Anda di halaman 1dari 50

Dr. Suyadi, M.Pd.I.

PENGEMBANGAN KECERDASAN
MAJEMUK DALAM
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

PAUD
(Khasanah Islam & Neurosains)

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya….”


(QS. Al-Baqarah [2]: 31)

KATA PENGANTAR
Pengembangan Kecerdasan Majemuk dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
ini membahas temuan Howard Gardner, bahwa setiap manusia memiliki setidaknya
sembilan jenis kecerdasan, yakni liguistik, matematis-logis, visual-spasial, kinestetik,
musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan kecerdasan eksistensial atau
spiritual. Setiap kecerdsan dibahas dalam satu bab. Kecerdasan majemuk itu sendiri
merupakan kajian neurosains bidang psikologis yang dapat dimanfaatkan dalam konteks
pendidikan, termasuk pendidikan anak usia dini. Jadi, tanpa membahasanya dalam
perspektif neurosins, kecerdasan majemuk secara otomatis menjadi kajian neurosains.
Pembahasan setiap jenis kecerdasan diperkaya dengan khasanah Islam, sehingga
tidak hanya kecerdasan eksistensial atau kecerdasan spiritual saja yang senafas dengan
Islam, melainkan seluruh jenis kecerdasan. Sekadar conntoh, kecerdasan linguistik dalam
pandangan Islam merupakan kecerdasan Nabi Sulaiman as, yang dalam Al-Qur’an
disebutkan mampu berkomunikasi dengan binatang, bahkan semut, jin dan malaikan, di
samping sesama manusia. Oleh karena itu, guru dan orangtua tidak boleh berpandangan
bahwa anak hanya dikembangkan salah satu jenis kecerdaan yang meninjol saja. Sebab,
jika hanya satu jenis kecerdasan yang dikembangkan, maka anak tersebut akan menjadi
“kuper” keilmuan.
Akan tetapi orangtua dan atau guru juga tidak bolem terllau ambisius untuk
mengembangkan seluruh kecerdasan majemuk pada setiap anak didik dengan sama
baiknya. Ambisi ini mungkin ada baiknya karena hendak menjadikan anak multitalenta,
tetapi risikonya justru semua jenis kecerdasan akan gagal dikembangkan.
dengan demikian, kecerdasan majemuk harus dikembangkan secara sistetis, tidak
bisa secara pragmatis. Jika implementasi kecerdasan mejemuk dilakukan secara
prakmatis, maka kesannya memaksakan temuan-temuan kajian neurosains bidang
pendidikan (kecerdasan majemuk) di laboratorium ke dalam praktik pebelajaran di ruang
kelas. Oleh karena itu, implementasi kecerdasan majemuk harus dilakukan secara sintetis,
yakni pengembangan dan penggabungan antar kecerdasan sehingga melahirkan
kecerdasan-kecerdasan baru dalam setiap diri anak didik. Implementasi kecerdasan
majemuk secara sintetis merupakan skenario pembelajaran yang memadukan berbagai
kecerdasan dalam diri setiap anak didik, sehingga menghasilkan kecerdasan baru, atau
minimal mengokohkan kecerdasan yang telah ada.

Yogyakarta, September 2020


Dr. Suyadi, M. Pd.I

DAFTAR ISI

Daftar isi__
Kata pengantar __

Pendahuluan
A. Menyoal Ulang Kecerdasan ___
B. Kecerdasan dan Kesuksesan ___
C. Satu Kelebih, Banyak Kelemahan___

Bab 1
Kecerdasan Linguistik ___
A. Pentingnya Kecerdasan Linguistik ___
a. Meningkatkan Kemampuan membaca. ___
b. Meningkatkan Kemampuan menulis. ___
c. Meningkatkan Kemampuan Mendengar ___
d. Gerak Verbal ___
e. Meningkatkan Keterampilan umum ___
B. Orang-orang yang Terkenal Kecerdasan Linguistiknya Baik ___
C. Mendeteksi Kecerdasan Linguistik Anak Usia Dini ___
D. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Linguistik ___

Bab 2
Kecerdasan Matematis-Logis ___
A. Pentingnya Kecerdasan Matematis-Logis ___
B. Pentingnya Kecerdasan Matematis Logis ___
a. Meningkatkan Logika: Memperkuat Keterampilan Berpikir ___
b. Menemukan Hubungan Sebab-Akibat ___
c. Meningkatkan Pengertian Bilangan ___
C. Orang-orang yang Terkenal Kecerdasan Matematis-Logisnya Baik __
D. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Matematis-Logis ___

Bab 3
Kecerdasan Visual-Spasial ___
A. Pentingnya Kecerdasan Visual-Spasial ___
a. Meningkatkan Kreativitas ___
b. Meningkatkan Daya Ingat ___
c. Menggapai Puncak Berpikir, Mememcahkan Masalah ___
d. Menuju Puncak Kesuksesan ___
B. Orang-orang yang Terkenal Kecerdasan Visual-Spasialnya Baik ___
C. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Visual-Spasial ___

Bab 4
Kecerdasan Musikal ___
A. Pentingnya Kecerdasan Musikal ___
a. Meningkatkan Kreativitas dan imajinasi ___
b. Meningkatkan Intektualitas ___
c. Mempengaruhi Kecerdeasan Lainnya ___
d. Terapi Psikologis ___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Musikalnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Musikal ___

Bab 5
Kecerdasan Kinestetik ___
A. Pentingnya Kecerdasan Kinestetik ___
a. Meningkatkan Kemampuan Psikomotor ___
b. Meningkatkan Keterampilan Sosial ___
c. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri ___
d. Dasar Gaya Hdup Sporti, Energik dan Kreatif ___
e. Meningkatkan Kesehatan ___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Kinestetiknya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Kinestetik ___

Bab 6
Kecerdasan Interpersonal ___
A. Pentingnya Kecerdasan Interpersonal ___
a. Mengembangkan Jiwa Sisial ___
b. Membantu Keberhasilan Kerja ___
c. Menjaga Keseimbangan Hidup dan Mencerdaskan Emosi-Fisik___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Interpersonalnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal ___

Bab 7
Kecerdasan Intrapersonal ___
A. Pentingnya Kecerdasan Intrapersonal ___
a. Stabilitas Emosional ___
b. Meningkatkan Motivasi Diri ___
c. Menumbuhkan Jiwa Tanggung Jawab ___
d. Mengembangkan Harga Diri ___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Intrapersonalnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Intrapersonal __

Bab 8
Kecerdasan Naturalis ___
A. Pentingnya Kecerdasan Naturalis ___
a. Menumbuhkan Kepekaan Terhadap Lingkungan Alam ___
b. Mencintai Flora dan Fauna ___
c. Mningkatkan Kepekaan Terhadap Bencana dan Musibah ___
B. Metode Mengembangkan Kecerdasan Naturalistik ___

Bab 9
Kecerdasan Eksistensial (Spiritual)___
A. Pentingnya Kecerdasan Eksistensial ___
a. Terapi Jiwa dan Raga ___
b. Menumbuhkan Rasa Beragama ___
c. Mengembangkan Motivasi Religius ___
B. Orang-oorang yang Terkenal baik Kecerdasan Eksistensialnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Eksistensial ___

Bab 10
Penutup

Daftar Pustaka
Biografi Penulis

PENDAHULUAN

A. Menyoal Ulang Kecerdasan


Sering kali orangtua dan guru memberi predikat “cerdas” dan pintar hanya kepada
mereka yang mempunyai prestasi akademis sangat baik. Berapa nilai sangat baik itu? jika
nilainya berupa huruf maka “A” dan jika nilainya berupa angka minimal “9” (skala 10).
Sedangkan anak didik yang nilai rapornya kurang dari itu akan dinilai kurang cerdas atau
bahkan tidak cerdas. Itu pun jika terjadi pada semua mata pelajaran. Artinya, anak-didik
yang cerdas adalah anak diri yang mendapatkan nilai “A” pada semua mata pelajaran
yang diajarkan. Jika ia hanya mendapatkan nilai “A” pada salah satu mata pelajaran saja,
maka ia tidak termasuk pada jajaran anak cerdas. Bahkan, sangat dimungkinkan seorang
anak-didik yang mendapatkan nila “A” pada beberapa mata pelajaran tetapi mendapat
nilai “D” pada mata pelajaran yang lain menjadi tidak lulus dari sekolah.
Anak dikatakan cerdas dan pintar jika nilai pada mata pelajaran sains (bahasa,
matematika dan ilmu terkait lainnya) di atas standar nimimum yang ditetapkan. Anak-
anak yang nilai rapornya di bawah standar minimum, akan dikatakan kurang cerdas
bahkan tidak cerdas [Taufiq Pasiak, 2006]. Dengan kata lain, kecerdasan selama ini
dipersepsikan dengan angka atau nilai pada rapor. Tidak lebih dari itu.
Di sisi lain, banyak anak-anak yang sangat lihai bermin musik dan olah raga tetapi
tidak mendapat apresiasi dari sekolahnya. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang diharumkan
namanya oleh mereka. Sayangnya, mereka harus tidak lulus karena tidak cerdas.
Pasalnya, nilai matematika, misalnya, anak siswa tersebut kurang dari standar minimum
yang ditetapkan.
Nasib serupa juga menimpa anak-anak yang lihai bermain musik, kerajinan
tangan, dan berbagai kegiatan lain yang tidak diajarkan di sekolah. Sekolah hanya bisa
merasa bangga ketika ada beberapa anak-didiknya lihai bermain musik dan
mempersembahkan karya terbaik untuk sekolahnya. Sayangnya, mereka “bukan lah
peserta didik yang cerdas”. Pasalnya, nilai rapor mereka di bahwah standar minimum.
Akibatnya, mereka harus menelan pil pahit ketidak lulusan.
Sesungguhnya, apa yang kurang tepat dengan konsep kecerdasan yang kita
pahami selama ini? Sungguh tidak masuk akal jika peserta didik berprestasi di bidang
tertentu harus tidak lulus karena nilai mata pelajaran kurang standar. Dengan kata lain,
sungguh tidak mencerdasakan jika peserta didik yang mampu mengharumkan nama
sekolahnya harus menelan pil pahit ketidak lulusan.
Walaupun demikian, apakah pemerintah salah dalam menetapkan kebijakan UN
sehingga berdampak pada ketidak lulusan peserta didik? Bukan kah maksud pemerintah
adalah baik, karena ingin meningkatkan mutu pendidikan? Ini masalah serius tentang
konsep dan pemahaman tentang kecerdasan. Pemerintah memang tidak salah menetapkan
kebijakan standarisasi nilai. Sebab, pemerintah mengangap bahwa dengan nilai UN naik,
maka kecerdasan anak-didik juga turut naik. Jika kecerdasan anak-didik naik, maka
generasi bangsa ini juga naik kecerdasannya. Dari sini, maka terwujudlah cita-cita UUD
’45, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Pertanyaannya, benarkah meraka yang lihai di bidang musik dan olah raga di atas
tidak cerdas? Apakah benar anak-didik yang mempunyai nilai rapor di atas rata-rata
adalah anak-anak yang sungguh-sunguh cerdas? Jika demikian, apakah kecerdasan itu?
Jika kita lemparkan pertanyaan di atas kepada pemerintah, guru dan pendidik yang
mempunyai pemikiran lama, maka mereka akan menawab sama, yakni peserta didik yang
mempunyai nilai rapor di atas rata-rata adalah anak yang cerdas. Dan, peserta didik yang
nilai rapornya di bawah standar adalah peserta didik yang tidak cerdas. Pendek kata,
cerdas dan tidaknya peserta didik ditentukan oleh nilai yang mereka peroleh ketika ujian
sekolah atau UN.
Howard Gardner. memahami bahwa yang disebut dengan kecerdasan itu adalah
kemampaun untuk memecahkan masalah, kemampuan menciptakan masalah baru guna
dipecahkan, dan kemampuan menciptakan sesuatu atau menawarkan suatu pelayanan
yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat [Adi W. Gunawan, 2003].
Dari konsep kecerdasan sebagaimana disebutkan di atas, Gardner melakukan
penelitian dan menemukan 7 aspek kecerdasan yang kemudian ditambah 2 aspek
kecerdasan lagi. Gardner menyebut konsep kecerdasannya dengan istilah “Mutiple
Intelligence” (MI). Sembilan kecerdasan tersebut adalah Kecerdasan linguistik, logika-
matematika, intra personal, interpertsonal, musical, visual-spasial, kinestetik, naturalis
dan eksistensial.
Dari kesembilan kecerdasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang disebut
kecerdasan itu tidak diukur dengan angka atau nilai rapor, tetapi dengan kemampuan
untuk memecahkan masalah atau menawarkan solusi alternatif terhadap persoalan yang
dihadapi di tengah kehidupan.
Kecerdasan yang ditemukan Gardner selalu mengaitkan kemampuan atau
kompetensi untuk memecahkan masalah hidup sebagai alat ukur kecerdasan. Dengan kata
lain, anak-didik yang cerdas adalah anak-didik yang serba mampu mengatasi persoalan
hidupnya, termasuk mengatasi berbagai persoalah sekolahnya. Tidak hanya itu, anak
yang cerdas adalah anak yang mampu memenuhi tentutan hidup berorganisasi atau social.
Bahkan, anak yang cerdas juga mampu memberikan daya kreativitasnya sehingga mampu
memberi inovasi dalam hidupnya. Pendek kata, anak yang cerdas adalah anak yang serba
bisa. Ini lah kecerdasan yang sesungguhnya.

