Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

HALUSINASI

Dosen Pembimbing:Dwi Ariani Sulistyowati.,SKp.,Ns.,M.Kep.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 7

1. Alfi Aunillah Hendrawan (P27220020139)


2. Annas Tasya Mifta Firdawati (P27220020144)
3. Fathiya Rahadatul ‘Aisy (P27220020154)
4. Rinda Rachel Almaira (P27220020174)

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

D4 KEPERAWATAN

2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam atas segala karunia
nikmat-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan sebaik -
baiknya. Makalah yang berjudul “Makalah Keperawatan Jiwa : Halusinasi”
disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
yang diampu oleh Ibu Dwi Ariani Sulistyowati, S.Kp.,Ns., M. Kep.

Makalah ini masih jauh dari sepurna. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca, terima kasih.

Surakarta, 8 Februari 2022

Penulis

2ii
DAFTAR ISI

COVER………………………...……………………..……........................….... i

KATAPENGANTAR………………………...……………………………..... ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..... iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………………………….. 4


B. Tujuan Penulisan …………………………………………………………... 5
C. Manfaat Penulisan ……………………………………………………….… 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Halusinasi ………….………………………………………....... 6


B. Klasifikasi Halusinasi…………………………………………………….... 6
C. Etiologi Halusinasi……………………...…………………………….....…. 7
D. Mekanisme Koping …………….………………………………………..… 9

BAB III : RINGKASAN DAN ANALISIS JURNAL

A. Ringkasan jurnal ………...……………………..…………………………. 10


B. Analisis Jurnal ………...……………………..………………………….… 11
C. SOP CBT…...………………………………………….........……….…..... 14

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………..……………………….….. 19
B. Saran …………………………………………..……………………….… 19

DAFTAR PUSTAKA

3
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Funan (2019), gangguan jiwa merupakan gangguan dalam


fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang
ditandai oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham), gangguan
persepsi berupa halusinasi atau ilusi, serta dijumpai daya nilai realitas yang
terganggu yang ditunjukan dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare).Saat ini
gangguan mental menjadi salah satu kontributor terbesar beban penyakit dan
penyebab kematian di Indonesia. Perkiraan jumlah penderita gangguan jiwa
di dunia adalah sekitar 450 juta jiwa, termasuk skizofernia (WHO, 2017
dalam Kemenkes RI). Pasien dengan skizofernia mengalami gejala utama
berupa halusinasi. Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana
klien mengalami perubahan presepsi sensori, seperti merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, ppengecapan, perabaan dan penciuman.
Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada, selain itu perubahan
preepsi sensori tetang suatu objek, gambaran, pikiran yang sering terjadi
tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua system penginderaan,
pendengaran, penglihatan, penciuman, perbaan atau pengecapan (Keliat
dkk, 2012).

Masalah kesehatan jiwa adalah masalah yang sangat


mempengaruhi produktifitas dan kualitas kesehatan perorangan maupun
masyarakat yang tidak mungkin ditanggulangi oleh satu sektor saja, tetapi
perlu kerjasama multi sektor (Funan, 2019). Federasi Dunia untuk
Kesehatan Jiwa mencanangkan seruan untuk mendorong investasi di
bidang kesehatan jiwa (Anna, 2011, dalam Funan). Peran perawat sangat
penting dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
masalah halusinasi. Asuhan keperawatan yang professional diberikan
melalui pendekatan proses keperawatan. Ketepatan dan keakuratan

4
intervensi sesuai dengan jurnal penelitian terbaruakan menunjang
pemberian asuhan secara maksimal.

B. Tujuan Penulisan
1. Mampu menjelaskan konsep dasar halusinasi.
2. Mampu menjelaskan etiologi halusinasi.
3. Mampu memilih dan melaksanakan intervensi keperawatan secara
akurat dan tepat bagi penderita gangguan halusinasi.

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Penulisan karya tulis ilmiah ini juga bermanfaat untuk mengetahui
antara teori dan kasus nyata yang terjadi di lapangan.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi rumahsakit untuk menambah pengetahuan
perawat dalam dengan gangguan halusinasi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Halusinasi.
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca
indra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien
mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman. Pasien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa
mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas (Yusuf, PK, & Nihayati,
2015).

