Anda di halaman 1dari 20

Ketiga, kita menyukai orang yang memiliki kesamaan sikap karena kita berharap bahwa orang

tersebut akan seperti kita. Dalam satu eksperimen, mahasiswa diberi informasi tentang sikap
seseorang yang asing dan evaluasi orang asing tersebut tentang mereka (Condon & Crano, 1988).
Persepsi subjek tentang kesamaan orang asing tersebut dan evaluasi mereka juga dinilai. Para
mahasiswa itu tertarik pada orang asing yang mereka anggap orang asing tersebut mengevaluasi
mereka secara positif, dan hal ini juga mendukung adanya pengaruh atas kesamaan sikap.

Kegiatan Bersama

Ketika orang berinteraksi, mereka juga berbagi kegiatan. Coba ingat kembali setelah Sally dan Dan
bertemu, mereka mulai duduk bersama-sama di kelas dan membahas program kerja mereka. Saat
profesor mengumumkan adanya ujian pertama, Dan mengajak Sally untuk belajar bersama
dengannya. Teman sekamar Sally juga ada di kelas tersebut; mereka bertiga mempelajari materi
ujian bersama-sama malam sebelum ujian. Sally dan Dan keduanya mendapat nilai A pada ujian
tersebut, dan mereka berdua merasa bahwa belajar bersama-sama itu bermanfaat. Minggu
depannya, mereka pergi ke bioskop bersama-sama. Beberapa hari kemudian, Sally mengajak Dan
untuk pergi ke pesta.
Kegiatan bersama memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk mengalami penguatan.
Beberapa penguatan ini datang dari orang lain; Sally merasa Dan tertarik padanya dan itu sangat
memperkuat. Seringkali, orang lain dikaitkan dengan pengalaman positif, yang menyebabkan kita
akan menyukai orang tersebut (Byrne & Clore, 1970). Mendapatkan nilai A dalam ujian adalah
pengalaman yang sangat positif baik untuk Dan dan Sally. Hubungan orang lain dengan pengalaman
seperti itu menyebabkan meningkatnya rasa suka terhadap orang lain.
Dengan demikian, seiring berkembangnya suatu hubungan, kegiatan bersama memberikan
kontribusi untuk peningkatan rasa suka. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah penelitian dimana
sepasang teman yang berjenis kelamin sama mengisi kuesioner sikap dan membuat daftar preferensi
berbagai kegiatan mereka (Werner & Parmelee, 1979). Durasi dari persahabatan beragam dari 3
bulan sampai 20 tahun, namun rata-ratanya 5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan kesamaan antara
teman-teman dalam kedua preferensi aktivitas dan sikap. Sebuah penelitian tentang hubungan
romantis menemukan bahwa pekerjaan atau kegiatan bersama adalah prediktor kuat dari rasa suka
(Stafford & Canary, 1991). Dengan demikian, partisipasi dalam kegiatan bersama yang memuaskan
adalah pengaruh yang kuat pada pengembangan dan pemeliharaan hubungan. Karena Dan dan Sally
harus mengenal satu sama lain, pengalaman bersama mereka – belajar, menonton film, pergi ke
pesta – menjadi dasar bagi hubungan mereka, melengkapi efek kesamaan sikap.

Rasa Suka Timbal Balik

Salah satu temuan penelitian yang paling konsisten adalah hubungan positif yang kuat antara rasa
suka kita terhadap seseorang dan persepsi bahwa orang lain akan menyukai kita juga (Backman,
1990). Dalam kebanyakan hubungan, kita mengharapkan timbal balik dari objek; semakin besar rasa
suka seseorang terhadap orang lainnya, semakin besar rasa suka orang lain tersebut akan menjadi
timbal balik. Tapi akankah tingkat timbal balik meningkat dari waktu ke waktu karena pasangan
memiliki peluang lebih besar untuk berinteraksi? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebuah penelitian
memperoleh tingkat rasa suka dari 48 orang (32 pria dan 16 wanita) yang telah berkenalan selama 1,
2, 4, 6, atau 8 minggu (Kenney & La Voie, 1982). Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif antara
masing-masing tingkat rasa suka kepada orang lain, dan daya tarik timbal balik meningkat sedikit
dengan durasi waktu kenalan. Beberapa subjek dalam penelitian ini merupakan teman sekamar;
mereka mau tidak mau pasti saling menyukai sebagai efek kedekatan. Ketika teman sekamar
dieliminasi dari hasil penelitian ini, korelasi antara penilaian rasa suka meningkat secara substansial.

Pertumbuhan hubungan
Kita telah membahas pengembangan hubungan dari tahap nol kontak melalui kesadaran (yang
tersedia) dan kontak permukaan (yang diinginkan) hingga mutualitas (rasa suka). Pada awal bab ini,
Dan dan Sally bertemu, mereka mengetahui bahwa mereka memiliki sikap dan minat yang sama, dan
pengalaman menyenangkan bersama, seperti mengerjakan ujian dengan baik, pergi ke bioskop, dan
kemudian, pergi ke pesta.

Banyak dari hubungan kita tetap dalam tingkat mutualitas “minor”. Kita punya banyak
kenalan, tetangga, dan rekan kerja yang kita sukai dan berinteraksi dengan teratur tetapi kepada
siapakah kita khususnya tidak merasa dekat. Beberapa hubungan kita tumbuh lebih dekat; hubungan
tersebut bertahan melalui mutualitas “menengah” hingga mutualitas “utama”. Tiga aspek
pertumbuhan hubungan diuji dalam bagian ini: keterbukaan diri, kepercayaan, dan keadaan saling
tergantung. Seiring dengan meningkatnya tingkat mutualitas antara teman-teman, teman sekamar,
dan rekan kerja, keterbukaan diri, kepercayaan, dan keadaan saling tergantung juga akan meningkat.

Keterbukaan Diri

Ingatlah bahwa ketika Dan dan Sally pulang dari pesta, Sally berkata pada Dan bahwa orang tua dari
teman sekamarnya baru saja berpisah dan bahwa teman sekamarnya itu sangat tertekan. Sally
mengatakan bahwa dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghibur teman sekamarnya itu – dia
merasa tidak mampu untuk menangani situasi tersebut. Pada titik ini, Sally terlibat dalam
keterbukaan diri, tindakan mengungkapkan informasi pribadi seseorang kepada orang lain.
Keterbukaan diri biasanya meningkat dari waktu ke waktu dalam suatu hubungan. Awalnya, orang
mengungkapkan hal-hal tentang diri mereka sendiri yang tidak terlalu bersifat pribadi dan mereka
yakin orang lain mau mendengar ungkapan tersebut. Seiring berjalannya waktu, mereka
mengungkapkan segala informasi yang semakin intim tentang keyakinan atau perilaku mereka,
termasuk informasi yang mereka rasa orang lain tidak mau mendengarnya (Backman, 1990).
Keterbukaan diri meningkat seiring dengan pertumbuhan suatu hubungan. Dalam satu
penelitian, pasangan yang berjenis kelamin sama yang sebelumnya tidak saling mengenal dibawa ke
laboratorium dan diminta untuk berkenalan (Davis, 1976). Mereka diberi sebuah daftar yang berisi
72 topik. Setiap topik tersebut telah dinilai sebelumnya oleh mahasiswa lain diskala keintiman dari 1
sampai 11. Para subjek tersebut diminta untuk memilih topik dari daftar ini dan bergiliran
membicarkan masing-masing topik tersebut setidaknya selama 1 menit sementara pasangan mereka
tetap diam. Interaksi terus berlanjut sampai masing-masing pasangan sudah membicarakan 12 topik
dari 72 topik yang disediakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keintiman topik yang dipilih
meningkat terus dari topik pertama hingga ke topik yang ke-12. Rata-rata keintiman topik yang
dibahas oleh masing-masing pasangan meningkat dari 3,9 ke 5.4 selama 12 pengungkapan.
Ketika Sally menceritakan kepada Dan tentang situasi teman sekamarnya, Dan menjawab
bahwa ia mengerti bagaimana perasaannya, karena kakaknya juga baru saja berpisah dari istrinya.
Pertukaran ini mencerminkan timbal balik dalam keterbukaan diri; ketika salah satu orang
mengungkapkan informasi yang intim secara detailnya, orang lain biasanya mengungkapkan
informasi dengan tingkat keintiman yang kira-kira sama (Altman & Taylor, 1973). Dalam penelitian
Davis yang baru kita bahas, setiap subjek memilih topik dengan tingkat keintiman yang sama dengan
topik sebelumnya atau tingkat keintiman selanjutnya. Namun, timbal balik akan menurun seiring
dengan berkembangnya suatu hubungan. Dalam sebuah penelitian, peneliti merekrut mahasiswa
untuk menjadi subjek dan meminta masing-masing subjek tersebut untuk membawa seorang
kenalan, teman, atau sahabat mereka ke laboratorium (Won-Doornink, 1985). Setiap pasangan
diberi daftar topik yang tingkat keintimannya beragam. Masing-masing pasangan tersebut
diinstruksikan untuk memilih topik dan membahasnya setidaknya dalam empat putaran. Setiap
percakapan direkam dan kemudian dianalisis sebagai bukti timbal balik. Asosiasi antara tahap
hubungan dan timbal balik pengungkapan keintiman berbentuk seperti garis melengkung; terdapat
timbal balik keterbukaan diri yang lebih besar diantara teman-teman dibandingkan diantara orang
yang baru kenal dan timbal balik antara sahabat lebih sedikit dibandingkan diantara teman-teman
(lihat Gambar 12.2).
JUMLAH TIMBAL BALIK PENGUNGKAPAN DIRI

……… Topik yang tidak intim


------- Topik yang keintimannya menengah
____ Topik yang intim

Awal Menengah Lebih Lanjut

TAHAPAN HUBUNGAN

Gambar 12.2 Hubungan antara Timbal Balik dan Keintiman

Timbal balik – memilih topik pembicaraan yang sama intimnya dengan topik terakhir yang diperkenalkan oleh
pasangan Anda – adalah proses dimana hubungan menjadi lebih intim. Sejauh mana timbal balik terjadi itu
semua tergantung pada keintiman topik dan tahap hubungan. Mahasiswa berbicara dengan seorang kenalan
(tahap awal), teman (tahap menengah), atau sahabat (tahap lebih lanjut). Dengan topik yang tidak intim
(seperti cuaca), timbal balik terus menurun seiring meningkatnya tahapan. Dengan topik yang intim,
sebaliknya, timbal balik sangat terjadi pada tahap menengah, dan kurang terjadi di tahapan lebih lanjut, dan
paling sedikit terjadi di tahap awal hubungan.
Sumber: Diadaptasi dari Won-doornink, 1985, Gambar 4.

