Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

DESAIN DIDAKTIS PADA MATERI KESEBANGUNAN DAN


KEKONGRUENAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Kapita Selekta Matematika Dasar

Dosen Pengampu : Dedi Muhtadi, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 8

Asrini Salsabila Putri 212151501

Seftiawati Nuriyatun Nikmah 212151518

Dena Silviana 212151521

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SILIWANGI

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “Desain Didaktis
Pada Materi “Kesebangunan dan Kekongruenan” tepat pada waktunya. Dimana tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dedi Muhtadi, S.Pd.,
M.Pd. dengan mata kuliah Kapita Selekta Matematika Dasar. Makalah ini juga ditulis
untuk menambah wawasan baik untuk pembaca maupun penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dedi Muhtadi, S.Pd., M.Pd.
selaku dosen pada mata kuliah Kapita Selekta Matematika Dasar yang telah memberikan
kami tugas ini sehingga kami bisa mencari tau dan mengetahui lebih dalam tentang Kapita
Selekta Matematika Dasar.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dalam penulisan makalah ini, membagi ilmu dan wawasannya serta membantu
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik baiknya.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini dan masih
jauh dari kata sempurna tapi besar harapan kami, makalah ini akan tetap bermanfaat untuk
siapapun yang membacanya. Selain itu, demi melengkapi dan menuju kesempurnaan
makalah ini, kritik dan saran akan sangat berarti untuk kami selaku penulis untuk bisa
terus mengembangkan makalah ini dengan sebaik baiknya.

Tasikmalaya, April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2

C. Tujuan .................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3

A. Learning Obstacle .................................................................................................. 3

B. Miskonsepsi ........................................................................................................... 4

C. Desain Didaktis ................................................................................................... 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 22

A. Simpulan .............................................................................................................. 22

B. Saran .................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 24

ii
TIDAK TERPAKAI

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ruang lingkup matematika yang penting untuk dipelajari adalah bidang
geometri dan pengukuran. Dengan menguasai keterampilan berpikir geometri, siswa akan
dapat mempunyai kemampuan pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pemahaman yang lebih
baik terhadap materi lain dalam matematika. Namun kemampuan siswa dalam belajar geometri
masih rendah dan butuh ditingkatkan, khususnya dalam materi kekongruenan dan
kesebangunan. Kongruensi dan kesebangunan adalah salah satu materi yang menekankan
kemampuan representasi matematis siswa, siswa diharapkan mampu menuliskan jawaban
mereka dengan kata-kata yang sistematis, siswa mampu memahami pertanyaan untuk dapat
menentukan persamaan yang akan dibuat dan menvisualisasikan soal cerita kedalam bentuk
gambar. Pada materi kongruensi dan kesebangunan juga menuntut siswa kreatif dalam
menggunakan ide-ide matematika dan mengungkapkan atau mengekspresikan ide-ide tersebut
kedalam bentuk lain baik itu kata-kata, ekspresi matematika atau persamaan maupun gambar.

Bobango menyatakan bahwa (Abdussakir, 2009) tujuan pembelajaran geometri adalah


agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi
pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara
matematik. Sedangkan Budiarto (2000: 439) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri
adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan,
menanamkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta
menginterpretasikan argumen-argumen matematik.

Geometri perlu dipelajari karena menurut Ansyar (Sutrisno dalam Aisah, 2012:1)
bahwa geometri dapat melatih kita untuk berpikir logis, kerja yang sistematis, menghidupkan
kreativitas serta dapat mengembangkan kemampuan berinovasi. Van de Walle (Santoso,
2009:3) menyatakan bahwa: Geometri perlu dipelajari karena alasan berikut: (1) Geometri
membantu memiliki keyakinan yang utuh tentang dunianya. (2) Eksplorasi dalam geometri
dapat membantu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. (3) Geometri memainkan
peran utama dalam bidang lainnya. (4) Geometri digunakan oleh banyak orang dalam bidang
kehidupan sehari-hari. (5) Geometri penuh teka-teki dan menyenangkan.

Lebih lanjut, menurut Gunawan (Sulistiawati, 2012:5) biasanya geometri hanya


diajarkan sebagai hafalan dan perhitungan semata oleh para guru. Siswa tidak dibimbing untuk

1
mengetahui proses dan penemuan rumus sendiri serta secara menyeluruh tidak diajarkan
keterampilan dasar geometri yang harusnya dimiliki, sehingga kemampuan yang dimiliki
terbatas. Akibatnya, siswa tidak dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan dan tidak dapat
mentransfernya dalam konteks permasalahan yang baru.

Seperti pernyataan di atas, Sofyana dan Budiarto (2013) menyatakan bahwa para guru
hampir tidak pernah melakukan analisis pendahuluan mengenai sejauh mana pemahaman siswa
pada materi sebelumnya. Dugaan tersebut diperkuat oleh hasil survey IMSTEP-JICA, bahwa
dalam pembelajaran matematika, guru terlalu berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural dan
mekanistik, pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru, konsep matematika
disampaikan secara informatif, dan siswa hanya dilatih untuk menyelesaikan banyak soal tanpa
pengetahuan yang mendalam. Padahal, hal ini dapat menghambat dalam proses pembelajaran
geometri selanjutnya. Akibatnya, keterampilan dan kompetensi yang harus dimiliki siswa tidak
berkembang sebagaimana mestinya. Siswa banyak mengalami kesalahan dalam mentransfer
pemahaman mereka pada aktivitas pemecahan masalah dan keliru dalam menyelesaikan soal-
soal mengenai kesebangunan dan kekongruenan serta belum memahami konsep-konsep
geometri dan mengalami kesulitan belajar (learning obstacle).

