Anda di halaman 1dari 7

Komunikasi Emosi Wajah

Lebih dari 2000 tahun yang lalu, sarjana Romawi Pliny the Elder berkata, “Wajah manusia adalah
indeks kegembiraan dan keriangan, terhadap tingkat kesulitan dan kesedihan.” Ketika kita ingin
menyembunyikan perasaan kita, kita berpaling atau menutupi wajah kita. Jika kita harus
menunjukkan wajah kita, kita mencoba dengan hati-hati untuk menyusun ungkapan yang akan kita
keluarkan (Goffman, 1959). Fakta bahwa kita melindungi ekspresi wajah alami kita untuk
menyembunyikan emosi kita yang sebenarnya dari orang lain menunjukkan bahwa kita memiliki dua
keyakinan: (1) orang mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang berbeda di wajah mereka,
dan (2) pengamat dapat secara akurat mengenali emosi yang dialami orang lain. Apakah kedua
keyakinan ini benar? Bagian ini akan membahas pertanyaan ini.

Emosi yang Diekspresikan oleh Wajah


Peneliti menunjukkan bahwa orang mengkomunikasikan enam emosi yang berbeda dengan ekspresi
wajah yang khas: kebahagiaan, kesedihan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, dan rasa jijik (Ekman
& Friesen, 1975; Harper, Wiens, & Matarazzo, 1978). Fitur-fitur wajah tertentu sangat penting bagi
ekspresi setiap emosi. Bila hanya menampilkan wajah yang lebih rendah, misalnya, hampir semua
orang dalam satu penelitian mengidentifikasi kebahagiaan namun mereka tidak berhasil
mengidentifikasi ketakutan (Ekman, Friesen, & Tomkins, 1971). Baik ketakutan maupun kesedihan
paling baik dinilai dari mata/kelopak mata (Boucher & Ekman, 1975).

Dipelajari atau Bawaan?


Psikolog sosial sangat tertarik pada komunikasi emosi karena mencerminkan pertemuan antara
pengaruh biologis, sosial, dan budaya. Satu abad yang lalu, Darwin pertama kali mengusulkan bahwa
ekspresi emosi wajah merupakan bagian warisan biologis yang kita bawa sejak lahir. Jika demikian,
semua orang di dunia pasti menunjukkan ungkapan yang sangat mirip saat mengalami emosi yang
sama. Individu juga harus bisa mengenali emosi yang diungkapkan oleh anggota budaya lain.

Untuk menguji universalitas ekspresi, beberapa foto individu dari berbagai kelompok budaya
ditunjukkan kepada anggota kelompok lain (Ekman & Friesen, 1975). Anggota masing-masing
kelompok berhasil mengenali emosi wajah yang diungkapkan oleh anggota kelompok budaya
lainnya. Ini menunjukkan bahwa semua individu merespons ekspresi-ekspresi wajah yang mewakili
emosi utama antar budaya. Pengamatan terhadap anak-anak yang terlahir buta memberikan
dukungan tambahan yang meyakinkan mengenai universalitas ekspresi emosional. Anak-anak buta
ini, yang tidak bisa belajar mengekspresikan emosi dengan cara melihat orang lain, masih tersenyum,
tertawa, dan cemberut sama seperti anak-anak yang bisa melihat (Eibl-Eibesfeldt, 1979).

Sebuah penelitian memberikan demonstrasi yang mengesankan tentang universalitas


pengakuan enam emosi dasar (Ekman dkk., 1987). Peneliti memilih tiga foto yang menggambarkan
masing-masing enam emosi. Foto-foto tersebut merupakan gambar hitam dan putih kepala dan
bahu pria atau wanita Kaukasia. Foto-foto tersebut diperlihatkan kepada pengamat mahasiswa di 10
negara, termasuk negara-negara Barat dan non-Barat. Para pengamat ini diminta untuk
mengidentifikasi emosi orang di setiap foto tersebut. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 7.3. Di setiap
negara, dari 65% sampai 98% pengamat mengidentifikasi emosi yang digambarkan dalam foto
dengan tepat.
Tabel 7.3. Tugas Penilaian Emosi Tunggal: Persentase Subjek dalam Kebudayaan yang
Memilih Emosi yang telah Diprediksi

