Jurnal
Jurnal
Abstrak
Salah satu faktor pemicu konflik di Papua Barat adalah perbedaan interpretasi masuknya
Papua Barat ke dalam NKRI. Menurut OPM, masuknya Papua Barat ke NKRI tidaklah sah.
Mereka berpendapat bahwa berdasarkan fakta sejarah Papua Barat telah mencapai
kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961 yang dideklarasikan oleh Niew Guinea Raad.
OPM membuat berbagai masalah dan propaganda untuk melawan pemerintah. Pemerintah
melaksanakan operasi militer untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh OPM.
Permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini adalah : apakah yang menjadi
pertimbangan hukum dilaksanakannya kebijakan operasi militer TNI terhadap OPM dan apakah
kebijakan tersebut telah sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode yuridis
normatif. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis.
Data dalam penelitian ini yaitu bahan perjanjian, peraturan perundang-undangan, dan bahan
pustaka.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kebijakan operasi militer TNI terhadap OPM
telah diatur dalam perundang-undangan nasional dan Hukum Humaniter Internasional memberikan
kewenangan kepada Indonesia untuk menumpas OPM.
Kata kunci : Papua Barat, OPM, TNI, Operasi Militer
Abstract
One of the triggering factor of West Papua conflict is different interpretation about the
history of West Papua integration into NKRI. For OPM, the integration of West Papua into NKRI
was illegal. The ground of their argument was the fact of the history that on December 1, 1961 the
West Papua independence was declared by Niew Guinea Raad. OPM made the polemic and
propagandized it in such a way to make it the basis of battle against the goverment. The goverment
implemented military operation to overcome rebellion that is done by OPM.
The problem that became the basis of this research are : what are the legal
considerations of policy implementation TNI military operations against the OPM and whether the
policy has been in accordance to international humanitarian law.
Legal method used in the writing of this law is a normative juridical method. Research
specification used in this research is descriptive - analytics. The data are collected by doing a
research based on material agreements, legislation, and library materials.
It can be concluded that the policy of the TNI military operations against the OPM has
been stipulated in national legislation and international humanitarian law grants the authority to
Indonesia to quell the OPM .
Keywords : West Papua, OPM, TNI, Military Operations
1
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
2
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
3
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
berkaitan dengan penelitian ini. Dapat ancaman bersenjata dari luar dan dalam
pula berupa litelatur-litelatur, pendapat- negeri terhadap kedaulatan, keutuhan
pendapat atau tulisan para ahli. Analisis wilayah dan keselamatan bangsa;
data yang digunakan dalam penelitian ini penindak terhadap setiap bentuk
adalah menggunakan metode kualitatif. ancaman tersebut; dan pemulihan
terhadap kondisi keamanan negara yang
Tujuan penggunaan metode terganggu akibat kekacauan keamanan4.
kualitatif adalah karena peneliti TNI memiliki tugas pokok yang
berupaya memahami gejala-gejala yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-
sedemikian rupa secara kualitatif dan Undang Nomor 34 Tahun 2004 yaitu
tidak memerlukan kuantifikasi, karena menegakkan kedaulatan negara;
gejala tidak memungkinkan untuk diukur mempertahankan keutuhan wilayah
secara tepat dalam angka. NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia Tahun 1945; melindungi
A. Pertimbangan Hukum segenap bangsa dan seluruh tumpah
Dilaksanakannya Operasi darah Indonesia dari ancaman dan
Militer TNI Terhadap OPM gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
1. Fungsi dan Peran TNI Sesuai negara5.
Dengan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004 2. Kebijakan Operasi Militer TNI
Setelah memasuki masa reformasi Dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3)
pada tahun 1998 negara mulai menyadari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
bahwa TNI sebagai fungsi National dijelaskan bahwa dalam melaksanakan
defence dan polri sebagai pengemban tugas pokok TNI dilakukan dengan
tugas Internal Security haruslah Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan
dipisahkan agar dapat mewujudkan Operasi Militer Selain Perang (OMPS)
tujuan negara dan memberikan yang dilaksanakan berdasarkan
perlindungan serta memajukan kebijakan dan keputusan politik negara.
kesejahteraan umum. Oleh karena itu Artinya adalah pengerahan kekuatan
lahirlah Undang-Undang Nomor 34 TNI untuk melakukan OMP maupun
Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional OMSP sangat dipengaruhi oleh
Indonesia. kebijakan dan keputusan negara
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 sehingga TNI tidak dapat bertindak
Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional sepihak dalam melaksanakan OMP dan
Indonesia menjelaskan peran Tni adalah OMPS.
sebagai alat negara dibidang pertahanan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
yang dalam menjalankan tugasnya 2002 Tentang Pertahanan Negara dalam
berdasarkan kebijakan dan keputusan Bab IV mengenai Pengelolaan Sistem
politik negara3. Fungsi TNI menurut Pertahanan Negara menjelaskan bahwa
pasal 6 Undang-Undang Nomor 34 presiden berwenang dan bertanggung
Tahun 2004 adalah penangkal terhadap jawab dalam pengelolaan sistem
segala bentuk ancaman militer dan pertahanan negara, dalam pengelolaan
3 4
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Ibid.
