Anda di halaman 1dari 8

Mediator Reduce Exposure (Pengurangan Paparan) Of

Social Media Dalam Upaya Mengatasi Gangguan


Psikosomatis Di Masa Pandemi
Rezki Fitri Ramadani
A. Pendahuluan
Dalam beberapa bulan pertama tahun 2020, informasi dan laporan berita
tentang penyakit coronavirus (COVID-19) dengan cepat dipublikasikan dan
dibagikan di media sosial dan situs jejaring sosial. Sementara bidang
infodemiologi telah mempelajari pola informasi di Web dan di media sosial
setidaknya selama 18 tahun, pandemi COVID-19 disebut sebagai infodemik
media sosial pertama. Namun, ada bukti terbatas tentang apakah dan bagaimana
infodemik media sosial telah menyebarkan kepanikan dan memengaruhi
kesehatan mental pengguna media sosial.

Akibat COVID-19 yang semakin hari semakin bertambah dan meningkat


ini tentunya memberikan pengaruh kepada masyarakat. COVID-19 memberikan
dampak terhadap kecemasan pada masyarakat, ditambah lagi dengan adanya
isolasi, pembatasan sosial, serta perubahan terhadap lingkungan psikososial.
Pandemi ini dapat memberikan tekanna emosional terhadap masyarakat karena
adanya perubahan yang besar dalam waktu yang cukup singkat. Kurangnya
kontak sosial, berkurangnya kesempatan untuk melakukan penanganan stres, serta
risiko tinggi unuk terpapar COVID-19 menyebabkan tekanan psikologis dan fisik
yang cukup besar, salah satunya adalah kecemasan. Ketika terdapat potensi
kematian yang cukup besar, maka hal tersebut dapat meningkatkan kecemasan
seseorang (Jungmann, M. S., & Witthöft, 2020)

Kehadiran pandemi ini secara tidak langsung mengubah cara manusia


dalam berinteraksi secara horizontal, ketatnya physical distancing yang
diterapkan, membuat orang-orang menjadi sangat bergantung pada media,
khususnya media sosial, untuk mendapatkan informasi teraktual mengenai
pandemi dan menjaga konektivitasnya dengan orang-orang kerabat, kolega
maupun keluarga.
Berdasarkan riset yang dilakukan Holmes (2020), ditemukan bahwa
penggunaan media sosial di masa pandemi mengalami peningkatan sebesar 61%.
Hal ini disebabkan usaha masyarakat agar tetap terkoneksi dengan orang-orang
disekitarnya. Lalu menurut Perez (2020), Penggunaan Facebook dan Instagram
juga mengalami peningkatan lebih dari 40% pada periode Februari – Maret 2020,
serta pemanfaatan Facebook Messenger, Whatsapp dan Instagram sebagai media
komunikasi elektronik mengalami peningkatan hingga 70% pada periode yang
sama.

Selain dimanfaatkan masyarakat untuk menjaga hubungannya secara


horizontal, pemanfaatan media sosial yang dapat menjadi wadah bertukar
informasi, fenomena peningkatan penggunaan media sosial di masa pandemi, dan 
rawannya penyebaran informasi keliru di media sosial terkait keadaan teraktual
atas pandemi yang hingga saat ini masih terjadi, menjadikan media sosial sebagai
salah satu mediator gangguan psikosomatis di kalangan pengguna media sosial
lewat tingginya penggunaan media sosial selama pandemi.

B. Media Sosial Dan Psikosomatis

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan
bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh
dunia.

Psikosomatik adalah gangguan fisik karena faktor kejiwaan dan akumalasi


sosial emosi yang dapat menimbulkan guncangan pada individu.
Ketidakmampuan menghadapi sosial emosi dapat menyebabkan tubuh rentan
mengalami gangguna fisik seperti nyeri perut, sesak nafas, sakit kepala, dan
gangguna fisik lainnya, Gangguan sesak nafas pada kasus psikosomatik mirip
dengan gejala sesak pada COVID-19.

Informasi tentang COVID-19 mudah dijangkau oleh masyarakat melalui


media sosial. Hasil data statistik yang dilakukan oleh Hootsuite We Are Soscial
pada bulan Januari 2019 menunjukkan bahwa 56% atau sekitar 150 juta penduduk
Indonesia sebagai pengguna aktif media sosial. Platform media sosial yang paling
banyak digunakan adalah Youtube sebesar 88%, Whatsapp sebesar 83%,
Facebook sebesar 81%, Instagram sebanyak 80% dan Twitter sebesar 52% . Hal
ini mendukung informasi tentang COVID-19 mudah sampai ke masyarakat,
namun juga dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Banyak informasi yang
menyebar, namun tidak semua informasi akurat. Berdasarkan hasil penelitian
ditemuakan 50 berita palsu (hoax) tentang COVID-19 selama bulan Januari-Maret
2020 di Indonesia. Kondisi ini membentuk kecemasan pada individu yang banyak
menimbulkan respon negatif. Respon negatif yang muncul salah satunya
gangguan psikosomatik.