Rasa
Bangsa kegembiraan keterkejutan Kesedihan Ketakutan Kemarahan
jijik
Estonia 90 94 86 91 71 67
Jerman 93 87 83 86 61 71
Yunani 93 91 80 74 77 77
Hong Kong 92 91 91 84 65 73
Italia 97 92 81 82 89 72
Jepang 90 94 87 65 60 67
Skotlandia 98 88 86 86 79 84
Sumatera 69 78 91 70 70 70
Turki 87 90 76 76 74 79
Amerika 95 92 92 84 86 81
Serikat
SUMBER: Diadaptasi dari Ekman dkk., 1987.

Pengaruh Budaya
Hal yang universal dalam ekspresi wajah adalah kombinasi otot wajah tertentu yang bergerak saat
kita mengalami suatu emosi. Bagaimanapun, ada pengaruh budaya yang kuat, pada ekspresi emosi
yang sebenarnya dalam interaksi sehari-hari. Pengaruh ini memiliki dua bentuk utama. Pertama,
melalui pembelajaran, budaya membantu menentukan stimulus mana yang membangkitkan emosi
tertentu. Dengan demikian emosi kelompok budaya berbeda dalam hal berbagai bau, suara,
kejadian, dan sebagainya, yang muncul pada anggotanya. Misalnya, pembelajaran budaya
mempengaruhi apakah kejadian kematian menimbulkan kesedihan atau kebahagiaan bagi
almarhum.

Kedua, budaya mempengaruhi ekspresi emosi melalui aturan tampilan. Aturan tampilan
adalah norma budaya khusus untuk memodifikasi ekspresi emosi wajah agar sesuai dengan situasi
sosial (Ekman, 1972). Aturan tampilan biasanya dipelajari pada masa kanak-kanak. Mereka menjadi
kebiasaan yang secara otomatis mengendalikan otot wajah. Dampak situasi pada tampilan
emosional telah didokumentasikan dalam beberapa penelitian. Sebuah penelitian tentang ekspresi
wajah dari para peraih medali emas Olimpiade berfokus pada menampilkan kebahagiaan selama
upacara penghargaan medali (Fernandez-Dols & Ruiz-Belda, 1995). Meskipun para peraih medali
tersebut dinilai sangat bahagia oleh pengamat rekaman video upacara, mereka hanya tersenyum
saat mereka berinteraksi dengan orang lain. Aturan tampilan mungkin memerlukan modifikasi
ekspresi emosi wajah dalam berbagai cara. Mereka mungkin membutuhkan (1) intensitas ekspresi
emosi yang lebih besar, (2) intensitas ekspresi emosi yang lebih sedikit, (3) netralisasi ekspresi
emosional yang lengkap, atau (4) menyembunyikan satu emosi dengan emosi yang berbeda. Jika
budaya bervariasi dalam intensitas tampilan emosional yang dianggap tepat, pengamat mungkin
akan menghadapi kesulitan dalam menilai intensitas tampilan emosional oleh seseorang dari budaya
lain. Dalam penelitian Ekman dan rekan-rekannya (1987) menggunakan pengamat dari 10 budaya,
masing-masing pengamat tersebut diminta untuk menilai seberapa intens orang dalam foto tersebut
mengalami kebahagiaan, kemarahan, dan sebagainya. Sementara penilaian emosi menunjukkan
tingkat kesepakatan yang tinggi antar budaya, penilaian intensitas menunjukkan tingkat kesepakatan
yang lebih rendah dari satu budaya ke budaya yang lain. Dalam sebuah eksperimen dengan wanita
sebagai peserta, tampilan wajah ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas pengalaman
emosional dan situasinya, namun juga oleh hubungan antara wanita dan “penonton” (Hess, Banse, &
Kappas, 1995). Tampilan yang paling intens terjadi saat emosi sedang intens, tampilan normalnya
memungkinkan munculnya suatu tampilan, dan peserta lainnya adalah teman.

