Anda di halaman 1dari 24

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Perkembangan Mesin Bor Jacro


Mesin bor jacro atau drilling rig machine merupakan jenis man portable
dan portable. Pada tahun 1990 mesin bor man portable dirancang dengan dimensi
yang mini dibuat dari bahan rangka allumunium alloy dan mesin penggerak kecil
dipadukan dengan komponen mekanis manual. Konstruksi unit rig relatif ringan
dapat dibongkar menjadi beberapa bagian sehingga dapat memudahkan
pengoprasiannya dan mobilisasi unit rig oleh beberapa tenaga manusia, sehingga
mesin bor jacro pada tahun 1990 ini hanya mampu mengebor sampai kedalaman
maksimal 50 meter, (https://dkadrilling.blogspot.com).

Perkembangan mesin bor jacro ini pada tahu 1995 telah mengalami
kemajuan dengan menghasilkan beberapa mesin bor yaitu: bor Jacro 75 dan bor
Jacro 100 sehingga dapat digunakan untuk pengeboran dengan kedalaman 75 –
100 meter. Pada mesin bor tipe ini telah menggunakan material rangka besi (steel)
dan penambahan dua komponen hidrolik (mast cylinder dan rotari motor
hydraulic) dan mesin penggerak (1 cylinder). Mesin bor Jacro 75 dan Jacro 100
ini banyak digunakan perusahaan kontraktor untuk mendukung pemboran
eksplorasi batubara pada kedalaman dangkal.

Seiring dengan waktu dan kemajuan teknologi pada tahun 2000 – 2011,
perkembangan mesin bor jacro khususnya di Indonesia sangat pesat sehingga
menghasilkan mesin bor Jacro 175. Mesin bor tipe ini dibuat atas dasar
meningkatnya permintaan klien dalam eksplorasi barubara dengan penetrasi yang
lebih dalam. Kondisi ini juga membuat pabrikasi mesin jacro menyesuaikan
produknya. Banyak perubahan atau penambahan fitur komponen dilakukan pada
mesin bor jacro ini, terutama pada mesin penggerak, komponen mesin hidrolik
dan komponen mekaniknya.

7
3.2. Definisi Pemboran
Menurut Anggayana (2005), pemboran adalah salah satu kegiatan penting
dalam usaha pertambangan. Kegiatan pemboran memiliki banyak tujuan, dalam
kegiatan eksplorasi pemboran bertujuan untuk mengetahui letak, ketebalan,
dimensi, dan jumlah cadangan (dalam tonase) yang akan di eksplorasi. Secara
umum pemboran dalam ekplorasi memiliki tujuan untuk mengetahui kuantitas
suatu cebakan bijih dan mengetahui jumlah cadangan bijih.

3.3. Fungsi Pemboran


Pemboran dilakukan berfungsi untuk mengetahui:
a. Isi kandungan batuan
b. Macam/jenis/sifat batuan
c. Susunan per lapisan / korelasi / penyebaran batuan
d. Umur / sejarah pengendapannya.

3.4. Tahapan Pemboran


Proses pemboran secara umum dilakukan dengan sebagai berikut :
1. Studi geologi regional
- Geologi struktur
- Stratigrafi
- Geomorfologi

2. Mapping
Merupakan proses pembuatan singkapan beserta struktur geologinya
dengan mengumpulkan data dari lapangan.

1. Planing pemboran
- Jarak interval
- Kedalaman
- Luasan wilayah

8
2. pemboran
- Open hole, yaitu mengetahui kondisi stratigrafi bawah permukaan.
- Coring, yaitu mengetahui kualitas.
3. Dekripsi
- Pasca drilling.

Proses Pemboran diawali dengan melakukan planning pemboran didalamnya


mencakup penentuan titik, mengenai berapa jarak interval, kedalaman yang harus
dilakukan proses pemboran serta luasan wilayah yang akan dilakukan pemboran.
Setelah dilakukan planning dan telah ditentukan titik yang akan dibor pada skema
model maka dilakukan proses penentuan titik bor dilapangan, kemudian
melakukan survey layout dan ploting dilokasi pemboran yaitu melakukan
preparasi pemboran dimana proses ini mencakup proses dilakukanya persiapan
lokasi, yaitu dengan pembuatan mud pit (tempat sirkulasi air), apabila daerah
pemboran berada di daerah lereng dan bergelombang maka dilakukan perataan
tanah sehingga daerah titik pemboran rata dan tidak mengganggu jalannya proses
pemboran dan juga termasuk keamanan/safety pada daerah tersebut diperhatikan.
Setelah semua tahapan dan semua persiapan tempat pemboran selesai maka alat-
alat pengeboran dan alat pendukung lainya di setting di tempat tersebut sehingga
jalan pengeboran dapat berlangsung dengan lancar, setelah semua persiapan
selesai maka sesuai dengan planning awal apakah pemboran akan dilakukan
dengan metode full core/coring maupun open hole dan apakah pemboran
dilakukan dengan model miring atau vertikal.