Melakukan pemecahan masalah dalam pembelajaran geometri memang bukanlah hal


yang mudah terlebih bagi siswa SMP yang kategorinya belum mampu berfikir abstrak secara
total. Untuk itu diperlukan desain didaktis yang mendukung dan mengarahkan siswa pada
kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran geometri kesebangunan dan
kekongruenan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik learning obstacle yang dialami siswa pada pembelajaran
terkait materi kesebangunan dan kekongruenan?
2. Bagaimana miskonsepsi pembelajaran materi kesebangunan dan kekongruenan?
3. Bagaimana strategi yang digunakan seorang guru untuk mengatasi permasalahan
belajar materi kesebangunan dan kekongruenan?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan, tujuan dari makalah ini adalah :
1. Memperleh gambaran karakteristik learning obstacle yang dialami siswa pada
pembelajaran tentang materi kesebangunan dan kekongruenan.

2
2. Memperoleh miskonsepsi yang dialami siswa pada pembelajaran tentang materi
kesebangunan dan kekongruenan.
3. Memperoleh startegi yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Learning Obstacle
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti pada sebuah SMP di kabupaten Tangerang
didapatkan informasi bahwa pada materi geometri kesebangunan dan kekongruenan terdapat kendala
dalam pengajarannya dari segi bahan ajar yang masih konvensional. Siswa banyak mengalami
kesalahan dalam mentransfer pemahaman mereka pada aktivitas pemecahan masalah dan keliru dalam
menyelesaikan soal-soal mengenai kesebangunan dan kekongruenan serta belum memahami
konsepkonsep geometri. Kesulitan belajar (learning obstacle) itulah yang ingin diketahui oleh peneliti.
Learning obstacle yang terjadi salah satunya disebabkan oleh metode belajar yang masih menggunakan
metode ceramah dan setting aktivitas belajar (milieu) juga masih individual serta siswa terkesan pasif
ditambah dengan bahan ajar yang tidak mendukung adanya interaksi antara siswa dengan pendidik
secara aktif. Selain itu pemahaman siswa terhadap konsep yang ada hanya mampu digunakan sebatas
model soal sederhana saja. Untuk soal yang membutuhkan pemahaman yang lebih luas, siswa masih
merasakan kesulitan yang berarti. Hambatan seperti yang dialami tersebut disebut sebagai hambatan
epistemologis.

Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian pengembangan (Research and


Development) dengan desain mengikuti penelitian desain didaktis (Didactical Design Research/DDR)
yang dilakukan melalui tiga tahapan analisis seperti yang dikemukan oleh Suryadi (2010), yaitu:

1. Analisis desain didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa desain didaktis termasuk
ADP (Antisipasi Didaktis Pedagogis)
2. Analisis metapedadidaktik
3. Analisis retrosfektif, yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis
dengan hasil metapedadidaktik.

Teknik sampling yang digunakan dalam menentukan sampel dipenelitian ini adalah
penggabungan teknik purposive dan cluster sampling. Sampel yang akan digunakan untuk Tes
Kemampuan Responden Awal (TKRAw) adalah siswa SMA yaitu kelas X.1 SMA N 6 kab. Tangerang
yang berjumlah 25 siswa dan kelas X.1 MA Al-Istiqomah kab. Tangerang yang berjumlah 25 siswa.
jadi total siswa yang digunakan sebagai sampel dalam TKRAw berjumlah 50 siswa.

3
Sedangkan sampel untuk implementasi desain didaktis dan uji Tes Kemampuan Responden
Akhir (TKRAk) adalah siswa SMP kelas IX.8 di SMP N 1 Pasar Kemis kab. Tangerang. TKRAw dan
TKRAk menggunakan instrumen tes berupa 6 soal essay dan instrumen non tes berupa panduan
interview (retrospective semi-structural interview) dan angket. TKRAw dilakukan sebelum penyusunan
desain didaktis awal untuk mengetahui strategi penyelesaian dan learning obstacle siswa. TKRAk
dilakukan setelah implementasi desain didaktis awal untuk mengetahui reduksi learning obstacle.
Sedangkan tujuan dari interview adalah untuk mengetahui dan menemukan permasalahan secara lebih
terbuka, dimana responden diminta untuk memaparkan pendapat dan ideidenya berkaitan dengan
penelitian yang dilakukan.

1. Hasil Penelitian

Ditemukan lima kesulitan (learning obstacle) yang dialami siswa ketika memahami konsep
kesebangunan yang terkait dengan kemampuan pemecahan masalah (problem solving) yang diperoleh
dari hasil Tes Kemampuan Responden Awal (TKRAw) yang telah dianalisis, yaitu:

1. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami soal yang disajikan,


2. Siswa mengalami kesulitan dalam menentukan sisi-sisi bangun datar yang bersesuaian,
3. Siswa mengalami kesulitan dalam membandingkan sisi-sisi bangun datar yang bersesuaian,
4. Siswa mengalami kesulitan dalam menentukan pasangan segitiga sebangun,
5. Siswa mengalami kesulitan dalam mengkoneksikan dengan konsep lain.

Analisis kemampuan siswa dalam mengerjakan soal terkait materi kongruensi dan
kesebangunan menunjukan terdapat learning obstacle , yaitu 1) learning obstacle terkait
merepresentasikan kedalam bentuk kata-kata, siswa tidak sistematis dalam menjawab soal sehingga
jawaban yang diberikan rancu.; 2) learning obstacle terkait merepresentasikan kedalam bentuk gambar,
yaitu siswa tidak teliti dalam membaca soal, siswa juga masih keliru dalam menempatkan satuan atau
bersaran pada gambar yang telah dibuat; 3) learning obstacle terkait merepresentasikan ke dalam bentuk
persamaan atau ekspresi matematis, yaitu siswa keliru dalam membuat perbandingan karena kurang
teliti dalam memahami soal.