Sebagai tanggapan atas pertanyaan kita sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa orang
memang mengekspresikan emosi utama dengan cara yang berbeda di wajah mereka, dan orang lain
dapat secara akurat mengenali emosi tersebut. Fitur universal dari ekspresi wajah emosi adalah
bersifat bawaan. Untuk mengkomunikasikan emosi secara efektif dalam interaksi sehari-hari, orang
harus belajar dan menerapkan aturan tampilan budaya mereka sendiri.

7.2 Menggoda
Kelompok perilaku komunikatif yang berbeda yaitu menggoda, atau pemberian sinyal untuk berpacaran (Bird-
whistell, 1970). Dipercaya secara luas bahwa biasanya pria yang memulai kontak, dan selanjutnya menjalin
hubungan dengan wanita. Seringkali pria yang secara fisik mendekati dan memulai interaksi verbal. Tetapi
sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa perempuanlah yang mengambil inisiatif, menggunakan sinyal
nonverbal dalam mendorong pria untuk melakukan interaksi.

Perilaku menggoda mengacu pada kelompok ekspresi wajah dan perilaku nonverbal, dipamerkan oleh
wanita, yang berfungsi untuk menarik perhatian dan mendapatkan pendekatan dari seorang pria (Moore,
1985). Monica Moore telah mempelajari perilaku menggoda selama 20 tahun. Dia mulai dengan mengamati
wanita dan merekam perilaku nonverbal mereka. Pengamatan terhadap 200 wanita kulit putih, yang dinilai
berusia 18 sampai 35, menghasilkan katalog perilaku yang genit. Seorang wanita yang tidak didampingi pria
dipilih secara acak dan diamati paling tidak sekitar 30 menit, di tempat dimana setidaknya ada 20 orang yang
hadir, baik pria maupun wanita. Pengamat mencatat setiap perilaku subjek tersebut dan konsekuensinya.
Menggoda, atau perilaku ajakan nonverbal, didefinisikan sebagai perilaku yang menghasilkan perhatian pria
dalam 15 detik. Katalog yang dihasilkan mencakup 52 perilaku, termasuk gerakan wajah dan kepala ( melirik-
lirik ruangan, tatapan tetap, memalingkan wajah), isyarat (telapak tangan menghadap ke arah pria, berdandan
– menyentuh rambut atau pakaian), dan postur tubuh (bersandar pada pria, menyentuh).

Penelitian selanjutnya (Moore & Butler, 1989) menggambarkan perilaku yang menarik perhatian pria
dan perhatian yang dipusatkan setelah interaksi dimulai. Perhatian pria cenderung terpancing oleh adanya
wanita yang sekilas menatapnya di ruangan, memberikan senyuman sambil menatap pria tersebut, menepuk
atau merapikan rambutnya, “membasahi bibir”, atau memalingkan wajah. Perhatian pria sering muncul
apabila kepalanya sering mengangguk saat dia berbicara, wanita bersandar di dekatnya dan menyentuh atau
mengusap bagian tubuh pria tersebut.

