Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PSIKOLOGI KLINIK ANAK PERILAKU

DOKTER GIGI TERHADAP RASA TAKUT ANAK

KELOMPOK 1 :

1. Sarnati (8495)
2. Faridah Yahdini (8497)
3. Dewa Ayu Dewi S.P (8604)
4. Rafika Chintya D. (8653)
5. Titik Okta Suryani (8655)
6. Ria Hartatama R. (8657)
7. Varadita Vebri (8661)
8. Yeni Witriani (8662)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2012

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penyusun memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena


atas berkat rahmat-Nya lah penulisan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi klinik
anak semester empat. Sekaligus untuk menambah wawasan penulis, mengenai perilaku
dokter gigi terhadap rasa takut anak yang nantinya dapat di jadikan sebagai pegangan
kita di masa mendatang.

Banyak kendala yang muncul dalam penyelesaian makalah ini. Namun karena
kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak, pada akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu.

Penyusun menyadari terdapat beberapa materi yang belum penyusun


sertakan dalam makalah ini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang membangun guna perbaikan dalam penulisan selanjutnya di masa yang
akan datang. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat berguna bagi para
pembaca khususnya dan juga berguna bagi nusa dan bangsa umumnya.

Yogyakarta, 9 April 2012

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman sampul ............................................................................................................... i

Kata Pengantar ................................................................................................................. ii

Daftar isi........................................................................................................................... iii

Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1


1.2 Tujuan dan Manfaat .......................................................................................... 2
Bab 2. Pembahasan...........................................................................................................

2.1 Strategi Tahap Primer………………………………………………………… 3

2.2 Strategi Tahap Sekunder……………………………………………………… 6

2.3 Strategi Tahap Tersier………………………………………………………… 9

2.4 Kombinasi Perawatan Perilaku………………………………………………. 11

Bab 3. Penutup
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 12
3.2 Saran................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka.................................................................................................................. 13

BAB I
PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang
Kesanggupan anak untuk bekerjasama selama perawatan merupakan kunci
keberhasilan perawatan gigi pada anak selain ditentukan oleh pengetahuan klinis
dan ketrampilan dokter gigi. Hal tersebut menyebabkan dokter gigi yang merawat pasien
anak harus mampu melakukan pengelolaan perilaku agar pasien bersikap kooperatif. Pada
umumnya, anak yang datang ke praktik dokter gigi berperilaku kooperatif dan
dapat menerima perawatan gigi dengan baik apabila diperlakukan dengan benar sesuai
dengan dasar-dasar pengelolaan perilaku. Namun, sebagian anak berperilaku non
kooperatif serta bersikap negatif pada perawatan gigi (Masitahapsari et al., 2009).
Dalam melakukan perawatan gigi anak, terdapat tiga komponen yang
harus bekerja sama, agar perawatan dapat berlangsung dengan lancar. Komponen tersebut
digambarkan dalam bentuk segitiga yang dikenal sebagai segitiga perawatan gigi
anak. Pada segitiga tersebut, bagian sudut-sudutnya ditempati oleh dokter gigi, keluarga
(terutama ibu) dan anak sebagai pasien terletak pada puncak segitiga. Segitiga tersebut
saling berhubungan secara dinamik (Koch & Poulsen, 1991).
Masalah yang dihadapi oleh dokter gigi diantaranya adalah anak dengan
berbagai tingkah lakunya sesuai dengan perkembangan yang sedang berlangsung.
Masalah kedua, yang terletak disudut lain adalah keluarga (terutama ibu) yang
diharapkan memberi dukungan kepada dokter gigi dalam pelaksanaan perawatan gigi
anaknya yang terkadang memerlukan perhatian khusus sebelum perawatan anak dimulai.
Rasa takut dan cemas pada anak merupakan suatu pengalaman dental yang
tidak menyenangkan. Ketakutan dan kecemasan mempengaruhi tingkah laku anak
dan lebih jauh lagi menentukan keberhasilan perawatan gigi. Kecemasan merupakan
suatu ciri kepribadian dan ketakutan terhadap antisipasi bahaya dari sumber yang
tidak dikenal, sedangkan takut merupakan respon emosional terhadap sesuatu yang
dikenal berupa ancaman eksternal (Masitahapsari et al., 2009).
Strategi pengelolaan rasa takut pada anak adalah dasar untuk memulai
perawatan dengan tujuan untuk mengembangkan sikap anak yang mau menjalankan
perawatan sehingga dicapai kesehatan gigi dan mulut tanpa menimbulkan rasa
takut. Selain itu, komunikasi merupakan dasar dari setiap perawatan yang akan
dilakukan. Efektivitas komunikasi dokter gigi-pasien dapat mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kepuasan serta kenyamanan pasien.

