Anda di halaman 1dari 9

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

MELALUI GOOD OFFICES (JASA BAIK)

OLEH

ADONG TOHAP S.A.S (181010201030)

ANASTASYA ROSINITA. S (181010200898)

SITI HEN MILATI KOMALASARI (181019201379)

HUKUM INTERNASIONAL

UNIVERSITAS PAMULANG
A. Pengertian Good Offices (Jasa-jasa Baik)

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan


pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa
menyelesaikan sengketanya dengan Negosiasi. Menurut Bindschedler,
yang dikutip oleh Huala Adolf, Jasa baik dapat didefinisikan sebagai
berikut:

“The Invovelment of one or more states or an internastional


organization in a despute between states with the aim of settling it
or contributing to its settlement”

Yang berarti:
“Keterlibatan satu atau lebih negara atau organisasi internasional
dalam suatu penghinaan antara negara-negara dengan tujuan untuk
menyelesaikannya atau berkontribusi pada penyelesaiannya”

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam


dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices) dan jasa baik
politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh
Negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para
pihak yang bersengketa untuk ikut serta dalam konferensi atau
menyelenggarakan konferensi.

Tujuan jasa baik teknis adalah mengembalikan atau memelihara


hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa
setelah hubungan diplomatic mereka terputus. Adapun jasa baik politis
adalah jasa baik yang dilakukan oleh Negara atau organisasi
internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau
menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya
negosiasi atau suatu kompetensi.
B. Kasus Internasional yang diselesaikan melalui Good Offices (Jasa
Baik)

Kasus Perselisihan antara Indonesia Portugal mengenai Status Wilayah


Timor Timur (TimTim). PBB menawarkan jasa-jasa baiknya dalam
pembicara segitiga (Tripartite Talks) antara Menlu Indonesia dengan
Menlu Portugal yang kemudian menghasilkan penyelesaian TIMTIM
secara adil, menyeluruh dan diterima secara Internasional melalui
persetujuan New York Mei 1999.

Latar Belakang Polemik Timor Timur

Sebelum merdeka Timor Timur sempat menjadi wilayah yang


dikuasai oleh beberapa negara. Negara pertama yang menduduki Timor
Timur adalah Portugis pada 1520, kemudian Spanyol tiba pada 1522.
Pada tahun 1613, Belanda menguasai bagian barat pulau itu. namun
kekuasaan direbut Inggris pada1812-1815.
Setelah Inggris pergi, Belanda dan Portugis memperebutkan
hegemoni kekuasaan atas pulau Timor. Portugis akhirnya memperoleh
kedaulatan atas wilayah bagian timur setelah melakukan perjanjian
dengna Belanda pada 1860 dan 1893, perjanjian terakhir hanya
bertahan sampai 1914. Selama Perang Dunia II Timor berada dalam
kekuasaan Jepang.
Setelah Jepang kalah dari Sekutu, provinsi Timor Timur tetap
berada dalam pendudukan Portugis sampai tahun 1975. Selama dalam
kontrol Portugis, salah satu partai politik utama Timtim, Frente
Revolucionária Timor Leste Independente (Fretilin) mendapat banyak
kontrol atas wilayah tersebut dan pada bulan November 1975
mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai Republik Demokratik Timor
Leste.
Pada 7 Desember 1975 pasukan Indonesia yang didukung
Amerika dan Australia menduduki wilayah tersebut. Di tahun
berikutnya Indonesia mendeklarasikan Timtim sebagai bagian integral
dari negara tersebut sebagai provinsi Timor Timur (Timtim).
Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara pendukung
kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung
integrasi Timtim. Konflik terus meningkat, pada tahun 1991, tentara
Indonesia melepaskan tembakan ke 4.000 pelayat pro-kemerdekaan di
sebuah pemakaman yang sedang mengubur seorang siswa muda yang
baru-baru ini dibunuh oleh tentara. Seorang jurnalis foto Inggris
memfilmkan apa yang kemudian dikenal sebagai pembantaian Santa
Cruz, yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas. Rekaman tersebut
disiarkan di televisi di negara-negara Barat dan untuk pertama kalinya
pemerintah Amerika Serikat mengutuk kekerasan di Indonesia.
Bekas provinsi ke-27 itu membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan
dunia internasional. Banyak pihak yang menggunakan isu Timtim
sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa
Indonesia di percaturan internasional. Padahal di sisi lain Indonesia
sedang berjuang keras membuktikan bahwa tuduhan pelanggaran HAM
di Timtim tidak seluruhnya benar.
Meskipun begitu, pada masa itu tidak ada keinginan sedikitpun
untuk membuat keutuhan dan kesatuan NKRI terkoyak. Namun
tekanan dari dunia internasional untuk memberi kemerdekaan kepada
Timor Timur semakin menguat, seiring dengan semakin intensifnya
pertikaian fisik di Timor TImur.

