Anda di halaman 1dari 20

TUGAS INDIVIDU

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA


“MENJELASKAN TEORI-TEORI LINTAS BUDAYA BESERTA
CONTOH KASUSNYA”

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Komunikasi Lintas Budaya oleh dosen pengampu

Fardiah Oktariani Lubis, S.Si., M.A.

Disusun oleh :

IV B

Novi Adripita (1610631190137)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2018
TEORI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

Anxiety/Uncertainty Management

Of William Gudykunst

Teori ini adalah karya dari Gudykunts (1988) yang dikembangkan dari teori
pengurangan ketidakpastian karya Charles Berger yaitu melihat bagaimana ketidakpastian
dan kecemasan itu terjadi dalam situasi budaya yang berbeda. Gudykunts menemukan
bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu akan berupaya
mengurangi ketidakpastian pada tahap awal hubungan mereka, namun mereka
melakukannya dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya.
Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan cara melihat apakah seseorang berasal atau
merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” atau “budaya konteks rendah”
(Littlejohn dan Foss, 2011: 182).

Teori kecemasan/ketidakpastian (Anxiety/Uncertainty Management, AUM)


ditujukan secara langsung dan spesifik untuk menjelaskan “efektifitas komunikasi” yang
didefinisikan menurut korespondensi antara makna yang dimaksud dari pengirim dan
interpretasi penerimanya didalam perjumpaan antarbudaya. Dari awal diciptakannya teori
ini hingga versi terkini teori dari Gudykunts ini berpendirian bahwa kemampuan untuk
mengelola kedua pengalaman psikologis yaitu ketidakpastian dan kecemasan sangat
hakiki untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antarbudaya (Berger dkk, 2014: 656).

Littlejohn dan Foss (2011: 182-183) mengemukakan, bahwa secara garis besar
hal-hal yang menjadi dasar dalam teori pengelolaan kecemasan/ketidakpastian dapat
dilihat pada penjelasan berikut ini:

1. Proses pengurangan ketidakpastian antara orang-orang yang berasal dari


kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh konteks budaya seseorang itu berasal.
2. Proses pengurangan ketidakpastian juga dipengaruhi oleh sejumlah variable
tambahan seperti identitas diri, pengalaman persahabatan dan juga pengetahuan
bahasa orang asing itu
3. Setiap orang memiliki tingkatan atau level yang berbeda dalam menangani
ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya

Asumsi satu, Perbedaan ini dapat dilihat dengan cara apakah seseorang itu berasal
atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” (high-context cultures) yang
melihat pada situasi keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa atau “budaya
konteks rendah” (low-context cultures) yang melihat pada isi pesan verbal yang terungkap
dengan jelas (Littlejohn dan Foss, 2011: 182). Asumsi kedua, ketika seseorang
mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan budayanya dan ia berfikir orang lain
berasal dari kelompok budaya yang berbeda maka orang pertama tadi akan merasakan
kecemasan dan juga ketidakpastian yang cukup besar, begitu pula sebaliknya.
Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang yang berasal dari budaya berbeda
dapat meningkatkan kepercayaan dseseorang ketika ia bertemu dengan orang asing yang
tidak dikenalnya. Sedangkan dengan mengetahui bahasa orang asing lain akan menolong
seseorang meningkatkan kepercayaan dan toleransi, sehingga jika seseorang lebih
percaya dan tidak terlalu cemas untuk bertemu dengan kelompok yang berbeda maka
kemungkinan akan lebih baik dalam mendapatkan informasi sehingga mengurangi
ketidakpastian. Asumsi ketiga, setiap individu memiliki ambang batas yang berbeda
dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya. Jika level
ketidakpastian malampaui batas atas yang dimiliki seseorang, maka kepercayaannya akan
berkurang, dan jika level kecemasan terlalu tinggi maka seseorang bahkan akan
menghindari komunikasi sama sekali. Dalam hal ini terdapat pula batas bawah, dan jika
ketidakpastian dan kecemasan seseorang lebih rendah dari batas bawah ini maka motivasi
seseorang untuk berkomunikasi juga akan hilang. Dengan demikian level atau tingkat
ketidakpastian dan kecemasan yang ideal bagi suatu situasi komunikasi antarbudaya
terletak diantara ambang batas atas dan ambang batas bawah, dimana akan memotivasi
seseorang untuk berkomunikasi, sehingga ia akan menggunakan strategi pengurangan
ketidakpastian.