B. Miskonsepsi
Pada tahun 2018, asesmen yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student
Assessment) menunjukkan bahwa kemampuan matematika yang dicapai Indonesia hanya berada di
peringkat ke-72 dari total 78 negara dengan skor rata-rata yang diperoleh mencapai 379 dan skor rata
rata OECD 489. Hal tersebut dipengaruhi oleh kesulitan belajar siswa. Terjadinya kesulitan belajar
salah satunya terjadi karena miskonsepsi atau kesalahpahaman konsep (Agustin, Sugiatno, dan
Suratman, 2019). Menurut Kahraman (2019) penting bagi guru untuk mengetahui prakonsepsi siswa
supaya dapat menginternalisasi konsep baru dengan benar. Miskonsepsi siswa yang terjadi secara terus

4
menerus akan menyebabkan turunnya atau rendahnya prestasi akademik siswa yang bersangkutan
(Istiyani, 2018).

Berdasarkan penelitiannya, Islami (2019) mengatakan bahwa konsep kesebangunan dan


kekongruenan bangun datar merupakan konsep yang dianggap rumit serta susah bagi siswa sebab
banyak terjadi kesalahan dalam memahami konsep serta kesalahan penghitungan, dengan hasil
penelitian yang dilakukan menunjukkan belajar yang terjadi pada tahap konsep sebanyak 60%, dan
kesulitan dalam perhitungan sebanyak 40%. Kesulitan belajar pada tahap konsep memiliki persentase
yang cukup tinggi, kondisi tersebut terjadi disebabkan siswa tidak menguasai konsep dan terjadinya
miskonsepsi. Miskonsepsi merupakan ketidaksesuaian pemahaman konsep dengan konsep ilmiah.
Siswa akan terus menerus menanamkan miskonsepsi yang salah jika mengalami miskonsepsi pada suatu
konsep matematika yang terkait atau yang saling berhubungan (Ansori, 2016). Miskonsepsi dapat
berlangsung lama karena sedikit yang menyadari dirinya mengalami miskonsepsi (Muna, 2015).

Perlu tindak lanjut berupa tes diagnostik untuk bisa mengklasifikasikan antara siswa yang tidak
menguasai konsep dengan siswa yang mengalami miskonsepsi sehingga dapat diberikan tindakan untuk
meminimalisasi hal tersebut. Menurut Mubarokah (2018) salah satu tes diagnostik yang dianggap
efektif dan akurat dalam menganalisis miskonsepsi siswa adalah Three Tier Diagnostic Test. Tes
diagnostik ini merupakan perpaduan antara Two Tier Diagnostic Test dengan CRI (Certainty Of Respon
Index) sehingga sangat cocok serta efektif dalam mengukur miskonsepsi siswa, dan mudah digunakan
(Dewi dan Sopiany, 2017). Tes ini bisa mengklasifikasikan pemahaman konsep siswa yang terdiri
paham konsep, tidak paham konsep, dan miskonsepsi. Tes diagnostik yang digunakan untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa terdiri dari tiga tingkatan atau tier berupa tingkat pertama yaitu
soal konseptual (Content Tier), tingkat kedua berupa alasan menjawab soal pada tingkat pertama
(Reason Tier), dan tingkat ketiga berupa tingkat keyakinan siswa dalam menjawab soal (CRI) inilah
yang disebut dengan Three Tier Diagnostic Test (Malikha dan Amir, 2018). Soal-soal yang digunakan
pada Three Tier Diagnostic Test. menggunakan Open Ended Question yaitu soal yang mempunyai
banyak strategi penyelesaian sehingga memberikan kesempatan pada siswa untuk mengerjakan soal
yang diberikan dengan berbagai teknik (Aras, 2018).

Penelitian terdahulu yang relevan dengan menganalisis miskonsepsi siswa pada materi
kesebangunan dan kekongruenan bangun datar yaitu penelitian oleh Nurhayati (2016) yang
menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi berupa keliru dalam memahami definisi
kesebangunan dan kekongruenan bangun datar, salah dalam memasangkan sisi-sisi yang bersesuaian.
Penelitian oleh Nurhayati (2016) menggunakan tes esay biasa untuk menganalisis miskonsepsi siswa
berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan Three Tier Diagnostic Test berbasis Open Ended
Question. Selanjutnya penelitian yang relevan dengan menggunakan Three Tier Diagnostic Test untuk
menganalisis miskonsepsi yang dialami siswa yaitu penelitian oleh Istiyani (2018) dan Jumini (2017).

5
Penelitian oleh Istiyani (2018) menunjukkan bahwa hasil analisis miskonsepsi yang dialami siswa
menggunakan Three Tier Diagnostic Test mencapai 51%. Analisis miskonsepsi oleh Istiyani (2018)
pada materi geometri bangun datar berbeda dengan penelitian yang dilakukan yang menganalisis
miskonsepsi pada materi kesebangun dan kekongruenan bangun datar. Penelitian relevan selanjutnya
yaitu penelitian oleh Jumini (2017) yang menunjukkan hasil bahwa penggunaan Three Tier Diagnostic
Test dinilai efektif untuk menganalisis miskonsepsi pada jenjang SMP dan hasil analisis menyatakan
masih banyak siswa yang mengalami miskonsepsi. Penggunaan Three Tier Diagnostic Test pada
penelitian Jumini (2017) tidak berbasis Open Ended Question sedangkan penggunaan Three Tier
Diagnostic Test pada penelitian ini menggunakan soal berbasis Open Ended Question. Analisis
miskonsepsi oleh Jumini (2017) pada materi fisika yaitu kinematika gerak berbeda dengan penelitian
ini yang menganalisis miskonsepsi siswa materi matematika kesebangunan dan kekongruenan bangun
datar.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Palimanan dengan populasi penelitian yaitu seluruh kelas IX
dengan jumlah 330 siswa. Untuk sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik Purposive
Sampling, pertimbangan pemilihan sampel ini atas rekomendasi dari guru mata pelajaran dan rendahnya
hasil belajar siswa pada kelas sampel terutama nilai pada materi kesebangunan dan kekongruenan
bangun datar, sehingga dipilihlah kelas IX C sebagai kelas sampel dengan jumlah 33 siswa.