1. Open Hole

Drilling open hole merupakan pengeboran yang dilakukan untuk


mendapatkan data-data bawah permukaan tanah sehingga menjadi data geologi.
Pengeboran ini menghasilkan lubang terbuka dengan kedalaman sesuai dengan
target kedalaman yang diinginkan. Selama proses pengeboran berlangsung,
diperoleh data cutting yang merupakan material hasil gerusan mata bor (bit) yang

9
mengalir keluar ke permukaan bersama fluid. Cutting tersebut diambil setiap
interval 1,5 meter yang menjadi representasi jenis litologi yang sedang dibor pada
kedalaman interval tersebut.

2. Coring

Drilling coring merupakan pengeboran yang dilakukan untuk mengambil


contoh sampel (coring) pada lapisan litologi di bawah permukaan sebagai data
geologi. Coring dilakukan pada interval kedalaman tertentu berdasarkan dari
interpretasi data logging geofisika atau data cutting yang diperoleh melalui
drilling open hole sebelumnya. Drilling coring dapat juga dilakukan dengan
metode Touch Coring (single hole), artinya pengeboran coring yang tidak
didahului drilling open hole. Touch Coring dilakukan diawali dengan drilling
open hole kemudian ketika menemukan cutting batubara telah muncul kemudian
langsung dilakukan coring atau dengan menggunakan data model/ korelasi titik di
sekitarnya, kemudian diprediksikan bahwa batubara berada di kedalaman tertentu
sehingga ketika sudah mendekati perkiraan posisi roof batubara selanjutnya
langsung dilakukan coring. Penentuan Roof batubara yang akan di coring sangat
penting untuk menghindari batubara lost karena tergerus bit yang mengakibatkan
data tidak akurat (panjang core sebenarnya tidak diketahui). Atau sebaliknya
litologi non-coal di atas lapisan batubara terlalu panjang di coring sehingga
menyebabkan peningkatan biaya drilling.

3. Pemboran vertikal dan pemboran miring, faktor yang mempengaruhi pemboran


miring.

- Pemboran Vertikal adalah pemboran yang dilakukan tegak lurus terhadap


permukaan tanah (900).

- Pemboran Miring adalah pemboran yang dilakukan dengan sudut tertentu dari
permukaan tanah atau bidang Horizontal (< 900). Faktor apa saja yang harus ada
pada pemboran miring. Arah Azimuth pemboran merupakan posisi dari utara yang
sejajar dengan arah lapisan arah strike lapisan seam batubara. Kemiringan yang

10
merupakan selisih antara 900–Dip dari lapisan batubara tersebut sudut yang
dibentuk oleh sudut kemiringan Dip 1800=(900+Dip lapisan batubara tersebut).

- Cara Menentukan Strike, Dip dan Azimuth

1). Strike

Cara untuk menentukan strike adalah dengan menempelkan sisi E (East),


lalu geser hingga gelembong udara dalam Bull’s eye level masuk ke dalam
lingkaran, jangan langsung di otak-atik tetapi tunggu dulu hingga jarum kompas
stabil dan amati sudut yang ditunjuk arah Utara.

2). Dip

Cara untuk menentukan dip adalah dengan menempelkan sisi W (West)


badan kompas diusahakan membentuk 600 terhadap strike, clinometers level
diputar-putar sampai gelembung udara berada di antara garis dalam clinometers
level/ditengah-tengahnya dan baca sudut yang berada di dalam clinometers scale.

3). Azimuth

Setelah diketahui maka langsung dilakukan pemboran dengan proses


sebagai berikut :

a). Setting posisi sesuai posisi titik atau lobang bor.

b). Mendirikan mast up

c). Menyalakan mesin

d). Memasukan pipa dengan mata bor dan memasukan terus pipa bor sampai
dengan target yang ditentukan

e). Pengambilan sampel dan pendeskripsian

f). Proses flusing dan reaming jika memang diperlukan.

