Anda di halaman 1dari 2

Nama :

Kelas :

No. Presensi :

1. Bacalah buku paket Bahasa Indonesia halaman 75-83 atau kalian bisa
mengunduh di materi LMS!
2. Perhatikan contoh teks berikut ini!
3. Buatlah teks novel sejarah pribadi semenarik dan seimajinatif mungkin dan
tuliskan berdasarkan fakta sejarah, misalnya tentang gempa Jogja, Olimpiade
Tokyo, Gunung Merapi meletus, atau peristiwa bersejarah yang pernah kalian
alami!
4. Gunakan struktur novel sejarah dan kaidah kebahasaan teks cerita sejarah yang
baik!

Gempa Jogja

Hari Sabtu tanggal 27 Mei adalah hari yang tidak pernah aku lupakan. Pagi itu, aku masih ada
di Semarang. Tiba-tiba telepon berdering, kakak aku mengatakan, Bantul rata dengan tanah.
Secepatnya saya bangun, menyalakan Metro TV, dan diberitakan Bantul dalam keadaan rata.
Tanpa pikir panjang aku bergegas pulang ke Bantul, tepatnya Kecamatan Bambanglipuro.

Di Semarang semua rumah dalam keadaan utuh karena gempa hanya dirasakan sangat kecil.
Saya terus memacu sepeda motor ke arah selatan. Sampai di Magelang ada hujan abu yang
cukup pekat. Magelang masih utuh. Terus saya memacu sepeda motor ke arah selatan. Di
Muntilan rumah-rumah masih utuh. Terus ke selatan, daerah Jombor sudah ada beberapa
rumah yang roboh, khususnya bangunan tua. Terus ke selatan aku berjalan, sampai di Pojok
Beteng terlihat batu-bata berserakan. Bahkan beteng kebanggaan warga Yogyakarta itu
sebagian temboknya ambrol.

Dongkelan, tepatnya perempatan ring road selatan arah jalan Bantul, rumah-rumah di pinggir
jalan pada roboh. Pun kalau ada yang tidak roboh pasti retak dan sudah tidak layak huni.
Jembatan Winongo amblas, dan mesti berhati-hati melewatinya. Di sepanjang jalan ini ada
banyak rumah yang berdiri, dan tidak sedikit pula yang hancur rata dengan tanah. Kalaupun
berdiri, apa artinya berdiri kalau yang empunya rumah sudah tidak berani lagi masuk rumah
karena hanya dengan sedikit sentuhan rumah itu akhirnya ambrol juga.

Sampailah aku di Bantul, kota Bantul. Rumah rata dengan tanah. Saat itu aku belum tahu
keberadaan orangtuaku, rumahku, keluargaku, dan warga desa. Diberitakan, Kecamatan
Bambanglipuro tempat aku dilahirkan masuk salah satu kecamatan yang terparah. Terus aku
berjalan ke arah selatan, ke arah rumahku. Aku lihat rumah pamanku yang kebetulan ada di
pinggir jalan hancur. Rumah temanku juga, rata dengan tanah. Kemudian sampailah aku
memasuki dusunku, di gapura aku disambut dengan reruntuhan rumah tetanggaku (yang
kemudian aku diberitahu, salah satu anggota keluarga rumah yang hancur itu meninggal
dunia). Seratus meter lagi rumahku.

Dan sampailah aku di rumahku. Sepi, tidak ada orang. Semua warga telah pergi, saat itu aku
belum tahu mereka pergi kemana. Depan rumahku terlihat angkuh, masih berdiri, sedang
rumah tetangga semua rata dengan tanah. Hebat, bisikku dalam hati.

Pelahan aku dekati rumahku, mengintip dari jendela yang tidak sempat ditutup. Aku masygul.
Dalam rumah berantakan, dapur di bagian belakang hampir roboh, sekat tembok antar kamar
nyaris roboh, lemari tidak ada yang berdiri, sepeda motor ambruk. Tembok retak-retak, kalau
ada gempa yang sama, pasti rumah ini akan roboh.

Aku pun bingung, dan hanya bisa duduk di teras termenung. Saat duduk di teras, gempa
susulan datang. Aku panik, dan segera pergi dari rumah itu untuk mencari keluargaku. Dan
dari orang yang aku jumpai di jalan, warga desa Tempel semua mengungsi ke tempat yang
tinggi karena takut dengan isu tsunami.
Sampai malam kita semua ada di situ, hingga Minggu (28/05) pagi ini. Kami semua masak
dan makan apa adanya. Tidak ada yang pulang, toh pulang hanya menemui rumah mereka
yang hancur. Kalaupun masih berdiri, siapa yang berani memasuki rumah yang retak-retak
hampir roboh?

Anda mungkin juga menyukai