Efektifitas komunikasi antarbudaya nampaknya sangat tergantung pada


ketidakpastian dan kecemasan. Semakin sedikit seseorang tahu dan semakin cemas, maka
semakin sedikit pula keefektifan seseorang yang berada dalam situasi antarbudaya
(Littlejohn dan Foss, 2011: 183). Skema dari Anxiety/Uncertainty Management (AUM)
dapat dilihat pada gambar 2.5.berikut ini (Griffin, 2006: 248):
Skema Anxiety/Uncertainty Management (AUM)

Pada gambar dari kiri “superficial causes/ penyebab permukaan”, merupakan


faktor-faktor yang biasanya menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan pada pertemuan
antarbudaya. Superficial causes adalah faktor permukaan yang mempunyai kontribusi
terhadap masalah mendasar dari kecemasan dan ketidak pastian dalam pertemuan
antarbudaya. Dalam AUM ada 39 dari 47 aksioma yang menyajikan hubungan sebab
akibat dengan ketakutan dan kebingungan yang biasanya terjadi ketika adanya pertemuan
dua budaya berbeda. Namun untuk penyelidikan dalam penelitian ini penulis hanya akan
menggunakan 10 aksioma yang akan membantu dalam pamahaman pada pertemuan awal
seseorang dengan suatu budaya yang berbeda. 10 Aksioma tersebut disajian oleh Grifin
dalam bukunya A First Look At Communication Theory
(2006: 442-446) yang secara garis besar aksioma tersebut terbagi menjadi tujuh
bagian yang menyebabkan terjadinya kecemasan dan ketidakpastian yaitu :

1. Konsep diri
Aksioma 3 : Peningkatan harga diri kita saat berinteraksi dengan orang
asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan
kemampuan kita untuk memprediksi perilaku mereka secara akurat
2. Motivasi untuk berinteraksi
Aksioma 9 : Peningkatan kepercayaan kita pada kemampuan kita untuk
memprediksi perilaku orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan kita. Penurunan kecemasan kita akan menghasilkan
peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi orang asing.
3. Reaksi terhadap orang lain
Aksioma 10 : Peningkatan kemampuan kita untuk memproses informasi
secara kompleks tentang orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi
perilaku mereka secara akurat.
Aksioma 13 : Peningkatan toleransi untuk ambiguitas akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita.
4. Pengkategorian sosial pada orang asing
Aksioma 17 : Peningkatan kesamaan personal yang kita rasakan antara
dirikita sendiri dengan orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk secara akurat
memprediksi perilaku mereka.
Aksioma 20 : Peningkatan pemahaman bahwa kita berbagi identitas
dengan orang asing dalam suatu kelompok akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan meningkatan kemampuan kita untuk memprediksi
perilaku mereka secara akurat.
5. Proses situasional
Aksioma 26 : Peningkatan pada kekuatan kita untuk melihat bahwa kita
memiliki kelebihan dari orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan penurunan akurasi prediksi kita pada perilaku mereka.
6. Hubungan dengan orang asing
Aksioma 27 : Peningkatan daya tarik pada orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kepercayaan diri
kita dalam memprediksi perilaku mereka.
Aksioma 31 : Peningkatan jaringan/networks kita dengan orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan
kita untuk secara akurat memprediksi perilaku mereka.
7. Interaksi etika
Aksioma 34 : Peningkatan inklusivitas moral kita terhadap orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan kita. Sepuluh aksioma diatas
adalah faktor-faktor yang menurut Gudykunts mempengaruhi kecemasan
dan ketidakpastian. Gudykunts juga menyatakan bahwa komunikasi
antarbudaya merupakan perpanjangan dari prinsip-prinsip komunikasi
interpersonal
Contoh Kasus Teori Kecemasan & ketidakpastian :

Salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang didalamnya melibatkan proses
komunikasi lintas budaya adalah SMA Negeri 1 Karawang, sekolah SMA dengan julukan
“SMANSAKA” ini merupakan sekolah yang multikultural, sebab sekolah ini memiliki
siswa-siswi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan adapun siswa-siswi
manca negara seperti dari Jepang, Amerika, Thailand, Kamboja, Filiphina, Rusia.
Mengingat dilaksanakannya program pendidikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI) pertukaran pelajar yang diselenggaran setiap tahun saat itu. Mengingat keragaman
siswa-siswi yang ada, tentu banyak fenomena adanya keragaman bahasa, suku, budaya
atau ras serta sikap yang ditunjukan oleh masing-masing siswa-siswi.

Setiap tahun dari masing-masing asal negara jumlah siswa-siswi asing di


SMANSAKA berkisar 4 sampai 5 orang, hal tersebut dilaksanakan dengan kontrak
belajar yang berbeda. Ada yang 1 tahun atau bahkan 2 tahun sesuai jenis program yang
diambil.

Oleh karenanya, sebagai siswa-siswi asing, tentu dalam praktek bersosialisasi dan
berinteraksinya akan menimbulkan suatu ketidakpastian dalam komunikasi. Terlebih
dalam persoalan komunikasi lintas budaya. Hal ini mengingat banyaknya keragaman
budaya yang ada di Indonesia tentu berbeda pula dengan budaya yang ada di negara asal
mereka. Misalkan dilihat dari cara mereka pergi ke sekolah, siswa asing selalu berangkat
sekolah pada pukul 09.00 WIB, sedangkan aturan jam sekolah pada umumnya di
Indonesia pada pukul 07.00 WIB. Siswa asing tersebut beranggapan bahwa waktu untuk
memulai pembelajaran di Indonesia terlalu pagi dan sangat berbeda dengan negara
asalnya. Bila dilihat dari segi bahasa misalkan, siswa menggunakan bahasa jepang
sebagai bahasa resmi mereka, yang mana frasa, penulisan, dan pengucapannya berbeda
dengan bahasa indonesia.

Perbedaan-perbedaan yang ada seperti budaya pergaulan, bahasa, karakter


personal dan situasi lingkungan, membuat siswa asing mengalami ketidakpastian, yang
dapat mempengaruhi kelancaran dalam aktivitas mereka selama sekolah di SMANSAKA.

Ketidakpastian yang dialami para siswa-siswi asing tersebut merupakan jenis


ketidakpastian kognitif, yang disebabkan oleh dua faktor. Pertama, keterbatasan
kemampuan berbahasa indonesia dengan baik, hal ini membuat mereka seringkali tidak
mampu memahami perbincangan dengan rekan-rekannya. Kedua, keterbatasan informasi
dan pengetahuan mereka terhadap situasi negara Indonesia maupun karakter masyarakat
Indonesia. Ketidakpastian yang dialami siswa-siswi asing membuat mereka khawatir dan
minder dalam menghadapi situasi dilingkungan barunya, sebagian mereka juga canggung
untuk memulai berinteraksi karena belum memiliki gambaran pasti mengenai situasi
maupun karakter masyarakat yang ada disini.

Kemudian, para siswa-siswi asing termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian


mereka, dengan menggunakan upaya-upaya pengurangan ketidakpastian yang
dikemukakan oleh Charles Berger. Motivasi dan upaya pengurangan ketidakpastian yang
dilakukan siswa-siswi asing dengan menjalin interaksi secara akrab. Adapun upaya yang
dapat dilakukan melalui :

1. Strategi Pasif
Siswa-siswi tidak serta merta secara aktif berinteraksi dengan teman-teman
barunya, melainkan lebih dulu mencari informasi mengenai situasi lingkungan
maupun karakter teman-temannya melalui pengamatan.
2. Strategi Aktif
Tindakan yang secara langsung dilakukan siswa-siswi asing untuk melakukan
survey langsung ke Indonesia untuk mencari informasi berkaitan dengan karakter
Indonesia, dan kondisi sosial budaya serta kebiasaanya.
3. Strategi Interaktif
Setelah melalui pengamatan untuk mencari informasi yang di dapatkan, siswa-
siswi asing menjalin interaksi dengan teman-temannya dengan cara menyapa,
berbincang dsb. Interaksi secara langsung dan beradaptasi dengan lingkungan
merupakan bentuk upaya pengurangan ketidakpastian dengan cara strategi
interaktif.
FACE NEGOTIATION THEORY

Of Stella Ting-Toomey

Pada tahun 1985, Stella Ting-Toomey mencetuskan sebuah teori yang bernama
Face Negotiation Theory. Ting-Tomey adalah salah satu kolega dari Gundykunst di
California State University, Fulleton.

Teori ini membantu menjelaskan perbedaan budaya untuk membantu mengelola


konflik dalam aspek komunikasi. Berbagai aspek dari individu dan identitas budaya
digambarkan sebagai wajah (face). Face disini merupakan istilah kiasan untuk gambaran
diri, yaitu bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Teori ini dikembangkan
untuk memprediksi perilaku seseorang untuk menyempurnakan identitas mereka
(facework) dalam kebudayaan yang berbeda. Facework berhubungan dengan pesan-pesan
verbal dan non verbal. Facework dari budaya individualis berbeda dengan facework
kolektif, sehingga cara untuk menangani konflik berbeda.

Dalam teori ini memiliki model pengelolaan konflik yang ada yakni:

a. Avoiding (penghindaran).
Dimana akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan dengan anggota
kelompok.
b. Obliging (keharusan).
Dimana akan menyerahkan kepada kekebijakan anggota kelompok.
c. Compromising.
Menggunakan,memberi dan menerima sedemikian,sehingga suatu kompromi bisa
dibuat.
d. Dominating.
Memastikan penanganan isu sesuai kehendak diri sendiri.
e. Integrating.
Menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan
masalah bersama-sama.
Asumsi teori ini beranggapan bahwa budaya memiliki dampak yang signifikan
pada orang berkomunikasi dan mengelola konflik dengan masing-masing individu dan
antar kelompok.Budaya rangka menyediakan referensi bagi individu dan kelompok
interaksi karena terdiri dari nilai, norma, kepercayaan, dan tradisi yang memainkan
peranan besar dalam bagaimana seseorang atau sekelompok mengidentifikasi diri.
Dr.Ting Tooney menyatakan bahwa konflik dapat berasal dari salah satu langsung
peraduan kepercayaan budaya dan nilai-nilai atau sebagai akibat dari menyalah -
aplikasikan harapan tertentu dan standar perilaku untuk suatu situasi. Face Negosiasi
Teori mengidentifikasi tiga tujuan masalah konflik yang akan ditawarkan meliputi:
konten, penghubung, dan identitas.

Isu adalah tujuan konflik eksternal masalah yang berpendapat seorang individu
dalam hal tinggi. Relational konflik tujuan seperti namanya lihat bagaimana menentukan
individu atau ideal akan menentukan hubungan mereka dengan anggota lainnya dalam
situasi konflik. Akhirnya identitas berbasis tujuan melibatkan isu identitas konfirmasi,
menghormati, dan persetujuan dari konflik anggota. Ini memiliki tujuan terkait dengan
budaya dan mereka yang paling langsung berhubungan dengan identitas wajah
menyimpan masalah.

Dr.Ting Toomey menjelaskan konsep wajah sebagai identitas diri dan


manajemen identitas-pertimbangan lain diluar individu konflik episode. Faces public
adalah gambar seorang individu atau kelompok masyarakat dimana mereka melihat dan
menilai berdasarkan budaya dan norma-norma nilai. Ini adalah pertimbangan utama
dalam manajemen konflik. Affectively, ketika seseorang menghadapi terancam akan
mendapat respons yang emosional dari beberapa derajat. Pada tingkat Kognitif,
menghadapi ancaman diukur berdasarkan seberapa jauh derajat yang mengancam
tindakan diverges dari norma budaya dan perilaku. Sudut perbedaan dari perilaku
normative akan memperoleh berbagai facework perilaku. Face Work merujuk kepada
kemampuan komunikasi yang digunakan untuk menegakkan dan mengatur wajah.Wajah
dan Face work merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, tetapi bingkai referensi
tentang bagaimana mengelola satu wajah individual dan budaya pada tingkat apa Face
Teori Negosiasi akan mencoba menangkap.
Untuk yang mana,teori ini memiliki 6 asumsi:

1. Komunikasi disemua budaya didasarkan pada menjaga wajah dan negosiasi.


2. Wajah yang bermasalah ketika identitas adalah pertanggungjawaban.
3. Perbedaan individualis vs collectivitistic besar dan kecil dibandingkan dengan
daya jarak budaya profoundly bentuk wajah manejemen.
4. Individualis budaya sendiri lebih berorientasi facework, collectivistic dan budaya
lainnya lebih berorientasi facework.
5. Kecil daya jarak budaya yang lebih individu yang sama kerangka kerja,
sedangkan daya besar jarak budaya lebih suka kerangka hierarkis.
6. Kompetensi dalam komunikasi adalah puncak pengetahuan dan mindfulness.

Philipsen (dalam Griffin, 2004) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi


sosial dan pola symbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan
secara mensejarah. Pada dasarnya budaya adalah suatu kode. Terdapat empat dimensi
krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:

a. Jarak kekuasaan
b. Maskulinitas
c. Penghindaran ketidakpastian
d. Individualisme

Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antar budaya,Griffin (2004)


menyadur Teori Face Negotiation.Teori yang dipublikasikan Stella Ting Toomey ini
membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespon konflik.Ting
Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu Negotiating
Face. Istilah itu adalah metaphor citra diri public kita,cara kita menginginkan orang lain
melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non-
verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu dan menegakkan muka
terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan dan kecemasan serta ketidakpastian
yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya atau harus terima.
Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan
budaya kolektivis. Ketika facework adalah berbeda, gaya penanganan konflik juga
beragam.Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individualis dan budaya
kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan diri, tujuan-tujuan,
dan kewajiban.
Face Negotiation Theory
Contoh Kasus Teori Negosiasi Wajah :

dalam upaya pembongkaran kasus-kasus korupsi di Indonesia yang diyakini


menyeret banyak nama tokoh-tokoh serta orang-orang besar di Indonesia. Lembaga yang
berwenang dalam menanggulangi hal ini misalnya KPK merupakan bagian dari
kekuasaan. Dan bilamana orang-orang besar yang juga memiliki kekuasaan dibongkar
dan ditangkap, sejatinya sama saja dengan merontokkan wibawa kekuasaan itu sendiri.
Oleh karenanya, orang-orang di dalam lembaga pemberantas korupsi melakukan
facework tertentu. Facework adalah usaha untuk membangun citra diri sendiri, ataupun
usaha dalam menciptakan ataupun mengancam citra pihak lain. Dengan adanya
facework ini, yang terjadi adalah proses lobi politik. Hasilnya, lembaga pemberantas
korupsi tetap menjaga “wajah”nya dengan menangkap pelaku-pelaku korupsi, meskipun
bukan “induk” nya. Dan para orang-orang besar yang sejatinya merupakan “induk”
korupsi juga terjaga “wajah”nya, karena yang tertangkap adalah bawahan-bawahan
mereka. Ini semua dilakukan demi mempertahankan kekuasaan dan menjaga citra
bersama. Inilah yang disebut proses “face negotiation”.

Dan pada kesimpulannya, ada setidaknya dua hal untuk mencapai kenyamanan
dalam face negotiation. Yang pertama adalah functional bicultarilsm, yaitu kondisi
dimana seseorang dapat membangun dan menempatkan “wajah” (citra) dirinya dengan
kuat, serta juga mampu mengeksplor citra orang lain dan menghargainya. Yang kedua
adalah cultural transformer, yaitu seseorang mampu menempatkan diri dari satu konteks
budaya (kondisi) ke konteks budaya yang lain. Sementara kunci untuk mencapai kedua
kenyamanan tersebut adalah memiliki intercultural competence yang terdiri dari tiga
komponen yaitu identity knowledge, mindfulness, dan negotiation skill.

Identity knowledge adalah pemahaman akan budaya, identitas serta entitas-entitas


yang ada di sekitarnya. Mindfulness adalah pemahaman akan kemampuan diri sendiri.
Dan negotiation skill adalah kemampuan untuk menempatkan diri serta melihat peluang
di sekitar.
SPEECH CODES THEORY

Of Gerry Philipsen

Dalam Littlejohn (2011:461-462) Gery Philipsen, seorang pemimpin dalam


etnografi komunikasi mendefinisikan speech code sebagai serangkaian pemahaman
khusus dalam sebuah budaya tentang apa yang dinilai sebagai komunikasi, signifikansi
bentuk komunikasi dalam budaya, bagaimana semua bentuk tersebut dapat dipahami, dan
bagaimana mereka ditunjukkan. Speech code adalah sebuah budaya tidak tertulis dan
sering menjadi ―buku panduan‖ bawah sadar untuk bagaimana berkomunikasi dalam
budaya. Peneliti memahami bahwa speech codes merupakan salah satu teori yang
berkaitan dengan ranah budaya serta masuk kedalam teori komunikasi antarbudaya. Hal
ini berarti menandakan bahwa speech codes mempunyai peranan penting dalam hal
menjalin komunikasi diantara dua kebudayaan yang berbeda. Speech codes dalam bahasa
Indonesia disebut dengan kode berbicara, dimana di Indonesia sendiri terdapat kode-kode
berbicara yang beragam.

Asumsi dari teori ini tentang kemampuan orang asing dalam menyesuaikan
suasana melalui gaya bahasa ketika bersama atau di lingkungan orang asing. Dengan
kode bicara, Philipsen menunjukan kepada sejarah yang ditetapkan, konstruksi secara
sosial sistem dari terminologi, makna, alasan, dan aturan, menyinggung tingkah laku
komunikasi. Philipsen menguraikan inti dari teori kode berbicara dengan mengemukakan
enam proposisi yang dapat menjelaskan tentang teori ini yaitu :

A. Kekhasan dalam Kode Berbicara

Proposisi 1 : Dimanapun ada perbedaan budaya maka akan ditemukan


perbedaan kode bicara

Dalam kekhasan kode berbicara, Philipsen menegaskan bahwa setiap budaya


yang terbentuk, baik itu budaya yang ada di komunitas tertentu atau lokal maupun
komunitas umum, memiliki kode berbicara tertentu. Ketika memasuki komunitas
kalangan pekerja Teamsterville, Philipsen menemukan adanya kosakata, ungkapan
maupun tata bahasa yang sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini dipahaminya
bahkan kebiasaan yang berlaku umum. Salah satunya adalah kebiasaan penduduk di
Teamsterville untuk tidak memulai sebuah percakapan tanpa terlebih dahulu memastikan
status dari lawan bicaranya atau latarbelakangnya, etnis, status sosialnya dan alamatnya.

B. Keragaman dalam Kode Berbicara

Proposisi 2 : Di dalam komunitas diberikan cara bicara, berbagai kode


bicara digunakan

Pada teori ini, menyatakan bahwa adanya sebuah gaya bicara yang dimiliki dari
setiap komunitas atau lingkungan. Setiap lingkungan atau komunitas memiliki kode-kode
bicara tertentu. Mereka yang berada di lingkungan komunitas biasanya memiliki pola
bicara atau kode bicara yang baik atau teratur dan tersusun sesuai dengan kode-kode di
dalam kelompok tersebut ketimbang mereka yang berada diluar lingkungan komunitas.
Sehingga setiap lingkungan atau komunitas memiliki keragaman gaya bicara atau kode-
kode di dalam berkomunikasi.

C. Hakikat dalam Kode Bicara

Proposisi 3 : Kode berbicara melibatkan perbedaan secara kultural


psikologi, sosiologi, dan retorika

1. Psikologi Menurut Philipsen, setipa kode berbicara “thematizes” merupakan sifat


dari individu dalam cara memberikan fakta-fakta. Kode teamsterville
menegaskan orang sebagai bagian dari peran sosial.
2. Sosiologi Philipsen menulis bahwa sebuah kode berbicara menyediakan sistem
dari jawaban tentang apa yang berhubungan antara diri kita dan yang lainya
sehingga dapat dengan jelas dicari, dan sumber simboliknya pun dapat dengan
benar dalam mencari hubungan tersebut.
3. Retorika Philipse menggunakan istilah retorika dalam dua pengertian dalam
menemukan kebenaran dan daya tarik persuasif dalam berkomunikasi. Kedua
konsep datang secara bersamaan melalui anak-anak muda Teamsterville dan laki-
laki dewasa ketika berbicara tentang wanita.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa perilaku individu dalam komunitas Teamsterville
dibentuk secara unik oleh kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam komunitas tersebut.
Gambaran pribadi yang “sempurna” bagi komunitas Teamsterville apabila ia mengikuti
aturan-aturan yang berlaku di komunitas tersebut, karena ada pembagian kelas yang
mencolok di dalam komunitas. Sedangkan bagi komunitas Nacirema individu memiliki
kebiasaan yang unik dan berbeda dari individu lainnya. Meski secara umum ada aturan-
aturan yang berlaku, akan tetapi individuindividu berkembang sesuai dengan caranya
sendiri. individu dinilai tidak dari penampakan luar semata melainkan dari apa yang
terpancar dalam individu tersebut. Tapi proposisi ketiga ini menegaskan bahwa apa pun
budayanya, kode bicara mengungkapkan struktur diri, masyarakat, dan tindakan strategis.

D. Penafsiran dalam kode bicara

Proposisi 4 : Makna dari pembicara tergatung dari kode bicara yang


digunakan oleh komunikator dan komunikan untuk
menginpretasikan komunikasi mereka

Jika kita ingin mengerti arti penting dari latihan berbicara yang mencolok dengan
budaya, kita harus mendengar melalui orang berbicara tentang itu dan orang yang
merespon juga. Kode bicara ini akan muncul apabila ada interaksi yang sangat efektif
antara komunikan dan komunikator. Artinya bahwa philipsen menegaskan bahwa
interpretasi dari kekhasan kode bicara itu tergantung dari hubungan diantara dua individu
atau lebih yang didukung dengan adanya kedekatan, keterbukaan, dan dukungan
pembicaraan. Sehingga kode bicara akan berlaku ketika “apa yang disampaikan” sudah
dipahami oleh individu-individu yang saling berinteraksi tersebut yang berasal dari
lingkungan sosial maupun budaya yang sama.

E. Lokasi dalam Kode Bicara

Proposisi 5 : Istilah, aturan dan pendapat suatu kode berbicara ada dalam
pembicaraan pada diri sendiri

Philipse meyakinkan bahwa kode berbicara merupakan tampilan umum sebagai


seseorang yang berbicara. Hal ini tentu sulit jika kita dihadapkan pada suatu masalah
yang juga melibatkan orang lain. Untuk itu, komunikasi harus mengikuti suatu urutan
yang khas yaitu, Ritual komunikasi mengikuti tipe rangkaian:
1. Permulaan Seorang teman menyatakan suatu kebutuhan untuk membahas suatu
masalah hubungan antar pribadi
2. Pengakuan Orang kepercayaan menyatakan pentingnya isu oleh suatu kesediaan
untuk “duduk dan berbicara”.
3. Perundingan Diri teman menyingkapkan, orang kepercayaan mendengarkan
sesuatu yang empati dengan cara tidak menghakimi, yang pada gilirannya
menunjukkan keterbukaan dengan umpan balik dan perubahan sikap.
4. Penetapan Teman dan orang kepercayaan mencoba untuk memperkecil
perbedaan pandangan, dan mengulangi pengertian pertanyaan dan berjanji satu
sama lain.

F. Kekuatan Kode Berbicara di dalam Berdiskusi

Proposisi 6 : Penggunaan seni di dalam kode berbicara merupakan kondisi


yang cukup untuk memprediksi, menjelaskan, dan
mengendalikan bentuk wacana tentang kejelasan, kehati-
hatian, dan moralitas perilaku komunikasi.

Teori ini lebih menjelaskan bahwa kode bicara dengan segala yang dimaknainya
dalam kondisi tertentu akan mampu memprediksi, menjelaskan, dan mengendalikan
bentuk wacana tentang kejelasan, kehati-hatian, dan moralitas perilaku komunikasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kode bicara yang membudaya diantara
komunitas Teamsterville dan Nacirema yang menekankan pada kejelasan, kepantasan
serta etika komunikasi individu adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari
Contoh Kasus Teori Kode Bicara :

Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia memiliki berbagai suku, adat,
kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dengan banyaknya perbedaan tersebut, tentu kita
akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda
kebudayaan dan bahasa dengan kita. Sama halnya dengan peristiwa yang pernah saya
alami, bersahabat dengan salah satu orang yang berasal dari Padang. Kami menjalin
pertemanan cukup lama walaupun sampai akhirnya ia harus kembali pulang ke kota
asalnya. Suatu hari ketika saya berkunjung ke rumahnya, terlihat rumahnya sedang ramai.
Awalnya saya tidak memperdulikan hal tersebut, namun ketika kembali dicermati,
keluarga temanku yang dari Padang tersebut berbincang dengan lawan bicaranya seperti
terkesan sedang ribut, dengan logat khas dan terdengar seperti membentak. Awalnya saya
khawatir muncul konflik atau perkelahian, namun teman saya tersebut menjelaskan,
memang orang Padang ketika berbicara seperti itu, hal tersebut sangat wajar disana.
Terlebih, orang Padang mempunyai kebiasaan suka berkumpul dengan sanak-saudara
nya, karena dengan demikian mencerminkan kekompakan dalam adat Padang.

Namun, bila kita kaitkan dengan komunikasi etnografi yang telah kita bahas, kita
tentu tidak akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, meskipun
berbeda suku, adat, kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Hal ini dikarenakan pada
komunikasi etnografi, kita dituntut untuk saling terbuka (saling berbagi kebudayaan),
sehingga komunikasi yang kita lakukan dapat berjalan efektif. Apalagi untuk bangsa
Indonesia yang telah memiliki bahasa persatuan (bahasa Indonesia). Tentu komunikasi
akan berjalan lebih efektif, tanpa adanya rasa perbedaan kebudayaan dan bahasa, apabila
bahasa tersebut benar-benar digunakan dengan baik.

Berikut beberapa kasus lain yang saya temukan sebagai contoh, terkait teori kode bicara :

1. Seorang pembantu rumah tangga suku Jawa jika berbicara dalam bahasa Jawa
ngoko kepada majikannya yang juga berasal dari suku Jawa dapat menyebabkan
sang majikan menjadi tersinggung dan marah kepada sang pembantu karena
dinilai tidak sopan dan tidak tahu adat.
2. Nada suara tinggi di kalangan suku Batak dinilai sebagai sebuah kebiasaan yang
tidak bermakna kemarahan, namun di kalangan komunitas suku Jawa mempunyai
makna sebuah bentakan kemarahan.
3. Di kalangan komunitas masyarakat Riau, kata “butuh” mempunyai makna
sebagai “kata kotor”, namun di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya,
“butuh” hanya sebagai sebuah kata sifat yang berarti penting atau perlu.
4. Di kalangan masyarakat masyarakat Madura, warna biru dalam makna umum,
dikodekan dengan warna hijau.
5. “Mari, main ke lamin saya !” Dalam bahasa Dayak berarti “masuk ke rumah”.
Jadi, seorang pria non Dayak, jangan gede rasa (geer) dulu jika suatu saat seorang
gadis Dayak di Kalimantan dengan ramah tersenyum-senyum berkata seperti itu
kepada Anda.
6. “Apa masyakat sini semua sudah punya pacul?” kata Pak Harto suatu ketika
dalam temu wicara dengan sekelompok masyarakat di Kalimantan. Anggota
masyarakat yang hadir tertawa geerr. Pak Harto pun heran dan akhirnya faham
saat diberi tahu kalau “pacul” itu artinya kemaluan pria.
7. Bagi masyarakat di Irian Jaya, babi dimaknai sebagai simbol status sosial
ekonomi.
8. Di Sumatera Utara, bertahak (sendawa) bukan sesuatu yang tidak sopan, namun
di Jakarta, misalnya, bertahak itu sebagai sesuatu yang tidak sopan.
DAFTAR PUSTAKA

Griffin EM. 2012. A First Look at Communication Theory (8th edition). McGraw-Hill.
New York

Littlejohn SW & Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi (edisi ke 9). Salemba
Humanika. Jakarta

Anugrah, Dadan dan Winny Kwemowati. (2008). Komunikasi Antar Budaya. Jakarta :
Jaka Permata

Anonymus. (2013). Face Negotiation Theory [online]. Tersedia


https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2013-2-01577-
MC%20Bab2001.pdf [20 Maret 2018]

Wibisono, Antania. (2015). Jurnal Karya Ilmiah [online]. Tersedia


https://www.academia.edu/20322677/Jurnal_Karya_Ilmiah
[20 Maret 2018]

Van, Novan. (2016). Teori Pengurangan ketidakpastian Uncertainty Reduction Theory


[online]. Tersedia
https://www.academia.edu/8422829/TEORI_PENGURANGAN_KETIDAKPA
STIAN_UNCERTAINTY_REDUCTION_THEORY [20
[ 20 Maret 2018]

Ifah, Quinn. (2015). Chapter 33, Griffin [online]. Tersedia


https://www.scribd.com/document/285907080/Chapter-33-Griffin
[ 20 Maret 2018]

Rukman, Pala. (2014). Teori Kode-kode bicara [online]. Tersedia


http://stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2640-
Vol.1%20No.1%20Desember%202014_6_Rukman%20Pala-
STISIP%20Widuri.pdf [ 20 Maret 2018]

Anda mungkin juga menyukai