11
4.) Pengambilan sampel dan pendeskripsian sampel

a. Sampel Cutting

Sampel cutting merupakan sampel yang berasal dari lubang bor dari proses
pemboran open hole,yang berupa material batuan yang tergerus oleh bit,
kemudian terbawa oleh mud fluid ke permukaan dan mengalir melalui parit kecil
menuju mud pond. Sampel cutting menunjukkan jenis litologi yang terdapat di
bawah permukaan pada kedalaman saat mata bor menggerus litologi tersebut.
Sampel cutting diambil setiap kedalaman tertentu sesuai kebutuhan, dilakukan
pengambilan sampel setiap 1,5 meter dan kelipatannya. Kemudian diletakkan di
dekat rig dengan jarak aman yang tidak terganggu dengan aktivitas pengeboran
dan diberi garis/pagar line. Data sampel cutting kemudian di record pada lembar
Daily Drilling Report (DDR). Data cutting berfungsi sebagai :
1. Data awal untuk mengetahui kondisi litologi pada lubang bor terkait.
2. Data Coring sehingga menjadi lebih akurat dan valid.

Adapun yang dideskripsi pada cutting yaitu :


1. Warna
2. Ukuran butir

b. Sampling Core

Sampling Core merupakan kegiatan penyamplingan sampel coring


batubara yang meliputi pendeskripsian, pemotretan dan pembungkusan coring
batubara ke dalam kantong sampel. Pastikan sampel coring yang diperoleh tidak
terkontaminasi. Tutup dengan plastik wrap sebelum diletakkan di pipa paralon.
Letakkan pada tempat dan jarak yang aman dari aktifitas drilling. Letakkan bagian
atas/top sampel coring pada sebelah kiri dan bagian bawah/bottom sampel coring
di sebelah kanan. Hitung panjang sampel coring dan bandingkan dengan
panjang/kedalaman kemajuan pipa untuk mendapatkan core recovery.

12
c. Deskripsi Core

Pendeskripsian core dilakukan dengan mengamati sifat-sifat fisik core


batubara kemudian menuliskan/merekamnya ke dalam log bor. Pertama, isilah
Head dari Logbor yang terdiri dari, Location, Date, Total Depth, Logged by,
Geophysics, Rig, Hole No, Sheet of (lembar halaman) dan N-E-R-L (koordinat).
Selanjutnya lakukan pengisian kolom-kolom Sample Interval (pembagian interval
sampel batubara), Depth (ukuran kedalaman), Lithological Sketch (sketsa litologi),
Joint/Bedding Sketch (sketsa kekar/struktur), Dip, Seam Name, Lithological
Description (deskripsi litologi), Strength (kekuatan sampel coring), Fracturing
(pecahan sampel coring) sesuai dengan standar pengisian.

3.5. Metode Pemboran

Menurut Winarno (2008), berdasarkan mekanisme pemboran, metode


pemboran dapat dibagi menjadi lima yaitu:
a. Metoda Pemboran Tumbuk
Ada pemboran tumbuk (percusif), energi dari mesin bor diteruskan oleh
batang bor dan mata bor untuk meremukkan batuan. Komponen utama dari
mesin bor ini adalah piston yang mendorong dan menarik tungkai (shank)
batang bor. Pada metode perkusif yang terjadi adalah proses peremukan
(crushing) permukaan batuan oleh mata bor. Contoh alat pemboran tumbuk
yang menggunakan adalah hammer drill, churn drill.

b. Metode Pemboran Putar (Rotary Drilling)


Lubang bor dibentuk dari pengeboran dengan mekanisme putar dan
disertai pembebanan.
c. Metode Pemboran Putar-Tumbuk (Rotary-Percussion Drill)
Pada pemboran rotari perkusif, aksi penumbukan oleh mata bor
dikombinasikan dengan aksi putaran, sehingga terjadi proses peremukan dan
penggerusan permukaan batuan. Metode ini dapat digunakan pada

13
bermacam-macam jenis batuan. Metode putar tumbuk terbagi menjadi dua,
yaitu: hydraulic top hammer dan pneumatic top hammer.

d. Metode Top Hammer


Adalah metode pemboran yang terdiri dari dua kegiatan dasar yaitu
putaran dan tumbukan. Kegiatan ini diperoleh dari gerakan gigi dan piston,
yang kemudian ditransformasikan melalui shank adaptor dan batang bor
menuju mata bor. Berdasarkan jenis penggerak putaran dan tumbukannya,
metode ini dibagi menjadi dua jeis yaitu : Hydrolic Top Hammer dan
Pneumatic Top Hammer.
e. Metode Down the Hole Hammer (DTH Hammer)
Adalah metode pemboran tumbuk putar yang sumber dasarnya
menggunakan udara bertekanan. DTH Hammer dipasang di belakang mata
bor, di dalam lubang sehingga hanya sedikit energi tumbukan yang hilang
akibat melewati batang bor dan sambungan-sambungannya. Contoh dari alat
bor dengan menggunakan temper tumbuk putar adalah jack hammer.

