Naskah Magang Romawi - Bab 1
Naskah Magang Romawi - Bab 1
PENGEMBANGAN KECERDASAN
MAJEMUK DALAM
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
PAUD
(Khasanah Islam & Neurosains)
KATA PENGANTAR
Pengembangan Kecerdasan Majemuk dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
ini membahas temuan Howard Gardner, bahwa setiap manusia memiliki setidaknya
sembilan jenis kecerdasan, yakni liguistik, matematis-logis, visual-spasial, kinestetik,
musikal, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan kecerdasan eksistensial atau
spiritual. Setiap kecerdsan dibahas dalam satu bab. Kecerdasan majemuk itu sendiri
merupakan kajian neurosains bidang psikologis yang dapat dimanfaatkan dalam konteks
pendidikan, termasuk pendidikan anak usia dini. Jadi, tanpa membahasanya dalam
perspektif neurosins, kecerdasan majemuk secara otomatis menjadi kajian neurosains.
Pembahasan setiap jenis kecerdasan diperkaya dengan khasanah Islam, sehingga
tidak hanya kecerdasan eksistensial atau kecerdasan spiritual saja yang senafas dengan
Islam, melainkan seluruh jenis kecerdasan. Sekadar conntoh, kecerdasan linguistik dalam
pandangan Islam merupakan kecerdasan Nabi Sulaiman as, yang dalam Al-Qur’an
disebutkan mampu berkomunikasi dengan binatang, bahkan semut, jin dan malaikan, di
samping sesama manusia. Oleh karena itu, guru dan orangtua tidak boleh berpandangan
bahwa anak hanya dikembangkan salah satu jenis kecerdaan yang meninjol saja. Sebab,
jika hanya satu jenis kecerdasan yang dikembangkan, maka anak tersebut akan menjadi
“kuper” keilmuan.
Akan tetapi orangtua dan atau guru juga tidak bolem terllau ambisius untuk
mengembangkan seluruh kecerdasan majemuk pada setiap anak didik dengan sama
baiknya. Ambisi ini mungkin ada baiknya karena hendak menjadikan anak multitalenta,
tetapi risikonya justru semua jenis kecerdasan akan gagal dikembangkan.
dengan demikian, kecerdasan majemuk harus dikembangkan secara sistetis, tidak
bisa secara pragmatis. Jika implementasi kecerdasan mejemuk dilakukan secara
prakmatis, maka kesannya memaksakan temuan-temuan kajian neurosains bidang
pendidikan (kecerdasan majemuk) di laboratorium ke dalam praktik pebelajaran di ruang
kelas. Oleh karena itu, implementasi kecerdasan majemuk harus dilakukan secara sintetis,
yakni pengembangan dan penggabungan antar kecerdasan sehingga melahirkan
kecerdasan-kecerdasan baru dalam setiap diri anak didik. Implementasi kecerdasan
majemuk secara sintetis merupakan skenario pembelajaran yang memadukan berbagai
kecerdasan dalam diri setiap anak didik, sehingga menghasilkan kecerdasan baru, atau
minimal mengokohkan kecerdasan yang telah ada.
DAFTAR ISI
Daftar isi__
Kata pengantar __
Pendahuluan
A. Menyoal Ulang Kecerdasan ___
B. Kecerdasan dan Kesuksesan ___
C. Satu Kelebih, Banyak Kelemahan___
Bab 1
Kecerdasan Linguistik ___
A. Pentingnya Kecerdasan Linguistik ___
a. Meningkatkan Kemampuan membaca. ___
b. Meningkatkan Kemampuan menulis. ___
c. Meningkatkan Kemampuan Mendengar ___
d. Gerak Verbal ___
e. Meningkatkan Keterampilan umum ___
B. Orang-orang yang Terkenal Kecerdasan Linguistiknya Baik ___
C. Mendeteksi Kecerdasan Linguistik Anak Usia Dini ___
D. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Linguistik ___
Bab 2
Kecerdasan Matematis-Logis ___
A. Pentingnya Kecerdasan Matematis-Logis ___
B. Pentingnya Kecerdasan Matematis Logis ___
a. Meningkatkan Logika: Memperkuat Keterampilan Berpikir ___
b. Menemukan Hubungan Sebab-Akibat ___
c. Meningkatkan Pengertian Bilangan ___
C. Orang-orang yang Terkenal Kecerdasan Matematis-Logisnya Baik __
D. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Matematis-Logis ___
Bab 3
Kecerdasan Visual-Spasial ___
A. Pentingnya Kecerdasan Visual-Spasial ___
a. Meningkatkan Kreativitas ___
b. Meningkatkan Daya Ingat ___
c. Menggapai Puncak Berpikir, Mememcahkan Masalah ___
d. Menuju Puncak Kesuksesan ___
B. Orang-orang yang Terkenal Kecerdasan Visual-Spasialnya Baik ___
C. Metode Menumbuhkan Kecerdasan Visual-Spasial ___
Bab 4
Kecerdasan Musikal ___
A. Pentingnya Kecerdasan Musikal ___
a. Meningkatkan Kreativitas dan imajinasi ___
b. Meningkatkan Intektualitas ___
c. Mempengaruhi Kecerdeasan Lainnya ___
d. Terapi Psikologis ___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Musikalnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Musikal ___
Bab 5
Kecerdasan Kinestetik ___
A. Pentingnya Kecerdasan Kinestetik ___
a. Meningkatkan Kemampuan Psikomotor ___
b. Meningkatkan Keterampilan Sosial ___
c. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri ___
d. Dasar Gaya Hdup Sporti, Energik dan Kreatif ___
e. Meningkatkan Kesehatan ___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Kinestetiknya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Kinestetik ___