Tidak semua orang langsung membocorkan informasi pribadi mereka setelah Anda
mengenal mereka. Anda mungkin mengenal orang-orang yang sangat terbuka yang mudah
mengungkapkan informasi pribadi mereka – dan orang yang pendiam tentang diri mereka sendiri.
Dalam kasus ini, kita sering berpikir bahwa pria cenderung tidak mengungkapkan perasaan mereka
berbeda dengan wanita. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa pengungkapan diri tidak
hanya tergantung pada jenis kelamin tetapi juga pada sifat hubungan. Dalam hubungan kasual
(Dengan pria atau wanita), pria kurang cenderung mengungkapkan informasi pribadi mereka
daripada wanita (Reis, Senchak, & Solomon, 1985). Pada pasangan kencan, jumlah keterbukaan
informasi pribadi lebih terkait pada orientasi peran seksual daripada jenis kelamin. Pria dan wanita
dengan orientasi tradisional kurang mengungkapkan diri mereka pada pasangan mereka
dibandingkan dengan pasangan yang orientasinya egaliter (Rubin dkk., 1980). Peran seksuial
tradisional itu lebih terpisah, dengan setiap orang yang bertanggung jawab untuk tugas-tugas
tertentu, sedangkan orientasi egaliter menekankan orientasi untuk berbagi. Penekanan pada
kegiatan bersama mengarah pada pengungkapan diri yang lebih besar. Dalam hubungan
heteroseksual yang intim, pria dan wanita tidak berbeda dalam tingkat pengungkapan dirinya
(Hatfield, 1982).

Kepercayaan
Mengapa Dan menceritakan pada Sally bahwa kakaknya juga baru saja berpisah dengan istrinya?
Mungkin ia sedang menawarkan timbal balik dalam keterbukaan diri. Karena Sally sudah bercerita
kepada Dan, dia berharap Dan akan membalas. Tapi jika ia mencurigai motif Sally, ia mungkin tidak
akan melakukan timbal balik tersebut. Ini menunjukkan pentingnya kepercayaan dalam
pengembangan dari sebuah hubungan.

Ketika kita mempercayai seseorang, kita yakin bahwa orang tersebut jujur dan baik hati
(Larzelere & Huston, 1980). Kita percaya bahwa orang tersebut mengatakan kebenaran – atau
setidaknya orang tersebut tidak berbohong kepada kita – dan bahwa niatnya kepada kita positif.
Salah satu ukuran kepercayaan interpersonal adalah skala kepercayaan interpersonal yang
digambarkan dalam Tabel 12.1. Pertanyaan-pertanyaannya berfokus pada apakah orang lain
tersebut egois, jujur, tulus, adil, atau perhatian. Kita lebih cenderung mengungkapkan informasi
pribadi kepada seseorang yang kita percaya. Seberapa percaya kah Anda pada pasangan Anda?
Jawablah pertanyaan-pertanyaan pada skala tersebut dan tentukan nilai yang Anda dapatkan.
Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar kepercayaan Anda.

Untuk mempelajari hubungan antara kepercayaan dan keterbukaan diri, peneliti merekrut
pria dan wanita dari kelas universitas, dari daftar orang-orang yang baru saja mendapatkan surat
nikah, dan dengan menelepon orang yang dipilih secara acak dari buku telepon. Setiap orang
diminta untuk mengisi kuesioner tentang pasangannya atau kencan mereka belakangan ini. Survei
ini mencakup skala dalam Tabel 12.1. Peneliti membagi rata-rata nilai kepercayaan ke dalam tujuh
jenis hubungan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12.3. Perhatikan bahwa semakin suatu
hubungan menjadi lebih eksklusif, nilai kepercayaan akan meningkat secara signifikan. Apakah ada
hubungan antara kepercayaan dan keterbukaan diri? Setiap orang juga bertanya seberapa
terbukanya dia kepada pasangannya dalam enam hal – agama, keluarga, emosi, hubungan dengan
orang lain, sekolah atau pekerjaan, dan pernikahan. Nilai kepercayaan secara positif berkorelasi
dengan keterbukaan diri – yaitu, semakin orang mempercayai pasangan mereka, semakin besar pula
tingkat keterbukaan dirinya.
Tabel 12.1 Skala Kepercayaan Interpersonal

Sangat Setuju Kurang ? Kurang Tidak Sangat


setuju setuju tidak setuj tidak
setuju u setuju
1 Pasangan saya paling mengutamakan _____
. kesejahteraannya sendiri. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
2 Ada saat-saat tertentu dimana _____
. pasangan saya tidak bisa dipercaya. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
3 Pasangan saya sangat jujur dan tulus _____
. kepada saya. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
4 Saya merasa saya bisa mempercayai _____
. pasangan saya sepenuhnya. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
5 Pasangan saya benar-benar tulus _____
. dalam setiap janjinya. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
6 Saya merasa pasangan saya tidak _____
. terlalu memperhatikan saya. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
7 Pasangan saya memperlakukan saya _____
. dengan cukup adil. _____ _____ _ _ ______ _____ _______
8 Saya merasa pasangan saya bisa _____
. diandalkan untuk membantu saya. _____ _____ _ _ ______ _____ _______

Catatan: Untuk pernyataan 1, 2, dan 6, Sangat setuju = 1, Setuju = 2, Kurang setuju = 3, dan sebagainya. Untuk
pernyataan 3, 4, 5, 7 dan 8 skalanya dibalik.
SUMBER: Diadaptasi dari Larzelere dan Huston, 1980.

Penelitian lain mengenai kepercayaan antarpribadi menunjukkan bahwa selain jujur dan
kebajikan, kehandalan merupakan aspek kepercayaan yang penting. Kita lebih cenderung
mempercayai seseorang yang kita anggap orang tersebut bisa dipercaya – orang yang bisa kita
andalkan (Johnson-George & Swap, 1982) – dan orang yang bisa diprediksi (Rempel, Holmes, &
Zanna, 1985).

Keadaan Saling Tergantung


Sebelumnya dalam bab ini, kita sudah membahas bahwa orang mengevaluasi hubungan yang
potensial dan aktual dengan istilah hasil (imbalan mengurangi resiko) yang mereka ingin terima. Dan
memulai kontak dengan Sally karena ia mengantisipasi bahwa ia akan mendapatkan hasil yang
positif. Sally mengembangkan hubungan tersebut karena dia, juga, mengharapkan imbalan daripada
resiko. Seiring dengan berkembangnya hubungan tersebut, mereka masing-masing merasa bahwa
hubungan tersebut menguntungkan. Akibatnya, mereka lebih meluangkan waktu dan energy mereka
yang ditujukan untuk hubungan mereka dan menurunkan keterlibatan mereka dalam hubungan
alternatif lainnya. Karena hubungan mereka menjadi semakin menguntungkan, Sally dan Dan
menjadi semakin tergantung satu sama lain dalam berbagai imbalan (Backman, 1990). Hubungan ini
menghasilkan keadaan saling tergantung yang kuat, sering, dan berbeda-beda (Kelley dkk., 1983).

Peningkatan ketergantungan pada satu orang untuk gratifikasi dan mengurangi


ketergantungan pada orang lainnya disebut dengan penarikan dyad (Slater, 1963). Satu penelitian
tentang 750 pria dan wanita menggambarkan sejauh mana penarikan tersebut terjadi. Mahasiswa
mengidentifikasi intensitas hubungan heteroseksual mereka saat ini, kemudian mencantumkan
nama orang yang pendapatnya mereka anggap penting. Mereka juga menunjukkan betapa
pentingnya setiap opini orang tersebut dan seberapa banyak mereka telah bercerita kepada orang
tersebut (Johnson & Leslie, 1982). Seperti yang diperkirakan, semakin intim hubungan heteroseksual
saat ini, semakin kecil jumlah teman yang dicantumkan oleh responden; tidak ada perbedaan jumlah
kerabat yang dicantumkan. Selain itu, seiring meningkatnya tingkat keterlibatan, proporsi teman
mutual dari pasangan juga meningkat (Milardo, 1982). Penelitian lain telah menemukan bahwa
seiring hubungan heteroseksual menjadi lebih intim, masing-masing pasangan menghabiskan lebih
sedikit waktu untuk berinteraksi dengan teman-teman, sedangkan interaksi dengan kerabat
meningkat (Surra, 1990).