Empat tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu tahap persiapan berupa wawancara
dengan guru matematika di SMP Negeri 2 Palimanan mengenai materi yang masih mendapatkan hasil
belajar yang masih rendah atau kurang maksimal, kesulitan siswa dalam proses pembelajaran, serta
kemungkinan miskonsepsi yang terjadi pada siswa sehingga mengalami kesulitan belajar dan rendahnya
prestasi belajar. Tahap kedua yaitu tahap penyusunan insrtumen penelitian. Tahap ketiga yaitu tahap
pengumpulan data dengan dilakukannya wawancara klinikal dan tes diagnostik Three Tier Diagnostic
Test berbasis Open Ended Question. Tahap terakhir yaitu tahap pengolahan dan analisis data yang
dilakukan dengan mengelompokkan jawaban-jawaban siswa yang mengalami miskonsepsi kemudian
dihitung besar persentasenya. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
wawancara klinikal dan Three Tier Diagnostic Test berbasis Open Ended Question. Validitas instrumen
dilakukan dengan menggunakan validatas Aiken V. Hasil penilaian terhadap seluruh aspek diukur
dengan menggunakan validitas Aiken V. Menurut Hendriyadi (2017: 173) untuk menghitung indeks
validitas Aiken V menggunakan rumus berikut:

6
Σ𝑠
𝑉=
[𝑛(𝑐 − 1)]

Keterangan:

𝑉 : Indeks kesepakatan ahli mengenai validitas butir

𝑠 : 𝑟 − 𝑙0

𝑟 : Skor kategori pilihan ahli

𝑙0 : Skor terendah dalam kategori penskoran

𝑛 : Banyaknya ahli

𝑐 : Banyaknya kategori yang dapat dipilih ahli

Dari hasil perhitungan validitas Aiken V, suatu butir instrumen dapat dikategorikan kevalidannya
berdasarkan besar indeks yang diperoleh. Jika 𝑉 ≤ 0,4 dikategorikan tidak valid, 0,4 < 𝑉 ≤ 0,8
dikategorikan valid, dan 0,8 < 𝑉 ≤ 1,0 dikategorikan sangat valid (Anggito dan Setiawan, 2018).

Pada penelitian ini analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan mengelompokkan jawaban siswa
berdasarkan tabel interpretasi.

Tabel 1. Kriteria Three Tier Diagnostic Test

Tahap selanjutnya yaitu penyajian data yang dilakukan dengan cara menyajikan data
yang sudah dikategorisasikan pada tahap reduksi data, kemudian dihitung persentase
miskonsepsi yang dialami oleh siswa pada tiap butir soal Three Tier Dignostic Test berbasis
Open Ended Question dengan menghitung persentase masing-masing kelompok siswa yang
paham konsep, tidak paham konsep, miskonsepsi murni, False Positive dan False Negative
pada setiap butir atau nomor. Tahap terakhir dilakukan dengan menarik kesimpulan mengenai
persentase miskonsepsi yang dialami oleh siswa secara keseluruhan.

7
HASIL DAN PEMBAHASAN

Wawancara klinikal yang dilakukan menggunakan 15 pertanyaan yang mencakup 6 indikator


materi kesebangunan dan kekongruenan bangun datar. Berikut tabel dugaan miskonsespsi siswa
berdasarkan hasil wawancara klinikal.

Tabel 2. Hasil Wawancara Klinikal

Berdasarkan Tabel 2, dugaan miskonsepsi terjadi pada semua indikator. Hasil wawancara klinikal
tersebut kemudian dijadikan acuan untuk menganalisis lebih lanjut miskonsepsi yang terjadi
menggunakan Three Tier Diagnostic Test berbasis Open Ended Question.

8
Soal Three Tier Diagnostic Test berbasis Open Ended Question yang digunakan berjumlah 7 butir
soal terdiri dari tiga jenis yaitu pertanyaan konseptual pada tingkat pertama, pertanyaan alasan
jawaban pada tingkat kedua, dan tingkat keyakinan berbentuk esai. Besar persentase kategori
miskonsepsi pada tiap nomor berdasarkan data hasil penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Kategori Miskonsepsi Siswa

Berdasarkan Tabel 3 rata-rata persentase kategori miskonsepsi murni sebesar 32,4%, False
Positive sebesar 15,6%, dan False Negative sebesar 2,2%. Besar persentase miskonsepsi paling
tinggi yaitu miskosepsi murni yang dua kali lipat lebih besar dibandingkan False Positive.
Disamping itu, miskonsepsi yang paling banyak terjadi dengan jumlah persentase sebesar 57,5%
ada pada soal nomor 7. Sebaliknya, miskonsepsi dengan jumlah persentase terkecil ada pada
nomor 4 dan 6 dengan besar persentase 42,4%. Jumlah miskonsepsi yang dialami oleh siswa
secara keseluruhan yaitu 50,2%. Hal tersebut menandakan bahwa setengah dari jumlah siswa
mengalami miskonsepsi pada materi kesebangunan dan kekongruenan bangun datar. Untuk lebih
jelasnya persentase kategori konsepsi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Konsepsi Siswa

9
Untuk mengetahui lebih jelas pengelompokkan konsepsi siswa menggunakan Three Tier
Diagnostic Test berbasis Open Ended Question secara keseluruhan pada konsep kesebangunan
dan kekongruenan bangun datar, disajikan grafik persentase kategori pemahaman konsep berikut.

