Anda di halaman 1dari 32

Abu Dharin

MODEL PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS


MULTIPLE INTELLIGENCES DI SEKOLAH
DASAR 
Abu Dharin
IAIN Purwokerto abudharin75@yahoo.co.id

Abstrak: Tulisan ini merupakan refleksi pemberdayaan bagi


pengelola lembaga pendidikan Islam dalam menerapkan
kebijakan model pendidikan berbasis multiple intelligences.
Penelitian ini melibatkan dua sekolah dasar di bawah naungan
lembaga pendidikan Islam terkemuka di Jawa tengah sebagai
model penelitian. Melalui usaha serius untuk menerapkan
model pendidikan berbasis multiple intelligences dan dukungan
dari stakeholder, sekolah/madrasah ini telah mengembangkan
tujuh kecerdasan sekaligus dalam setting pembelajarannya.
Harapannya adalah mampu meningkatkan kualitas dan out put
pendidikan sejajar dengan sekolah-sekolah unggulan lainnya di
Jawa Tengah.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Basic Multiple Intelligences.

Pendahuluan
Era globalisasi merupakan produk kemajuan sain dan teknologi,
maka peningkatan kualitas SDM muslim untuk memajukan sain dan
teknologi perlu mendapatkan prioritas. Perhatian pendidikan Islam
kaitannya dengan globalisasi, juga harus memperhatikan “sosok lulusan”
yang diharapkan yaitu manusia “cerdas, kreatif dan beradab”, sosok yang
sangat dibutuhkan pendidikan Islam untuk menghadapi era globalisasi.
Sosok peserta didik yang diharapkan memiliki berbagai macam kecerdasan
di dalam dirinya, baik itu kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual,
kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Hal
tersebut untuk merealisasikan misi pendidikan membentuk manusia yang


Tulisan ini merupakan kontruksi awal rancangan Disertasi penuis pada Program
Doktor Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis adalah Dosen Tetap IAIN Purwokerto. Alumnus STIT Muhammadiyah
Kendal ini sekarang mengemban amanah sebagai Kepala Lembaga Penjamin Mutu di
instansi yang sama.

1 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

shaleh dan produktif seperti yang diharapkan. Pendidikan Islam harus


menumbuhkan prakasa dan memekarkan potensi kreatif pada peserta
didiknya dengan berbagai macam kecerdasan. Pendidikan Islam harus
segera memperhatikan berbagai macam kecerdasan yang harus
dikembangkan. Masing-masing kecerdasan siswa harus
ditumbuhkembangkan secara proposional dan seimbang. Ini berarti
pendidikan Islam yang “demokratis” harus memberlakukan beragam
metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif,
dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar,
sifat, sikap, dan minatnya.1
Banyak orang percaya apabila seseorang mempunyai IQ tinggi, maka
ia akan sukses dalam meniti hidup. Pengukuran IQ sejak lama menjadi salah
satu ukuran terpenting dalam menentukan kemungkinan sukses
seseorang. Dalam kenyataannya sekarang ini, dapat dilihat bahwa orang
yang ber- IQ tinggi belum tentu sukses dan belum tentu hidup bahagia.
Untuk sukses dalam kehidupan ini, ada berbagai faktor yang perlu dilihat
dan diperhatikan. Kepandaian berpikir logis dan kemampuan vokal sering
dominan dalam menentukan IQ bukanlah satu-satunya jaminan kesuksesan
hidup, bila melihat kehidupan lebih secara menyeluruh, dan bukan partial.2
Perlu diketahui setiap orang mempunyai keragaman inteligensi.
Inteligensi bukanlah tunggal, melainkan banyak, tidak ada seorang normal
pun yang hanya memiliki satu jenis kecerdasan, meskipun keadaannya
terdokumentasi dalam literatur psikologi.3 Dengan adanya kecerdasan
ganda, anak memiliki lebih dari satu kecerdasan. Peserta didik yang
memiliki kecerdasan matematika, belum tentu memiliki kecerdasan lainnya.
Sebab setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing. Kecerdasan itu
meliputi: linguistik, visual, musical, kinestetis, matematis-logis,
interpersonal dan intrapersonal. Sehingga tidak akan ada justifikasi bahwa
anak itu bodoh.
Teori multiple intelligence ditemukan dan dikembangkan oleh
Howard Gardner, seorang ahli psikologi perkembangan dan profesor
pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, Amerika
Serikat. Ia mulai menuliskan gagasannya tentang kecerdasan ganda dalam
bukunya Frames of Minds pada tahun 1983. Pada tahun 1993, ia
mempublikasikan bukunya Multiple Intelligences, setelah melakukan banyak

1
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.
121-125.
2
Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, (Yogyakarta :
Kanisus, 2004), Cet. I, hlm. 12.
3
Julia jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences, (Bandung:
Nuansa, 2007), Cet. I, hlm.28.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 2
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

penelitian tentang implikasi teori inteligensi ganda di dunia pendidikan.


Dalam penelitiannya, Gardner menemukan meskipun peserta didik hanya
menonjol pada beberapa Inteligensi, mereka dapat dibantu lewat
pendidikan dan bantuan pendidik untuk mengembangkan Inteligensi yang
lain, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan hidup yang lebih
komprehensif/menyeluruh.4 Teori kecerdasan ganda memberikan
pendekatan pragmatis tentang definisi kecerdasan dan memanfaatkan
kelebihan (potensi) peserta didik untuk membantu belajar dan
meningkatkan kemandiriannya.
Berdasarkan definisinya, kecerdasan merupakan kemampuan untuk
menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman
masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas, serta
tuntunan yang diajukan oleh kehidupan dan bukan tergantung pada nilai
IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.5 Kecerdasan akan lebih
tepat digambarkan sebagai suatu kumpulan kemampuan atau
keterampilan yang dapat ditumbuhkan dan dikembangkan, kecerdasan
bersifat laten, ada pada setiap manusia dengan kadar pengembangan yang
berbeda. 6
Gardner memberikan definisi tentang kecerdasan, sebagai: (1)
Kecakapan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, dalam
kehidupannya. (2) Kecakapan untuk mengembangkan masalah baru untuk
dipecahkan. (3) Kecakapan untuk membuat/melakukan sesuatu yang
bermanfaat di dalam kehidupannya.7 Definisi-definisi tersebut dilandasi
pandangan Gardner yang didasarkan atas teori multikultural. Menurut
Gardner ada tujuh macam kecerdasan: 1) Kecerdasan Linguistik, merupakan
kecakapan berpikir melalui kata-kata, menggunakan bahasa untuk
menyatakan dan memaknai arti yang kompleks; 2) Kecerdasan logis
matematis, kecakapan menghitung, dan memecahkan perhitungan-
perhitungan matematis yang kompleks; 3) Kecerdasan visual, merupakan
kecakapan berfikir dalam ruang tiga dimensi; 4) Kecerdasan
kinestetik/gerakan fisik, kecakapan melakukan gerak dan keterampilan
kecekatan fisik; 5) Kecerdasan musik, kecakapan untuk menghasilkan dan
menghargai musik, menghargai bentuk-bentuk ekspresi music; 6)

4
Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, (Yogyakarta :
Kanisus, 2004), Cet. I, hlm. 15-17.
5
Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002),
hlm. 1-2.
6
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002), hlm. 229-230.
7
Nana Syaodih Sukmodinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 95-96.

3 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Kecerdasan intrapersonal, kecakapan memahami dan merespon serta


berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, dan kecenderungan terhadap
orang lain; dan 7) Kecerdasan interpersonal, kecakapan memahami
kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan
tentang kekuatan dan kelemahan diri.8
Bagi Gardner, suatu kemampuan disebut intelligensi bila
menunjukkan suatu kemahiran dan keterampilan seseorang untuk
memecahkan persoalan dan kesulitan yang ditemukan dalam hidupnya,
dalam kemampuan itu ada unsur pengetahuan dan keahlian. Kemampuan
itu sungguh mempunyai dampak, yaitu dampak memecahkan persoalan
yang dialami dalam kehidupan nyata.9
Apabila dipelajari dengan seksama, model kecerdasan Gardner
tersebut akan membantu dalam memetakan berbagai macam kecerdasan
yang dimiliki setiap peserta didik. Setiap jenis kecerdasan bisa tumbuh
bersamaan hingga level yang sangat tinggi pada setiap anak, bahkan
dengan metode yang tepat peserta didik bisa sampai ke pencapaian
tingkat prestasi yang luar biasa. Kecerdasan majemuk yang tinggi, jika
dibarengi dengan bakat yang dirawat dengan optimal, maka akan
membawa anak ke prestasi sekelas world champion namun tetap dapat
menikmati hidupnya secara utuh.10
Berdasarkan alur pemikiran tersebut, jelas multiple intelligence atau
kecerdasan ganda merupakan kecerdasan atau kepandaian yang
mempunyai beberapa aspek dalam diri seseorang secara bersama-sama
membangun kecerdasan orang tersebut.11

Metode Penelitian
Tulisan ini dirancang sebagai penelitian kualitatif. Sumber data
diperoleh dari kajian pustaka dan kajian lapangan terhadap beberapa
sekolah Islam di wilayah karesidenan Banyumas yang telah menerapkan
model pendidikan Islam berbasis multiple intelligences. Sesuai dengan ciri
penelitian kualitatif, analisis data merupakan proses yang berkelanjutan,
yaitu di kala penelitian sedang berlangsung analisis telah dimulai, dan pada
saat seluruh data telah terkumpul, analisis yang lebih halus dapat

8
Nana Syaodih Sukmodinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 95-96.
9
Paul suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), Cet. I., hlm. 21.
10
Andyda Meliala, Anak Ajaib, Temukan dan Kembangkan Keajaiban Anak Anda
Melalui Kecerdasan Majemuk, (Yogyakarta: Andi, 2004), hlm. 32-33.
11
Muhibbin Syah, Spikologi pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung:PT
Remaja Rosdakarya, 2014), cet.19. hlm.116.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 4
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

dilakukan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model
analisis interaktif Miles and Huberman (1984) diawali dengan kegiatan
reduksi data, display data, dan verifikasi untuk menarik simpulan.
Reduksi data pada penelitian ini dengan cara menyajikan data
inti/pokok mencakup keseluruhan hasil penelitian, tanpa mengabaikan
data-data pendukung, yaitu mencakup proses pemilihan, pemuatan,
penyederhanaan, dan transformasi data kasar yang diperoleh dari catatan
lapangan. Data yang terkumpul kemudian direduksi, data yang dianggap
relevan dan penting dipisahkan tersendiri. Kemudian display data, supaya
data yang banyak dan telah direduksi mudah dipahami, data tersebut
disajikan dalam bentuk teks naratif untuk memudahkan mendiskripsikan
suatu peristiwa, sehingga memudahkan mengambil simpulan. Selanjutnya
menarik simpulan, data yang sudah dipolakan, kemudian difokuskan dan
disusun secara sistematik dalam bentuk naratif. Kemudian melalui induksi,
data tersebut disimpulkan sehingga makna data dapat ditemukan dalam
bentuk tafsiran dan argumentasi. Simpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung sehingga diperoleh hasil yang valid dan reliabel.

