Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG BIMBINGAN KEAGAMAAN DAN

KESADARAN BERIBADAH

A. Konsep Dasar Bimbingan Keagamaan

1. Pengertian Bimbingan Keagamaan

Untuk mengetahui makna bimbingan keagamaan, terlebih dahulu harus mengerti arti

bimbingan keagamaan yang terdiri dari dua suku kata, yaitu bimbingan dan

keagmaan.

Bimbingan merupakan terjemahan dari “guidance” dalam bahasa Inggris. (Oxford,

2009:666) Secara harfiyah istilah “guidance” dari akar kata “guide” berarti: (1)

mengarahkan (to direct), (2) memandu (to pilot), (3) mengelola (to manage), dan (4)

menyetir (to steer)(Syamsu Yusuf, 2009:5).

Pengertian bimbingan secara harfiyyah adalah menunjukkan, memberi jalan, atau

menuntun orang lain kearah tujuan yang bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa

mendatang. Adapun istillah bimbingan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris

guidance yang berasal dari kata kerja to guidance yang berarti menunjukkan (Arifin, 1982:1).

Menurut Walgito (1980:4) bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan

individu-individu atau sekumpulan individu-individu dalam menghindari atau mengatasi

kesulitankesulitan didalam kehidupannya agar individu atau sekumpulan individu-individu

itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.


Menurut Stapp (1991:2) bimbingan adalah suatu proses yang terus menerus dalam

membantu perkembangan individu untuk mencapai kemampuannya secara maksimal dalam

mengarahkan manfaat sebesarbesarnya baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.

Masdar Helmy berpendapat (1973:17) adalah “segala usaha atau ikhtiar dan kegiatan

yang berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian segala sesuatu

secara teratur dan terarah”.

Bimbingan dan penyuluhan atau “guidance and counseling” merupakan salah satu

program pendidikan yang diarahkan kepada usaha pembaharuan pendidikan nasional yang

akan segera dilaksanakan dalam tahun mendatang ini. Bilamana melihat arti dan tujuan

bimbingan dan penyuluhan secara mendalam, maka manfaatnya adalah sangat besar bagi

usaha pemantapan hidup generasi dalam berbagai bidang yang menyangkut ilmu

pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental dalam masyarakat yang sedang membangun

saat ini (Arifin, 1978:9).

Agama, menurut asal katanya tidak berasal dari kata bahasa Arab tapi berasal dari

bahasa Sansekerta, karena tafsir agama tidak mungkin dibahas berdasarkan ayat-ayat al-

Qur’an yang diwahyukan Allah dalam bahasa Arab, selain itu kata agama tidak ada dalam

bahasa Arab.

Adapun kata keagamaan berasal dari kata “agama” yang mendapat imbuhan ke-an,

yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama” (W. J. S

Poerwodarminto, 2002:400).

Sedangkan, menurut Harun Nasution, (2008:14) menegaskan pendapat bahwa

keagamaan berasal dari kata “agama”, yaitu al-din, religi (religare) dan agama. Al-din berarti

undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti
menguasai, mendudukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Adapun dari kata religi

(latin) berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian, religare berarti mengikat. Adapun

kata agama (a = tak; gam = pergi) mengandung arti tak pergi, tetap di tempat atau diwarisi

turun menurun. Pengertian kata-kata tersebut intisarinya adalah ikatan. Karena itu, agama

mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal

dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat

ungkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan

manusia sehari-hari.

Menurut H. M. Arifin (1994: 7) bimbingan keagamaan adalah suatu proses pemberian

bantuan atau pelayanan pada peserta bimbingan dengan memperhatikan kemungkinan-

kemungkinan dan kenyataan-kenyataan tentang adanya kesulitan yang dihadapi peserta

bimbingan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara optimal. Sehingga peserta

bimbingan memahami tentang dirinya, mengarahkan diri, serta berperilaku atau bersikap

sesuai dengan melalui cara-cara yang efektif yang bersumber pada ajaran agama serta nilai-

nilai agama yang ada pada diri pribadinya.

Sejalan dengan pendapat H. M. Arifin, Ainur Faqih dalam buku Bimbingan Konseling

Islam (2001:62) menyebutkan bahwa Bimbingan Keagamaan adalah proses pemberian

bantuan terhadap individu agar dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras dengan

ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat.

Dan pengertian bimbingan keagamaan yang dikemukakan oleh H.M Arifin (1994:1) ini

dilihat dari dua aspek tinjauan agama, yaitu:

a. Aspek subjektif (pribadi manusia). Agama mengandung pengertian tentang

tingkah laku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan berupa getaran
batin, yang dapat mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola

hubungan dengan masyarakat serta alam sekitarnya. Dari aspek inilah manusia

dengan tingkah lakunya itu, merupakan perwujudan dari pola hidup yangtelah

membudaya dalam bathinnya, dimana nilai-nilai keagamaan telah membentuknya

menjadi rujukan dari sikap orientasi hidup sehari-hari.

b. Aspek objektif (doktrinair). Agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai

ajaran tuhan yang bersifat menuntun manusia kearah tujuan yang sesuai dengan

kehendak ajaran tersebut (Arifin, 1982:1-2).

Dalam kaitan ini Hana Jumhana Bastaman (1996: 17 ) mengemukakan bahwa

bimbingan keagamaan adalah corak bimbingan sosial yang didasari oleh azas-azas psikologi

agama, berupa kegiatan pemberian bantuan secara professional untuk mencegah atau

mengatasi masalah-masalah sosial dengan jalan menumbuhkan kesadaran atau kondisi

lingkungan serta meningkatkan motivasi dan upaya untuk mengembangkan kesehatan mental

dan keagamaan masyrakat.

Keagamaan didefinisikan sebagai peraturan dan ajaran yang meliputi aqidah, ibadah,

akhlak, dan syariah yang akan mengatur manusia baik secara pribadi maupun

kemasyarakatan, baik dari segi jasmani maupun rohani, untuk kebahagiaan didunia dan

diakhirat (Hamid, 1975:78).

Menurut Tohirin (2013:135) bimbingan kehidupan beragama adalah bantuan yang

diberikan pembimbing kepada klien (siswa) agar mereka mampu menghadapi dan

memecahkan masalah-masalah yang berkenaan dengan kehidupan beragama. Melalui

bimbingan keagamaan para siswa dibantu mencarikan alternatif bagi pemecahan masalah-

masalah yang berkenaan dengan kehidupan beragama.


Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui, bahwa bimbingan adalah suatu proses

bantuan kepada individu yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis untuk

memecahkan suatu permasalahan yang dihadapinya, agar tercapainya suatu kemampuan

untuk mengarahkan dirinya, sesuai dengan potensi dan kemampuan dalam menyesuaikan diri

dengan lingkungan, baik dalam keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa bimbingan keagamaan adalah suatu proses

bantuan kepada individu dalam rangka memberi arahan yang berupa ajaran agama yang

dianut agar mereka mampu menemukan dan mengembangkan potensi dan kemampuan yang

dimilikinya untuk dapat menghadapi segala kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, sehingga

mendapatkan kebahagiaan di masa sekarang dan masa yang akan datang. Bimbingan

keagamaan merupakan usaha bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan, baik

lahiriyah, maupun bathiniyah, yang menyangkut kehidupan di masa kini dan masa yang akan

datang.