B. Klasifikasi Halusinasi
Tabel 1.
Jenis Halusinasi.

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi Dengar / • Bicara atau tertawa sendiri. • Mendengar suara-suara atau
Suara • Marah-marah tanpa sebab. kegaduhan.
• Mengarahkan telinga ke arah • Mendengar suara yang
tertentu. mengajak bercakap-cakap.
• Menutup telinga. • Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya.
Halusinasi • Menunjuk-nunjuk ke arah Melihat bayangan, sinar, bentuk
Penglihatan tertentu. geometris, bentuk kartun, melihat
• Ketakutan pada sesuatu yang hantu, atau monster.
tidak jelas.
Halusinasi • Mencium seperti sedang Membaui bau-bauan seperti bau
Penciuman membaui bau-bauan tertentu. darah, urine, feses, dan kadang-
• Menutup hidung. kadang bau itu menyenangkan.
Halusinasi • Sering meludah • Merasakan rasa seperti darah,
Pengecapan • Muntah. urine, atau feses.
Halusinasi Perabaan Menggaruk-garuk permukaan • Mengatakan ada serangga di
kulit. permukaan kulit.
• Merasa seperti tersengat listrik.
Sumber : Yusuf, dkk, 2015dalam Funan.

6
C. Etiologi Halusinasi (Nurhalimah, 2016; Yusuf, dkk, 2015; dalam
Funan)
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep Stress
Adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan
presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
yang dapat meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir
dengan gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
b. Faktor Genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya
ditemukan pada pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup
tinggi pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya
mengalami skizofrenia, serta akan lebih tinggi jika kedua orang tua
skizofrenia.
c. Biologis
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA).
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan
orientasi realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran
ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan limbik.
d. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan, memiliki riwayat
kegagalan yang berulang. Menjadi korban, pelaku, maupun saksi
dari perilaku kekerasan, serta kurangnya kasih sayang dari orang-
orang disekitar atau overprotektif.
e. Sosial-Budaya dan Lingkungan

7
Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial
ekonomi rendah.Selain itu, pasien memiliki riwayat penolakan dari
lingkungan pada usia perkembangan anak.Pasien halusinasi
seringkali memiliki tingkatpendidikan yang rendah serta
pernahmengalami kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian,
hidup sendiri).Mereka biasanya tidak bekerja.

2. Faktor Presipitasi
Dalam faktor presipitasi ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi,
penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya riwayat kekerasan
dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup,
kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat
yang sering tidak sesuai dengan pasien, serta konflik antar masyarakat.
a. Stresor Sosial-Budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang penting, atau
diasingkan dari kelompok dapat menimbulkan halusinasi.
b. Faktor Biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta
zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas
termasuk halusinasi.
c. Faktor Psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
d. Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi
realitas berkaitan dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi,
motorik, dan sosial.

8
D. Mekanisme Koping (Carolina, 2006, dalam Funan)
Klien halusinasi akan berupaya melindungi diri dari pengalaman
menakutkan yang disebabkan oleh penyakit yang dialami. Sumber koping
dapat berasal dari diri sendiri, orang terdekat dan juga lingkungan. Koping
yang efektif dapat membantu pasien menyelesaikan masalah, sebagai
dukungan sosial, dan keyakinan budaya, serta mambantu dalam
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress (Carolina, 2006,
dalam Funan). Berikut mekanisme koping halusinasi.
1. Regresi
Merupakan upaya untuk mengatasi rasa cemas. Proses untuk
menghindari stress, kecemasan, dan menampilkan perilaku kembali
pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
2. Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagaiupaya
untuk menjelaskan kerancuan identitas/persepsi).
3. Menarik diri
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis.
Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor,
sedangkan reaksi psikologis yaitu menunjukkan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.
4. Denial : Sering diekspresikan oleh keluarga ketika belajar pertama kali
tentang diagnosa yang berhubungan dengan mereka.