Bab 6
Kecerdasan Interpersonal ___
A. Pentingnya Kecerdasan Interpersonal ___
a. Mengembangkan Jiwa Sisial ___
b. Membantu Keberhasilan Kerja ___
c. Menjaga Keseimbangan Hidup dan Mencerdaskan Emosi-Fisik___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Interpersonalnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal ___
Bab 7
Kecerdasan Intrapersonal ___
A. Pentingnya Kecerdasan Intrapersonal ___
a. Stabilitas Emosional ___
b. Meningkatkan Motivasi Diri ___
c. Menumbuhkan Jiwa Tanggung Jawab ___
d. Mengembangkan Harga Diri ___
B. Orang-orang yang Terkenal Baik Kecerdasan Intrapersonalnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Intrapersonal __
Bab 8
Kecerdasan Naturalis ___
A. Pentingnya Kecerdasan Naturalis ___
a. Menumbuhkan Kepekaan Terhadap Lingkungan Alam ___
b. Mencintai Flora dan Fauna ___
c. Mningkatkan Kepekaan Terhadap Bencana dan Musibah ___
B. Metode Mengembangkan Kecerdasan Naturalistik ___
Bab 9
Kecerdasan Eksistensial (Spiritual)___
A. Pentingnya Kecerdasan Eksistensial ___
a. Terapi Jiwa dan Raga ___
b. Menumbuhkan Rasa Beragama ___
c. Mengembangkan Motivasi Religius ___
B. Orang-oorang yang Terkenal baik Kecerdasan Eksistensialnya ___
C. Metode Mengembangkan Kecerdasan Eksistensial ___
Bab 10
Penutup
Daftar Pustaka
Biografi Penulis
PENDAHULUAN
Kecerdasan Matemartis-Logis
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan Musical
Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan Pintu
Visual- Pembuka Kecerdasan Interpersonal
Spasial
Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan Naturalis
Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa satu jenis kecerdasan –dan ini potensi
yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain—merupakan pintu bagi
pengembangan kecerdasan yang lain. Artinya, orang yang diberi kecerdasan visual-
spasial seperti Einstein, misalnya, dapat digunakan untuk membuka dan mengembangkan
kecerdasan lain yang belum muncul. Kecerdasan ini setiap orang berbeda-beda, sehingga
setiap orang adalah khas dan unik sebagaimana dirinya.
Pengembangan kecerdasan atau potensi diri sesuai dengan keunikan dirinya
tersebut akan berpengaruh pada model dan gaya belajar. Karena setiap orang adalah unik
dan mempunyai gaya belajar sesuia dengan keunikan dirinya, maka setiap orang
mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Inilah sebabnya, mengapa dalam satu kelas;
gurunya sama, materiya sama, bukunya sama, tetapi hasilnya bisa berbeda-beda. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan gaya belajar –di satu sisi— dan gaya mengajar guru di sisi
yang lain. Bagi anak yang mempunyai kesamaan antara gaya belajar dengan gaya
mengajar guru akan meraih prestasi lebih baik dari yang lain. Sebaliknya, anak yang gaya
belajarnya berlawanan dengan gaya mengajar guru, bisa mendapat nilai terburuk, bahkan
diklaim sebagai anak yang bodoh.
Sayangnya, yang terjadi selama ini adalah guru lebih memihak pada gaya belajar
anak-anak tertentu dan mengabaikan gaya belajar anak yang lain. Gaya mengajar guru
yang monoton dan tidak bervariasi adalah bukti mengenai hal ini. Sekadar contoh, guru
yang mengajar dengan gaya ceramah (audiotory) sangat menguntungkan anak-anak yang
hoby belajar dengan mendengarkan tetapi sangat merugikan anak-anak yang belajar
dengan gaya visual dan kinestetik.
Demikian pula dengan apa yang di alami oleh Einstein di waktu kecil. Ia
cenderung mempunyai gaya belajar visual. Sedangkan guru-gurunya senang mengajar
dengan ceramah atau auditorial. Karena Einstein tidak bisa mengikuti gaya mengajar
guru, maka gurunya mengklaim bahwa Einstein adalah anak yang bodoh, bahkan autis.
Padahal, sesungguhnya ini hanya karena faktor kesesuaian antara gaya belajar anak
dengan gaya mengajar guru semata.
Dengan demikian, potensi diri atau kecerdasan seseorang, berpengaruh pada gaya
belajar orang tersebut. Jika ia belajar dan diajar dengan gaya yang sesuai, maka ia mampu
meningkatkan kemampuannya ke tingkat yang lebih baik. Sebaliknya, jika gaya belajar
dan gaya mengajar tidak sesuai, maka potensinya akan terabaikan.
Oleh karena itu, harus ada kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar.
Hanya dengan kesesuaian ini lah potensi anak dapat ditumbuh kembangkan secara
maksimal. Hal ini menuntut kemampuan pendidikan untuk dapat mengenali lebih dalam
peserta didiknya secara kolektif atau individual. Mungkin, cara mengajar pendidik adalah
secara klasikal. Tetapi, pendekatannya harus secara individual. Sebab, setiap peserta
didik mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri yang pasti berbeda dengan anak-anak
yang lain. Jika kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk meningkatkan
potensi atau kecerdasan ini dilukiskan dalam skema, maka akan tampak sebagai berikut.