Dari pengertian-pengertian di atas, maka pengertian bimbingan keagamaan dapat

diartikan sebagai usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan baik

lahiriyah maupun batiniyah yang menyangkut kehidupan dimasa kini dan masa akan datang.

Dan bantuan tersebut berupa pertolongan dibidang mental spiritual. Hal ini dimaksudkan agar

orang yang bersangkutan mampu mengatasinya dengan kemampuan yang ada pada dirinya

sendiri melalui dorongan dari kekuatan iman dan taqwa kepada tuhannya. Bimbingan ini

dalam pelaksanaan nya dilakukan secara terus menerus dan secara berkesinambungan dengan

pembimbing agar yang dibimbing memiliki kualitas kemandirian yang dipengaruhi oleh

aspek keagamaan. (Karina Kurniasih Muchtar, Skripsi, 2012:27-29).

2. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Keagamaan


Seorang pembimbing dalam proses bimbingannya hanya bertugas mengarahkan,

membantu dan merumuskan sebuah keputusan, dan menyadarkan klien agar memahami

dirinya dan masalahnya.

Secara umum bimbingan keagamaan menurut Ainur Rahman Faqih (2001:36)

adalah membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar

mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan secara khusus

terdiri atas:

a. Membantu individu agar tidak menghadapi masalah.

b. Membantu individu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.

c. Membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang

baik atau yang lebih baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak

akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.

Tujuan bimbingan agama yang dikutif dalam buku Dasar-Dasar Bimbingan

Penyuluhan Islam adalah untuk menegakan sifat kefitrian manusia sesuai dengan ajaran

islam, sehingga manusia mampu hidup selaras dengan ajaran-ajaran islam dan

mendapatkan keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Enjang,

2009:73).

Menurut M. Hamdan Bakran Adz Dzaky, (2004: 35-36) mengatakan bahwa

tujuan bimbingan dan konseling islam adalah:

a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa

dan mental jiwa menjadi tenang, jinak, dan damai (muthmainnah), bersikap

lapang dada (radhiyah), dan mendapatkan pencerahan taufiq dan hidayah-nya

(mardhiyah).
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, dan kesopanan tingkah laku

yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga,

lingkungan sekolah atau madrasah, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial,

dan alam sekitarnya.

c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan

berkembang rasa toleransi (tasammukh), kesetiakawanan, tolong menolong, dan

rasa kasih sayang.

d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan

berkembang keinginannya untuk berbuat taat kepada- Nya, ketulusan mematuhi

segala perintah-Nya, serta ketabahan menerima ujian-Nya.

e. Untuk menghasilkan potensi ilahiyah sehingga dengan potensi itu individu dapat

melakukan dengan tugas-tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar, dapat

dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup, dan memberikan

kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai asfek

kehidupan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan keagamaan

merupakan sebuah tujuan yang ideal dalam rangka mengembangkan kepribadian muslim

yang sempurna atau optimal (kaffah dan insan kamil).

Selain dari pada itu, keberadaan bimbingan keagamaan mempunyai fungsi yang

merujuk kepada fungsi bimbingan secara umum, yaitu diantaranya:

Fungsi bimbingan keagamaan membantu menyelesaikan persoalan kehidupan

yang dihadapi seseorang dan jika individu telah mengalami masalah mereka akan

mencari solusi atas masalah yang dihadapi berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam dengan
meningkatkan potensi keimannya. Sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia

dan di akhirat (Enjang, 2009:72-73).

Menurut pendapat Aunur Faqih Rahim (2004:37), dapat dirumuskan fungsi

bimbingan Islam adalah:

a. Fungsi freventif, yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya

masalah baginya.

b. Fungsi kuratif dan korektif, yaitu membantu individu memecahkan masalah yang

sedang dihadapi atau dialaminya.

c. Fungsi perservatif, yaitu membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi

yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan

kebaikan itu bertahan lama.

d. Fungsi development atau pengembangan yaitu membantu individu memelihara

dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau

menjadi lebih baik, sehingga tidak menjadi sumber masalah bagi dirinya dan

orang lain.

Sementara Akhmad Juntika Nurichsan (2006:9), menjabarkan bahwa fungsi

bimbingan yaitu:

a. Fungsi pengembangan merupakan bimbingan dalam mengenmbangkan seluruh

potensi dan kekuatan yang dimiliki individu.

b. Fungsi penyaluran merupakan fungsi bimbingan dalam membantu individu

memilih dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan

minat, bakat, keahlian, dan ciri-ciri kepribadian lainnya.


c. Fungsi adaptasi merupakan fungsi membantu para pelaksana pendidikan,

khusunya guru/dosen untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar

belakang pendidiakan, minat, kemampuan, dan kebutuhan individu.

d. Fungsi penyesuaian merupakan bimbingan dalam membantu individu

menemukan penyesuaian diri dan perkembangan secara oftimal.

Untuk mencapai fungsi seperti yang disebutkan diatas, dan sejalan dengan Malini

(2012:38-39), fungsi-fungsi bimbingan dan konseling islam tersebut, maka bimbingan

konseling islam melakukan kegiatan dalam garis besarnya dapat disebutkan sebagai

berikut:

a. Membantu individu mengetahui, mengenal (ta’aruf), dan memahami kedaan

dirinya sesuai dengan hakikatnya, atau memahami kembali keadaan dirinya.

Sebab dalam keadaan tertentu dapat terjadi individu tidak maengenal atau tidak

menyedari keadaan dirinya yang sebenarnya mengingat kembali individu akan

fitrahnya.

b. Membantu individu menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya, dari segi

baik dan buruknya, kekuatan serta kelemahannya, sebagai sesuatu yang memang

telah di tetapkan oleh Allah (qadha dan qadhar), tetapi juga menyadari bahwa

manusia wajib berikhtiar, kelemahan yang ada pada dirinya bukan untuk terus

menerus disesali. Dan kekuatan atau kelebihan bukan untuk membuatnya lupa

diri.

c. Membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang dihadapi saat

ini.

d. Membantu individu menemukan alternatif pemecahan masalah. Secara islami

terapi umum bagi pemecahan masalah (rohaniah) individu, seperti yang


dianjurkan al-qur’an adalah sebagai berikut: berlaku sabar, membaca, memahami

Al-Qur’an dan berzikir atau mengingat Allah.

e. Membantu individu mengembangkan kemampuan mengantisipasi masa depan,

sehingga mampu memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi

berdasarkan keadaan-keadaan sekarang atau memperkirakan akibat yang terjadi

manakala sesuatu tindakan atau perbuatan saat ini dikerjakan.