3.6. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pemboran


Menurut Kramadibrata (2000), kinerja suatu mesin bor dipengaruhi oleh
faktor-faktor sifat batuan yang dibor, efisiensi mesin bor, dan keterampilan
operator.
a. Sifat Batuan
Sifat batuan yang berpengaruh pada penetrasi dan sebagai konsekuensi pada
pemilihan metode pemboran yaitu: kekerasan, kekuatan, elastisitas,
plastisitas, abrasivitas, tekstur, struktur, dan karakteristik pembongkaran.
b. Kekerasan
Kekerasan adalah daya tahan permukaan batuan terhadap goresan. Batuan
yang keras akan memerlukan energi yang besar untuk menghancurkanya.
Pada umumnya batuan yang keras mempunyai kekuatan yang besar.
Kekerasan batuan diklasifikasikan dengan skala Fredrich Van Mohs (1882).

14
c. Kekuatan (strength)
Kekuatan mekanik suatu batuan merupakan daya tahan batuan terhadap
gaya dari luar, baik bersifat statis maupun dinamik. Kekuatan batuan
dipengaruhi oleh komposisi mineralnya, terutama kandungan kwarsa.
Batuan yang kuat memerlukan energi yang besar untuk menghancurkanya.
d. Bobot isi (density)
merupakan berat batuan per satuan volume. Batuan dengan bobot isi yang
besar untuk membongkarnya memerlukan energi yang besar pula.
e. Abrasivitas
Adalah sifat batuan yang dapat digores oleh batuan lain yang lebih keras.
Sifat ini dipengaruhi oleh kekerasan butiran batuan, bentuk butir, ukuran
butir, porositas batuan, dan sifat heterogenitas batuan.
f. Tekstur
Tekstur batuan dipengaruhi oleh struktur butiran mineral yang menyusun
batuan tersebut. Ukuran butir mempunyai pengaruh yang sama dengan
bentuk batuan, porositas batuan, dan sifat-sifat batuan lainya. Semua aspek
ini berpengaruh dalam keberhasilan operasi pemboran.
g. Elastisitas
Sifat elastisitas batuan dinyatakan dengan modulus elastisitas atau Modulus
Young (E). Modulus elastisitas batuan bergantung pada komposisi mineral
dan porositasnya. Umumnya batuan dengan elastisitas yang tinggi
memerlukan energi yang besar untuk menghancurkanya.
h. Plastisitas
Plastisitas batuan merupakan perilaku batuan yang menyebabkan deformasi
permanen setelah tegangan dikembalikan ke kondisi awal, dimana batuan
tersebut belum hancur. Sifat ini sangat dipengaruhi oleh komposisi mineral
penyusunya, terutama kuarsa. Batuan yang plastisitasnya tinggi memerlukan
energi yang besar untuk menghancurkannya.

15
3.7. Faktor Pemilihan Alat Bor
Mesin bor merupakan peralatan paling penting dalam operasi pengeboran
sebagai tenaga penggerak dari rangkaian bor. Dalam setiap metode pengeboran
maka akan digunakan jenis mesin bor yang berbeda pula tergantung dari
mekanisme metode pengeboran.
Beberapa hal penting dalam pemilihan mesin bor yang akan digunakan antara
lain:
1. Tipe dan model mesin bor, aspek ini berhubungan dengan jenis metode
pengeboran yang akan dilakukan
2. Kemampuan rotasi atau tumbukan dalam persatuan waktu
3. Momen puntir maksimum, yaitu kekuatan maksimum memutar mesin
untuk memutar stang bor.
4. Rentang diameter lubang bor yang bisa dibuat.
5. Total kedalaman yang bisa dicapai.
6. Hoisting capasity , yaitu kapasitas pengerakan terhadap rangkaian bor dari
mata bor sampai ke hoisting water swivel, termasuk sirkulasi fluida bor
yang berada di dalamnya.
7. Sliding stroke, yaitu mobilisasi mesin bor tanpa memindahkan bantalan
mesin atau tanpa kehilangan posisi titik lubang bor. Adakalanya unit
pemutar pada mesin bor harus digeser.
8. Dimensi
9. Power unit

Ketepatan dalam memilih mesin bor sangat berpengaruh terhadap efektifitas


operasi pengeboran contohnya: apabila akan melakukan pengeboran dengan
kedalaman 100 meter, maka mesin yang dipilih adalah mesin yang mempunyai
kapasitas pemboran sedalam 100 meter apabila memilih mesin dengan ukuran
kurang dari 100 meter, maka pengeboran tidak akan mencapai target yang
diinginkan (Hafis, 2012).