Mengaj
ar
Belajar Pengembangan
potensi /
Kecerdasan
Skema: Kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk mengembangkan
potensi atau kecerdasan yang lebih baik
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa antara gaya mengajar dan gaya belajar
harus ada kesesuaian sehingga terjadia hubungan timbal balik. Nah, hasil dari hubungan
timbal balik lah yang mampu mengembangkan potensi atau kecerdasan anak didik.
Jika proses pendidikan sejak awal (usia dini) telah menekankan kesesuaian antara
gaya belajar (bermain) anak dengan gaya mengajar guru, pasti setiap anak dapat tumbuh-
kembang sesuai dengan keunikan dirinya sendiri. Di samping itu, tumbuh-kembang anak
tidak akan syarat oleh paksaan-paksaan guru yang sebenarnya dapat mengancam potensi
itu sendiri.
Belajar dari kisah Einstein kecil di atas, kita tidak harus mengklaim anak-didik
kita sebagai anak autis atau anak yang mengalami keterbelakangan mental, sebagaimana
yang dialami Einstein. Yang terpenting adalah, mendidik anak sesuai dengan kecerdasan
tertingggi sejak kelahirannya. Jika anak-didik kita lebih senang dengan dunia fantasi,
maka ajarkanlah segala hal dengan cara berfantasi atau menghhayalkan; jika anak senang
dengan melukis atau mewarnai, maka ajarkanlah segala hal dengan cara melukiskan dan
mewarnainya; jika anak lebih senang belajar sambil bergerak ke sana-ke mari, maka
ajarkan segala hal sambil memberi kebebasan bergerak; dan lain sebagainya.
2. Thomas A. Edison pernah dikeluarkaan dari sekolah.
Bukti kedua bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan genius adalah
keberadaan Thomas Alpha Edison. Orang ini adalah penemu bola lampu yang kini
menerangi seluruh penjuru dunia ini.
Tidak jauh berbeda dengan fisikawan dunia, Einstein, sebagaimana dikemukakan
di atas, Edison di masa kecil juga pernah divonis autis. Bahkan, ketika hendak masuk
sekolah dasar, ia di tolak berulang kali. Ketika ada sebuah sekolah yang berkenan
menerimanya, ia sempat dikeluarkan atau dipindahkan pada sekolah luar biasa (SLB).
Apa sesungguhnya yang dilakukan oleh Edison sehingga membuat guru-guru di
sekolah memperlakukannya demikian? beberpa sumber menyebutkan bahwa Edison di
waktu kecil senang mengerami telor, layaknya induk ayam yang mengerami telornya.
Edison bisa merasakan energi hangat atau panas ketika melakukan hal itu. Tetapi, karena
guru dan orang-orang di sekelilingnya menganggap bahwa perilaku tersebut tidak lazim
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya, maka mereka berkesimpulan bahwa Edison
berkelainan mental. Sekolah pun tidak segan-segan mengeluarkannya dan
merekomendasikan agar ia dimasukkan ke sekolah SLB.
Bahkan, ketika Edison memulai karya besarnya untuk menciptakan lampu bolam,
banyak orang yang mencemoohnya dengan mengatakan “Dasar orang gila.” Terlrebih
lagi ketika ia telah gagal sebanyak 999 kali dalam upayanya tersebut. Hampir semua
orang semakin yakin bahwa Edison mengalami kelainan jiiwa, karena terus melakukan
hal-hal yang selalu gagal.
Walaupun ada sebagian orang yang percaya bahwa Edison tidak gila, tetapi
mereka tidak henti-hentinya meyarankan untuk menghentikan proyek raksasanya
tersebut. alasannya, kegagalan yang sekian banyak telah dianggap cukup untuk
membuktikan bahwa percobaanya tidak mungkin dilanjutkan.
Pendek kata, Edison di waktu kecil bukan lah anak yang dinilai kebanyak orang
sebagai anak yang cerdas apa lagi genius. Ia di mata kebanyakan orang adalah anak yang
bermasalah, bodoh, bahkan berkelainan jiwa.
Lagi-lagi, berita berita ini sungguh mengejutkan. Betapa tidak? Siapa yang
menyangka bahwa penemu bola lampu yang kini dimanfaatkan semua orang di dunia ini
dulunya diklaim sebagai anak autis, terbelakang mentalnya, bahkan SD saja di
keluarkan?
Pertanyaanya, “Mengapa anak yang oleh para guru dianggap autis bisa menjadi
ilmuwan besar?” Kira-kira, jawabannya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi
dengan Einstein di atas. Klaim “autis” atau keterbelakangan mental itu hanya di
keluarkan oleh orang-orang yang tidak mengatahui “potensi unik” seorang anak. Mind set
kebanyakan orang (termasuk guru) waktu itu telah tertutup oleh pemahaman bahwa
genius atau tidaknya seseorang hanya ditentukan oleh kemampuan berhitung atau
kecerdasan matematis-logisnya. Sedangkan kemampuan di luar itu akan dianggap
sebagai autis atau keterbelakangan mental.