5
Tentang Tentara Nasional Indonesia Ibid.
4
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
5
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
Pihak nasionalis yang dahulu sosial, politik, dan hankam yang ada di
membutuhkan pihak Belanda bergerak Papua Barat tidak jauh berbeda dengan
untuk menghimpun kekuatan dengan situasi pada masa peralihan11.
membujuk organisasi-organisasi yang Keinginan pemerintah untuk
ada di Papua Barat untuk bersatu dan mempercepat Indonesiasi di Papua Barat
membentuk kekuatan secara telah menyebabkan pemerintah
tersembunyi. Organisasi bersifat illegal menggunakan pendekatan keamanan
ini memiliki tujuan untuk mencapai lebih menonjol daripada pendekatan
kemerdekaan Papua Barat terlepas dari persuasif dan pendekatan kesejahteraan.
Belanda maupun Indonesia10. Hal ini Kebijakan tersebut telah membuat
dapat dilihat dari pemberontakan sebagian masyarakat Papua Barat diam-
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diam maupun terang-terangan akhirnya
dimulai pada tanggal 26 Juli 1965. justru mendudukung OPM dan
Nama OPM pertama kali muncul menganggap Indonesia sebagai penjajah
setelah perginya Belanda pada Desember baru. Kenyataan menunjukkan bahwa
1962 dari Papua Barat dengan diikuti pemberontak dibantu oleh suku tertentu
oleh anti Indonesia yang pernah menjadi dan pemberontak menjadikan suku-suku
bagian dari anggota Dewan Nieuw tersebut sebagai tameng.
Guinea. Pada awalnya OPM terdiri dari Pendekatan keamanan atau
dua fraksi. Yang pertama adalah fraksi pendekatan militer adalah berbagai
yang didirikan oleh Asser Demotekay operasi yang dilakukan oleh militer
tahun 1963 di Jayapura dan fraksi yang untuk menumpas pemberontakan OPM
didirikan oleh Terianus Aronggoar tahun yang dimulai sejak awal pemberontakan.
1964 di Monokwari. Kebijakan operasi militer untuk
Sebab-Sebab OPM melakukan aksi menumpas OPM dilakukan dengan nama
pemberontakannya adalah munculnya tersendiri sesuai dengan kebijakan
PNG sebagai negara merdeka pada pimpinan militer Indonesia. Bentuk-
tanggal 16 September 1957; Letak Papua bentuk operasi militer yang digunakan
Barat yang berada diujung timur Di Papua Barat merupakan operasi
Indonesia dan berbatasan dengan PNG teritorial, operasi intelijen dan operasi
merupakan sumber inspiratif bagi tempur.
beberapa kalangan didaerah itu untuk Operasi teritorial adalah operasi
tetap mempertahankan OPM; sikap anti- yang paling soft karena lebih
Indonesia di Papua Barat adalah menekankan pada cara-cara yang
pembangunan didaerah itu terabaikan, persuasif untuk menarik simpati rakyat.
adanya dominasi pendatang terhadap Operasi intelijen bertujuan untuk
penduduk asli, para pejabat non-Papua melakukan pemetaan atas kondisi suatu
Barat memandang rendah orang Papua wilayah atau kelompok masyarakat
Barat sebagai warga negara kelas dua, maupun untuk melakukan kalkulasi
para transmigran lebih mendapat sikap dan kecenderungan sosial politik
bantuan daripada penduduk asli, dan suatu wilayah atau kelompok
kesempatan kerja bagi para penduduk masyarakat. Hasil dari operasi intelijen
asli amat terbatas; masalah ekonomi, ini selanjutnya digunakan untuk
mengambil keputusan atau kebijakan
10
Tahuna Taufik A, Mengapa Papua
Bergolak (Yogyakarta: Gama Global Medi,
11
2001), hlm 119. Saafroedin Bahar, Op.Cit., hlm 225-226
6
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
7
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
13
Soleman B. Ponto, Jangan Lepas Papua
12
KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum (Mencermati Pelaksanaan Operasi Militer di
Humaniter, (PT Raja Grafindo Persada, Papua), (Rayyana Komunikasindo : 2014),
2005), hlm3. hlm 119
8
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
meratifikasinya sehingga Indonesia cara yang sah akan tetapi tetap haru
termasuk didalamnya 14. Keterikatan memperhatikan aspek kemanusiaan yang
Indonesia terhadap kebiasaan telah diatur. Sehingga dalam melakukan
internasional diperjelas dan dapat dilihat operasi militer untuk mengatasi gerakan
pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang pengacau keamanan dalam negeri yang