Salah satu penelitian tentang perkembangan keadaan saling tergantung meminta pasangan-
pasangan yang baru menikah untuk membangun kembali hubungan mereka dimulai dari mereka
pertama kali bertemu sampai akhirnya mereka menikah (Surra, 1985). Masing-masing orang
tersebut melaporkan sejauh mana ia berbagi kegiatan afeksional, instrumental dan kebahagiaan
dengan pasangannya seiring bertumbuhnya hubungan mereka. Lamanya waktu antara waktu
pertama kali mereka bertemu sampai mereka menikah (dari beberapa bulan sampai 6,5 tahun)
dikaitkan erat dengan seberapa cepat pasangan tersebut mengurangi kemandirian mereka terhadap
satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan ini sehingga akhirnya mereka saling bergantung.

Keadaan saling tergantung berkembang dari proses negosiasi (Backman, 1990). Setiap orang
menawarkan berbagai imbalan yang potensial untuk pasangannya; pasangannya menerima
beberapa imbalan tersebut dan menolak beberapa imbalan lainnya. Seiring berkembangnya
hubungan, negoisasi menjadi stabil. Kegiatan bersama merupakan sumber imbalan berpotensial
yang penting. Setiap orang memiliki preferensi aktivitas. Seiring berkembangnya hubungan,
pasangan harus membaurkan preferensi kegiatan mereka yang terpisah menjadi kegiatan gabungan
yang nantinya dilakukan bersama. Sebuah penelitian tentang pasangan kekasih menemukan bahwa
pria lebih menyukai hubungan seks, permainan, dan olahraga daripada wanita, sedangkan wanita
lebih menyukai persahabatan, hiburan, dan kegiatan budaya (Surra & Longstreth, 1990). Beberapa
pasangan bisa berbaur dengan bergiliran, bergantian terlibat dalam kegiatan yang disukai
pasangannya masing-masing. Beberapa pasangan lainnya bekerja sama, terlibat dalam kegiatan yang
disukai mereka berdua, seperti menyiapkan makanan dan mengerjakan tugas. Beberapa pasangan
mengalami konflik terus menerus atas apa yang harus mereka lakukan.

Imbalan yang potensial dalam kebanyakan hubungan adalah kepuasan seksual. Ketika
sebuah hubungan berkembang dan menjadi lebih menguntungkan, keintiman secara fisik akan
meningkat juga. Pasangan bernegosiasi tentang sejauh mana tingkat keintiman seksual hubungan
mereka, preferensi wanita memiliki dampak yang lebih besar pada hasil negosiasi tersebut (Peplau,
Rubin, & Hill, 1977). Seberapa pentingkah kepuasan seksual dalam hubungan kekasih? Sebuah
penelitian dari 149 pasangan menilai pentingnya berbagai imbalan dalam hubungan yang
meningkatkan keintiman (berkencan, pacaran, bertunangan, hidup bersama, dan menikah). Diantara
pasangan-pasangan yang intim, kepuasan seksual jauh lebih mungkin dikutip sebagai dasar utama
dalam suatu hubungan (Centers, 1975). Survey lain menunjukkan bahwa semakin lama pasangan
sudah berpacaran, semakin besar kemungkinan mereka terlibat dalam keintiman seksual
(DeLamater & MacCorquodale, 1979).
KEPERCAYAAN

Berpisah/ Pasangan Kencan Kencan Bertunangan Menikah Pengantin Baru


Bercerai tidak berkencan Iseng khusus

JENIS HUBUNGAN

Gambar 12.3 Rata-Rata Nilai Kepercayaan Interpersonal dalam Tujuh Jenis


Hubungan Heteroseksual

Kepercayaan melibatkan dua komponen: keyakinan bahwa seseorang jujur dan bahwa niatnya baik hati. Lebih
dari 300 orang menyelesaikan skala kepercayaan interpersonal tersebut (lihat Tabel 12.1) tentang pasangan
heteroseksual mereka saat ini atau yang terbaru. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara
tingkat keintiman dalam suatu hubungan dan tingkat kepercayaan.
SUMBER: Diadaptasi dari Larzelere dan Husto, 1980, tabel 3.

Cinta dan Mencintai


Cukup adil untuk mengatakan bahwa apa yang kita rasakan kepada teman, teman sekamar, rekan
kerja, dan beberapa orang yang kita kencani adalah ketertarikan. Tapi apakah hanya itu yang kita
rasakan? Terkadang, setidaknya, kita mengalami sesuatu yang lebih intens dari sikap positif terhadap
orang lain. Terkadang kita merasa dan bahkan mengatakan, “Aku mencintaimu.”

Apa bedanya mencintai dan menyukai? Kita merangkum banyak penelitian psikologi sosial
dalam hal ketertarikan atau rasa suka sebelumnya dalam bab ini. Sebaliknya, hanya sedikit penelitian
tentang cinta. Empat pandangan tentang cinta yang akan dibahas dalam bagian ini: perbedaan
antara menyukai dan mencintai, cinta yang menggebu, cinta yang romantis, dan cinta sebagai kisah.

Menyukai vs Mencintai
Salah satu penelitian empiris pertama tentang cinta membedakan antara menyukai dan mencintai
(Rubin, 1970). Cinta adalah sesuatu yang lebih intens dari menyukai; cinta melibatkan keterikatan
dan kepedulian kepada orang lain (Rubin, 1974). Keterikatan melibatkan keinginan kuat untuk
bersama dan diperhatikan oleh orang lain. Kepedulian melibatkan upaya untuk memuaskan
kebutuhan orang lain yang sama pentingnya dengan kepuasan Anda sendiri.

Berdasarkan perbedaan ini, Rubin mengembangkan beberapa skala untuk mengukur rasa
suka dan cinta. Skala rasa suka mengevaluasi pasangan kencan, kekasih, atau pasangan seseorang
dalam berbagai dimensi, termasuk penyesuaian, kedewasaan, tanggung jawab, dan daya tarik. Skala
cinta mengukur keterikatan dan kepedulian pasangan dan keintiman (keterbukaan diri) seseorang.
Skala ini telah diisi oleh masing-masing anggota dari 182 pasangan kencan, baik untuk dia atau
pasangannya dan sahabatnya dari jenis kelamin yang sama (Rubin, 1970). Hasil penelitian
menunjukkan tingginya tingkat konsistensi internal dalam setiap skala dan korelasi yang rendah
antara skala. Dengan demikian, dua skala mengukur hal yang berbeda.

Jika perbedaan antara rasa suka dan cinta ini berlaku, menurut Anda bagaimana kita bisa
menilai pasangan kencan dan sahabat kita dengan skala ini? Rubin memprediksikan skor yang tinggi
pada rasa suka dan cinta bagi pasangan kencan, kekasih, atau pasangan suami-istri dan skor rasa
suka yang tinggi dan skor cinta yang lebih rendah untuk (platonis) teman. Nilai rata-rata dari 182
pasangan mengkonfirmasi prediksi ini. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Davis (1985) juga
membedakan antara persahabatan dan cinta. Persahabatan melibatkan beberapa kualitas, yang
mencakup kepercayaan, pemahaman, dan saling membantu. Cinta melibatkan semua aspek tadi
yang ditambah dengan kepedulian (memberikan yang terbaik dan saling menasihati satu sama lain)
dan gairah (pikiran obsesif, keinginan seksual).

Cinta yang Menggebu


Cinta tentu saja melibatkan keterikatan dan kepedulian. Tapi apakah hanya itu saja? Bagaimana
dengan kecemburuan dan kegembiraan dicintai oleh orang lain? Pandangan alternatif tentang cinta
menekankan emosi seperti ini. Pandangan ini berfokus pada cinta yang menggebu, keinginan dan
gairah fisiologis yang intens untuk bersama dengan seseorang (Hatfield & Walster, 1978).

Faktor kognitif dan emosional berinteraksi untuk menghasilkan gairah cinta. Kita masing-
masing mempelajari cinta dari orang tua, teman-teman, film, dan musik terkenal. Kita mencari tahu
orang yang tepat untuk dicintai, bagaimana rasanya, dan bagaimana kita harus bersikap ketika kita
sedang jatuh cinta. Kita hanya akan mengalami emosi ketika kita secara fisiologis terpancing. Dengan
demikian, kita mengalami cinta yang menggebu ketika kita mengalami gairah dan keadaan intens
yang sesuai dengan definisi budaya yang telah kita pelajari.

Cinta yang menggebu memiliki tiga komponen: kognitif, emosional, dan perilaku (Hatfield &
Sprecher, 1986). Komponen kognitif meliputi kesibukan dengan orang yang dicintai, idealisasi
tentang orang atau hubungan tersebut, dan keinginan untuk mengenal orang lain dan dikenal oleh
orang lain tersebut. Komponen emosional meliputi gairah fisiologis, daya tarik seksual, dan keinginan
untuk bersatu. Komponen perilaku meliputi melayani orang lain dan menjaga kedekatan fisik
terhadap orang tersebut. Sebuah skala dirancang untuk mengukur gairah cinta yang ditunjukan
dalam Kotak 12.2, “Cinta yang Menggebu”. Perhatikan setiap pernyataannya berkaitan dengan salah
satu komponen ini.