Menurut Listiawati (2006:23-24), Bentuk-bentuk bimbingan keagamaan

berdasarkan tujuan masalah yaitu:

a. Irsyad qauli, yaitu bimbingan dari mursyid ke mursyid bih yang disampaikan

secara langsung melalui lisan dan bentuk nasihat. Dalam konteks inilah seorang

mursyid harus memiliki keterampilan komunikasi terapeutik yang dapat

memperbaiki dan menyembuhkan keadaan mursyad bih.

b. Irsyad amali, yaitu bentuk bimbingan dari mursyid bih yang disampaikan secara

tidak langsung biasanya dalam bentuk prilaku, contoh, dan perbuatan baik.

Dalam konteks inilah seorang mursyid harus memiliki abilitas pribadi yang kuat

sebagai uswah hasanah dengan berakhlakul kharimah melalui indikasi sikap-

sikap sifat sabar, jujur amanah dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya antara

bentuk irsyad qauli dan irsyad amali hanya dapat dipisahkan, keduanya kadang-

kadang jalan bersama.

Kesimpulannya bahwa Irsyad qauli yaitu bimbingannya secara langsung melalui

lisan dalam bentuk nasihat sedangkan Irsyad amali bentuk bimbingannya dengan cara

tidak langsung dalam bentuk prilaku sehingga dalam pelaksanaannya antara bentuk

Irsyad qauli dan Irsyad amali kadang-kadang bersamaan.

3. Metode Dan Teknik Bimbingan Keagamaan


Lazimnya bimbingan mempunyai metode dan tekhnik masing-masing. Dalam

pengertian secara harfiyah KBBI metode adalah jalan yang harus dilalui, untuk mencapai

suatu tujuan, karena kata metode berasal dari meta yang berarti melalui dan hodos berarti

jalan. Namun pengertian hakiki dari metode ialah segala sarana yang dapat digunakan

untuk mencapai yang diinginkan baik sarana tersebut berupa fisik maupun non fisik.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode bimbingan adalah

sarana yang digunakan dalam proses bimbingan untuk mencapai suatu tujuan yang

diharapkan menuju keberhasilan.

Moh.Ali Aziz (2009:115) mengartikan metode sebagai suatu kerangka kerja dan

dasar-dasar pemikiran untuk mendapatkan cara-cara yang sesuai dan tepat untuk

mencapai suatu tujuan. Maka metode dakwah adalah suatu cara yang bisa ditempuh atau

cara yang ditentukan secara jelas oleh da’i untuk mencapai dan menyelesaikan suatu

tujuan, rencana, sistem dan tata pikir manusia dalam dakwah. Dapat pula diartikan

metode dakwah sebagai cara yang ditempuh oleh da’i dalam melakukan tugasnya

(berdakwah) guna mencapai tujuan dakwah.

Ada beberapa metode yang lazim dalam bimbingan, termasuk bimbingan

keagamaan dimana sasarannya adalah metode yang memiliki kesulitan mental spiritual

yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dalam dirinya maupun luar dirinya.

Untuk mengungkapkan segala sesuatu, maka yang akan di bimbing perlu

mendapatkan metode sebagai berikut:

a. Wawancara adalah suatu cara untuk memperoleh fakta-fakta kejiwaan yang dapat

dijadikan bahan pemetaan tentang bagaimana sebenarnya hidup kejiwaan anak


bimbingnya. Pada saat tertentu segala fakta yang diperoleh dari anak bimbing

dicatat secara teratur dan rapi dalam buku catatan.

b. Metode group guidance merupakan bimbingan yang mengungkapkan jiwa atau

batin serta pembinaannya melalui kegiatan kelompok seperti ceramah, diskusi,

seminar, dan lain-lain.

c. Metode non-directive yaitu cara lain untuk mengungkapkan segala perasaan dan

pikiran yang tertekan dengan dua cara yaitu client centered dan edukatif.

d. Metode psikoanalistis yaitu metode yang mengungkapkan segala tekanan

perasaan terutama perasaan yang sudah tidak lagi disadari.

e. Metode directive adalah metode yang lebih bersifat mengarahkan kepada anak

yang akan di bimbing untuk berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Pengarahnya yakni dengan memberikan secar langsung jawaban-jawaban setiap

permasalahan klien.

f. Metode sosiometri yaitu suatu cara untuk dipergunakan dalam mengetahui

kedudukan anak bimbingan dalam hubungan kelompok (M. Arifin, 1982: 41-4).

Adapun menurut Ainur Rahim Faqih (2001: 53-55) menjelaskan bahwa yang

harus digunakan untuk pendekatan dengan terbimbing supaya dapat mengemukakan

sesuatu `yang sedang dialaminya adalah sebagai berikut:

a. Metode langsung

Metode langsung yaitu pembimbing melakukan komunikasi langsung dengan

yang dibimbingnya, metode ini ada dua yaitu:

1) Metode individual
Teknik yang digunakan diantaranya: percakapan pribadi, kunjungan ke rumah

(home visit), kunjungan dan observasi kerja.

2) Metode kelompok

Teknik yang digunakan yaitu: diskusi kelompok, karya wisata, sosiodrama,

psikodrama, atau group teaching.

b. Metode tidak langsung

Metode tidak langsung adalah metode bimbingan yang dilakukan melalui media

komunikasi masa, hal ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok

bahkan masal, yaitu:

1) Metode individual: yaitu melalui surat menyurat atau melalui telepon.

2) Metode kelompok/masa yaitu melalui papan bimbingan, melalui surat kabar,

brosur, radio, atau televisi.

Musyfir (2005: 470-505), menyatakan bahwa Al-Qur’an menawarkan bahwa

banyak bimbingan atau terapi dalam menyikapi penyimpangan perilaku, diantaranya:

a. Menanamkan keimanan dengan akhlak ketauhidan dengan jiwa. Keimanan disini

adalah keimanan yang murni tanpa adanya campuran dengan ibadah kepada

selain Allah. Itulah keimanan yang mendatangkan ketenangan dan juga petunjuk

ke jalan kebenaran dan kebaikan.

b. Mewajibkan kepada mereka beraneka ragam bentuk ibadah, diantaranya:

1) Shalat adalah satu nama yang menunjukkan adanya suatu ikatan yang kuat

antara hamba dengan Tuhannya. Dalam shalat, hamba seolah berada

dihadapan Tuhannya dan dengan penuh kekuhusuan memohon banyak hal

kepadanya. Perasaan ini akhirnya bisa menimbulkan adanya kejernihan


spiritualitas, ketenangan hati, dan keamanan diri dikala ia mengerahkan

semua emosi dan anggota tubuhnya mengarahkan kepadanya dengan

meninggalkan semua kesibukan dunia dan permasalahannya. Shalat juga

berperan sebagai penekanan segala bentuk depresi yang timbul dari tekanan

dan permasalahan hidup keseharian dalam menekankan kekhawatiran dan

goncangan kejiwaan yang sering dialami banyak manusia.

2) Mengeluarkan zakat merupakan suatu ibadah yang dapat memberikan dan

menyucikan jiwa dengan cara meningkatkan posisinya karena kebaikan dan

keberkahan hartanya hingga ia berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dunia

dan akhirat.