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa 50,2% siswa kelas IX C SMP Negeri 2 Palimanan
mengalami miskonsepsi, 32,5% siswa paham konsep dan 17,3% siswa yang tidak paham konsep.
Untuk persentase kategori siswa yang menjawab dengan menebak, tidak percaya diri sebesar 0%.
Artinya, tidak ditemukan siswa pada kategori tersebut, karena soal yang diberikan berbentuk esai
sehingga siswa tidak dapat menjawab soal yang diberikan dengan menebak, dan tidak percaya
diri.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 1

10
Pada soal nomor 1 siswa diminta untuk menentukan kesebangunan dua bangun datar seperti
berikut:

Persentase miskonsepsi siswa yang paling tinggi pada soal nomor 1 yaitu miskonsepsi False
Positive sebesar 36,4%. Selanjutnya, miskonsepsi murni yang terjadi pada soal ini sebesar 12,1%.
Pada soal ini miskonsepsi yang terjadi yaitu kesalahan alasan jawaban siswa pada tingkat dua
terjadi pada perbandingan sisi sebanding, siswa menganggap panjang sisi sama dengan besar
sudut. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena siswa kurang memahami prakonsep materi
kesebangunan dan kekongruenan dua bangun datar yaitu materi bangun datar, garis dan sudut.
Selanjutnya, siswa menganggap bahwa syarat bangun datar yang sebangun adalah panjang sisi-
sisi yang bersesuaian antara kedua bangun harus sama panjang, jika tidak maka kedua bangun
datar tersebut kongruen. Hal tersebut dinyatakan keliru dengan konsep ilmiah karena syarat dua
bangun datar yang sebangun seharusnya adalah perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian sama.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 2

Pada soal nomor 2 siswa diminta menentukan kekongruenan dua bangun datar berupa bangun
belah ketupat.

11
Kategori persentase konsepsi tertinggi pada soal ini yaitu miskonsepsi murni sebesar 33.3%.
Kemudian, miskonsepsi False Negative sebesar 15,2%. Semua jenis miskonsepsi terjadi pada soal
nomor 2, termasuk miskonsepsi False Positive dengan besar persentase 3,0%. Miskonsepsi
selanjutnya yang terjadi pada soal nomor 2 adalah miskonsepsi False Negative. Pada soal ini
hanya terdapat satu siswa yang mengalami miskonsepsi False Positive. Miskonsepsi yang terjadi
pada soal ini yaitu siswa menganggap syarat dua bangun datar yang kongruen hanya satu yaitu
perbandingan sudutnya harus sama. Konsepsi siswa tersebut tidak sesuai dengan konsepsi ilmiah
mengenai syarat dua bangun datar yang kongruen yaitu sudut-sudut yang bersesuaian harus sama
besar, panjang sisisisi yang bersesuaian sama. Selanjutnya, siswa menganggap bahwa kedua belah
ketupat sebangun bukan kongruen karena perbandingan sisinya adalah 4. Kesalahan konsepsi
siswa tersebut dapat terjadi karena siswa tidak memahami soal dengan baik.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 3

Pada soal nomor 3 disajikan gambar segitiga-segitiga sebangun, pada soal ini siswa diminta untuk
menentukan panjang salah satu sisi segitiga yang sebangun.

12
Besar persentase konsepsi tertinggi terjadi pada miskonsepsi murni sebesar 45,4%. Jenis
miskonsepsi lainnya yang terjadi pada soal ini yaitu miskonsepsi False Positive sebesar 9,1%. Hal
tersebut menunjukkan masih banyak siswa yang mengalami miskonsepsi pada soal ini. Disamping
itu, masih terdapat siswa yang paham konsep pada soal ini sebesar 30,3%. Miskonsepsi yang
terjadi pada soal ini yaitu siswa menganggap panjang kedua segitiga yang sebangun sama, serta
siswa menganggap panjang sisi-sisi yang bersesuaian adalah sisi yang terlihat sama panjang.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 4

Pada soal ini siswa diminta untuk menentukan kekongruenan dua segitiga-segitiga kongruen.

Jenis miskonsepsi yang terjadi pada soal ini ada dua yaitu miskonsepsi murni sebesar 12,1% dan
miskonsepsi False Positive sebesar 30,3%. Hal tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 40% siswa
mengalami miskonsepsi pada soal ini. Miskonsepsi yang terjadi pada soal ini yaitu siswa
menyatakan bahwa kedua segitiga tidak kongruen melainkan sebangun dengan memberikan
alasan bahwa karena panjang sisinya sama maka sebangun bukan kongruen. Jawaban siswa
tersebut mengandung miskonsepsi sebab tidak sesuai dengan konsep ilmiah dan alasan yang

13
diberikan siswa salah konsep yang seharusnya syarat dua bangun datar yang kongruen adalah
panjang sisi-sisi yang bersesuaian sama namun siswa menganggap panjang sisi-sisi yang
bersesuaian sama merupakan syarat kesebangunan.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 5

Pada soal ini siswa diminta untuk membandingan panjang sisi-sisi dua bangun datar yang
sebangun.

Persentase konsepsi tertinggi terjadi pada miskonsepsi murni sebesar 54,5%. Pada soal ini
miskonsepsi yang ditemukan hanya miskonsepsi murni, sedangkan untuk miskonsepsi False
Negative dan False Positive tidak ditemukan. Untuk siswa yang paham konsep pada soal ini
sebesar 30,3% dan yang tidak paham konsep sebesar 15,2%. Miskonsepsi yang terjadi pada soal
ini yaitu siswa salah dalam membandingkan sisi-sisi yang bersesuaian antara dua bangun datar
yang sebangun sehingga menyebabkan hasil jawaban yang salah pada proses perhitungan.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 6

Pada soal ini siswa diminta untuk menghitung luas bangun datar yang sebangun dengan informasi
yang diberikan berupa panjang sisi-sisi yang bersesuaian dengan perbandingan panjang sisi-sisi
yang bersesuaian.