Mengembangkan Pendidikan Islam Berbasis Multiple Intelligence


Pandangan terkini menunjukkan manusia memiliki berbagai
kecerdasan sebagai potensi pribadi, hanya tidak semua kecerdasan
tersebut dapat berkembang sehingga menjadi keunggulan dari dirinya.
Semiawan, menyatakan adanya perbedaan individu dalam hal kemampuan
bawaannya menyebabkan setiap individu memiliki satu atau dua
kecerdasan yang dapat diunggulkan dari dalam dirinya.12 Kecerdasan yang
khusus tersebut apabila ditumbuhkembangkan secara optimal akan dapat
menjadi keunggulan bagi anak tersebut. Sebagai contoh seorang anak
yang memiliki keberbakatan dalam bidang musik akan dapat menunjukkan
prestasi yang menonjol dalam bidang tersebut apabila anak diberikan
kesempatan untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Setiap individu memiliki cara berbeda untuk mengembangkan
berbagai kecerdasan pada dalam dirinya. Untuk itulah dalam proses
pendidikan dan pembelajaran khususnya setiap anak harus mendapat
perlakuan yang berbeda sesuai dengan potensi kecerdasannya masing-
masing. Untuk hal ini dikenal adanya istilah “the right man on the right
place“. Artinya seorang anak akan dapat belajar bidang pengembangan
apapun apabila ia diberi kesempatan untuk mempelajarinya sesuai dengan
kecerdasan yang dimilikinya. Sangat mungkin seorang anak belajar

12
Conny Semiawan, Pendidikan Keluarga dalam Era Global. (Jakarta: Prenhallindo,
2002), hlm. 125-127.

5 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

matematika melalui kecerdasan linguistiknya. Caranya adalah dengan


menterjemahkan soal-soal matematika tersebut menjadi kalimat-kalimat
dalam soal cerita dan bukan sekedar angka-angka dalam logika
matematika.
Dalam perkembangannya konsep multiple intelligences telah
memberikan implikasi yang signifikan terhadap perkembangan dunia
pendidikan. Seiring dengan keyakinan Gardner bahwa semua manusia
memiliki bukan hanya satu kecerdasan dalam hal ini intelegensi saja
melainkan secara relatif memiliki otonomi berupa seperangkat kecerdasan,
cara guru membelajarkan anak harus memperhatikan keunggulan pada
dimensi kecerdasan yang dimiliki anak.
Apabila guru dapat memberikan kesempatan berbeda sesuai dimensi
kecerdasan anak, besar kemungkinan keberhasilan anak dalam
menuntaskan indikator yang merupakan hasil belajar yang diharapkan
dapat dikuasainya. Selain itu, dengan memperhatikan dimensi kecerdasan
yang diunggulkan dari dalam diri setiap anak, berdampak pada strategi
pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Implikasi teori multiple intelligences dalam pendidikan Islam adalah
adanya berbagai materi, metode, media, sumber belajar dan lingkungan
belajar yang bervariasi termasuk juga variasi dalam sistem evaluasi melalui
proses asesmen perkembangan. Menurut Gardner (1993), multiple
intelligences memiliki karakteristik konsep yang berbeda dengan
karakteristik konsep kecerdasan terdahulu. Karakteristik yang dimaksud
adalah sebagai berikut: 1) Semua inteligensi itu berbeda-beda, tetapi
semua sederajat. Dalam pengertian ini, tidak ada inteligensi yang lebih baik
atau lebih penting dari inteligensi yang lain.13 Semua kecerdasan dimiliki
manusia dalam kadar yang tidak persis sama; 3) Semua kecerdasan dapat
dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal; 4) Terdapat
banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan,
seseorang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki dan
menepiskan kelemahan-kelemahan; 5) Semua kecerdasan yang berbeda-
beda tersebut akan saling bekerja sama untuk mewujudkan aktivitas yang
diperbuat manusia. Satu kegiatan mungkin memerlukan lebih dari satu
kecerdasan, dan satu kecerdasan dapat digunakan dalam berbagai bidang;
6) Semua jenis kecerdasan tersebut ditemukan di seluruh atau semua lintas
kebudayaan di seluruh dunia dan kelompok usia. Tahap-tahap alami dari

13
Thomas Amstrong, Multiple Intellignce In The Classroom, (New Jersey: Upper
Saddle River, 2010), hlm. 2. Lihat juga Amstrong, Sekolah Sang Juara: Menerapkan Multiple
Intelligence di Dunia Pendidikan 2nd, terjemahan Yudhi Murtanto. (Bandung: Kaifa, 2002).
Lihat juga Amstrong, Seven Kinds of Smart, terjemahan T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia,
2002).

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 6
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

setiap kecerdasan dimulai dengan kemampuan membuat pola dasar.


Kecerdasan musik, misalnya ditandai dengan kemampuan membedakan
tinggi rendah nada. Sementara kecerdasan spasial dimulai dengan
kemampuan pengaturan tiga dimensi; 8) Saat seorang dewasa, kecerdasan
diekspresikan melalui rentang pengejaran profesi dan hobi. Kecerdasan
logika-matematika yang dimulai sebagai kemampuan membuat pola dasar
pada masa balita, berkembang menjadi penguasan simbolik pada masa
anak-anak, dan akhirnya mencapai kematangan ekspresi dalam wujud
profesi sebagai ahli matematika, akuntan, atau ilmuwan; 9) Ada
kemungkinan seorang anak berada pada kondisi "berisiko" sehingga
apabila mereka tidak memperoleh bantuan khusus, mereka akan
mengalami kegagalan dalam tugas-tugas tertentu yang melibatkan
kecerdasan tersebut.14
Macam-macam multiple intelligences yakni: pertama, kecerdasan
verbal-linguistik yakni kecerdasan yang berkaitan erat dengan kata-kata,
baik lisan maupun tertulis beserta dengan aturan-aturannya. Ciri-ciri anak
yang cerdas dalam verbal-linguistik: (a) berbicara yang baik dan efektif; (b)
cenderung dapat mempengaruhi orang lain melalui kata-katanya; (c) suka
dan pandai bercerita serta melucu dengan kata-kata; (d) terampil
menyimak dan suka bermain bahasa; (e) cepat menangkap informasi lewat
kata-kata; (f) mudah hafal kata-kata, nama (termasuk nama tempat); (g)
memiliki kosakata yang relatif banyak; (h) cepat mengeja kata-kata; (i)
berminat terhadap buku (membuka-buka, membawa, mengoleksi); (j)
cepat membaca dan menulis.15 Menurut Gardner (1993), kecerdasan
linguistik “meledak” pada awal masa kanak-kanak dan tetap bertahan
hingga usia lanjut. Kaitannya dengan sistem neurologis, kecerdasan ini
terletak pada otak bagian kiri dan lobus bagian depan. Kecerdasan
linguistik dilambangkan dengan kata-kata, baik lambang primer (kata-kata
lisan) maupun sekunder (tulisan).
Kedua, kecerdasan logika-matematika yakni kecerdasan yang
berkaitan kemampuan mengolah angka atau kemahiran menggunakan
logika. Ciri-ciri anak yang mempunyai kelebihan kecerdasan logika-
matematika: (a) tertarik memanipulasi lingkungan serta cenderung suka
menerapkan strategi coba-ralat; (b) menduga-duga sesuatu; (c) terus
menerus bertanya dan memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang
peristiwa di sekitarnya; (d) relatif cepat dalam kegiatan menghitung, gemar
berhitung, dan menyukai permainan strategi seperti permainan catur jawa;

14
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993), hlm. 27-29.
15
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993).

7 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

(e) cenderung mudah menerima dan memahami penjelasan sebab-akibat;


(f) suka menyusun sesuatu dalam kategori atau hierarki seperti urutan
besar ke kecil, panjang ke pendek, dan mengklasifikasi benda-benda yang
memiliki sifat sama. Menurut Gardner (1993), kecerdasan logika-
matematika bersemayam di otak depan sebelah kiri dan parietal kanak.
Kecerdasan ini dilambangkan dengan ngka-angka dan lambang
matematika lain. Kecerdasan ini memuncak pada masa remaja/awal
dewasa. Beberapa kemampuan matematika tingkat tinggi akan menurun
setelah usia 40 tahun.
Ketiga, kecerdasan visual-spasial yakni kecerdasan yang berkaitan
dengan kemampuan menangkap warna, arah, dan ruang secara akurat
serta mengubah penangkapannya tersebut ke dalam bentuk lain seperti
dekorasi, arsitektur, lukisan, patung. Ciri-ciri anak yang cerdas dalam visual-
spasial: (a) memiliki kepekaan terhadap warna, garis-garis, bentuk-bentuk,
ruang, dan bangunan; (b) memiliki kemampuan membayangkan sesuatu,
melahirkan ide secara visual dan spasial (dalam bentuk gambar atau bentuk
yang terlihat mata); (c) memiliki kemampuan mengenali identitas objek
ketika objek tersebut ada dari sudut pandang yang berbeda; (d) mampu
memperkirakan jarak dan keberadaan dirinya dengan sebuah objek; (e)
dapat mempergunakan apa pun untuk membentuk sesuatu yang
bermakna baginya. Menurut Gardner (1993), kecerdasan visual-spasial
mempunyai lokasi di otak bagian belakang hemisfer kanan. Kecerdasan ini
berkaitan erat dengan kemampuan imajinasi anak. Kepekaan artistik pada
kecerdasan ini tetap bertahan hingga seseorang itu berusia tua.
Keempat, kecerdasan kinestetik-gerakyakni kecerdasan yang
berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak seluruh tubuh untuk
mengekspresikan ide dan perasaannya serta keterampilan
mempergunakan tangan untuk mencipta atau mengubah sesuatu.
Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi,
keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, kecepatan dan
keakuratan menerima rangsang, sentuhan, dan tekstur. Ciri-ciri anak yang
cerdas dalam kinestetik-gerak: (a) terlihat menonjol dalam kemampuan
fisik (terlihat lebih kuat, lebih lincah) daripada anak-anak seusianya; (b)
suka bergerak, tidak bisa duduk diam berlama-lama; (c) mengetuk-ngetuk
sesuatu; (d) suka meniru gerak atau tingkah laku orang lain yang menarik
perhatiannya; (e) senang pada aktivitas yang mengandalkan kekuatan
gerak seperti mamanjat, berlari, melompat, berguling; (f) suka menyentuh
barang-barang; (g) suka bermain tanah liat dan menunjukkan minat tinggi
ketika diberi tugas berkaitan keterampilan tangan; (h)memiliki kecerdasan
gerak-kinestetik memiliki koordinasi tubuh yang baik; (i) gerakan-gerakan
mereka terlihat seimbang, luwes, dan cekatan; (j) cepat menguasai tugas-