16
3.8. Efisiensi Kerja Alat
Menurut Suwandhi (2001), efisiensi kerja merupakan elemen produksi yang
harus diperhitungkan di dalam upaya mendapatkan harga produksi alat persatuan
waktu yang akurat. Sebagian besar harga efisiensi kerja diarahkan terhadap
oprator, yaitu orang yang menjalankan atau mengoperasikan unit alat. Walaupun
demikian, apabila ternyata efisiensi kerjanya rendah belum tentu penyebabnya
adalah kesalahan operator yang bersangkutan. Mungkin ada penyebab lain yang
tidak dapat dihindari, antara lain cuaca, kerusakan mendadak, kabut dan lain –
lain.
Pekerjaan mekanik untuk perawatan alat tidak dapat dimasukan sebagai
penyebab berkurangnya efisiensi kerja alat, karana pekerjan perawatan alat
(maintenance) harus sudah terjadwal untuk masuk bengkel (workshop). Agar
memperoleh harga efisiensi kerja alat yang mewakili perlu diberikan batasan –
batasan pekerjaan. Acuan untuk membatasi porsi pekerjaan operasional dan
mekanik. Mungkin setiap perusahaan harus memberikan definisi yang berbeda
tentang pengertian waktu tertunda, terhenti dan sebagainya. Tabel di bawah ini
bisa digunakan sebagai acuan pembagian waktu.

17
Tabel. 3.1. Parameter Pengukuran Efisiensi Kerja (Suwandhi, 2009)

TERJADWAL (SCHEDULED) S
PERAWATAN
TERJADWAL (AVAILABLE) A
(MAINTENANCE) M

JALAN ( OPERATOR ) O TERHENTI PERBAIKAN PERAWATAN


KERJA TERTUNDA (IDLE) MENDADAK TERJADWAL
(WORKING) (DELAYED) I M SM
W D
Moving Alat Standbay Waktu Waktu
Kerja lancar
Mengisi BBm Tak ada perbaikan perbaikan
Ganti bit oprator Tunggu suku Tunggu suku
Seting alat Makan dan cadang cadang
Pengawasan rutin istirahat
Tunggu BBm
Semprot lub,bor Hujan lebat,
datang
Pelumas kabut
Pengecekan awal

Dari tabel di atas dapat diukur tingkat efisiensi kerja operator yang lebih
teliti karena pengelompokkan penyebab alat berhenti dibuat atas dasar kondisi
sebenarnya dan yang lebih penting pengelompokkan tersebut telah disepakati dan
dipahami oleh seluruh karyawan.

18
1. Efektivitas (effectiveness) artinya jam kerja efektif selama waktu yang
disediakan untuk operasi, persamaannya adalah :

E = ( W / O ) x 100 %

Keterangan :
E : Efektivitas (%)
W : Waktu kerja produktif
O : Waktu kerja produktif + tertunda

2. Ketersediaan fisik (physical atau mechanical avaibility) adalah ukuran sehat


tidaknya alat untuk beroperasi, rumusnya adalah :

PA = ( A / S ) x 100 %

Keterangan :
PA : Ketersediaan Fisik (%)
A : Waktu kerja tersedia yang meliputi (waktu terhenti + tertunda +
produktif)
S : Waktu kerja terjadwal

3. Utilitas (utility) adalah alat yang sehat terpaksa tidak dioperasikan karena
beberapa sebab, misalnya hujan lebat, rapat, kecelakaan tambang dan lain-
lain, persamaannya adalah :

U= ( O / A ) x 100 %

Keterangan:
U : Utilitas (%)
O : Waktu kerja produktif + tertunda
A : Waktu kerja tersedia yang meliputi (waktu terhenti + tertunda +
produktif)

