Pembimbing:
drg. Nieka Adhara Wahono, PhD, Sp.KGA(K)
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pengelolaan Tingkah
Laku Anak dalam Perawatan Gigi”. Makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk menyelesaikan requirement profesi kedokteran gigi pada Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Anak. Meskipun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
terdapat banyak kekurangan, Penulis berharap dengan adanya makalah ini akan memiliki
nilai guna kepada mahasiswa profesi yang sedang menjalankan stase di Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Anak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari dosen dan rekan-rekan yang membaca makalah ini. Dalam penyusunan
makalah ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada drg. Nieka Adhara Wahono,
PhD, Sp.KGA(K) dan drg. Astri Kusumaningrum, Sp.KGA selaku pembimbing, serta seluruh
pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga Penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Akhir kata, Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis maupun pembaca yang lain.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN
DEFINISI ANAK..................................................................................................... 4
KLASIFIKASI TINGKAH LAKU ANAK............................................................ 4
Wright’s Clinical Classification of Children’s Behavior........................................... 5
Frankl Behavior Rating Scale.................................................................................... 5
KARAKTERISTIK TINGKAH LAKU ANAK BERDASARKAN
USIA.......................................................................................................................... 6
Pengertian Takut dan Cemas...................................................................................... 6
SEGITIGA PERAWATAN KEDOKTERAN GIGI ANAK................................ 8
TEKNIK MANAJEMEN TINGKAH LAKU ANAK........................................... 8
Cara Membangun Komunikasi Efektif pada Anak.................................................... 9
Teknik Pendekatan untuk Mengatasi Tingkah Laku Anak........................................ 10
KESIMPULAN......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 13
3
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization, anak merupakan seorang individu yang
dikategorikan dalam usia 0-19 tahun, kecuali jika hukum dalam negara memiliki aturan
khusus mengenai usia anak.1 Anak, sama seperti orang dewasa, harus menjaga kebersihan
gigi dan mulut untuk memperoleh gigi yang sehat, namun saat kunjungan ke dokter gigi
untuk menerima perawatan gigi dan mulut, anak dapat memiliki rasa takut dan cemas
terhadap perawatan yang akan diberikan oleh dokter gigi. Karena itu, dokter gigi
membutuhkan suatu pengetahuan mengenai respon anak dan orang tua terhadap perawatan
gigi dan mulut. Manajemen anak dapat dilakukan untuk mengontrol tingkah laku anak selama
perawatan. Manajemen tingkah laku anak merupakan suatu kaidah dengan dokter gigi
membantu pasien mengidentifikasi perilaku yang sesuai, cara memecahkan suatu masalah,
dan mengontrol emosi anak. Proses manajemen tingkah laku anak akan melibatkan dokter
gigi, pasien anak, dan orang tua dengan tujuan untuk menghasilkan suatu kesinambungan
komunikasi, menghilangkan rasa cemas dan takut pada anak, memberikan perawatan yang
optimal, dan membangun rasa percaya terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut.2
DEFINISI ANAK
Terdapat beberapa definisi anak berdasarkan batasan usia anak. Menurut definisi
World Health Organization (WHO) pada konsolidasi guideline ARV pada Juni 2013, anak
merupakan seorang individu yang berusia 0-19 tahun, kecuali bila hukum dalam negara anak
tersebut mendefinisikan anak masuk kategori dewasa dengan usia yang lebih muda. 1 Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal
1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.3 Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak oleh United Nations
yang disetujui oleh 196 negara yang diratifikasi di Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 Pasal
1, Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali bila hukum yang sesuai
di negara Anak tersebut menentukan bahwa usia dewasa Anak dicapai dalam usia yang lebih
muda.4,5
4
Dentistry (AAPD) menyatakan bahwa teknik pengelolaan tingkah laku anak baik secara non-
farmakologi maupun farmakologi berguna untuk terlaksananya perawatan gigi dan mulut
yang aman dan efisien bagi anak.2 Klasifikasi tingkah laku anak terdiri dari klasifikasi dari
Wright’s Clinical Classification of Children’s Behavior dan klasifikasi Frankl Behavior
Rating Scale.6
7
Karakteristik tingkah laku seorang anak berkaitan dengan usia kronologis. Pada usia 2
tahun, seorang anak senang melakukan keterampilan motorik seperti berlari dan melompat.