14
Miskonsepsi yang terjadi pada soal ini terdapat dua jenis yaitu miskonsepsi murni sebesar 30,3%
dan miskonsepsi False Positive sebesar 12,1%. Siswa yang paham konsep pada soal ini lebih
sedikit dibandingkan siswa yang mengalami miskonsepsi. Sedangkan, siswa yang tidak paham
konsep sama banyaknya dengan siswa yang mengalami miskonsepsi murni yaitu sebesar 30,3%.
Kesalahan konsep siswa terjadi pada cara siswa menghitung luas bangun datar yang sebangun
dengan menggunakan perbandingan sisi. Siswa menganggap perbandingan sisi-sisi yang
bersesuaian antara kedua bangun datar yang sebangun sama dengan perbandingan luas kedua
bangun datar yang sebangun tersebut. Kesalahan konsep siswa tersebut mengakibatkan hasil
jawaban siswa salah.

Analisis Jawaban Siswa pada Soal Nomor 7

Pada soal ini disajikan sebuah masalah yang berkaitan dengan kekongruenan dan kesebangunan.

Persentase konsepsi siswa tertinggi yaitu miskonsepsi murni sebesar 39,3% sedangkan jumlah
keseluruhan miskonsepsi yang terjadi yaitu 57,5%. Pada soal ini, terdapat dua jenis miskonsepsi
yang terjadi yaitu miskonsepsi murni dan miskonsepsi false positive. Sedangkan untuk untuk
miskonsepsi false negative dengan kombinasi jawaban benar pada tingkat pertama, memberikan
alasan yang salah pada tingkat kedua disertai jawaban yakin pada tingkat ketiga tidak temukan
pada soal ini. Miskonsepsi yang terjadi pada soal ini yaitu siswa menganggap rumus luas
trapesium adalah 𝑙𝑢𝑎𝑠 = 𝑝 × l

C. Desain Didaktis
Melakukan pemecahan masalah dalam pembelajaran geometri memang bukanlah hal
yang mudah terlebih bagi siswa SMP yang kategorinya belum mampu berfikir abstrak secara
total. Untuk itu diperlukan desain didaktis yang mendukung dan mengarahkan siswa pada
kemampuan pemecahan masalah geometri. Salah satu desain didaktis yang dianggap peneliti

15
mampu mendukung peningkatan kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran geometri
kesebangunan dan kekongruenan adalah desain didaktis interaktif dengan model simulasi.
Desain didaktis interaktif dengan model simulasi merupakan desain didaktis berbasis komputer
yang memberikan gambaran lebih nyata melalui media audio-visual yang lebih menarik.
Dengan latihan dan percobaan-percobaan eksploratif matematika yang terdapat didalamnya,
membuat siswa mendapatkan penanaman dan penguatan konsep, pembuatan pemodelan
matematika, dan penyusunan strategi dalam memecahkan masalah menggunakan desain
didaktis ini.

Ditemukan lima kesulitan (learning obstacle) yang dialami siswa ketika memahami
konsep kesebangunan yang terkait dengan kemampuan pemecahan masalah (problem solving)
yang diperoleh dari hasil TKRAw yang telah dianalisis, yaitu : 1. Siswa mengalami kesulitan
dalam memahami soal yang disajikan, 2. Siswa mengalami kesulitan dalam menentukan sisi-
sisi bangun datar yang bersesuaian, 3. Siswa mengalami kesulitan dalam membandingkan sisi-
sisi bangun datar yang bersesuaian, 4. Siswa mengalami kesulitan dalam menentukan pasangan
segitiga sebangun, 5. Siswa mengalami kesulitan dalam mengkoneksikan dengan konsep lain.

Hasil analisis dari TKRAw yang telah dilakukan akan ditindaklanjuti dengan
mengembangkan desain didaktis. Desain didaktis awal yang dikembangkan merupakan bahan
ajar interaktif yang diharapkan mampu mengaktifkan interaksi yang terjadi antara bahan ajar,
siswa, dan guru. Karena desain didaktis yang dikembangkan berupa bahan ajar yang interaktif,
maka dipilihlah yang berbasis komputer dengan model simulasi. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa learning obstacle yang muncul dapat diatasi dengan pemberian animasi
dan simulasi pada objek belajar sehingga siswa lebih mudah memahaminya, terlebih jika
kemampuan abstraksinya tidak cukup bagus.

Selain itu, desain didaktis awal yang dibuat didasarkan pada problem solving, sehingga
materi dan soal-soal yang disajikan berdasarkan problem solving. Sehingga diharapkan siswa
yang belajar menggunakan desain didaktis ini akan memiliki kemampuan problem solving
yang baik. Berikut adalah gambaran secara umum spesifikasi desain didaktis interaktif problem
solving pada pokok bahasan kesebangunan dan kekongruenan serta komponen-komponen
penyusun yang terdapat di dalamnya:

1. Media penyimpanan : CD-R


2. Format file : Application (.exe) dan atau .swf
3. Ukuran file : 17,2 MB

16
4. Jenis huruf : ( Aurulent Sans )
5. Materi : Kesebangunan dan Kekongruenan
6. Software : Adobe Flash CS3, Ms. Paint,
7. Resolusi : 1366 x 768 pixel