3) Puasa merupakan salah satu latihan dan didikan bagi jiwa dan banyak

mengandung terapi penyakit kejiwaan dan penyakit fisik. Puasa juga mampu

menjaga ruh, hati, dan tubuh dari manfaat yang tidak terhingga khususnya

apabila dilakukan dengan seimbang dan diwaktu-waktu yang di syari’atkan

sesuai dengan kebutuhan tubuh.

4) Haji merupakan pusat pelatihan bagi manusia agar bisa melepaskan dirinya

dari kebencian dan iri dengki kepada manusia dengan memperkuat hubungan

cinta kasih dan persaudaraan islami diantara orang-orang yang melaksanakan

ibadah haji pada khususnya dan juga seluruh manusia pada umumnya, antara

lain:

a) Memerintahkan mereka untuk belajar sabar.

b) Memerintahkan mereka untuk membiasakan diri dalam mengingat Allah.

c) Memerintahkan mereka untuk meminta ampunan dan bertaubat kepada

Allah SWT atas semua kesalahan dan dosa.


d) Menggunakan metode yang beragam dalam memperbaiki perilaku yang

menyimpang seperti halnya dengan konsep yang bertahap, konsep rayuan

dan ancaman, konsep kisah dan banyak lainnya.

Adapun bimbingan keagamaan dapat menggunakan berbagai metode bimbingan

yang dianggap baik, dan efektif serta efesien, sejauh metode atau teknik tersebut tidak

bertentangan dengan norma-norma Islam.

Metode yang dapat digunakan yaitu bimbingan langsung dengan memberikan

informasi, nasihat tentang materi bimbingan dan metode tidak langsung dengan memberi

kesempatan kepada terbimbing untuk bebas memilih langkah yang terbaik sehingga

menimbulkan kesadaran dan motivasi secara mandiri, meningkatkan kualitas dan tarap

hidup individu/kelompok itu sendiri.

Pada dasarnya proses bimbingan keagamaan tentunya melibatkan unsur-unsur

tersebut, maka koordinasi yang baik antar unsur-unsur ini akan berpengaruh terhadap

jalannya proses bimbingan keagamaan ini. Sehingga unsur-unsur tersebut mutlak ada

dalam sebuah proses bimbingan termasuk bimbingan keagamaan.

4. Sasaran Bimbingan Keagamaan

Sasaran bimbingan keagamaan yaitu menghindarkan anak yang di bimbing dari

segala jenis hambatan belajar, baik bersifat psikologis maupun fisiologis (rohaniyah).

Sebagaimana diungkapkan oleh Dewa Ketut Sukardi (2009: 231) bahwa secara umum

sasaran bimbingan adalah mengembangkan apa yang terdapat pada diri tiap-tiap individu

secara optimal agar setiap individu biasa berguna bagi dirinya sendiri, lingkungannya,

masyarakat pada umumnya. Secara lebih khusus sasaran bimbingan mencakup tahapan-

tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan (1) pengungkapan, pengenalan dan


penerimaan diri. (2) pengenalan lingkungan (3) pengambilan keputusan (4) pengarahan

diri (5) perwujudan diri. (1993: 9) menurut teori lain bahwa yang dikatakan sasaran

bimbingan adalah terbimbing yaitu individu baik orang perorang maupun kelompok,

yang menghadapi masalah ataupun tidak, sesuai dengan fungsi bimbingan dengan

demikian terbimbing biasa, meliputi banyak orang berbeda dengan konseling yang

subjeknya orang yang mempunyai masalah.

Menurut Thohari Musnamar (2001:34) secara lebih spesifik terbimbing (pihak

yang dibimbing) dalam bimbingan dan konseling adalah:

a. Individu atau kelompok yang tidak beragama dan belum meyakini akan perlunya

agama.

b. Individu atau kelompok individu yang tidak atau belum beragama dan bermaksud

beragama, tetapi belum mempunyai keyakinan yang pasti untuk menganut agama

yang mana.

c. Individu atau kelompok individu yang senantiasa goyah keimanannya sehingga

terlalu mudah untuk berganti-ganti agama.

d. Individu atau kelompok individu yang menghadapi konflik keagamaan karena

memperoleh informasi yang berbeda mengenai ajaran agama.

e. Individu atau kelompok individu yang kurang pemahamannya mengenai ajaran

(Islam) sehingga melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak semestinya

syariat Islam.

f. Individu atau kelompok individu yang belum menjalankan ajaran agama Islam.

5. Materi Bimbingan Keagamaan


Materi adalah salah satu hal yang harus ada dalam suatu bimbingan, jika tidak

tujuan bimbingan tidak akan terwujud. Pada dasarnya materi pokok yang disampaikan

dalam bimbingan keagamaan merupakan inti dari ajaran islam itu sendiri.

Materi bimbingan keagamaan adalah pesan-pesan, materi atau segala sesuatu

yang harus di sampaikan oleh seorang kiyai kepada santri, yaitu keseluruhan ajaran

islam, yang ada di dalam kitabullah maupun sunah rasul-Nya. (Enjang AS, Aliyudin,

2009:80 yang dikutip oleh Hafi Anshari, 1993:,146).

Menurut Enjang As (2009:80), materi-materi tersebut tergolong 7 komponen,

sebagai berikut:

a. Aqidah (keimanan) aspek ajaran islam yang berhubungan dengan keyakinan,

yang meliputi rukun iman, atau segala sesuatu yang yang harus diimani atau

diyakini menurut al-Qur’an dan Sunah.

b. Syari’ah (keislaman) yang merupakan dimensi peribadatan atau praktik agama.

Syraiah merupakan aturan yang diberikan Allah yang berhubungan dengan lahir

dalam rangka mentaati semua hukuman yang telah ditentukannya. Syariah

mengatur pergaulan hidup dengan kehidupan manusia.

c. Akhlak (ihsan) yang merupakan dimensi pengalaman, adalah amalan yang

bersifat pelengkap dan penyempurna dari kedua amal diatas dan yang

mengajarkan tentang pergaulan hidup manusia.

d. Ibadah merupakan aspek ajaran islam yang berhubungan dengan ritual dalam

rangka pengabdian kepada Allah.

e. Muamalah merupakan aspek ajaran islam yang mengajarkan berbagai aturan

dalam tata kehidupan sosial (bermasyarakat) dalam berbagai aspeknya.


f. Sejarah merupakan peristiwa-peristiwa perjalanan hidup yang dialami umat

manusia yang diterangkan Al-qur’an untuk senantiasa diambil hikmah dan

pelajarannya.

g. Prinsip-prinsip pengetahuan dan tekhnologi merupakan petunjuk-petunjuk

singkat yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mengadakan analisa

dan mempelajari isi alam dan perubahan-perubahannya.

Masalah aqidah dalam islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencangkup

masalah-masalah yang berkaitan erat dengan rukun iman, serta meliputi masalah-

masalah yang dilarang sebagai lawan dari rukun iman, seperti syirik (menyekutukan

Allah), tidak percaya adanya Allah, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan

keyakinan.

