Anda di halaman 1dari 12

DIPONEGORO LAW REVIEW

Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016


Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

KEBIJAKAN OPERASI MILITER TENTARA NASIONAL INDONESIA


TERHADAP ORGANISASI PAPUA MERDEKA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Georgy Mishael*, Joko Setiyono, Soekotjo Hardiwinoto
Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
E-mail : Georgy_Mischael@yahoo.com

Abstrak
Salah satu faktor pemicu konflik di Papua Barat adalah perbedaan interpretasi masuknya
Papua Barat ke dalam NKRI. Menurut OPM, masuknya Papua Barat ke NKRI tidaklah sah.
Mereka berpendapat bahwa berdasarkan fakta sejarah Papua Barat telah mencapai
kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961 yang dideklarasikan oleh Niew Guinea Raad.
OPM membuat berbagai masalah dan propaganda untuk melawan pemerintah. Pemerintah
melaksanakan operasi militer untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh OPM.
Permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini adalah : apakah yang menjadi
pertimbangan hukum dilaksanakannya kebijakan operasi militer TNI terhadap OPM dan apakah
kebijakan tersebut telah sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode yuridis
normatif. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis.
Data dalam penelitian ini yaitu bahan perjanjian, peraturan perundang-undangan, dan bahan
pustaka.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kebijakan operasi militer TNI terhadap OPM
telah diatur dalam perundang-undangan nasional dan Hukum Humaniter Internasional memberikan
kewenangan kepada Indonesia untuk menumpas OPM.
Kata kunci : Papua Barat, OPM, TNI, Operasi Militer

Abstract
One of the triggering factor of West Papua conflict is different interpretation about the
history of West Papua integration into NKRI. For OPM, the integration of West Papua into NKRI
was illegal. The ground of their argument was the fact of the history that on December 1, 1961 the
West Papua independence was declared by Niew Guinea Raad. OPM made the polemic and
propagandized it in such a way to make it the basis of battle against the goverment. The goverment
implemented military operation to overcome rebellion that is done by OPM.
The problem that became the basis of this research are : what are the legal
considerations of policy implementation TNI military operations against the OPM and whether the
policy has been in accordance to international humanitarian law.
Legal method used in the writing of this law is a normative juridical method. Research
specification used in this research is descriptive - analytics. The data are collected by doing a
research based on material agreements, legislation, and library materials.
It can be concluded that the policy of the TNI military operations against the OPM has
been stipulated in national legislation and international humanitarian law grants the authority to
Indonesia to quell the OPM .
Keywords : West Papua, OPM, TNI, Military Operations

1
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

I. PENDAHULUAN mengenai perbedaan persepsi


Indonesia berpendapat bahwa integrasi Papua Barat kedalam
Papua Barat adalah bagian dari NKRI.
Indonesia sedangkan Belanda yang Tidak dilibatkannya rakyat
pada kala itu menemukan potensi Papua Barat dalam perjanjian New
sumber daya alam yang luar biasa York, kondisi penduduk yang
sangat berat hati melepaskan Papua terbelakang, infrastruktur yang
Barat masuk kedalam wilayah minim dan tidak diimbangi dengan
Indonesia. pembangunan yang merata ditengah
Perjuangan secara damai tidak melimpahnya sumber daya alam
dilakukan lagi karena justru Belanda membuat kekecewaan masyarakat
telah mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat terhadap pemerintah
bagi Papua Barat. Melihat hal ini Indonesia. Kondisi ini menimbulkan
pemerintah Indonesia tidak tinggal kelompok perlawanan dan membuat
diam. Presiden Soekarno segera suatu gerakan yang disebut dengan
mencanangkan Tri Komando Rakyat Organisasi Papua Merdeka (OPM)
(TRIKORA). Pemerintah Indonesia yang memiliki visi untuk mendirikan
juga mencapai kesepakatan Negara Papua Barat, terpisah dari
perjanjian di bidang militer dengan NKRI.
Uni Soviet. Untuk mengatasi situasi,
Hal ini menimbulkan pemerintah Indonesia menggunakan
kekhawatiran yang luar biasa bagi kekuatan militer. Berbagai operasi
bangsa barat. Dikhwatirkan militer telah dilakukan, dimana
Indonesia akan menjadi negara Papua Barat dijadikan daerah operasi
komunis yang besar mengingat pada militer (DOM) sehingga ribuan
waktu itu dunia sedang berada dalam tentara-tentara dikirim menuju Papua
situasi perang dingin. Barat untuk menjaga stabilitas
Akhirnya pihak Belanda disana.
menyetujui Perjanjian New York dan Dari latar belakang ini, penulis
melalui perjanjian tersebut disepakati ingin mengangkat gerakan
akan diadakannya Penentuan separatisme bersenjata yang
Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh dilakukan oleh OPM untuk
masyarakat Papua Barat yang menjadikan Papua Barat sebagai
berlangsung pada bulan Juli-Agustus negara yang merdeka dari Indonesia
1969 dan hasilnya diterima oleh dilihat dari Hukum Humaniter
Majelis Umum PBB melalui resolusi Internasional.
No. 2504 (XXVI) pada tanggal 19 Mengingat konflik bersenjata
November 1969. diatur dalam Hukum Humaniter
Banyak sekali perbedaan Internasional dimana Hukum
persepsi yang timbul mengenai Humaniter Internasional bertujuan
berintegrasinya Papua Barat kedalam melindungi dan memelihara hak
NKRI. Pelibatan lebih dari 1.000 fundamental korban dari penderitaan
kepala suku yang dipilih dan bukan yang berlebihan di dalam peristiwa
dengan mengadakan pemungutan pertikaian bersenjata sehingga
suara banyak dipandang sebagai akar Hukum Humaniter Internasional
keluhan-keluhan bersejarah merupakan suatu mekanisme efektif