C. Problematika Gangguan Psikosomatis Di Masa Pandemi

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI)


melakukan survei mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang dilakukan
secara daring. Pemeriksaan dilakukan terhadap 1.552 responden berkenaan
dengan tiga masalah psikologis yaitu cemas, depresi, dan trauma. Responden
paling banyak adalah perempuan (76,1%) dengan usia minimal 14 tahun dan
maksimal 71 tahun. Responden paling banyak berasal dari Jawa Barat 23,4%,
DKI Jakarta 16,9%, Jawa Tengah 15,5%, dan Jawa Timur 12,8%
(pdskji.org/home, 2020).

Hasil survei menunjukkan, sebanyak 63% responden mengalami cemas


dan 66% responden mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Gejala cemas
utama adalah merasa khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir
berlebihan, mudah marah, dan sulit rileks. Sementara gejala depresi utama yang
muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah, tidak bertenaga, dan
kehilangan minat. Sementara pemeriksaan lanjutan yang dilakukan terhadap 2.364
responden di 34 provinsi menyebutkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan
pemeriksaan sebelumnya. Sebanyak 69% responden mengalami masalah
psikologis. Sebanyak 68% mengalami cemas, 67% mengalami depresi, dan 77%
mengalami trauma psikologis. Sebanyak 49% responden yang mengalami depresi
bahkan berpikir tentang kematian (http://pdskji. org/hom, 2020). Data tersebut
menggambarkan bahwa permasalahan kesehatan mental, seperti psikosomatik,
cemas, depresi, akibat pandemi Covid-19 dirasakan secara nyata oleh masyarakat
Indonesia pada saat ini.

D. Reduce Exposure Of Social Media Sebagai Mediator Psikosomatis

Penggunaan media sosial (Facebook, Instagram, Twitter) kini menjadi alat


komunikasi yang paling sering digunakan. Jika dibandingkan dengan media
tradisional, media sosial memainkan multitude of positive roles dalam pertukaran
informasi selama krisis COVID-19, termasuk didalamnya penyebaran informasi
mengenai rekomendasi kesehatan, menjaga konektivitas dan menjadi support
system (Merchant dan Lurie, 2020). Disisi lain, sosial media juga dapat memicu
penyebaran informasi yang salah dan rumor yang cepat,yang dapat menyebabkan
rasa panik dan kebingungan di kalangan masyarakat (Garfin, Silver, & Holman,
2020).

Ketatnya penerapan physical distancing yang kemudian memicu beberapa


instansi pendidikan maupun perkantoran yang menerapkan sistem Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) dan work from home yang bermuara pada minimnya interaksi
masyarakat dengan sesama, menjadikan masyarakat lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk menggunakan media sosial sebagai sarana untuk berinteraksi
dengan sesama dan mengakses informasi teraktual mengenai Covid-19. Tingginya
frekuensi penggunaan media sosial ini memengaruhi tingkat kesehatan mental
(Keles et al., 2020).

Hal ini yang menjadikan media sosial sebagai mediator dari beberapa gangguan
kesehatan mental seperti stress, kecemasan, kepanikan dan psikosomatis lewat
tingginya penggunaan media sosial selama pandemi berlangsung dan rawannya
penyebaran informasi yang keliru mengenai keadaam teraktual pandemi.

E. Upaya Primer Dalam Mengatasi Gangguan Psikosomatis

Terdapat upaya primer yang dapat dilakukan untuk menanggulangi


gangguan psikosomatis ataupun gangguan mental, dengan Resignasi. Resignasi
sebagai salah satu gaya hidup yang tepat untuk mencegah gangguan Kesehatan
mental di masa pandemi COVID19. Resignasi adalah gaya hidup yang
menggambarkan keseluruhan diri individu berserah diri dan lebih dekat pada
Tuhan dalam berinteraksi dengan lingkungan sebagai hasil refleksi kondisi sosial.
Resignasi memberikan rasa tenang dan cemas karena menjadikan Tuhan sebagai
tempat bergantung, tempat berharap dan tempat meminta.