B. Kecerdasan dan Kesuksesan


Berdasarkan analisis di atas, dapat dipahamai bahwa kecerdasan yang
sesungguhnya (Multiple Intellegence) adalah kecerdasan yang mampu difungsikan
sebagai problem solver berbagai masalah kehidupan. Tentu kecerdasan ini mencakup
kecerdasan yang selama ini diukur dengan angka-angka, seperti nilai “A” pada mata
pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika. Sebab, ketiga kecerdasan ini
hanya bagian kecil dari system kecerdasan yang sesungguhnya (multiple Intellegence),
yakni kecerdasan linguistik dan kecerdasan logika-matematis.
Jika konsep kecerdasan lama ini dipertahankan, maka anak-didik akan menjadi
korban kecerdasannya sendiri. Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa nilai
“A” pada mata pelajaran matematika dan bahasa tidak menjamin keberhasilan hidup
anak-didik di masa depan.
Ironisnya, ketika di meja belajar (sekolah dan kuliah), rata-rata mereka semua
mengandalkan prestasi atau angka dalam ijazahnya. Mereka berasumsi bahwa jika
dirinya cerdas, maka akan mudah mencari pekerjaan, semua urusan bisa diselesaikan,
semua kekurangan bisa dicukupi, dan lain sebagainya. Tidak tahunya, dunia luar
(masyarakat) tidak butuh nilai-nilai “A” dalam ijazah. Tetapi mereka butuh orang-orang
yang mampu atau mumpuni dalam memecahkan problem umat. Mereka akan lari kepada
indusrtri-industri besar, untuk mendapatkan pekerjaan. Tentu mereka akan diterima
dengan mudah di industri tersebut, karena industri semacam itu membutuhkan orang-
orang “cerdas” seperti mereka. Tetapi, tanpa mereka sadari orang-orang yang “cerdas”
tersebut sejak lulus dari sekolah menjadi budak pabrik dan tunduk terhadap system yang
ada. Hidupnya sepenuhnya diabdikan kepada orang lain. Alhasil, hidupnya kurang
bahagia karena tidak bisa merdeka secara utuh dan sempurna.
Sering kali mereka juga menyadari keadaannya yang demikian itu. Hidupnya di
bawah kendali orang lain, pemikiran dan “kecerdasannya” juga diperas untuk orang lain,
bahkan tidak jarang ia harus menguras seluruh kemampuannya untuk perusahaan orang
lain pula. Pendek kata, seluruh kemampuannya di bawah kendali orang lain. Ironisnya,
imbalan yang mereka terima tidak sepadan dengan “kecerdasan” yang mereka miliki.
Demi uang sepersen dua persen, ia harus kerja keras dan berpikir “cerdas”. Tentu kerja
yang demikian tidak akan bisa ikhlas. Sebab, keikhlasan hanya bisa diperoleh atas dasar
suka rela. Tanpa imbalan yang memadai, nuansa ikhlas dalam bekerja sangat jauh dari
harapan.
Mengapa mereka tidak berkeinginan untuk merubah nasihnya? Mengapa mereka
tidak mencari pekerjaan yang bisa menghargai “kecerdasannya”? mengapa mereka tidak
keluar dari tempat kerjanya dan menciptakan pekerjaan yang dirasanya sesuai dengan
kemampuannya? Mengapa mereka tidak berinisiatif untuk melakukan negoisasi dengan
orang yang mengendalikannya? Sebabnya sederhana! Karena kecerdasannya sangat
terbatas. Dengan kata lain, nilai “A” dalam ijazah yang diperolehnya selama bertahun-
tahun di sekolahnya dulu tidak mempunyai kekuatan untuk merubah nasib buruknya.
Pendek kata, mereka tidak mempunyai “kecerdasan lain” yang lebih majemuk untuk
mewujudkan keinginan dan harapannya.
Dengan demikian, jika seseorang hanya memiliki kecerdasan linguistik dan
logika-matematis saja, maka ia hanya mempunyai peluang kesuksesan pada dua bidang
itu saja. Itu pun dengan syarat harus mengikuti prosedur “ini” dan “itu”, sehingga
membelenggu kreativitasnya. Sekedar contoh, mereka itu adalah penerjemah,
matematikawan, fisikawan, ilmuwan dan lain sebagainya.
Di samping itu, ia juga buta terhadap ilmu-ilmu lain seperti sosioligi, komunikasi,
musisi, dan lain sebagainya. Akibatnya, mereka sulit hidup bermasyarakat atau hidup
secara sosial, tidak bisa berkomunikasi dengan baik, gersang terhadap nilai-nilai
keindahan dan lain sebagainya. Di samping peluang hidup yang sangat sempit tersebut,
mereka harus menjalani hidup dengan penuh tekanan, depresi, tetapi selalu ingin menang
sendiri.
Fakta seperti ini banyak sekali kita jumpai. Agamawan misalnya: di era modern
ini, atau mereka meyebutnya dengan era post modernism, kebanyakan para agamawan
cenderung sempit pandangan. Yang ia tahu hanya lah agama. Itu pun sebatas halal dan
haram, makhruh dan mubah, boleh dan tidak, dan lain sebagainya.
Mereka tidak menguasai ilmu sosiologi, antropologi, astronomi dan lain
sebagainya. Akibatnya, mereka selalu memandang setiap persoalan dengan mata sebelah:
agama saja. Apa pun masalah yang dihadapi, penyelesaianya hanya seputar halal-haram,
makhruh-mubah, surga-neraka, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena orang
tersebut hanya memiliki satu kecerdasan saja, yakni kecerdasan spiritual atau kecerdasan
eksistensial.
Demikian pula dengan kecerdasan lainnya. Jika seseorang hanya mempunyai satu
kecerdasan saja, kecerdasan musik misalnya, maka peluang hudunya juga hanya dari
musik itu semata. Itu pun sering kali menyinggung orang dengan kecerdasan lain,
spiritual misalnya. Aksi musikalnya bisa dikecam oleh mereka, karena bertentangan
dengan kecerdasan yang dimilikinya, eksistensial atau spiritual.
Keadaan ini semakin parah jika orang-orang dengan kecerdasan spiritual tinggi
tidak mempunyai kecerdasan musical sedikit pun. Mereka bisa mengharamkan aksi
musiknya. Alangkah baiknya jika orang yang mempunyai kecerdasan musical tinggi juga
diiringi dengan kecerdasan eksistential atau spiritual. Sehingga aksi musikalnya tidak
kebablasan. Lagu-lagi porno dan tarian erotis (sebagai bentuk egosentrisme kecerdasan
musikan) seharrusnya tidak terjadi. Demikian pula sebaliknya, dengan kecerdasan
majemuk, label “haram” terhadap musisi seharusnya tidak perlu terjadi.
Kepemilikikan satu kecerdasan tanpa mengimbanginya dengan kecerdasan lain
tidak akan mengantarkan seseorang pada tangga kesuksesan yang maksimum. Ia hanya
bisa eksis di bidang tertentu saja. Itu pun sering kali menyinggung perasaan orang lain,
bahkan sering kali menyulut api kemarahan, kontroversi dan lain sebagainya. Contoh
yang paling mudah adalah musisi, seperti disingung di atas. Musisi yang tidak
mempunyai kecerdasan spiritual akan terus “membakar jenggot” para agamawan.
Ironisnya, jika para agamawan juga tidak mempunyai kecerdasan lain selain kecerdasan
spiritual, maka mereka akan dengan serta merta mengeluarkan statemant, “haram, kafir,
neraka, dan lain sebagianya kepada para musisi tersebut.
Ketegangan akan semakin menguat ketika para musisi tidak punya keahliah lain
untuk pindah profesi guna menopang hidupnya. Kemampuanya memang hanya bermain
musik saja. Ketika belantara musik sedang redup, mereka membuat “huru-hara” yang
diperkirankan dapat menarik sensasi orang banyak, sehingga dirinya tetap eksis. Mereka
benar-benar tidak mempunyai pilihan lain untuk menjalani hidup selain sebagia musisi.
Ini lah akibatnya, jika pendidikan hanya mengembangkan salah satu kecerdsasan saja. Ini
hanya salah satu contoh saja. Masih banyak contoh lain yang dapat dikemukakan di sini.
Tetapi, dua kasus di atas kiranya cukup sebagai ilustrasi kepincangan kecerdasan peserta
didik bangsa ini. Tentu, orang yang hanya mempuyai kecerdasan atau profesi secara
parsial sebagaiman disebutkan di atas bukan lah orang yang sukses. Walaupun ia adalah
seorang musisi terkenal, misalnya, tetapi jika yang membuatnya terkenal itu adalah tarian
erotis dan lagu-lagu pornonya, maka ia bukan lah musisi yang baik.
Sebaliknya, musisi yang sukses adalah musisi yang karya seninya dihargai banyak
orang bahkan semua kalangan. Tidak hanya sesama musisi saja yang mengharagi, tetapi
kalangan spiritual, sosiolog, antropolog dan lain sebagainya juga bisa memberikan
apresiasi secukupnya. Ini baru musisi yang sukses. Demikian pula halnya dengan
agamawan yang sukses. Seorang agamawan dengan kecerdasan spiritual atau
eksistensial. Alangkah baiknya jika ia juga menopang keilmuan agamanya dengan ilmu-
ilmu lain seperti astronomi, sosiologi, fisika kuantum dan lain sebagainya. Sehingga
kapasitas dirinya seorang agamawan terkesan kaffah, holistik, komprehensif dan
kompleks.
Sebaliknya, seorang agamawan tidak akan diakui kesuksesannya jika keilmuan
dan pengamalan agamanya hanya sebatas ibadah mahdzah semata. Bahkan, ia akan
dikucilkan dari perbincangan peradaban karena ilmunya dinilai parsial, tekstual, linier,
bahkan cenderung eksklusif. Kesuksesan yang sama seharusnya juga terjadi pada olah
ragwan, arsitek, sosiolog, fisikawan, negarawan, dan lain sebagainya. Walaupun mereka
ahli di bidang mamsing-masing, tetapi mereka juga menguasai atau minimal mengetaui
ilmu-ilmu di luar keahliannya. Kecerdasan yang demikian lah yang mampu
mengantarkan mereka mencapai kesuksesan sejati. Kecerdasan yang holistic, lengkap,
seimbang dan komprehensif seperti itulah yang bisa mengantarkan an peserta didik
mampu menggapai tangga kesuksesan yang paling tinggi. Kesuksesan yang demikian
hanya bisa diwujudkan dengan mengoptimalkan seluruh kecerdasan secara seimbang,
sehingga peserta didik tidak akan memandang setiap persoalan secara hitam-putih,
parsial, tekstual dan temporal.

C. Satu Kelebih, Banyak Kelemahan


Sering kali pendidikan hanya memprioritaskan satu kecerdasan saja, dan
mengesampingkan kecerdasan yang lain. Hal ini dikarekan oleh persepsi guru bahwa
setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akibat dari persepsi
ini tidak bisa dipandang remeh. Guru membiarkan anak belajar pada satu bidang yang ia
minati saja, tanpa mencoba memperkenalkan apalagi mengajarkan bidang yang lain.
Akibatnya, anak cenderuhng “egois” pada satu bidang yang ditekuni saja.
Beberapa penelitian di bidang psikologi menyebutkan bahwa anak usia dini
mempunyai potensi untuk belajar “tidak pernah gagal”. Dalam setiap pembelajaran yang
dilakukan, anak akan begitu mudahnya menguasai apa yang diajarkan kepadanya. Mulai
dari belajar berjalan, bicara, gerak-tubuh dan lain sebagainya. Semuanya berhasil dengan
hampir tanpa kesulitan yang berarti. Belajar berjalan misalnya. Berapa ratus ia jatuh
bangun untuk bisa berjalan. Tetapi, bagi anak usia dini, jatuh-bangun tersebut dinikmati
dengan tangisan-tangisan menggemaskan yang mengagumkan.
Terlebih lagi dalam hal baca tulis. Mereka sangat mudah mengenali, membaca
dan menulis apa saja yang di ajarkan kepadanya. Bahkan, saat ini banyak anak-anak TK
telah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Lebih dari itu, ketika mereka diajari lebih
dari satu bahasa, (bahasa Arab dan Inggris, misalnya), dengan mudahnya mereka
menirukan secara fasih.
Fakta yang sebaliknya justru terjadi pada orang-orang dewasa, terlebih lagi pada
orang tua. Orang dewasa dan orang tua biasanya relatif lama menguasai pelajaran dari
pada anak-anak. Saya mempunyai pengalaman unik mengenai hal ini. Ketika saya masih
mahasiswa dan tinggal di masjid, saya membimbing baca al-Qur’an seorang bapak yang
usianya 40-an tahun. Sejak saya semester lima, hingga saat ini (tiga tahun kemudian), ia
belum bisa membaca al-Qur’an secara fasih. Padahal, ia mendapat bimbingan secara
khusus oleh ustadz-ustadz berpengalaman sebanyak 2 kali dalam sepekan. Itu pun setiap
pertemuannya memakan waktu 2 jam atau 120 menit. Sungguh aneh! Tetapi itu lah yang
terjadi.
Sungguh benar apa yang di sabdakan Nabi Muhammad saw. yang menyatakan
bahwa, “Belajar di masa muda bagaikan mengukir di atas batu, belajar di usia tua
bagaikan mengukir di atas air.” Ketika anak masih kecil, begitu mudahnya ia menguasai
huruf-huruf hijaiyah. Setelah dewasa apalagi sudah tua, alangkah sulitnya ia memahami
coretan-coretan asing itu, terlibih lagi mengucapkannya seperti lughat orang Arab.
Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa anak usia dini sangat mudan dan
cepat menerima pelajaran. Kemampaun untuk mencercap pelajaran di usia ini hampir
tidak tidak terbatas. Bahkan, hampir semua jenis pengetahuan jika diajarkana akan
dikuasai dengan mudahnya. Sedangkan anak yang telah dewasa sangat sulit dan berbelit
untuk menerima pelajaran. Itu pun sangat terbatas pada salah satu bidang pelajaran saja.
Bahkan, hampir setiap bidang pelajaran yang dikuasainya selalu melewati kesulitan yang
melelahkan.
Nah, jika PAUD hanya mengembangkan satu aspek kecerdasan saja, maka sama
halnya dengan mengabaikan (lebih tepatnya menyia-nyiakan) potensi yang sangat besar
dalam diri anak. Akibatnya, ia akan memiliki satu kelebihan, tetapi mempunyai banyak
sekali kelemahan. Lebih dari itu, ia sangat kesulitan hidup secara luwes. Sebab, hidup
yang ideal tidak cukup hanya dengan satu kecerdasan saja, melainkan membutuhkan
multi kecerdasan.
Sebaliknya, menumbuh-kembangkan berbagai aspek kecerdasan anak bukan
berarti memforsisr anak untuk belajar keras, melainkan mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya. Jangan dikira anak mudah lelah dan letih seperti kita. Tidak! Anak-anak
jauh lebih energik dan lincah melakukan segala sesutu dari kita. Buktinya, banyak
pengasuh anak yang merasa kelelahan, sementara si anak yang diasuh masih begerak
dengan gesitnya kesana-kemari.
Ini merupakan bukti bahwa anak mempunyai kemapuan lebih untuk menguasai
banyak hal. Jika semua aspek kecerdasan bisa ditumbuh-kembangkan, maka kelak ia
dewasa akan menjadi pribadi yang kompleks, utuh dan lengkap. Jika ia gagal di satu
bidang, ia bisa beralih ke bidang yang lain. Jika ia masih gagal lagi, ia bisa pindah lagi.
Demikian seterusnya, hingga kelak ia menemukan satu atau dua hal yang
mengantarkannya pada puncak kesuksesan.
Oleh karena itu, agenda mendesak pendidikan anak usia dini saat ini adalah
menumbuh-kembangkan seluruh potensi kecerdasan anak-didik. Minimal 9 aspek
kecerdasan sebagaimana yang ditemukan oleh Gardner di atas. Kiranya kesembilan
kecerdasan ini cukup sebagai sarana membentuk kepribadian anak di masa depan
menjadi genarasi yang kompleks, utuh, lengkap dan kaffah.

D. Semua Anak Cerdas


Semua anak dilahirkan dalam keadaan genius. Tidak ada anak yang dilahirkan
dalam keadaan bodoh. Jika ada anak yang diklaim atau pernah divonis sebagai “anak
bodoh”, sesungguhnya orang yang mengklaim demikian hanya karena tidak mengetahui
potensi anak tersebut. Jika semua orang mengetahui bahwa semua anak mempunyai
potensi yang unik –sekaligus menjadi cirri khas yang membedakan dengan anak-anak
lain— pasti semua orang akan mengatakan, “Semua anak adalah genius”
Atas dasar ini, sesungguhnya anak-anak yang divonius autis dan bodoh atau
mengalamai keterbelakangan mental hanyalah korban dari ketidak tahuan orang tua dan
guru dalam memberdayakan potensi setiap anak. Kemungkinan lain, para orangtua dan
guru hanya memahami potensi sebatas kecerdasan tertentu, seperti kecerdasan matematis-
logis atau kmampuan kognitif semata. Sedangkan potensi atau kemampuan di luar itu
dianggap sebagai bukan potensi dan tidak perlu diberdayakan. Akibatnya, anak-anak
yang tidak mempunyai kemampuan kognitif —walaupun ia mempunyai kemampuan lain
yang lebih baik— akan tersisihkan.
Nah, semua anak yang dilahirkan ke muka bumi pasti diberi kemampuan atau
potensi oleh Tuhan yang Maha Mumpuni. Dan, seberapa pun potensi tersebut, bisa
diberdayakan sehingga anak tersebut menjadi genius sebagaimana anak-anak yang lain.
Tidak ada anak yang dilahirkan tanpa membawa potensi sedikit pun, kecuali anak yang
gugur sejak dalam kandungan. Sebab, kemampuan lahir itu sendiri merupakan potensi
yang tak dapat dipungkiri. Bahkan, kemampuan lahir dalam keadaan hidup tersebut
merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya.
Dengan demikian, semua anak dilahirkan dengan membawa potensi, baik besar
maupun kecil. Fakta menunjukkan, bahwa banyak anak-anak yang lahir dalam keadaan
“sekadar hidup” —cacat fisik: buta, lumpuh, bisu, tanpa tangan dan kaki, dll— tetapi
ketika dewasa mampu meraih prestasi melebihi anak-anak yang dilahirkan dalam
keadaan sehat-sempurna.
Hal ini membuktikan bahwa semua anak yang dilahirkan ke dunia ini, apa pun
keadaannya —asalkan hidup— pasti membawa potensi yang luar biasa. Nah, potensi
tersebut jika diberdayakan dengan baik akan mengantarkan anak yang bersangkutan
menjadi anak genius.
Uraian-uraian selanjutnya pada bagian pertama ini akan mengungkapkan berbagai
bukti bahwa semua anak yang dilahirkan adalah genius. Bahkan, anak-anak yang dulu
ketika masa kecil dianggap bermasalah —seperti: autis, keterbelakangan mental, bodoh,
tidak naik kelas, dll— di masa dewasanya justru mampu menorehkan catatan dengan
tinta emas dalam agenda sejarah dunia.
1. Einstein di masa kecil pernah divonis autis.
Einstein, di masa kecil pernah divonis autis. Jika Anda baru mendengar berita
besar ini, pasti akan terkejut. Tetapi, jika Anda yang telah berulang kali mendengar berita
tersebut, pasti akan merasa penasaran, “ada apa dengan Fisikawan sepanjang zaman?”
Saya pun dulu demikian! Pertama kali saya membaca buku-buku yang menceritakan
Einstein kecil, saya terkejut. Betapa tidak? Seorang ilmuwan yang telah diakui
kegeniusannya di seluruh dunia, di masa kecilnya dianggap autis oleh guru-guru di
Sekolah Dasarnya.
Sebelum membaca banyak buku mengenai Einstein kecil, saya berasumsi bahwa
Fisikawan dunia tersebut telah menunjukkan kehebatannya sejak kecil. Ternyata asumsi
saya salah total. Sosok ilmuwan kaliber dunia justru di masa kecilnya dianggap
mengalami keterbelakangan mental oleh guru-gurunya.
Lantas, saya bertanya-tanya, “Mengapa anak yang oleh para guru dianggap autis
bisa menjadi ilmuwan besar?” hinga saat ini, saya belum menemukan jawabannya secara
pasti. Tetapi secara garis besar, jawaban atas rasa penasaran tersebut setidaknya telah
terjawab dalam tulisan ini. Ternyata, klaim “autis” atau keterbelakangan mental, atau apa
pun itu namanya, hanya lah dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak mengatahui
“potensi unik” seorang anak. Mind set orang tersebut telah tertutup oleh pemahaman
bahwa anak cerdas adalah anak yang pandai dalam hal berhitung dan bermain logika.
Sedangkan kemampuan di luar itu akan dianggap sebagai autis atau keterbelakangan
mental.
Wajar, jika Einstein kecil yang hanya mempunyai kemampuan berimajinasi,
berhayal, dan membayangkan benda (obyek) kemudian diklaim sebagai anak autis atau
anak yang mengalami keterbelakangan mental. Untungnya, oleh Ibunya, ia diasuh,
dididik, dibesarkan, dan diberdayakan potensi imajinasinya tersebut, sehingga suatu saat,
jadi lah sosok Einstein yang utuh, unik, dan khas dengan kemampuan yang tidak dimiliki
oleh orang lain.
Bahkan, ketika ia memulai karya besarnya untuk menemukan hukum relativitas
yang sangat tersohor itu, ia hanya membayangkan dirinya duduk di atas cahaya,
kemudian melesat dengan kecepatan sama dengan kecepatan cahaya. Dari kemampuan
membayangkan itu, kemudian ia berpikir keras untuk menerjemahkan apa yang ada
dalam bayangannya tersebut. Berawal dari berpikir keras untuk menerjemahkan dan
mewujudkan apa yang dibayangkan itu lah tanpa sadar ia mengasah kemampuan
berhitung dan berlogikan secara matang.
Dalam bahasa Multiple Intellegences, Einstein sebagaimana disebutkan di atas
memiliki kecerdasan visual-spasial. Kemuidian, ia menggunakan kecerdasannya tersebut
untuk memasuki dan mengembangkan jenis kecerdasan lain, terutama kecerdasan
matematis-logis. Dengan kata lain, kecerdasan visual-spasial berupa imajinasi, bisa
digunakan untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lain yang masih terpendam.
Dengan demikian satu kecerdasan bisa digunakan untuk membuka potensi
terpendam dalam diri setiap orang. Jika hal ini dilukiskan dalam sebuah skema, maka
akan terlihat s ebagai berikut:

Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Linguistik

Kecerdasan Musical

Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan Pintu
Visual- Pembuka Kecerdasan Interpersonal
Spasial
Kecerdasan Eksistensial

Kecerdasan Naturalis

Skema: Satu kecerdasan sebagai pintu memasuki kecerdasan yang lebih


kompleks.

Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa satu jenis kecerdasan –dan ini potensi
yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain—merupakan pintu bagi
pengembangan kecerdasan yang lain. Artinya, orang yang diberi kecerdasan visual-
spasial seperti Einstein, misalnya, dapat digunakan untuk membuka dan mengembangkan
kecerdasan lain yang belum muncul. Kecerdasan ini setiap orang berbeda-beda, sehingga
setiap orang adalah khas dan unik sebagaimana dirinya.
Pengembangan kecerdasan atau potensi diri sesuai dengan keunikan dirinya
tersebut akan berpengaruh pada model dan gaya belajar. Karena setiap orang adalah unik
dan mempunyai gaya belajar sesuia dengan keunikan dirinya, maka setiap orang
mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Inilah sebabnya, mengapa dalam satu kelas;
gurunya sama, materiya sama, bukunya sama, tetapi hasilnya bisa berbeda-beda. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan gaya belajar –di satu sisi— dan gaya mengajar guru di sisi
yang lain. Bagi anak yang mempunyai kesamaan antara gaya belajar dengan gaya
mengajar guru akan meraih prestasi lebih baik dari yang lain. Sebaliknya, anak yang gaya
belajarnya berlawanan dengan gaya mengajar guru, bisa mendapat nilai terburuk, bahkan
diklaim sebagai anak yang bodoh.
Sayangnya, yang terjadi selama ini adalah guru lebih memihak pada gaya belajar
anak-anak tertentu dan mengabaikan gaya belajar anak yang lain. Gaya mengajar guru
yang monoton dan tidak bervariasi adalah bukti mengenai hal ini. Sekadar contoh, guru
yang mengajar dengan gaya ceramah (audiotory) sangat menguntungkan anak-anak yang
hoby belajar dengan mendengarkan tetapi sangat merugikan anak-anak yang belajar
dengan gaya visual dan kinestetik.
Demikian pula dengan apa yang di alami oleh Einstein di waktu kecil. Ia
cenderung mempunyai gaya belajar visual. Sedangkan guru-gurunya senang mengajar
dengan ceramah atau auditorial. Karena Einstein tidak bisa mengikuti gaya mengajar
guru, maka gurunya mengklaim bahwa Einstein adalah anak yang bodoh, bahkan autis.
Padahal, sesungguhnya ini hanya karena faktor kesesuaian antara gaya belajar anak
dengan gaya mengajar guru semata.
Dengan demikian, potensi diri atau kecerdasan seseorang, berpengaruh pada gaya
belajar orang tersebut. Jika ia belajar dan diajar dengan gaya yang sesuai, maka ia mampu
meningkatkan kemampuannya ke tingkat yang lebih baik. Sebaliknya, jika gaya belajar
dan gaya mengajar tidak sesuai, maka potensinya akan terabaikan.
Oleh karena itu, harus ada kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar.
Hanya dengan kesesuaian ini lah potensi anak dapat ditumbuh kembangkan secara
maksimal. Hal ini menuntut kemampuan pendidikan untuk dapat mengenali lebih dalam
peserta didiknya secara kolektif atau individual. Mungkin, cara mengajar pendidik adalah
secara klasikal. Tetapi, pendekatannya harus secara individual. Sebab, setiap peserta
didik mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri yang pasti berbeda dengan anak-anak
yang lain. Jika kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk meningkatkan
potensi atau kecerdasan ini dilukiskan dalam skema, maka akan tampak sebagai berikut.

Mengaj
ar

Belajar Pengembangan
potensi /
Kecerdasan

Skema: Kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk mengembangkan
potensi atau kecerdasan yang lebih baik

Dari skema di atas dapat dilihat bahwa antara gaya mengajar dan gaya belajar
harus ada kesesuaian sehingga terjadia hubungan timbal balik. Nah, hasil dari hubungan
timbal balik lah yang mampu mengembangkan potensi atau kecerdasan anak didik.
Jika proses pendidikan sejak awal (usia dini) telah menekankan kesesuaian antara
gaya belajar (bermain) anak dengan gaya mengajar guru, pasti setiap anak dapat tumbuh-
kembang sesuai dengan keunikan dirinya sendiri. Di samping itu, tumbuh-kembang anak
tidak akan syarat oleh paksaan-paksaan guru yang sebenarnya dapat mengancam potensi
itu sendiri.
Belajar dari kisah Einstein kecil di atas, kita tidak harus mengklaim anak-didik
kita sebagai anak autis atau anak yang mengalami keterbelakangan mental, sebagaimana
yang dialami Einstein. Yang terpenting adalah, mendidik anak sesuai dengan kecerdasan
tertingggi sejak kelahirannya. Jika anak-didik kita lebih senang dengan dunia fantasi,
maka ajarkanlah segala hal dengan cara berfantasi atau menghhayalkan; jika anak senang
dengan melukis atau mewarnai, maka ajarkanlah segala hal dengan cara melukiskan dan
mewarnainya; jika anak lebih senang belajar sambil bergerak ke sana-ke mari, maka
ajarkan segala hal sambil memberi kebebasan bergerak; dan lain sebagainya.
2. Thomas A. Edison pernah dikeluarkaan dari sekolah.
Bukti kedua bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan genius adalah
keberadaan Thomas Alpha Edison. Orang ini adalah penemu bola lampu yang kini
menerangi seluruh penjuru dunia ini.
Tidak jauh berbeda dengan fisikawan dunia, Einstein, sebagaimana dikemukakan
di atas, Edison di masa kecil juga pernah divonis autis. Bahkan, ketika hendak masuk
sekolah dasar, ia di tolak berulang kali. Ketika ada sebuah sekolah yang berkenan
menerimanya, ia sempat dikeluarkan atau dipindahkan pada sekolah luar biasa (SLB).
Apa sesungguhnya yang dilakukan oleh Edison sehingga membuat guru-guru di
sekolah memperlakukannya demikian? beberpa sumber menyebutkan bahwa Edison di
waktu kecil senang mengerami telor, layaknya induk ayam yang mengerami telornya.
Edison bisa merasakan energi hangat atau panas ketika melakukan hal itu. Tetapi, karena
guru dan orang-orang di sekelilingnya menganggap bahwa perilaku tersebut tidak lazim
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya, maka mereka berkesimpulan bahwa Edison
berkelainan mental. Sekolah pun tidak segan-segan mengeluarkannya dan
merekomendasikan agar ia dimasukkan ke sekolah SLB.
Bahkan, ketika Edison memulai karya besarnya untuk menciptakan lampu bolam,
banyak orang yang mencemoohnya dengan mengatakan “Dasar orang gila.” Terlrebih
lagi ketika ia telah gagal sebanyak 999 kali dalam upayanya tersebut. Hampir semua
orang semakin yakin bahwa Edison mengalami kelainan jiiwa, karena terus melakukan
hal-hal yang selalu gagal.
Walaupun ada sebagian orang yang percaya bahwa Edison tidak gila, tetapi
mereka tidak henti-hentinya meyarankan untuk menghentikan proyek raksasanya
tersebut. alasannya, kegagalan yang sekian banyak telah dianggap cukup untuk
membuktikan bahwa percobaanya tidak mungkin dilanjutkan.
Pendek kata, Edison di waktu kecil bukan lah anak yang dinilai kebanyak orang
sebagai anak yang cerdas apa lagi genius. Ia di mata kebanyakan orang adalah anak yang
bermasalah, bodoh, bahkan berkelainan jiwa.
Lagi-lagi, berita berita ini sungguh mengejutkan. Betapa tidak? Siapa yang
menyangka bahwa penemu bola lampu yang kini dimanfaatkan semua orang di dunia ini
dulunya diklaim sebagai anak autis, terbelakang mentalnya, bahkan SD saja di
keluarkan?
Pertanyaanya, “Mengapa anak yang oleh para guru dianggap autis bisa menjadi
ilmuwan besar?” Kira-kira, jawabannya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi
dengan Einstein di atas. Klaim “autis” atau keterbelakangan mental itu hanya di
keluarkan oleh orang-orang yang tidak mengatahui “potensi unik” seorang anak. Mind set
kebanyakan orang (termasuk guru) waktu itu telah tertutup oleh pemahaman bahwa
genius atau tidaknya seseorang hanya ditentukan oleh kemampuan berhitung atau
kecerdasan matematis-logisnya. Sedangkan kemampuan di luar itu akan dianggap
sebagai autis atau keterbelakangan mental.
Wajar, jika Edison kecil yang tidak bisa diam, duduk manis sambil mendengarkan
guru mengajar lantas diklaim sebagai anak autis atau anak yang mengalami
keterbelakangan mental. Untunglah, Edison oleh Ibunya diasuh, dididik, dibesarkan, dan
diberdayakan potensi geraknya tersebut, sehingga suatu saat, jadi lah sosok Edison yang
utuh, unik, dan khas dengan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Dalam bahasa Multiple Intellegences, Edison sebagaimana disebutkan di atas
memiliki potensi kecerdasan kinestetik. Kemuidian, ia menggunakan potensi
kecerdasannya tersebut untuk memasuki dan mengembangkan kecerdasan-kecerdasan
lain, terutama logika-matematika dan visual-spasial. Dengan demikian ia menggunakan
potensi unik dalam dirinya sebagai pintu gerbang untuk mengembangkan berbagai
kekcerdasan dalam dirinya. Jika hal ini dilukiskan dalam sebuah skema, maka akan
terlihat sebagai berikut:

Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Visual-Spasial

Pintu Kecerdasan Musical


pembuka
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasa potensi
n diri / Kecerdasan Interpersonal
kecerdas
Kinestetik
an Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan Eksistensial

Kecerdasan Naturalis

Skema: Kecerdasan kinestetik sebagai pintu memasuki kecerdasan lain yang lebih
kompleks.

Dari skema di atas dapat dilihat bahwa satu jenis kecerdasan –dan ini potensi
yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain—merupakan pintu bagi
pengembangan kecerdasan yang lain. Artinya, orang yang diberi potensi atau kecerdasan
kinestetik seperti Edison, dapat menggunakan kecerdasannya tersebut untuk menggali
dan mengembangkan kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Sebagaimana disebutkan
di atas, bahwa potensi tersebut setiap orang berbeda-beda, sehingga setiap orang adalah
khas dan unik sebagaimana jati dirinya.
Apa yang di alami oleh Edison di waktu kecil, sebenarnya juga di alami oleh
banyak anak-anak di berbagai belahan negeri saat ini. Tetapi, nasib mereka tidak jauh
berbeda dengan Edison di waktu kecil. Hampir seluruh sekolah menolak anak-anak yang
mempunyai gejala gerak yang sulit dikendalikan. Mereka sering mengatakan gejala ini
dengan istilah “hiper aktif.” Padahal, sesungguhnya anak-anak tipe demikian mempunyai
kecerdasan kinestetik yang sangat tinggi. Sebagaimana kecerdasan-kecerdasan yang lain,
kecerdasan kinestetik pun bisa menjadi pintu bagi pengembangan jenis-jenis kecerdasan
yang lain.
Namun, sayangnya para guru dan orang tua hingga saat ini masih menganggap
bahwa anak-anak hiper aktif atau anak berkecerdasan kinestetik tinggi adalah anak
berkelainan, sehingga harus dimasukkan ke Sekolah Khusus atau Sekolah Luar Biasa
(SLB). Hal ini disebabkan oleh mind set atau pemahaman guru yang masih mengikuti
pandangan lama, yakni yang dimaksud anak cerdas adalah anak yang mempunyai logika
baik atau kemampuan berhitung tinggi. Sehingga, anak-anak yang tidak mempunyai
kemampuan di bidang itu secara serta merta dikatakan sebagai anak berkebutuhan
khusus.
Telah banyak bukti yang menyatakan bahwa anak-anak yang dinyatakan hiper
aktif atau mempunyai kecerdasan kinestetiik tinggi di masa kecilnya justru mampu
meraih prestasi di atas rata-rata ketika dewasa. Jadi, bukan hanya Edison yang mengalami
hal ini.
Tentu, untuk mengantarkan anak-anak hiper aktif mencapai prestasi tertingginya
diperlukan pola pendidikan, khususnya gaya belajar-mengajar yang khas dan sesuai
dengan tingkat kecerdasannya. Ini lah yang tidak dimiliki guru pada lembaga pendidikan
pada umumnya. Dengan alasan ini lah mereka menyerahkan pola pendidikan anak-anak
hiper aktif kepada guru di Sekolah Luar Biasa.
Fenomena seperti ini sudah bukan menjadi rahasia umum. Banyak sekolah yang
memarjinalkan sebagian anak dengan alasan anak tersebut tidak lazim atau mengalami
kelainan. Padahal, sesunguhnya anak tersebut hanya mempunyai kelebihan yang
menonjol dan kelebihannya tersebut tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain. Karena
sekolah hanya menggunakan pola dan strategi mengajar yang sama dan monoton, mereka
tidak menerima anak-anak yang demikian.
Model penerimaan peserta didik baru (PMB) dengan cara memberikan tes tulis
adalah bukti yang tak terbantahkan lagi. Di dalam tes tulis tersebut, hampir semua soal
yang diajukan syarat dengan logika dan penalaran atau terlalu mengedepankan
kecerdasan matematis-logis. Sedangkan soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan denga kreativitas, motivasi, spiritualitas, dan lain sebagainya hampir tidak ada.
Tentu, test yang demikian sama halnya dengan mengutamakan anak-anak tertentu (anak
berkecerdasan matematis-logis tinggi) dan mengesampingkan anak-anak yang lain.
Bahkan, fenomena terakhir menunjukkan bahwa semakin “favorit” sebuah
lembaga pendidikan atau sekolah, semakin ketat menyeleksi calon peserta didiknya.
Anak yang mempunyai kecerdasan matematis logis tinggi akan mendapat prioritas utama
di berbagai sekolah. Ia bebas memilih sekolah mana pun yang ia suka, karena semua
sokolah pasti bisa menerimanya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan matematis-logis
seorang anak, semakin sulit ia mendapatkan sekolah. Ia hanya mempunyai peluang kecil
untuk diterima di sekolah “favorit.”
Jarang sekali sekolah yang siap dan bersedia menerima semua jenis calon perserta
didik tanpa seleksi tes formal yang ketat dan rigid. Memang, kapasitas sekolah sering kali
sangat terbatas. Tetapi apa pun alasannya, menyeleksi calon peserta didik dengan
memberikan tes formal dan rigid tidak lah adil. Sebab, cara yang demikian hanya
menguntungkan anak-anak berkecerdasan tertentu dan menafikkan anak-anak
berkecerdasan lain.
Oleh karena itu, model seleksi utuk calon perseta didik yang masih berjalan
hingga saat ini harus dievaluasi. Jika harus ada selesksi, maka harus ada formasi yang
adil untuk semua anak dengan berbagai kecerdasan mereka. System seleksi tidak boleh
mengutamakan anak bekerkecerdasan tertentu dan mengesampingkan anak
berkecerdasan lain. Semuanya harus terakomodir dengan adil, sehingga tidak ada anak di
negeri ini —bagaimana pun keadaannya— termarginalkan hak-hak pendidikannya.
Apa yang dialami oleh Edison sebagaimana dikemukakan di atas kiranya dapat
menjadi pelajaran yang berharga untuk dunia pendidikan saat ini. Alangkah bangganya
jika lembaga pendidikan dapat melahirkan manusia-manusia luar biasa seperti Edison dan
Einstein di atas. Sayangnya, lembaga pendidikan ketika itu telah mencoreng muka
mereka, sehingga muncul stereotip bahwa lahirnya orang-orang besar di dunia ini bukan
atas jasa lembaga pendidikan.
Walaupun ada benarnya stereotip ini, kiranya tidak sepenuhnya dapat dipegangi.
Artinya, jika mereka tidak diolah melalui pendidikan saja bisa demikian, tentu mereka
bisa lebih revolusioner lagi jika dididik dalam wadah lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan bersikap adil terhadap semua
potensi anak, sehingga siapa pun orangnya yang menjadi pelopor peradaban dunia ini,
selalu memakai jasa pendidikan. Dengan demikian, pendidikan selalu berkembang dari
masa ke masa, seiring dengan perkembangan pemikiran para alumninya.

3. Anak autis yang pandai berpidato dan hapal 250 lagu.


Fakta lain yang mengindikasikan bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
genius adalah keberadaan Kharisma Rizki Ia adalah peserta didik pada Sekolah Luar
Biasa di Semarang, Jawa Tengah. Walaupun ia dikatakan sebagai anak autis, tetapi ia
mampu menghafal 250 lagu, lengkap dengan cara melantunkannya. Di samping itu, ia
juga mampu menghafal seluruh merk Hand Phone (HP) yang beredar di negeri ini. Yang
lebih mengherankan lagi, ia mampu menirukan, sekaligus menghapal pidato seseorang
hanya dalam sekali dengar saja.
Ia pernah diekspos oleh media elektronik dalam acara Kick&andy di stasiun
MetroTV. Dengan di dampingi oleh kepala Sekolah Luar Biasa, Ciptono, Kharisma
menunjukkan kebolehannya di depan ratusan juta pemirsa di seluruh penjuru tanah air. Di
bawah panduan moderator atau pembawa acara dalam tayangan tersebut, Kharisma
secara alamiah memperagakan kemampuannya secara mengagumkan. Betapa tidak?
ketika ia diminta untuk menyebutkan nama-nama atau judul-judul lagu, ia mampu
menyebutkanya dengan sempurna. Demikian pula dengan hapalanya terhadap seluruh
merk HP yang beredar di negeri ini. Yang membuat terkejut semua orang adalah, ketika
ia diminta untuk menirukan pidato Soekarno yang diperdengarkan melalui kaset rekaman
selama kurang lebih lima menit. Dengan sangat sempurna, Kharisma menirukan pidato
sang Proklamator tersebut tanpa cacat. Kata-katanya tidak ada yang salah, nada dan
iramanya sama persis, bahkan gertakan dan kobaran semangat tampak menyala dalam
pidato tiruannya tersebut.
Hanya saja, ia tidak mengimbangi pidatonya yang sangat sempurna tersebut
dengan gerak verbal (mimik) yang baik. Tangan dan kakinya tampak selalu bergerak dan
tidak beraturan. Ia juga terlihat gesit bergerak dan terkesan sulit dikendalikan. Memang
demikian keadaannya anak autis yang luar biasa itu.
Bahkan, menurut keterangan guru-guru di sekolanya, Kharisma, si autis itu
tangannya tidak bisa diam memukul-mukul meja membentuk irama tertentu. Ia juga sulit
memusatkan perhatian di kelas. Bahkan, ia selalu menjadi “biang kerok” di kelasnya.
Atas kepiawaian guru-gurunya lah anak autis tersebut dapat dididik sesuai dengan
gaya belajarnya. Hasilnya, sungguh mengejutkan dunia. Anak yang divonis autis, di
tangan pendidik yang kreatif bisa menjadi anak yang tumbuh melebihi tumbuh-cerdas
anak-anak normal pada umumnya.
Apa sesungguhnya yang terjadi dalam diri Khariusma tersebut? Sebagaimana
yang dialami oleh Einstein dan Edison di atas, bahwa Kharisma sesunguhnya hanya
mempunyai kecerdasan yang tidak lazim dimiliki oleh anak-anak yang lain. Karena mind
set atau frame pemikiran guru dan orang tua anak yang demikian bukan lah anak yang
cerdas, lantas mereka memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Guru dan
orangtuanya selama ini hanya berpikir bahwa anak yang normal dan cerdas adalah anak
yang mempunyai logika penalaran yang sehat dan kemampuan berhitung secara
memadai. Sedangkan kemampuan-kemampuan yang lain dinafikkan begitu saja, bahkan
dianggapnya sebagai “aib.”
Dalam konteks Multiple Intellegences, Kharisma sebagaimana disebutkan di atas
mempunyai kecerdasan kinestetik yang sangat tinggi. Kemampuannya untuk senantiasa
menggerakkan tangan dan kakinya adalah indikasi kecerdasan ini. Keanehan anak-anak
hiper aktif ini pula yang dijadikan senjata sekolah-sekolah unggulan di abad ini untuk
mengklaim anak-anak yang demikian itu sebagai anak berkebutuhan khusus. Lantas,
mereka tidak mau menerima mereka karena merasa sekolahnya unggul dan bergengsi.
Untungnya, ada Sekolah Luar Biasa (SLB) yang guru-gurunya tidak
memperlakukan anak-anak seperti Kharisma di atas sebagai anak autis atau anak
berkebutuhan khusus. Mereka hanya memperlakukan atau mendidiknya sesuai dengan
keunikan diri setiap anak.
Di bawah asuhan dan pola pendidikan yang sesuai dengan ciri khas atau jati
dirinya, ia dapat membangkitkan dan mengembangkan berbagai kecerdasan lain yang ada
dalam dirinya. Artinya, jika dalam Miltiple Intellegence ditemukan bahwa dalam setiap
anak terdapat 9 (sembilan) jenis kecerdasan, maka Kharisma memasuki delapan
kecerdasan yang lain melalui kecercasan kinestik.
Tetapi, melihat kemampuannya menirukan berbagai suara, sepertinya Kharisma
juga mempunya kecerdasan linguistik yang tinggi. Oleh karena itu, ia bisa disebut
sebagai anak yang telah mampu mengkombinasikan dua kecerdasan untuk memasuki
ketujuh kecerdasan yang lain. Lihat skemama berikut ini.

Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Visual-Spasial

Pintu
Kecerdasa pembuka
Kecerdasan Naturalis
n Kombinasi potensi
Kinestetik
kecerdasan diri / Kecerdasan Interpersonal
an Kecerdasan Intrapersonal
n
Lingusitik
Kecerdasan Eksistensial

Skema: kominasi dua kecerdasan untuk memasuki jenis-jenis kecerdasan yang lain.

Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa kombinasi dua kecerdasan (kinestetik
dan linguistik) dapat menjadi pintu untuk memasuki berbagai kecerdasan yang lain
dengan lebih mudah.
Dalam hal ini, menjadi tugas berat orangtua dan guru untuk menemukan jenis
kecerdasan tertentu yang dimiliki setiap anak didik sejak ia dilahirkan. Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa jenis kecerdasan tersebut pasti berbeda antara anak yang satu
dengan anak yang lain. Sehingga, tidak ada metode tunggal dan final untuk menemukan
berbagai kecerdasan setiap peserta didik.
Oleh karena itu, diperlukan “sikap edukatif” yang tinggi untuk menemukan jenis
kecerdasan setiap anak. Setelah jenis kecerdasan tersebut ditemukan dalam diri setiap
anak-didik, maka tugas dan kewajiban guru atau orangtua selanjutnya adalah
mendidiknya sesuai dengan jenis kecerdasan yang dimiki tersebut. Sebab, jenis
kecerdasan tersebut akan menjadi gaya belajar yang khas pada setiap anak. Oleh karena
itu, gaya mengajar guru harus disesuaikan dengan gaya belajar anak. Jika tidak, maka
yang akan terjadi adalah ketidak sinambungan antara materi yang diajarkan dengan
kebutuhan anak. Bahkan, bisa jadi anak tidak tahu menahu terhadap semua yang
dimaksudkan guru.
Jika telah terjadi demikian, biasanya guru lah yang menyelahkan anak-didiknya
dengan alasan anak tersebut kurang pintar, lambat, sulit mengerti, bahkan bodoh. Sangat
sedikit guru yang mengakui kegagalan belajar anak didiknya sebagai kegagalan cara
mengajarnya.

4. Tuna Graita Menjadi Pelukis Berbakat.


Fakta yang satu ini tidak mungkin terbantahkan, sebagai bukti untuk kesekian
kalinya bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan genius. Jika genius dipahami
sebagai kemampuan luar biasa atau kepandaian di atas rata-rata, maka siapa yang
meragukan kemampua pelukis berbakat ini? Ia adalah Andi Wibowo, seorang tuna netra,
murid sebuah SLB di Jawa Tengah. Bakatnya melukis sangat mengagumkan. Jika para
pelukis pada umumnya mengguratkan penanya dengan satu tangan, maka Andi melukis
dengan dua tangannya sekaligus. Bahkan, ia mampu melukis dua obyek secara
bersamaan. Pada usianya yang masih belasan tahun, lukisannya terjual senilai jutaan
rupiah.
Fakta yang satu ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa semua anak
dilahirkan dalam keadaan genius. Dalam konteks Multiple Intellegence, Andi Wibowo
mempunyai kecerdasan visual-spasial, interpersonal, dan kecerdasan musical yang tinggi.
Karya-karyanya di bidang seni lukis membuktikan hal itu.
Nah, dalam konteks ini, guru dan orang tua telah sukses menemukan jenis
kecerdasan yang dimiliki si kecil yang malang itu. Setelah jenis kecerdasannya di
temukan, maka predikat “malang” atas tuna grahitanya tersebut telah lepas dan tebebas
sama sekali. Kini, yang ada adalah si Andi Yang genius. Tugas pendidikan dan orangtua
selanjutnya adalah mengasuh dan mendidik dengan pola yang sejalan dengan gaya
belajarnya. Dengan pola pendidikan yang tepat, Andi kecil dapat membangkitkan
berbagai kecerdasan yang ada dalam dirinya. Lihat skema berikut ini.

Kecerdasan Matematis-Logis
Kecerdasan Visual-
Spasial Pintu Kecerdasan Linguistik
Kombinasi pembuka
Kecerdasan Naturalis
kecerdasan potensi
Kecerdasan Musical diri / Kecerdasan Kinestetik
Kombinasi kecerdas
kecerdasan
an Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan
Interperssonal
Kecerdasan Eksistensial

Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa semakin banyak kombinasi kecerdasan
yang ditemukan, semakin mudah seseseoroang untuk memasuki dan meningkatkan
berbagai kecerdasan yang lain. Sebaliknya, semakin sedikit tingkat kombinasi kecerdasan
yang ditemukan, semakin berat untuk memasuki, menggali, dan meningkatkan berbagai
kecerdasan lainnya.
Walaupun demikian, yang terpenting adalah modal dasar kecerdasan setiap anak
harus ditemukan. Sebab, modal dasar kecerdasan ini adalah landasan bagi pengembangan
diri anak lebih lanjut. Jika jenis kecerdasan ini belum ditemukan, maka yang terjadi
adalah “mal praktik” pendidikan. Guru akan cenderung menggunakan metode yang sama
untuk semua anak. Tentu hal ini tidak akan membawa hasil yang signifikan, karena
metode yang cocok untuk anak tertentu belum tentu cocok untuk anak yang lain.
Jangan berharap untuk dapat menemukan berbagai jenis kecerdasan dalam diri
setiap anak. Sebab, biasanya setiap anak hanya memiliki satu atau dua, jenis kecerdasan
saja. Selebihnya harus digali, dikembangkan dan ditingkatkan. Di samping itu, satu atau
dua jenis kecerdasan yang telah ditemukan kiranya cukup sebagai modal awal bagi
pengembangan diri dan peningkatan kecerdasan yang lain. Bahkan, seandainya anak
tersebut hanya memiliki satu jenis kecerdasan pun, telah cukup untuk mendongkrak
berbagai kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Sebab, pintunya telah diketemukan.
Sehingga, tidak terlalu sulit untuk membukanya.
Tidak hanya Andi Wibiwo saja yang dilahirkan dalam keadaan cacat yang pada
akhirnya mampu meraih prestasi di atas rata-rata orang-orang normal pada umumnya.
Masih banyak orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat tetapi mampu meraih
prestasi terbaik dalam hidupnya. Sekadar contoh, Terry Fok, seorang manusia “berkaku
satu” dari Kanada yang mampu menyelesaikan lari jarak jauh. Rata-rata ia belarti dengan
kaki palsunya sejauh 26, 2 mil setiap hari, atau Jimm Abbott, seorang pitcher kidal
California Angles yang pada usia lima tahun membuang tangan kanan palsunya tetapi
berprestasi dalam tim basket, sepak bola dan bisbol di sekolah menengah. Atau spesialis
tendangan bebas Tom Dempsey yang walaupun lahir tanpa lengan kanan dan hanya
mempunyai separo kaki kanan, bisa mencapai rekor sebagai pencetak gol jarak 60 meter
untuk tim New Orleans Saints.
Dari sini, dapat diamati bahwa orang-orang yang cacat sejak lahir tidak
kehilangan hak dan kesempatannya untuk berperestasi layaknya orang-orang normal pada
umumnya. Bahkan, prestasi mereka jauh melampaui prestasi anak-anak yang dilahirkan
dalam keadaan sempurna. Masih banyak lagi orang-orang yang lahir dalam keadaan cacat
atau kurang sempurna tetapi justru mampu menyumbangkan karya terbaiknya bagi
peradaban dunia.
Semua fakta di atas menunjukkan bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
genius. Tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan bodoh, terbelakang, berkelainan,
dan vonis-vonis buruk lainnya. Berbagai pengalaman membuktikan bahwa klaim-klaim
tersebut hanya dikeluarkan oleh orang-orang –termasuk guru— yang tidak memahami
harkat dan martabat anak sebagai makhluk suci karunia Tuhan yang tak ternilai harganya.
Bagaimana pun keadaan seorang anak ketika dilahirkan, semuanya mempunyai
kesempatan yang sama untuk hidup merdeka dan memperoleh hak-haknya. Bahkan, tidak
sedikit anak-anak dilahirkan dalam keadaan cacat mampu mengalahkan pesaingnya dari
kalangan anak-anak normal.
Mereka (anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat tersebut) hanya
memerlukan sedikit perhatian yang lebih dan berbeda dengan anak-anak sempurna pada
umumnya. Hal ini merupakan kewajaran, mengingat anak-anak yang dilahirkan dalam
keadaan cacat banyak mengalami keterbatasan. Tetapi, sebesar apa pun keterbatasan
mereka bukan utuk dihindari, melainkan diberdayakan. Sehingga, keadaan yang serba
terbatas itu menjadi tidak terbatas lagi.
Adalah tidak manusiawi jika mereka yang sudah dilahirkan dalam keadaan cacat
itu justru mendapat perlakukan yang kurang dari pada anak-anak normal pada umnya.
Betapa banyak orangtua dan guru yang menyerah sebelum berjuang membesarkan,
memberdayakan, dan memperjuangkan nasibb anak-anak cacat itu. Tidak jarang diantara
mereka yang mendikdik anak-anak cacat tersebut sekardar membuat mereka bertahan
hidup, tanpa ada upaya yang berarti. Mereka telah menyerah dan berputus asa sebelum
potensi dalam diri anak-anak cacat tersebut tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain,
banyak orangtua dan guru yang menyerah pasrah atas keterbatasan anak-anak tersebut.
Lantas, mereka mencampakkannnya begitu saja, atau dipelihara untuk sekadar bertahan
hidup semata.
Sungguh malang nasib mereka di tangan guru dan orangtua yang demikian itu.
Anak yang seharusnya mendapat perhatian lebih justru termarjinalkan oleh lembaga
pendidikan yang seharusnya melindungi hak-hak kecerdasannya.
Dengan menyadari hal ini, kiranya para pendidik dan orangtua tidak berputus asa
untuk mengembangkan potensi dan kecerdasan anak-didiknya, walaupun mereka dalam
keadaan serba terbatas. Sebab, peluang mereka adalah sama dengan anak pada umumnya.
Mereka hanya membutuhkan sedikit perhatian lebih dan cara belajar yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Tidak lebih dari itu.

5. Dilahirkan tidak normal mampu menulis buku.


Sampai di sini, kita masih membicarakan bahwa semua anak dilahirkan dalam
keadaan genius. Kehadiran orang yang satu ini di muka bumi tidak boleh dilupakan. Ia
adalah termasuk jajaran orang yang ketika lahir dalam keadaan tidak normal, karena lahir
prematur dengan berat badan tidak mencapai 1 kg atau hanya berkisar antara 500 gram
saja, tetapi mampu meraih prestasi terbaik dalam hidupnya. Ia tidak lain dan tidak bukan
adalah Miyuki Inoue.
Siapa yang menyangka bahwa si mungil itu di masa dewasa mampu mengalahkan
ribuan orang yang dulu dilahirkan dalam keadaan sempurna? Dalam usianya yang masih
muda belia, ia mampu menulis buku yang sangat fenomenal berjudul Aku Dilahirkan
Hanya 500gram. Hampir tidak ada orang tidak mengenal buku karangan mantan anak
genius ini.
Siapa pun yang membaca buku ini, pasti terkagum-kagum dibuatnya. Tulisan
mantan anak genius yang dulunya tidak normal itu mengandung daya ubah luar biasa.
Beberapa bagain diantaranya mampu membakar motivasi setiap pembacanya untuk
meraih prestasi menggapai hidup yang lebih berarti.
Dalam konteks Multiple Intellegences, Miyuki mempunyai kecerdasan visual-
spasial yang sangat tinggi. Kemampuannya untuk berimajinasi kreatif merupakan
indikasi yang sangat jelas mengenai hal ini. Di samping itu, melihat semangat Miyuki
kecil yang tiada putus asa, ia juga mempunyai kecerdasan intrapersonal yang tinggi.
Semangatnya untuk terus mengembangkan diri membuktikan hal itu.
Di bawah bimbingan, asuhan, dan pengajaran orangtua dan gurunya, ia dapat
membuka berbagai kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Jika jalan membuka pintu
kecerdasan ini dilukiskan dalam sebuah skema, maka akan tampak sebagai berikut:
Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Linguistik

Pintu Kecerdasan Musical


Kecerdasan
pembuka
Visual-Spasial Kecerdasan Naturalis
Kombinasi
potensi
kecerdasan diri / Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan
kecerdas
Intrapersonal an Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan Eksistensial

Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa Miyuki kecil membuka potensi diri dan
kecerdasannya melalui pintu kombinasi kecerdasan visual-spasial dan intrapersonal.
Kombinasi keduanya menjadi alat utama untuk menggali dan mengembangkan berbagai
kecerdasan lain yang belum muncul.
Sebagaimana yang dialami oleh tokoh-tokoh besar dunia yang telah disebutkan di
atas, Miyuki pun tidak jauh berbeda. Ia termasuk orang yang dikucilkan dari kancah
pendidikan formal. Walaupun demikian, semangatnya tidak surut oleh segala
keterbatasan yang ada. Justru dengan segala keterbatasan tersebut Miyuki kecil ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya mampu menyamai harkat dan martabat anak-
anak lain pada umumnya.
Sekali lagi, anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat, betapa pun
buruknya, tetap dalam keadaan genius. Mereka hanya membutuhkan sedikit perhatian
lebih dan model pembelajaran yang berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya.

6. Tidak lulus SD, menjadi publik spikers taraf dunia.


Andre Wongso! Ini lah salah satu orang yang tercatat dalam buku sejarah dunia
sebagai orang yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi menjadi motivator papan atas
dunia. Bahkan, buku-buku karyanya mendapat apresiasi tinggi di kalangan masyarakat.
Predikat “Best Seller” terhadap karya-karyanya membuktikan hal itu.
Andre Wongso adalah salah satu bukti yang mampu memperkuat bahwa semua
anak di lahirkan dalam keadaan genius. Bahkan, anak yang tidak lulus sekolah dasar (SD)
pun termasuk genius. Pasalnya, prestasinya jauh melampaui anak-anak yang dulunya
dinobatkan oleh guru-guru di sekolahnya sebagai anak genius yang sesungguhnya.
Fenomena ini semakin menguatkan bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
genius. Kedua orangtua dan guru-gurunya lah yang menjadikan mereka sebagai anak
cerdas dan genius atau sebaliknya, terbelakang dan autis. Orangtua dan guru (terutama
pada pendidikan usia dini dan pendidikan dasar) sangat berpengaruh terhadap masa
depan kegeniusan yang dibawa sejak lahir.
Pertanyaan yang selalu muncul melihat fenomena seperti Andre Wongso ini
adalah, “Mengapa orang yang ketika masa kecilnya diklaim sebagai anak yang
terbelakang bahkan autis justru mampu mengungguli orang-orang yang dulu dinobatkan
sebagai anak cerdas atau anak genius?”
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah terletak pada mind set dan pemikiran
orang pada umumnya dan guru pada khususnya. Mereka memahami anak genius hanya
lah anak yang mempunyai kemampuan bermain logika baik dan berhitung secara
memadai. Sedangkan kemampuan lain di luar itu dianggap sebagai bukan kecerdasan.
Akibatnya, mereka ‘kecolongan’ karena dugaan mereka terhadap anak genius kurang
tepat.
Anak yang dulu seolah-olah dipinggirkan telah menjadi orang-orang besar,
sedangkan anak-anak yang dulunya di bangga-banggakan masih meratapi nasib mengapa
tidak mampu meraih prestasi seperti orang-orang yang dulunya jauh dibawah mereka.
Kasus seperti yang terjadi dalam diri Andre Wongso sebagaimana disebutkan di
atas, dilihat dari kacamata Multiple Intellegences, ia mempunyai tiga jenis kecerdasan
yang sangat tinggi, yaitu: kecerdasan lingusitik, visual-spasial, dan intrapersonal.
Tingginya kecerdasan linguistik dibuktikan dengan kemampuannya berbicara di
depan umum yang mampu membakar semangat juang siapa pun yang mendengarnya. Di
samping itu, karya-karya tulisnya adalah bukti tak terbantahkan kecerdasan linguistik
yang tinggi. Sedangkan kecerdasan visual-spasialnya dibuktikan dengan daya imajinasi
yang dituangkan dalam karya-karya tulisnya. Berbagai kisah, cerita, dan suri tauladan
yang dipaparkan dalam karya-karya tulisannya membuktikan bahwa dia memiliki
kekuatan imajinasi yang tinggi. Dan, imajinasi adalah indikasi kecerdasan visual-spasial.
Adapun tingginya kecerdasan intrapersonal ditunjukkan dengan kekuatan jiwa

Kecerdasan Matematis-Logis
Kecerdasan Visual-
Spasial Pintu Kecerdasan Musical
Kombinasi pembuka
Kecerdasan Naturalis
kecerdasan potensi
Kecerdasan Linguistik diri & Kecerdasan Kinestetik
Kombinasi kecerdas
kecerdasan
an Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan
Intrapersonal
Kecerdasan Eksistensial
interpreneurship nya. Lihat skema berikut ini.