C. Dasar Hukum diberlakukannya Good Offices (Jasa-jasa Baik)

Adapun yang mendasari Good Offices tersebut adalah “BAB VI Piagam


PBB”

BAB VI
PENVELESAIAN PERTIKAIAN PASIFIK
Pasal 33
1. Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang
jika berlangsung terus mcnerus mungkin membahayakan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari
penyelesaian dengan jalan perundingan. penyelidikan, dengan mediasi,
konsiliasi, arbitrasi. penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan
atau pengaturan-pengaturan regional. atau dengan cara damai lainnya
yang dipilih mereka sendiri.
2. Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan dapat meminta kepada
pihak-pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya
dengan cara-cara yang serupa itu.
Pasal 34
Dewan Keamanan dapat menyelidiki setiap perselisihan, atau
situasi yang mungkin dapat menyebabkan pergesekan internasional
atau dapat menimbulkan perselisihan, dalam rangka untuk
menentukan apakah kelanjutan sengketa atau kecenderungan situasi
yang dapat membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional.

Pasal 35

1 Setiap Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat mengajukan


setiap pertikaian atau keadaan bersifat seperti yang dikemukakan
dalam Pasal 34 untuk memperoleh perhatian Dewan Keamanan atau
Majelis Umum.
2. Negara yang bukan Anggota Perserikatan Bangsa-Bnngsa dapat
meminta perhatian Dewan Keamanan atau Majelis Umum mengenai
sesuatu pertikaian apabila sebelumnya untuk mengatasi persengketaan
tersebut ia sebagai pihak menyatakan bersedia menerima kewajiban-
kewajiban sebagai akibat dari pada penyelesaian secara damai saperti
tercantum dalam Piagam ini.
3. Majelis Umum bertalian dengan hal-hal yang dimintakan
perhatiannya menurut Pasal ini mempergunakan cara kerja yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11 dan 12.
Pasal 36
1. Dewan Keamanan dapat memberikan rekomendasi mengenai
prosedur-prosedur atau cara-cara penyesuaian pada taraf manapun
juga dalam suatu pertikaian atau seperti yang diatur dalam Pasal
33 atau suatu keadaan yang semacam itu, merekomendasikan sesuai
prosedur atau metode penyesuaian.
2. Dewan Keamanan mempertimbangkan segala prosedur untuk
menyelesaikan pertikaian yang telah diterima oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
3. Dalam memberikan anjuran-anjuran menurut Pasal ini Dewan
Keamanan juga mempertimbangkan bahwa pertikaian-pertikaian
hukum pada umumnya harus diajukan oleh pihak-pihak
kepada Mahkamah Internasional sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam Statuta Mahkamah.
Pasal 37
1. Apabila pihak-pihak yang tersangkut dalam pertikaian seperti
disebut dalam Pasal 33 tidak dapat menyelesaikan dengan cara sebagai
yang dinyatakan dalam pasal itu, mereka akan mengemukakan hal itu
kepada Dewan Keamanan.
2. Jika Dewan Keamanan menganggap bahwa kelanjutan dari
pertikaian itu memang dapat membahayakan pemeliharaan perdamaian
dan keamanan international, maka Dewan Keamanan akan dapat
menyampaikan apakah akan diambil tindakan menurut Pasal 36 atau
akan membuat rekomendasi yang menganjurkan cara-cara penyelesaian
yang dapat dianggapnya layak.
Pasal 38
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 33 sampai dengan 37, Dewan
Keamanan dapat, jika semua pihak untuk setiap sengketa atas
permintaan, membuat rekomendasi kepada para pihak dengan tujuan
untuk penyelesaian sengketa pasifik.