Wajar, jika Edison kecil yang tidak bisa diam, duduk manis sambil mendengarkan
guru mengajar lantas diklaim sebagai anak autis atau anak yang mengalami
keterbelakangan mental. Untunglah, Edison oleh Ibunya diasuh, dididik, dibesarkan, dan
diberdayakan potensi geraknya tersebut, sehingga suatu saat, jadi lah sosok Edison yang
utuh, unik, dan khas dengan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Dalam bahasa Multiple Intellegences, Edison sebagaimana disebutkan di atas
memiliki potensi kecerdasan kinestetik. Kemuidian, ia menggunakan potensi
kecerdasannya tersebut untuk memasuki dan mengembangkan kecerdasan-kecerdasan
lain, terutama logika-matematika dan visual-spasial. Dengan demikian ia menggunakan
potensi unik dalam dirinya sebagai pintu gerbang untuk mengembangkan berbagai
kekcerdasan dalam dirinya. Jika hal ini dilukiskan dalam sebuah skema, maka akan
terlihat sebagai berikut:
Kecerdasan Matemartis-Logis
Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan Naturalis
Skema: Kecerdasan kinestetik sebagai pintu memasuki kecerdasan lain yang lebih
kompleks.
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa satu jenis kecerdasan –dan ini potensi
yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain—merupakan pintu bagi
pengembangan kecerdasan yang lain. Artinya, orang yang diberi potensi atau kecerdasan
kinestetik seperti Edison, dapat menggunakan kecerdasannya tersebut untuk menggali
dan mengembangkan kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Sebagaimana disebutkan
di atas, bahwa potensi tersebut setiap orang berbeda-beda, sehingga setiap orang adalah
khas dan unik sebagaimana jati dirinya.
Apa yang di alami oleh Edison di waktu kecil, sebenarnya juga di alami oleh
banyak anak-anak di berbagai belahan negeri saat ini. Tetapi, nasib mereka tidak jauh
berbeda dengan Edison di waktu kecil. Hampir seluruh sekolah menolak anak-anak yang
mempunyai gejala gerak yang sulit dikendalikan. Mereka sering mengatakan gejala ini
dengan istilah “hiper aktif.” Padahal, sesungguhnya anak-anak tipe demikian mempunyai
kecerdasan kinestetik yang sangat tinggi. Sebagaimana kecerdasan-kecerdasan yang lain,
kecerdasan kinestetik pun bisa menjadi pintu bagi pengembangan jenis-jenis kecerdasan
yang lain.
Namun, sayangnya para guru dan orang tua hingga saat ini masih menganggap
bahwa anak-anak hiper aktif atau anak berkecerdasan kinestetik tinggi adalah anak
berkelainan, sehingga harus dimasukkan ke Sekolah Khusus atau Sekolah Luar Biasa
(SLB). Hal ini disebabkan oleh mind set atau pemahaman guru yang masih mengikuti
pandangan lama, yakni yang dimaksud anak cerdas adalah anak yang mempunyai logika
baik atau kemampuan berhitung tinggi. Sehingga, anak-anak yang tidak mempunyai
kemampuan di bidang itu secara serta merta dikatakan sebagai anak berkebutuhan
khusus.
Telah banyak bukti yang menyatakan bahwa anak-anak yang dinyatakan hiper
aktif atau mempunyai kecerdasan kinestetiik tinggi di masa kecilnya justru mampu
meraih prestasi di atas rata-rata ketika dewasa. Jadi, bukan hanya Edison yang mengalami
hal ini.
Tentu, untuk mengantarkan anak-anak hiper aktif mencapai prestasi tertingginya
diperlukan pola pendidikan, khususnya gaya belajar-mengajar yang khas dan sesuai
dengan tingkat kecerdasannya. Ini lah yang tidak dimiliki guru pada lembaga pendidikan
pada umumnya. Dengan alasan ini lah mereka menyerahkan pola pendidikan anak-anak
hiper aktif kepada guru di Sekolah Luar Biasa.
Fenomena seperti ini sudah bukan menjadi rahasia umum. Banyak sekolah yang
memarjinalkan sebagian anak dengan alasan anak tersebut tidak lazim atau mengalami
kelainan. Padahal, sesunguhnya anak tersebut hanya mempunyai kelebihan yang
menonjol dan kelebihannya tersebut tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain. Karena
sekolah hanya menggunakan pola dan strategi mengajar yang sama dan monoton, mereka
tidak menerima anak-anak yang demikian.
Model penerimaan peserta didik baru (PMB) dengan cara memberikan tes tulis
adalah bukti yang tak terbantahkan lagi. Di dalam tes tulis tersebut, hampir semua soal
yang diajukan syarat dengan logika dan penalaran atau terlalu mengedepankan
kecerdasan matematis-logis. Sedangkan soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan denga kreativitas, motivasi, spiritualitas, dan lain sebagainya hampir tidak ada.
Tentu, test yang demikian sama halnya dengan mengutamakan anak-anak tertentu (anak
berkecerdasan matematis-logis tinggi) dan mengesampingkan anak-anak yang lain.
Bahkan, fenomena terakhir menunjukkan bahwa semakin “favorit” sebuah
lembaga pendidikan atau sekolah, semakin ketat menyeleksi calon peserta didiknya.
Anak yang mempunyai kecerdasan matematis logis tinggi akan mendapat prioritas utama
di berbagai sekolah. Ia bebas memilih sekolah mana pun yang ia suka, karena semua
sokolah pasti bisa menerimanya. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan matematis-logis
seorang anak, semakin sulit ia mendapatkan sekolah. Ia hanya mempunyai peluang kecil
untuk diterima di sekolah “favorit.”
Jarang sekali sekolah yang siap dan bersedia menerima semua jenis calon perserta
didik tanpa seleksi tes formal yang ketat dan rigid. Memang, kapasitas sekolah sering kali
sangat terbatas. Tetapi apa pun alasannya, menyeleksi calon peserta didik dengan
memberikan tes formal dan rigid tidak lah adil. Sebab, cara yang demikian hanya
menguntungkan anak-anak berkecerdasan tertentu dan menafikkan anak-anak
berkecerdasan lain.