4
Walaupun rasa takut terhadap perawatan gigi yang dilakukan dokter gigi
bukan masalah yang serius, tetapi merupakan hambatan bagi para dokter gigi dalam usaha
peningkatan kesehatan gigi di masyarakat. Oleh karena itu penanggulangan adanya rasa
takut terhadap perawatan gigi perlu dicarikan jalan keluarnya. Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, penulis ingin membahas mengenai bagaimana perilaku dokter
gigi terhadap rasa takut anak pada perawatan gigi.

B. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan informasi kepada praktisi kesehatan dan mahasiswa
Kedokteran Gigi tentang tahap pendekatan sebagai strategi
penangangan rasa takut anak.
2. Memberikan pertimbangan dan info bagi tenaga kesehatan gigi dalam
tindakan bagaimana menangani pasien yang memiliki rasa takut.
3. Menganalisis strategi yang tepat untuk diterapkan kepada anak
yang memiliki rasa takut saat perawatan.

BAB II
PEMBAHASAN

5
Ada beberapa tahap pendekatan yang dapat diterapkan untuk mengatasi rasa takut
anak, yaitu:

A. Strategi Tahap Primer


Pendekatan tahap primer bertujuan untuk membentuk lingkungan yang
aman tahap ini merupakan kunci keberhasilan dalam bekerja dengan anak yang akan
memberikan hasil yang baik. Hal ini disebabkan karena mereka dibantu untuk
memahami pikiran dan penatalaksanaan perawatan yang dilakukan dokter gigi
(Karolina, 2008).
Pendekatan Tell-Show-Do (TSD) sebagai metode persiapan dapat
diterapkan pada anak yang pertama kali berkunjung ke dokter gigi.
Penatalaksanaan rasa takut pada tahap ini hanya sebatas pendekatan Tell dan
Show saja. Teknik ini digunakan secara rutin dalam memperkenalkan anak pada
perawatan profilaksis, yang selalu dipilih sebagai prosedur operatif pertama.
Anak diceritakan bahwa gigi-giginya disikat, tujukkan sikat “khusus”
tersebut dan bagimana sikat berputar dalam handpiece, kemudian gigi-
giginya disikat. Penjelasan tidak perlu panjang lebar, karena hal ini akan cenderung
membingungkan anak dan mungkin membangkitkan kecemasan. Pada tahap ini
diperlukan pujian karena tingkah laku yang baik selama perawatan awal harus
segera diberi penguatan dan selama perawatan selanjutnya. Beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh seorang dokter gigi pada tahap ini adalah :

• Memberikan pertanyaan sebelum, selama dan setelah perawatan. Hal ini


dapat membangkitkan rasa percaya dan memberikan kesempatan kepada anak
untuk bekerja sama.
• Memberikan anak kesempatan memegang alat dan menjelaskan
fungsi masing-masing alat. Hal tersebut akan diharapkan rasa takut
menjadi hilang dan meningkatkan perhatian serta memberikan kesan bahwa
mereka penting sehingga dapat bekerja sama sukarela tanpa dipaksakan.
• Memperkenalkan anak dengan ruang perawatan gigi dan perawatan akan
dilakukan sebaiknya tanpa membuat rasa takut, sehingga kepercayaan
diri anak dapat diperoleh dan rasa takut berubah menjadi keingintahuan dan
kooperatif.