2
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

bagi perlindungan individu dalam Humaniter Internasional atau


masa konflik bersenjata yang sampai tidak.
pada saat ini masih sangat diperlukan
karena larangan untuk melakukan II. METODE
perang pada kenyataannya tidak
mampu menghentikan negara-negara Metode penelitian adalah suatu cara
untuk berperang . penelitian dalam rangka mengumpulkan
Dalam pembahasannya, penulis data yang akurat yang dapat
ingin mengkaji apa yang menjadi dipertanggungjawabkan dan menjamin
pertimbangan hukum untuk tingkat validitasnya. Metode merupakan
dilaksanakannya operasi militer cara kerja untuk dapat memahami obyek
terhadap OPM. Setelah mengkaji yang menjadi sasaran ilmu yang
yang menjadi pertimbangan hukum bersangkutan1.
dilakukannya operasi militer Metode pendekatan yang dilakukan
terhadap OPM, penulis ingin dalam penelitian ini adalah metode
mengkaji apakah kebijakan operasi pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu
militer tersebut telah sesuai dengan penelitian yang berusaha
Hukum Humaniter Internasional atau mensinkronisasikan ketentuan-ketentuan
tidak. Oleh karena itu judul jurnal hukum yang berlaku dengan kaidah-
yang dipilih penulis adalah : “ kaidah yang berlaku dalam perlindungan
Kebijakan Operasi Militer hukum terhadap norma atau peraturan
Tentara Nasional Indonesia hukum lainnya dengan kaitannya dengan
Terhadap Organisasi Papua penerapan peraturan-peraturan hukum
Merdeka Dalam Perspektif itu pada praktik nyata dilapangan2.
Hukum Humaniter Internasional”.
Spesifikasi penelitian yang
A. Rumusan Masalah digunakan dalam penelitian ini bersifat
deskriptif analitis, yaitu menggambarkan
1. Apakah yang menjadi peraturan perundang-undangan yang
pertimbangan hukum berlaku dikaitkan dengan teori-teori
dilaksanakannya kebijakan hukum dan praktek pelaksanaan hukum
operasi militer TNI terhadap positif yang menyangkut permasalahan
OPM? terkait.
2. Apakah kebijakan tersebut Teknik pengumpulan data dilakukan
telah sesuai dengan Hukum dengan melakukan studi kepustakaan
Humaniter Internasional ? yang berhubungan dengan permasalahan
dalam penelitian ini. Pengumpulan data
B. Tujuan Penelitian dapat dilakukan dengan cara
mengumpulkan dan meneliti peraturan,
1. Menganalisis dan mengetahui konvensi, traktat, dan aturan lain yang
pertimbangan hukum
dilaksanakannya operasi
militer terhadap OPM 1
Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian
2. Menganalisis kebijakan Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
operasi militer terhadap OPM 1981, hlm. 5
2
sesuai dengan Hukum Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum.
(Jakarta: Rineka Cipta,2001), hlm.25