Penelitian yang menggunakan skala cinta yang menggebu menemukan bahwa setiap
pernyataannya saling berkaitan erat satu sama lain, semua pernyataan tersebut mengukur masing-
masing faktor (Hendrick & Hendrick,1989). Sebuah penelitian dari 60 pria dan 60 wanita menemukan
bahwa skor pada skala berkaitan dengan tahap hubungan. Gairah cinta meningkat secara substansial
dari tahap awal kencan ke tahap hubungan yang eksklusif. Gairah cinta tersebut tidak meningkat
seiring tahap hubungan beralih dari kencan eksklusif ke tahap hidup bersama atau bertunangan
(Hatfield & Sprecher, 1986).

Cinta yang menggebu dikaitkan dengan emosi intens lainnya. Ketika cinta kita berbalas dan
kita mengalami kedekatan atau bersatu secara psikologis dengan orang lain, kita mendapatkan
pemenuhan, kebahagiaan, dan kegembiraan. Bahkan, pengalaman-pengalaman emosional yang
positif – kegembiraan, kenikmatan seksual – bisa meningkatkan gairah cinta. Cinta yang tak terbalas,
sebaliknya, sering dikaitkan dengan kecemburuan, kecemasan, atau keputusasaan. Kehilangan cinta
secara emosional bisa menjadi kehancuran.

Kotak 12.2 Cinta yang Menggebu


Pikirkan orang yang Anda cintai dengan penuh gairah sekarang juga. Jika Anda tidak sedang jatuh cinta
sekarang, pikirkan orang terakhir yang Anda cintai dengan penuh gairah. Jika Anda tidak pernah jatuh cinta,
pikirkan orang yang paling dekat Anda yang Anda berikan kepedulian dengan cara yang sama seperti Anda
jatuh cinta. Tetap pikirkan orang tersebut di kepala Anda sampai Anda selesai mengisi kuesioner ini. (Orang
yang Anda pilih harus yang berlawanan jenis dengan Anda jika Anda heteroseksual atau bukan lawan jenis jika
Anda homoseksual). Coba rekam bagaimana perasaan Anda saat perasaan Anda paling intens.

Gunakan skala berikut untuk menjawab setiap pertanyaan:

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tidak benar sama sekali Lumayan benar Benar sekali

1. Saya akan merasa sangat putus asa jika _____ meninggalkan saya.
2. Kadang-kadang saya merasa saya tidak bisa mengendalikan pikiran saya; pikiran saya terobsesi
dengan _____.
3. Saya merasa senang ketika saya melakukan sesuatu untuk membuat _______ bahagia.
4. Saya lebih suka dengan _____ daripada siapapun.
5. Saya akan cemburu jika saya rasa _____ jatuh cinta pada orang lain.
6. Saya rindu untuk mengetahui semua tentang _____.
7. Saya ingin _____ secara fisik, emosional, dan mental.
8. Saya selalu haus akan kasih sayang dari _____.
9. Bagi saya, _____ adalah pasangan romantis yang sempurna.
10. Saya merasakan tubuh saya merespons ketika _____menyentuh saya.
11. _____ tampaknya selalu ada di pikiran saya.
12. Saya ingin _____ mengenal saya – pemikiran saya, ketakutan saya, dan harapan saya.
13. Saya bersemangat mencari tanda-tanda yang menunjukkan keinginan _____ terhadap saya.
14. Saya memiliki daya tarik yang kuat untuk _____.
15. Saya akan sangat tertekan ketika hubungan saya dengan_____ tidak berjalan dengan lancar.

SUMBER: Diadaptasi dari Hatfield dan Sprecher, 1986.

Idealisme Cinta Romantis


Penelitian dan teori tentang cinta yang telah dibahas sejauh ini menganggap bahwa cinta terdiri dari
sejumlah perasaan dan perilaku tertentu. Selanjutnya, kebanyakan dari kita menganggap bahwa kita
akan mengalami emosi ini setidaknya sekali dalam hidup kita. Tapi asumsi ini sangat terikat pada
budaya. Ada beberapa masyarakat dimana kondisi atau pengalaman yang kita sebut “cinta” belum
pernah terdengar. Bahkan, masyarakat Amerika Serikat hampir menjadi satu-satunya Negara yang
mengakui cinta sebagai dasar utama untuk menikah.

Dalam masyarakat AS, kita disosialisasikan untuk menerima satu set keyakinan tentang cinta,
keyakinan yang menjadi panduan perilaku kita. Lima keyakinan berikut ini dikenal secara kolektif
sebagai cinta romantis yang ideal:

1. Cinta sejati bisa muncul tiba-tiba tanpa adanya interaksi sebelumnya (“cinta pada
pandangan pertama”).
2. Bagi kita, hanya ada satu orang yang akan menginspirasi cinta sejati.
3. Cinta sejati bisa mengatasi kendala apapun (“cinta mengalahkan segalanya”).
4. Orang yang kita cintai (hampir) sempurna.
5. Kita harus mengikuti perasaan kita – yaitu, kita harus mendasarkan pilihan pasangan kita
dengan cinta bukan pertimbangan yang (lebih rasional) lainnya (Lantz, Keyes, & Schultz,
1975).

Para peneliti telah mengembangkan skala untuk mengukur sejauh mana individu memegang
keyakinan-keyakinan ini (Sprecher & Metts, 1989). Ketika skala ini diberikan pada 730 mahasiswa,
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa empat keyakinan pertama dipegang oleh banyak anak
muda. Menariknya, mahasiswa pria lebih cenderung memegang keyakinan ini daripada mahasiswa
wanita.

Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang keempat, idealisasi pasangan, merupakan


pengaruh penting dalam kepuasan hubungan. Dua penelitian dari orang dewasa di Belanda
menemukan bahwa banyak dari mereka percaya bahwa hubungan mereka lebih baik dari hubungan
orang lain, dan keyakinan ini dikaitkan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan (Buunk & van der
Eijnden, 1997). Pada penelitian lainnya, peneliti meminta para pasangan kencan (98) dan pasangan
menikah (60) untuk menilai diri mereka sendiri, pasangan mereka, dan idealism pasangan mereka
dalam 21 karakteristik interpersonal (Murray, Holmes, & Griffin, 1996a). Analisis menunjukkan
bahwa penilaian pasangan lebih mirip dengan penilaian diri sendiri dan pasangan idaman daripada
dengan penilaian pasangannya. Selanjutnya, orang-orang yang mengidamkan pasangan mereka dan
yang pasangannya mengidamkan mereka terlihat lebih bahagia. Sebuah penelitian longitudinal
menemukan bahwa selama lebih dari 1 tahun, pasangan mulai berbagi gambaran idaman individu
tersebut tentang mereka (Murray, Holmes, & Griffin, 1996b).

Idealisme cinta romantis ini tidak terlalu populer di Amerika Serikat. Sekelompok peneliti
melakukan analisis terhadap majalah terlaris yang diterbitkan selama empat periode bersejarah
(Lantz, Keyes, & Schultz, 1975.; Lantz, Schultz, & O'Hara, 1977). Mereka menghitung berapa kali
majalah tersebut menyebutkan satu atau lebih dari lima keyakinan yang membentuk idealisme cinta
romantis. Jumlah berapa kali keyakinan ideal yang dibahas meningkat terus dari waktu ke waktu,
seperti yang ditunjukan dalam Gambar 12.4. Temuan ini menunjukkan bahwa pengakuan orang
Amerika tentang idealisme cinta romantis terjadi secara bertahap dari tahun 1741 hingga tahun
1865. Idealisme cinta romantis pertama kali muncul saat Perang Saudara.
JUMLAH BERAPA KALI DIBAHAS (per isu)

PERIODE BERSEJARAH

Gambar 12.4 Kejadian Idealisme Cinta Romantis pada Kebanyakan Majalah


Populer di Amerika, 1741-1865
Salah satu cara untuk mengukur idealisme cinta romantis pada kalangan masyarakat Amerika yaitu dengan
menentukan frekuensi dimana hal tersebut dibahas dalam majalah-majalah terkenal. Satu tim peneliti memilih
sampel majalah-majalah yang terjual laris dari empat periode bersejarah dan menghitung jumlah berapa kali
lima keyakinan tentang idealisme cinta romantis tersebut dibahas – lima keyakinan tersebut meliputi (1)
idealisasi orang yang dicintai, (2) cinta pada pandangan pertama, (3) cinta bisa mengalahkan semuanya, (4)
hanya ada satu orang untuk kita, dan (5) kita harus mengikuti kata hati kita. Peneliti menemukan bahwa
jumlah berapa kali keyakinan ini dibahas meningkat lebih dari 300% dari tahun 1741-94 hingga 1850-65.
SUMBER: Diadaptasi dari Lantz, Keyes, dan Schultz, 1975; Lantz, Schultz, dan O’Hara, 1977.