Oleh karena itu, model seleksi utuk calon perseta didik yang masih berjalan
hingga saat ini harus dievaluasi. Jika harus ada selesksi, maka harus ada formasi yang
adil untuk semua anak dengan berbagai kecerdasan mereka. System seleksi tidak boleh
mengutamakan anak bekerkecerdasan tertentu dan mengesampingkan anak
berkecerdasan lain. Semuanya harus terakomodir dengan adil, sehingga tidak ada anak di
negeri ini —bagaimana pun keadaannya— termarginalkan hak-hak pendidikannya.
Apa yang dialami oleh Edison sebagaimana dikemukakan di atas kiranya dapat
menjadi pelajaran yang berharga untuk dunia pendidikan saat ini. Alangkah bangganya
jika lembaga pendidikan dapat melahirkan manusia-manusia luar biasa seperti Edison dan
Einstein di atas. Sayangnya, lembaga pendidikan ketika itu telah mencoreng muka
mereka, sehingga muncul stereotip bahwa lahirnya orang-orang besar di dunia ini bukan
atas jasa lembaga pendidikan.
Walaupun ada benarnya stereotip ini, kiranya tidak sepenuhnya dapat dipegangi.
Artinya, jika mereka tidak diolah melalui pendidikan saja bisa demikian, tentu mereka
bisa lebih revolusioner lagi jika dididik dalam wadah lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan bersikap adil terhadap semua
potensi anak, sehingga siapa pun orangnya yang menjadi pelopor peradaban dunia ini,
selalu memakai jasa pendidikan. Dengan demikian, pendidikan selalu berkembang dari
masa ke masa, seiring dengan perkembangan pemikiran para alumninya.
Kecerdasan Matemartis-Logis
Kecerdasan Visual-Spasial
Pintu
Kecerdasa pembuka
Kecerdasan Naturalis
n Kombinasi potensi
Kinestetik
kecerdasan diri / Kecerdasan Interpersonal
an Kecerdasan Intrapersonal
n
Lingusitik
Kecerdasan Eksistensial
Skema: kominasi dua kecerdasan untuk memasuki jenis-jenis kecerdasan yang lain.
Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa kombinasi dua kecerdasan (kinestetik
dan linguistik) dapat menjadi pintu untuk memasuki berbagai kecerdasan yang lain
dengan lebih mudah.
Dalam hal ini, menjadi tugas berat orangtua dan guru untuk menemukan jenis
kecerdasan tertentu yang dimiliki setiap anak didik sejak ia dilahirkan. Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa jenis kecerdasan tersebut pasti berbeda antara anak yang satu
dengan anak yang lain. Sehingga, tidak ada metode tunggal dan final untuk menemukan
berbagai kecerdasan setiap peserta didik.
Oleh karena itu, diperlukan “sikap edukatif” yang tinggi untuk menemukan jenis
kecerdasan setiap anak. Setelah jenis kecerdasan tersebut ditemukan dalam diri setiap
anak-didik, maka tugas dan kewajiban guru atau orangtua selanjutnya adalah
mendidiknya sesuai dengan jenis kecerdasan yang dimiki tersebut. Sebab, jenis
kecerdasan tersebut akan menjadi gaya belajar yang khas pada setiap anak. Oleh karena
itu, gaya mengajar guru harus disesuaikan dengan gaya belajar anak. Jika tidak, maka
yang akan terjadi adalah ketidak sinambungan antara materi yang diajarkan dengan
kebutuhan anak. Bahkan, bisa jadi anak tidak tahu menahu terhadap semua yang
dimaksudkan guru.
Jika telah terjadi demikian, biasanya guru lah yang menyelahkan anak-didiknya
dengan alasan anak tersebut kurang pintar, lambat, sulit mengerti, bahkan bodoh. Sangat
sedikit guru yang mengakui kegagalan belajar anak didiknya sebagai kegagalan cara
mengajarnya.
Kecerdasan Matematis-Logis
Kecerdasan Visual-
Spasial Pintu Kecerdasan Linguistik
Kombinasi pembuka
Kecerdasan Naturalis
kecerdasan potensi
Kecerdasan Musical diri / Kecerdasan Kinestetik
Kombinasi kecerdas
kecerdasan
an Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan
Interperssonal
Kecerdasan Eksistensial
Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa semakin banyak kombinasi kecerdasan
yang ditemukan, semakin mudah seseseoroang untuk memasuki dan meningkatkan
berbagai kecerdasan yang lain. Sebaliknya, semakin sedikit tingkat kombinasi kecerdasan
yang ditemukan, semakin berat untuk memasuki, menggali, dan meningkatkan berbagai
kecerdasan lainnya.
Walaupun demikian, yang terpenting adalah modal dasar kecerdasan setiap anak
harus ditemukan. Sebab, modal dasar kecerdasan ini adalah landasan bagi pengembangan
diri anak lebih lanjut. Jika jenis kecerdasan ini belum ditemukan, maka yang terjadi
adalah “mal praktik” pendidikan. Guru akan cenderung menggunakan metode yang sama
untuk semua anak. Tentu hal ini tidak akan membawa hasil yang signifikan, karena
metode yang cocok untuk anak tertentu belum tentu cocok untuk anak yang lain.