3
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

berkaitan dengan penelitian ini. Dapat ancaman bersenjata dari luar dan dalam
pula berupa litelatur-litelatur, pendapat- negeri terhadap kedaulatan, keutuhan
pendapat atau tulisan para ahli. Analisis wilayah dan keselamatan bangsa;
data yang digunakan dalam penelitian ini penindak terhadap setiap bentuk
adalah menggunakan metode kualitatif. ancaman tersebut; dan pemulihan
terhadap kondisi keamanan negara yang
Tujuan penggunaan metode terganggu akibat kekacauan keamanan4.
kualitatif adalah karena peneliti TNI memiliki tugas pokok yang
berupaya memahami gejala-gejala yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-
sedemikian rupa secara kualitatif dan Undang Nomor 34 Tahun 2004 yaitu
tidak memerlukan kuantifikasi, karena menegakkan kedaulatan negara;
gejala tidak memungkinkan untuk diukur mempertahankan keutuhan wilayah
secara tepat dalam angka. NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia Tahun 1945; melindungi
A. Pertimbangan Hukum segenap bangsa dan seluruh tumpah
Dilaksanakannya Operasi darah Indonesia dari ancaman dan
Militer TNI Terhadap OPM gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
1. Fungsi dan Peran TNI Sesuai negara5.
Dengan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004 2. Kebijakan Operasi Militer TNI
Setelah memasuki masa reformasi Dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3)
pada tahun 1998 negara mulai menyadari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
bahwa TNI sebagai fungsi National dijelaskan bahwa dalam melaksanakan
defence dan polri sebagai pengemban tugas pokok TNI dilakukan dengan
tugas Internal Security haruslah Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan
dipisahkan agar dapat mewujudkan Operasi Militer Selain Perang (OMPS)
tujuan negara dan memberikan yang dilaksanakan berdasarkan
perlindungan serta memajukan kebijakan dan keputusan politik negara.
kesejahteraan umum. Oleh karena itu Artinya adalah pengerahan kekuatan
lahirlah Undang-Undang Nomor 34 TNI untuk melakukan OMP maupun
Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional OMSP sangat dipengaruhi oleh
Indonesia. kebijakan dan keputusan negara
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 sehingga TNI tidak dapat bertindak
Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional sepihak dalam melaksanakan OMP dan
Indonesia menjelaskan peran Tni adalah OMPS.
sebagai alat negara dibidang pertahanan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
yang dalam menjalankan tugasnya 2002 Tentang Pertahanan Negara dalam
berdasarkan kebijakan dan keputusan Bab IV mengenai Pengelolaan Sistem
politik negara3. Fungsi TNI menurut Pertahanan Negara menjelaskan bahwa
pasal 6 Undang-Undang Nomor 34 presiden berwenang dan bertanggung
Tahun 2004 adalah penangkal terhadap jawab dalam pengelolaan sistem
segala bentuk ancaman militer dan pertahanan negara, dalam pengelolaan

3 4
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Ibid.
5
Tentang Tentara Nasional Indonesia Ibid.