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 8
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

tugas motorik halus. Menurut Gardner (1993), kecerdasan gerak-kinestetik


mempunyai lokasi di otak serebelum, basal ganglia (otak keseimbangan)
dan motor korteks. Kecerdasan ini memiliki wujud relatif bervariasi,
bergantung pada komponen-komponen kekuatan dan fleksibilitas serta
domain seperti tari dan olah raga.16
Kelima, kecerdasan musikal yakni kecerdasan yang berkaitan
kemampuan menangkap bunyi-bunyi, membedakan, menggubah, dan
mengekspresikan diri melalui bunyi-bunyi atau suara-suara yang bernada
dan berirama. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, melodi, dan
warna suara. Ciri- ciri anak yang cerdas dalam musical yaitu: (a) cenderung
cepat menghafal lagu-lagu dan bersemangat ketika kepadanya
diperkenalkan lagu; (b) menikmati musik dan menggerak-gerakkan
tubuhnya sesuai irama music tersebut; (c) mengetuk-ngetukkan benda ke
meja pada saat menulis atau menggambar. Mereka senang bermain alat
musik/bermusik dengan benda-benda tidak terpakai; (d) suka menyanyi,
bersenandung, atau bersiul; (e) mudah mengenali suara-suara di sekitarnya
seperti suara sepeda motor, burung, kucing,; (f) dapat mengidentifikasi
perbedaan suara-suara sejenis, seperti suara-suara sepeda motor dari merk
yang berbeda, suara berbagai burung, suara kucing lapar dan berkelahi,
suara beberapa guru dan temannya; (g) mudah mengenali suatu lagu
hanya dengan mendengar nada-nada pertama lagu tersebut. Menurut
Gardner, musikal merupakan kecerdasan yang tumbuh paling awal dan
muncul secara tidak terduga dibandingkan dengan bidang lain pada
inteligensi manusia. Kecerdasan musikal mampu bertahan hingga usia tua.
Kecerdasan musical mempunyai lokasi di otak bagian kanan.17
Keenam, kecerdasan interpersonal yakni kecerdasan yang
melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerjasama dengan orang
lain. Kecerdasan ini melibatkan banyak kecakapan, yakni kemampuan
berempati pada orang lain, kemampuan mengorganisasi sekelompok
orang menuju ke tujuan suatu tujuan bersama, kemampuan mengenali dan
membaca pikiran orang lain, kemampuan berteman atau menjalin kontak.
Kecerdasan interpersonal dibangun, antar lain, atas kemampuan inti untuk
mengenali perbedaan, khususnya perbedaan besar dalam suasana hati,
temperamen, motivasi, dan intensi (maksud).18

16
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993).
17
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993), hlm. 23. Lihat juga Thomas Amstrong, Multiple Intellignce In The
Classroom, New Jersey: Upper Saddle River, 2010), hlm. 7.
18
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993). hlm. 23.

9 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan interpersonal: (a) cenderung


mudah memahami perasaan orang lain; (b) sering menjadi pemimpin di
antara teman-temannya;(c) pandai mengorganisasi teman-teman mereka
dan pandai mengkomunikasikan keinginannya pada orang lain; (d) memiliki
perhatian yang besar pada teman sebayanya sehingga acapkali mengetahui
berita-berita di seputar mereka; (e) memiliki kemahiran mendamaikan
konflik dan menyelaraskan perasaan orang-orang yang terlibat konflik; (f)
mudah mengerti sudut pandang orang lain, dan dengan relatif akurat,
mampu menebak suasana hati dan motivasi pribadi orang lain; (g) cinta
damai, pengamat dan motivator yang baik; (h) mempunyai banyak teman;
(i) mudah bersosialisasi serta senang terlibat dalam kegiatan atau kerja
kelompok; (j) menikmati permainan-permainan yang dilakukan secara
berpasangan atau berkelompok; (k) suka memberikan apa yang dimiliki
dan diketahui kepada orang lain, termasuk masalah ilmu dan informasi; (l)
tampak menikmati ketika mengajari teman sebaya mereka tentang
sesuatu, seperti membuat gambar, memilih warna, atau bahkan cara
bersikap.
Riset mengenai otak menunjukkan bahwa otak bagian depan
memegang peran yang sangat penting dalam pengetahuan interpersonal.
Kerusakan pada bagian ini dapat menyebabkan perubahan kepribadian
yang besar). Kecerdasan interpersonal ini bersemayam, terutama pada
hemisfer kanan dan system limbik Kecerdasan ini dipengaruhi oleh kualitas
kedekatan atau ikatan kasih saying selama masa kritis tiga tahun pertama.19
Oleh karena itu, anak yang dipisahkan dari ibunya pada masa pertumbuhan
awal, mungkin akan mengalami permasalahan yang serius. Selain itu,
kecerdasan interpersonal juga dipengaruhi oleh interaksi sosial manusia.
Ketujuh, kecerdasan intrapersonal yakni kecerdasan yang berkaitan
dengan aspek internal dalam diri seseorang, seperti, perasaan hidup,
rentang emosi, kemampuan untuk membedakan emosi-emosi,
menandainya, dan menggunakannya untuk memahami dan membimbing
tingkah laku sendiri. Ciri-ciri anak dengan kecerdasan intrapersonal yang
baik: (a) terlihat lebih mandiri; (b) memiliki kemauan yang keras; (c) penuh
percaya diri; (d) memiliki tujuan-tujuan tertentu; (e) tidak mengalami
masalah ketika dibiarkan “bekerja sendiri karena merekacenderung
memiliki gaya “belajar” tersendiri; (f) suka menyendiri dan merenung.20

19
Thomas Amstrong, Multiple Intellignce In The Classroom, New Jersey: Upper Saddle
River, 2010), hlm. 7.
19
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993). hlm. 7
20
Thomas Amstrong, Multiple Intellignce In The Classroom, New Jersey: Upper Saddle
River, 2010), hlm. 7.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 10
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

Anak-anak yang cerdas dalam intrapersonal, walaupun memiliki


kemauan kuat tetapi mereka mampu mengubah target ketika target awal
gagal. Mereka mampu belajar dari kegagalan dan memahami kekuatan
serta kelemahan mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka dapat dengan
tepat mengungkapkan perasaannya Selain itu, mereka juga mampu
menghargai diri sendiri dan memiliki kemampuan untuk berkreasi dan
berhubungan secara dekat.21 Awal masa anak-anak merupakan saat yang
menentukan bagi perkembangan intrapersonal. Anak-anak yang
memperoleh kasih sayang, pengakuan, dorongan, dan tokoh panutan
cenderung mampu mengembangkan konsep diri yang positif dan mampu
membentuk citra diri sejati.
Sesuatu yang perlu dilakukan untuk merangsang kecerdasan
intrapersonal anak yakni guru perlu menjalin komunikasi yang baik dengan
anak-anak. Dorongan tumbuhnya kecerdasan intrapersonal harus disertai
dengan sikap positif para guru dalam menilai setiap perbedaan individu.
Pujian yang tulus, sikap tidak mencela, dukungan yang positif, menghargai
pilihan anak, serta kemauan mendengarkan cerita dan ide-ide anak
merupakan stimulasi yang sesuai untuk menumbuhkan kecerdasan
intrapersonal ini. Kecerdasan intrapersonal mempunyai tempat di otak
bagian depan. Kerusakan otak bagian ini kemungkinan akan menyebabkan
orang mudah tersinggung atau euforia. Sementara kerusakan di bagian
yang lebih atas, kemungkinan besar akanmenyebabkan sikap tak acuh
(cuek), enggan-lesu, lamban, dan apatis (semacam depresi). Anak-anak
autis, misalnya, adalah contoh anak-anak yang cacat dalam kecerdasan
intrapersonal. Mereka tidak mampu merujuk diri mereka sendiri. Meskipun
demikian, mereka mungkin memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang
musik,matematika, atau spasial.
Kedelapan, Kecerdasan naturalis yakni kecerdasan berkaitan dengan
kemahiran dalam mengenali dan mengklasifikasikan flora dan fauna dalam
lingkungannya. Kecerdasan ini juga berkaitan dengan kecintaan seseorang
pada benda-benda alam, binatang dan tumbuhan. Kecerdasan naturalis
juga ditandai kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam, seperti dedaunan,
awan, batu-batuan. Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan naturalis: (a)
cenderung menyukai alam terbuka, akrab dengan hewan peliharaan;
(b) menghabiskan waktu mereka di dekat akuarium; (c) memiliki
keingintahuan yang besar tentang seluk-beluk hewan dan tumbuhan;
(d) cenderung suka mengoleksi bunga-bunga dan daun-daun kering;
(e) mengoleksi mainan binatang tiruan, seperti dinosaurus, harimau, dan

21
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993). hlm. 23.

11 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

ular; (f) menikmati “komunikasi” dengan binatang piaraan dan memberi


mereka makan; dan (g) memiliki perhatian yang relatif besar terhadap
binatang, tumbuhan, dan alam. Mereka tidak takut memegang-megang
serangga dan berada di dekat binatang. Kecerdasan naturalis memiliki
peran yang besar dalam kehidupan. Pengetahuan anak mengenai alam,
hewan, dan tumbuh-tumbuhan dapat mengantarkan mereka ke berbagai
profesi strategis, seperti dokter hewan, insinyur pertanian, perkebunan,
kehutanan, kelautan, ahli farmasi, ahli geodesi, geografi, dan ahli
lingkungan.
Kecerdasan naturalis berada di wilayah-wilayah parietal kiri.
Kecerdasan ini muncul secara dramatis pada sebagian anak atau peserta
didik. Kecerdasan ini, menurut Leslie Owen Wilson dalam tulisannya The
Eight Intelligence: Naturalistic Intelligence berkaitan dengan wilayah otak
peserta didik yang peka terhadap pengenalan bentuk atau pola, membuat
hubungan yang sangat tidak kentara. Bukan hanya itu, kecerdasan naturalis
juga berkaitan dengan wilayah otak yang peka terhadap sensori persepsi
dan bagian otak yang berkaitan dengan membedakan dan
mengklasifikasikan sesuatu, yaitu otak bagian kiri.
Kesembilan, kecerdasan eksistensial yakni kecerdasan yang
berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri dalam
lingkup kosmos yang terjauh, dengan makna hidup, makna kematian, nasib
dunia jasmani maupun kejiwaan, dan dengan makna pengalaman
mendalam seperti cinta atau kesenian. Kecerdasan eksistensial juga
berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk merasakan,
memimpikan, dan menjadi pemikir menyangkut hal-hal yang besar
(menjadi pemimpin). Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan eksistensial:
(a) cenderung memiliki kesadaran akan hakikat sesuatu; (b) menanyakan
berbagai hal yang mungkin sekali tidak terpikirkan oleh anak lain
sebayanya. Pertanyaan “Apakah benar Tuhan itu ada?”, “Mengapa kita
harus berdoa pada Tuhan?”, dan “dimana Tuhan berada?” merupakan
contoh pertanyaan anak-anak yang berhulu pada kecerdasan eksistensial
ini. Stimulasi kecerdasan eksistensialis mungkin tidak mudah dilakukan.
Meskipundemikian, tugas merenungkan sesuatu yang ada di sekitar anak
dapat menumbuhkan kecerdasan ini. Kegiatan bercerita yang diakhiri
pertanyaan-pertanyaan yang menggugah kesadaran dapat digunakan
sebagai stimulasi eksistensial, seperti “Bagaimana jika kita tidak punya
ibu?”, “Bagaimana jika tidak ada air?”.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan pendekatan multiple
intelligence dapat diterapkan dengan bermacam-macam cara pada suatu
kecerdasan. Misalnya dengan menggunakan pendekatan linguistik
pendidik tidak harus selalu memerintah peserta didik dengan menghafal