Cinta sebagai Kisah


Ketika kita berpikir tentang cinta, pikiran kita sering beralih pada cerita cinta yang luar biasa: Romeo
dan Juliet, Cinderella dan Pangeran (Julia Roberts dan Richard Gere), Raja Edward VIII dan Wallis
Simpson, dan Pygmalion/My Fair Lady. Menurut Sternberg (1998), cerita-cerita ini jauh lebih bagus
dari hiburan. Cerita-cerita ini membentuk keyakinan kita tentang cinta dan hubungan, dan keyakinan
kita nantinya akan mempengaruhi perilaku kita.
Zach dan Tammy telah menikah selama 28 tahun. Teman-teman mereka telah
memprediksi mereka akan bercerai sejak hari pertama mereka menikah. Mereka hampir
selalu berkelahi. Tammy mengancam akan meninggalkan Zach; dia mengatakan bahwa
tidak ada yang akan membuatnya bahagia. Mereka hidup bahagia selamanya.
Valerie dan Leonard memiliki pernikahan yang sempurna. Mereka mengatakan
kepada satu sama lain dan semua teman-teman mereka tentang hal tersebut. Anak
mereka mengatakan mereka tidak pernah berkelahi. Leonard bertemu dengan seseorang
di kantornya dan meninggalkan Valerie. Mereka bercerai (diadaptasi dari Sternberg, 1998).

Tunggu sebentar! Bukankah akhir cerita-cerita diatas terbalik? Zach dan Tammy harusnya bercerai,
dan Valerie dan Leonard harusnya hidup bahagia selamanya. Jika cinta hanyalah interaksi antara dua
orang, bagaimana mereka berkomunikasi dan berperilaku, Anda benar; akhir cerita tadi salah. Tapi
ada satu hal yang lebih penting dalam cinta daripada hanya sekedar interaksi; yang penting adalah
bagaimana masing-masing pasangan menafsirkan interaksi. Untuk memahami apa yang terjadi
dalam hubungan kita, kita bergantung pada kisah cinta kita.

Kisah cinta adalah cerita (naskah) tentang seperti apa seharusnya cinta itu; kisah cinta
memiliki karakter, plot, dan tema. Ada dua karakter utama dalam setiap kisah cinta, dan kedua
karakter tersebut memainkan peran yang saling melengkapi satu sama lain. Plot merincikan jenis
peristiwa yang terjadi dalam hubungan. Tema adalah pusat dalam sebuah kisah; memberikan makna
peristiwa yang membentuk plot, dan memberikan arah pada perilaku. Kisah cinta hubungan Zach
dan Tammy adalah kisah “Perang”. Pandangan cinta sebagai perang; yaitu, hubungan baik yang
melibatkan perkelahian terus menerus. Dua karakter utama ini adalah prajurit, berperang, berjuang
untuk apa yang mereka yakini. Plotnya terdiri dari argumen, perkelahian, ancaman untuk
meninggalkan –singkatnya, perang. Tema dari kisah ini adalah perang; salah satu pasangan bisa saja
menang atau kalah dalam perkelahian tertentu, namun perang akan berlanjut. Hubungan Zach dan
Tammy bertahan karena mereka berbagi pandangan ini, dan pandangan ini cocok dengan
temperamen mereka. Bisakah Anda bayangkan berapa lama pengecut akan bertahan dalam
hubungan seperti ini?

Menurut pandangan ini, jatuh cinta terjadi ketika Anda bertemu seseorang yang Anda rasa
bisa menciptakan hubungan yang sesuai dengan kisah cinta Anda. Selain itu, kita akan puas dengan
hubungan dimana kita dan pasangan kita sesuai dengan karakter dalam kisah cinta kita (Beall &
Sternberg, 1995). Pernikahan Valerie dan Leonard terlihat luar biasa dari luarnya, tapi pernikahan
tersebut tidak sesuai dengan kisah cinta Leonard. Ia meninggalkan istrinya ketika ia bertemu dengan
“cinta sejati”, yaitu, seorang wanita yang bisa memainkan peran yang saling melengkapi dalam kisah
cinta utamanya.

Dari manakah kisah cinta kita berasal? Banyak kisah cinta berasal dari budaya, cerita rakyat,
karya sastra, teater, film, dan program televisi. Konteks budaya berinteraksi dengan pengalaman
pribadi dan karakteristik kita untuk membentuk kisah yang kita semua miliki (Sternberg, 1996).
Ketika kita terlibat dalam suatu hubungan, kisah kita akan berkembang, mengingat kejadian tak
terduga. Setiap orang memiliki lebih dari satu kisah; kisah-kisah tersebut sering kali membentuk
hierarki. Salah satu kisah Leonard yaitu “House and Home”; rumah (home) adalah pusat suatu
hubungan, dan dia (memerankan orang yang mengurus rumah tersebut) memberikan banyak
perhatian pada rumah (house) dan anak-anaknya (tidak pada Valerie). Tapi ketika ia bertemu Sharon
dengan aura baru, masa lalunya yang ambigu, dan kacamata hitam yang ia kenakan, Leonard merasa
tertarik; Sharon menyiratkan kisah “Cinta adalah Misteri” yang lebih menarik bagi Leonard. Dia tidak
bisa menjelaskan mengapa ia meninggalkan Valerie dan anak-anaknya; seperti halnya kita, dia tidak
menyadari kisah cintanya. Sudah sangat jelas dari contoh-contoh ini bahwa kisah cinta ini
mengandalkan kekuatan dari kenyataan bahwa pasangan harus bisa saling melengkapi. Kita
menciptakan peristiwa berdasarkan plot dalam hubungan kita dan kemudian menginterpretasikan
peristiwa tersebut berdasarkan pada tema. Hubungan cinta kita secara harfiah merupakan
konstruksi sosial. Karena kisah cinta kita adalah pengkonfirmasian diri, kisah ini bisa sangat sulit
untuk diubah.

Sternberg dan rekan-rekannya telah mengidentifikasi lima kategori kisah cinta yang
ditemukan dalam budaya Amerika Serikat, dan beberapa kisah tertentu dalam setiap kategorinya.
Mereka juga telah mengembangkan serangkaian pernyataan yang mencerminkan tema dalam setiap
kisah tersebut. Orang-orang yang setuju dengan pernyataan “Saya rasa perkelahian sebenarnya
membuat hubungan menjadi lebih penting” dan “Saya benar-benar ingin berkelahi dengan pasangan
saya” cenderung memiliki kisah yang bertema “Perang”. Sternberg dan Hojjat meneliti sampel 43
dan 55 pasangan (Sternberg, 1998). Mereka menemukan bahwa pasangan biasanya memiliki kisah
yang serupa. Semakin berbeda kisah-kisah para pasangan, maka semakin kurang bahagia pasangan
tersebut. Beberapa kisah berkaitan dengan tingginya kepuasan, contohnya, kisah “Kebun”, dimana
cinta adalah kebun yang perlu budidaya secara langsung. Dua kisah yang berhubungan dengan
kepuasan yang rendah adalah kisah “Bisnis” (terutama versi dimana perannya adalah Atasan dan
Karyawan), dan kisah “horor”, dimana perannya adalah Teroris dan Korban.

Perpisahan
Beberapa hal bisa bertahan lama. Teman sekamar yang pernah melakukan apapun bersama kita bisa
saja hilang kontak setelah kita lulus sekolah. Dua wanita yang dulunya berteman sangat baik
akhirnya tidak saling berkomunikasi lagi. Pasangan tidak saling mencintai lagi, putus, dan bercerai.
Apa yang menyebabkan perpisahan dalam suatu hubungan? Penelitian mengusulkan dua jawaban:
hasil yang tidak sama dan komitmen yang tidak sama.

Hasil Akhir dan Instabilitas yang Tidak Sama


Sebelumnya dalam bab ini, kita membahas pentingnya hasil akhir untuk membangun dan
mempertahankan suatu hubungan. Keputusan kita untuk memulai sebuah hubungan didasarkan
pada apa yang kita harapkan sebagai hasil akhirnya. Dalam hubungan yang berkelanjutan, kita bisa
menilai hasil akhir kita yang sebenarnya; kita dapat mengevaluasi apakah imbalan yang kita
dapatkan relatif dengan resiko yang kita alami dalam mempertahankan hubungan tersebut. Sebuah
survei mahasiswa meneliti dampak dari beberapa faktor mengenai kepuasan terhadap suatu
hubungan; salah satu faktornya adalah nilai hasil akhir keseluruhan yang dibandingkan dengan
tingkat perbandingan (TP) seseorang (Michaels, Edwards, & Acock, 1984). Dalam analisis laporan dari
pria dan perempuan yang terlibat dalam hubungan eksklusif, hasil yang dialami sangat terkait pada
kepuasan dengan hubungan. Beberapa penelitian lainnya pun melaporkan hasil yang sama (Surra,
1990).