9
BAB III

RINGKASAN DAN ANALISIS JURNAL

A. Ringkasan Jurnal
1. Sumber
Judul Artikel : The Effects of Cognitive Therapy on Hallucinations
Jurnal Penerbit : Mcgill J Med. 2011 Jun; 13(1): 55.
Aim of Study : Mengetahui efek intervensi CBT bagi penderita
halusinasi pendengaran.
Metode : Studi pustaka.

2. Pendahuluan
Salah satu terapi yang direkomendasikan dalam upaya mengatasi
halusinasi adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Cognitive
behaviour therapy adalah terapi yang digunakan untuk memodifikasi
fungsi berpikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan pada peran
otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan
memutuskan kembali sehingga dengan merubah status pikiran dan
perasaannya, klien diharapkan dapat merubah tingkah lakunya dari hal
negatif menjadi positif.
British Association for Behavioural and Cognitive Psychotherapies
(2006) menyatakan cognitive behaviour therapy adalah terapi yang
membantu individu merubah cara berfikir dan perilakunya sehingga
perubahan itu membuat individu merasa lebih baik, dan terapi ini
berfokus pada here and now serta kesulitan yang dihadapi. Dengan
demikian cognitive behaviour therapy merupakan suatu terapi yang
membantu individu mengevaluasi kembali persepsi, keyakinan, cara
berfikir, dan perilaku yang tidak adaptif yang disebabkan oleh masalah
yang dihadapinya.

10
3. Metode Penelitian
Metode Penelitian ini adalah penelitian quasi experimental dengan
metode kuantitatif menggunakan desain “Quasi experimental pre-post
test control group” dengan intervensi cognitive behavior therapy pada
bulan Februari sampai dengan Juni 2010. Teknik pengambilan sampel
secara consecutive sampling. Penelitian dilakukan untuk menganalisa
halusinasi, pengetahuan, dan pelaksanaan cara mengontrol halusinasi
dengan membandingkan pada kelompok yang mendapatkan dan yang
tidak mendapatkan cognitive behavior therapy. Pada tiap kelompok
berjumlah 28 responden. Analisis statistik yang dipergunakan yaitu
univariat dan bivariat dengan analisis dependent dan independent sample
tTest serta Chi-square dengan tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi
frekuensi.

4. Hasil Penelitian
Pada kelompok yang mendapatkan cognitive behaviour therapy
rerata halusinasi klien sebelum intervensi 22,75, dan setelah intervensi
menurun menjadi menjadi 14,50. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji
statistik disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada rerata
halusinasi klien antara sebelum dengan setelah intervensi pada kelompok
yang mendapat cognitive behaviour therapy.
Pada kelompok yang tidak mendapat cognitive behaviour therapy
dengan rerata halusiansi sebelum intervensi rerata 18,86, dan setelah
intervensi menurun menjadi 16,36. Selanjutnya, berdasar hasil uji
statistik disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rerata
halusinasi setelah intervensi antara kelompok yang mendapat dan tidak
mendapat cognitive behaviour therapy.

B. Analisis Jurnal
1. Mengenai CBT

11
Intervensi ini melibatkan langkah-langkah kognitif yang terkait
dengan pengaruh dari keyakinan irasional. Keyakinan ini sering
diasosiasikan dengan perilaku menghindar dan restrukturasi kognitif
dapat digunakan untuk mengatasi masalah keyakinan irasional yang
mengganggu kognisi dalam melakukan respon yang benar. Pengalaman
klinis menunjukkan bahwa pembahasan mengenai asumsi, core beliefs,
dan pemikiran negatif yang otomatis sangat penting untuk mencegah
individu dari melakukan prokrastinasi (Rozental & Carlbring, 2014).
Selain itu, menyadari adanya keyakinan irasional yang dimiliki
dapat membantu individu dalam memahami kesenjangan antara situasi
yang dialami dan tujuan serta nilai-nilai yang diharapkan. Proses terapi
kognitif bisa membantu orang untuk memahami masalah kognisi
tertentu dalam melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk
memenuhi komitmen, serta meningkatkan kesediaan individu untuk
terlibat pada perilaku yang lebih adaptif (Rozental & Carlbring, 2014).