4
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

sistem pertahanan negara Presiden 3. Operasi Militer TNI Terhadap


menetapkan kebijakan umum pertahanan TNI
negara yang menjadi acuan bagi Puncak tuntutan rakyat Papua
perencanaan, penyelenggaraan dan Barat terjadi pada sekitar tahun 1960-an
pengawasan sistem pertahanan negara6. dimana banyak yang menginginkan
Presiden juga memiliki kemerdekaan manjadi negara sendiri dan
kewenangan dan bertanggung jawab atas meminta kepada Belanda yang pada saat
pengerahan kekuatan TNI dan dalam itu memegang kendali administratif.
kewenangannya harus mendapat Melihat banyaknya tuntutan ini maka
persetujuan dari DPR sesuai dengan Belanda membentuk sebuah organisasi
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 yang merupakan perwujudan demokrasi
Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara di wilayah Papua Barat dan diberi nama
dan dipertegas kembali oleh Undang- “Niew Guenea Raad”.
Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Organisasi ini sebenarnya telah
Tentara Nasional Indonesia dalam Bab dibentuk sejak tahun 1949 dengan
VI mengenai pengerahan dan jumlah 21 orang namun tidak
penggunaan kekuatan TNI. terealisasikan karena kondisi masyarakat
Dalam pengerahan dan Papua Barat yang tidak mungkin
penggunaan kekuataan TNI sangat menyelenggarakan pemilu. Dewan ini
berhubungan dengan keadaan suatu kembali dibentuk pada tanggal 25
negara tersebut. Ada kalanya suatu Februari 1961 dan disahkan pada tanggal
negara hidup dalam keadaan tertib 5 April 19617. Dewan ini adalah suatu
namun ada juga negara yang tidak dalam badan dengan fungsi-fungsi legislatif
keadaan tertib atau dalam situasi bahaya. yang bertujuan untuk menumbuhkan
Dasar hukum keadaan darurat atau kesadaran nasional Papua Barat dengan
bahaya di Indonesia diatur dalam memperkenalkan proses demokrasi.
Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun Belanda membentuk dewan ini
1959 Tentang Pencabutan Undang- dengan harapan dapat menjauhkan
Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan perhatian orang-orang Papua Barat
Penetapan Keadaan Bahaya yang terhadap Indonesia dan mendekatkan
diundangkan pada tanggal 16 Desember orang Papua Barat kepada New Guinea
1959. yang pada waktu itu masih dikuasai oleh
Undang-Undang ini menjelaskan Australia8. Pada tanggal 19 Oktober
pemberlakuan keadaan bahaya 1961, dibentuk komite nasional yang
sesungguhnya adalah kewenangan dari beranggotakan 21 orang dan dilengkapi
presiden sebagai panglima tertinggi oleh 70 putra Papua Barat yang
angkatan perang. Dengan demikian berpendidikan dan berhasil melahirkan
tahap pertama dalam mekanisme manifestasi-manifestasi9.
penetapan keadaan bahaya yang wajib
dilakukan oleh pemerintah adalah 7
Yakobus F Dumupa, Berburu Keadilan di
dengan adanya deklarasi atau pernyataan Papua (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), hlm
keadaan bahaya di wilayah Republik 29-30
Indonesia. 8
Nazarudin Syamsudin, Integrasi Politik di
Indonesia ( Jakarta: PT Gramedia, 1989),
hlm.92
6 9
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Safroedin Bahar, Integrasi Nasional (
Tentang Pertahanan Negara Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm.220

5
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Pihak nasionalis yang dahulu sosial, politik, dan hankam yang ada di
membutuhkan pihak Belanda bergerak Papua Barat tidak jauh berbeda dengan
untuk menghimpun kekuatan dengan situasi pada masa peralihan11.
membujuk organisasi-organisasi yang Keinginan pemerintah untuk
ada di Papua Barat untuk bersatu dan mempercepat Indonesiasi di Papua Barat
membentuk kekuatan secara telah menyebabkan pemerintah
tersembunyi. Organisasi bersifat illegal menggunakan pendekatan keamanan
ini memiliki tujuan untuk mencapai lebih menonjol daripada pendekatan
kemerdekaan Papua Barat terlepas dari persuasif dan pendekatan kesejahteraan.
Belanda maupun Indonesia10. Hal ini Kebijakan tersebut telah membuat
dapat dilihat dari pemberontakan sebagian masyarakat Papua Barat diam-
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diam maupun terang-terangan akhirnya
dimulai pada tanggal 26 Juli 1965. justru mendudukung OPM dan
Nama OPM pertama kali muncul menganggap Indonesia sebagai penjajah
setelah perginya Belanda pada Desember baru. Kenyataan menunjukkan bahwa
1962 dari Papua Barat dengan diikuti pemberontak dibantu oleh suku tertentu
oleh anti Indonesia yang pernah menjadi dan pemberontak menjadikan suku-suku
bagian dari anggota Dewan Nieuw tersebut sebagai tameng.
Guinea. Pada awalnya OPM terdiri dari Pendekatan keamanan atau
dua fraksi. Yang pertama adalah fraksi pendekatan militer adalah berbagai
yang didirikan oleh Asser Demotekay operasi yang dilakukan oleh militer
tahun 1963 di Jayapura dan fraksi yang untuk menumpas pemberontakan OPM
didirikan oleh Terianus Aronggoar tahun yang dimulai sejak awal pemberontakan.
1964 di Monokwari. Kebijakan operasi militer untuk
Sebab-Sebab OPM melakukan aksi menumpas OPM dilakukan dengan nama
pemberontakannya adalah munculnya tersendiri sesuai dengan kebijakan
PNG sebagai negara merdeka pada pimpinan militer Indonesia. Bentuk-
tanggal 16 September 1957; Letak Papua bentuk operasi militer yang digunakan
Barat yang berada diujung timur Di Papua Barat merupakan operasi
Indonesia dan berbatasan dengan PNG teritorial, operasi intelijen dan operasi
merupakan sumber inspiratif bagi tempur.
beberapa kalangan didaerah itu untuk Operasi teritorial adalah operasi
tetap mempertahankan OPM; sikap anti- yang paling soft karena lebih
Indonesia di Papua Barat adalah menekankan pada cara-cara yang
pembangunan didaerah itu terabaikan, persuasif untuk menarik simpati rakyat.
adanya dominasi pendatang terhadap Operasi intelijen bertujuan untuk
penduduk asli, para pejabat non-Papua melakukan pemetaan atas kondisi suatu
Barat memandang rendah orang Papua wilayah atau kelompok masyarakat
Barat sebagai warga negara kelas dua, maupun untuk melakukan kalkulasi
para transmigran lebih mendapat sikap dan kecenderungan sosial politik
bantuan daripada penduduk asli, dan suatu wilayah atau kelompok
kesempatan kerja bagi para penduduk masyarakat. Hasil dari operasi intelijen
asli amat terbatas; masalah ekonomi, ini selanjutnya digunakan untuk
mengambil keputusan atau kebijakan
10
Tahuna Taufik A, Mengapa Papua
Bergolak (Yogyakarta: Gama Global Medi,
11
2001), hlm 119. Saafroedin Bahar, Op.Cit., hlm 225-226