6
Tingkah laku dan umur yang berbeda pada anak menyebabkan dokter
gigi harus mampu untuk bersikap berbeda dalam mengatasinya. Pada anak yang
berusia 2 tahun, sebaiknya dokter gigi memberikan alat bermain pada anak
pada saat wawancara atau pemeriksaan agar anak menjadi senang, segala sesuatu
yang terkait dengan kesehatan anak lebih banyak ditanyakan kepada orang tuanya.
Demikian juga dengan konseling lebih banyak ditujukan kepada orang tua (Blisa,
2010).

Strategi tersebut akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antara pasien
(anak), orang tua dan dokter gigi serta lingkungan fisik yang mendukung perawatan.
Untuk mendapatkan keberhasilan perawatan pada pasien yang memiliki rasa
takut adalah dengan menciptakan lingkungan yang aman untuk anak. Hal-hal yang
menarik, lingkungan fisik yang berorientasi pada anak dengan peralatan permainan
dan berkomunikasi dengan anak adalah sesuatu yang baik (Gambar 1).
Hal ini dikarenakan lingkungan psikologis yang aman dapat mempengaruhi
tindakan atau perasaan anak

Gambar 1. Komunikasi dan lingkungan fisik yang berorientasi pada anak dengan
alat permainan

Pasien yang menunggu perawatan pada umumnya cemas, dan


kecemasan dapat ditingkatkan oleh persepsi pasien tentang ruang praktik sebagai
lingkungan yang mengancam, tentang perawat, cahaya, bunyi, dan bahasa teknis
yang asing bagi pasien. Membuat ruang penerimaan yang nyaman dan hangat
sehingga anak merasa tidak asing ketika memasukinya, Oleh karena itu dekorasi
ruangan sangat memegang peranan penting dan erat kaitannya dengan kondisi
psikologis mereka (Pertiwi et al.,

7
2005).

8
Pada saat anak memasuki ruang perawatan gigi dengan sejumlah
perasaan takut, hal yang pertama harus dilakukan oleh dokter gigi adalah
menempatkan anak senyaman mungkin dan mengarahkannya bahwa
pengalamannya ini bukanlah hal yang tidak biasa. Jika tempat praktik tidak
terbatas hanya untuk pasien anak-anak, salah satu metode yang efektif di antaranya
adalah dengan pembuatan ruang tunggu yang dibuat sedemikian rupa sehingga anak
merasa berada di lingkungan rumahnya sendiri (Pertiwi et al., 2005).

Gambar 2. Ruang tunggu dan ruang praktik dokter gigi yang nyaman untuk anak-anak

Musik yang lembut dapat memberikan efek baik pada orang tua maupun anak dalam
memecahkan keheningan di ruang tunggu. Bahan-bahan bacaan yang disediakan di
ruang tunggu tidak saja buat anak-anak, tetapi juga buat orang tuanya. Sediakan pula kursi
dan meja kecil bagi anak untuk duduk dan membaca. Buku-buku disediakan untuk semua
usia anak. Selain buku bacaan, dapat disediakan juga buku aktivitas, seperti buku mewarnai
(Pertiwi et al., 2005)

B. Strategi Tahap Sekunder

9
Pendekatan tahap sekunder bertujuan untuk menghilangkan rasa takut
dengan membentuk pola komunikasi yang baik dengan pasien. Tanda keberhasilan
dokter gigi mengelola pasien anak adalah kesanggupannya berkomunikasi dan
memperoleh rasa percaya diri dari anak sehingga anak dapat bersikap kooperatif.
Komunikasi dengan pasien berperan penting dalam mengurangi rasa takut pasien (Hmud
& Walsh, 2009).