Sedangkan syari’ah dalam islam berhubungan erat dengan amal lahir amal lahir

manusia dalam rangka mentaati semua peraturan yang menjadi hukum Allah. Untuk

mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah), seperti masalah

hokum shalat, puasa, zikir dan lain sebagainya.dan mengatur hubungan manusia dengan

sesama manusia (hablum minannaas), seperti hukum jual beli, berumah tangga, mencuri

dan sebagainya.

Adapun prilaku manusia sebagai perwujudan dari iman dan syari’at yang

diamalkan oleh manusia.Akhlak ini merupakan hal yang melengkapi keimanan dan

keislaman seseorang. Akhlak adalah penyempurnaan keimanan dan keislaman manusia.

Kata akhlak berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak dari kata

khuluuqun, yang menurut bahasa artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau

tabiat”.
Keimanan yang teguh kepada Allah dapat menjadi landasan dalam melakukan

segala hal yang tentunya sesuai dengan kehidupan islam. Menurut Tatang (1994:76),

Akhlak terbagi menjadi dua macam, yaitu akhlak yang terpuji (akhlak al-mahmudah),

dan akhlak tercela (akhlak al-madzmumah) akhlak mahmudah yaitu segala macam sikap

dan tingkah laku yang baik (terpuji). Karena perbuatan ini dilandasi dengan keimanan

dan senantiasa mencontohkan kepada akhlak baginda Nabi Muhammad SAW.

Sebaliknya akhlak madzmumah yaitu segala sikap dan tingkah laku yang tercela.

6. Tahap Pelaksanaan Bimbingan Keagamaan

Menurut Arifin (1982:20-22), langkah-langkah pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan

meliputi hal-hal berikut:

a. Tahap persiapan

Pemantapan tentang perumusan tujuan bimbingan dan penyuluhan agama secara

oprasional yang jelas yaitu:

1) Mempengaruhi dan menggerakan minat dan perhatian kepada kegiatan

bimbingan dengan melalui motivas-motivasi (yang bersumber dari ajaran

Tuhan). Melalui motivasi ini, akan dibangkitkan dengan rasa dan nilai

keimanannya agar bergairah dalam belajarnya. Dengan demikian berarti

ajaran-ajaran, nilai-nilai agama mulai menjiwa dan mewarnai bimbingan.

2) Tahap selanjutnya adalah bertujuan untuk mendorong mahasiswa dengan

motivasi-motivasi yang bersumberkan agama dan juga motivasi sosial,

sehingga mahasiswa tersebut timbul kesediaan untuk mengamalkan ajaran

agama ditengah masyarakat.

b. Tahap operasional
Program pengumpulan informasi atau data tentang mahasiswa, yang bertujuan

untuk memperoleh keterangan atau data yang mencangkup segala aspek kehidupan

mahasiswa yang mempunyai pengaruh terhadap kegiatan proses bimbingan.

Informasi dan data tersebut jenis-jenis sebagai berikut:

1) Indentitas pribadi mahasiswa.

2) Keadaan keluarga dan lingkungan sosial, termasuk lingkungan keluarga dan

sosial yang dapat atau tidaknya menunjang kehidupan beragama mahasiswa.

3) Data praktis mahasiswa meliputi aspek-aspek intelektual (kecerdasan),

emosional (perasaan), kemauan kuat atau lemah, kepribadian, dan sikap

kepemimpinan, rasa tanggung jawab, hubungan sosial dan minatnya,

lingkungan dan pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi mahasiswa,

baik yang menyangkut pengaruh keagamaan, moral sosial, kebiasaan hidup

sehari-hari, kebiasaan belajar, dan sebagainya.

4) Pemberian informasi dan orientasi kepada mahasiswa. Tujuannya agar

mahasiswa mendapat gambaran yang jelas tentang kedaan dan kondisi

pendidikan yang hendak dilaluinya, informasi dan orientasi tersebut diberikan

baik secara lisan maupun dengan cara kelompok atau bersama.

5) Penempatan dan penyuluhan mahasiswa, dengan tujuan agar mahasiswa

mendapat posisi atau kedudukan yang tepat sesuai dengan kemampuan

aspirasinya dalam pemberian bantuan melalui penyuluhan.

6) Pemberian bantuan dengan memecahkan masalah belajar siswa agar sukses

dalam belajarnya lebih lanjut sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Bantuan tersebut dilakukan dengan melalui prosedur dan langkah-langkah

sebagai berikut:

a) Indentifikasi masalah yang dialami siswa.


b) Diagnose guna mengetahui jenis dan sifat kesulitannya yang dialami oleh

siswa dan apa latar belakangnya.

c) Prognosa yaitu menetapkan langkah-langkah bantuan yang harus

diberikan kepada siswa yang indentifikasi menemui kesulitan.

d) Pemberi bantuan berupa usaha memecahkan masalah yang dihadapinya.

e) Evaluasi dan tindak lanjut guna mengetahui hasil pemberi bantuan yang

telah diberikan siswa yang bersangkutan.

7) Hubungan masyarakat melalui berbagai cara dan kesempatan yang bertujuan

agar dapat terbina pemahaman dan pengertian serta saling membantu

dikalangan orang tua murid khusunya serta masyarakat pada umumnya

tentang pentingnya program bimbingan.

8) Melakukan penilaian atas pelaksanaan program bimbingan yang telah

diberikan kepada siswa untuk mengetahui sampai dimana efektivitas dan

efesiennya yang hubungan dengan program pendidikan pada umumnya.

Hasilnya akan digunakan sebagai data masukan untuk penyempurnaan

program lebih lanjut.

B. Konsep Dasar Kesadaran Beribadah

1. Pengertin Kesadaran Beribadah

a. Pengertian Kesadaran

Kesadaran berasal dari kata dasar “sadar” yang memiliki arti insaf, yakin, merasa, tahu

dan mengerti, sehingga kesadaran berarati keadaan tahu, mengerti dan merasa atau keinsafan

(yang timbul dari hati nurani) (Poerwodarminto, 1982: 847).

Pengertian lebih mendalam mengenai kesadaran menurut paham positivis sebagaimana

dikatakan oleh Komarudin (1993:91), kesadaran merupakan keseluruhan isi dari unsur-unsur

yang tersendiri-sendiri. Kesadaran merupakan unsur pokok pembeda antara manusia dengan
hewan, karena kesadaran dapat diperoleh melalui proses berfikir dimana hal yang dapat

membedakan manusia dengan binatang adalah pada kesanggupan berfikir.

Kesadaran penuh yang kita maksudkan adalah, keadaan dimana pikiran dan perasaan

seseorang tidak berbeda dengan apa yang dikerjakan dan diucapkan. Persepsi menyatu

dengan tindakan dan ucapan. Pikirannya tidak dipenuhi berbagai praduga. Apabila pikiran

tertuju pada apa yang sedang dikerjakan, apabila hati sepenuhnya terlibat di dalamnya, dan

apabila tidak ada sesutau yang membuatnya lalai, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut

telah memiliki kesadran penuh (Ghazali, 2001 :26-27).

Kesadaran dalam Islam merupakan hal yang sangat penting untuk diciptakan. Hal ini

diseababkan kesadaran itu diperlukan untuk mencapai siatuasi kehidupan yang lebih baik. Inti

dari hidup sesungguhnya kesadaran diri. Setiap diri  semestinya menyadari akan

eksistensinya sebagai manusia di samping sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.

