pada persuasi untuk mengubah sudut pandang orang lain.

Istilah Kunci
Konformitas (hal. 323)
Minoritas ganda (hal. 332)
Komitmen tujuan (hal. 319)
Tujuan isomorfisma (hal. 318)
Kelompok (hal. 313)
Kohesi kelompok (hal. 316)
Tujuan kelompok (hal. 317)
Pengaruh informasi (hal. 326)
Model input-proses-output (hal. 314)
Pengaruh mayoritas (hal. 323)
Pengaruh minoritas (hal. 330)
Norma (hal. 320)
Pengaruh normative (hal. 325)
Kelompok utama (hal. 318)
Model potensi kembalinya norma (hal. 321)
Kelompok cadangan (hal. 318)
Kelompok kecil (hal. 313)

Anda mungkin juga menyukai