• Komunikasi Verbal dan Non Verbal


Memberikan dukungan verbal dan meyakinkan pasien merupakan strategi
yang sering dilakukan. Pendekatan ini harus diadopsi oleh seluruh tim pada
saat berinteraksi dengan pasien (Hmud & Walsh, 2009). Banyak cara untuk
memulai komunikasi secara verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan
tentang pakaian baru, kakak adik, benda atau binatang kesayangannya, sedangkan
untuk anak besar dapat ditanyakan tentang sekolah, aktifitas, olah raga atau teman
sebaya (Finn,
1973).
Untuk menciptakan kepercayaan pada anak yang berusia 2-6 tahun,
dokter gigi sebaiknya melibatkan anak dalam dialog dan semua diskusi
dengan menggunakan kata-kata sederhana. Banyak anak yang merasa senang dengan
dokter karena mereka dapat berkomunikasi dengannya. Pada saat berkunjung ke
dokter gigi mereka tidak takut, tetapi malah senang. Demikian pula dengan tindakan
medis, anak harus diberi penjelasan terlebih dahulu dengan bahasa yang mudah
dimengerti oleh anak. Berbicara pada anak harus disesuaikan dengan tingkat
pemahaman sehingga diperlukan “second language” (Budiyanti & Heriandi, 2001;
Blisa, 2010). Beberapa “second language” yang dapat membantu dokter gigi
dalam melakukan perawatan gigi pada anak antara lain :

• Melakukan anastesi sebelum pencabutan gigi dapat digunakan istilah


“menidurkan gigi”.
• Melakukan pembersihan dengan brush dan pumice dapat digunakan
istilah “memandikan dan mengkeramasi gigi”, kemudian mengeringkan
dengan tampon dapat digunakan istilah “menghanduki gigi”.
• Mengebor untuk menghilangkan jaringan karies gigi dapat digunakan istilah
“membersihkan rumah kuman” dan lain-lain.

1
Untuk menciptakan kepercayaan anak pada usia 7-10 tahun, dokter gigi
sebaiknya menanyakan kegiatannya dan beri komentar yang positif, tanyakan pada
anak tentang hal-hal yang sederhana dan konkret, beri tanggungjawab pada
anak terhadap tugas yang kita berikan, dan jangan lupa untuk menjelaskan tentang
pemeriksaan yang dijalani sesuai dengan daya piker anak. Sedangkan untuk
anak yang berusia 11-17 tahun, dokter gigi harus menghargai pendapat, kebutuhan
dan keterbatasan anak sebelum merekomendasikan sesuat (Blisa, 2010).

Komunikasi non verbal dapat dilakukan misalnya dengan menjabat


tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan, menggandeng anak sebelum
mendudukkannya ke kursi gigi dan lain-lain

• Strategi Perilaku Efektif

Selain strategi komunikasi di atas, komunikasi efektif yang dapat dilakukan oleh
dokter gigi adalah dengan strategi perilaku. Strategi ini dapat digunakan dengan cepat
dan mengurangi rasa takut. Strategi perilaku efektif tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Waktu dan lamanya perawatan


Dokter gigi harus mengetahui waktu perawatan yang dibutuhkan karena pada
beberapa anak lamanya perawatan akan mempengaruhi tingkah lakunya.
Terdapat hubungan yang terbalik antara kooperatif dengan lamanya waktu perawatan.
Menepati janji untuk datang maupun lamanya perawatan adalah sangat penting (Finn,
1973).
Seorang resepsionis yang mencatat pasien dengan rasa takut dapat
menjadwalkan waktu yang cukup, sehingga memungkinkan dokter gigi memiliki
waktu lebih dalam menjelaskan prosedur secara hati-hati, dan kemudian
melanjutkan perlahan pengobatannya. Waktu yang paling baik dalam merawat anak
adalah di pagi hari saat anak tidak lelah. Anak sebaiknya tidak dibawa ke
dokter gigi setelah mengalami trauma emosi, misalnya ia baru saja kehilangan
boneka kesayangannya, karena penjanjian dengan dokter gigi akan membuat anak
menjadi tidak kooperatif (Finn, 1973; Hmud & Walsh, 2009).

2. Mengalihkan perhatian

1
Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna untuk mengurangi
rasa takut, tidak nyaman, stress dan menghilangkan rasa bosan selama
periode

1
perawatan. Semakin banyak mengetahui tentang anak, lebih besar taktik yang dapat
dilakukan untuk mengalihkan anak, untuk memberikan kesempatan melakukan
prosedur perawatan yang diperlukan. Bahan pengalih yang terbukti membantu
mengurangi rasa takut anak misalnya radio, program anak di televisi dan lain-lain.