Skema di atas melukiskan keberadaan kecerdasan yang dimiliki oleh Andre


Wongso, dalam perspektif Multiple Intellegences. Dengan bekal ketiga jenis kecerdasan,
ia membuka pintu kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hingga pada akhirnya ia menjadi
sosok manusia yang utuh, kompleks, dan holistic.
Belajar dari kisah Andre Wongso di atas, hendaknya kita tidak menjadikan
pendidikan sebagai harapan satu-satunya keberhasilan hidup di masa depan. Sebab,
banyak orang yang tidak menempuh pendidikan –SD saja tidak lulus— bisa meraih
keberhasilan dalam hidupnya. Sebaliknya, banyak orang yang gagal, walaupun telah
menempuh pendidikan hingga Perguruan Tinggi.
Walaupun demikian, bukan berarti bahwa pendidikan tidak penting dan oleh
karena itu tidak berpengaruh pada keberhasilan hidup seseorang. Bukan demikian
maksudnya. Sebab, banyak fakta yang menunjukkan bahwa orang-orang yang berhasil
dalam hidupnya adalah karena pendidikan. Bahkan, perbandingan antara yang berhasil
melalui pendidikan dan yang gagal jauh lebih banyak yang berhasil melalui pendidikan.
Oleh karena itu, hendaknya kita bisa lebih jernih melihat persoalan ini.
Kasus dan keajaiban yang terjadi dalam diri Andre Wongso memang benar
adanya. Tetapi, untuk menjadi sosok “Andre Wongso” yang lain tidak harus gagal
Sekolah Dasar atau tidak lulus SD. Kita tidak boleh mengikuti jalan keberhasilan orang
lain secara membabi buta. Sebab, jalan keberhasilan seseoorang cocok untuk satu orang,
tetapi belum tentu cocok untuk orang lain. Hal ini disebabkan oleh ciri khas dan keunikan
yang ada dalam diri setiap orang berbeda-beda.
Jadi, jangan sampai kita mempunyai logika begini: “untuk berhasil tidak harus
menempuh pendidikan, dan oleh karenanya pendidikan tidak penting, lantas kita tidak
mau menempuh pendidikan.” Logika ini harus di balik. Jika Andre wongso yang tidak
lulus SD saja mampu menjadi penulis besar dan motivator papan atas dunia, apa lagi jika
ia dulunya bisa lulus SD. Tentu prestasinya jauh lebih baik dari saat ini. Atau, mungkin
karena Andre Wongso adalah sosok manusia langka dengan segenap potensi yang
dimilikinya, sehingga SD tidak lulus pun bisa meraih prestasi luar biasa. Tentu, kita tidak
bisa disamakan dengan Andre Wongso. Oleh karena itu, jika kita menempuh jalan hidup
sebagaimana yang ditempuh Andre Wongso, maka belum tentu kita berhasil sebagaimana
keberhasilan yang diraihnya.
Pelajaran yang pantas kita petik dari perjalanan hidup Andre Wongso adalah
sikap tidak menggantungkan hidup pada ijazah pendidikan. Pendidikan hanya lah
sekadar sarana pengembangan potensi diri, bukan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Sehingga, yang terjadi adalah pendidikan untuk kehidupan, bukan hidup untuk
pendidikan. Mind set ini lah yang seyogyanya harus di tanamkan di dalam lubuk hati
yang paling dalam pada diri setiap orang yang berkecimpung di dunia pendidikan.
Harapannya, pendidikan dapat menghargai keunikan peserta didik yang beraneka ragam.
Salah satu keaneka ragaman yang harus dipahami tersebut adalah keberadaan anak-anak
yang dilahirkan dalam keadaan cacat, tetapi sesungguhnya genius.

7. Dia pun tidak menyangka menjadi pengusaha?


Hilmy Yahya pernah menulis buku yang berjudul, “Saya Saja Tidak Menyangka
Menjadi Pengusaha” buku ini mengisahkan perjalanan hidupnya yang tanpa sengaja
mengantarkan dirinya menjadi sosok pengusaha dan entrepreneur sukses.
Jika judul buku itu dialih-konteks kan, maka akan banyak sekali orang yang tanpa
sengaja menemukan “takdir” hidupnya. Sekadar contoh, “Saya Saja Tidak Menyangka
Menjadi Penulis.” Jika saya menulis buku dengan judul ini, pasti saya akan bercerita
panjang lebar bagaimana lika-liku perjalanan hidup saya. Mulai dari SD, SMP, SMK,
UIN Fakultas Keguruan, sampai pada kegemaran membaca dan menulis. Bagi Anda yang
menjadi bisnisman, Anda bisa menulis buku dengan judul, “Saya Saja Tidak Menyangka
Menjadi Bisnisman.” Dalam buku tersebut, Anda bisa bercerita panjang lebar mengenai
perjalanan hidup Anda sejak kecil hingga sekarang. Bagi Anda yang menjadi guru,
dosen, karyawan, dan lain sebagainya, bisa menulis buku dengan judul senada. Intinya,
Anda bisa berbagi pengalaman dengan semua orang, bahwa banyak hal yang diperoleh
tanpa kesengajaan yang terencana.
Betapa banyak orang yang mengalami nasib seperti Hilmy. Diantara mereka ada
yang nasibnya baik, tetapi tidak jarang yang bernasib malang. Sekadar contoh, banyak
orang yang tidak menyangka bahwa dirinya menjadi pengangguran, banyak orang yang
tidak menyangka dirinya menjadi pengemis berijazah, betapa banyak orang yang tidak
menyangka bahwa dirinya akan terjerumus di lembah narkoba.
Betapa banyak para alumni Fakultas Teknik Mesin menjadi pegawai Bank. Tak
terhitung jumlahnya para alumni Fakultas Keguruan bekerja sebagai karyawan
perusahaan. Dan, tak terhingga jumlahnya para alumni Fakultas Ekonomi yang bekerja
sebagai politisi. Pendek kata, banyak orang menekuni profesi yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan pendidikan mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak menyangka bahwa dirinya
akan terjun di bidang tertentu. Di antara mereka ada yang menekuninya tanpa
kesengajaan, ada pula yang menjalani pekerjaannya karena keterpaksaan, dan ada pula
yang menekuni profesinya sesuai dengan apa yang direncanakan.
Dari sekian banyak orang yang tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi
pengusaha, karyawan, politikus, atau apa pun itu namanya, semuanya mengalir begitu
saja. Hingga pada suatu saat, mereka heran dengan dirinya sendiri, “saya saja tidak
menyangka menjadi pengusaha”.

Mereka adalah contoh manusia yang di masa kecilnya tidak mendesain hidup di
masa depan, tetapi nasib untung kebetulan berpihak padanya. Secara global, mereka di
masa kecil bukan lah orang yang menonjol kegeniusannya. Bahkan, diantara mereka ada
yang terindikasi gizi buruk, lemah, penyakitan, dan lain sebagainya. Tetapi, berbagai
penderitaan dan kekurangan tersebut tidak menjadi penghalang bagi masa depan mereka.
Apa pun keadaannya, mereka tetap bersemangat berbuat yang terbaik munurut mereka.
Bahkan, ketika melakukan semua itu, dalam benak mereka tidak terbersit sedikit pun
untuk menjadi seperti yang sekarang ini.
Nah, orang-orang yang tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi pengusaha,
ekonom, ilmuwan, politikus dan lain sebagainya tersebut adalah bukti bahwa dirinya
mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak dapat dirubah walaupun menempuh
pendidikan dengan konsentrasi atau jurusan tertentu.
Sekadar contoh, banyak anak yang dipaksa kedua orangtuanya untuk masuk
Perguruan Tinggi pada Fakultas Teknik agar menjadi insinyur atau sarjana teknik. Ada
pula yang dipaksa untuk masuk di Fakultas Kedokteran agar menjadi dokter. Banyak pula
yang dipaksa masuk Fakultas Agama agar menjadi anak yang berakhlak mulia.
Tetapi, sepanjang perjalanan kuliah mereka, masing-masing menemukan jati
dirinya sendiri. Di antara mereka ada yang sesuai dengan pendidikan terakhir yang
ditempuhnya. Tetapi, tidak sedikit orang yang menekuni profesi yang sama sekali tidak
terkait dengan pendidikan terakhirnya.
Sekadar contoh, ada orang ketika kuliah mengambil jurusan Teknik Elektro, tetapi
setelah lulus menekuni ilmu psikologi dan hipnoteraphy. Salah satu orangnya adalah Adi
W. Gunawan, penulis hebat dan publik spiker terkenal asal Surabaya itu. Ada lagi orang
yang ketika S-1 mengambil jurusan Teknik Elektro tetapi setelah lulus menjadi ustadz
atau guru ngaji kondang. Salah satu contoh orangnya adalah Abdullah Gymnastiar,
pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang terkenal itu. Ada pula orang yang ketika
S-1 jurusan Hukum, tetapi setelah lulus menekuni bidang pendidikan. Salah satu
contohnya adalah Munif Chatib, konsultan pendidikan dan manageman Direktur sekolah
YIMI Gresik, sekaligus pemegang lisensi Multiple Intellegence satu-satunya di
Indonesia. Ia adalah Sarjana Hukum yang melanjutkan pendidikan Pascasarjananya di
Amerika dan termsuk kelima besar murid Bobbi DePorter. Ia juga murid langsung Dr.
Howard Garner, penemu teori Multiple Intellegences yang menggemparkan dunia
pendidikan itu.
Hebatnya, semua orang yang telah disebutkan di atas, walaupun profesinya tidak
linier dengan pendidikan terakhirnya, tetapi kepakarannya di bidang masing-masing
diakui orang. Siapa yang meragukan kepakaran psikologi dan hipnoteraphy Adi W.
Gunawan? Siapa juga yang meragukan kezuhudan ulama kondang Abdullah Gymnastiar?
Dan siapa yang masih meragukan kemampuan di bidang pendidikan Munif Chatib?
Semua orang tersebut telah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka benar-benar
membidangi apa yang ditekuninya. Bahkan, karya-karya mereka adalah bukti yang tak
terbantahkan mengenai keahlian mereka masing-masing.
Masih banyak lagi orang-orang yang tidak linier antara pendidikan strata satu (S-
1) dengan profesi yang ditekuni. Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan orang
masuk di perguruan tinggi dengan pilihan konsentrasi masing-masing tidak
mempertimbangkan keunikan dirinya. Atau, mereka memang ditekan dan diarahkan
kedua orangtuanya untuk mengambil bidang tertentu. Sehingga, ketika mereka mampu
melapaskan diri dan menemukan keunikan dirinya, ia banting stir beralih profesi yang
sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan terakhirnya.
Walaupun demikian, jangan beranggapan bahwa alumni teknik saja, misalnya,
bisa menekuni dan mengusasi di bidang pendidikan. Artinya, konsentrasi pendidikan
tinggi tidak berpengaruh pada profesi yang akan ditekuni. Dengan alasan ini, kemudian
Anda menempuh pendidikan tinggi dengan mengambil konsentrasi atau jurusan
sembarangan tanpa mempertimbangkan potensi unik yang ada dalam diri Anda.
Pemaparan di atas bukan untuk membangun logika yang demikian. Justru logika seperti
itu harus dibalik. Jika mereka saja yang bukan alumni psikologi mampu menjadi pakar
psikologi, apa lagi jika sejak S-1 mengambil konsentrasi psikologi. Tentu kepakarannya
di bidang tersebut akan semakin matang dan mendapat pengakuan dunia secara lebih
luas.
Demikian pula dengan yang bukan alumni pendidikan tetapi mampu menjadi
konsultan di bidang pendidikan. Tentu, jika sejak S-1 dulu ia masuk di Fakultas Ilmu
Pendidikan kepakarannya di bidang itu semakin mendalam. Tidak terkecuali dengan yang
bukan alumni Fakultas Agama Islam, tetapi bisa menjadi ustadz atau kiai kondang.
Tentu, jika sejak S-1 ia menempuh Pendidikan Agama, kepakaranya di bidang ini jauh
lebih mendalam.
Hal ini membuktikan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan genius dengan
membawa potensi atau kecerdasan yang unik dan khas sekaligus tidak sama dengan
potensi atau kecerdasan yang dimiliki oleh anak-anak yang lain. Sehingga, setiap anak
mempunyai jalan hidupnya masing-masing. Dan semua jalan hidup tersebut selalu
bermuara pada puncak kesuksesan dan keberhasilan, yakni kemaslahatan umat secara
keseluruhan.