2. Kelebihan CBT
Tahap terapi kognitif dalam pelaksanaan terapi kognitif-perilaku
membantu klien memperoleh kesadaran diri akan adanya kebutuhan
untuk berubah akibat pikiran otomatis negarif yang dimiliki. Penulis
berpendapat bahwa terapi ini memberikan dampak pada penurunan
gejala dan peningkatan kemampuan karena adanya perbaikan insight
pada klien. Terapi kognitif perilaku membantu merubah pola pikir klien
yang berpengaruh terhadap tindakan dan perilaku klien. Sivec dan
Montesano (2012) menuliskan bahwa salah satu cara agar terapi ini
berhasil adalah dengan menghadirkan relaitas pada klien. Misalnya
klien mendengar suara-suara yang mengatakan dia jahat. Terapis
membantu klien mengatasi suara tersebut dengan cara mencari fakta-
fakta yang membuktikan bahwa klien tidak seperti yang
didengarkannya.

12
3. Kekurangan CBT
a. Membuat perjanjian komitmen di awal pertemuan.
b. Terapis memfasilitasi klien dan melakukan cross cek tentang
masalah klien, sehingga klien bisa berpikir secara rasional dan
menemukan perspektif baru. Misalnya ketika orang tua
memberikan tuntutan bahwa anak pintar nilai nya harus bagus.
Klien diberikan penjelasan mengenai macam-macam distorsi
kognitif, sehingga klien bisa mengetahui distorsi apa yang sedang
dialami dan bisa mengetahui bagaimana perasaan, mengetahui
kelebihan dan kekurangan klien. Dengan hal itu diharapkan bisa
membantu klien untuk mengevaluasi pemikiran klien.
c. Perlu ditekankan mengenai pemberian informasi mengenai konsep-
konsep penting yang akan digunakan dalam sesi terapi, sehingga
konsep-konsep tersebut digunakan secara tepat dan akurat.

4. Penerapan CBT
Terapi kognitif memiliki beberapa tujuan spesifik. Pertama,
mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa gangguan
mood atau kecemasan. Kedua, mengenali dan memonitor distorsi
kognitif dan kemudian mencari kebenarannya. Ketiga, mengubah cara
berpikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi kejadian tertentu.
Keempat, membangkitkan pikiran-pikiran klien, dialog internal, atau
self-talk. Terakhir adalah merekonstruksi keyakinan
irasional/negatif/terdistorsi menjadi keyakinan yang akurat dan positif
(Beck, 1979; Burns, 1988).
Terapi kognitif ini sangat sesuai dilakukan pada klien untuk
membantu mengubah keyakinan-keyakinan irasional pada diri klien
menjadi rasional. Keyakinan irasional dalam diri klien, misalnya bahwa
anak yang sukses, yang pintar selalu mendapat nilai yang bagus dan
selalu juara di berbagai kompetisi, ketika ia gagal maka ia akan mersa
tidak lebih baik daripada yang lain. Keyakinan ini tertanam dalam diri
klien secara tidak disadari melalui lingkungan keluarganya. Akibatnya

13
ada keyakinan yang irasional menyebabkan klien selalu mementingkan
urusan pribadinya sehingga tanpa sadar relasi dengan orang sekitarnya
kurang begitu baik. Oleh karena itu, terapi kognitif dilakukan untuk
membantu.
Pemberian Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada klien
halusinasi yang disertai pikiran otomatis negatif sangat tepat. Selain
mengajarkan perilaku baru untuk mengendalikan halusinasi, klien juga
diajarkan cara melawan pikiran otomatis negatif yang ditimbulkan
akibat pengalaman halusinasinya. Hasil pemberian CBT menunjukkan
adanya peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi. Proses latihan
perilaku baru pada pemberian terapi kognitif-perilaku ini didahului oleh
pemulihan kognitif melalui latihan melawan pikiran otomatis negatif.
Dalam teori berubah, hal ini sangat penting, karena perubahan yang
diawali dengan kesadaran diri yang baik akan kebutuhan berubah akan
menghasilkan perilaku baru yang dapat dipertahankan (Lewin dalam
Peterson dan Bredow, 2004).
CBT dapat juga dilaksanakan pada saat menyuntikkan antipsikotik
pada pasien dengan skizofrenia, atau pada saat memantau efek samping
yang ditimbulkan akibat penggunaan obat anti psikotik. Pasien diajak
berbicara dan sesudahnya diajak beraktivitas. CBT dapat mengurangi
angka drop out karena pemakaian obat antipsikotik dan menekan biaya
pengobatan, meskipun pembuktian nyata untuk CBT skizofrenia masih
memiliki banyak keterbatasan dibandingkan dengan psikoterapi yang
lain (Dania, 2019).