Moore memberikan bukti kontekstual untuk pernyataan bahwa perilaku ini adalah sinyal untuk
berpacaran. Jika perilaku ini dimaksudkan untuk menarik perhatian laki-laki, kita harus mengamati perilaku
tersebut dalam konteks di mana permintaan semacam itu mungkin terjadi, seperti bar, tapi tidak dalam setting
di mana tidak ada laki-laki yang hadir, seperti pertemuan kelompok perempuan. Moore mempelajari 10 wanita
dalam empat setting: bar, kantin universitas, perpustakaan universitas, dan pusat perkumpulan wanita.
Seorang wanita diamati hanya jika ada setidaknya 25 orang yang hadir dan dia tidak ditemani oleh seorang
pria. Tampilan sinyal berpacaran jelas konteksnya spesifik (lihat tabel di halaman berikutnya). Perempuan lebih
cenderung terlibat dalam perilaku menggoda ini dalam setting bar, dan paling tidak mungkin terlibat dalam
setting pusat perkumpulan wanita.
Dampak Konteks Sosial pada Frekuensi Tampilan dan Jumlah Pendekatan
Bar Kantin Perpustakaan Perkumpulan
Wanita
Jumlah subjek 10 10 10 10
Total jumlah tampilan 706 186 96 47
Rata-rata jumlah tampilan 70.6 18.6 9.6 4.7
Rata-rata jumlah kategori yang digunakan 12.8 7.5 4.0 2.1
Jumlah pendekatan pada subjek oleh pria 38 4 4 0
Jumlah pendekatan pada pria oleh subjek 11 4 1 0
Catatan: data yang disusun adalah untuk interval observasi 60 menit. Asimetri dalam frekuensi tampilan: x2 =
25.079, df = 3, p < 0.001; asimetri dalam jumlah kategori yang digunakan: x2 = 23.099, df = 3, p < 0.001.
SUMBER: Diadaptasi dari Moore, 1985.

Sebuah penelitian baru-baru ini (Moore, 1995) melihat tampilan perilaku permintaan nonverbal oleh
gadis remaja. Pengamatan dilakukan di acara sekolah, kolam renang, dan pusat perbelanjaan, saat setidaknya
ada 20 pria dan wanita yang hadir. Seratus anak perempuan yang dinilai berusia antara 13 dan 16 dipilih secara
acak. Setiap gadis diamati paling sedikit 30 menit. Secara keseluruhan, anak perempuan menunjukkan perilaku
yang sama, namun jauh lebih jarang daripada wanita dewasa dalam situasi yang sama. Selain itu, perilaku
menggoda ini sering kali memiliki kualitas yang berlebihan dan main-main. Pengamatan ini konsisten dengan
kesimpulan bahwa remaja perempuan belajar menggoda, dan melatih perilaku ini dalam konteks yang tepat.

Program penelitian Moore dengan jelas mendokumentasikan pengaruh wanita terhadap inisiasi
hubungan. Perilaku menggoda merupakan komponen penting untuk mengembangkan hubungan. Pemilihan
pasangan yang unggul, yang memiliki kualitas yang diinginkan, penting bagi pria dan wanita. Norma peran
gender tradisional menentukan pria sebagai inisiator interaksi. Perilaku menggoda memungkinkan seorang
wanita untuk mempengaruhi siapa yang mendekatinya. Ini juga menandakan pria bahwa sambutannya akan
disambut dengan baik, dan bisa mengurangi kecemasannya untuk melakukan pendekatan.

Menggabungkan Komunikasi Nonverbal dan Verbal


Saat kita berbicara di telepon atau berteriak kepada seorang teman di ruangan lain, komunikasi kita
terbatas melalui saluran verbal dan paralinguistik. Saat kita melambai ke penumpang yang hendak
berangkat atau baru saja tiba di bandara, kita hanya menggunakan saluran visual. Namun biasanya,
komunikasi bersifat multi penyaluran. Informasi disampaikan secara bersamaan melalui isyarat
verbal, paralinguistik, kinesik, dan proksemik.

Apa yang akan kita dapatkan dan masalah apa yang ditimbulkan ketika saluran-saluran
komunikasi yang berbeda digabungkan? Jika saluran-saluran tersebut bertujuan untuk
menyampaikan informasi yang konsisten, maka saluran tersebut akan saling menguatkan, dan
komunikasi akan menjadi lebih akurat. Namun jika saluran yang berbeda menyampaikan informasi
yang tidak konsisten, pesan yang terkandung didalamnya dapat menimbulkan kebingungan atau
bahkan menimbulkan kecurigaan mengenai adanya penipuan. Pada bagian ini, kita akan memeriksa
beberapa hasil konsistensi dan inkonsistensi nyata antar saluran komunikasi.
Penguatan dan Peningkatan Akurasi
Berbagai isyarat yang kita terima sering kali tampak berlebihan, walaupun masing-masing isyarat
tersebut membawa pesan yang sama. Pujian disertai senyuman yang disampaikan dengan nada
suara yang hangat; ancaman disertai teriakan keras dan ekspresi cemberut. Tapi ada juga beberapa
isyarat yang jarang sekali berlebihan, dan isyarat seperti itu lebih baik dilihat sebagai pelengkap
(Poyatos, 1983). Senyuman dan nada suara yang hangat menyiratkan bahwa pujian itu tulus;
cemberut dan teriakan keras menyiratkan bahwa ancaman tersebut sungguh-sungguh. Dengan
demikian, beberapa isyarat berfungsi untuk menyampaikan informasi tambahan, mengurangi
ambiguitas, dan meningkatkan ketepatan komunikasi (Krauss, Morrel-Samuels, & Colasante, 1991).