Jangan berharap untuk dapat menemukan berbagai jenis kecerdasan dalam diri
setiap anak. Sebab, biasanya setiap anak hanya memiliki satu atau dua, jenis kecerdasan
saja. Selebihnya harus digali, dikembangkan dan ditingkatkan. Di samping itu, satu atau
dua jenis kecerdasan yang telah ditemukan kiranya cukup sebagai modal awal bagi
pengembangan diri dan peningkatan kecerdasan yang lain. Bahkan, seandainya anak
tersebut hanya memiliki satu jenis kecerdasan pun, telah cukup untuk mendongkrak
berbagai kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Sebab, pintunya telah diketemukan.
Sehingga, tidak terlalu sulit untuk membukanya.
Tidak hanya Andi Wibiwo saja yang dilahirkan dalam keadaan cacat yang pada
akhirnya mampu meraih prestasi di atas rata-rata orang-orang normal pada umumnya.
Masih banyak orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat tetapi mampu meraih
prestasi terbaik dalam hidupnya. Sekadar contoh, Terry Fok, seorang manusia “berkaku
satu” dari Kanada yang mampu menyelesaikan lari jarak jauh. Rata-rata ia belarti dengan
kaki palsunya sejauh 26, 2 mil setiap hari, atau Jimm Abbott, seorang pitcher kidal
California Angles yang pada usia lima tahun membuang tangan kanan palsunya tetapi
berprestasi dalam tim basket, sepak bola dan bisbol di sekolah menengah. Atau spesialis
tendangan bebas Tom Dempsey yang walaupun lahir tanpa lengan kanan dan hanya
mempunyai separo kaki kanan, bisa mencapai rekor sebagai pencetak gol jarak 60 meter
untuk tim New Orleans Saints.
Dari sini, dapat diamati bahwa orang-orang yang cacat sejak lahir tidak
kehilangan hak dan kesempatannya untuk berperestasi layaknya orang-orang normal pada
umumnya. Bahkan, prestasi mereka jauh melampaui prestasi anak-anak yang dilahirkan
dalam keadaan sempurna. Masih banyak lagi orang-orang yang lahir dalam keadaan cacat
atau kurang sempurna tetapi justru mampu menyumbangkan karya terbaiknya bagi
peradaban dunia.
Semua fakta di atas menunjukkan bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
genius. Tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan bodoh, terbelakang, berkelainan,
dan vonis-vonis buruk lainnya. Berbagai pengalaman membuktikan bahwa klaim-klaim
tersebut hanya dikeluarkan oleh orang-orang –termasuk guru— yang tidak memahami
harkat dan martabat anak sebagai makhluk suci karunia Tuhan yang tak ternilai harganya.
Bagaimana pun keadaan seorang anak ketika dilahirkan, semuanya mempunyai
kesempatan yang sama untuk hidup merdeka dan memperoleh hak-haknya. Bahkan, tidak
sedikit anak-anak dilahirkan dalam keadaan cacat mampu mengalahkan pesaingnya dari
kalangan anak-anak normal.
Mereka (anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat tersebut) hanya
memerlukan sedikit perhatian yang lebih dan berbeda dengan anak-anak sempurna pada
umumnya. Hal ini merupakan kewajaran, mengingat anak-anak yang dilahirkan dalam
keadaan cacat banyak mengalami keterbatasan. Tetapi, sebesar apa pun keterbatasan
mereka bukan utuk dihindari, melainkan diberdayakan. Sehingga, keadaan yang serba
terbatas itu menjadi tidak terbatas lagi.
Adalah tidak manusiawi jika mereka yang sudah dilahirkan dalam keadaan cacat
itu justru mendapat perlakukan yang kurang dari pada anak-anak normal pada umnya.
Betapa banyak orangtua dan guru yang menyerah sebelum berjuang membesarkan,
memberdayakan, dan memperjuangkan nasibb anak-anak cacat itu. Tidak jarang diantara
mereka yang mendikdik anak-anak cacat tersebut sekardar membuat mereka bertahan
hidup, tanpa ada upaya yang berarti. Mereka telah menyerah dan berputus asa sebelum
potensi dalam diri anak-anak cacat tersebut tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain,
banyak orangtua dan guru yang menyerah pasrah atas keterbatasan anak-anak tersebut.
Lantas, mereka mencampakkannnya begitu saja, atau dipelihara untuk sekadar bertahan
hidup semata.
Sungguh malang nasib mereka di tangan guru dan orangtua yang demikian itu.
Anak yang seharusnya mendapat perhatian lebih justru termarjinalkan oleh lembaga
pendidikan yang seharusnya melindungi hak-hak kecerdasannya.
Dengan menyadari hal ini, kiranya para pendidik dan orangtua tidak berputus asa
untuk mengembangkan potensi dan kecerdasan anak-didiknya, walaupun mereka dalam
keadaan serba terbatas. Sebab, peluang mereka adalah sama dengan anak pada umumnya.
Mereka hanya membutuhkan sedikit perhatian lebih dan cara belajar yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Tidak lebih dari itu.
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan Eksistensial
Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa Miyuki kecil membuka potensi diri dan
kecerdasannya melalui pintu kombinasi kecerdasan visual-spasial dan intrapersonal.
Kombinasi keduanya menjadi alat utama untuk menggali dan mengembangkan berbagai
kecerdasan lain yang belum muncul.
Sebagaimana yang dialami oleh tokoh-tokoh besar dunia yang telah disebutkan di
atas, Miyuki pun tidak jauh berbeda. Ia termasuk orang yang dikucilkan dari kancah
pendidikan formal. Walaupun demikian, semangatnya tidak surut oleh segala
keterbatasan yang ada. Justru dengan segala keterbatasan tersebut Miyuki kecil ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya mampu menyamai harkat dan martabat anak-
anak lain pada umumnya.