Tingkat perbandingan alternatif (TPalt) juga merupakan standar penting yang digunakan
untuk mengevaluasi hasil akhir. Apakah hasil akhir dari hubungan ini lebih baik daripada hasil akhir
yang diperoleh dari alternatif terbaik yang ada? Salah satu dimensi yang orang evaluasi dari suatu
hubungan adalah penampilan fisik. Suatu hubungan dengan orang yang fisiknya menarik mungkin
bisa menguntungkan. Dua orang yang daya tarik secara fisiknya sama mendapatkan hasil akhir yang
sama dalam dimensi ini. Bagaimana dengan dua orang yang daya tarik secara fisiknya berbeda?
Orang yang kurang menarik akan beruntung berhubungan dengan orang yang lebih menarik,
sedangkan orang yang lebih menarik mendapatkan hasil akhir yang kurang positif. Karena daya tarik
itu dinilai dan sangat berpengaruh, orang yang secara fisik lebih menarik cenderung menemukan
hubungan alternatif yang ada dan berharap mereka mendapatkan hasil yang lebih positif.
Alasan ini diuji dalam penelitian dari 123 pasangan kencan. Foto-foto setiap orang dalam
penelitian tersebut dinilai oleh lima pria dan lima wanita mengenai daya tarik secara fisiknya, dan
nilai daya tarik relatif dihitung untuk setiap anggota masing-masing pasangan. Baik pria dan wanita
yang lebih menarik dari pasangan mereka dilaporkan memiliki lebih banyak teman yang berlawan
jenis (yaitu, alternatif) daripada pria dan wanita yang tidak lebih menarik dari pasangan mereka.
Data tindak lanjut yang dikumpulkan 9 bulan kemudian menunjukkan bahwa pasangan kencan yang
nilai daya tariknya sama lebih cenderung untuk berpacaran satu sama lain (White, 1980). Hasil ini
konsisten dengan hipotesis bahwa orang yang mendapatkan hasil akhir dibawah TPalt lebih
cenderung mengakhiri hubungan. Penelitian lainnya dari 120 pasangan meminta masing-masing
pasangan untuk menilai hubungan dalam 16 dimensi (Attridge, Berscheid, & Simpson, 1995). Enam
bulan kemudian, para peneliti menentukan apakah pasangan itu masih bersama-sama atau tidak.
Prediktor terbaik tentang apakah pasangan tersebut sudah berpisah adalah penilaian dari “link
lemah”, orang yang memberi peringkat hubungan lebih rendah dibandingkan pasangan tersebut.

Tapi tidak semua orang membandingkan hasil akhir mereka saat ini dengan hasil yang ada di
hubungan alternatif. Individu yang berkomitmen dalam penelitian yang dilakukan oleh White – yaitu,
kumpul kebo, bertunangan, atau menikah – tidak bervariasi dalam jumlah alternatif yang mereka
laporkan. Juga, daya tarik relatif mereka tidak terkait dengan apakah mereka masih dalam hubungan
tersebut 9 bulan kemudian. Orang yang berkomitmen satu sama lain mungkin lebih peduli dengan
ekuitas daripada dengan alternatif.

Teori ekuitas (Walster [Hatfield], Berscheid, & Walster, 1973) menyatakan bahwa kita
masing-masing membandingkan imbalan yang kita terima dari hubungan dengan resiko atau
kontribusi yang kita berikan. Secara umum, semakin lama kita berada dalam suatu hubungan maka
kita semakin berharap untuk mendapatkan hasil yang lebih. Dengan demikian, kita membandingkan
hasil akhir kita (imbalan yang dikurangi biaya) dengan hasil akhir yang didapatkan pasangan kita.
Teori ini memprediksi bahwa hubungan yang adil – dimana hasil akhirnya setara – akan stabil,
sedangkan hubungan yang tidak adil akan tidak stabil.

Prediksi ini telah diuji dalam sebuah penelitian yang melibatkan 537 mahasiswa yang saat itu
sedang berkencan dengan seseorang (Walster [Hatfield], Walster, & Traupmann, 1978). Setiap
mahasiswa membaca daftar hal-hal yang mungkin dikontribusikan oleh seseorang dalam sebuah
hubungan, yang mencakup ketampanan/kecantikan, kecerdasan, penuh kasih sayang, pemahaman,
dan membantu orang lain untuk membuat keputusan. Setiap mahasiswa tersebut juga membaca
daftar potensi konsekuensi dari suatu hubungan, yang meliputi berbagai imbalan dan frustasi
pribadi, emosional, dan sehari-hari. Mereka kemudian diminta untuk mengevaluasi kontribusi yan
dia lakukan dalam suatu hubungan, kontribusi yang dilakukan pasangannya, hal/benda yang ia
terima, dan hal/benda yang diterima pasangannya. Masing-masing evaluasi dibuat menggunakan
skala 8 poin yang berkisar dari yang sangat positif (+4) hingga ke yang sangat negatif (-4). Para
peneliti menghitung hasil akhir keseluruhan seseorang dengan membagi nilai konsekuensi dengan
nilai kontribusi. Mereka menghitung hasil akhir yang dirasakan pasangan dengan membagi nilai
konsekuensi yang diterima pasangan dengan nilai kontribusi yang dilakukan oleh pasangan. Dengan
membandingkan hasil akhir orang tersebut dengan hasil yang dirasakan oleh pasangan, para peneliti
menentukan apakah hubungan tersebut dianggap adil atau tidak.

Mahasiswa diwawancarai 14 minggu kemudian untuk menilai stabilitas hubungan mereka.


Stabilitas ditentukan oleh apakah mereka masih berpacaran dengan pasangan mereka dan seberapa
lama mereka bersama-sama (atau berapa lama mereka telah bersama-sama). Hasil wawancara ini
dengan jelas menunjukkan bahwa hubungan yang tidak adil menjadi tidak stabil. Semakin kurang
adilnya suatu hubungan pada awalnya, semakin kecil kemungkinan pasangan itu akan masih
berpacaran 14 minggu kemudian. Selanjutnya, mahasiswa yang merasa hasil akhir mereka tidak
sama dengan hasil akhir pasangan mereka melaporkan bahwa hubungan mereka tidak bertahan
lama.

Komitmen dan Perpisahan Diferensial


Apakah hasil akhir (imbalan dikurangi biaya) satu-satunya hal yang kita pertimbangkan ketika
memutuskan untuk melanjutkan suatu hubungan? Bagaimana dengan keterikatan atau keterlibatan
emosional? Kita sering melanjutkan suatu hubungan karena kita telah mengembangkan komitmen
emosional pada orang tersebut dan merasakan kesetiaan dan tanggung jawab atas kesejahteraan
orang tersebut. Pentingnya komitmen digambarkan oleh hasil survei dari 234 mahasiswa (Simpson,
1987). Setiap mahasiswa tersebut sedang menjalin suatu hubungan dan mereka menjawab
pertanyaan tentang 10 aspek hubungan. Tiga bulan kemudian, setiap responden dihubungi kembali
untuk menentukan apakah dia masih berpacaran dengan pasangannya atau tidak. Karakteristik yang
paling erat kaitannya dengan stabilitas adalah eksklusivitas dan lamanya hubungan tersebut dan ada
keterlibatan dalam keintiman seksual; ketiga hal tersebut adalah aspek komitmen.

Ketika kedua orang dalam pasangan tersebut sama-sama berkomitmen, hubungan mereka
mungkin bisa stabil. Tapi jika satu orang kurang melibatkan diri, hubungan tersebut mungkin akan
hancur. Pentingnya keterlibatan dengan derajat yang sama diilustrasikan dalam penelitian lain.
Pasangan-pasangan direkrut dari empat perguruan tinggi dan universitas di wilayah Boston (Hill,
Rubin, & Peplau, 1976). Setiap anggota dari 231 pasangan mengisi kuesioner awal dan
menyelesaikan tiga kuesioner tindak lanjut, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun kemudian. Saat data awal
dikumpulkan, pasangan-pasangan tersebut sudah berpacaran rata-rata selama 8 bulan; sebagian
besar kencan eksklusif, dan 10 persen pasangan sudah bertunangan. Dua tahun kemudian, para
peneliti mampu menentukan status dari 221 pasangan tersebut. Beberapa pasangan masih bersama-
sama, sedangkan beberapa pasangan lainnya telah putus.

Apa yang membedakan pasangan yang bersama-sama 2 tahun kemudian dengan orang-
orang yang sudah putus? Beberapa perbedaan utamanya dirangkum dalam Tabel 12.2. Pasangan
yang lebih terlibat pada awalnya – pasangan yang berkencan secara eksklusif, yang menilai diri
mereka sangat dekat, yang mengatakan mereka sedang “jatuh cinta”, dan yang memperkirakan
probabilitas tinggi bahwa mereka akan menikah – lebih cenderung masih bersama-sama 2 tahun
kemudian. Dari sejumlah pasangan yang melaporkan keterlibatan yang sama pada awalnya, hanya
23% dari pasangan tersebut yang putus pada 2 tahun kemudian. Namun dari pasangan yang
melaporkan keterlibatan yang tidak sama pada awalnya, 54% pasangan tersebut berpisah 2 tahun
kemudian.

Status 2 Tahun Kemudian


Karakteristik Hubungan Pada Tahun 1972 Laporan Wanita Laporan Pria
Bersama Putus Bersama Putus
Nilai Rata-Rata
o Laporan Kedekatan diri (skala 9 poin) 7.9 7.3** 8.0 7.2**
o Perkiraan probabilitas menikah (dalam persen) 65.4 46.4** 63.1 42.7**
o Skala rasa cinta (maks. = 100) 81.2 70.2** 77.8 71.5**
o Skala rasa suka (maks. = 100) 78.5 74.0* 73.2 69.6
o Jumlah bulan berpacaran 13.1 9.9* 12.7 9.9*
Persentase
o Pasangan yang sedang “jatuh cinta” 80.0 55.3* 81.2 58.0**
o Berkencan secara eksklusif 92.3 68.0** 92.2 77.5**
o Bertemu pasangan sehari-hari 67.5 52.0 60.7 53.4
o Berhubungan intim (seksual) 79.6 78.6 80.6 78.6
o Tinggal bersama 24.8 20.4 23.1 20.4
Catatan: N = 117 bersama, 103 putus baik pada pria dan wanita. Signifikansi dengan uji t atau chi square untuk
perbedaan bersama-putus; p= kemungkinan memperoleh hasil.