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 12
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

(secara lisan), tetapi juga dapat memerintah peserta didik dengan


menulis/menerangkan pelajaran. Semakin banyak cara yang sesuai
digunakan, akan menumbuhkan pula kecerdasan-kecerdasan lain pada
peserta didik. Kecerdasan dapat berkembang jika selalu dilatih baik itu saat
pelajaran atau saat mereka bermain. Karena dalam diri manusia sedikitnya
memiliki satu kecerdasan, ada yang mempunyai dua sampai tiga
kecerdasan.
Guru Pendidikan Agama Islam adalah sosok yang digugu dan ditiru
oleh peserta didik dari semua gerak dan langkahnya. Apa yang diucapkan
dan dilakukan akan ditiru oleh peserta didiknya. Selain itu pendidik sebagai
pentransfer ilmu kepada peserta didik mempunyai tugas untuk mengajar
memberikan materi pelajaran agar peserta didik mengerti dan memahami
pelajaran. Ini diperlukan, seperti melakukan inovasi pada saat proses
pembelajaran, menggunakan ide-ide yang kreatif untuk menyampaikannya.
Pembelajaran agama Islam yang didesain dengan menggunakan
pendekatan multiple intelligence ini akan mendorong guru Pendidikan
Agama Islam untuk lebih kreatif dan inovatif karena mereka dituntut untuk
mengajar secara baik, yang disesuaikan dengan kecerdasan yang dimiliki
peserta didik. Dan menumbuhkan semangat peserta didik untuk belajar
dengan suasana yang menyenangkan dan mudah menerima pelajaran.
Sehingga pembelajaran akan bermanfaat bagi peserta didik.

Implementeasi Multiple Intelligences dalam Pendidikan Islam


Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling
sempurna. Secara fisik, manusia memiliki struktur tubuh yang sangat
sempurna, ditambah lagi dengan pemberian akal, maka manusia adalah
makhluk jasadiyah dan ruhaniyah. Akal yang dianugerahkan kepada
manusia memiliki tingkatan kecerdasan yang berbeda-beda.
Pada awalnya, kecerdasan seseorang dikenal dengan istilah
Intelligence Quotient (IQ). Intelligence Quotient (IQ) telah memonopoli teori
kecerdasan. Kecerdasan seseorang hanya diukur lewat hasil tes inteligensi,
yang logis-matematis, kuantitatif dan linear. Akibatnya, sisi-sisi kecerdasan
manusia yang lainnya terabaikan. Hegemoni teori kecerdasan IQ memang
tidak terlepas dari latar belakang historis, ilmiah, dan kultural. Secara
historis, teori kecerdasan IQ memang merupakan teori kecerdasan
pertama dan sudah berumur 200 tahun lebih yang dimulai dari Frenologi
Gall.
Intelligence Quotient (IQ) sempat dimitoskan sebagai satu-satunya
kriteria kecerdasan manusia. Pelopornya adalah Sir Francis Galton (1883)
ilmuwan yang mengembangkan tes sensori. Menurut Galton pada bukunya

13 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

berjudul Heredity Genius (1869), menyatakan makin bagus sensori


seseorang makin cerdas orang tersebut. Seseorang mampu memahami,
menganalisa, membandingkan, dan mengambil hikmah dari setiap
masalah, peristiwa, dan kejadian yang terjadi pada masa lalu, saat ini, dan
masa yang akan datang dengan adanya kecerdasan intelektual/rasional.
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya seseorang menggunakan
cara berpikir seperti ini. Bahkan, perkembangan ilmu dan teknologi yang
sangat pesat sebagian besar terjadi karena berfungsinya secara optimal
cara berpikir rasional.
IQ pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan
pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya nalar (reasoning),
perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Mitos ini dipatahkan oleh
Daniel Goleman (1990) yang memperkenalkan kecerdasan emosional atau
emotional quotient disingkat EQ dengan menunjukkan bukti empirik bahwa
orang-orang yang IQ-nya tinggi tidak menjamin hidupnya akan sukses.
Sebaliknya orang yang memiliki EQ tinggi, banyak yang menempati posisi
kunci di dunia eksekutif.
Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar
Psikologi dan Neurologi, Daniel Goleman mempopulerkan konsep
Emotional Quotient (EQ). Konsep ini menyatakan bahwa kecerdasan
emosional sama pentingnya dengan kecerdasan rasional atau intelektual,
bahkan dalam kehidupan sosial EQ bisa lebih berperan dibanding IQ.
Pada awal tahun 2000, muncul konsep kecerdasan lain, yakni
kecerdasan spiritual (spiritual Quotient) yang disingkat SQ. Tokoh yang
mengenalkan konsep kecerdasan ini adalah Danah Zahar dan Ian Marshall
yang menuliskannya dalam buku Spiritual Intelligence, the Ultimate
Intelligence. Kecerdasan spiritual adalah suatu ragam konsep kecerdasan
yang menyadarkan manusiaakan makna hidup, yang memungkinkan
manusia berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga manusia
merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan
spiritual. Kecerdasan ini merupakan sumber dari kebijaksanaan dan
kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif
menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam
kehidupan manusia. Kecerdasan spiritual ini juga mampu menumbuhkan
kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri
secara bertanggungjawab dan mampu memiliki wawasan mengenai
kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya
baru. Konsep kecerdasan spiritual ini mengatakan bahwa ada God Spot
pada otak manusia yang menunjukkan aktivitas yang intensif bila berbicara
dan memikirkan hal-hal spiritual.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 14
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

Pada tahun 1983 Howard Gardner menyatakan kecerdasan manusia


itu majemuk, bahkan tidak terbatas. Belakangan teori kecerdasan Howard
Gardner (1993) dikenal dengan Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk)
yakni Linguistic Intelligence (Kecerdasan Bahasa) Logico-Mathematical
Intelligence (Kecerdasan Logis-Matematis); Visual-Spatial Intelligence
(Kecerdasan Visual-Spasial); Bodily-Kinesthetic Intelligence (Kecerdasan
Kinestetik); Musical Intelligence (Kecerdasan Musik); Interpersonal
Intelligence (Kescerdasan Antarpribadi); Intrapersonal Intelligence
(Kecerdasan Intrapesonal); dan Natural Intelligence (Kecerdasan Natural).
Multiple Intelligence pada dasarnya merupakan pengembangan dari
kecerdasan otak atau IntelegenceQuotient (IQ), kecerdasan emotional atau
EmotionalQuotient (EQ), dan kecerdasan spiritual atau SpiritualQuotient
(SQ). Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
melihat suatu masalah, dan menyelesaikan masalah tersebut atau
membuat sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Individu mendapatkan kecerdasan tertentu bukan hanya karena
faktor kelahiran semata, melainkan juga karena perkembangan dan
pengalamannya. Manusia dianugerahi potensi (fitrah), namun
perkembangan selanjutnya ditentukan oleh interaksi dengan
lingkungannya. Individu dan perkembangannya adalah produk dari
hereditas dan lingkungan, keduanya sama-sama berperan penting bagi
perkembangan individu. Salah satu lingkungan yang turut membentuk
kecerdasan seseorang adalah lingkungan pendidikan.
Pendidikan merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia, secara
pribadi atau kelompok. Allah memberi manusia potensi ruhani dan akal,
namun ketika lahir sebagai bayi, ruhani dan akalnya kosong, tidak tahu apa-
apa, bahkan untuk makan, minum atau kebutuhan biologisnya tidak dapat
mengerjakannya sendiri. Manusia bisa dewasa, mandiri dan berinteraksi
dengan lingkungannya dengan baik secara bertahap, manusia harus dididik
mengembangkan sikap dan perasaan, pengetahuan serta keterampilan.
Berbeda dengan hewan yang tumbuh secara insting dan alami.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada bab 1 pasal (1) menyatakan pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.22

22
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun
2003) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

15 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Berdasarkan isi Undang-Undang tersebut, pendidikan merupakan


suatu sarana yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia agar dapat memenuhi kebutuhan pembangunan bangsa
Indonesia. Selain itu, pendidikan merupakan proses transformasi budaya,
proses pembentukan karakter, dan proses pengembangan life skill
masyarakat Indonesia.
Cita-cita mulia pendidikanhanya dapat terwujud apabila ada sistem
pembelajaran yang representatif, yaitu sistem yang mampu mengelola
peserta didik mulai dari input, proses, dan output yang berbasis kepada
pemenuhan kebutuhan dan pengembangan potensi setiap unsur yang
terdapat di dalam diri manusia. Apabila kebutuhan-kebutuhan manusia
dapat terpenuhi, baik kebutuhan jasmani, akal, ruh maupun kebutuhan
berinteraksi, maka akan tercipta keseimbangan yang akan berdampak pada
kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan.
Regulasi penyelenggaraan pendidikan sudah mulai tertata terutama
setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 19 ayat 1 menyatakan
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.23
Namun demikian sistem penyelenggaraan pendidikan yang
diaplikasikan belum ada perubahan yang signifikan sehingga masih banyak
sekolah yang elemen sistem pendidikannya masih kurang sejalan dengan
sistem pendidikan yang proporsional. Proporsional, tidak hanya sekedar
seimbang, tetapi juga manusiawi, yakni mampu mengembangkan potensi-
potensi fitrah manusia. Secara teoritis, sistem pendidikan yang tidak
proporsional tersebut terdapat pada alur pendidikan, mulai dari input,
proses, dan output serta outcomes.
Input ialah bagaimana pandangan sekolah terhadap penerimaan
siswa baru. Bagaimana memandang kondisi peserta didik kaitannya dengan
haknya untuk bersekolah dan menerima pendidikan. Proses adalah
bagaimana pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan efektif. Hal ini
terletak pada strategi pembelajaran yang berkaitan relasi antara guru dan
peserta didik. Sedangkan output adalah bagaimana proses penilaian

23
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 16
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