Sekali lagi, anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat, betapa pun
buruknya, tetap dalam keadaan genius. Mereka hanya membutuhkan sedikit perhatian
lebih dan model pembelajaran yang berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya.
Kecerdasan Matematis-Logis
Kecerdasan Visual-
Spasial Pintu Kecerdasan Musical
Kombinasi pembuka
Kecerdasan Naturalis
kecerdasan potensi
Kecerdasan Linguistik diri & Kecerdasan Kinestetik
Kombinasi kecerdas
kecerdasan
an Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan
Intrapersonal
Kecerdasan Eksistensial
interpreneurship nya. Lihat skema berikut ini.
Mereka adalah contoh manusia yang di masa kecilnya tidak mendesain hidup di
masa depan, tetapi nasib untung kebetulan berpihak padanya. Secara global, mereka di
masa kecil bukan lah orang yang menonjol kegeniusannya. Bahkan, diantara mereka ada
yang terindikasi gizi buruk, lemah, penyakitan, dan lain sebagainya. Tetapi, berbagai
penderitaan dan kekurangan tersebut tidak menjadi penghalang bagi masa depan mereka.
Apa pun keadaannya, mereka tetap bersemangat berbuat yang terbaik munurut mereka.
Bahkan, ketika melakukan semua itu, dalam benak mereka tidak terbersit sedikit pun
untuk menjadi seperti yang sekarang ini.
Nah, orang-orang yang tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi pengusaha,
ekonom, ilmuwan, politikus dan lain sebagainya tersebut adalah bukti bahwa dirinya
mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak dapat dirubah walaupun menempuh
pendidikan dengan konsentrasi atau jurusan tertentu.
Sekadar contoh, banyak anak yang dipaksa kedua orangtuanya untuk masuk
Perguruan Tinggi pada Fakultas Teknik agar menjadi insinyur atau sarjana teknik. Ada
pula yang dipaksa untuk masuk di Fakultas Kedokteran agar menjadi dokter. Banyak pula
yang dipaksa masuk Fakultas Agama agar menjadi anak yang berakhlak mulia.
Tetapi, sepanjang perjalanan kuliah mereka, masing-masing menemukan jati
dirinya sendiri. Di antara mereka ada yang sesuai dengan pendidikan terakhir yang
ditempuhnya. Tetapi, tidak sedikit orang yang menekuni profesi yang sama sekali tidak
terkait dengan pendidikan terakhirnya.
Sekadar contoh, ada orang ketika kuliah mengambil jurusan Teknik Elektro, tetapi
setelah lulus menekuni ilmu psikologi dan hipnoteraphy. Salah satu orangnya adalah Adi
W. Gunawan, penulis hebat dan publik spiker terkenal asal Surabaya itu. Ada lagi orang
yang ketika S-1 mengambil jurusan Teknik Elektro tetapi setelah lulus menjadi ustadz
atau guru ngaji kondang. Salah satu contoh orangnya adalah Abdullah Gymnastiar,
pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang terkenal itu. Ada pula orang yang ketika
S-1 jurusan Hukum, tetapi setelah lulus menekuni bidang pendidikan. Salah satu
contohnya adalah Munif Chatib, konsultan pendidikan dan manageman Direktur sekolah
YIMI Gresik, sekaligus pemegang lisensi Multiple Intellegence satu-satunya di
Indonesia. Ia adalah Sarjana Hukum yang melanjutkan pendidikan Pascasarjananya di
Amerika dan termsuk kelima besar murid Bobbi DePorter. Ia juga murid langsung Dr.
Howard Garner, penemu teori Multiple Intellegences yang menggemparkan dunia
pendidikan itu.
Hebatnya, semua orang yang telah disebutkan di atas, walaupun profesinya tidak
linier dengan pendidikan terakhirnya, tetapi kepakarannya di bidang masing-masing
diakui orang. Siapa yang meragukan kepakaran psikologi dan hipnoteraphy Adi W.
Gunawan? Siapa juga yang meragukan kezuhudan ulama kondang Abdullah Gymnastiar?
Dan siapa yang masih meragukan kemampuan di bidang pendidikan Munif Chatib?
Semua orang tersebut telah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka benar-benar
membidangi apa yang ditekuninya. Bahkan, karya-karya mereka adalah bukti yang tak
terbantahkan mengenai keahlian mereka masing-masing.
Masih banyak lagi orang-orang yang tidak linier antara pendidikan strata satu (S-
1) dengan profesi yang ditekuni. Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan orang
masuk di perguruan tinggi dengan pilihan konsentrasi masing-masing tidak
mempertimbangkan keunikan dirinya. Atau, mereka memang ditekan dan diarahkan
kedua orangtuanya untuk mengambil bidang tertentu. Sehingga, ketika mereka mampu
melapaskan diri dan menemukan keunikan dirinya, ia banting stir beralih profesi yang
sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan terakhirnya.
Walaupun demikian, jangan beranggapan bahwa alumni teknik saja, misalnya,
bisa menekuni dan mengusasi di bidang pendidikan. Artinya, konsentrasi pendidikan
tinggi tidak berpengaruh pada profesi yang akan ditekuni. Dengan alasan ini, kemudian
Anda menempuh pendidikan tinggi dengan mengambil konsentrasi atau jurusan
sembarangan tanpa mempertimbangkan potensi unik yang ada dalam diri Anda.