6
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

atas suatu wilayah atau kelompok memberikan pernyataan atau deklarasi


masyarakat yang dijadikan terget operasi keadaan bahaya terlebih dahulu sebelum
intelijen. menggunakan kekuatan TNI serta
Dari berbagai bentuk operasi memberikan deklarasi atau pernyataan
militer tersebut, operasi tempur adalah dalam pencabutan keadaan bahaya
yang paling sering terjadi. Operasi melalui keputusan dan peraturan
tempur menjadi wilayah yang presiden sebagaimana yang telah diatur
mendominasi wajah pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 23 Prp
Indonesia bagi rakyat Papua Barat dan Tahun 1959 Tentang Pencabutan
sepertinya menjadi sebuah sikap politik Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957
dan kebijakan pemerintah Indonesia dan Penetapan Keadaan Bahaya.
dalam memperlakukan rakyat Papua
Barat. Berikut adalah beberapa operasi B. Kebijakan Operasi Militer
militer yang dilakukan di Papua Barat Terhadap OPM dalam Hukum
untuk mengatasi OPM : Humaniter Internasional
1) Operasi Wisnumurti 1. Ketentuan Hukum Humaniter
2) Operasi Sadar Internasional yang Mengatur
3) Operasi Bharatayuda Mengenai Operasi Militer
4) Operasi Pamungkas
5) Operasi Koteka Didalam Hukum Humaniter
6) Operasi Senyum Internasional terdapat dua peraturan
7) Operasi Gagak I yang mengatur ketentuan hukum dalam
8) Operasi Gagak II perang. Yang pertama adalah ketentuan
9) Operasi Kasuari I mengenai tata cara dilakukannya perang
10) Operasi Kasuari II dan alat-alat yang dibenarkan untuk
11) Operasi Rajawali I berperang. Ketentuan ini secara umum
12) Operasi Rajawali II disebut sebagai Hukum Den Haag yang
terdapat didalam konvensi-konvensi Den
Namun dalam penelitian sejauh ini Haag tahun 1907.
tidak ditemukan adanya bukti bahwa
setelah resminya Papua Barat bergabung Yang kedua adalah ketentuan yang
dengan Indonesia terdapat deklarasi atau mengatur tentang perlindungan terhadap
penetapan yang menetapkan Papua Barat orang-orang yang menjadi korban
sebagai wilayah dalam keadaan bahaya. perang baik yang berasal dari kombatan
Situasi ini sangat berbeda apabila maupun penduduk sipil. Ketentuan ini
dibandingkan dengan Propinsi Nanggroe secara umum disebut dengan Hukum
Aceh Darussalam (NAD). Dengan Jenewa yang terdapat didalam konvensi-
demikian terdapat pola penanganan yang konvensi Jenewa tahun 1949.
berbeda antara NAD dengan Papua Barat Hukum Den Haag memiliki dua
dalam usaha pemerintah dalam prinsip, yang pertama adalah “The right
menangani dan menyikapi gerakan of belligerents to adopt means of
bersenjata dikedua wilayah tersebut. injuring the enemy is not unlimited”
Dalam menangani kasus yang yang artinya berarti ada tata cara dan alat
terjadi di NAD pemerintah dirasa telah
melakukan penanganannya dengan
prosedur hukum yang tepat dengan