Pada usia ini juga seorang anak suka melihat dan menyentuh hal baru. Ketika sedang
bermain, anak cenderung memilih untuk bermain sendiri dan masih sulit untuk berbagi.
Selain itu, kosakata yang digunakan oleh anak usia 2 tahun masih terbatas. Pada saat
perawatan gigi, anak usia 2 tahun cenderung tidak patuh terhadap instruksi dari dokter gigi.
Oleh karena itu, anak usia 2 tahun dianggap berada pada tahap prekooperatif.6
Pada usia 3-6 tahun, secara kognitif terjadi perubahan besar pada anak. Kemampuan
penalaran anak berkembang secara substansial. Berdasarkan pengkatagorian Piaget mengenai
kecerdasan kognitif, anak usia 3-6 tahun disebut fase preoperasional. Fase ini dimulai dari
usia 18-24 bulan hingga 6 atau 7 tahun. Bagian pertama dari fase preoperasional terjadi
hingga usia 4 tahun dan disebut sebagai fase preconceptual. Selama fase preconceptual,
kemampuan berpikir dan mental anak berkembang sangat cepat. Namun, anak masih
menggeneralisasikan semua entitas. Setelah fase preconceptual, yaitu fase pemikiran intuitif,
yang dimulai dari usia 4 hingga 7 atau 8 tahun. Pada fase ini anak mulai memiliki
kemampuan untuk menggelompokkan objek, menggunakan pemikiran dan gambar yang
kompleks serta lebih mampu untuk berkosentrasi. Di akhir fase ini, anak akan mulai memiliki
keterampilan membaca dan menulis. Secara emosional, pada usia ini terjadi perkembangan
pada kemampuan pengontrolan diri serta emosi. Anak juga sudah memiliki jati diri akan
identitas seksual serta mulai terbentuk konsep akan harga diri. Perbedaan signifikan antara
anak yang baru lahir hingga usia 3 tahun dengan anak usia 3 tahun hingga usia 6 tahun yaitu
pada kemampuan pengendalian diri. Pada usia ini, anak mulai dapat diajari metode
pengendalian diri, seperti mengalihkan perhatian mereka ketika sedang dilakukan prosedur
anestesi oleh dokter gigi. Selain itu, anak mulai dapat diajari untuk memonitor perilaku diri
dan mulai merasa bersalah atau cemas ketika melakukan kesalahan. Dari segi sosial, anak
usia 3-6 tahun perlu mendapatkan pemahaman mengenai identitas diri dan cara berhubungan
dengan orang lain. Pada periode ini, kemampuan bersosialisasi anak akan sangat terpengaruh
oleh cara pengasuhan yang diperoleh dan perilaku orang tua. Oleh karena itu, pada usia ini
orang tua sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. 10 Pada usia 3 tahun, sifat
egois seorang anak sudah mulai berkurang. Selain itu, imajinasi anak pun semakin
berkembang sehingga anak sangat menyukai cerita. Namun, pada usia ini anak masih tidak
bisa jauh dari orang tua nya. Pada usia 4 tahun, seorang anak akan mulai berpartisipasi dalam
suatu kelompok sosial kecil. Anak juga mulai menunjukkan berbagai keterampilan yang
bersifat mandiri. Selain itu, anak juga mulai mengetahui kata “terimakasih” dan “tolong”.
8
Pada usia 5 tahun, anak mulai memasuki periode sekolah. Anak juga mulai memiliki suatu
kebanggaan akan suatu kepemilikan. Pada usia ini, anak sudah dapat bermain secara
kooperatif dengan temannya.6. Ketika telah mencapai usia 6 tahun, emosional anak belum
mencapai kestabilan. Pada usia ini, anak akan rentan akan pujian dan dapat menderita ketika
perasaan mereka terluka.10
Pada usia 6-12 tahun, kapasitas dan kemampuan mental anak berkembang pesat.