Disisi lain, setiap saluran tidak memiliki kapasitas untuk memuat semua konten pesan yang
ditukar dalam percakapan. Dengan sendirinya, aspek bahasa verbal tidak mencukupi untuk
komunikasi yang akurat. Isyarat paralinguistik dan kinesik memberikan isyarat verbal dengan
mendukung dan menekankan isyarat tersebut. Pentingnya isyarat paralinguistik diilustrasikan dalam
sebuah penelitian tentang siswa yang dilakukan oleh seorang mahasiswa sekolah menengah dan
perguruan tinggi di Nigeria (Grayshon, 1980). Meskipun siswa tersebut mengikuti kursus Bahasa
Inggris dan tahu bahasa verbalnya dengan baik, mereka tidak tahu isyarat paralinguistik penduduk
asli Inggris. Para siswa tersebut mendengarkan dua rekaman Inggris dengan konten verbal yang
identik. Dalam satu rekaman, isyarat paralinguistik menunjukkan bahwa pembicara memberikan
penolakan terhadap pendengar. Dalam rekaman lainnya, isyarat paralinguistik menunjukkan bahwa
pembicara itu meminta maaf. Dari 251 siswa, 97% gagal menemukan perbedaan arti yang
disampaikan oleh pembicara. Gagal membedakan penolakan dan permintaan maaf bisa menjadi
bencana dalam komunikasi sehari-hari. Pemahaman yang akurat membutuhkan pengetahuan
paralinguistik dan verbal.

Keakuratan kita dalam menafsirkan kejadian akan sangat meningkat jika kita tidak hanya
memiliki informasi lisan saja tapi juga beberapa isyarat komunikasi. Nilai dari sekelompok isyarat
yang lengkap ditunjukkan dalam sebuah penelitian tentang interpretasi siswa mengenai berbagai
degan (Archer & Akert, 1977). Siswa mengamati adegan interaksi sosial yang ditampilkan dalam
siaran video atau dijelaskan secara lisan dalam transkrip siaran video. Dengan demikian, siswa
menerima baik multi saluran komunikasi atau isyarat verbal sendiri. Kemudian, siswa diminta
menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi di setiap adegan, pertanyaan-pertanyaan yang
memerlukan pemaparan fakta yang jelas. Pengamat yang menerima sekelompok isyarat verbal dan
nonverbal yang lengkap lebih akurat dalam menafsirkan interaksi sosial. Misalnya, dari mereka yang
menerima isyarat multi saluran, 56% dengan benar mengidentifikasi yang mana dari tiga wanita yang
terlibat dalam percakapan yang tidak punya anak; ini dibandingkan dengan 17% dari mereka yang
hanya menerima isyarat verbal. Temuan ini sangat menunjukkan perolehan akurasi dari komunikasi
multi saluran.

Mengatasi Inkonsistensi
Terkadang, pesan yang disampaikan oleh saluran yang berbeda tampak tidak konsisten satu sama
lain. Hal ini membuat komunikasi dan interaksi menjadi bermasalah. Apa yang akan anda lakukan,
misalnya, jika instruktur anda memperlakukan anda selama jam kerja dengan kata-kata keras, wajah
cemberut, dan nada suara kesal? Anda mungkin bereaksi dengan ketidakpastian dan kehati-hatian,
merasa bingung dengan inkonsistensi yang muncul antara isyarat verbal dan nonverbal yang anda
terima. Anda pasti akan mencoba untuk memahami perasaan dan keinginan instruktur yang
“sebenarnya”, dan anda mungkin juga mencoba menebak mengapa instruktur tersebut memberikan
isyarat-isyarat yang membingungkan itu.