7
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

tertentu yang dilarang untuk digunakan 2. Indonesia Sebagai Negara yang


selama perang12. Telah Meratifikasi Ketentuan
Hukum Humaniter
Prinsip yang kedua adalah prinsip Internasional yang Mengatur
“Martens Clause” yang terdapat dalam Mengenai Operasi Militer
pembukaan Konvensi Den Haag.
Klausula Martens merupakan suatu Indonesia telah meratifikasi
klausula yang memberi ketentuan seluruh Konvensi-Konvensi Jenewa
apabila Hukum Humaniter Internasional 1949 dengan adanya Undang-Undang
belum memberi aturan tertentu maka Nomor 59 Tahun 1958. Pasal 27
ketentuan yang dapat dipergunakan Konvensi Jenewa keempat tahun 1949
adalah ketentuan yang mengacu dan menyatakan bahwa Hukum Den Haag
berpedoman kepada prinsip-prinsip dan Hukum Jenewa merupakan sumber
Hukum Internasional yang dibentuk dari pokok Hukum Humaniter Internasional
kebiasaan yang ada di negara-negara, sehingga Indonesia juga harus mematuhi
hukum kemanusiaan serta yang berasal dan menaati Hukum Den Haag.
dari hati nurani rakyat. Indonesia juga telah meratifikasi
berbagai instrumen internasional
Konferensi Den Haag yang lainnya.
berlangusng dari tanggal 18 Mei sampai
29 Juli 1899 menghasilkan tiga konvensi Namun mengenai Protokol
dan tiga deklarasi. Konvensi Den Haag Tambahan I dan II tahun 1977 hingga
1899 ini kemudian disempurnakan saat ini Indonesia belum meratifikasinya
kembali setelah diselenggarakannya walaupun pada saat ini sudah cukup
Konvensi Den Haag II tahun 1907 yang banyak negara yang telah meratifikasi
menghasilkan 13 Konvensi. Peraturan kedua Protokol Tambahan 1977 tersebut.
lainnya adalah Hukum Jenewa yang Protokol Tambahan I belum diratifikasi
merupakan seperangkat aturan yang karena Indonesia masih merasa
berisikan materi-materi perlindungan keberatan mengenai apa yang dimaksud
terhadap orang-orang yang menjadi dengan bangsa yang tertera dalam pasal
korban perang. 1 ayat (4) juncto pasal 96 ayat (3).
Protokol Tambahan II belum diratifikasi
Konvensi Jenewa tahun 1949 karena masih adanya kekhawatiran
melahirkan empat perjanjian. Selain bahwa Protokol Tambahan II ini akan
melahirkan perjanjian tersebut, Konvensi dijadikan alat bagi pemberontak untuk
Jenewa 1949 juga melahirkan 2 protokol melakukan tuntutan internasional13.
tambahan yang disusun tahun 1977.
Protokol I berisikan beberapa aturan Menurut penelitian yang dilakukan
mengenai perang yang bersifat oleh ICRC, pasal-pasal tertentu dalam
internasional dan Protokol II berisikan Protokol Tambahan tersebut telah
beberapa aturan mengenai perang yang menjadi hukum kebiasaan internasional
bersifat non-internasional. sehingga mengikat seluruh negara baik
yang meratifikasinya maupun tidak

13
Soleman B. Ponto, Jangan Lepas Papua
12
KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum (Mencermati Pelaksanaan Operasi Militer di
Humaniter, (PT Raja Grafindo Persada, Papua), (Rayyana Komunikasindo : 2014),
2005), hlm3. hlm 119