*p < .05.
**p < .01.
SUMBER: Diadaptasi dari Hill, Rubin, and Peplau, 1976.

Sebelumnya dalam bab ini, kita telah membahas pentingnya kesamaan dalam membangun
hubungan. Seberapa pentingkah kesamaan dalam menentukan apakah suatu hubungan akan
berlanjut dari waktu ke waktu? Di antara 221 pasangan, baik pasangan yang tinggal bersama-sama
dan pasangan yang putus pada awalnya sama dalam sikap peranan seksualnya, persetujuan
seksualitas pranikah, kepentingan agama, dan jumlah anak yang mereka inginkan. Dengan demikian,
meskipun kesamaan sikap tampaknya menentukan pembentukan hubungan, hal tersebut tidak
membedakan pasangan yang hubungannya bertahan dari mereka yang hubungannya berakhir.

Tidak mengherankan, berpisahnya satu pasangan biasanya diprakarsai oleh orang yang
kurang terlibat. Dari banyaknya pasangan yang hubungannya berakhir, 85% melaporkan bahwa
hanya satu orang yang lebih ingin untuk berpisah. Ada juga pola yang berbeda dalam waktu putus;
putusnya suatu hubungan jauh lebih cenderung terjadi pada bulan Mei hingga Juni, September, dan
Desember hingga Januari. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar hubungan, seperti
kelulusan, pindah rumah, dan masuk sekolah, menyebabkan seseorang mulai ingin mengakhiri
hubungannya.

Berakhirnya suatu hubungan seringkali menyakitkan. Tapi putus belum tentu merupakan hal
yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dianggap sebagai bagian dari proses penyaringan orang-orang
mana yang tidak cocok dengan kita sehingga kita akhirnya mengakhiri hubungan tersebut.

Respon atas Ketidakpuasan


Tidak semua hubungan yang melibatkan hasil yang tidak sama atau komitmen yang diferensial
berakhir dengan putus. Apa bedanya? Sebagian perbedaannya adalah, reaksi orang tersebut
terhadap situasi ini. Tingkat hasil akhir pengalaman seseorang dan komitmennya dalam suatu
hubungan adalah pengaruh utama pada kepuasan dalam hubungan tersebut (Bui, Peplau, & Hill,
1996; Rusbult, Johnson, & Morrow, 1986). Selama orang tersebut merasa puas, apapun tingkat
imbalan atau komitmennya, dia masih akan terus melanjutkan hubungan tersebut. Orang yang
merasa puas cenderung terlibat dalam akomodasi, untuk merespon tindakan destruktif yang
mungkin dilakukan oleh pasangannya dengan cara konstruktif (Rusbult dkk., 1991). Sebuah
penelitian dari 60 mahasiswa dan 36 pasangan menikah menemukan bahwa pengaruh penting
lainnya pada kepuasan adalah persepsi bahwa pasangan Anda mendukung upaya Anda untuk
mencapai tujuan yang penting bagi Anda (Brunstein, Dangelmayer, & Schultheiss, 1996).

Seorang individu dalam hubungan yang tidak memuaskan memiliki empat alternatif dasar
(Goodwin, 1991; Rusbult, Zembrodt, & Gunn, 1982): keluar (mengakhiri), suara (mendiskusikannya
dengan pasangan Anda), loyalitas (sanggup dan tahan), dan abaikan (tinggal dalam hubungan tapi
tidak memberikan kontribusi banyak). Alternatif mana yang akan orang pilih tergantung pada resiko
yang diantisipasi jika ia putus, ketersediaan hubungan alternatif, dan tingkat imbalan yang diperoleh
dari hubungannya di masa lalu.

Untuk menilai resiko putus, individu mengukur resiko dari suatu hubungan yang tidak
memuaskan dengan resiko jika ia mengakhiri hubungan itu. Ada tiga jenis hambatan atau resiko
untuk mengakhiri suatu hubungan: material, simbolik, dan afektual (Levinger, 1976). Resiko material
sangat signifikan untuk orang yang telah mengumpulkan sumber keuangan mereka. Mengakhiri
suatu hubungan membutuhkan persetujuan tentang siapa mendapat apa, dan persetujuan ini dapat
menghasilkan standar hidup yang lebih rendah bagi setiap orang. Resiko simbolik meliputi reaksi
orang lain. Sebuah survei dari 254 orang, 123 di antaranya sedang menjalani hubungan, mengukur
persepsi teman dan dukungan dari anggota keluarga untuk hubungan dan komitmen dalam
hubungan tersebut (Cox dkk., 1997). Orang yang mendapatkan lebih banyak dukungan akan lebih
berkomitmen, baik pasangan berpacaran dan pasangan yang sudah menikah. Apakah teman dekat
dan anggota keluarga akan mendukung atau mengkritik putusnya suatu hubungan? Sebuah
penelitian longitudinal dari pasangan yang berpacaran menemukan bahwa tingkat dukungan yang
lebih rendah dari teman-teman tentang suatu hubungan berkaitan dengan putusnya hubungan
tersebut nantinya (Felmlee, Sprecher, & Bassin, 1990). Resiko afektual mencakup perubahan dalam
hubungan seseorang dengan orang lain. Putusnya suatu hubungan dapat menyebabkan hilangnya
teman dan kurang atau hilang kontak dengan kerabat; yaitu, dapat menyebabkan rasa kesepian
(lihat Kotak 12.3, “Apa Anda Kesepian Malam Ini?”). Sehingga seseorang bisa saja menyimpulkan
bahwa resiko mengakhiri hubungan akan sangat besar dan ia memutuskan untuk tetap melanjutkan
hubungan tersebut.

12.3 Apa Anda Kesepian Malam Ini?


Apakah Anda merasa kesepian ketika Anda pertama kali masuk sekolah disini? Jika Anda
merasakannya, Anda tidak sendirian. Orang yang masuk perguruan tinggi atau universitas cenderung
merasa kesepian selama beberapa minggu atau bulan pertama (Cutrona, 1982). Bahkan, kebanyakan
orang sering merasa kesepian selama hidup mereka.

Kesepian adalah pengalaman yang subjektif dan tidak menyenangkan yang disebabkan dari
kurangnya hubungan sosial yang memuaskan baik secara kuantitas atau kualitas (Perlman, 1988).
Kesepian berbeda dengan sendirian atau isolasi sosial. Isolasi sosial adalah situasi objektif,
sedangkan kesepian itu subjektif, pengalaman internal. Anda bisa merasa kesepian di tengah-tengah
reuni keluarga, dan Anda bisa menyendiri di kamar Anda dan belum merasa terhubung dengan
orang lain.

Kesepian berbeda dari rasa malu. Rasa malu adalah ciri kepribadian yang mencerminkan
karakteristik orang daripada keadaan ikatan sosial seseorang. Rasa malu didefinisikan sebagai
“perasaan tidak nyaman dan inhibisi di hadapan orang lain” (Jones, Briggs, & Smith, 1986). Sebuah
penelitian dari beberapa pengukuran rasa malu menemukan bahwa unsur umum dalam pengukuran
ini adalah kesusahan dan penghindaran situasi interpersonal. Ketika orang-orang pemalu
berinteraksi dengan orang lain, mereka takut mereka sedang dievaluasi oleh orang lain tersebut dan
lebih cenderung berpikir mereka memiliki kesan negatif pada orang lain tersebut (Asendorpf, 1987).

Ada dua jenis kesepian (Weiss, 1973), yang berbeda dari segi penyebabnya. Salah satunya
adalah kesepian sosial, yang disebabkan dari kurangnya hubungan atau ikatan sosial dengan orang
lain. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa orang yang hanya memiliki teman sedikit atau
tidak mempunyai teman sama sekali dan sedikit atau tidak ada ikatan keluarga lebih cenderung
merasa kesepian (Stokes, 1985). Oleh karena itu, peristiwa yang mengganggu hubungan dengan
jaringan sosial dapat menyebabkan kesepian (Marangoni & Ickes, 1989). Jenis kesepian yang lainnya
adalah kesepian emosional, yang disebabkan dari kurangnya hubungan emosional yang intim.
Sebuah penelitian tentang remaja menemukan hubungan yang kuat antara keterbukaan diri dan
kesepian; keterbukaan diri yang lebih besar terhadap orang lain berkaitan dengan menurunnya
tingkat rasa kesepian (Davis & Franzoi, 1986). Maka dari itu, rasa malu bisa menyebabkan kesepian
dengan menghambat keterbukaan diri. Terdapat bukti bahwa kesepian pada pria merupakan
dampak dari sedikit atau tidak memiliki hubungan dengan orang lain, sedangkan pada wanita
kesepian adalah dampak dari tidak memiliki hubungan yang dekat (Stokes & Levin, 1986). Jelas,
kesepian berkaitan dengan keadaan hubungan interpersonal seseorang.