Pemaparan di atas bukan untuk membangun logika yang demikian. Justru logika seperti
itu harus dibalik. Jika mereka saja yang bukan alumni psikologi mampu menjadi pakar
psikologi, apa lagi jika sejak S-1 mengambil konsentrasi psikologi. Tentu kepakarannya
di bidang tersebut akan semakin matang dan mendapat pengakuan dunia secara lebih
luas.
Demikian pula dengan yang bukan alumni pendidikan tetapi mampu menjadi
konsultan di bidang pendidikan. Tentu, jika sejak S-1 dulu ia masuk di Fakultas Ilmu
Pendidikan kepakarannya di bidang itu semakin mendalam. Tidak terkecuali dengan yang
bukan alumni Fakultas Agama Islam, tetapi bisa menjadi ustadz atau kiai kondang.
Tentu, jika sejak S-1 ia menempuh Pendidikan Agama, kepakaranya di bidang ini jauh
lebih mendalam.
Hal ini membuktikan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan genius dengan
membawa potensi atau kecerdasan yang unik dan khas sekaligus tidak sama dengan
potensi atau kecerdasan yang dimiliki oleh anak-anak yang lain. Sehingga, setiap anak
mempunyai jalan hidupnya masing-masing. Dan semua jalan hidup tersebut selalu
bermuara pada puncak kesuksesan dan keberhasilan, yakni kemaslahatan umat secara
keseluruhan.
BAB I
KECERDASAN LINGUISTIK
(Pewaris Ilmu Komunikasi Nabi Sulaiman As)
“”... Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi
segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata’. Dan
dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu
diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut
berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar
kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’”
(QS. an-Naml [27]: 15-18)
Kutipan Al-Qur’an Surat An-Naml ayat 15-16 di atas menceritakan salah satu
mu’jizat nabi Sulaiman, yakni mampu berkomunikasi dengan binatang. Oleh karena itu,
penulis menyebut bahwa kecerdasa linguistik merupakan kecerdasan “warisan” Nabi
Sulaiman. Ia tidak hanya pandau berkomunikasi dengan manusia, tetapi juga menjangkai
binatang melata. Meskipun tidak semua orang harus mampu berkomunikasi dengan
semua mkhluk ciptan Tuhan, namun kecerdaan ini sangat penting dikembangkan pada
anak usia dini.
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menguasi lebih banyak bahasa kedua,
ketiga, keempat dan seterusnya. Bahasa pertama adalah bahasa ibu/ bahasa lokal, bahasa
kedua adalah bahasa daerah/ lokal, dan bahasa ketiga adalah bahasa nasional, bahasa
keempat adalah bahasa nasional. Semakin banyak seseorang menguasai bahasa asing,
semakin bagus kecerdasan linguistiknya.
Dalam perspektif neurosains, kecerdasan linguitik diregulasi otak bagian broca dan
wernicke (Pasiak, 2006). Bagi orang yang memiliki kedua area tersebut lebih luas, maka
ia akan sangat mudah menguasai bahasa asing. Termasuk dalam kategori ini adalah
penggunaan berbahasa.
Indonesia yang memiliki lebih dari 300 bahasa daerah (Jawa, Sunda, Lampung,
Padang, dll) tentu sangat membutuhkan orang yang memiliki kecerdasan linguistik tinggi.
Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi sesuai komunitas etnik orang yang diajak
berkounikasi tentu lebih baik dari pada menggunakan bahasa yang umum atau di luar
bahasanya sendiri.
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam kecerdasan linguistik, di samping
menguasai banyak bahasa adalah, skil berbahasa (kesantunan berhasa), seperti pilihan
diksi yang tepat, suara yang jelas, artikulasi yang lugas dan lain sebagainya. orator-orator
ulung atau juru bicara yang handal sangat mengedepankan aspek-aspek kebahasaan
tersebut.
Kecerdasan linguitik juga mencakup bahasa tulis. Oleh karena itu, penting untuk
menuliskan apa yang dibicarakan terutama ide dan gagasan besar. Hal ini terkait dengan
penguasaan literasi, dimana seorang penulis harus memeiliki kemampuan menuangkan
ide dan gagasannya ke dalam naskah. Anaka usia dini perlu dilatih kecerdasan
linguistiknya, agar kelak ia dapat mengembangkan kecerdasan ini dengan sangat baik.
Tabel 1.
Perkembangan kecerdasan linguistik pada anak usia dini dan metode meningkatkannya.
d. Membacakan cerita
dari buku.
4 3-4 tahun a. Mampu menirukan berbagai a. Bermain drama
suara dalam berkomunikasi.
b. Mampu menjawab pertanyaan
sederhana dengan jawaban b. Membacakan cerita
lebih panjang. secara bergantian
c. Mampu ber-ackting dengan c. Bermain drama
bahasa tubuh-verbalnya. dengan menggunakan
benda-benda.
5 a. Pembicaraannya menjadi a. Berlatih kata bersajak
4-5 tahun pusat perhatian
b. Mampu mengkomunikasikan b. Pembacaan puisi atau
ide dan gagasan kepada pantun.
semua orang. c. Bercakap-cakap
6 a. Menguasai seni berbicara a. Membacakan puisi dan
5-6 tahun dengan beragam intonasi dan carita
gaya. b. Bercakap-cakap.
b. Mampu bertanya lebih banyak
dan menjawab lebih
kompleks. c. Mengenalkan angka-
c. Mampu bicara dengan runtut. angka.