19
Tiga faktor efisiensi kerja alat di atas dapat kita artikan satu persatu mulai
dari, waktu kerja produktif (W), waktu kerja produktif ditambah tertunda (O),
waktu kerja tersedia yang meliputi terhenti ditambah tertunda ditambah produktif
(A), dan waktu terjadwal (S), sebagai berikut :
a. Waktu kerja produktif (W) adalah waktu kerja alat terjadwal semua kegiatan
jam alat di lapangan dari shift pertama sampai dengan shift ke dua, atau shift
ke tiga sesuaikan dengan keadaan, tetapi di sini mengunakan dua shift,
dikurangi waktu alat rusak mendadak, dikurangi adanya waktu yang
meliputi hujan lebat, kabut, tidak ada oprator, istirahat dan semua kegiatan
yang tak bisa dihindari atau terhenti (idle). dan dikurangi waktu yang
meliputi kegiatan mengisian bbm, moving alat, operator terlambat dan
semua kegiatan yang bisa dihindari atau tertunda (delayed), sehingga
terdapat waktu produktif.
b. Waktu kerja produktif ditambah tertunda (O) adalah waktu terjadwal awal
kerja alat di lapangn sampai dengan waktu yang tersedia, dan ditambah
waktu tertunda (delayed) seperti mengisian bbm, moving alat, tunggu alat
muat, operator terlambat dan semua kegiatan yang bisa dihindari.
c. Waktu kerja yang tersedia meliputi terhenti (idle), ditambah tertunda
(delayed), ditambah waktu produktif (A) adalah waktu yang meliputi semua
kegiatan baik itu hujan lebat, kabut, tak ada operator, istirahat dan semua
kegiatan yang tak bisa dihindari, ditambah dengan semua kegiatan yang
tertunda seperti, waktu alat mengisi bbm, adanya operator terlambat,
pengecekan awal sebelum jalan dan semua kegiatan tertunda dan, ditambah
waktu produktif seperti waktu terjadwal, awal kerja alat di lapangan sampai
dengan waktu yang tersedia.
d. Waktu terjadwal (S) adalah semua kegiatan jam kerja alat di lapangan dari
shift pertama sampai dengan shift ke dua.
4. Efisiensi kerja rata-rata merupakan penjumlahan dari persamaan rumus di
atas dibagi 3, jadi :

E+ PA+U
Eff =
3

20
Keterangan :
Eff rata-rata : Efisiensi kerja rata-rata (%)
E : Efektivitas (%)
PA : Ketersediaan Fisik (%)
U : Utilitas (%)

Efisiensi rata-rata merupakan ekspresi dari kinerja alat angkut maupun


operatornya. Semua kegiatan efektifitas alat terjadwal, mulai dari kerja terjadwal,
rusak mendadak, terhenti (idle), tertunda (delayed), kerja alat. Efektifitas,
ketersedian fisik, utilitas, dan efisiensi rata-rata, dapat dijadikan tabel seperti
berikut. Contoh log kinerja suatu alat, berdasarkan data tersebut dapat diambil
keputusan harga efisiensi kerja yang nantinya diambil untuk menghitung produksi
alat.

3.9. Waktu Kerja Efektif

Menurut Wilopo, (2009), waktu kerja efektif adalah waktu kerja yang
digunakan selama yaktu kerja produksi di luar waktu stand by dan waktu
perbaikan (break down). Hambatan yang terjadi selama operasi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:

a. Hambatan yang dapat dihindari


Hambatan ini disebabkan karena penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan oleh pekerja terhadap waktu kerja yang telah dijadwalkan.
Hambatan ini di antaranya adalah: keterlambatan pada awal kerja, istirahat
lebih awal, perawatan alat dan istirahat lebih lama.

b. Hambatan yang tidak dapat dihindari


Hambatan ini pada umumnya terjadi pada saat rangkaian peralatan
beroperasi. Hambatan ini di antaranya: kerusakan alat dan hujan. Dengan
mengetahui waktu hambatan yang dapat dihindari dan waktu hambatan

21
yang tidak dapat dihindari, maka waktu kerja efektif dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

We = Wt – ( Wn + Wu)

Keterangan :
We = waktu produksi efektif.
Wt = waktu produksi yang tersedia
Wn = waktu hambatan yang tidak dapat dihindari
Wu = waktu hambatan yang dapat dihindari

3.10. Proses Pembentukan Batubara


Pembatubaraan terjadi karena adanya tekanan dan tempratur yang tinggi
dan berlangsung selang waktu yang sangat lama. Batubara adalah batuan sedimen
organoklastik yang berasal dari tumbuhan yang pada kondisi tertentu tidak
mengalami proses pembusukan dan penghancuran sempurna. Pada umumnya
proses pembentukan batubara terjadi pada zaman karbon yaitu sekitar 270-350
juta tahun yang lalu. Pada zaman-zaman tersebut terbentuk batubara dibelahan
bumi utara sampai Eropa, Asia dan Amerika. Di Indonesia ditemukan dan
ditambang umumnya berumur jauh lebih muda, yaitu terjadi pada zaman tersier.
Batubara tertua ditambang di Indonesia berumur eosen (40-60 juta tahun yang
lalu) namun sumber daya batubara di Indonesia umum nya berumur antara miosen
dan piliosen (2-15 juta tahun yang lalu).
Dikenal dua teori yang menjelaskan tempat terbentuk nya batubara :

1.Teori Insitu (autochthonous)


Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan
demikian setelah tanaman itu mati, belum mengalami proses ini transformasi
segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalifikasi. Jenis

22
batubara yang terjadi dengan proses ini mempunyai penyebaran luas dan merata,
kualitasnya lebih karena kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk
seperti ini di Indonesia di dapatkan dilapangan batubara Muara Enim (Sumatra
Selatan).