C. SOP Cognitive Behaviour Therapy (CBT)


CBT adalah pendekatan konseling yang menitik beratkan pada
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian
yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan
bentuk psikoterapi yang sangat memperhatikan aspek peran dalam berpikir,

14
merasa, dan bertindak.Proses pelaksanaan CBT dibagi dalam 5 sesi, setiap
sesi dilaksanakan selama 30-45 menit. Berikut sesi-sesinya.
1. Sesi 1 : Pengkajian
Mengungkapkan pikiran otomatis negatif tentang diri sendiri, perasaan
dan perilaku negatif yang dialami klien yang berkaitan dengan stressor
yaitu pengalaman traumatis yang dialami, mengidentifikasi hal positif
yang dimiliki, serta latihan satu pikiran otomatis negatif.
2. Sesi 2 : Terapi Kognitif
Terapi ini merupakan jantung CBT, yakni mereview latihan pikiran
otomatis yang negatif yang pertama yang sudah dilatih sebelumnya dan
melatih untuk mengatasi pikiran otomatis negatif yang kedua.
3. Sesi 3 : Terapi Perilaku
Mengevaluasi pikiran otomatis negatif yang masih ada,
mengidentifikasi perilaku positif yang dimiliki, mengidentifikasi
perilaku positif yang baru, menyusun rencana perilaku yang
ditampilkan untuk mengubah perilaku negatif yang timbul akibat
stressor kejadian traumatis dengan memberikan konsekuensi positif
atau konsekwensi negatif jika perilaku dilakukan atau tidak dilakukan.
4. Sesi 4 : Evaluasi
Terapi kognitif dan perilaku Mengevaluasi kemajuan dan
perkembangan terapi, merivieu pikiran otomatis negatif dan perilaku
negatif, memfokuskan terapi, dan mengevaluasi perilaku yang dipelajari
berdasarkan konsekuensi yang disepakati.
5. Sesi 5 : Mencegah Kekambuhan
Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas lainnya
disamping CBT untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan
dan membudayakan pikiran positif dan perilaku positif secara mandiri
dan berkesinambungan dalam mengatasi masalah.

15
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

Terapi Kognitif

Pengertian Terapi kognitif adalah mereview latihan pikiran otomatis yang negatif yang
pertama yang sudah dilatih sebelumnya dan melatih untuk mengatasi pikiran
otomatis negatif yang kedua.

Tujuan 1. Klien mampu mereview pikiran otomatis yang negatif berkaitan dengan
diri sendiri.
2. Klien mampu mendemonstrasikan cara mengatasi pikiran otomatis
negatif yang kedua.

Persiapan 1. Format dokumentasi.


2. Format jadwal kegiatan harian.
Alat
3. Alat tulis.

NO. Prosedur

PERSIAPAN

1. Mengingatkan kontrak dengan klien.

2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

ORIENTASI

1. Salam terapeutik : Salam dari terapis kepada klien.

2. Evaluasi

 Menanyakan bagaimana perasaan klien saat ini.


 Menanyakan pikiran otomatis negatif yang belum didiskusikan pada sesi
1.
 Menanyakan apakah pikiran otomatis negatif yang pertama masih sering
muncul dan mengevaluasi kemampuan klien terkait latihan untuk
mengatasi pikiran otomatis negatif yang pertama.
 Menanyakan apakah klien sudah memilih pikiran otomatis negatif yang
kedua untuk hari ini.

3. Kontrak

 Menyepakati terapi sesi 2.


 Menjelaskan tujuan pertemuan sesi 2.
 Menyepakati tempat dan waktu.