Oleh karena itu semestinya setiap diri memiliki kesadaran yang tinggi dikaitkan dengan

tujuan hidup, tugas hidup, tantangan hidup, teman hidup, lawan hidup, perbekalan hidup dan

berakhirnya kehidupan (Abi Abdullah, 2000).

Dari segi tujuan hidup, manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah kepadanya dan

menjadi khalifah di muka bumi. Beribadah kepada Allah (abdi) dilakukan dengan penuh

keihlasan dalam penghambaan.(Qs. Az-Zariyat: 56 dan Al-Bayyinah: 5). Prinsip beribadah

dalam menjalankan kehidupan akan mendorong manusia untuk selalu berbuat optimal dan

terhindar dari perasaan terpaksa dan memberatkan. Begitu pula halnya sebagai khalifat yang

ditugaskan untuk mengatur dan menata kelola kehidupan di bumi dengan cara-cara yang

dirdhoi Allah swt yakni dengan kasih sayang dan keadilan serta  menjadi rahmat bagi

sekalian alam.
Menurut Achmad Mubarok (2005) mengemukakan indikator  yang dijadikan identitas

atau karakteristik dari kesadaran atau tanda-tanda khusus dari kesadaran antara lain:

1) Tahu dan mengerti dengan apa yang diucapkan dan yang dilakukan.

2) Bertanggung jawab.

3) Sanggup menerima amanah.

4) Mengenal dan memahami serta menerima diri dengan berbagai bentuk

kelebihan dan kekurangan.

5) Memiki kesiapan dalam menjalani kehidupan dan mengerti resiko yang akan

dihadapi sebagai konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan.

b. Pengertian Ibadah

Arti ibadah yaitu penyembahan seseorang hamba terhadap tuhannya yang dilakukan

dengan merendahkan diri serndah-rendahnya, dengan hati yang ikhlas menurut cara-cara

yang ditentukan oleh agama (Abidin dan suyono,1998: 11).

1) Menurut ahli Bahasa mengartikan dengan, menurut, mengikut, tunduk, dan

mereka mengartikan juga dengan: tunduk yang setinggi-tingginya, dan

dengan do‟a.

Dengan arti tha‟hat dipakai kata „ibadat dalam firman Allah:

            

  

Artinya: Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam

supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah

musuh yang nyata bagi kamu",(QS. yasin: 60).

2) Menurut ulama tauhid, tafsir dan hadits mengartikan Ibadah dengan,

mengesakan Allah, menta‟dhim-Nya dengan sepenuh ta‟dhim serta


menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepadaNya. Menurut Ikrimah,

Segala lafadh ibadah dalam Al Qur‟an, diartikan dengan tauhid. Allah s.w.t

berfirman :

Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.(Q.S Adz-Dzaariyat:56).

3) Menurut Ulama Akhlak

Ulama akhlak mengartikan „Ibadah dengan :

‫العمل با لطا عا ث البد نيت والقليا م با لشرا‬

“Mengerjakan segala tha’hat badaniyah dan menyelenggarakan segala

syari’at(hukum).

Dalam pengertian ini masuk “akhlak” (budi pekerti) dan dan masuk segala

“tugas hidup” (kewajiban-kewajiban yang diwajibkan atasseseorang pribadi),

baik mengenai diri sendiri, maupun mengenai keluarga dan masyarakat

bersama.

4) Menurut ulama tasawwuf

Ibadah terbagi menjadi tiga

a) Ber‟ibadah kepada Allah karena mengharap benar akan memperoleh

pahala-Nya atau karena takut akan siksanya.

b) Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa „ibadah itu

perbuatan mulia, dilakukan oleh orang yang mulia jiwanya.

c) Ber‟ibadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak

disembah (di „ibadati), dengan tidak memperdulikan apa yang akan

diterima, atau diperoleh dari padaNya (Shiddieqy.1994 :3-4).

5) Pengertian menurut Fuqaha


Dalam pengertian Fuqaha “Ibadah” itu, ialah

‫ما أديج ابتغاءلىجه هللا وطلبا لثىا به ف االخرة‬

“Segala ta’at yang dikerjakan untuk mencapai keridlaan Allah dan

mengharap pahala-Nya di akhirat”.

Adapun makna ta‟abbud, atau beribadah, ialah “melaksanakan segala hak

Allah”. Perkataan Ta‟abbud diambil dari perkataan “Ubudiyah”

(memperhambakan diri) (Shiddieqy,1994: 1-5).

6) Menurut ibnu katsir, ibadah merupakan himpunan kesempurnaan cinta,

tunduk, dan takut kepada Allah (Tono dan Sularno, 1998: 3).

Jadi kesadaran beribadah merupakan keinsafan yang timbul dari hati nurani untuk

membaktikan atau mengabdikan diri kepada Allah dengan cara mengamalkan atau

menunaikan segala yang diperintahkan oleh Allah. Kesadarn beribadah juga bisa

dikatakan sebagai kesadaran beragama, karena tujuan beragama adalah ibadah.

c. Ruang Lingkup ibadah

Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:

1) Ibadah umum

Artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka

mencari keridaan Allah. Unsur terpenting agar dalam melaksankan segala

aktivitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar bernilai ibadah adalah “niat”

yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama dengan menempuh jalan yang halal

dan menjauhi yang haram.

2) Ibadah khusus
Artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditetukan dalam syara‟

(ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). Ibadah khusus ini bersifat

tetap dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai dengan peraturan dan

tuntunan yang ada, tidak boleh mengubah, menambah, mengurangi, seperti

tuntunan bersuci (wudhu), salat, puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat (Tono

dan Sularno, 1998: 7).

d. Perintah Ibadah

Untuk mewujudkan hamba itu benar-benar melaksanakanperintah beribadah, maka

Tuhan memerintahkan hamba-Nya, meng‟ibadahi-Nya. Tuhan mengeluarkan perintah-Nya

ini, sebenarnya, adalah suatu keutamaan-Nya yang besar kepada kita. Jika kita renungi

hakikat „ibadah, kita pun yakin, bahwa perintah beribadah itu, pada hakikatnya berupa

peringatan: memperingatkan kita untuk menunaikan kewajiban terhadap “Tuhan” yang telah

melimpahkan karunia-Nya. Allah s.w.t. berfirman :

          



Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-

orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS.Al-Baqarah: 21)

1) Dasar hukum disyariatkannya shalat

Salat merupakan ibadah pertama yang diwajibkan dalam Islam. Kewajiban itu

diterima Nabi Muhammad SAW langsung dari “sidrat al muntaha” sewaktu peristiwa

Isra‟ dan Mi‟raj. Shalat adalah ibadah pertama yang akan ditanyakan di hari kiamat.

Ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakan shalat berarti suatu bentuk

ibadah khusus yang menjadi salah satu sendi ajaran agama Islam. Karena itu, ibadah
yang paling utama bagi setiap manusia adalah shalat. Allah berfirman dalam surat

Ibrahim (14): 31 berbunyi:

         

           

31. Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah

mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada

mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang

pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan. (Q.S Ibrahim :31)

Shalat diwajibkan kepada orang-orang yang beriman dengan ditentukan waktu-

waktunya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa‟ (4): 103 yang berbunyi:

          

         

 

103. “…Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas

orang-orang yang beriman”.Al-Quran (Tono dan Sularno, 1998: 21-22).

2. Indikator-indikator Kesadaran Beribadah

Adanya indikator kesadaran beribadah dalam beragama pada seseorang yaitu dengan

adanya keselarasan atau kesesuaian antara kententraman hati dan tingkah laku, serta sikapnya

akan mengarah pada hal-hal yang positif dan produktif. Di dalam kesadaran beribadah dalam

beragama akan nampak pada seseorang nilai-nilai keagamaan yang akan mempengaruhi

gejolak jiwanya.
Salah satu indikator adanya kesadaran beribadah dalam beragama bagi seseorang

disebabkan karena adanya dorongan beragama, dorongan beragama merupakan dorongan

psikis yang mempunyai landasan ilmiah dalam waktu kejadian manusia. Dorongan psikis

manusia tersebut mempunyai interpretasi baru bagi dirinya untuk mengenal dan bertaqwa

kepada Allah SWT. Sesungguhnya keadaan seperti ini dapat dilihat pada tingkah laku dalam

kehidupan manusia hanya saja konsepsi manusia dalam mengekspresikan keberagamaanya

tersebut terbeda-beda. Namun yang penting adalah bukan konsep keberagamannya, tetapi

dorongan jiwanya untuk beragama. (Usman Najah, 1985: 40)

Seseorang yang tidak mengalami perubahan-perubahan terhadap perilaku keagamaan

dan sosialnya setelah melakukan ibadah-ibadah spiritual, maka sama saja dengan tidak

melakukan ibadah keagamaan karena tidak memberikan bekas kepada yang melakukannya.

Seharusnya orang yang telah melakuka ibadah spritual seperti shalat, puasa, dzikir dan lain

sebagainya harus mendapatkan dampak serta mengalami perubahan-perubahan atas prilaku

keagamaan dan sosialnya.

Dalam perilaku ritual, semakin energis dalam melakukan ibadah ritualnya, seperti

meningkatnya shalat sunnaah, gemar membaca al-qur’an dan lain sebagainya. Sementara itu

dalam perilaku sosialnya, ia semakin kuat dan nilai solidaritasnya semakin tinggi, seperti

suka menolong tanpa mengharapkan imbalan, toleransi beragama dan sikap-sikap sosialnya.

Dalam kontek agama bagi kehidupan manusia, terdapat dua dimensi keberagamaan

yang memiliki ketrkaitan dalam kehidupan para pemeluk umat keberagamaan yang memiliki

keterkaitan dalam kehidupan para pemeluk umat beragama, yaitu: pertama, agama digunakan

oleh para pemeluknya sebagai pandangan hidup yang menjelaskan keberadaan manusia di

dunia sehingga agama merupakan satu-satunya kebudayaan yang menjelaskan ke arah dan

tujuan hidup manusia. Kedua, agama tidak hanya menagatur hubungan manusia dengan
Tuhan, melainkan mengatur juga hubungan manusia dengan manusia hanya sehingga agama

bersifat oprasional dalam kehidupan sosial manusia. (Header Natsir, 1997: 103)

Secara psikologis kedua hal ini dapat menjadi indikator adanya kesadaran beribadah

dalam beragama pada manusia. Sebab agama bagi manusia itu merupakan fitrah yang tidak

dapat dipungkiri untuk mewujudkan nilai-nilai moral manusia, maka adanya perwujudan

nilai-nilai moral manusiawi inilah dapat dikatakan sebagai implementasi dari kesadaran

beribadah dalam beragama.

3. Tingkatan-tingkatan Kesadaran Beribadah

Dalam hal perkembangannya, manusia mengalami beberapa perkembangan,

diantaranya masa anak-anak, remaja, dan dewasa dan pada fase-fase tersebut tingkat

kesadaran beragamannya sudah tentu berbeda. Oleh karena itu mengenai tingkatan-tingkatan

kesadaran beribadah dalam beragama akan dibahas pada tingkatan pada masa remaja dan

dewasa saja, karena penelitiannya ditunjukan terhadap mahasiswa. Brikut tahapan-

tahapannya:

a. Kesadaran beribadah pada masa remaja

Remaja semakin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan bukan hanya

sekedar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa

“pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi

milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah

pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, cita-cita dan kehidupan psikologis

rohaniah lainnya adalah milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribdi ini dinamakan

“individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri

sendiri, antara aku dan bukan aku, antara subjek dan dunia sekitar.
Penelusuran diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa

kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Dalam rasa kesendiriannya, remaja

memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya,

melindungi, membimbing, mendorong dan memberi petunjuk jalan yang dapat

mengembangkan kepribadiannya.

Keadaan labil yang menekan menyebabkan remaja mencari ketentraman dan pegangan

hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya, perasaan yang tidak dipahami oleh

orang lain dan penderitaan yang dialaminya, menjadika remaja berpaling kepada Tuhan

sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung dan penunjuk jalan dalam keguncangan

psikologi yang dialaminya. Si remaja menemukan semua yang dibutuhkan itu dalam

keimanan kepada Tuhan.

b. Kesadaran beribadah pada masa dewasa

Masa dewasa merupakan salah satu fase dalam rentang kehidupan individu setelah

masa remaja. Pengertian masa dwasa ini dapat dihampiri dari sisi biologis, psikologis, dan

padagogis (moral-spiritual). Dan sisi biologis masa dewasa dapat diartikan sebagai suatu

priode dalam kehidupan individu yang ditandai dengan pencapaian kematangan tubuh secara

optimal dan kesepian untuk bereproduksi (berketurunan).

Dari sisi psikologis, masa ini dapat diartikan sebagai priode dalam kehidupan individu

yang ditandai dengan ciri-ciri kedewasaan atau kematangan, yaitu:

1) Kesetabilan emosi (emotional stabilly), mampu mengendalikan perasaan, tidak

lekas marah, sedih, cemas, gugup, frustrasi, atau tidak mudah tersinggung.
2) Memiliki sens of reality kesadaran realitasnya cukup tinggi, mau menerima

kenyataan tidak mudah melamun apabila mengalami kesulitan, dan tidak

menyalahkan oramng lain atau keadaan apabila menghadapi kegagalan.

3) Bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda.

4) Bersikap optimis dalam menghadapi kehidupan.

Sementara dari sisi padagogis, masa dewasa ini ditandai dengan adanya tanda-tanda

sebagai berikut:

1) Rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap perbuatannya, dan juga

erhadap kepeduliannya memelihara kesejahteraan hidup dirinya sendiri dan orang

lain.

2) Berperilaku sesuai dengan norma atau nilai-nilai agama.

3) Memiliki pekerjaan yang dapat menghidupi diri dan keluargannya.

4) Berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesadaran Beribadah

Jiwa beragama atau keasadaran beribadah dalam beragama merujuk kepada aspek

rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasinya

melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminnallah maupun

hablumminnannas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil

dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang

terhadap nilai-nilai agama.

Setiap individu yang dilahirkan didunia ini memiliki suatu hereditas tertentu. Ini berarti

karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau pemindahan cairan-cairan germinal

dari kedua orang tuanya. Adapun pertumbuhan dan perkembangan individu ini tidak terlepas

dari lingkungannya, baik fisik, psikologis, maupun lingkungan social (Dalyono, 1997:120).
Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi kesadaran beribadah ataupun kepribadian

seseorang secara garis besar berasal 2 faktor, yaitu faktor internal (dari dalam atau

pembawaan) dan faktor eksternal (dari luar atau lingkungan).

a. Faktor Internal (Fitrah)

Faktor internal disini adalah faktor dari dalam diri seseorang yaitu segala sesuatu yang

dibawa sejak lahir (fitrah). Fitrah disini adalah kemampun dasar yang suci pada setiap orang

yang lahir, yaitu kepercayaan akan adanya tuhan. Fitrah akan berlangsung lurus atau

sebaliknya, tergantung pada pengaruh dan usaha orang tua dan lingkungan yang mendidiknya

(Thalib, 1996:196).

Motivasi beragama timbul dari realisasi potensi manusia sebagai mahkluk rohaniah.

Motivasi kehidupan Bergama mulanya berasal dari dorongan biologis seperti rasa lapar, haus,

dan kebutuhan jasmaniah lainnya. Motivasi beragama juga dapat juga berasal dari kebutuhan

psikologis seperti rasa kasih sayang, pengembangan diri, kekuasaan, rasa ingin tahu dan

kebutuhan psikologis lainnya (Ahyadi, 1995:52).

Perbedaan hakiki antara mnusia dan hewan adalah bahwa manusia memiliki fitrah

(potensi) beragama. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif

(bersahaja) maupun yang moderen; baik yang lahir di negara komunis maupun beragama;

baik yang lahir dari orang tua yang shalih maupun yang jahat, sejak Nabi Adam sampai akhir

zaman, menurut fitrahnya mempunyai potense beragama, keimanan kepada Tuhan, atau

percaya terhadap suatu dzat yang mempunyai kekuatan yang menguasai dirinya atau alam

dimana dia hidup. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara

alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama, sehingga fitrahnya ini berkembang

secara benar sesuai denga kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa manusia mempunyai

fitrah beragama merujuk kepada firman Allah, sebagai berikut:


           

               

 

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi

mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

“Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami

menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak

mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap

ini (keesaan Tuhan)” ”. (QS. Al-A’raf: 172)

b. Faktor Eksternal (lingkungan)

Faktor fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecedrungan

untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada faktor

luar (eksternal) yang memberikan pendidikan (bimbingan, pengjaran, dan latihan) yang

memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor itu tiada lain adalah

lingkungan dimana individu (anak) itu hidup, yaitu keluarga, sekolah (kelembagaan), dan

masyarakat.

1) Lingkungan keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat

ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial didalam hubungan

dengankelompoknya. Kelompok yang ada dalam keluarga merupakan kelompok primer yang

termasuk ikut serta dalam pembentukan norma-norma sosial pada diri seseorang.
Pengalaman-pengalaman interaksi sosial dalam keluarga juga ikut menentukan cara

bertingkah laku terhadap orang lain dalam pergaulan sosial diluar keluarganya, termasuk

menentukan perilaku keagamaannya dan bagaimana mereka melaksanakan ajaran agama.

Dalam hal ini, orang tua memiliki peran penting sebagai Pembimbing pribadi yang

pertama dalam kehidupan anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka

merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung yang dengan sendirinya akan masuk

dan mempengaruhi pribadi anak yang sedang tumbuh dan berkembang (Daradjat, 1970:56).

Anak yang baru lahir merupaka mahluk yang tidak berdaya namun ia dibekali oleh

berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini terlihat adanya dua asfek yang

kontradiktif. Di satu bayi atau anak yang baru lahir berada dalam kondisi tanpa daya,

sedangkan di pihak lain anak memiliki kemampuan untuk berkembang (ekspioratif).

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.

Perkembangan agama berjalin unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk didentifikasi secara

jeas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya.

Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana, agama terjalin

dan terlihat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama

itu berkembang.

Jadi dengan melalui hubungan yang baik antara orang tua dan anak dalam proses

pendidikan, maka kesadaran beragama dapat berkembang melalui peran keluarga dalam

mempengarui dan menanamkannya terhadap anak, dimana orang tualah yang

bertanggungjawab untuk membentuk perilaku keagamaan pada diri anak dalam kaitannya

kesadran beribadah.

2) Lingkungan sekolah
Pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian peserta didiknya amat besar,

karena sekolah merupakan sibstitusi dari kelurga dimana guru berperan layaknya orang tua

untuk mengembangkan potensi peserta didiknya. Oleh karena itu, sekolah dalam hal ini

terutama guru, mempunyai peran yang sangat penting dalam mengembangkan wawsan

pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau pembiasaan berakhlak baik terhadap

anak didik (yusuf, 2001:141).

3) Lingkungan Pendidikan Agama

Lingkungan pendidikan agama juga turut andil dalam pembenahan kepribadian dan

kebiasaanindifidu, baik pendidikan itu bersifat formal atau non formal.

Sebagai contoh sekolah, atau pesantren yang semua Guru/Ustadz-nya membiasakan

gotong royong dan sholat berjama’ah, maka secara tidak langsung siswa/santri akan meniru

dan terbiasa melakukan gotong royong dan sholat berjama’ah.

4) Lingkungan Masyarakat

Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial

dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama.

Di sinilah terjadi hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai

agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi

pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan

yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian fungsi peran masyarakat

akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma

keagamaan itu sendiri.

5) Media Komonikasi Yang Membawa Misi Agama


Melalui alat komonikasi yang berkenaan dengan agama, maka secara otomatis

perubahan prilaku yang muncul adalah perubahan prilaku dalam ber-agama.

Sebagai contoh, seorang siswa atau santri yang selalu giat membaca media komonikasi

berupa buku-buku dan kitab-kitab yang berisi tentang anjuran sholat berjama’aah, maka

secara otomatis jiwanya akan terdorong untuk melakukan dan membiasakan sholat

berjama’ah. 

6) Kewibawaan Orang Yang Mengemukakan Sikap Dan Prilaku

Dalam hal ini mereka adalah yang ber-otoritas dan ber-prestasi tinggi dalam

masyarakat; yaitu para pemimpin baik formal atau pun non formal. Dengan kewibawaan

mereka, akan dengan mudah muncul simpati dan sugesti mereka pada seseorang atau

masyarakat, sehingga nasehat atau petuah yang mereka sampaikan akan dapat dengan mudah

diterima dan dilaksanakan oleh seseorang atau masyarakat yang pada kelanjutannya akan

membawa kepada kejiwaan indifiduatau masyarakat beragama yang lebih baik. (Nur Falah

Yasin : 2008)

Anda mungkin juga menyukai