Strategi yang digunakan orang untuk mengatasi isyarat yang inkonsisten tergantung pada
kesimpulan mereka tentang alasan munculnya inkonsistensi tersebut (Zuckerman, DePaulo, &
Rosenthal, 1981). Inkonsistensi dapat disebabkan oleh perasaan ambivalen komunikator,
keterampilan komunikasi yang buruk, atau niat untuk menipu. Sebuah penelitian besar telah
membandingkan bobot relatif yang kita berikan pada pesan di saluran yang berbeda saat kita tidak
merasa ada kecurigaan akan penipuan.

Dalam satu rangkaian penelitian, orang menilai emosi yang diungkapkan oleh aktor yang
berpose kontradiktif secara verbal, paralinguistik, dan ekspresi wajah (Mehrabian, 1972). Penelitian-
penelitian ini menunjukkan bahwa isyarat wajah paling penting dalam menentukan perasaan mana
yang ditafsirkan dengan benar. Isyarat yang paling penting setelah isyarat wajah adalah isyarat
paralinguistik, dan isyarat verbal adalah yang selanjutnya. Penelitian berikutnya, memberikan
penerima kombinasi isyarat visual dan isyarat pendengaran yang lebih lengkap, mereplikasi temuan
bahwa orang-orang lebih mengandalkan ekspresi wajah daripada isyarat paralinguistik saat ada dua
konflik yang terjadi. Kecenderungan akan isyarat wajah ini meningkat seiring bertambahnya usia
seseorang dari masa kanak-kanak sampai dewasa, menunjukkan bahwa itu adalah strategi yang
dipelajari (DePaulo dkk., 1978).

Orang juga menggunakan konteks sosial untuk membantu mereka menilai saluran mana
yang lebih kredibel (Bugenthal, 1974). Mereka mempertimbangkan apakah ekspresi wajah, nada
suara, atau konten verbal sesuai dengan situasi sosial tertentu. Jika orang menyadari sebuah situasi
sebagai situasi yang sangat menimbulkan tekanan, misalnya, mereka lebih mengandalkan isyarat
yang tampaknya konsisten dengan konteks penuh tekanan (seperti nada suara yang tegang) dan
tidak terlalu mengandalkan isyarat yang tampaknya bertentangan dengan konteks tersebut (seperti
wajah gembira atau penegasan verbal tentang ketenangan). Jika ekspresi emosional ambigu, isyarat
situasional menentukan emosi yang diamati oleh pengamat (Carroll & Russell, 1996). Misalnya,
orang dalam situasi menakutkan menunjukan ekspresi kemarahan yang dinilai sebagai ekspresi
takut. Singkatnya, orang cenderung untuk menyelesaikan inkonsistensi antara saluran yang
mendukung saluran pesan yang tampaknya paling sesuai dengan konteks sosial.

STRUKTUR DAN KOMUNIKASI SOSIAL


Sejauh ini, Bab ini telah meneliti sifat komunikasi verbal dan nonverbal, dan beberapa konsekuensi
fakta bahwa komunikasi sehari-hari biasanya menggabungkan kedua sifat komunikasi tersebut. Tapi
bagaimana hubungan sosial bisa membentuk komunikasi? Dan bagaimana komunikasi
mengungkapkan, memelihara, atau mengubah hubungan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini
menunjukkan keprihatinan psikologi sosial dengan dampak timbal balik dari struktur dan komunikasi
sosial satu sama lain. Bagian ini membahas empat aspek dari dampak tersebut. Pertama, membahas
hubungan antara gaya bicara dan posisi dalam sistem stratifikasi sosial. Kedua, menganalisa cara
dimana komunikasi membentuk dua dimensi utama dalam suatu hubungan – yaitu, status dan
keintiman. Ketiga, mengkaji norma-norma sosial yang mengatur jarak interaksi dan beberapa
hasilnya ketika norma-norma tersebut dilanggar.