8
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

meratifikasinya sehingga Indonesia cara yang sah akan tetapi tetap haru
termasuk didalamnya 14. Keterikatan memperhatikan aspek kemanusiaan yang
Indonesia terhadap kebiasaan telah diatur. Sehingga dalam melakukan
internasional diperjelas dan dapat dilihat operasi militer untuk mengatasi gerakan
pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang pengacau keamanan dalam negeri yang
Nomor 3 Tahun 2002 Tentang salah satunya adalah OPM harus
Pertahanan Negara. memperhatikan aspek kemanusiaan
sebagaimana yang telah diatur oleh
3. Kebijakan Operasi Militer TNI Hukum Humaniter Internasional.
Terhadap OPM Berbasis
Hukum Humaniter IV. KESIMPULAN
Internasional TNI dalam menjalankan fungsi,
peran, dan tugas pokoknya dilakukan
Dengan melihat batasan armed melalui operasi militer, baik untuk
conflict sebagaimana terdapat dalam tujuan perang maupun non perang.
putusan kasus Dusko Tadic di ICTY dan Kebijakan operasi militer TNI terhadap
Protokol Tambahan II tahun 1977 OPM telah diatur dalam pasal 7 ayat (2)
dijelaskan bahwa terjadinya konflik Undang-Undang Nomor 34 Tentang
bersenjata ialah jika ada penggunaan Tentara Nasional Indonesia. Pasal 14
angkatan bersenjata yang berkelanjutan ayat (1) Jo Pasal 17 Undang-Undang
antara pemerintah yang sah dan Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI
kelompok bersenjata yang terorganisasi menyebutkan bahwa presiden
atau antara kelompok bersenjata yang mempunyai kewenangan dan
satu dan kelompok bersenjata lainnya 15. bertanggung jawab atas pengerahan TNI
Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam operasi militer, sementara untuk
dapat disimpulkan bahwa OPM belum mekanisme pengerahan kekuatan TNI
memenuhi persyaratan tersebut hingga dalam mengatur operasi militer juga
saat ini. Kelompok-kelompok bersenjata telah diatur dalam Undang-Undang
OPM yang ada di Papua Barat ini masih Nomor 23 Prp 59 Tentang Pencabutan
merupakan kelompok yang terpisah satu Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957
dengan lainnya. Sehingga OPM masih dan Penetapan Keadaan Bahaya.
tergolong dalam gerakan pengacau Hukum Humaniter Internasional
keamanan. tidak mengatur secara khusus mengenai
operasi militer terhadap gerakan
Pasal 3 Konvensi Jenewa dengan pengacau keamanan yang satu
tegas menyatakan standar minimum diantaranya adalah OPM, kecuali operasi
Hukum Humaniter Internasional yang militer dalam konflik bersenjata baik
berlaku kepada semua jenis konflik internasional maupun non internasional.
bersenjata. Pasal 3 Konvensi Jenewa Konvensi Jenewa 1949 sebagai salah
1949 yang merupakan common article satu instrumen Hukum Humaniter
tidak menghambat pemerintah untuk Internasional telah diratifikasi Indonesia
memelihara ketertiban umum dan dengan Undang-Undang Nomor 59
menjaga integritas dan persatuan dengan Tahun 1958. Pasal Common Article
Konvensi Jenewa 1949 memberikan
14
Ibid, hlm 121 kewenangan hukum kepada Indonesia
15
Lihat pada Putusan Tadic (jurisdiction), untuk melakukan operasi miiter dalam
ICTY, paragraf 70 rangka menumpas OPM yang dapat

9
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

mengganggu stabilitas politik dan Haris, Syamsudin, Indonesia


keamanan dalam negeri dengan tetap Diambang Perpecahan,
memperhatikan aspek-aspek Jakarta:Erlangga, 1999.
kemanusiaan sebagaimana diatur dalam
Hukum Humaniter Internasional. Haryomataram, GPH, Hukum
Humaniter , Jakarta :
Rajawali, 1984.
V. DAFTAR PUSTAKA
Istanto, Sugeng, Hukum Intenasional
BUKU
, Yogyakarta: Cahaya Atma
Adi, Rinto, Metode Penulisan Sosial Pustaka, 2014.
dan Hukum, Jakarta: Granit,
2004. Kambuaya, Louis, PERVIDDYA
SANG PEMENANG
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pemimpin Papua Diantara
Pengantar Metode Penelitian Idealisme dan Pragmatisme,
Hukum, Jakarta : PT. Raja Jakarta: Pustaka Sinar
Grafindo, 2004. Harapan, anggota Ikapi, 2007.
Asshidiqie, Jimly, Hukum Tata Kusumaatmadja, Mochtar,
Negara Darurat, Jakarta: PT Pengantar Hukum
Raja Grafindo Persada, 2007. Internasional, Bandung:
Alumni, 1999.
Ashofa, Burhan, Metode Penelitian
Hukum, Jakarta : Rineka _____________________, Hukum
Cipta, 2001. Internasional Humaniter
dalam Pelaksanaan dan
Aziz, Ahmadi, Prajurit Menggugat, Penerapan di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Jakarta, 1980.
Persada, 2015.
Nalesti, Yustina Trihoni, Kejahatan
Bahar, Safroedin, Integrasi Nasional, Perang dalam Hukum
Jakarta: Ghalia Indonesia, Internasional Dan Hukum
1996. Nasional, Jakarta: PT Raja
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Grafindo Persada, 2013.
Politik, Jakarta: Gramedia Parthiana, I Wayan, Pengantar
Pustaka Utama, 2000. Hukum Internasional,
Djopari, JRG, Pemberontakan Bandung : Mandar Maju,
Organisasi Papua Merdeka, 1990.
Jakarta: PT Gramedia Permanasari, Arlina, dkk., Pengantar
Widiasarana Indonesia, 1993. Hukum Humaniter, Jakarta:
Dumupa, Yakobus F, Berburu ICRC, 1999.
Keadilan di Papua, Ponto, Soleman B, Jangan Lepas
Yogyakarta: Pilar Media, Papua (Mencermati
2006. Pelaksanaan Operasi
Militer di Papua), Rayyana
Komunikasindo : 2014.