8. Anak rakyat menjadi Pejabat.


Satu lagi fakta tak terbantahkan yang membuktikan bahwa semua anak dilahirkan
dalam keadaan genius. Fakta tersebut adalah banyaknya anak-anak dari kalangan rakyat
jelata yang menjadi pejabat bahkan konglomerat. Sekadar contoh, Susilo Bambang
Yudoyono - Boediyono, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia; Wiranto,
pemimpin Partai Hati Nurani Rakyat; Amien Rais, mantan ketua MPR RI; Hidayat
Nurwahid; dan lain sebagainya. Mereka semua adalah orang-orang yang dilahirkan dari
pasangan rakyat biasa. Tetapi, setelah mereka menganjak dewasa, karir politiknya terus
meningkat, hingga saat ini bisa kita saksikan prestasinya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pasangan kaya atau
miskin, pejabat atau rakyat, rendah atau tinggi, tidak berpengaruh pada prestasi yang
hendak dicapainya. Semuanya mempunyai peluang yang sama, baik anak orang miskin
maupun kaya, pejabat atau rakyat, melarat atau kongkomerat. Tidak ada faktor-faktor
yang mempengaruhi perjalanan mereka dalam menapaki karir kehidupan.
Mungkin argumen ini banyak diragukan orang. Kebanyakan orang masih
meyakini bahwa anak orang kaya, atau anak pejabat dan konglomerat mempunyai
peluang lebih besar dari pada anak orang miskin, rakyat jelata, dan kaum kesrakat
lainnya. Pandangan ini memang ada benarnya. Tetapi juga tidak sedikit salahnya. Sebab,
banyak anak orang kaya, pejabat, dan kaum ningrat atau konglomerat yang justru masa
depannya terancam karena terjerumus pada pergaulan bebas, narkoba, penyakit
masyarakat dan lain sebagainya.
Bahkan, akhir-akhir ini banyak bermunculan penelitian-penelitian yang
menyatakan bahwa anak-anak miskin dan rakyat jelata justru lebih mampu meraih
keberhasilan hidup dari pada anak-anak yang dilahirkan dari pasangan orang kaya,
pejabat dan konglomerat.
Dalam pepatah Jawa, fenomena ini disebut dengan istilah, “tunggak jarak mrajak,
tinggak jati mati” (pangkal pohon jarak tumbuh subur, pangkal pohon jati mati). Artinya,
keturunan orang-orang miskin (yang dilukiskan dengan pohon jarak) tumbuh cerdas
menjadi orang-orang besar, sedangkan keturunan orang-orang kaya dan pejabat (yang
dilukiskan dengan istilah pohon jati) hilang entah kemana.
Perbedaan yang tampak mencolok adalah anak-anak yang dilahirkan di desa dan
di kota. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pedesaan jauh lebih cepat
mandiri dari pada anak-anak perkotaan.
Padahal, dilihat dari segi fasilitas belajar dan bermain, anak-anak di desa lebih
banyak bermain dengan sarana-pra sarana seadaanya, seperti: memanjat pohon, alat
permainan buatan, menuruni terjal, dan lain sebagainya. Bahkan, pepohonan pun tak
lepas dari sasaran media bermain anak-anak pedesaan. Mereka tidak segan-segan, apa
lagi merasa takut, memanjat pepohonan hingga dahan yang paling tinggi. Lebih dari itu,
pedesaan hampir tidak mengenal waktu ketika bermain. Sekadar contoh, mereka sangat
gemar mencari jangkrik di malam hari, berburu kupu-kupu di sore hari, mencari belut
persawahan di senja hari, hingga memetik buah mangga tetangga di siang hari. Tidak
heran, jika ketangkasan anak-anak pedesaan, terutama gerak motorik kasar jauh lebih
tinggi dari pada anak-anak perkotaan.
Sebaliknya, anak-anak perkotaan berbanding terbalik dengan anak-anak pedesaan.
Anak-anak perkotaan sangat jarang bermain di alam bebas. Mereka lebih asyik bermain
di dalam ruangan yang di lengkapi dengan alat-alat permainan edukatif super lengkap,
seperti; pensil, kertas, gunting, krayon, pewarna dan lain sebagainya. Tidak heran, jika
perkembangan gerak motorik halus anak-anak perkotaan jauh lebih luwes dari pada anak-
anak pedesaan. Inilah sebabnya, mengapa anak-anak pedesaan terkesan tangkas tetapi
kasar, sedangkan anak perkotaan terkesan luwes tetapi lamban.
Dampak lebih jauh dari kultur desa dan kota tersebut tidak bisa dipandang remah.
Sebuah penelitian yang membandingkan antara anak-anak yang berusia antara 2–3 tahun
pada 4 (empat) budaya, yaitu; 2 U.S. Tengah bagian pinggir kota Efe Hunter dan
Gatherers Republik Congo dan kota agrokultur Mayan di Guatemala yang dilakukan oleh
Morelli dkk, sebagaimana dikutip oleh E. Berk menyatakan bahwa, anak-anak muda
mempunyai sedikit akses dalam pekerjaan orang dewasa. Mereka justru lebih banyak
menghabiskan waktu untuk berbicara dan bermain dengan orang dewasa. Sebaliknya,
anak-anak Efe dan Mayan jarang terlibat dalam aktifitas anak. Sebagai gantinya, mereka
menghabiskan harinya untuk lebih dekat dengan pekerjaan orang dewasa.
Etnografi dari desa terpencil Mayan di Yucatan Mexico menunjukkan bahwa
ketika anak-anak muda menunjukkan secara legal bekerja dan berpartisipasi dalam
struktur kehidupan sehari-hari di sekitar pekerjaan orang dewasa, maka kompetensi
mereka berbeda dengan anak-anak pra-sekolah lainnya. Orang dewasa Yucatec Mayan
secara substansi adalah patani. Para petani cenderung berladang, dibantu oleh anaknya
yang berusia 8 tahun atau lebih. Perempuan mengatur urusan rumah dan pekarangan
dibantu oleh anak-anak perempuan dan anak laki-laki yang berusia dibawah 8 tahun.
Anak-anak mengikuti kegiatan ini sejak usia 2 tahun.
Ketika tidak berpartisipasi, mereka diharapkan dapat mandiri. Anak-anak muda
membuat banyak keputusann yang bukan pekerjaannya sendiri. Hasilnya anak-anak
Yucatec mempunyai kompetensi kemandirian yang lebih tinggi. Sebaliknya, dalam hal
permainan, mereka terbatas. Sebab, mereka selalu mengerjakan pekerjaan orang dewasa.
Orangtua Yucatec Mayan jarang berbincang atau bermain dengan anak-anak pra-
sekolah, apa lagi membantu pekejaan mereka. Lebih dari itu, ketika anak-anak menirukan
tanggung jawab orang dewasa. Orangtua menyimpulkan bahwa anak-anak mereka siap
untuk menerima tanggung jawab yang lebih berat. Kemudian, mereka menugaskan
pekerjaan sehari-hari, memilih tugas yang dapat dilakukan anak dengan sedikit bantuan
orang dewasa, agar pekerjaan orang dewasa tidak terganggu. Jika anak tidak dapat
melakukan tugasnya, orang dewasa mengambil alih dan si anak mengamati, kemudian
terlibat lagi setelah merasa bisa melakukanya.
Harapannya, anak bisa menjadi lebih otonom dan sangat membantu. Anak-anak
Yucatec Mayan jarang bertanya pada yang lain dalam beberapa hal yang cukup menarik
untuk dilakukan. Dari usia awal, mereka dapat duduk dengan tenang selama beberapa
waktu, misalnya sepanjang pelayanan religius (dalam gereja) atau perjalanan berjam-jam
menuju sebuah kota. Ketika mereka dewasa, secara langsung mereka mampu melakukan
pekerjaan sehari-hari, merespon dengan sangat antusias dan memerintah hal yang serupa
dengan apa yang dahulu telah dilakukannya pada anak-anak seraya marah-marah terus-
menerus. Pada usia 5 tahun, anak-anak Yucatec Mayan secara spontan merespon
tanggung jawab di luar tugasnya.
Dalam budaya Yucatec Mayan, orang dewasa jarang berbicara dengan anak-
anaknya atau mempelajari pelajaran mereka. Anak-anak bergabung dalam pekerjaan
orang dewasa. Anak-anak pra-sekolah Mayan ini melihat secara intens seperti nenek
moyangnya yang mencuci piring. Ketika anak mulai meniru tugas orang dewasa, dia akan
diberikan tugas tambahan. Demikian seterusnya, sehingga tanpa di sadari anak-anak
pedesaan –walaupun kehilangan masa bahagianya dengan bermain —lebih mandiri dari
pada anak-anak kota yang terlelap dalam dunia bermain yang sangat membahagiakan.
Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada perbedaan yang berarti antara anak
kota dan anak desa. Anak perkotaan bukan berarti lebih genius dari anak pedesaan.
Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, keduanya mempunyai peluang yang sama
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Hanya saja, keduanya mempunyai cara
yang berbeda dalam proses pendidikan. Anak-anak perkotaan biasanya lebih mudah dan
cepat menerima pelajaran melalui berbagai permainan. Sebaliknya, anak-anak pedesaan
kurang begitu cekatan dalam belajar melalui berbagai permainan edukatif.
Tetapi, karena belajar atau bermain anak-anak pedesaan jauh lebih giat dari pada
anak-anak perkotaan, maka prestasi anak-anak pedesaan sering kali mengalahkan anak-
anak perkotaan. Kondisi yang demikian ini pula yang membentuk karakter anak-anak
pedesaan lebih tahan uji dari pada anak-anak perkotaan. Situasi dan kondisi yang
memaksanya untuk membantu pekerjaan orangtuanya sejak kecil secara tidak langsung
turut melatih kemandirian anak-anak pedesaan.
Sebaliknya, anak-anak perkotaan yang tidak pernah membantu pekerjaan
orangtuanya –karena semua pekerjaan telah dilakukan oleh pembantu rumah tangga,
misalnya— mengakibatkan anak-anak perkotaan bertingkah manja. Akibatnya, sepanjang
masa kanak-kanak, dihabiskan untuk bermain semata. Kebiasaan bermain dan tidak
pernah membantu pekerjaan orangtua ini lah yang membuat anak-anak perkotaan sulit
hidup mandiri sejak dini. Sebab, sejak masa kecilnya, ia tidak dilatih bekerja dan
bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaan ringan kedua orangtuanya. Wajar jika
tingkat kemandirian anak-anak perkotaan jauh lebih lamban dari pada anak-anak
pedesaan.
Itulah bukti-bukti bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan genius. Tidak ada
anak yang dilahirkan dalam keadaan bodoh. Bahkan, anak yang dilahirkan dalam
keadaan cacat sekali pun, dapat meraih prestasi terbaik dalam hidupnya. Berikut ini
adalah daftar orang-orang yang telah meraih prestasi terbaik dalam hidupnya, padahal di
masa kecilnya pernah divonis autis, berkebutuhan khusus, hiperaktif, dan lain sebagainya.

No Tokoh Kecerdasan Prestasi Terbaik Kondisi di Masa


Tertinggi Kecil
1 Albert Einstein Visual-spasial Penemu hokum Pernah divonis autis
Relativitas
2 Thomas Alfa Visual Spasial Penemu Lampu Pernah divonis
Edison bolam keterbelangan
mental
3 Kharisma Kinestetik 12 tahun, Hafal 250 Hiper Aktif,
Rizki lagu dan pandai Sekolah di SLB
menirikan pidato
seseorang
4 Miyuki Inoue Linguistik Penulis besar Lahir tidak normal
(500gr)
5 Andi Wibowo Visual-Spasial & Pelukis berbakat Tuna grahita
Musical
6 Andre Wongso Linguistik & Penulis dan Tidak lulus Sekolah
Intrapersonal Motivator Dasar (SD)
7 Agtha Linguistik Penulis Novel Terlambat berpikir
8 Bill Gates Logis-matamatis Pendiri perusahaan Pernah mengalami
Microsoft, orang disleksia
terkaya di dunia
9 Cher Visual-Spasial Artis: peraih Piala Disleksia
Oscar (Academy
Award)
10 Stevie Wonder Visual-Spasial Penyanyi, komposer Buta sejak kecil
& produser.
11 Franklin D. Interpersonal Presiden Amerika Terkena polio
Roosevelt pada masa Perang
Dunia II (masa
tersulit
pemerintahan
Amaerika)
12 Helen Keler Intrapersonal Peraih Honorary Buta, tuli, dan bisu
University Degrees sejak kecil
Woomwn’s Hall of
Feme

BAB I
KECERDASAN LINGUISTIK
(Pewaris Ilmu Komunikasi Nabi Sulaiman As)

“”... Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi
segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata’. Dan
dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu
diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut
berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar
kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’”
(QS. an-Naml [27]: 15-18)

Kutipan Al-Qur’an Surat An-Naml ayat 15-16 di atas menceritakan salah satu
mu’jizat nabi Sulaiman, yakni mampu berkomunikasi dengan binatang. Oleh karena itu,
penulis menyebut bahwa kecerdasa linguistik merupakan kecerdasan “warisan” Nabi
Sulaiman. Ia tidak hanya pandau berkomunikasi dengan manusia, tetapi juga menjangkai
binatang melata. Meskipun tidak semua orang harus mampu berkomunikasi dengan
semua mkhluk ciptan Tuhan, namun kecerdaan ini sangat penting dikembangkan pada
anak usia dini.
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menguasi lebih banyak bahasa kedua,
ketiga, keempat dan seterusnya. Bahasa pertama adalah bahasa ibu/ bahasa lokal, bahasa
kedua adalah bahasa daerah/ lokal, dan bahasa ketiga adalah bahasa nasional, bahasa
keempat adalah bahasa nasional. Semakin banyak seseorang menguasai bahasa asing,
semakin bagus kecerdasan linguistiknya.
Dalam perspektif neurosains, kecerdasan linguitik diregulasi otak bagian broca dan
wernicke (Pasiak, 2006). Bagi orang yang memiliki kedua area tersebut lebih luas, maka
ia akan sangat mudah menguasai bahasa asing. Termasuk dalam kategori ini adalah
penggunaan berbahasa.
Indonesia yang memiliki lebih dari 300 bahasa daerah (Jawa, Sunda, Lampung,
Padang, dll) tentu sangat membutuhkan orang yang memiliki kecerdasan linguistik tinggi.
Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi sesuai komunitas etnik orang yang diajak
berkounikasi tentu lebih baik dari pada menggunakan bahasa yang umum atau di luar
bahasanya sendiri.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam kecerdasan linguistik, di samping
menguasai banyak bahasa adalah, skil berbahasa (kesantunan berhasa), seperti pilihan
diksi yang tepat, suara yang jelas, artikulasi yang lugas dan lain sebagainya. orator-orator
ulung atau juru bicara yang handal sangat mengedepankan aspek-aspek kebahasaan
tersebut.
Kecerdasan linguitik juga mencakup bahasa tulis. Oleh karena itu, penting untuk
menuliskan apa yang dibicarakan terutama ide dan gagasan besar. Hal ini terkait dengan
penguasaan literasi, dimana seorang penulis harus memeiliki kemampuan menuangkan
ide dan gagasannya ke dalam naskah. Anaka usia dini perlu dilatih kecerdasan
linguistiknya, agar kelak ia dapat mengembangkan kecerdasan ini dengan sangat baik.