3. Hipnotis
Hipnotis dilakukan dengan mempengaruhi pikiran orang lain
sehingga anjuran-anjuran yang diberikan akan diterima dengan baik. Teknik ini
hanya dapat dilakukan pada pasien yang dapat bekerja sama. Hipnotis sering
digunakan dalam kedokteran gigi sebagai suatu metode untuk membantu pasien
yang cemas agar rileks dan meningkatkan kooperatif pasien.

4. Modifikasi tingkah laku (penguatan)


Penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah laku yang akan
meningkatkan kemungkinan tingkah laku tersebut terjadi lagi dikemudian hari.
Penguatan (reinforcement) terbukti mengurangi tingkah laku tidak kooperatif
pada anak dalam menjalani perawatan gigi (Finn, 1973; Andlaw & Rock, 1992).
Hampir semua benda menjadi penguat dokter gigi sehingga dapat meningkatkan
hubungan sosial dengan cara memberikan perhatian, doa, senyum dan pelukan.
Benda penguat yang dapat diberikan misalnya stiker, pensil dan lain-lain. Bentuk
penghargaan lain adalah hadiah dan ini dapat diberikan pada tahap akhir
perawatan sebagai penghargaan atas tingkah laku yang baik (Andlaw & Rock,
1992). Namun, upaya yang terpenting dalam memperkuat tingkah laku adalah kasih
sayang dan perhatian.

5. Kehadiran orang tua di dalam ruangan


Kehadiran orang tua di ruang praktik mempunyai pengaruh positif
dalam meningkatkan keamanan pada anak yang kurang berani. Sedangkan
pendapat agar orang tua sebaiknya berada di luar karena kehadiran orang tua dapat
mengganggu prosedur perawatan dan rasa takut yang dimiliki orang tua akan
mempengaruhi anak. Sebaiknya orang tua tidak ikut ke ruang praktik tanpa diminta
oleh dokter gigi (Finn,
1973).

1
C. Strategi Tahap Tersier

Pendekatan tahap tersier ditujukan kepada anak dengan rasa takut yang
berat dengan maksud menghilangkan rasa takut dan menyelesaikan perawatan gigi.
Teknik yang menjadi pilihan utama adalah desensitisasi sistemik dan modeling
ataupun kombinasi.

• Desensitisasi
Desentisasi adalah suatu cara untuk mengurangi rasa takut atau cemas
seorang anak dengan cara memberikan rangsangan yang membuatnya takut atau
cemas, sedikit demi sedikit rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak
takut atau cemas lagi. Prosedur ini dilandasi oleh prinsip belajar
counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan dengan tingkah
laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis desentisisasi
ini sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia (Tampubolon, 2010).
Prinsip macam terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan
dengan kecemasan yaitu relaksasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi
dalam, salah satu caranya misalnya secara progresif merelaksasi berbagai otot, mulai
dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan tubuh, leher dan wajah. Pada
tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi yang menimbulkan
kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil
sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks sambil
mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari situasi
yang paling kecil menimbulkan kecemasan (Andlaw & Rock, 1992; Tampubolon,
2010). Pada tahap desensitisasi ini, pasien dapat diberikan paparan stimulus berupa
injeksi anestesi gigi, aplikasi rubber dam, dan suara serta melihat bor gigi dengan
menjelaskan hasilnya.

• Modeling
Metode modeling adalah cara pendekatan yang sangat praktis, mudah dilakukan,
serta efektif mempersingkat waktu dalam perubahan perilaku pasien anak sehingga
waktu perawatan gigi menjadi lebih optimal. Teori “social learning” memprediksi
bahwa pola respon rasa takut pada anak-anak dapat dihilangkan dengan mengamati
model yang mendapatkan stimulus tanpa mengalami konsekuensi yang negatif.