Rentang perhatian anak terhadap suatu kegiatan atau instruksi juga jauh lebih baik di usia ini
dibandingkan anak usia 5 tahun. Pada anak di kategori usia ini, terjadi perubahan secara
emosional dimana anak mulai memahami dan menerima norma perilaku sosial. Bila pada
usia 0-5 tahun anak yang menangis dan mengamuk harus mendapatkan perhatian seketika,
anak yang menangis maupun mengamuk di kategori usia ini bisa mengelola emosi untuk
menunda didapatkannya perhatian untuk menghentikan tangisan. Pengelolaan emosi ini
terutama didapatkan bila menerima pendidikan di sekolah untuk menggunakan waktunya
untuk hal-hal yang berguna seperti mengerjakan pekerjaan rumah. Di usia 6-12 tahun ini,
anak juga berhenti mengandalkan orang lain seperti orang tua/wali untuk menghentikan
kebosanan, sehingga kebutuhan anak terhadap perintah orang tua dalam mengalihkan
perhatian anak sangat berkurang, dan pada usia 12 biasanya anak menunjukkan dan mengatur
prioritas keinginannya. Pada rentang usia ini, body image mulai menjadi perhatian anak
secara emosional. Anak usia 6 tahun cenderung tidak peduli bila ada gigi depannya yang
mengalami mottled enamel dan orang tuanyalah yang mempedulikan giginya, namun di usia
12 tahun, kondisi gigi ini dapat mengakibatkan anak malas tersenyum, menarik diri dari
aktivitas sosial, dan kesedihan anak, terutama bila anak diejek karena giginya. Salah satu ciri
utama perubahan sosial anak di kategori usia ini adalah bertambah pentingnya arti teman
sebaya yang ditandai dengan kecenderungan anak berteman dengan seseorang yang memiliki
jenis kelamin, status sosioekonomi, tingkat intelegensi, kedewasaan, dan ketertarikan yang
sama.11
Pada usia remaja (13-18 tahun) yang merupakan periode antara masa pubertas dan
masa dewasa, terjadi peningkatan pertumbuhan fisik dan hormonal seiring dengan
meningkatnya self-awareness dan social maturity. Pada usia remaja, perkembangan
kemampuan kognitif anak berkembang pesat dimana anak bisa mengerjakan pekerjaan yang
membutuhkan intelektualitas tinggi, mengatur rencana secara efektif, memberikan alasan-
alasan yang masuk akal, dan menunjukkan kontrol yang baik terhadap diri sendiri. Selain itu,
kemampuan berfikir abstrak dan menganalisis informasi juga meningkat, sehingga anak akan
tampak sering memberontak (rebel), sering mengeluh, atau sering menuduh. Anak juga
9
cenderung egosentrik. Dengan meningkatnya kemandirian pada anak usia remaja, tanggung
jawab pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut di rumah dilakukan lebih efektif oleh anak
sendiri dibandingkan oleh orang tuanya. Dokter gigi memegang peranan yang cukup unik
pada anak usia remaja terutama pada saat pemeriksaan rutin, karena anak usia remaja bisa
lebih leluasa mendiskusikan masalah fisik, psikososial, dan perilaku yang dapat berdampak
pada kesehatan gigi mulutnya seiring dengan meningkatnya kemandirian. Dokter gigi harus
memiliki dasar ilmu mengenai masalah gigi mulut yang mungkin muncul di anak usia remaja
dan prinsip perawatannya. Selain itu, dokter gigi harus dapat mengedukasi dan
berkomunikasi dengan baik yang relevan secara klinis namun tetap sesuai dengan psikologis
anak usia remaja untuk memenuhi kebutuhan perawatan gigi mulutnya.11
Pada segitiga perawatan pedodontik, society berada pada pusat segitiga. Hal ini
menunjukkan bahwa metode manajemen anak yang diterima oleh masyarakat menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi modalitas perawatan yang dilakukan pada anak Kedudukan anak
berada pada puncak segitiga dan merupakan fokus perhatian dari keluarga dan tim dokter
gigi. Peran orang tua yaitu sebagai pemberi informasi bagi dokter gigi. Selain itu orang tua