10
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Rina, Ambarwaty dan Denny, Undang-Undang Nomor 3 Tahun


Hukum Humaniter 2002 Tentang Pertahanan
Internasional, Jakarta : PT Negara
Raja Grafindo Persada,
2009. Undang-Undang Nomor 23 Prp
Tahun 1959 Tentang
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pencabutan Undang-Undang
Pengantar, Jakarta: Nomor 74 dan Penetapan
Rajawali Pers, 2014. Keadaan Bahaya
Soerjono, Soekampto, Pengantar Keputusan Presiden Nomor 28
Penelitian Hukum, Tahun 2003 Tentang
Universitas Indonesia, Pernyataan Keadaan Bahaya
Jakarta, 1981. dengan Tingkatan Keadaan
Darurat Militer di Propinsi
Sri Mamudji dan Soerjono Nanggroe Aceh Darusslam,
Soekampto, Penelitian Lembaran Negara Republik
Hukum Normatif, Jakarta: Indonesia Tahun 2003 Nomor
Raja Grafindo Persada, 54.
2004.
Keputusan Presiden 43 Tahun 2004
Syahnakri, Kiki, Teropong Prajurit tentang Pernyataan Perubahan
TNI, Jakarta: PT Kompas Status Keadaan Bahaya
Media Nusantara, 2015. dengan Tingkatan Keadaan
Syamsudin, Nazarudin, Integrasi Darurat Militer Menjadi
Politik di Indonesia, Jakarta: Keadaan Bahaya dengan
PT. Gramedia, 1989. Tingkatan Keadaan Darurat
Sipil di Propinsi Nanggroe
Tahuna, Taufik A, Mengapa Papua Aceh Darussalam, Lembaran
Bergolak, Yogyakarta : Negara Tahun 2004 Nomor
Gama Global Media, 2001. 46.
Wahab, Solichin Abdul, Analisis Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun
Kebijaksanaan, Dari 2005 Tentang Penghapusan
Formulasi Ke Implementasi Keadaan Bahaya Dengan
Kebijakan Negara, Jakarta : Tingkatan Darurat Sipil di
Bumi Aksara, 2004. Propinsi Nanggroe Aceh
PERATURAN PERUNDANG- Darussalam, Lembaran
UNDANGAN NASIONAL DAN Negara Tahun 2005 Nomor
PERJANJIAN INTERNASIONAL 42.

Undang-Undang Dasar Negara Konvensi Jenewa Tahun 1949


Republik Indonesia Tahun 1945 (Geneva Convention 1949).

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1977 Protocol Additional to the


2004 Tentang Tentara Geneva Conventions of 12
Nasional Indonesia August 1949, and relating to
the Protection of Victims of

11
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

International Armed
Conflicts (Protocol I)
1977 Protocol Additional to the
Geneva Conventions of 12
August 1949, and relating to
the Protection of Victims of
Non-International Armed
Conflicts (Protocol II)
United Nations Charter, San
Fransisco, 1945.
SKRIPSI
Ngatiyem, Organisasi Papua
Merdeka 1964-1998 (Studi
Tentang Pembangunan
Stabilitas Politik di
Indonesia, (Skripsi Sarjana
Pendidikan, Fakultas
Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta,
2007).
INTERNET
http://referensi.elsam.or.id/wp-
content/uploads/2014/12/OP
ERASI-MILITER-
PAPUA.pdf, Diakses pada
tanggal 20 Januari 2016

12

Anda mungkin juga menyukai