(assessment) terhadap aktivitas pembelajaran yang adil dan manusiawi


sehingga didapatkan hasil pembelajaran yang otentik dan terukur.
Mayoritas masyarakat meyakini apabila seseorang mempunyai IQ
tinggi, maka ia akan sukses dalam hidup ini. Maka pengukuran IQ sejak
lama menjadi salah satu ukuran terpenting dalam menentukan
kemungkinan suksesnya seseorang. Dalam kenyataannya sekarang ini,
dapat dilihat bahwa orang yang ber- IQ tinggi belum tentu sukses dan
belum tentu hidup bahagia. Goleman (1996) menyatakan orang yang
mempunyai IQ tinggi tapi EQ rendah cenderung mengalami kegagalan yang
lebih besar dibanding dengan orang yang IQ nya rata-rata tapi EQ nya
tinggi. IQ hanya berpengaruh 5 - 10% terhadap keberhasilan seseorang,
sisanya adalah faktor kecerdasan penting yang lain yakni IQ (Goleman,
2002). Senada dengan Goleman, hasil penelitian dari Stein dan Book (2002)
yang melakukan penelitian pada 42. 000 orang di 36 negara menyatakan
bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dan kesuksesan
dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Ada berbagai faktor yang perlu dilihat dan diperhatikan untuk dapat
sukses dalam hidup. Kepandaian berpikir logis dan kemampuan vokal
sering dominan dalam menentukan IQ bukanlah satu-satunya jaminan
kesuksesan hidup, bila melihat kehidupan lebih secara menyeluruh, dan
bukan partial.
Pola penerimaan siswa baru sekolah dasar di Indonesia pada
umumnya dengan membuka pendaftaran sebanyak-banyaknya, kemudian
mengadakan tes seleksi. Misalnya, dari 350 pendaftar, yang diterima hanya
100 siswa. Pastinya mereka yang diterima itu menduduki peringkat 1
sampai 100 dari 350 calon siswa atau mungkin yang mampu menyumbang
dana dalam jumlah besar kepada sekolah. 250 anak yang tidak diterima di
sekolah dasar itu memiliki stigma sebagai anak yang gagal masuk ke
sekolah favorit akan terus melekat seumur hidup dan membayang dalam
pikiran selamanya. Anak-anak yang sudah diterima di sebuah sekolah dasar,
kemudian dikelompok-kelompokkan menjadi beberapa rombongan belajar
sesuai dengan kapasitas ruangan kelas yang tersedia. Namun masih banyak
sekolah dasaryang membagi kelas mereka berdasarkan kemampuan
kognitifnya, biasanya kelas A untuk anak yang paling pintar, kelas B untuk
anak yang dibawahnya, dan demikian seterusnya, hingga kelas terakhir
adalah untuk anak kurang pandai. Disadari atau tidak pembagian kelas
yang demikian berarti sekolah telah memberi label kepada anak didik
kelompok anak pandai dan kelompok anak kurang pandai yang sangat
berpengaruh kepada psikologis mereka, terutama pada kelompok anak
kurang pandai.

17 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Pembelajaran pendidikan Islam pada anak sekolah dasar yang berada


di bawah naungan lembaga pendiidkan Islam hendaknya dilakukan dengan
tujuan memberikan konsep-konsep dasar materi pendidikan Islam yang
memiliki kebermaknaan bagi peserta didik/anak melalui pengalaman nyata
yang memungkinkan untuk menunjukkan aktivitas dan rasa ingin tahu
(curiousity) secara optimal. Kemudian menempatkan posisi guru
pendidikan Islam sebagai pendamping, pembimbing serta fasilitator bagi
anak. Proses pendidikan seperti ini dapat menyeimbangkan pembelajaran
yang hanya berorientasi pada kehendak guru yang menempatkan anak
secara pasif dan guru menjadi dominan. Kebergantungan diawal
kehidupannya memang sesuatu yang wajar, tetapi dengan berjalannya
waktu ada saatnya anak harus lebih mandiri, sehingga perlu adanya
keseimbangan antara peran dan pola pengasuhan dari pendidik yang
terlalu dominan menjadi lebih demokratis agar anak didik memiliki
kebebasan untuk mengeksplorasi dunia di sekitarnya.
Pada kenyataannya pembelajaran yang berpusat pada anak untuk
sementara ini masih jauh dari yang diinginkan. Hal ini dibuktikan dengan
kenyataan di lapangan, bahwa proses pembelajaran agama Islam di
sekolah sampai saat ini masih berpusat pada guru (teacher centered) dan
belum pada anak (student centered). Hal ini dapat dimaknai bahwa proses
pembelajaran agama Islam di sekolah cenderung tidak mengembangkan
cara berpikir kritis, kreatif dan inovatif, tetapi hanya memperkokoh
kemampuan otak sebelah kiri. Fenomena yang tampak adalah banyak guru
yang mendidik anaknya agar duduk manis, diam dan menjadi pendengar
saja. Anak kreatif yang selalu bergerak dan banyak bertanya justru
dipandang sebagai anak yang hiperaktif dan nakal.
Pendapat di atas didukung oleh hasil penelitian bahwa terdapat
beberapa permasalahan pembelajaran agama Islam yang terjadi di kelas
yaitu: (1) peran guru masih sangat dominan, hal ini dibuktikan dengan
kegiatan utama guru di dalam kelas hanya menyampaikan informasi yang
bersifat satu arah sehingga anak cenderung menjadi pasif, (2) sebagian
besar guru menyandarkan pemilihan bahan ajarnya pada buku teks yang
telah baku, sehingga peserta didik kurang mendapat perspektif yang
realistik dan berdayaguna bagi pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari, (3) Adanya pengaturan tempat duduk dan penugasan yang
cenderung mengisolasi satu anak dengan anak lainnya, sehingga
mempersulit komunikasi dan pertukaran pikiran antar peserta didik, (4)
pertanyaan yang dilontarkan lebih banyak bersifat konvergen daripada
divergen, sehingga melumpuhkan kreativitas anak (dis-empowering).
Setiap guru Pendidikan Agama Islam seharusnya memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 18
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan


nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dituliskan bahwa pendidik harus memiliki
kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Berhubungan
dengan ini, maka kompetensi yang dikembangkan adalah kompetensi
profesional, dimana guru Pendidikan Agama Islam haruslah menguasai
kurikulum yang berorientasi pada perkembangan anak, menguasai strategi
pendekatan pada anak, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar,
pengelolaan pembelajaran yang bervariasi, dan sistem penilaian yang
kreatif. Apabila guru Pendidikan Agama Islam memiliki sejumlah
kompetensi tersebut, maka diharapkan mereka mampu mengembangkan
berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan serta sesuai
dengan situasi dan kondisi dimana proses pembelajaran Pendidikan Agama
Islam tersebut berlangsung (contextual learning).
Seiring dengan diluncurkannya kurikulum 2013, salah satu prioritas
penting yang ingin diwujudkan adalah adanya perubahan mind set (pola
pikir) dan pola tindak di kalangan guru maupun peserta didik yang selama
ini cenderung pasif dan statis agar menjadi lebih aktif, dinamis dan kreatif.
Guru harus mampu untuk menjadi fasilitator dan kreator dalam
pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dapat menghantarkan peserta
didiknya mengembangkan segala potensi kecerdasan yang dimiliki.
Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, mayoritas guru
masih cenderung mendominasi waktu belajar siswa dengan kegiatan-
kegiatan yang sifatnya penjelasan dengan ceramah. Guru-guru Pendidikan
Agama Islam yang sudah lulus sertifikasi pada menolak untuk mengikuti
diklat/workshop/seminar, karena merasa hal tersebut tidak diperlukan lagi.
Ini sungguh sangat ironis, ketika para guru sudah tidak mau belajar lagi,
dan merasa bahwa ilmunya sudah cukup untuk menjadi guru karena sudah
lulus sertifikasi. Padahal sekolah dapat berhasil apabila didukung oleh
kualitas guru Pendidikan Agama Islam yang profesional. Menjadi guru
profesional berarti menjadi guru yang tidak pernah berhenti belajar. Aset
terbesar dan paling bernilai di sebuah sekolah adalah guru yang berkualitas
dan profesional. Sebaik apapun kurikulumnya, sulit berhasil apabila tidak
dijalankan dengan strategi pembelajaran yang menarik, menyenangkan,
dan mampu menginspirasi anak didiknya.
Kendala bagi dunia pendidikan Islam untuk menghasilkan lulusan
yang berkualitas adalah prestasi siswa hanya diukur dari kemampuan
kecerdasan intelektual dalam hal bahasa dan matematika. Menurut
Gardner, kecerdasan intelektual seseorang tidak hanya mencakup dua
parameter tersebut di atas, tetapi juga harus dilihat dari aspek logika

19 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

matematika, linguistic, kinestis, musical, visual-spasial, interpersonal,


intrapersonal, dan naturalis.24
Gardner, mengatakan manusia cenderung hanya menghargai orang-
orang yang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa.25
Manusia harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-
orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti
artis, arsitek, musikus, ahli alam, olahragawan, designer, penari, konselor,
terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sangat disayangkan saat ini banyak
anak-anak yang memiliki talenta (gift), kurang bahkan tidak mendapatkan
penghargaan di sekolahnya. Banyak sekali anak yang dianggap sebagai
anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau
Underachiever, atau yang disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada
saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh
sekolah.
Tidak ada siswa yang bodoh, dengan kata lain setiap anak pada
dasarnya cerdas. Melalui kecerdasan yang dimilikinya, setiap anak mampu
mengeksplorasi dunianya dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing anak ini dapat
menjadi modalitas dalam belajar. Berdasarkan hasil penelitian Gardner,
yang merasa tertantang untuk membuktikan opini umum yang meyakini
bahwa kecerdasan itu dapat dilihat secara objektif dan tidak hanya dilihat
dari suatu penilaian angka berupa skor IQ semata.26 Penelitian Gardner
bermula dari maraknya tes IQ yang sangat terlihat kesenjangannya, serta
ketertarikannya mengamati budaya dan paradigma umum masyarakat
tentang kecerdasan yang dianggap paling populer hanya terletak pada
linguistik dan logika matematika saja.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Gardner mengklaim bahwa ada
berbagai macam kecerdasan pada diri manusia yang berhubungan dengan
cara mengajar dan belajar. Sampai akhirnya Gardner menemukan
kenyataan bahwa pada dasarnya manusia memiliki tujuh kecerdasan dasar
yang berbeda pada setiap orang. Pada perkembangan selanjutnya Gardner
dan rekan-rekannya menemukan berbagai kecerdasan lainnya, yaitu
naturalis dan eksistensialis. Samples juga mengemukakan pandangannya
tentang multiple intelligence bahwa anak sebagai manusia memiliki