juga berperan dalam memberikan dukungan kepada anak. Dokter gigi berperan sebagai
pemberi perawatan kepada pasien anak dan informasi kepada orang tua mengenai perawatan
10
yang akan dilakukan. Pada perawatan anak, komunikasi berlangsung secara timbal balik. Hal
tersebut digambarkan dengan panah yang terdapat pada segitiga perawatan pedodontik.6
11
seperti ekspresi wajah, kontrol suara yang memberikan denotasi yang positif, dan
memberikan pelukan kepada anak.12,13,14
Pendekatan non-farmakologi non-invasif dengan teknik “modelling” didasarkan oleh
prinsip psikologis dengan manusia mempelajari lingkungan yang ditempati berdasarkan hasil
observasi perilaku manusia lainnya. Penggunaan teknik ini dapat digunakan kepada pasien
anak dengan menunjukkan suatu video yang berisikan pasien anak kooperatif yang sedang
menerima perawatan gigi dengan antusias. Video “modelling” yang ditunjukkan kepada
pasien anak dapat berupa prosedur restorasi pada gigi karies, injeksi cairan anestesi dengan
spuit, dan ekstraksi gigi. Selain menggunakan video untuk melakukan teknik “modelling”
kepada anak, penggunaan pasien hidup, seperti saudara pasien anak, orang tua, dan pasien
anak lainnya, yang bersifat kooperatif terhadap perawatan gigi dapat ditunjukkan kepada
pasien anak yang memiliki kecemasan. Penggunaan teknik ini akan menurunkan tingkat
kecemasan anak dan pasien langsung yang digunakan disarankan memiliki usia yang sama
dengan pasien anak sehingga anak akan mengalami perubahan tingkah laku yang lebih
baik.12,13,14
Teknik “distraction” dalam pendekatan non-farmakologi non-invasif digunakan untuk
mengalihkan perhatian pasien anak terhadap tindakan yang akan dilakukan kepada gigi anak
tersebut. Penggunaan teknik “distraction” menggunakan animasi terbukti mengurangi
munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan. Kombinasi teknik ini dengan suatu
reinforcement, seperti distraksi suara, dinilai efektif terhadap perawatan gigi dan mulut,
namun efektivitas tersebut lebih tinggi pada pasien dewasa dibandingkan dengan pasien anak.
Distraksi verbal dinilai lebih efektif saat dokter gigi mengajak pasien anak berbicara sambil
mengaplikasikan anestesi topikal dan injeksi anestesi lokal. 12,13,14
Teknik “systematic desensitization” dalam pendekatan non-farmakologi non-invasif
digunakan untuk membantu pasien anak dalam menghadapi rasa ketakutan yang bersifat
spesifik dan diatasi secara memaparkan stimulus secara berkala, yaitu dari stimulus yang
tidak berbahaya. Teknik ini dimulai dengan menginstruksikan pasien anak untuk tenang dan
dipaparkan secara perlahan stimulus yang ditakutkan pasien anak dari yang paling kurang
menakutkan, namun paparan stimulus dapat dilanjutkan jika pasien anak siap untuk
menghadapi rasa ketakutannya. Teknik ini digunakan pada anak yang dapat menjelaskan rasa
takutnya secara jelas dan dapat berkomunikasi secara verbal.12,13,14
Penggunaan teknik pendekatan non-farmakologi secara invasif digunakan oleh dokter
gigi jika penggunaan pendekatan non-farmakologi non-invasif tidak berhasil. Penggunaan
pendekatan non-farmakologi invasif banyak dilakukan pada negara dengan dokter gigi tidak
12
diizinkan untuk melakukan anestesi umum kepada pasien anak. Teknik pendekatan non-
farmakologi secara invasif dibagi dua, yaitu teknik “restraint” dan “Hand-Over-Mouth
(H.O.M.E.)”. Teknik “restraint” digunakan dengan membatasi pergerakan tubuh anak saat
dilakukan perawatan dan sulit digunakan pada anak berusia 3 – 5 tahun yang memerlukan
tindakan restorasi gigi anak. Salah satu bentuk “physical restrain” dan teknik “H.O.M.E.”