1
Prinsip psikologis metode modeling yaitu belajar dari pengamatan model. Anak
diajak mengamati anak lain yang ketika dirawat giginya berperilaku kooperatif,
baik secara langsung pada kursi gigi atau melalui film. Setelah metode modeling
dikerjakan maka diharapkan anak berperilaku kooperatif seperti model yang diamati.
Pendekatan tersebut efektif karena memberikan informasi yang jelas pada pasien
tentang jenis peralatan dan prosedur yang akan dihadapi (Masitahapsari et al.,
2009). Metode modeling ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui model di
film/ anak sebaya (filmed/ in vivo modeling) dan melalui model yang ikut berpartisispasi
dalam perawatan secara langsung (participant modeling) dalam memperkenalkan
perawatan gigi (Gambar
3). Metode ini efektif pada anak dengan umur 4-9 tahun dan hanya beberapa efektif pada
anak yang lebih muda dari umur 4 tahun (Catherine, 2004).

1. Filmed modeling 2. Participant modeling

Modeling adalah modifikasi perilaku untuk pasien anak yang masih usia
muda, anak dapat belajar tentang pengalaman ke dokter gigi dengan melihat
anak- anak lain menerima perawatan. Strategi ini tidak hanya mengajarkan anak
yang belum pernah menerima perawatan tentang apa yang diharapkan darinya, tetapi
lebih penting adalah mendemonstrasikan apa yang diharapkan dari anak. Strategi ini
efektif dalam mengatasi rasa takut selama kunjungan pertama perawatan gigi
pada pasien anak. Metode ini dapat diterapkan dengan mudah dalam ruang
praktik (Melamed et al.,
1975).

1
D. Kombinasi Perawatan Perilaku

Kombinasi perawatan perilaku menunjukkan hasil yang jauh lebih baik.


Penggunaan metode dengan menggabungkan beberapa metode pada suatu paket
perawatan. Pasien yang takut diajarkan rileks dan kemudian menunjukkan film
model disaat rileks. Modeling dan desensitisasi dapat diterapkan sekaligus, dengan
pengkombinasian dua cara ini akan diperoleh hasil yang memuaskan. Modeling dan
desensitisasi juga dapat mengurangi rasa cemas orang tua pada perawatan gigi
anaknya. Merubah perilaku dengan cara modeling dan desensitisasi dapat diterapkan
baik di klinik gigi maupun praktik pribadi.

1
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Strategi perilaku dokter gigi sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan

rasa takut anak pada saat perawatan. Tahap pendekatan primer merupakan

strategi utama dalam mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, terdapat tahap

pendekatan sekunder, pendekatan tersier serta didukung dengan strategi perilaku

efektif yang dapat diterapkan sesuai situasi dan kondisi pasien.

Pada tahap pendekatan tersier, terdapat beberapa metode yang

dapat diterapkan untuk pasien anak yang memiliki rasa takut yang besar.

Namun, kombinasi perawatan perilaku modeling dan desensitisasi menunjukkan

hasil yang jauh lebih baik. Metode ini dapat mengurangi rasa cemas orang tua pada

perawatan gigi anaknya. Merubah perilaku dengan cara modeling dan desensitisasi

dapat diterapkan baik di klinik gigi maupun praktik pribadi.

B. Saran
✓ Agar perawatan dapat berlangsung dengan lancer, tiga komponen
(dokter, pasien, dan orang tua) harus saling bekerja sama.
✓ Perlu memahami tingkah laku anak sesuai dengan perkembangan yang ada.

1
DAFTAR PUSTAKA

Koch, Poulsen. 1991. Pedodontics: A Clinical Approach. Copenhagen: Munksgaard

Finn SB. 1973. Clinical Pedodontics 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company

Marsihapsari BN. 2009. Pengelolaan Rasa Cemas Dengan Metode Modelling pada
Pencabutan

Gigi Anak Perempuan Menggunakan Anastesi Topikal. J. Ked. Gi. 1 : 79-86

Karolinna Y 2000. Masalah Rasa Takut pada Kedokteran. Medan: USU e-respitory

Anda mungkin juga menyukai