F. Upaya Preventif Dalam Mengatasi Gangguan Psikosomatis

Beberapa upaya preventif yang dapat kita lakukan untuk menghindarkan


diri kita dari rasa cemas maupun stress adalah dengan bijak dalam menyaring
informasi atau berita seputar Covid-19. Pertama, Informasi yang reliabel,
pastikan bahwa kita hanya menerima informasi mengenai Covid-19 yang berasal
dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, seperti World Health Organization dan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kedua, batasi waktu dalam membaca
berita, tetapkan frekuensi kita dalam mengakses berita, seperti hanya mengakses
berita dipagi atau sore hari, atau dua hari sekali. Ketiga, Menyaring informasi
yang akan kita baca dan bagi kepada orang disekitar kita, sebab tidak semua
informasi dari berbagai sumber harus kita ketahui, sampai-sampai waktu yang kita
miliki habis hanya untuk mendapatkan berita teraktual mengenai Covid-19, dan
perlunya kita dalam bersikap bijak dalam menyaring informasi yang akan kita
sampaikan kepada orang disekitar kita, agar tidak menimbulkan kepanikan
kolektif (Anonim, 2020)

Kemudian, Layanan bantuan konsultasi psikologi kesehatan jiwa atau


Sejiwa ini ditujukan untuk membantu menangani potensi ancaman psikologi
masyarakat ditengah pandemi Covid-19. Layanan ini merupakan bentuk
kolaborasi dari beberapa instansi pemerintahan seperti Kantor Staf Presiden
(KSP) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Kementerian Kesehatan, Gugus
Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, PT. Telkom, Infomedia, dan Himpunan
Psikologi Indonesia (HIMPSI).

G. Upaya Represif Dalam Mengatasi Gangguan Psikosomatis


Terapi Farmakologi bagi Penderita Psikosomatis Pengobatan untuk
gangguan anxietas, psikosomatis mencakup berbagai antidepresan (SSRIs, SNRIs,
TCAs, dan MAOIs)

H. Kesimpulan

Hadirnya Covid-19 bukan hanya memicu masalah kesehatan fisiologi,


melainkan beberapa permasalahan kesehatan mental turut dipicu oleh pandemi ini.
Meningkatnya penggunaan media sosial sebagai fenomena yang dipicu akibat
kurangnya interaksi sosial yang terjadi selama masa pandemi. Selain
dimanfaatkan sebagai wadah untuk menjaga konektivitasnya dengan kerabat,
kolega, dan keluarga, media sosial juga dimanfaatkan masyarakat untuk
memperbaharui informasi mengenai perkembangan pandemi yang terjadi hingga
saat ini. Rawannya penyebaran misinformasi di media sosial, dapat memicu
beberapa gangguan kesehatan mental seperti ansietas, stress, depresi, hingga
kecenderungan untuk bunuh diri. Lalu beberapa upaya untuk menekan kesehatan
mental yang dipicu dengan bijak dalam menyaring informasi atau berita seputar
Covid-19 dan memanfaatkan Layanan Bantuan Konsultasi Psikologi Kesehatan
Jiwa atau Sejiwa, apabila kita sudah mulai merasakan gejala penurunan kesehatan
mental seperti gangguan psikosomatis, dan apabila gejala psikosomatis yang
dialami dapat dikarakterisasi sebagai gejala paikosomatis kronis. Maka, upaya
represif yang dapat diberikan adalah dengan melakukan terapi farmakologis
dengan menggunakan golongan obat anti-depressan (SSRIs, SNRIs, TCAs, dan
MAOIs)

Daftar Pustaka

Ahmad, A.R., Murad, H.R., (2020). The Impact of Social Media on Panic During
the COVID-19 Pandemic in Iraqi Kurdistan: Online Questionnaire Study.
Retrieved from JMIR Publication

Holmes, R. (2020). Is COVID-19 social media’s levelling up moment


Garfin, D.R., Silver, R.C., & Holman, E.A. (2020). The novel coronavirus
(COVID 2019) outbreak: Amplification of public health consequences by
media exposure. Health Psychology, 39(5), 355–357.

Ardi, Niken Sasanti, and Dumilah Ayuningtyas. "Strategies to Strengthen Mental


Health Services in Hospital during Covid-19." JMMR (Jurnal
Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit) 10.2 (2021): 128-138.

Winurini, S. (2020). Permasalahan Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19.


Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. 13-18

Guessoum, S.B. et al. (2020). Adolescent psychiatric disorders during the


COVID-19 pandemic and lockdown. Retrieved from ELSEVIER

Cahyono, Anang Sugeng. "Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial


masyarakat di Indonesia." Jurnal Publiciana 9.1 (2016): 140-157..

Phua, J., Jin, S.V., Kim, J. (2017). Gratifications of Using Facebook, Twitter,
Instagram, or Snapchat to Follow Brands: The Moderating Effect of Social
Comparison, Trust, Tie Strength, and Network Homophily on Brand
Identification, Brand Engagement, Brand Commitment, and Membership
Intention. Retrieved from Researhgate

Anonim. Layanan Psikologi Sehat Jiwa (Sejiwa) 119 Ext 8 HIMPSI. Retrieved
from Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Fitriasari, Nikma. "Pencegahan primer membentuk masyarakat sehat di era covid-


19." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7.12 (2020): 1153-1166.

Vildayanti, H., Puspitasari, I.M., Sinuraya, R.K. (2020). Review : Farmakoterapi


Gangguan Anxietas. Farmaka, 196-213.

Anda mungkin juga menyukai