24
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993), hlm. 23.
25
Howard Gardner, Multiple Intelligences: The Theory in Practice A READER. (USA:
BasicBooks, 1993), hlm. 25. Lihat juga Howard Gardner, Intelligence Reframed : Multiple
Intelligences for 21 th Century. USA: BasicBooks, 1999.
26
Gardner, (http://www. armstrong. com/multipleintelligences. htm). Diunduh 23
Nopember 2018.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 20
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

sejumlah kecerdasan yang dapat digunakan sebagai modalitas dalam


belajar.27
Kenyataannya masyarakat awam di Indonesia sampai saat ini masih
terdapat pandangan yang keliru dalam mendefinisikan kecerdasan.
Kecerdasan dianggap sebagai sesuatu yang tunggal. Seorang anak
dikatakan cerdas jika ia memiliki kecakapan menonjol dalam bidang bahasa
dan matematis. Sebagai contoh, seorang anak yang berhasil memperoleh
skor tinggi dalam tes yang mengukur kecerdasan matematis dan bahasa
dikatakan lebih cerdas dibandingkan anak yang mampu menari dengan
lemah gemulai, mampu bermain musik, terampil dalam berolah tubuh atau
anak yang peka pada suara hewan yang terdapat di lingkungan sekitarnya.
Sebagian besar anak tersebut di atas tidak menerima penguatan di
lembaga pendidikan, seolah mereka tidak dapat dibanggakan dan kurang
dihargai.
Konsekuensinya, semangat peserta didik dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di kelas untuk maju dan berhasil relatif kecil sebab
sedari awal mereka sudah dicap sebagai siswa yang "kurang pandai" oleh
sekolah, teman-teman, masyarakat, bahkan sering kali oleh orang tuanya
sendiri. Sekolah seperti contoh di atas digambarkan Thomas Amstrong
sebagai sekolah yang telah terkena virus tracking yakni pengelompokan
siswa ke dalam beberapa kelas berdasarkan kemampuan kognitifnya.28
Outputtracking adalah pembagian kelas menjadi kelas untuk anak pintar
dan kelas untuk anak kurang pintar. Setiap orang mempunyai keragaman
inteligensi. Inteligensi bukanlah tunggal, melainkan banyak, tidak ada
seorang normal pun yang hanya memiliki satu jenis kecerdasan, meskipun
keadaannya terdokumentasi dalam literatur psikologi.29
Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika
(matematika) dan bahasa. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan
yang dilaksanakan oleh guru-guru di sekolah masih tetap mementingkan
kemampuan logika (matematika) dan bahasa, dan jika hal ini dibiarkan
berlarut-larut, maka anak didik yang tidak memiliki kedua kecerdasan
tersebut akan dianggap bodoh, tidak diperhatikan potensi-potensi dan
kecerdasan-kecerdasan lain yang dimilikinya, sehingga sekolah hanya
mampu mengembangkan potensi sebagian anak didik saja, belum mampu
mengembangkan seluruh potensi dan kecerdasan (selain logika dan
bahasa) yang dimiliki anak didik secara komprehensip.

27
Bob Samples, Revolusi Belajar Untuk Anak,.(Bandung: Kaifa, 1999), hlm. 117
28
Thomas Amstrong, Multiple Intellignce In The Classroom, (New Jersey: Upper
Saddle River, 2010), hlm. 175.
29
Julia Jasmine, Teaching with Multiple Intelligences, (USA: Teacher Created
Materials, t.th.), hlm. 28.

21 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Pada kenyataannya, multiple intelligence seringkali justru dapat


membantu para pendidik termasuk orangtua untuk mengenali kelebihan
dan kekurangan dalam diri seorang anak. Walaupun demikian para
pendidik jangan cepat mengambil kesimpulan tentang kecenderungan
kecerdasan yang dimiliki oleh anak, tanpa memberikan kesempatan pada
anak untuk bereksplorasi, bekerja dengan keterampilan sendiri dan
mengembangkan kemampuan mereka sendiri.30
Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang anak hanya akan berarti
apabila dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang dikenal dengan
istilah kecakapan hidup (life skills). Berdasarkan hasil penelitian Maddaleno
dan Infante (2001), mengidentifikasi terdapat tiga katagori kunci tentang
life skill yaitu keterampilan sosial dan interpesonal, keterampilan kognitif
dan keterampilan meniru emosi (emosional copying skills). Melalui berbagai
kecakapan hidup yang dikuasainya, diharapkan anak akan mampu bertahan
hidup dan bertanggungjawab terhadap diri mereka sendiri. Pada dasarnya,
pembelajaran kecakapan hidup bertujuan agar anak mampu mengurus diri
sendiri (self help) dan kemudian mampu menolong orang lain (social skill)
sebagai suatu bentuk kepedulian dan tanggungjawab sosialnya sebagai
salah satu anggota keluarga dan masyarakat dimana anak berada.
Pada kenyataannya banyak lembaga pendidikan Islam yang kegiatan
belajar siswanya lebih disibukkan oleh kegiatan membaca, menulis dan
menghitung. Ada kecenderungan guru beranggapan keterampilan hidup
dasar merupakan tanggungjawab orangtua di rumah saja. Kendala bagi
dunia pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam untuk
menghasilkan lulusan yang berkualitas adalah prestasi anak didik hanya
diukur dari kemampuan kecerdasan intelektual yang menekankan pada
kemampuan matematika dan bahasa. Berdasarkan hasil tes dari Trends In
International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) 2015, Indonesia pada
pelajaran IPA menempati rangking 45 dari 48 negara, sedangkan pada
pelajaran Matematika menempati rangking 45 dari 50 negara.31 Begitu juga
hasil survey dari Programme for International Student Assasement (PISA)
2016, Indonesia menempati rangking 65 dari 72 negara dengan skor 386
untuk matematika, untuk membaca dengan skor 397 dan untuk sains
dengan skor 403.32
Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh
guru-guru di sekolah masih tetap mementingkan kemampuan logika
(matematika) dan bahasa, dan jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka

30
(http://www. family-discovery. com/), diunduh 23 Nopember 2018.
31
(www. timss2015. org), diunduh 23 Nopember 2018.
32
(www. acdp-indonesia. org), diunduh 23 Nopember 2018.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 22
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

anak didik yang tidak memiliki kedua kecerdasan tersebut akan dianggap
bodoh, tidak diperhatikan potensi-potensi dan kecerdasan-kecerdasan lain
yang dimilikinya, sehingga sekolah hanya mampu mengembangkan potensi
sebagian anak didik saja, belum mampu mengembangkan seluruh potensi
dan kecerdasan (selain logika dan bahasa) yang dimiliki anak didik secara
komprehensif.
Untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini, maka berbagai potensi
dan kecerdasan yang dimiliki anak wajib digali, dikembangkan, dan
diarahkan dengan baik oleh orang tua, keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat, pemerintah dan negara untuk mencetak generasi unggul dan
sukses hidup di tengah persaingan global. Hal ini dapat dilakukan dengan
jalan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi, bakat, minat dan kecerdasannya yang berbeda-beda.
Penyelenggaraan pendidikan yang dapat memanusiakan anak,
memperlakukan anak dengan ramah dan dapat mempersiapkan dan
mengembangkan potensi (fitrah) manusia sebagai hamba Allah di dunia
dan khalifatullah di muka bumi.
Berdasarkan kenyataan di atas, di Jawa Tengah ada beberapa
Sekolah Dasar yang telah menggunakan multiple intelligences (MI) dalam
proses pendidikan Islamnya. Dua diantara Sekolah Dasar tersebut yaitu SD
Al Irsyad 01 Purwokerto Banyumas dan SIT MI Luqmanul Hakim Slawi Tegal.
SDAl Irsyad 01 Purwokerto merupakan sekolah yang berada di bawah
naungan Yayasan Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto. SD Al Irsyad 01
Purwokerto merupakan sekolah dasar dengan model sekolah Islam
terpadu dan menjadi rujukan bagi SD atau MI baik negeri maupun swasta di
wilayah Karisidenan Banyumas. Pada tahun pelajaran 2015/2016 jumlah
seluruh siswanya ada 893 siswa dengan 458 siswa laki-laki dan 435 siswa
perempuan.
SDAl Irsyad 01 Purwokerto Banyumas merupakan sekolah dasar
swasta di Purwokerto Banyumas yang memiliki prestasi sangat
membanggakan sebabsudah 4 kali mengikuti akreditasi dan mendapatkan
status akreditasinya A, dan setiap tahun selalu meraih prestasi, baik pada
bidang akademik maupun non akademik. Pada bidang akademik, output
SDAl Irsyad 01 Purwokerto Banyumas selalu meraih rata-rata terbaik nilai
ujian nasional (UN) tingkat kabupaten Banyumas, bahkan pada tahun
pelajaran 2014/2015 mereka juga menjadi SD terbaik kesatu, maju
mundurnya peringkat ujian nasional tingkat Kabupaten Banyumas yaitu
terbaik 1 sampai 3. Dalam bidang non akademik juga pernah meraih juara I
lomba mapsi tingkat kabupaten Banyumas dan lomba-lomba lain misalnya

23 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

baca puisi, tahfidz quran, maupun lomba cerdas cermat baik tingkat
Kabupaten, propinsi maupun Nasional.
SIT MI Luqman Al Hakim Slawi Tegal merupakan madrasah ibtidaiyah
swasta yang berada di bawah naungan Yayasan Ulinuha Slawi Tegal. SIT MI
Luqman Al Hakim Slawi Tegal merupakan satu-satunya MI di Kabupaten
Tegal dengan model sekolah Islam terpadu dan menjadi rujukan bagi SD
atau MI baik negeri maupun swasta di wilayah Karisidenan Pekalongan.
Pada tahun pelajaran 2015/2016 jumlah seluruh siswanya ada 863 siswa
dengan 427 siswa laki-laki dan 436 siswa perempuan.
SIT MI Luqman Al Hakim Slawi Tegal merupakan madrasah ibtidaiyah
swasta di Slawi Tegal yang memiliki prestasi sangat membanggakan sebab
sudah 3 kali mengikuti akreditasi dan nilai akreditasinya A, dan setiap tahun
selalu meraih prestasi, baik pada bidang akademik maupun non akademik.
Pada bidang akademik, output SIT MI Luqman Al Hakim Slawi Tegal selalu
meraih rata-rata terbaik nilai ujian nasional (UN) tingkat kabupaten Tegal,
bahkan pada tahun pelajaran 2014/2015 mereka juga menjadi sekolah dasar
terbaik pertama rata-rata nilai Ujian Nasionalnya. Dalam bidang non
akademik juga pernah meraih juara I lomba mapsi tingkat kabupaten Tegal
dan lomba-lomba lain misalnya lomba kreativitas, pidato bahasa Inggris,
peraih medali perak olimpiade Sains tingkat nasional tahun 2007, tahfidz
quran, maupun lomba cerdas cermat baik tingkat Kabupaten, Propinsi
maupun Nasional.
Bardasarkan pengamatan peneliti, kedua lembaga ini memiliki
banyak keunikan diantaranya adalah: walaupun lembaga yang menauginya
berbeda yaitu SD Al Irsyad 01 Purwokerto bernaung di bawah Dinas
Pendidikan Kabupaten Banyumas dan SIT MI Luqman Al Hakim Slawi Tegal
bernaung di bawah Kementerian Agama Kabupaten Tegal, ternyata
keberadaanya sangat dikagumi dan banyak diminati oleh masyarakat
sekitar bahkan juga masyarakat daerah lain.
Banyak orang tua dari berbagai penjuru daerah mempercayakan
untuk menyekolahkan anak-anaknya di dua lembaga tersebut yang
berlabel favorit menurut pengakuan masyarakat Kabupaten Banyumas
maupun Kabupaten Tegal. Berbagai alasan telah diungkapkan masyarakat
mengapa kedua lembaga ini banyak diminati, salah satunya adalah selain
siswa mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan umum untuk bekal hidup,
siswa juga mendapat bekal ilmu agama yang lebih sebagai pedoman
mereka hidup sehari-hari. Tidak hanya itu saja siswa juga akan dibekali
bermacam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dari
dalam dirinya yang setiap siswa pasti memiliki potensi kesembilan
kecerdasan tersebut sejak dilahirkan di bumi ini. Hal itu menunjukkan
bahwa intelegensi bukan sesuatu yang telah paten, melainkan dapat diasah