D. Skema Alur Penyelesaian Sengketa berdasarkan Kasus pada point (B)


E. Penjelasan Alur /Skema

Timor Timur adalah bekas koloni Portugis yang kemudian


bergabung dengan Indonesia. Integrasi itu diresmikan pada 17 Juli
1976. Timor Timur pun menjadi provinsi ke-27 alias provinsi termuda
RI. Setelah 22 tahun di bawah rezim Soeharto, Presiden RI ke-2 yang
pernah menjadi mertua Prabowo, sebagian rakyat Timor Timur
berkeinginan lepas dari NKRI. Setelah melalui penentuan pendapat
rakyat tanggal 30 Oktober 1999, NKRI kehilangan Timor Timur yang
kemudian resmi menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002. Berikut
ini kronologi pisahnya Timor Timur dan NKRI, dirangkum dari buku
Timor Timur Satu Menit Terakhir (2008) suntingan August Parengkuan
dan kawan-kawan:

19 Desember 1998

Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim surat kepada


Presiden B.J. Habibie. Howard mengusulkan agar pemerintah RI
meninjau ulang pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat
Timor Timur.

25 Januari 1999

Digelar rapat untuk membahas surat Howard. “Tolong dipelajari. Apakah


setelah 22 tahun bergabung dengan Indonesia, masyarakat Timtim
masih merasa belum cukup bersatu dengan kita. Bagaimana kalau kita
pisah baik-baik saja melalui Sidang Umum MPR?” kata Presiden Habibie
waktu itu.

27 Januari 1999

Ali Alatas selaku Menteri Luar Negeri RI mengumumkan menawarkan


opsi otonomi khusus yang sangat diperluas kepada Timor Timur. Jika
ditolak, maka pemerintah Indonesia akan merelakan Timor Timur.
Sempat terjadi pro-kontra di internal kabinet saat itu.

Maret-April 1999

Terjadi serangkaian peristiwa menegangkan di Timor Timur, antara lain


eksodus massal warga pendatang, kekerasan di Gereja Liquica yang
menyebabkan ratusan orang harus mengungsi, hingga kerusuhan besar
di Dili yang menelan korban jiwa. Baca juga: Tragedi Santa Cruz dan
Sejarah Kekerasan Indonesia di Timor Leste

21 April 1999

Kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan menandatangani


kesepakatan damai di kediaman Uskup Belo dengan disaksikan
langsung oleh Menhankam/Pangab Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM
Djoko Soegianto, serta beberapa tokoh lainnya.

27 April 1999

Presiden Habibie menggelar pertemuan dengan John Howard. Habibie


mengungkapkan akan melaksanakan penentuan pendapat untuk
mengetahui kemauan rakyat Timor Timur.

5 Mei 1999

Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama, bersama Sekjen
PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan penentuan
pendapat rakyat Timor Timur di Markas PBB New York. Dua hari
kemudian, Sidang Umum PBB menerima dengan bulat hasil
kesepakatan itu.

17 Mei 1999

Presiden Habibie mengeluarkan Kepres No.43/1999 tentang Tim


Pengamanan Persetujuan RI-Portugal tentang Timor Timur, kemudian
dikuatkan dengan Inpres No.5/1999 tentang Langkah Pemantapan
Persetujuan RI-Portugal.

16-18 Juni 1999

Perwakilan kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan Timor Timur


bertemu di Jakarta. Kedua kubu mereka sepakat menyerahkan senjata
kepada PBB atau pemerintah RI.

30 Agustus 1999

Setelah terjadi serangkaian konflik, penentuan pendapat rakyat Timor


Timur dilaksanakan. PBB mengumumkan hasilnya: 78,5 persen
menolak otonomi, 21 persen menerima otonomi, sisanya tidak sah.
Dengan demikian, Timor Timur dipastikan bakal segera lepas dari NKRI.

26 Oktober 1999
Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menggantikan
Habibie, menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atau
pemerintahan transisi di Timor Timur. 30 Oktober 1999 Bendera Merah
Putih diturunkan dari Timor Timur dalam upacara yang sangat
sederhana. Media dilarang meliput acara ini, kecuali RTP Portugal. 20
Mei 2002 Timor Timur resmi menjadi negara merdeka bernama Timor
Leste.

Anda mungkin juga menyukai