yang merupakan teknik non-farmakologi terakhir yang digunakan jika semua teknik lainnya
tidak berhasil untuk mengubah perilaku anak dan anak tersebut harus berusia 3-6 tahun dan
teknik ini menggunakan tangan yang diletakkan pada mulut pasien, mendekatkan wajah
terhadap anak dan berbicara langsung pada telinga anak, minta pasien anak untuk tenang dan
tidak menjerit, jelaskan tindakan yang dilakukan hanya ingin memeriksa dan merawat gigi,
memastikan anak untuk tenang dan tidak menjerit sebelum melepaskan tangan dari wajah
pasien, dan memberikan peringatan kepada pasien anak untuk selalu tenang ketika wajah
pasien telah dilepas.12,14
Pendekatan farmakologi diberikan dengan cara pemberian sedasi sadar dan anestesi
umum. Pemberian sedasi sadar hanya digunakan jika pendekatan secara non-farmakologi
tidak berhasil, pasien anak tergolong American Society of Anesthesiologists (ASA) 1 atau 2,
pasien anak tidak kooperatif, jangka waktu perawatan lama, fobia terhadap jarum, pasien
anak yang tidak dapat menghadapi ketakutannya secara berlebihan, dan pasien anak dengan
keterlambatan perkembangan mental.2 Namun, sedasi sadar tidak diberikan pada pasien
dengan obstruksi pernafasan atas, anak dengan psikosis, dan penyakit paru obstruktif.
Pemberian sedasi sadar dapat diberikan melalui oral, nasal, dan rektal. 13 Pemberian anestesi
umum dalam kedokteran gigi anak dilakukan jika pasien anak memiliki keterbelakangan
mental, fisik, atau gangguan kesehatan, pemberian anestesi lokal tidak bekerja secara efektif
karena adanya infeksi akut di daerah injeksi, variasi anatomi, atau alergi, pasien anak sangat
tidak kooperatif, takut, cemas berlebihan, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, dan selalu
tidak tenang saat akan dilakukan perawatan, dan pasien dengan trauma orofasial atau dental.
Anestesi umum tidak diberikan kepada anak yang memiliki risiko setelah diberikan anestesi
umum, infeksi saluran pernafasan, penyakit sistemik aktif dengan demam tinggi, dan pasien
kooperatif dengan kebutuhan perawatan gigi yang minimal.2
KESIMPULAN
Dalam perawatan kedokteran gigi anak, anak menempati posisi puncak segitiga dan
menjadi pusat perhatian dokter gigi dan orang tua. Setiap anak memiliki tingkah laku yang
13
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu kemampuan terpenting bagi dokter gigi
anak adalah kemampuan dokter gigi mengevaluasi tingkah laku anak dan membimbing anak
dalam melalui pengalaman perawatan gigi. Pengelolaan tingkah laku anak baik secara non-
farmakologi maupun farmakologi berguna untuk terlaksananya perawatan gigi dan mulut
yang aman dan efisien bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization International Publication of HIV Guidelines. 2013.
who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/intro/keyterms/en/
2. The American Academy of Pediatric Dentistry Recommendations: Best Practices.
Review Council on Clinical Affairs, Latest Revision. Behavior Guidance for the
Pediatric Dental Patient. 2015: 40 (6): 1-14.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Portal Kementerian Luar Negeri, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional, Pusat Informasi Hukum.
4. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa.
unicef.org/child-rights-convention/frequently-asked-questions
5. Sawyer, S. M., Azzopardi, P. S., Wickremarathne, D., & Patton, G. C. The age of
adolescence. The Lancet Child & Adolescent Health. 2018: 2(3), 223–8
6. McDonald R, Avery D, Dean J. Dentistry for the child and adolescent 10 th edition.
St. Louis Mosby: 2016. 292-3.
7. Steimer T. The Biology of Fear and Anxiety Related Behaviors. Dialogues Clin
Neurosci. 2002 Sep; 4(3):231-49.
8. G K, Polsen S. Pediatric Dentistry A clinical Approach. 2009.
9. Weiner A. A., D. J. Sheehan. 1990. Etiology of dental anxiety: psychological
trauma or CNS chemical imbalance. General Dentistry
10. Pinkham JR, Cassamasimo PS, McTigue DJ, et al. Pediatric Dentistry: Infancy
through adolescence 4thed. Missouri: Mosby Elsevier;2005.
11. Paul S, Casamassimo PS, McTigue DJ, et al. Pediatric Dentistry: Infancy through
adolescence 5thed. Missouri: Sauders;2012.
12. Wright G.Z.,Kupietzky A. Behavior Management in Dentistry for Children 2 th ed.
John Wiley & Son; 2014.
13. Welbury R.R., Duggal M.S., Hosey M.T. Paediatric Dentistry 3 rd ed. Oxford;
2005.
14
14. Cameron A.C., Widmer R.P. Handbook of Pediatric Dentistry 4 th ed. Mosby
Elsevier; 2013.
15