Stratifikasi Sosial dan Gaya Berbicara

Cara kita berbicara mencerminkan dan menciptakan hubungan sosial kita (Giles & Coupland, 1991).
Setiap masyarakat sosiolinguistik mengakui variasi dalam gaya berbicara anggotanya. Satu gaya
biasanya merupakan gaya standar. Selain gaya pilihan ini, sering ada juga yang lainnya, gaya yang
tidak dipilih.

Perhatikan contoh masing-masing gaya bicara ini. Saat Anda memasuki bioskop, seorang
pemuda mendekati Anda. Dia bertanya, “Bersediakah anda mengisi survei singkat ini untuk saya?”.
Tergantung pada suasana hati anda, anda mungkin akan memenuhi permintaan tersebut. Tapi
bagaimana kalau dia bertanya, “Mau isi pertanyaan?” kebanyakan orang cenderung akan menolak
permintaan ini.

Permintaan pertama memakai standar berbicara Amerika Inggris. Gaya bicara berstandar
ditandai oleh beragam kosakata, pengucapan yang tepat, tata bahasa yang benar, dan konten
abstrak. Standar ini memperhitungkan perspektif dari pendengar. Perhatikan kata “bersedia” dalam
permintaan pertama, yang menunjukkan bahwa pembicara mengakui bahwa ia sedang meminta
bantuan. Gaya bicara tanpa standar ditandai dengan kosakata yang terbatas, pengucapan yang tidak
benar, tata bahasa yang salah, dan terlalu ‘langsung’. Hal ini egosentris; tidak adanya kata “bersedia”
dan “untuk saya” dalam permintaan kedua membuatnya terdengar seperti ia sedang memerintah,
meskipun diutarakan sebagai permintaan.

Di Amerika Serikat, seperti di banyak negara lain, gaya bicara terkait dengan status sosial
(Giles & Coupland, 1991). Penggunaan standar berbicara terkait dengan status sosial ekonomi dan
kekuasaan yang tinggi. Orang-orang di posisi ekonomi dan kekuasaan politik yang tinggi biasanya
sangat mengartikulasikan dan menggunakan tata bahasa yang benar dalam pernyataan publik
mereka. Sebaliknya, gaya berbicara tanpa standar dikaitkan dengan status ekonomi sosial dan
kekuasaan yang rendah.

Gaya berbicara juga dipengaruhi oleh konteks interpersonal. Dalam percakapan yang
informal dengan orang lain yang berstatus sama, seperti dalam beberapa pesta di bar, kita biasanya
menggunakan gaya bicara tanpa standar, tanpa memikirkan status ekonomi sosial kita. Namun
dalam setting yang lebih formal, khususnya tempat publik, kita biasanya mengganti gaya bicara kita
menjadi lebih berstandar. Oleh karena itu pilihan kita mengenai gaya bicara yang berstandar atau
tidak berstandar memberikan informasi kepada pendengar tentang bagaimana kita menangani
situasi tersebut.

Penelitian dalam beberapa kebudayaan telah menemukan perbedaan yang sistematis


tentang bagaimana orang-orang mengevaluasi pembicara yang menggunakan gaya bicara
berstandar dan tidak berstandar. Dalam satu penelitian, siswa di Kentucky mendengarkan rekaman
seorang pria dan wanita muda menjelaskan diri mereka. Empat rekaman tersebut, dua rekaman oleh
pria dan dua lagi oleh wanita, adalah pembicara dengan “standar” aksen Amerika. Empat rekaman
lainnya, dengan konten yang sama, adalah pembicara dengan aksen Kentucky. Rata-rata, siswa
memberikan penilaian status yang tinggi terhadap gaya bicara berstandar dan memberikan penilaian
status rendah untuk gaya bicara yang tidak berstandar (Luhman, 1990).

Anda mungkin juga menyukai