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 24
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

dan ditingkatkan. Maka, dalam taraf inilah pendidikan dan pembelajaran


berperan untuk menjalankan fungsi serta tanggung jawab guna membantu
siswa agar setiap intelegensi peserta didik dapat berkembang optimal.
Hal ini sengaja dilakukan oleh para pendidik sebagai upaya untuk
mengoptimalisasikan kecerdasan yang dimiliki setiap siswa. Penerapan
kecerdasan tidak hanya di dalam proses belajar mengajar saja tetapi
dengan memberikan stimulus-stimulus pada siswa yaitu melaui kegiatan
ekstra kurikuler dan melalui penerapan dari materi yang dipelajari dalam
pembelajaran dengan cara menuangkannya diberbagai macam kegiatan
sehari-hari, juga merupakan sebuah upaya untuk menunjang tujuan para
pendidik tersebut.
Berbagai kegiatan di dalam kedua lembaga ini telah rutin
dilaksanakan untuk menunjang tujuan tersebut diantaranya yaitu, di SD Al
Irsyad 01 Purwokerto dalam penerapan kecerdasan linguistic pada
siswaialah dengan cara mewajibkan siswa untuk rutin membaca al-Quran
sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung selama 15 menit, selain itu
sering pula diadakan pembinaan qiroat dan pidato bagi siswa serta juga
sering diadakan event untuk mengadu bakat dan potensi dari semua siswa
(Observasi di SD Al Irsyad 01 Purwokerto).
Sama halnya dengan SD Al Irsyad 01 Purwokerto, di SIT MI Luqman Al
Hakim Slawi Tegaljuga berusaha menerapkan kecerdasan linguistik pada
siswa yaitu diantaranya, sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai,
tepatnya pukul 06. 45 WIB, siswa diwajibkan untuk membaca al-Quran
selama 15 menit. Kegiatan itu telah rutin dilakukan setiap hari dan
mendarah daging pada diri siswa, sehingga tanpa ada pengawasan dari
pihak guru pun siswa melakukan kewajibannya tersebut. Selain itu, setiap
hari jumat tepatnya setelah pulang sekolah ada rutinan qotmil qur’an yang
diikuti oleh sebagian siswa menurut kelasnya masing-masing, jadi tidak
semua siswa yang mengikuti kegiatan qotmil qur’an itu setiap jumat,
melainkan ada jadwal pada setiap kelas (Observasi di SIT MI Lukmahul
Hakim Slawi Tegal).
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SD Al Irsyad 01 Purwokerto
Banyumas dan SIT MI Luqmanul Hakim Slawi Tegal diterapkan dengan
model multiple intelligence yang sangat bervariasi. Guru Pendidikan Agama
Islam menggunakan variasi metode pembelajaran ada yang menggunakan
metode sosiodrama pada kelas interpersonal, pendidik juga pernah
menggunakan metode permainan dalam pelaksanaan pelajaran. Sehingga
dalam penyampaian materi anak langsung menjadi subjek (yang
melakukan), baik itu melalui sosiodrama dan praktek-praktek lainnya sesuai
kecerdasan anak. Model ini menjadikan pembelajaran mempunyai arti bagi
peserta didik dibandingkan pembelajaran konvensional (tradisional). Di

25 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

kelas konvensional, pendidik mengajar sambil berdiri di depan kelas,


menulis di depan tulis, bertanya kepada peserta didik tentang materi
kemudian peserta didik disuruh mengerjakan soal dan pendidik menunggu.
Model pengajaran tradisional sekedar menempatkan pendidik sebagai
pemberi materi.
Di kelas kecerdasan ganda pendidik dapat mengajar dengan
presentasi, menggabungkan metode linguistik, musik, kinestetik secara
kreatif. Pendidik kecerdasan ganda juga meminta peserta didik menjalin
interaksi satu sama lain dengan membentuk kelompok untuk
mengekspresikan pemahaman dalam belajar. Sehingga proses
pembelajaran akan bermanfaat yaitu peserta didik lebih semangat,
mendapatkan motivasi yang tinggi pada saat pendidik melakukan scene
setting serta akan mendapatkan hasil yang optimal bagi peserta didik.
Pendekatan multiple intelligence menekankan pada best process dan best
output, bukan best input. Best process berarti proses pembelajaran,
transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik harus mempunyai kualitas
yang didasarkan pada metode pemberian materi, bahan atau media serta
kemampuan pendidik dalam menerapkan kepada peserta didik. Best
output merupakan hasil dari pembelajaran, bila peserta didik enjoy, dapat
mengikuti pelajaran, serta aktif maka hasilnyapun akan baik.
Bila best input berarti kecerdasan yang dimiliki peserta didik saat
masuk sekolah mempunyai rangking tinggi. Dalam multiple intelligence best
input tidak digunakan, yang digunakan adalah best process dan best output
jadi cara memberikan ilmu, penyampaian materi yang berdasarkan
kecerdasan merupakan tanggung jawab pendidik untuk menggali dan
menerapkan kecerdasan peserta didik sehingga proses akan berjalan
sesuai dengan tujuan dan akan menghasilkan output yang baik pula.
Output ini dapat berupa penilaian peserta didik, sikap atau tingkah lakunya,
serta apresiasi dalam pembelajaran.
Contoh kegiatan di atas merupakan usaha para guru menerapkan
kecerdasan siswa selain melalui kegiatan belajar mengajar. Karena menjadi
siswa yang hanya pandai dalam ilmu hitung dan ilmu pengetahuan alam itu
saja tidak cukup, tetapi harus ditunjang dengan iman, takwa, serta akhlak
mulia. Upaya yang dilakukan guru dalam penerapan kecerdasan linguistik
yang paling utama bertujuan agar siswa selalu mengingat Allah SWT,
melalui ayat-ayat suci al-Quran yang mereka lantunkan dan kalimat-kalimat
toyyibah yang mereka ucapkan setiap hari karena dengan mereka selalu
mengingat Allah SWT, menjadikan diri mereka selalu berhati-hati dalam
setiap kali bertindak dan berpikir berkali-kali ketika mereka hendak
melakukan sebuah dosa karena mereka percaya bahwa Allah selalu melihat
apa yang mereka kerjakan. Disamping itu kegiatan tersebut juga dapat

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 26
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

mengembangkan bakat siswa di dalam kecerdasan linguistik. Selain


kecerdasan linguistik, para pendidik juga menerapkan kecerdasan
kinestetik, kecerdasan musikal dan kecerdasan intrapersonal serta
kecerdasan eksistensial bagi siswa.
Berdasarkan pada realita di atas, ternyata mengimplementasikan
multiple intelligences dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam perlu
adanya usaha yang gigih dari berbagai element yang ada di suatu lembaga
tersebut yaitu meliputi kepala sekolah, Kemenag, atau Kemendiknas, guru
maupun masyarakat sekitar SD Al Irsyad 01 Purwokerto Banyumas dan SIT
MI Luqmanul Hakim Slawi Tegal.

Simpulan
Multiple intelligence adalah suatu konsep pemikiran yang timbul
untuk menepis anggapan kecerdasan manusia hanya dapat diukur dengan
penilaian IQ yang hanya menggambarkan dua kecerdasan saja, yaitu
kecerdasan linguistik dan kecerdasan logis-matematis. Gardner
menafsirkan penilaian IQ terlalu sempit. Gardner mengungkapkan
kecerdasan manusia berjumlah banyak, seperti: Kecerdasan linguistik,
logis-matematis, visual, kinestetik, musik, kecerdasan interpersonal dan
intrapersonal. Kecerdasan merupakan kemampuan seseorang yang
dilakukan secara terus menerus, sehingga menjadi sebuah kecerdasan.
Contoh: Seorang anak sejak kecil suka menari, anggota tubuhnya lebih
suka diekspresikan dalam bentuk gerak, maka dapat dikatakan anak ini
memiliki kecerdasan kinestetik. Kecerdasan ganda dapat dimiliki manusia
paling sedikit mempunyai satu kecerdasan, ada yang mempunyai dua
hingga tiga kecerdasan. Kecerdasan merupakan kemampuan seseorang
yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kecerdasan.
Teori multiple intelligence (kecerdasan ganda) membahas lingkup potensi
manusia, dengan adanya teori multiple intelligence maka setiap individu
dapat di kelompokkan ke dalam kecerdasannya masing-masing.
Berdasarkan teori tersebut, multiple intelligence dapat digunakan
dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya dalam pendidikan dasar di lembaga
pendidikan Islam. Diaplikasikan dalam proses pembelajaran menggunakan
model multiple intelligence. Dalam konteks ini multiple intelligence
digunakan sebagai model pembelajaran, yang menekankan pada
kecerdasan atau kemampuan yang dimiliki peserta didik.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SD Al Irsyad 01 Purwokerto
Banyumas dan SIT MI Luqmanul Hakim Slawi Tegal diterapkan dengan
model multiple intelligence yang sangat bervariasi. Guru menggunakan
variasi metode pembelajaran inovatif yang merangsang siswa aktif
mengontruksi pengetahuannya. Peserta didik diajar secara

27 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

individu/kelompok untuk mengekspresikan pemahaman dan kebutuhan


belajarnya. Model pendekatan multiple intelligence menekankan pada best
process dan best output, bukan best input. Dalam multiple intelligence best
input tidak digunakan, yang digunakan adalah best process dan best output
jadi cara memberikan ilmu, penyampaian materi yang berdasarkan
kecerdasan merupakan tanggung jawab pendidik untuk menggali dan
menerapkan kecerdasan peserta didik sehingga proses berjalan sesuai
tujuan dan menghasilkan output yang baik.