Desain didaktis interaktif model simulasi berbasis problem solving disusun agar mampu
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimiliki siswa. Sehingga
siswa mampu menjadi problem solver yang baik. Jika dilihat dari hasil TKRAw yang
digunakan sebagai dasar untuk analisis learning obstacle dapat dilihat bahwa kemampuan
pemecahan masalah yang dimiliki siswa yang belajar menggunakan bahan ajar bukan desain
didaktis masih tergolong sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:

Dari hasil implementasi yang dilakukan di kelas, secara keseluruhan diperoleh respon
siswa yang baik dari siswa. Untuk mengetahui respon siswa terhadap desain didaktis dan
penilaian terhadap desain didaktis yang dibuat, guru membagikan angket pada 25 siswa yang
dipilih secara acak, dan diperoleh hasil sebagai berikut:

17
Reduksi learning obstacle dapat kita lihat dengan melihat adanya peningkatan persentase
pada tiap jenis kemampuan dalam tiap soal. Dengan adanya reduksi learning obstacle berarti
terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memahami konsep kesebangunan dan
kekongruenan dengan menggunakan desain didaktis interaktif model simulasi berbasis
problem solving.

18
Berikut ini akan dibahas hasil uji learning obstacle melalui TKRAw dan TKRAk
berdasarkan tiap jenis kemampuan mengerjakannya pada tiap butir soal. Karena ada dua
sekolah yaitu sekolah 1 adalah MA Al-Istiqomah dan sekolah 2 adalah SMA N 6 Kab.
Tangerang sebagai sampel dalam TKRAw maka akan dibandingkan secara terpisah dua kelas
yang menggunakan bahan ajar bukan desain didaktis dengan kelas yang menggunakan bahan
ajar desain didaktis interaktif model simulasi berbasis problem solving.

Hasil implementasi desain didaktis yang dibuat selain diukur dengan melihat persentase
reduksi learning obstacle, diukur pula dari hasil pre-test dan post-test melalui hasil gain
ternormalisasi yang dimiliki oleh siswa yang telah menggunakan desain didaktis. Desain
didaktis interaktif yang telah dibuat dikatakan efektif jika mampu memberikan peningkatan
pada siswa yang telah mempelajari konsep kesebangunan dan kekongruenan setelah
menggunakan desain didaktis tersebut. Berikut akan dijabarkan hasilnya gain ternormalisasi.

Dari rincian pada tabel diatas diperoleh data sebagai berikut menurut kriteria gain ternormalisasi,
yaitu :

19
Desain didaktis yang dibuat dalam penelitian ini disusun berdasarkan hasil learning
obstacle yang muncul ketika siswa mengerjakan instrumen pada TKRAw. Setelah pengerjaan
instrumen, dilakukan semi structural interview sebagai konfirmasi terhadap hasil TKRAw yang
telah dilakukan. Dari hasil TKRAw inilah dipilih desain didaktis yang sekiranya sesuai dan
mampu untuk mengatasi learning obstacle yang muncul. Maka dipilihlah desain didaktis
berupa bahan ajar multimedia interaktif. Dipilih multimedia interaktif dengan alasan bahwa
media pembelajaran berbasis komputer akan mampu mengatasi kesulitan yang muncul
dengan model simulasi.

Desain didaktis interaktif problem solvingmatematis ini memiliki beberapa kelebihan,


antara lain adalah:

1. Membuat suasana pembelajaran menjadi lebih menarik karena proses pembelajaran


dilakukan tidak di kelas terus-menerus tetapi lebih banyak di laboratorium komputer.
Selain itu yang lebih membuat siswa tertarik adalah dengan adanya simulasi, animasi,
serta ilustrasi yang disajikan dalam desain didaktis yang lebih berwarna-warni dan
interaktif dibandingkan dengan buku teks yang sering digunakan.
2. Desain didaktis interaktif ini mendorong siswa untuk memiliki keterampilan mengoperasikan
komputer.
3. Materi dan contoh soal disajikan secara menarik dan lebih mudah dipahami karena dilengkapi
simulasi, animasi serta ilustrasi.
4. Simulasi, ilustrasi, dan animasi yang ada pada materi dan contoh soal dalam desain didaktis di
rancang untuk mengatasi learning obstacle siswa yang mungkin saja muncul setelah proses
implementasi.
5. Desain didaktis yang dibuat menghemat tempat penyimpanan dan mudah dibawa kemanamana
karena disimpan dalam bentuk CD atau bisa dalam flashdisk sehingga lebih praktis untuk
dibawa. Selain itu lebih hemat kertas karena tidak perlu dicetak seperti buku.
6. Proses revisi lebih mudah karena file tersimpan secara digital.
7. Kapasitas Desain didaktis interaktif ini tidak besar, hanya berkapasitas 17,2 Mb.

20
Desain didaktis yang dibuat telah mampu mereduksi learning obstacle serupa yang
muncul dalam proses pembelajaran menggunakan desain didaktis interaktif model simulasi
berbasis problem solving dan peningkatan kemampuan siswa ditiap jenis indikator kemampuan
yang terdapat dalam soal menjadi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pernah belajar
menggunakan bahan ajar bukan desain didaktis. Reduksi learning obstacle secara keseluruhan
diperolah sebesar 39,49%. Peningkatan kemampuan yang terjadi menjadi indikasi bahwa telah
terjadi reduksi learning obstacle setelah pembelajaran dengan menggunakan desain didaktis.
Besarnya peningkatan kemampuan dapat dilihat dari hasil pengolahan gain ternormalisasi dari
data hasil pre-test dan post-test yang dilakukan. Seberapa besar peningkatan yang terjadi dapat
dilihat ditabel. Peningkatan yang terjadi setelah menggunakan desain didaktis ada pada kriteria
sedang. Serupa dengan hasil penelitian Robbiana (2013) menguraikan hasil penelitiannya dan
menyatakan bahwa (1) desain didaktis cukup mengatasi learning obstacle yang sebelumnya
ada; (2) sikap matematis siswa yang menggunakan desain didaktis mempunyai pandangan
terhadap matematika lebih bagus dibanding siswa yang menggunakan desain pembelajaran
lain.

Kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa setelah menggunakan desain


didaktis ada pada kriteria sedang. Dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa tidak lepas dari proses
pembelajaran yang dilakukan berdasarkan pembelajaran problem solving dan desain didaktis yang
dikembangkan berbasis problem solving yang memiliki kelebihan yaitu multimedia interaktif yang
dilengkapi dengan simulasi, animasi, dan ilustrasi yang membantu siswa dalam memahami setiap
pembahasan materi dan contoh soal yang disajikan. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kusumah (2010) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah yang diterapkan dalam jenis
interaksi pembelajaran berbasis komputer diyakini memiliki kelebihan, terutama dalam hal: (1) siswa
memperoleh kesempatan untuk melihat bagaiamana keterkaitan antara dunia nyata dan berbagai
informasi terkait yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam dunia nyata; (2)
siswa akan menyadari bahwa betapa pengalaman menemukan merupakan sesuatu yang benar-benar
memberi motivasi tinggi; (3) software pembelajaran yang dirancang dengan tipe interaksi bukan saja
memberi semangat dan meningkatkan minat (interest), namun juga membekali siswa dalam
memperoleh dan menerapkan informasi, keterampilan dalam penelitian, dan keterampilan belajar.

21
Dengan dikembangkannya desain didaktis model simulasi ini memberikan bantuan berupa
langkah penyeleseian soal-soal berbasis problem solving yang mudah dipahami oleh siswa. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukan oleh Kusumah (2010) dalam penelitiannya bahwa kemampuan berfikir
matematis tingkat tinggi (dalam domain kognitif) dapat dikembangkan melalui pembelajaran komputer
tipe simulasi, khususnya dalam upaya penguatan aspek sinergis terhadap fakta, konsep, dan prosedur
dalam pemecahan masalah matematis.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis Three Tier Diagnostic Test berbasis Open Ended Question yang
dilakukan miskonsepsi yang terjadi pada materi kesebangunan dan kekongruenan bangun datar
meliputi miskonsepsi murni, False Positive, dan False Negative. Disamping itu, besar persentase
miskonsepsi yang dialami secara keseluruhan adalah 50,2 % dengan besar persentase miskonsepsi
murni 32,4%, False Positive 15,6%, dan False Negative 2,2%.
Berdasarkan hasil analisis miskonsepsi yang dialami oleh siswa menggunakan Three Tier
Diagnostic Test berbasis Open Ended Question, rangkuman miskonsepsi yang terjadi pada materi
kesebangunan dan kekongruenan disajikan pada Tabel 5.

Desain didaktis yang dikembangkan untuk mengatasi learning obstacle yang dialami
siswa dalam memahami konsep kesebangunan dan kekongruenan terkait kemampuan problem
solving berupa desain didaktis interaktif model simulasi berbasis problem solving yang
berbentuk buku interaktif dan disimpan dalam CD-R.
Respon siswa terhadap implementasi desain didaktis interaktif model simulasi berbasis
problem solving sebagian besar sesuai dengan prediksi yang telah dibuat sebelumnya sebagai
ADP yang dilakukan peneliti. Selain itu respon siswa terhadap desain didaktis interaktif model
simulasi menunjukan sikap yang sangat positif dilihat dari hasil angket sebesar 78,87% dengan
kriteria kuat. Hasil implementasi yang dilakukan menunjukan bahwa telah terjadi reduksi

22
learning obstacle pada semua learning obstacle yang muncul sebelumnya dan tidak ditemukan
jenis learning obstacle baru. Secara keseluruhan rata-rata persentase reduksi learning obstacle
sebesar 39,49%. 4. Kemampuan pemecahan masalah (problem solving) yang dimiliki siswa
setelah menggunakan desain didaktis interaktif diperoleh rata-rata sebesar 0,57 dengan kriteria
sedang. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah yaitu tinggi sebesar 26,20%, sedang
sebesar 61,90%, dan rendah sebesar 11,90%.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti memberikan saran sebagai
berikut :
1. Guru harus meningkatkan kemampuan dalam merancang, melaksanakan dan merefleksi
kegiatan pembelajaran dengan memperhatikan kondisi dan apa yang diketahui oleh
siswa.
2. Guru harus menguasai materi, model, metode dan media pembelajaran yang akan
disajikan.
3. Guru harus memperhatikan hambatan belajar yang dialami siswa, karena hasil tersebut
dan seterusnya akan menjadi konsepsi yang salah pada siswa.
4. Diharapkan kepada guru matematika untuk dapat mempertimbangkan hasil penelitian
pengembangan desain didaktis ini sebagai salah satu acuan pembelajaran matematika
yang merupakan solusi dalam mengatasi hambatan belajar yang dialami oleh siswa
khususnya hambaran epistemologi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Fikri, D., Aminah, N., Hartono, W., Swadaya, U., Jati, G., Swadaya, U., Jati, G., Swadaya, U.,
Jati, G., & Ajar, B. (n.d.). DESAIN BAHAN AJAR KESEBANGUNAN DAN. 1, 87–96.

Sari, M. C., & Aslim, M. F. (2015). Desain Didaktis Interaktif Berbasis Problem Solving Pada
Pokok Bahasan Kesebangunan Dan Kekongruenan. 201–210.

Studi, P., Matematika, P., Sunan, U. I. N., Yogyakarta, K., Al-quran, A., & Kunci, K. (1972).
Jurnal pendidikan matematika. 2(2), 39–49.

24

Anda mungkin juga menyukai