Nomor 3 Tahun 2002 Tentang salah satunya adalah OPM harus
Pertahanan Negara. memperhatikan aspek kemanusiaan
sebagaimana yang telah diatur oleh
3. Kebijakan Operasi Militer TNI Hukum Humaniter Internasional.
Terhadap OPM Berbasis
Hukum Humaniter IV. KESIMPULAN
Internasional TNI dalam menjalankan fungsi,
peran, dan tugas pokoknya dilakukan
Dengan melihat batasan armed melalui operasi militer, baik untuk
conflict sebagaimana terdapat dalam tujuan perang maupun non perang.
putusan kasus Dusko Tadic di ICTY dan Kebijakan operasi militer TNI terhadap
Protokol Tambahan II tahun 1977 OPM telah diatur dalam pasal 7 ayat (2)
dijelaskan bahwa terjadinya konflik Undang-Undang Nomor 34 Tentang
bersenjata ialah jika ada penggunaan Tentara Nasional Indonesia. Pasal 14
angkatan bersenjata yang berkelanjutan ayat (1) Jo Pasal 17 Undang-Undang
antara pemerintah yang sah dan Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI
kelompok bersenjata yang terorganisasi menyebutkan bahwa presiden
atau antara kelompok bersenjata yang mempunyai kewenangan dan
satu dan kelompok bersenjata lainnya 15. bertanggung jawab atas pengerahan TNI
Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam operasi militer, sementara untuk
dapat disimpulkan bahwa OPM belum mekanisme pengerahan kekuatan TNI
memenuhi persyaratan tersebut hingga dalam mengatur operasi militer juga
saat ini. Kelompok-kelompok bersenjata telah diatur dalam Undang-Undang
OPM yang ada di Papua Barat ini masih Nomor 23 Prp 59 Tentang Pencabutan
merupakan kelompok yang terpisah satu Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957
dengan lainnya. Sehingga OPM masih dan Penetapan Keadaan Bahaya.
tergolong dalam gerakan pengacau Hukum Humaniter Internasional
keamanan. tidak mengatur secara khusus mengenai
operasi militer terhadap gerakan
Pasal 3 Konvensi Jenewa dengan pengacau keamanan yang satu
tegas menyatakan standar minimum diantaranya adalah OPM, kecuali operasi
Hukum Humaniter Internasional yang militer dalam konflik bersenjata baik
berlaku kepada semua jenis konflik internasional maupun non internasional.
bersenjata. Pasal 3 Konvensi Jenewa Konvensi Jenewa 1949 sebagai salah
1949 yang merupakan common article satu instrumen Hukum Humaniter
tidak menghambat pemerintah untuk Internasional telah diratifikasi Indonesia
memelihara ketertiban umum dan dengan Undang-Undang Nomor 59
menjaga integritas dan persatuan dengan Tahun 1958. Pasal Common Article
Konvensi Jenewa 1949 memberikan
14
Ibid, hlm 121 kewenangan hukum kepada Indonesia
15
Lihat pada Putusan Tadic (jurisdiction), untuk melakukan operasi miiter dalam
ICTY, paragraf 70 rangka menumpas OPM yang dapat
9
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
10
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
11
DIPONEGORO LAW REVIEW
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
International Armed
Conflicts (Protocol I)
1977 Protocol Additional to the
Geneva Conventions of 12
August 1949, and relating to
the Protection of Victims of
Non-International Armed
Conflicts (Protocol II)
United Nations Charter, San
Fransisco, 1945.
SKRIPSI
Ngatiyem, Organisasi Papua
Merdeka 1964-1998 (Studi
Tentang Pembangunan
Stabilitas Politik di
Indonesia, (Skripsi Sarjana
Pendidikan, Fakultas
Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta,
2007).
INTERNET
http://referensi.elsam.or.id/wp-
content/uploads/2014/12/OP
ERASI-MILITER-
PAPUA.pdf, Diakses pada
tanggal 20 Januari 2016
12