SUMBER BACAAN

Ahmed, Ahmed Gasm Alseed. 2012. The Relation Between Intelligences


Theory And Methods Of ELT. International Journal Of Learning And
Teaching. International Journal Of Learning And Teaching. Vol. 4,
Issue 2.
Al-Zyoud, Nader Fahmi & Ziad Mohammad Nemrawi. 2015. The Efficency Of
Multiple Intellgence Theory (MIT) In Developing the academic
Achievement And Academic-Self Of Students With mathematical
Learning Disabilities In The Areas Of Addition, Subtraction and
Multiplication. American International Journal Of Social Sciences. Vol.
4 No. 2.
Amstrong, Thomas. 2010. Multiple Intellignce In The Classroom, New Jersey:
Upper Saddle River.
-------------------------. 2002. Sekolah Sang Juara: Menerapkan Multiple Intelligence
di Dunia Pendidikan 2nd, terjemahan Yudhi Murtanto. Bandung: Kaifa.
-------------------------, 2002. Seven Kinds of Smart, terjemahan T. Hermaya,
Jakarta: Gramedia.
Ayyan, Jordan, 2003. Bengkel Kreativitas, terjemahan Ibnu setiawan,
Bandung: Kaifa.
Azid, Nurulwahida Hj & Aizan Yaacob. 2016. Enriching Orphans’ Potentials
Through Interpersonal and Intrapersonal Intelligence Enrichment
Activities. International Journal Of Intruction. Vol. 9 No. 1, 1308-1470.
Bas. Gokhan and Omer Behyan, 2010. Effects of multiple intelligences
supported project-based learning on students’ achievement levels and
attitudes towards English lesson. Research in Seljuk University Turkey.
Borg, W. R dan M. D. Gall. 1983 . Educational Research. New York :
Longman.
Bryman Alan. 2001. Social Research Methods . New York: Oxford University
Press.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 28
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

Brodova, Elena dan Leang J. Deborah. 1996. Tool of the Mind. New Jersey:
Upper Saddle River.
Campbell, Linda, Bruce Campbell dan Dee Dickinson. 2002. Teaching and
Learning through Multiple Intelligences (terjemahan Tim Inisiasi).
Depok : Inisiasi Press.
Chen. Fen Shu. 2005. Cooperative Learning, Multiple Intelligences And
Proficiency: Application In College English Language Teaching And
Learning. Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Clegg, Brian, dan Paul Birch, 2001, Instant Creativity, terjemahan Zulkifli
Harahap, Jakarta: Erlangga.
Craft, Anna, 2003. Membangun Kreativitas Anak, terjemahan M. Chairul
Annam, Depok: Inisiasi Press.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquary and Research Design: Choosing
among five traditional. USA : Sage Publications, Inc.
Collin, Gillian, dan Dixon Hazel. 1991. Integrated Learning: Planned
Curriculum Unit. llinois: IRI / Skylight Publishing, Inc.
Coughlin, Pamela A dkk. 2000. Menciptakan Kelas Berpusat pada Anak.
Washington, DC: Childrens Resources International, Inc.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003) dan Peraturan Pelaksanaannya.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Degraff, Jeff &Katherine A. Lawrence. 2002. Creativity at Work: Developing
the Right Practices to Make Innovation Happen, University of Michigan
Business School Management Series, Jossey-Bass a Wiley Company.
San
Derakhshan, Ali & Maryam Faribi. 2015. Multiple Intteligences: Language
Learning And Teaching. Vol. 5, No. 4. 1923-8703.
Dryden, Gordon, dan Jeannette Vos, 2000, Revolusi Cara Belajar1,
terjemahan Word Translation Service, Bandung: Kaifa.
______________________________, 2001. Revolusi Cara Belajar 2,
terjemahan Word Translation Service, Bandung: Kaifa.
Dworetzky, John P. t. th. Introduction to Child Development. Saint Paul,
Minnepolis: West Publishing Company.
Estaji, Masoomeh & Nafisi, Mahdieh. 2014. Multiple Intelligences And Their
Representation In The EFL Young learners’ Textbooks. International
Journal Of Research Studies In Languange Learning. Vol. 3 No. 6,
2243-7762.
Fogarty Robin, 1991. How to Integrated the Curricula. Illinois: IRI / Skylight
Publishing, Inc.
Forman, George E. dan David S. Kuschner. 1993. The Child’s Construction of
Knowledge: Piaget for Teaching Children. Washington,DC: NAECY.

29 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Gangadevi. S. & Ravi. 2014. Multiple Intteligence Based Curriculum To


Enhance Inclusive Education To Bring Out Human Potentional.
International Journal Of Advanced Research. Vol. 2. Issue 8. 2320-
5407.
Gardner, Howard. 1993. Multiple Intelligences: The Theory in Practice A
READER. USA: BasicBooks.
______________. 1999. Intelligence Reframed : Multiple Intelligences for 21 th
Century. USA: BasicBooks.
Gogebakan. Derya. 2003. How Students’ Multiple Intelligences Differ In Term
Of Grade Level And Gender. Disertation. Tidak dipublikasikan.
Gordon, Thomas, 1990. Guru yang Efektif, terjemahan Mudjito, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Gunarsa, Singgih D. , dan Yulia Singgih D. Gunarsa, 2001, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja , Jakarta: Gunung Mulia.
Hamalik, Oemar, 2002, Psikologi Belajar dan Mengajar , Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Hasibuan, dan Moedjiono, 2009. Proses Belajar Mengajar , Bandung: Remaja
Karya.
Hawadi, Reni Akbar, et. al. 2001. Kurikulum Berdiferensiasi, Jakarta:
Grasindo.
Hernandez, Jose G. Vargas, Mohammad Reza Noruzi & Narges
Sariolghalam. 2010. Multiple Intelligences As A New Paradigm In The
Edication Of Maxico. International Journal Of Education. Vol. 2 No. 1;
E8.
http:// www. thomasarmstrong. com/multiple_intelligences. htm
http://www. family-discovery. com/detail2. asp?menu=detail2&id=6
http://www. infed. org/thinkers/gardner. htm/Multiple Intelligences and
Education.
http://www. nwrel. org/scpd/sir/8/c016. html.
Lake,Kathy,IntegratedCurriculm.
Jamaluddin, 2002. Pembelajaran yang Efektif, Jakarta: Gramedia.
Jasmine, Julia. t. th. Teaching with Multiple Intelligences. USA: Teacher
Created Materials.
Jawwad, Muhammad Abdul, 2002. Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas
Berfikir, terjemahan Fachruddin, Bandung: As-Syamil,
Kafanabo. J. Eugenia. 2006. An Investigation Into The Interaction Between
Multiple Intelligences And The Performance Of Learner’ in Open-Ended
Digital Tasks. Disertasi. tidak dipublikasikan.
Kathy Lake, Integrated Curriculum (http://www. nwrel. org/scpd/sir/8/c016.
html)

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 30
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Abu Dharin

Kitano, Margie K. dan Darrell F. Kirby. 1986. Gifted Education: A


Comprehensive View. Boston: Little, Brown and Company.
Lunenburg, Fred C. & Melody R. Lunenburg. 2014. Applying Multiple
Intelligences In The Classroom: A Fresh Look at Teaching Writing.
International Journal Of Scholary academic Intellectual Divesity. Vol.
16. No. 1
Moleong Lexy J. ,2008. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mousavi, Saoudabeh Sadat & Fakhreddin Ahmadi, 2013. Education Effect
Based On Gardner Multiple Intelligence hypotheses In Students
Mathematics’ Education Progress of High School second Grade In
Garmsar City. International Journal Of Social Sciences. Vol. 3 No. 1.
Napitupulu, W. P. 2000. The Dakkar Framework for Action. Dakar, Senegal.
Rose, Colin, dan Malcolm Nicholi, 2002. Accelerated Learning, terjemahan
Dedy Ahimsa, Bandung: Nuansa.
Rothman, J. 1980. Social Research and Development in the Human Services.
New York: Prentice Hall Inc.
Sahlan, Sulaiman, dan Maswan, 1988. Multi Dimensi Sumber Kreativitas
Manusia , Bandung: Sinar Baru.
Samples, Bob. 1999. Revolusi Belajar Untuk Anak . Bandung : Kaifa.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development , terjemahan Juda Damanik
dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga.
Semiawan, Conny. 2002. Pendidikan Keluarga dalam Era Global. Jakarta:
Prenhallindo.
________________, 2007. Catatan Kecil tentang Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Kencana MP. Group.
Semiawan Conny, et. al, 1994. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa,
Jakarta: Gramedia.
Shallros, 1981. Teaching Creative Behavior : How to Teach Creativity to
Children of All Ages, New Jersey:Prentice Hall.
Shinta Ratnawati. 2001. Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, Penerbit Jakarta
Kompas.
Slavin, Robert, 1998. Educational Psychology, USA: Allyn and Bacon.
Smith, James. 2009. Emotional Intelligence And Proffesional Education: The
Use Of Narrative Journaling. The International JournalOf Learning.
Vol. 16, No. 7.
Snelbecker, Glen. 1984. Learning Theory, Instructional Theory, and Psycho-
educational Design. USA: McGraw-Hill,Inc.
Subandiyah. 1996. Pengembangan dan Inovasi kurikulum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sudarsono, 1993. Kamus Filsafat dan Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta.

31 | DIDAKTIKA ISLAMIKA
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019
Model Pendidikan Islam Berbasis
Multiple Intelligences di Sekolah Dasar

Sudjana, Nana, 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar ,
Bandung: Sinar baru.
Suparman, Atwi. 2001. Desain Instruksional. Jakarta: Proyek Pengembangan
Universitas Terbuka, Dirjen Dikti, Depdiknas.
Tiantong, Monchai & Sumalee Siksen. 2013. The Online Project-Based
Learning Model Based On Student’s Multiple Intelligence. International
Journal Of Humanities And Social Sciences. Vol. 3. No. 7.
Usman, Muhammad Uzer, 2000. Menjadi Guru Profesional, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Wayne Morris. 2006. Creativity Its Place In Education: New Plymouth.
Whittaker, James O. 1970, Introduction to Psychology, Tokyo: Toppan
Company Limited.
Wolfgang, Charles dan Mary E. Wolfgang. 1992. School for Young Children:
Developmentally Approriate Practice. USA: Allyn and Bacon.
Wycoff, Joyce, 2002. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan
Pikiran, terjemahan Rini S. Marzuki,Bandung: Kaifa.
Yalmanci, Sibel Gurbuyoglu & Ali Ibrahim. 2013. The Effect Of Multiple
Intelligence Theory Based Teaching On Students’ Achievement And
Ratention Of Knowledge (Example Of The Enzymes Subject).
International Journal On New Trends In Education And Their
Implecations. Vol. 4 Issue 3.
Yuliani Nurani. 2003. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Zohar, Dahar, dan Ian Marshall. 2001. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan, terjemahan Rahmani Astuti, dkk. Bandung: Mizan Media
Utama.

DIDAKTIKA ISLAMIKA | 32
Volume 10 Nomor 1 – Februari 2019

Anda mungkin juga menyukai