2.Teori Drift (allochthonous)


Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terjadi ditempat berbeda dengan tempat tanaman semula tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian tanaman yang telah mati diangkut oleh media air dan
berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses
coalifikasi, jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran
yang tidak luas, tetapi dijumpai dibeberapa daerah, kualitasnya kurang baik
karena banyak mengandung mineral pengotor yang terangkut besama selama
proses pengangkutan dan tempat asal tananman ketempat sedimentasi. Penyebaran
seperti ini di Indonesia terdapat di kalimantan delta sungai mahakam.

3.11.Tahap – Tahap Pembentukan Batubara

Menurut White (1908), terdapat dua tahapan dalam pembentukan batubara,


di jelaskan sebagai berikut :
1. Tahap Biokimia/Peatifikasi
Tahap ini merupakan proses perubahan dari bahan tumbuhan-tumbuhan yang
mengalami pembusukan dan kemudian terakumulasi hingga membentuk peat
(gambut). Pada tahap ini adanya aktifitas mikro organisme dan partikel-partikel
bakteri terhadap tumbuhan-tumbuhan yang menyebabkan adanya oksigen yang
cukup memadai. Jika menguntungkan tahap ini akan terbentuk peat (gambut).
Pada tahap ini adanya aktifitas mikro organisme dan partikel-partikel bakteri
terhadap tumbuh-tumbuhan yang menyebabkan adanya oksigen yang cukup
memadai. Jika menguntungkan tahap ini akan terbentuk peat yang berwarna
hitam gelap atau dengan struktur amorf dan jika tidak menguntungkan akan
terbentuk peat yang mengandung material – material lain yang tidak teruraikan

23
(tidak mengalami dekomposisi) dengan warna coklat. Dengan demikian peat
merupakan tahap awal dalam pembentukan batubara yang merupakan
pemadatan dari bahan tumbuhan yang mengalami pembusukan dan kemudian
terakumuliasi. Pada saat itu pula akan mengalami tekanan yang diakibatkan
oleh beban sedimen yang ada diatasnya, sehingga tekanan yang ditembulkan
merupakan aktifitas pertama yang menyebabkan perubahan terhadap sisa-sisa
organik tersebut. Sumber panas dapat juga disebabkan oleh panas bumi dan
intrusi.
2. Tahap dinamo kimia/ Metmorfisme
Tahap ini merupakan tahap perubahan yang terjadi karena faktor takanan dan
temperatur (panas). Jika peat sudah terbentuk, maka proses selanjutnya
tergantung keadaannya. Pada saat peat tertimbun oleh sedimen-sedimen, maka
pada saat peat itu pula akan mengalami tekanan yang diakibatkan oleh beban
yang berlebihan dari sedimen diatasnya, sehingga tekanan yang ditimbulkan
tersebut merupakan aktifitas pertama yang menyebabkan perubahan terhadap
sisa-sisa organik / tumbuhan tersebut. Sumber panas biasa beasal dari panas
bumi atau karena intrusi.

3.12. Struktur Batubara


Struktur batubara dapat di definisikan sebagai perubahan yang terjadi pada
batubara akibat proses-proses yang terjadi pada batubara tersebut perubahan
batubara dapat di akibatkan oleh pengaruh :
1. Pengaruh perubahan kondisi sedimen (pengendapan dan erosi)
2. Pengaruh struktur geologi
3. Pengaruh batuan beku
Pengaruh perubahan kondisi sedimen pada saat pembentukan batubara dapat
mengubah kondisi batubara, sehingga lapisan batubara dapat menghilang
perlapisannya, menipis sebagian atau adanya sisipan batuan pengotor. Strukturnya
dikenal sebagai washout, split, dan sebagainya. Lapisan batubara juga dapat
berubah karena struktur geologi, misalnya terpatahkan, terlipatkan atau

24
terkekarkan. Perubahan karena pengaruh batuan beku, misalnya lapisan batubara
yang terintrusi oleh batuan beku.
3.13. Bentuk lapisan batubara
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah
proses coalifikasi akan menentukan bentuk lapisan batubara. Mengetahui bentuk
lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung sumberdaya dan
merencanakan cara penambangannya.
Dikenal beberapa bentuk lapisan batubara yaitu :
1. Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang
menutupinya melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi.
Kenampakan ini dapat terlihat langsung pada singkapan lapisan batubara yang
dijumpai dilapangan (dalam skala kecil), atau dapat diketahui dari hasil
rekonstruksi beberapa lubang pemboran eksplorasi pada saat dilakukan coring
secara sistematis. Akibat dari perlengkungan ini lapisan batubara terlihat
pecah-pecah akibatnya batubara menjadi kurang kompak.