FASE KERJA

16
1. Evaluasi kemampuan dan hambatan klien dalam membuat catatan harian di
rumah.

2. Diskusikan dengan klien untuk memilih satu pikiran otomatis negatif kedua yang
ingin diselesaikan dalam pertemuan kedua ini.

3. Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan cara sama
seperti melawan pikiran otomatis negatif pertama (member tanggapan positif dan
minta klien mencatatnya dalam lembar cara melawan pikiran otomatis negatif.

4. Latih kembali klien untuk menggunakan aspek positif klien dalam melawan
pikiran otomatis negatif kedua.

5. Tanyakan tindakan klien yang direncanakan untuk melawan pikiran otomatis


negatif kedua.

6. Motivasi klien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain.

7. Memberikan pujian terhadap keberhasilan klien.

8. Berikan reinforcement positif terhadap keberhasilan klien.

TERMINASI

1. Evaluasi

 Terapis menanyakan perasaan klien setelah latihan.


 Terapis memberikan pujian atas keberhasilan klien.

2. Tindak Lanjut

 Anjurkan klien untuk latihan untuk pikiran otomatis negatif yang lain.
 Anjurkan klien untuk melatih cara mengatasi pikiran otomatis negatif
yang lain secara mandiri.
 Menganjurkan klien untuk mengidentifikasi aspek positif lain dalam
menanggapi pikiran otomatis negatif yang belum diidentifikasi.

3. Kontrak yang akan Datang

 Menyepakati topik percakapan sesi 3.


 Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan sesi 3.

EVALUASI DAN DOKUMENTASI

1. Evaluasi proses

17
2. Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat CBT pada catatan proses
keperawatan. Jika klien dianggap mampu, maka klien bisa meneruskan sesi
ketiga tanpa harus mengulang sesi kedua.

BAB IV

18
PENUTUP

A. Kesimpulan
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien
mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman. Peran
perawat bagi kasus ini adalah untuk menunjang pengobatan pasien melalui
tindakan nonfarmakologis. Penatalaksanaan halusinasi membantu
mengenali dengan cara melakukan diskusi dengan klien tentang
halusinasinya, waktu terjadinya, frekuensi, dan situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul dan respon klien saat halusinasi muncul. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa halusinasi menurun secara bermakna pada kelompok
yang mendapat cognitive behaviour therapy, sedangkan halusinasi pada
kelompok yang tidak mendapat cognitive behaviour therapy menurun secara
tidak bermakna.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan jauh dari
sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.Dalam pembuatan
makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep
halusinasi dan berbagai alternatif pengobatan halusinasi secara
nonfarmakologis, agar dapat diaplikasikan kedalam dunia keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

19
Adawiya, Rabia dan IGAA Noviekayati. 2019. Terapi Perilaku Kognitif (Cognitif
Behaviour Theraphy) Bagi Individu Perfeksionis. ISSN : 2654-3184.
Jombang : UNWAHA.
Alanna J. Propst. 2016. The Effects of Cognitive Therapy on Hallucinations.
Mcgill J Med. 2016 Jun; 13(1): 55.

Dania, Ira. 2019. Cognitive Behaviour Therapy pada Skizofrenia. Vol. 2, No. 1.

Funan,Yohanes L. 2019. “Asuhan Keperawatan Tn. R. dengan Gangguan


Persepsi Sensori (Halusinasi Pendengaran) di RT :10, RW : 05, Kecamatan
Oesapa, Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang”. Karya Tulis Ilmiah.
Kupang : Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Kupang.

Kemenkes RI. 2019. Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia. Jakarta : InfoDATIN.

Maria Pontillo et al. 2016. Cognitive behavioural therapy for auditory


hallucinations in schizophrenia: A review. World J Psychiatry. 2016 Sep 22;
6(3): 372–380.

Ricky, Denny, dkk. 2014. Efek Terapi Perilaku, Terapi Kognitif Perilaku, dan
Psikoedukasi Keluarga pada Klien Halusinasi Menggunakan Pendekatan
Teori Berubah Kurt Lewin. Vol. 2, No.2.

Lampiran

20
21

Anda mungkin juga menyukai