A. Pengertian Kecerdasan Linguistik


Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menyusun pikiran dengan jelas
dan mampu menggunakannya secara kompeten melalui kata-kata seperi, bicara ,
membaca dan menulis. Biasanya, kecerdasan ini dimiliki oleh para para orator,
negosiator, pengacara, lawyer, negarawan dan lain sebagainya. [May Lwin, dkk, 2003]
Dengan segala kepiawaiannya, orang yang mempunyai kecerdasan linguistik ini mampu
mepengaruhi orang lain dengan mudahnya. Gaya bahasa, tutur kata, gerak verbal, mimik
yang pas ketika bicara, semua mengandung daya pikat yang luar biasa. Bahkan,
kecerdasan ini mampu meyakinkan siapun, sehingga segala hal yang diucapakannya
laksana “sabda” yang penuh makna. Tidak heran, jika orang berkecerdasan linguistik
baik, ketika ia berorasi di depan umum atau forum, kata-katanya mampu “menyihir”
seluruh pendengarnya.
Orang yang mempunyai kecerdasan linguistik baik mampu memilih kata-kata
yang tepat, memberi ilustrasi yang singkat, menjaga focus pembicaraan, sistematis dan
komunikatif. Walaupun ia bicara di depan banyak orang, tetapi seolah-olah setiap audien
di ajak berdialog dan tepat mengenai sasaran. Tidak hanya itu, orang yang mempunyai
kecerdasan linguistik baik juga mampu membendung berbagai sanggahan dan kritikan
yang berusaha menjatuhkannya. Bahkan, sering kali (entah sengaja atau tidak), di sela-
sela orasinya yang mengalir, ia mampu memberi kesempatan kepada audien untuk
berceloteh nakal. Tetapi, celoteh itu bukan berupa sanggahan dan bantahan, tetapi justru
memperkuat argumen yang disampaikannya.
Dalam konteks dan situasi bagaimana pun, orang yang mempunyai kecerdasan
lingusitik tinggi mampu menggunakan seluruh metode ceramah dengan baik. Ia bisa
membawakan orasi ilmiah dengan sangat mengagumkan. Di sisi lain, ia juga piawai
membawakan puisi, kisah, cerita, dan lain sebagainya seara serempak, dialogis, dinamis
dan interaktif. Terlebih lagi ketika berdebat atau bernegosiasi. Kata-katanya tidak
melukai lawan bicaranya sedikit pun, tanpa mengurangi daya kekuatan argumentasinya.
Ia juga bisa menafsirkan beragam fakta, memberi makna terhadap sebuah fenomena, dan
melakukan interpretasi secara memadai. Dalam bicaranya yang sangat mengalir itu, ia
mampu memilih kosa-kata secara cepat dan tepat. Hal ini dikarenakan seorang orator,
negosiator dan pengacara sangat menguasai tata bahasa seperti, sintaksis, semantic, fonik,
dan pragmatik. Pendek kata, orang yang mempunyai kecerdasan linguistik baik mampu
mempengaruhi, meyakinkan bahkan “menyihir” pendengarnya. Nada dan intonasinya
pas, enak di dengar, sistematis, logis, kritis, detail, komprehensif, tuntas dan mendalam.
Sebaliknya, orang yang lemah kecerdasan lingusitiknya ketika bicara tidak enak
di dengar, sering diulang-ulang, sulit ditangkap maksudnya, meragukan, tidak menarik di
dengar dan penuh keraguan. Ini masih lumayan! Sering kali, ada orang yang jika bicara
“ngotot” kaku, penuh ambisius intonansinya tinggi, mirip seperti orang yang sedang
marah. Bahkan, tidak jarang pula orang yang lemah kecerdasan linguistiknya tersebut
selalu melukai perasaan orang lain, sinis, memojokkan lawan bicara dan serba tidak enak
di dengar. Lebih dari itu, ketika ia tahu bahwa apa yang dibicarakannya kurang tepat
bahkan salah, ia masih kukuh pada statementnya, kebal-kritik, merasa menang sendiri,
menjaga gengsi, tidak mau mengalah dan sika-sikap lain yang menampakkan egoisme
retoris. Di sini lah pentingnya kecerdasan linguistik. Siapa pun orangnya, ahli apapun
bidangnya, secerdas apa pun otaknya, dan sehebat apa pun manusianya, jika tidak mampu
mengkomuniksikan secara cerdas kepada publik, akan gagal berantakan. Sebab, sesuatu
yang dikomunikasikan bisa jadi diterima dengan salah paham. Ibarat materi pelajaran
(inti yang dikomunikasikan), jika tidak disampaikan dengan metode yang tepat (linguistik
yang cerdas), bisa gagal dikuasai peserta didik.
Di sisi lain, kecerdasan linguistik hanya menjadi pendukung bagi kecerdasan lain.
Misalnya , fisikawan yang mengedepankan kecerdasan matematis logis membutuhkan
pendukung kecerdasan linguistik ketika akan presentasi tentang “Pemanasan Global”
misalnya. Tema ini tidak akan bisa dibawakan oleh orang yanga hanya mengandalkan
kecerdasan linguistik semata. Demikian pula dalam tema-tema pembicaraan yang lain,
seperti: filsafat, agama, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Alangkah lebih
mantap, kuat dan berpengaruhnya jika materi-materi tersebut dibawakan oleh ahlinya,
yakni para ulama, sosiolog, filosof dan lain sebagainya namun ditopang dengan
kecerdasan linguistik yang baik.
Kecerdasan lingusitik bukan hanya diperlukan pada orsi ilmiah saja. Tetapi,
dalam semua konteks, situasi dan kondisi. Misalnya, seorang orator, negosiator,
negarawaan, pakar politik dan lain sebagainya. Seorang negosiator yang mempunyai
kecerdasan linguistik yang baik akan mudah mempengaruhi lawan bicaranya dan mudah
menemukan titik kesepakatan; seorang pakar politik ketika berorasi di depan massa
(kampanye), mampu mengendalikan massa dan mempengaruhinya serta meyakinkan
mereka untuk mendukung tokoh yang dikampanykan tersebut; seorang juru bicara
presiden misalnya, akan sangat piawai menyampaikan pesan-pesan Presiden dengan baik
dan mudah diterima semua kalangan; seorang ketua panitia, mampu melaporkan hasil
kegiatan yang telah terlaksana secara detail, lengkap, dan jelas serta transparan, baik lisan
maupun tulisan. Demikian seterusnya, hingga tidak ada profesi apa pun di dunia ini yang
tidak membutuhkan kecerdasan linguistik.
Di era modern seperti sekarang ini, kecerdasan linguistik dihargai dengan nilai
sangat mahal oleh berbagai pihak. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang akan menilai
apa pun dari cara orang tersebut berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahkan,
banyak orang yang terkenal hanya karena tulisannya saja. Profesi atau pekerjaan yang
menghandalkan kecerdasan ini sangat besar jumlahnya. Diantaranya adalah pengacara
atau ahli hokum, karya tulis, penyiar radio dan televisi, negosiator, juru bicara (jubir),
editor, dan juru kampanya atau jurkam.
B. Orang-orang yang Tinggi Kecerdasan Linguistiknya
Setelah memahami kecerdasan linguistik lengkap dengan sifat penting dan
kegunaannya, mari kita lihat buktinya di lapangan. Bagaimana caranya? Mudah saja!
kita cari orang-orang yang kita pandang memiliki kecerdasan linguistik yang baik.
Dengan kata lain, siapa orang yang terkenal mempunyai kecerdasan linguistik yang
baik dan seberapa hebat mereka? Berikut ini akan saya tampilkan lima sosok orang
yang terkenal dan piawai kecerdasan kinestetiknya menurut versi Lwin, dkk.
Pertama, Oprah Winfrey. Ia adalah seorang produsen dan penyelenggara The
Oprah Winfrey Show, yaitu acara yang paling disukai dalam sejarah pertelevisian)
Amerika. Ia adalah contoh orang yang sangat cerdas dalam membawakan acara
tersebut. Pertunjukkan spektakuler itu ditonton lebih dari 33 juta penonton dalam satu
pekan di Amerika Serikat. Lebih dari itu, acara yang menghebohkan tersebut
ditayangkan di 135 negara. Dia menggunakan pertunjukkanya untuk mencerahkan,
menghibur, dan memberdayakan penontonnya. Oprah (begitu panggilan akrabnya)
juga telah menerima berbagai penghargaan pertunjukkan terkemuka. Setelah puas
melanglang jagad pertelevisian, Oprah mempelopori bidang lain seperti musik,
penerbitan, film, pendidikan, kesehatan dan kebugaran.
Kedua, William Shakespeare. Dia adalah seorang aktor drama tersohor dari
Inggris pada abad ke-16. Ia mempuyai kemampuan luar biasa dalam hal menciptakan
seluruh pertunjukan dan irama dengan kata-kata. Di juga encer menulis, dan dalam
beberapa hal memproduksi dan bermain dalam sejumlah pertunjukkan, termasuk A
Midsumer Nigh’t Dream, The Merchant of Venice, King Ricard II, King Henry IV dan
The Two Gentelman of Verona. Pada 1594, Shakespeare (begitu panggilan akrabnya),
bergabung dengan yang lain untuk membentuk sebuah perusahaan teater dan selama
hampir 20 tahun dia menjalani kehudupan sebagai dramawan sejati. Hebatnya, ia
mampu memproduksi dua pertujukkan dalam setiap tahun. Bahkan, karya-kakryanya
menjadi kebanggan para pembesar kerajaan pada waktu itu.
Ketiga, John F. Kennedy. Ia adalah presiden Amerika Serikat yang ke-35.
Selain seorang negarawan kehormatan, ia juga dikaruniai kecerdasan linguistik yang
sangat mengagumkan. Ketika JFK (begitu nama singkatannya, sama seperti orang
Indonesia menyebut Susilo Bambang Yudoyono dengan SBY) kuliah di Harvard
University dan mengikuti wajib militer di angkatan laut selama perang dunia II
dimana dia menjadi komandan kapal PT di Kepulauan Solomon dan memenangkan
Navy and Marine Corps Medal (Medali Angkatan Laut dan Korp Kelautan).
Kecerdasan linguistik (khususnya bahasa) sangat membantunya ketika ia harus
menulis Profiles in Courage, yang kemudian mampu menggondol Pulitzer Prize. Di
samping itu, dia juga menjadi anggota Konggres dan Senat Amerika Serikat sebelum
dinominasikan oleh Partai Demokrat sebagai presiden Amerika Serikat pada tahun
1960. Kemampuannya dalam berdebat dan mendengarkan bisa menaklukkan lawan
pesaingnya dari Partai Republik, yaitu Richard Nixon. Selama masa
pemerintahannya, JFK terkenal sangat piawai dalam membela hak sipil dan
memperluas perawatan medis bagi warganya yang lanjut usia. Kecerdasan
linguistiknya yang sangat menonjol adalah kemampuannya dalam membangkitkan
semangat di depan umum dan kepiawaiannya dalam bepidato. Hingga saat ini,
dokumen pidatonya masih dikenang seluruh warga Amerika Serikat.
Keempat, Amin Abdullah. Orang yang terkenal tinggi kecerdasan
linguistiknya bukan hanya orang-orang Barat saja, di belahan dunia Timur pun
(Islam) sangat banyak. Bahkan, di indonnesia ini sangat banyak orang yang cukup
baik kecerdasan linguistiknya. Salah satunya adalah Amin Abdullah. Ia adalah rektor
dan guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagaimana telah disinggung di
depan, bahwa ketika ia menyampaikan orasi ilmiah, kata-katanya mampu “menyihir”
audiennya. Gerak verbalnya juga cukup sempurna. Lambaian tangan, lirikan mata,
hentakan nada, lontaran anekdot dan intonasi suara berkolaborasi dengan sangat baik.
Pak Amin (begitu panggilan akrabnya), sering sekali diundang berbagai nergara
sebagai narasumber seminar-seminar internansional. Ia juga piawai dalam menulis,
baik dalam jurnal, buku, dan artikel media masa. Dua bukunya yang cukup menarik
perhatian kalangan akademisi adalah Islamic Studies di Perguruan Tinggi dan
Falsafah Kalam. Keduanya diterbutkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Kelima, Adi W. Gunawan. Adalah seorang pakar di bidang hypnotherapy dan
teknologi pikiran. Ia terkenal dengan sebutan the Re-Educator & Mind Navigator.
Kepiawaianya di bidang olah vokal tidak diragukan lagi. Sering sekali ia menjadi
pembicara tunggal dalam berbagai seminar nasional dengan durasi waktu 8 s/d 9 jam.
Kendati demikian, tidak ada satu audien pun yang merasa jenuh dan bosan apalagi
mengantuk. Di samping terkenal sebagai ahli di bidang hynotherapi, ia juga terkenal
sebagai seorang motivator yang cukup terkenal. Oleh karena itu, banyak pendengar
dalam seminar yang merasa dibangkitkan semangat juangnya setelah mendengarkan
orasi ilmiahnya. Selain suaranya yang jelas, lantang dan mudah dipahami, ia juga
piawai menggerakkan organ tubuhnya sebagai bahasa verbal. Bahkan, tanpa ragu-
ragu ia berdiri di atas meja untuk memperagakan apa yang ia jelaskan. Tentu ini
membuat sebagian audien terperangah melihatnya. Terlebih lagi, peragaan itu
sungguh mengejutkan semua orang. Betapa tidak? Ia mampu “menghipnosis”
seseorang hingga orang tersebut lupa ingatan bahkan mau mengkuti apa pun yang ia
katakan. Lebih dari itu, ia juga sangat piawai menulis. Kedua belas (12) bukunya
yang semuanya diterbutkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama membuktikan hal itu.
Bahkan, hampir semua buku yang ditulisnya adalah Best Selr. Nama Adi W.
Gunawan semakin menjulang ketika semenjak berbagai seminarnya dikemas dalam
bentuk CD yang dapat dinikmati secara praksis. Masih banyak lagi sebenarnya orang-
oroang yang mempunyai kecerdasan linguistik yang tinggi. Tetapi, kelima tokoh yang
disebutkan di atas kiranya dapat menjadi “cermin” bagi orang lain yang mempunyai
kecerdasan serupa. Dengan melihat kelima sosok ini, rasanya kita bisa menilai diri
kita, seberapa cerdas linguistik kita.
C. Pentingnya Kecerdasan Linguistik
Apakah kecerdasan linguistik penting untuk semua orang? Tentu! Pasalnya,
kecerdasan ini bukan hanya berfungsi untuk berkomunikasi dan berorasi saja, tetapi, juga
sangat diperlukan untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, keinginan dan pendapat
seseorang. Sehingga, kecerdasan untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, keinginan
dan pendapat sangat dibutuhkan. Dan, hanya kecerdasan linguistik lah yang bisa
mewujudkan semua itu. Bahkan, anak yang tidak berkeinginan menjadi seorang penyiar
televisi, orator atau juru bicara (jubir) dan juru kampanye (jurkam), tetap penting
memiliki kecerdasan ini. Pasalnya, kecerdaan ini sangat diperlukan semua orang bahkan
semua kalangan. Mulai dari kalangan awam (masyarakat umum), hingga kalangan
intelektual.
Masyarakat awam sangat memerlukan kecerdasan ini karena untuk berinteraksi
di tengah-tengah masyarakat. Dalam berinteraksi tersebut, sangat diperlukan tutur kata
yang cerdas, yakni kata-kata yang tidak melukai perasaan orang lain, tidak
menyinggungnya, mudah diterima, mecerminkan rendah hati dan kejujuran.
Hal ini sangat penting diperhatikan, karena semua orang pasti tidak suka
mendengarkan bicara seseorang yang terlalu diulang-ulang apalagi tidak ada maknanya.
Saya sering bertemu dengan orang yang demikian itu, yakni orang yang sangat lemah
kecerdasan linguistiknya. Jika ia diberi kesempatan bicara, maka ia akan bicara dalam
waktu yang lama, seolah-olah tidak memberi kesempatan orang lain untuk bicara.
Lebih dari itu, sering kali ia terkesan “menggurui” atau berlagak sombong dengan
kepiawaianya. Bahkan, tidak jarang ia bermain retorika atau mempermainkan kata-kata
yang tidak ada maknanya. Ironisnya, semua yang dibicarakannya tersebut justru
menyimpang jauh dari tema yang sedang dibahas. Parahnya lagi, jika ia ditanya atau
diarahkan jalan bicaranya, ia menyanggah dengan nada agak emosi, mudah tersinggung
dan tidak mau menerima masukan dari orang lain. Di sini lah kecerdasan linguitik sangat
diperlukan, sekali pun untuk orang awam. Alasan labih lanjut mengenai pentingnya
kecerdasan ini akan diuraian dalam beberapa poin secara lebih spesifik berikut ini.

1. Meningkatkan Kemampuan membaca


Kecerdasan linguistik sangat berkaitan erat dengan aktivitas membaca dan
menulis. Mari kita mulai dengan meningkatkan kemampuan membaca terlebih
dahulu. Sebab, kemampuan membaca yang baik secara otomatis akan meningkatkan
kualitas menulis. Oleh karena itu, alasan pertama mengenai pentingnya kecerdasan
linguistik adalah meningkatkan kemampuan membaca.
Membaca adalah aktifitas inteletual yang berusaha memahami kode atau sandi
yang dibuat generasi sebelumnya. Kemampuan membaca dengan baik akan sangat
ditentukan oleh kecermatan terhadap kosa kata atau komposisi tulisan yang dibaca.
Dengan kata lain, hal yang sangat penting diperhatikan dalam membaca adalah
perpaduan huruf demi huruf dan perpaduan bunyi kata demi kata.
2. Meningkatkan Kemampuan menulis
Mengapa sebagian besar alumni kedokteran berkompeten di bidangnya
sedangkan alumni Bahasa dan Sastra sedikit yang menjadi sastrawan.” Setelah
dilakukan penelitian mendalam, ternyata ditemukan bahwa penyebabnya terletak
pada kurikulumnya. Di Fakultas kedokteran terdapat banyak praktikum, di samping
teori yang diberikan bersamaan dengan praktikun tersebut. Sedangkan pada Fakultas
Bahasa dan Sastra sangat jarang mengadakan praktik membuat karya sastra, tetapi
lebih menekankan pada kajian karya sastra orang-orang terdahulu. Dari penelitian
tersebut kemudian disimpulkan bahwa praktik atau praktikum lebih menentukan
keberhasilan dari pada kajian teori dari berbagai naskah atau buku.
Mengambil hikmah dari penelitian di atas, dapat diprediksi bahwa orang yang
mengalami kesulitan menulis, disebabkan oleh jarang-nya, atau lebih tepatnya tidak
pernah menuliskan ide, gagasan, keinginan, harapan, dll yang melintas dalam
pikirannya setiap orang. Sebagai pelampiasanya, ia menuangkan ide, gagasan,
keinginan, harapan, dll tersebut ketika ngobrol dengan temannya, berdebat, diskusi
seminar dalam bentuk kata-kata. Ketika ide, gagasan, keinginan, harapan, tersebut
telah diungkapkan dalam bentuk kata-kata yang dikemas dalam retorika yang
meyakinkan, ia merasa puas. Akibatnya, ia tidak ingin lagi menuangkan gagasannya
tersebut lebih luas lagi dalam bentuk tulisan. Sehingga berhentilah idenya sampai
pada kata-kata saja, dan segera akan dilupakan orang yang mendengarnya.
Berdasarkan fenomena ini, wajar jika ia pandai bermain retorika, tetapi tidak
mampu menuangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, diakui atau tidak, disadari atau
kurang disadari, menulis merupakan “kewajiban” bagi setiap orang, terutama para
cendekiawan dan kalangan intelektual lainnya. Tanpa kemampuan menulis yang baik,
ide, gagasan, dan pemikirannya tidak akan dikenal orang secara luas. Sebab, hanya
dengan media tulisan lah ide, gagasan dan pemikiran dapat disebar luaskan ke tengah-
tengah masyarakat umum.
Tidak hanya kalangan intelektual dan para cendekiawan saja yang
memerlukan kepiawaian menulis dengan baik. Tetapi, semua lapisan masyarakat dan
semua kalangan memerlukan kepiawaian menulis. Sekedar contoh, seorang ketua
panitia. Ia harus mampu menulis laporan kegiatan yang telah dilaksanakannya
sehingga mudah dipahami; seorang Akuntan harus bisa membuat pembukuan yang
dapat diamati dengan mudah secara sepintas; seorang puitis harus bisa menulis puisi
yang memikat hati; seoraang sastrawan harus bisa menghasilkan karya sastra yang
orisinil; seorang budayawan harus bisa memberikan orasi budaya dan menuliskannya
dalam bentuk makalah; demikian seterusnya, hampir semua orang pada semua
lapisan sangat memerlukan kecerdasan ini.

3. Meningkatkan Keterampilan Mendengar


Selain membaca dan menulis, kecerdasan linguistik juga dapat menopang
kemampuan mendengar. Sepertinya, antara membaca, menulis dan mendengar sudah
menjadi satu paket. Jika akan ditambah, mungkin gerak verbal bisa menjadi
penyempurna kecerdasan ini. Bagaimana dengan kemampuan mendengar ini?
kemampaun mendengar adalah kemampuan menangkap dengan tepat dan
merekamnya dalam ingatan yang kuat. Secara sederhana, kemampuan ini sangat baik
ketika seseorang bicara dalam seminar misalnya, kemudian ada orang yang bertanya,
menyanggah, atau sekedar memberi masukan. Dengan kata lain, kemampuan
mendengakan dengan baik adalah kemampuan untuk memberi kesempatan kepada
orang lain berbicara.
Sebagaimana orang yang cerdas linguistiknya, ia mampu mengkafer seluruh
pertanyaan, tanggapan, sanggahan dan kritikan dari berbagai orang tersebut dalam
sebuah tutur kata yang cerdas. Cerdas yang dimaksudkan di sini adalah menjawab
berbagai pertanyaan, mematahkan berbagai sanggahan dan menerima sekaligus
menolak berbagai kritikan tanpa harus menyinggung, mematikan, dan memojokkan
orang yang bertanya, menyanggah dan mengkritik tersebut. Ini lah jawaban yang
sangan cerdas. Lebih dari itu, orang yang cerdas mendengar dapat menghargai
ketika orang lain sedang berbicara, tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak
bicara sendiri ketika orang lain sedang bicara dan lain sebagainya. pendek kata,
jadilah pendengar yang baik.
Perlu diketahui, bahwa pendengar yang baik tidak sama dengan pendengar
yang pasif. Memang jika dilihat secara sepintas antara pendengar yang baik dan
pendengar yang pasif tanpak sama. Tetapi sesungguhnya sangat berbeda. Apa
perbedaan diantara keduanya? Pendengar yang baik adalah pendengar yang “aktif”
mendengarkan dan menyimak apa yang didengarnya dengan penuh perhatian.
Sedangkan pendengar yang pasif adalah pendengar yang tampaknya mendengarkan
tetapi tidak menghirauakan. Dengan kata lain, “masuk telinga kanan keluar telinga
kiri.” Memang ia memberi kesempatan orang lain untuk bicara. Tetapi, ia tidak
mempedulikannya. Mungkin, dalam hatinya menolak apa yang dia bicarakan. Ini lah
awal mula kebodohan mendengar, sehingga orang tersebut sangat buruk
“pendengaranya.”
Orang yang demikian ini memang benar-benar ada di dunia ini. Biasanya, ia
sangat senang bicara sendiri, lebih suka mendengarkan suranya sendiri, senang
menyendiri, dan lain sebagainya. Sehingga, ketika ia bergaul dengan orang lain, dan
orang lain tersebut mengajaknya berbicara, berdialog, dan bertukar pikiran, ia
cenderung tidak bisa menyikapinya secara bijak. Ia lebih banyak berbicara dari pada
mendengar. Ironisanya, yang dibicarakan sering kali tidak ada kaitannya dengan hal
yang ditanyakan. Bahkan, sering kali nada bicara atau intonasinya terkesan
menyombongkan diri.
4. Gerak Verbal
Gerak verbal sangat mendukung kecerdasan linguistik. Bahkan, gerak verbal
bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi audien. Terlebih lagi ketika ia melontarkan
anekdot yang membuat tertawa semua pendengar. Tentu gerakan verbalnya sangat
mendukung anekdotnya.
Lirikan mata, lambaian tangan, naik-turunnya alis atau bulu mata ketika
bicara, sangat berpengaruh terhadap penekanan atau aksentuasi terhadap apa yang ia
katakan tersebut. Dalam forum-forum resmi atau konteks pembicaraan formal seperti
seminar, diskusi publik, forum dialog dan lain sebagainya, hanya gerak verbal seperti
itu yang bisa dilakukan. Sebab, si pembicara biasanya dalam posisi duduk atau berdiri
di depan mimbar.
Tetapi, beberapa motivator ketika berorasi membakar semangat audienya,
mampu melakukan gerak verbal yang lebih dari itu. Sebab, ia bicara di panggung
bebas. Sehingga, ia lebih leluasa mengekspresikan gerak verbal tubuhnya. Ketika ia
berorasi, tidak hanya dengan lambaian tangan, lirikan mata, naik-turunnya bulu mata
dan lain sebagainya. Tetapi, ia bisa melakukan gerak verbal seperti hentakan kaki,
acrobatik ringan, bahkan memperagakan keahliannya bersama audiennya.
Sebaliknya, orang yang tidak mampu mengiringi tutur katanya dengan gerak
verbal yang sempurna, cenderung lamban dalam bicara, intonasinya datar, monoton
dan kurang menarik perhatian. Demikian pula ketika ia menyampaikan laporan,
bernegosisasi, debat, diskusi dan lain sebagainya. Semua yang dikatakan terkesan
lemah dan tidak mayakinkan, bahkan terdengar kurang jelas.
5. Meningkatkan Keterampilan Umum
Kecerdasan linguistik yang sempurna adalah kemampuan menuangkan
maksud dan tujuan, ide dan gagasan, pemikiran dan harapan dalam bentuk lisan,
tulisan, gerak verbal, dan pendengaran sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Kecerdasan linguistik yang sempurna merupakan kunci kesuksesan pada semua jenis
profesi; mulai dari bawahan, atasan, pimpinan, guru, politikus dan lain sebagainya.
Bahkan, seorang siswa akan sangat terbantu dengan kecerdasan linguistik yang baik
ketika menghadap gurunya, walaupun dirinya bukan lah siswa yang bernilai rapor
tinggi. Demikian pula dengan seorang bawahan yang hendak menghadap atasan atau
pimpinan. Kecerdasan linguistik yang baik sangat membantu ketika dirinya
berkomunikasi dengan pimpinan atau atasannya.
Orang yang mempunyai kecerdasan linguistik baik akan sangat dihargai oleh
pimpinan, guru, teman, rekanan kerja dan lain sebgainya. Bahkan, ia akan menjadi
orang pertama dalam hal komunikasi dalam semua kondisi. Walaupun seseorang
tidak berminat untuk menjadi pembicara publik atau tukang pidato di depan umum,
tetapi mengajarkan kecerdasan bahasa sejak kecil sangat penting. Sebab, hal ini akan
membentu mereka di masa dewasa berinteraksi lebih mudah kepada orang lain.
Diakui atau tidak, dan disadari atau tidak diantara kita pasti pernah menjadi
“pembicara” di hadapan teman-teman kita sendiri. Walaupun pembicaraan tersebut
bukan lah pembicaraan yang bersifat formal, tetapi kecerdasan linguistik tidak
mempedulikan kepada siapa kita bicara.
Manfaat lain dari kecerdasan linguistik yang baik adalah memudahkan yang
bersangkutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan secara cepat.
Menyesuaikan dengan lingkungan yang dimaksud di sini dalah lingkungan secara
luas, bukan sebtas satu komunitas saja. Sebab, mau-tidak mau kita pasti akan hiup
dalam berbagai komunitas atau lingkungan. Mulai lingkungan keluarga, masyarakan,
lingkungan kerja, lingkungan antar institusi dan lain sebagainya.
Keuntungan lain memiliki kecerdasan linguistik yang baik adalah
memudahkan yang bersangkutan belajar bahasa. Bahasa yang dimaksud di sini
adalah bahasa dalam komunitasnya sendiri. Walaupun ia dari suku Batak, misalnya,
ketika ia hidup dalam lingkungan Jawa, maka ia sangat cepat menguasai bahasa Jawa.
Kemampuan ini tidak diperolehnya dengan belajar keras secara khusus, melainkan
dari daya tangkap pendengarannya yang sangat peka. Sebab, sebagaima dijelaskan di
depan, bahwa kecerdasan linguistik yang sempurna pasti didukung dengan
kemampuan mendengar yang baik.

D. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Linguistik


Metode untuk meningkatkan kecerdaskan linguistik anak yang paling mudah
adalah dengan mengajaknya bercakap-cakap. Mengapa bercakap-cakap? Karena anak
mudah meniru tutur kata yang mengajaknya bercakap-cakap. Perlu diketahui, bahwa
anak paling mudah belajar dengan meniru. Oleh karena itu, ketika ia belajar dan
diberi contoh, akan sangat cepat sekali menirukannya. Nah, mengajaknya bercakap-
cakap adalah kesempatan yang lebih baik untuk memberikan peluang anak menirukan
lafadz kata demi kata dengan baik. Tetapi, dalam bercakap-cakap orangtua tidak
boleh menggunakan bahasa anak. Terlebih lagi jika anaknya belum mampu
mengucapkan lafadz-lafadz kata dengan jelas dan benar. Betapa pun sulit kata-kata
yang diucapkan, tidak boleh dipermudah dengan menggunakan bahasa anak. Bahkan
kalau perlu anak dilatih untuk membunyikan huruf-huruf yang relatif sulit, seperti
“R”, “S”, “D”, “T” dan sejenisnya.
Diaku atau tidak, ketik anak di sekolah (TK) misalnya, peserta didik (anak
usia dini) lebih banyak diam dari pada bicara. Yang lebih banyak bicara justru
gurunya. Terlebih lagi jika gurunya kurang memahai psikologi anak. Ia akan
melarang anak-didiknya ramai di kelas. Oleh karena itu, sediakan waktu luang di
dalam keluarga untuk memberi kesempatan anak Anda berbicara. Orangtua tidak
perlu banyak bicara, tetapi cukup hanya memancingnya dengan pertanyaan-
pertanyaan pendek, sehingga membuat anak senang menjawabnya.
Percakapan tersebut akan berjalan semakin mengasyikkan ketika didukung
oleh situasi yang rileks atau santai. Alangkah lebih baiknya jika Anda mengajaknya
bercakap-cakap sambil jalan-jalan atau makan malam. Situasi ini dapat digunakan
untuk memperkenalkan kata-kata baru yang sebelumnya tidak di kenal oleh anak. Di
samping itu, anak bisa langsung bercerita mengenai berbagai hal dengan
menggunakan kata yang baru saja ia kenal tersebut.
1. Dongeng, Cerita dan Kisah Imajinatif
Salah satu cara yang lebih baik untuk mengemas percakapan lebih kreatif
dan imajinatif adalah cerita, kisah, atau dongeng. Memang, dalam hal ini orangtua
lah yang banyak bicara. Tetapi, seharusnya dongeng atau kisah tidak berhenti
sampai pada mendengarkan saja. Alangkah baiknya jika dongeng atau cerita itu
dilakukan setiap hari atau tiga hari sekali. Namun, setiap kali orangtua akan
memulai cerita atau dongeng baru, mintalah anak untuk menceritakan kembali
apa yang telah diceritakan sebelumnya. Lengkapilah cerita anak jika belum
lengkap, dengan memancing pertanyaan-pertanyaan sederhana. Hal ini sekaligus
melatih kemampuan dengar anak Anda dan konsentrasi ketika mendengarkan
cerita dari Anda.
Cara lain adalah meminta anak untuk menceritakan ulang kepada adiknya
atau teman-teman bermainnya tentang apa yang pernah diceritakan kepadanya.
Dengarkan dan perhatikan gayanya berceritanya, gerak verbalnya, pemilihan kosa
katanya dan lain sebagainya. Jika merasa ada yang kurang tepat atau tidak pas
antara isi cerita dan gerak verbal atau pilihan kosa katanya, luruskan dengan
memberi contoh penggalan cerita yang luwes dan menarik. Jika anak Anda telah
mampu menceritakan ulang peristiwa yang pernah diceritakan kepada adik atau
temannya dengan luwes, maka bisa dipastikan anak akan mempunyai kecerdasan
linguistik yang baik.
2. Sosiodrama
Teknik lain untuk mengembangkan kecerdasan linguistik adalah bermain
sosiodrama. Sosiodama adalah peristiwa yang diskenario atau dibuat-buat dengan
melibatkan peran orang lain. Oleh karena itu, sebuah drama tidak akan terjadi
tanpa kerja sama yang baik dengan orang lain. Di samping itu, diperlukan
pengarang cerita yang piawai dan sutradara yang handal.
Dalam konteks mencerdaskan linguistik anak, tentu tidak sedetail itu.
Guru atau orangtua pasti sanggup berperan sebagai pengarang cerita sekaligus
sutradara yang baik bagi anak-didiknya. Mengapa pasti? Karena sumber cerita
dalam drama bisa mengangkat realita atau peristiwa yang lebih akrab dengan
dunianya. Atau dengan mengambil tema sesuai dengan kesenangan anak-
didiknya. Misalnya, anak-didik senang menjadi dokter. Maka untuk menejelaskan
kepada mereka tentang profesi seorang dokter, percakapan bisa dikemas dalam
bentuk “drama dokter”. Dengan kata lain, guru atau orangtua “pura-pura”
menjadikan anak-didiknya sebagai dokter. Ingat! bagi anak-anak, walaupun
dikatakan bermain, tetapi mereka sangat serius melakukan permainan. Dengan
kata lain, anak-anak selelu bermain dengan sungguh-sunguh. Jadi, mereka
sungguh-sunguh bermain.
Permainan bercakap-cakap dalam bentuk drama ini tidak harus menjadi
dokter. Bisa dengan tema drama yang lain. Yang penting anak menyukai,
memahami, dan bisa memerankan dirinya. Misalkan drama menjadi polisi,
jendral, pilot, nakoda, dan lain sebagainya. Atau bisa memanfaatkan momen-
momen tertentu. Misalnya, Hari Kartini, Peringatan HUT RI, hari Pahlawan, dan
lain sebagainya. Sekedar contoh, kita ambil momen Hari Pahlawan. Kita bisa
membuat drama perang antara TNI atau prajurit Indonesia melawan penjajah
Belanda.
3. Gemar Membaca Tanpa Dipaksa
Metode lain untuk menumbuhkan kerdasan linguistik anak adalah dengan
membuatnya gemar membaca. Ingat! Bukan memaksanya membaca. Sebab,
membuatnya gemar membaca tidak bisa dilakukan dengan cara memaksa. Justru
model paksa ini lah yang kelak di masa dewasa menjadi biang keladi anak-anak
benci membaca. Mengapa demikian? karena ia tidak suka dipaksa. Akhirnya,
orangtua yang kurang bijak memaksa anak-anaknya untuk belajar keras, karena
jika tidak mau belajar tidak akan lulus ujian. Model paksaan itu pula yang
menyebababkan budaya baca generasi muda di negeri ini sangat rendah. Ketidak
sukaan mereka terhadap membaca sama dengan ketidak sukaan mereka
membenci musuh-musuhnya. Seandainya ia terpksa membaca, hasilnya pun tidak
akan maksimal. Oleh karena itu, hanya dengan cara membuat anak gemar
membaca tanpa di paksa lah kelak dia akan menjadi pembelajar sejati yan tak
akan pernah gagal meraih prestasi. Jika program ini berhasil ketika anak-anak
masih usia dini (0-6 tahun), maka Anda kelak tidak akan pernah menyuruh-
nyuruh anak-anak Anda belajar. Sebab, mereka sudah menggemarinya. Bahkan,
bisa jadi ia lebih menggemari membaca dari pada bermain.
Bagaimana cara membuat anak sejak dini menggemari membaca? Tentu
banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah memanfaatkan tanda-tanda
iklan di berbagai media. Model ini sangat efektif untuk memperkenalkan anak
pada huruf-huruf abjad. Misalnya, tanda, “McDonald”. Saya tidak tahu persis
mengapa tanda ini sangat mudah dikenali anak-anak sejak usia 2 tahun. Ini
merupakan kabar gembira bagi para orangtua dan Guru. Kita bisa menambahkan
simbul-simbul lain yang memungkinkan anak untuk dapat memahaminya.
Misalnya, simbul-simbul atau tanda-tanda pada rambu-rambu lalu lintas.
Perkenalkan berbagai kode rembu-rambu lalu lintas tersebut dari yang sangat
mudah terlebih dahulu, seperti tanda berikut ini. Supaya lebih efektif lagi, tidak
ada salahnya anda untuk berjalan-jalan di jalur lalu lintas perkotaan, kemudian
tunjukkan gambar atau kode rambu-rambu lalu linta tersebut, dan minta lah anak
Anda untuk mecari dan menghitung ada berapa tanda yang ditemui sepanjang
perjalanan. Ingat, tujuannya memperkenalkan berbagai tanda tersebut, bukan
untuk dihafal. Sebab, memaksakan hafalan pada anak akan berdampak negatif di
kemudian hari. Minimal, ia tidak akan mengenali kode-kode baru sebelum kode
lama dihafalnya. Padahal, biasanya tanpa disuruh anak akan hafal dengan
sendirinya terhadap kode-kode yang baru saja dikenalnya tersebut. Hal ini
dikarenakan oleh sifat anak yang sangat menyukai tanda tersebut. Karena rasa
sukanya yang sangat tinggi itu lah ia selalu terngiang-ngiang dalam ingatannya.
Kemungkinan besar, seorang anak yang langsung hafal tanda McDonal juga
dikarenankan oleh sifat senang dalam diri anak atau minimal penasaran ingin
menikmati makanan super lezat itu.
Setelah langkah ini sukses, mulailah memperkenalkan huruf abjad dan
angka atau bilangan yang terdapat pada buku-buku. Jika anak masih kecil 0-3
tahun, maka pilihkan buku yang banyak terdapat gambar menarik. Buku yang full
colour lebih baik. Sebab, penampilan buku yang demikian menjadi daya tarik
tersendiri bagi anak.
Pertama-tama, mungkin kita hanya memperkenalkan buku tersebut,
kemudian membuat anak senang untuk membolak-balikkan isi lembar-demi
lembar. Nah, ketika asyik membolak-balikkan lembar-demi lembar buku itu lah
kesempatan yang baik bagi orangtua dan guru untuk menjelaskan berbagai tanda,
gambar atau huruf dan angka yang tertera pada setiap halamannya. Ucapkan tanda
dan gambar tersebut dengan suara nyaring, jelas dan enak didengar. Lantas, minta
lah anak Anda untuk menirukannya. Setelah bisa menirukan dengan fasih, pilihlah
buku yang tidak hanya berisi gambar dan kode, melainkan buku cerita, atau
minimal buku yang ada tulisan-tulisan sehingga bisa digunakan untuk belajar
membaca.
Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kosa kata atau tanda
yang dikenali anak, mulailah untuk mengajarinya membaca. Pada awalnya,
mungkin Anda sendiri yang akan membacakan dengan suara yang sangat nyaring
terhadap isi buku tersebut. Perlu diketahui, suara nyaring tersebut secara tidak
langsung sedang melatih daya dengar anak Anda. Jadi, usahakan membaca
dengan suara nyaring, intonasi tepat, dan jika meungkinkan bacalah dengan suara
yang berbeda. Hal ini penting karena sering kali dalam buku cerita terdapat dua
tokoh atau lebih. Jika memungkinkan, bedakan suara tokoh yang satu dengan
tokoh yang lainnya sesuai dengan karakter masing-masing tokoh. Hal ini akan
semakin mempertajam pendengaran anak Anda. Jika perlu, iringilah pembacaan
tersebut dengan meletakkan jari telunjuk atau pena pada baris demi baris yang
dibaca, berjalan seiring dengan berjalannya suara. Ini akan membantu anak Anda
akan memperhatikan lebih tajam lagi.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah memilih cerita yang tidak terlalu
panjang, tetapi juga tidak terlalu pendek. Lebih dari itu, pilihlah cerita atau kisah
yang mengandung nilai-nilai edukatif tinggi. Misalnya, kisah para Nabi dan kisah
Qur’ani. Atau kisah lain yang sekiranya mengandung nilai-nilai pendidikan yang
baik. Jika memungkinkan, hindarkan cerita-cerita yang berbau mistik, kekerasan,
dendam, dan kebencian. Sebab, sifat-sifat tokoh tersebut akan berpengaruh pada
diri anak.
Setelah anak menginjak usia 5 atau 6 tahun, tuntunlah mereka untuk
membaca sendiri. Tugas Anda hanya membenarkn jika salah, meluruska jika
menyimpang, memperhatikan tanda titik, koma, tanda seru dan lain sebagainya.
Sesekali, selingilah dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, “Siap tadi yang berkata
demikian?, tempatnya dimana? Kapan, mengapa ia begitu?” dan lain sebagainya.
Jika dia belum begitu cekatan menjawab pertanyaan-pertanyaan selingan tersebut,
maka cerita itu perlu untuk dibaca ulang, hingga anak lancar membaca dan
memahaminya.
Setelah beberapa kali membaca, mintalah komentar atau pendapat anak
Anda, mengenai masing-masing tokoh dalam cerita tersebut. Komentarnya
sederhana saja, si “A”, misalnya, baik atau jahat? Mengapa ia jahat? dan
seterusnya. Jika belajarnya anak telah sampai pada tahap ini, Anda boleh
membiarkannya belajar sendirian dan melengkapi kosa katanya. Hanya saja,
ketika diajak belajar membaca, perhatikanlah ekspresi wajahnya. Ia suka atau
tidak dengan cerita yang dibacakan. Jika ia suka tetapi setelah berjalan beberapa
saat kemudian ia mulai bergerak dengan gelisah, menguap atau menerawang,
maka cepat-cepat lah hentikan aktivitas belajar tersebut. Biarkan anak istirahat
atau mencari kegiatan lain yang membuatnya senang. Tetapi jika ia dari awal
sudah tidak suka dengan cerita yang kita tawarkan, bukalah lembaran lain atau
cari buku lain yang benar-benar menarik untuk anak Anda.

Demikianlah beberapa metode yang dapat dipraktikkan untuk meningkatkan


kecerdasan linguistik anak. Untuk memudahkan kapan berbagai permainan di atas dapat
diberikan, berikut ini disajikan rangkuman berupa aspek perkembangan kecerdasan
linguistik anak usia dini dan metode untuk meningkatkannya.

Tabel 1.
Perkembangan kecerdasan linguistik pada anak usia dini dan metode meningkatkannya.

No Usia Perkembangan Kecerdasan Metode Meningkatkan


Anak Lingusitik Kecerdasan Lingusitik
1 a. Merespon jika namanya a. Bercakap-cakap
Lahir- dipanggil
1tahun b. Banyak berceloteh. b. Bercakap-cakap
2 a. Mengenal suara orang-orang a. Dongeng
1-2 tahun terdekatnya.
b. Mampu menirukan dengan b. Bermain drama
cepat kata-kata orang dewasa
c. Mengerti perintah sederhana c. Bercakap-cakap

3 a. Mampu mengenal suara-suara a. Membacakan kisah/


2-3 tahun benda, binatang, atau suara cerita
seseorang.
b. Mampu menirukan banyak
jenis suara. b. Bercakap-cakap.
c. Lebih banyak bertanya dari
pada menjawab. c. Bermain drama.

d. Membacakan cerita
dari buku.
4 3-4 tahun a. Mampu menirukan berbagai a. Bermain drama
suara dalam berkomunikasi.
b. Mampu menjawab pertanyaan
sederhana dengan jawaban b. Membacakan cerita
lebih panjang. secara bergantian
c. Mampu ber-ackting dengan c. Bermain drama
bahasa tubuh-verbalnya. dengan menggunakan
benda-benda.
5 a. Pembicaraannya menjadi a. Berlatih kata bersajak
4-5 tahun pusat perhatian
b. Mampu mengkomunikasikan b. Pembacaan puisi atau
ide dan gagasan kepada pantun.
semua orang. c. Bercakap-cakap
6 a. Menguasai seni berbicara a. Membacakan puisi dan
5-6 tahun dengan beragam intonasi dan carita
gaya. b. Bercakap-cakap.
b. Mampu bertanya lebih banyak
dan menjawab lebih
kompleks. c. Mengenalkan angka-
c. Mampu bicara dengan runtut. angka.

Anda mungkin juga menyukai