Karena kesepian berkaitan dengan kuantitas dan kualitas hubungan interpersonal, kita dapat
memprediksi bahwa orang-orang dalam beberapa keadaan tertentu lebih cenderung mengalami
kesepian ini. Pertama, orang yang mengalami transisi sosial umumnya sangat beresiko mengalami
kesepian. Transisi dari sekolah ke pekerjaan bisa menyebabkan perasaan kesepian, terutama saat
transisi ini melibatkan perpindahan geografis. Kedua, pengaturan hidup berkaitan dengan perasaan
kesepian. Sebuah penelitian dari 554 pria dan wanita dewasa menemukan bahwa hidup sendirian
adalah faktor yang paling penting timbulnya perasaan ini (de Jong-Gierveld, 1987). Ketiga, status
pernikahan seseorang juga penting. Sebelumnya dalam bab ini, kita menggambarkan peningkatan
keterbukaan diri dan saling ketergantungan yang menyertai pengembangan hubungan romantis;
orang-orang yang telah bertunangan, tinggal bersama, atau menikah seharusnya cenderung tidak
akan mengalami kesepian emosional. Sebaliknya, orang-orang yang baru-baru ini mengakhiri suatu
hubungan – putus, perceraian, atau kematian pasangan – mungkin akan sangat rentan mengalami
kesepian.

Faktor kedua dalam penilaian ini adalah ketersediaan alternatif. Tidak adanya alternatif yang
menarik dapat menyebabkan individu untuk mempertahankan hubungan yang tidak
menguntungkan, sedangkan penampilan dari alternatif yang menarik dapat memicu orang yang
tidak puas untuk mengakhiri hubungan.

Menariknya, orang-orang yang sedang menjalani hubungan memandang pasangan lawan


jenis yang usianya sama secara fisik dan seksual kurang menarik daripada orang yang sedang tidak
menjalani hubungan (Simpson, Gangestad, & Lerum, 1990). Devaluasi pasangan potensial ini
memberikan kontribusi untuk pemeliharaan hubungan. Namun, penelitian longitudinal menemukan
bahwa kualitas yang dirasakan dari pasangan alternatif meningkat di antara orang-orang yang
hubungannya kemudian berakhir (Johnson & Rusbult, 1989).

Faktor ketiga adalah tingkat imbalan yang didapatkan sebelum hubungan tersebut menjadi
tidak memuaskan. Jika hubungan itu dulunya sangat menguntungkan, individu cenderung tidak akan
memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut.

Seberapa penting masing-masing tiga faktor ini – yaitu, faktor yang manakah yang paling
penting untuk menentukan apakah orang yang tidak puas menanggapi situasi tersebut dengan
mendiskusikannya bersama pasangannya, menunggu sampai situasinya membaik, mengabaikan
pasangannya, atau mengakhiri hubungan tersebut? Dalam sebuah penelitian, subjek diberi cerita
pendek yang menggambarkan hubungan dimana tiga faktor ini bervariasi. Mereka bertanya apa yang
akan mereka lakukan di setiap situasi tersebut (Rusbult, Zembrodt, & Gunn, 1982). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa semakin perasaan dan kepedulian terhadap pasangannya kurang puas
dan kurang positif – semakin cenderung mereka mengabaikan atau mengakhiri hubungan tersebut.
Semakin sedikit investasi – yaitu, tingkat keterbukaan dan seberapa siap seseorang mengalami
kehilangan – semakin besar kemungkinan subjek terlibat dalam pengabaian atau mengakhiri
hubungan. Akhirnya, kehadiran alternatif yang menarik meningkatkan kemungkinan untuk
mengakhiri hubungan. Sebuah penelitian selanjutnya tentang hubungan yang sedang berlangsung
juga memunculkan hasil yang sama (Rusbult, 1983).

Sebuah penelitian tentang stabilitas hubungan dari 167 pasangan selama periode 15 tahun
juga menemukan bahwa kepuasan, tingkat investasi, dan kualitas alternatif bisa memprediksi
komitmen. Hubungan yang memiliki komitmen tinggi lebih cenderung bertahan (Bui, Peplau, & Hill,
1996).

Ringkasan
Ketertarikan interpersonal adalah sikap positif yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain. Ini
adalah dasar untuk pengembangan, pemeliharaan, dan putusnya hubungan pribadi.

Siapa yang Tersedia?


Struktur kelembagaan dan karakteristik pribadi mempengaruhi siapa saja orang yang tersedia bagi
kita untuk dijadikan teman, teman sekamar, rekan kerja, dan kekasih yang potensial. Terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi siapa yang kita pilih dari ketersediaan ini. (1) Rutinitas sehari-hari kita
membuat beberapa orang lebih mudah dijangkau. (2) Kedekatan bisa lebih menguntungkan dan
lebih mudah untuk berinteraksi dengan beberapa orang. (3) Keakraban menghasilkan sikap positif
terhadap orang-orang yang sering kita hubungi.

Siapa yang Diinginkan?


Diantara orang-orang yang tersedia, kita akan memilih berdasarkan beberapa kriteria. (1) Norma
sosial memberitahu kita orang yang seperti apa yang layak kija jadikan teman, kekasih, dan mentor.
(2) Kita cenderung lebih menyukai orang yang menarik secara fisik, baik karena alasan estetika dan
karena kita mengharapkan imbalan jika kita bergaul dengan orang tersebut. Daya tarik akan lebih
berpengaruh ketika kita tidak memiliki informasi lain tentang seseorang. (3) Kita memilih orang
berdasarkan imbalan dan resiko yang kita harapkan dari hubungan potensial. Kita cenderung
mengembangkan hubungan yang hasil akhirnya kita harapkan akan melebihi tingkat perbandingan
(TP) dan tingkat perbandingan alternatif (TPalt). Kita menerapkan pilihan kita dengan membuat
kontak, menggunakan kalimat pembuka yang seringkali menunjukkan jenis hubungan yang
membuat kita tertarik.

Faktor yang Menentukan Rasa Suka


Banyak hubungan – antara teman-teman, teman sekamar, rekan kerja, atau kekasih – melibatkan
rasa suka. Sejauh mana kita menyukai seseorang ditentukan oleh tiga faktor. (1) Pengaruh utama
adalah sejauh mana dua orang memiliki sikap yang sama. Semakin besar proporsi sikap yang sama,
semakin mereka saling menyukai satu sama lain. Kesamaan menghasilkan rasa suka karena kita lebih
mementingkan konsistensi kognitif dan karena kita mengharapkan interaksi dengan orang lain yang
sikapnya sama sebagai penguatan. (2) Kegiatan bersama menjadi pengaruh penting dalam rasa suka
kita kepada orang lain karena kita menghabiskan waktu dengan mereka. (3) Kita menyukai orang-
orang yang menyukai kita; seiring kita mendapatkan umpan balik positif dari orang lain, hal tersebut
meningkatkan rasa suka kita kepada mereka.
Pertumbuhan Hubungan
Seiring bertumbuhnya suatu hubungan, ada tiga dimensi perubahan. (1) Mungkin terjadi
peningkatan secara bertahap dalam keterbukaan informasi yang rinci tentang diri sendiri.
Keterbukaan diri biasanya bersifat timbal balik, masing-masing orang mengungkapkan sesuatu
tentang diri mereka sendiri dalam menanggapi keterbukaan orang lain. (2) Kepercayaan kepada
orang lain – kepercayaan atas kejujuran, kebajikan, dan kehandalan – juga meningkatkan
pertumbuhan hubungan. (3) Interdependensi untuk berbagai gratifikasi juga meningkat, peningkatan
ini sering disertai dengan penurunan ketergantungan dan jumlah hubungan dengan orang lain.

Cinta dan Kasih


(1) Sementara rasa suka mengacu pada sikap positif terhadap suatu objek, cinta melibatkan
keterikatan dan kepedulian terhadap orang lain. Cinta bisa juga melibatkan gairah, keadaan fisiologis
dan gairah intens yang lain. (2) Pengalaman cinta yang menggebu melibatkan unsur kognitif,
emosional, dan perilaku. (3) Konsep cinta tidak hadir di semua kalangan masyarakat; idealisme cinta
romantis muncul secara bertahap di Amerika Serikat dan muncul saat Perang Saudara. (4) Kisah cinta
membentuk keyakinan kita tentang cinta dan hubungan, dan keyakinan kita mempengaruhi
bagaimana kita berperilaku dan menginterpretasikan hubungan kita.

Putus
Ada tiga pengaruh utama yang menyebabkan putusnya suatu hubungan. (1) Putus mungkin terjadi
jika satu orang merasa bahwa hasil akhir dari suatu hubungan (Imbalan dikurangi biaya) tidak
memadai. Seseorang dapat mengevaluasi hasil ini dengan apa yang bisa ia peroleh dari hubungan
alternatif. Atau, seseorang mungkin melihat hasil yang didapatkan pasangannya dan menilai apakah
hasil tersebut adil. (2) Tingkat komitmen dalam suatu hubungan adalah pengaruh penting untuk
melanjutkan hubungan tersebut. Seseorang yang merasa tingkat keterikatan emosional yang rendah,
pasangannya lebih cenderung untuk mengakhiri hubungan dengan orang tersebut. (3) Respon
terhadap ketidakpuasan dalam suatu hubungan meliputi keluar, suara, loyalitas, atau pengabaian.
Respon mana yang akan terjadi tergantung pada resiko finansial dan emosional yang diantisipasi,
baik ketersediaan alternatif yang menarik dan tingkat kepuasan sebelumnya dalam hubungan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai