Disusun oleh :
IV B
2018
TEORI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Anxiety/Uncertainty Management
Of William Gudykunst
Teori ini adalah karya dari Gudykunts (1988) yang dikembangkan dari teori
pengurangan ketidakpastian karya Charles Berger yaitu melihat bagaimana ketidakpastian
dan kecemasan itu terjadi dalam situasi budaya yang berbeda. Gudykunts menemukan
bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu kebudayaan tertentu akan berupaya
mengurangi ketidakpastian pada tahap awal hubungan mereka, namun mereka
melakukannya dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya.
Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan cara melihat apakah seseorang berasal atau
merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” atau “budaya konteks rendah”
(Littlejohn dan Foss, 2011: 182).
Littlejohn dan Foss (2011: 182-183) mengemukakan, bahwa secara garis besar
hal-hal yang menjadi dasar dalam teori pengelolaan kecemasan/ketidakpastian dapat
dilihat pada penjelasan berikut ini:
Asumsi satu, Perbedaan ini dapat dilihat dengan cara apakah seseorang itu berasal
atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” (high-context cultures) yang
melihat pada situasi keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa atau “budaya
konteks rendah” (low-context cultures) yang melihat pada isi pesan verbal yang terungkap
dengan jelas (Littlejohn dan Foss, 2011: 182). Asumsi kedua, ketika seseorang
mengidentifikasikan dirinya secara kuat dengan budayanya dan ia berfikir orang lain
berasal dari kelompok budaya yang berbeda maka orang pertama tadi akan merasakan
kecemasan dan juga ketidakpastian yang cukup besar, begitu pula sebaliknya.
Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang yang berasal dari budaya berbeda
dapat meningkatkan kepercayaan dseseorang ketika ia bertemu dengan orang asing yang
tidak dikenalnya. Sedangkan dengan mengetahui bahasa orang asing lain akan menolong
seseorang meningkatkan kepercayaan dan toleransi, sehingga jika seseorang lebih
percaya dan tidak terlalu cemas untuk bertemu dengan kelompok yang berbeda maka
kemungkinan akan lebih baik dalam mendapatkan informasi sehingga mengurangi
ketidakpastian. Asumsi ketiga, setiap individu memiliki ambang batas yang berbeda
dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakannya. Jika level
ketidakpastian malampaui batas atas yang dimiliki seseorang, maka kepercayaannya akan
berkurang, dan jika level kecemasan terlalu tinggi maka seseorang bahkan akan
menghindari komunikasi sama sekali. Dalam hal ini terdapat pula batas bawah, dan jika
ketidakpastian dan kecemasan seseorang lebih rendah dari batas bawah ini maka motivasi
seseorang untuk berkomunikasi juga akan hilang. Dengan demikian level atau tingkat
ketidakpastian dan kecemasan yang ideal bagi suatu situasi komunikasi antarbudaya
terletak diantara ambang batas atas dan ambang batas bawah, dimana akan memotivasi
seseorang untuk berkomunikasi, sehingga ia akan menggunakan strategi pengurangan
ketidakpastian.
1. Konsep diri
Aksioma 3 : Peningkatan harga diri kita saat berinteraksi dengan orang
asing akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan
kemampuan kita untuk memprediksi perilaku mereka secara akurat
2. Motivasi untuk berinteraksi
Aksioma 9 : Peningkatan kepercayaan kita pada kemampuan kita untuk
memprediksi perilaku orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan kita. Penurunan kecemasan kita akan menghasilkan
peningkatan kepercayaan diri kita dalam memprediksi orang asing.
3. Reaksi terhadap orang lain
Aksioma 10 : Peningkatan kemampuan kita untuk memproses informasi
secara kompleks tentang orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi
perilaku mereka secara akurat.
Aksioma 13 : Peningkatan toleransi untuk ambiguitas akan
menghasilkan penurunan kecemasan kita.
4. Pengkategorian sosial pada orang asing
Aksioma 17 : Peningkatan kesamaan personal yang kita rasakan antara
dirikita sendiri dengan orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan peningkatan kemampuan kita untuk secara akurat
memprediksi perilaku mereka.
Aksioma 20 : Peningkatan pemahaman bahwa kita berbagi identitas
dengan orang asing dalam suatu kelompok akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan meningkatan kemampuan kita untuk memprediksi
perilaku mereka secara akurat.
5. Proses situasional
Aksioma 26 : Peningkatan pada kekuatan kita untuk melihat bahwa kita
memiliki kelebihan dari orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan dan penurunan akurasi prediksi kita pada perilaku mereka.
6. Hubungan dengan orang asing
Aksioma 27 : Peningkatan daya tarik pada orang asing akan
menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kepercayaan diri
kita dalam memprediksi perilaku mereka.
Aksioma 31 : Peningkatan jaringan/networks kita dengan orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan dan peningkatan kemampuan
kita untuk secara akurat memprediksi perilaku mereka.
7. Interaksi etika
Aksioma 34 : Peningkatan inklusivitas moral kita terhadap orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan kita. Sepuluh aksioma diatas
adalah faktor-faktor yang menurut Gudykunts mempengaruhi kecemasan
dan ketidakpastian. Gudykunts juga menyatakan bahwa komunikasi
antarbudaya merupakan perpanjangan dari prinsip-prinsip komunikasi
interpersonal
Contoh Kasus Teori Kecemasan & ketidakpastian :
Salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang didalamnya melibatkan proses
komunikasi lintas budaya adalah SMA Negeri 1 Karawang, sekolah SMA dengan julukan
“SMANSAKA” ini merupakan sekolah yang multikultural, sebab sekolah ini memiliki
siswa-siswi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan adapun siswa-siswi
manca negara seperti dari Jepang, Amerika, Thailand, Kamboja, Filiphina, Rusia.
Mengingat dilaksanakannya program pendidikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI) pertukaran pelajar yang diselenggaran setiap tahun saat itu. Mengingat keragaman
siswa-siswi yang ada, tentu banyak fenomena adanya keragaman bahasa, suku, budaya
atau ras serta sikap yang ditunjukan oleh masing-masing siswa-siswi.
Oleh karenanya, sebagai siswa-siswi asing, tentu dalam praktek bersosialisasi dan
berinteraksinya akan menimbulkan suatu ketidakpastian dalam komunikasi. Terlebih
dalam persoalan komunikasi lintas budaya. Hal ini mengingat banyaknya keragaman
budaya yang ada di Indonesia tentu berbeda pula dengan budaya yang ada di negara asal
mereka. Misalkan dilihat dari cara mereka pergi ke sekolah, siswa asing selalu berangkat
sekolah pada pukul 09.00 WIB, sedangkan aturan jam sekolah pada umumnya di
Indonesia pada pukul 07.00 WIB. Siswa asing tersebut beranggapan bahwa waktu untuk
memulai pembelajaran di Indonesia terlalu pagi dan sangat berbeda dengan negara
asalnya. Bila dilihat dari segi bahasa misalkan, siswa menggunakan bahasa jepang
sebagai bahasa resmi mereka, yang mana frasa, penulisan, dan pengucapannya berbeda
dengan bahasa indonesia.
1. Strategi Pasif
Siswa-siswi tidak serta merta secara aktif berinteraksi dengan teman-teman
barunya, melainkan lebih dulu mencari informasi mengenai situasi lingkungan
maupun karakter teman-temannya melalui pengamatan.
2. Strategi Aktif
Tindakan yang secara langsung dilakukan siswa-siswi asing untuk melakukan
survey langsung ke Indonesia untuk mencari informasi berkaitan dengan karakter
Indonesia, dan kondisi sosial budaya serta kebiasaanya.
3. Strategi Interaktif
Setelah melalui pengamatan untuk mencari informasi yang di dapatkan, siswa-
siswi asing menjalin interaksi dengan teman-temannya dengan cara menyapa,
berbincang dsb. Interaksi secara langsung dan beradaptasi dengan lingkungan
merupakan bentuk upaya pengurangan ketidakpastian dengan cara strategi
interaktif.
FACE NEGOTIATION THEORY
Of Stella Ting-Toomey
Pada tahun 1985, Stella Ting-Toomey mencetuskan sebuah teori yang bernama
Face Negotiation Theory. Ting-Tomey adalah salah satu kolega dari Gundykunst di
California State University, Fulleton.
Dalam teori ini memiliki model pengelolaan konflik yang ada yakni:
a. Avoiding (penghindaran).
Dimana akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan dengan anggota
kelompok.
b. Obliging (keharusan).
Dimana akan menyerahkan kepada kekebijakan anggota kelompok.
c. Compromising.
Menggunakan,memberi dan menerima sedemikian,sehingga suatu kompromi bisa
dibuat.
d. Dominating.
Memastikan penanganan isu sesuai kehendak diri sendiri.
e. Integrating.
Menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan
masalah bersama-sama.
Asumsi teori ini beranggapan bahwa budaya memiliki dampak yang signifikan
pada orang berkomunikasi dan mengelola konflik dengan masing-masing individu dan
antar kelompok.Budaya rangka menyediakan referensi bagi individu dan kelompok
interaksi karena terdiri dari nilai, norma, kepercayaan, dan tradisi yang memainkan
peranan besar dalam bagaimana seseorang atau sekelompok mengidentifikasi diri.
Dr.Ting Tooney menyatakan bahwa konflik dapat berasal dari salah satu langsung
peraduan kepercayaan budaya dan nilai-nilai atau sebagai akibat dari menyalah -
aplikasikan harapan tertentu dan standar perilaku untuk suatu situasi. Face Negosiasi
Teori mengidentifikasi tiga tujuan masalah konflik yang akan ditawarkan meliputi:
konten, penghubung, dan identitas.
Isu adalah tujuan konflik eksternal masalah yang berpendapat seorang individu
dalam hal tinggi. Relational konflik tujuan seperti namanya lihat bagaimana menentukan
individu atau ideal akan menentukan hubungan mereka dengan anggota lainnya dalam
situasi konflik. Akhirnya identitas berbasis tujuan melibatkan isu identitas konfirmasi,
menghormati, dan persetujuan dari konflik anggota. Ini memiliki tujuan terkait dengan
budaya dan mereka yang paling langsung berhubungan dengan identitas wajah
menyimpan masalah.
a. Jarak kekuasaan
b. Maskulinitas
c. Penghindaran ketidakpastian
d. Individualisme
Dan pada kesimpulannya, ada setidaknya dua hal untuk mencapai kenyamanan
dalam face negotiation. Yang pertama adalah functional bicultarilsm, yaitu kondisi
dimana seseorang dapat membangun dan menempatkan “wajah” (citra) dirinya dengan
kuat, serta juga mampu mengeksplor citra orang lain dan menghargainya. Yang kedua
adalah cultural transformer, yaitu seseorang mampu menempatkan diri dari satu konteks
budaya (kondisi) ke konteks budaya yang lain. Sementara kunci untuk mencapai kedua
kenyamanan tersebut adalah memiliki intercultural competence yang terdiri dari tiga
komponen yaitu identity knowledge, mindfulness, dan negotiation skill.
Of Gerry Philipsen
Asumsi dari teori ini tentang kemampuan orang asing dalam menyesuaikan
suasana melalui gaya bahasa ketika bersama atau di lingkungan orang asing. Dengan
kode bicara, Philipsen menunjukan kepada sejarah yang ditetapkan, konstruksi secara
sosial sistem dari terminologi, makna, alasan, dan aturan, menyinggung tingkah laku
komunikasi. Philipsen menguraikan inti dari teori kode berbicara dengan mengemukakan
enam proposisi yang dapat menjelaskan tentang teori ini yaitu :
Pada teori ini, menyatakan bahwa adanya sebuah gaya bicara yang dimiliki dari
setiap komunitas atau lingkungan. Setiap lingkungan atau komunitas memiliki kode-kode
bicara tertentu. Mereka yang berada di lingkungan komunitas biasanya memiliki pola
bicara atau kode bicara yang baik atau teratur dan tersusun sesuai dengan kode-kode di
dalam kelompok tersebut ketimbang mereka yang berada diluar lingkungan komunitas.
Sehingga setiap lingkungan atau komunitas memiliki keragaman gaya bicara atau kode-
kode di dalam berkomunikasi.
Jika kita ingin mengerti arti penting dari latihan berbicara yang mencolok dengan
budaya, kita harus mendengar melalui orang berbicara tentang itu dan orang yang
merespon juga. Kode bicara ini akan muncul apabila ada interaksi yang sangat efektif
antara komunikan dan komunikator. Artinya bahwa philipsen menegaskan bahwa
interpretasi dari kekhasan kode bicara itu tergantung dari hubungan diantara dua individu
atau lebih yang didukung dengan adanya kedekatan, keterbukaan, dan dukungan
pembicaraan. Sehingga kode bicara akan berlaku ketika “apa yang disampaikan” sudah
dipahami oleh individu-individu yang saling berinteraksi tersebut yang berasal dari
lingkungan sosial maupun budaya yang sama.
Proposisi 5 : Istilah, aturan dan pendapat suatu kode berbicara ada dalam
pembicaraan pada diri sendiri
Teori ini lebih menjelaskan bahwa kode bicara dengan segala yang dimaknainya
dalam kondisi tertentu akan mampu memprediksi, menjelaskan, dan mengendalikan
bentuk wacana tentang kejelasan, kehati-hatian, dan moralitas perilaku komunikasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kode bicara yang membudaya diantara
komunitas Teamsterville dan Nacirema yang menekankan pada kejelasan, kepantasan
serta etika komunikasi individu adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari
Contoh Kasus Teori Kode Bicara :
Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia memiliki berbagai suku, adat,
kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dengan banyaknya perbedaan tersebut, tentu kita
akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda
kebudayaan dan bahasa dengan kita. Sama halnya dengan peristiwa yang pernah saya
alami, bersahabat dengan salah satu orang yang berasal dari Padang. Kami menjalin
pertemanan cukup lama walaupun sampai akhirnya ia harus kembali pulang ke kota
asalnya. Suatu hari ketika saya berkunjung ke rumahnya, terlihat rumahnya sedang ramai.
Awalnya saya tidak memperdulikan hal tersebut, namun ketika kembali dicermati,
keluarga temanku yang dari Padang tersebut berbincang dengan lawan bicaranya seperti
terkesan sedang ribut, dengan logat khas dan terdengar seperti membentak. Awalnya saya
khawatir muncul konflik atau perkelahian, namun teman saya tersebut menjelaskan,
memang orang Padang ketika berbicara seperti itu, hal tersebut sangat wajar disana.
Terlebih, orang Padang mempunyai kebiasaan suka berkumpul dengan sanak-saudara
nya, karena dengan demikian mencerminkan kekompakan dalam adat Padang.
Namun, bila kita kaitkan dengan komunikasi etnografi yang telah kita bahas, kita
tentu tidak akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, meskipun
berbeda suku, adat, kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Hal ini dikarenakan pada
komunikasi etnografi, kita dituntut untuk saling terbuka (saling berbagi kebudayaan),
sehingga komunikasi yang kita lakukan dapat berjalan efektif. Apalagi untuk bangsa
Indonesia yang telah memiliki bahasa persatuan (bahasa Indonesia). Tentu komunikasi
akan berjalan lebih efektif, tanpa adanya rasa perbedaan kebudayaan dan bahasa, apabila
bahasa tersebut benar-benar digunakan dengan baik.
Berikut beberapa kasus lain yang saya temukan sebagai contoh, terkait teori kode bicara :
1. Seorang pembantu rumah tangga suku Jawa jika berbicara dalam bahasa Jawa
ngoko kepada majikannya yang juga berasal dari suku Jawa dapat menyebabkan
sang majikan menjadi tersinggung dan marah kepada sang pembantu karena
dinilai tidak sopan dan tidak tahu adat.
2. Nada suara tinggi di kalangan suku Batak dinilai sebagai sebuah kebiasaan yang
tidak bermakna kemarahan, namun di kalangan komunitas suku Jawa mempunyai
makna sebuah bentakan kemarahan.
3. Di kalangan komunitas masyarakat Riau, kata “butuh” mempunyai makna
sebagai “kata kotor”, namun di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya,
“butuh” hanya sebagai sebuah kata sifat yang berarti penting atau perlu.
4. Di kalangan masyarakat masyarakat Madura, warna biru dalam makna umum,
dikodekan dengan warna hijau.
5. “Mari, main ke lamin saya !” Dalam bahasa Dayak berarti “masuk ke rumah”.
Jadi, seorang pria non Dayak, jangan gede rasa (geer) dulu jika suatu saat seorang
gadis Dayak di Kalimantan dengan ramah tersenyum-senyum berkata seperti itu
kepada Anda.
6. “Apa masyakat sini semua sudah punya pacul?” kata Pak Harto suatu ketika
dalam temu wicara dengan sekelompok masyarakat di Kalimantan. Anggota
masyarakat yang hadir tertawa geerr. Pak Harto pun heran dan akhirnya faham
saat diberi tahu kalau “pacul” itu artinya kemaluan pria.
7. Bagi masyarakat di Irian Jaya, babi dimaknai sebagai simbol status sosial
ekonomi.
8. Di Sumatera Utara, bertahak (sendawa) bukan sesuatu yang tidak sopan, namun
di Jakarta, misalnya, bertahak itu sebagai sesuatu yang tidak sopan.
DAFTAR PUSTAKA
Griffin EM. 2012. A First Look at Communication Theory (8th edition). McGraw-Hill.
New York
Littlejohn SW & Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi (edisi ke 9). Salemba
Humanika. Jakarta
Anugrah, Dadan dan Winny Kwemowati. (2008). Komunikasi Antar Budaya. Jakarta :
Jaka Permata