Gambar 3.1 Lapisan Batubara Horse Back

2. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan menipis dibagian tengah. Pada umumnya
bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan pelastis
misalnya batuan lempung sedang diatas lapisan batubara secara setempat

25
ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur.
Sangat dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan
tunggal, melainkan merupakan penampakan yang berulang-ulang. Ukuran
bentuk pinch bervariasi dari beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam
proses penambangan batubara, batupasir yang mengisi pada alur-alur tersebut
tidak terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen-fragmen
batupasir tersebut juga dianggap sebagai pengotor anorganik. keberadaan
pengotor ini tidak diinginkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan
sebagai bahan bakar.

Gambar 3.2. Bentuk Pinch

3. Bentuk Clay Vein


Bentuk ini terjadi apabila diantara dua bagian lapisan batubara terdapat urat
lempung ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan
batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan
rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir. Apabila
batubaranya ditambang, bentuk clay vein ini dipastikan ikut tertambang dan
merupakan pengotor organik (mineral matter) yang tidak diharapkan.
Pengotor ini harus dihilangkan apabila batubara tersebut aka dikonsumsi
sebagai bahan bakar.

26
Gambar 3.3. Clay Vein

4. Bentuk Burried Hill


Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana batubara semula terbentuk suatu
kulminasi sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi” menjadi menipis atau
hampir hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai ukuran dari beberapa
meter sampai puluhan meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi
akan banyak membantu dalam menentukan dimensi bentukan tersebut.

Gambar 3.4. Bentuk Burried Hill

5. Bentuk Fault
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana deposit batubara mengalami seri
patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan

27
perhitungan cadangan batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran
perlapisan ke arah vertikal. Dalam melaksanakan eksplorasi batubara di
daerah yang memperlihatkan banyak gejala patahan diperlukan tingkat
ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan hanya berpedoman pada hasil
pemetaan geologi permukaan saja.

Gambar 3.5. Bentuk Fault

6. Bentuk Folding
Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara, mengalami proses
tektonik sehingga terbentuk perlipatan. Perlipatan tersebut dimungkinkan
masih dalam bentuk sederhana, misalnya bentuk antiklin atau bentuk sinklin,
atau sudah merupakan kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Lapisan batubara
bentuk fold, memberi petunjuk awal pada kita bahwa batubara yang terdapat
di daerah tersebut telah mengalami proses coalification relatif lebih sempurna,
akibatnya batubara yang diperoleh kualitasnya relatif lebih baik. Sering sekali
terjadi, lapisan batubara bentuk fold berasosiasi dengan lapisan batbara
berbentuk fault. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak
perlitan dan patahan, kegiatan pemboran inti perlu mendapat prioritas utama
agar ahli geologi mampu membuat rekonstuksi struktur dalam usaha
menghitung jumlah cadangan batubara.

28
Gambar 3.6. Bentuk Folding

3.14. Klasifikasi Batubara


Klasifikasi batubara berdasarkan tinggkat pembatubaraan biasanya
dimaksudkan untuk menentukan tujuan pemanfaatannya. Misalnya, batubara
binuminus banyak digunakan untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik, pada
industri baja atau genteng serta industri semen (batubara termal atau steam coal).
Adapun batubara antrasit digunakan untuk proses sintering bijih mineral, proses
pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping, dan untuk pembuatan
briket tanpa asap (Raharjo, 2006).
Tipe batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan ini dapat dikelompokan
sebagai berikut :
a. Lignite
Disebut juga batubara muda (kualitas rendah), merupakan tingkat terendah
dari batubara, berupa batubara yang sangat lunak dan mengandung air 70% dari
beratnya.
b. Sub-Bituminous
Karakteristiknya berbeda di antara batubara lignit dan bituminous, terutama
digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU, Sub-bituminous coal mengandung
sedikit karbon dan banyak air dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang
tidak efisien.

c. Bituminous

29
Batubara yang tebal, biasanya berwarna hitam mengkilat, terkadang,
coklat tua. Bituminous coal mengandung 86% karbon dari beratnya dengan
kandungan abu dan sulfur yang sedikit. Umumnya dipakai untuk PLTU, tapi
dalam jumlah besar juga dipakai untuk pemanas dan aplikasi sumber tenaga
dalam industri dengan membentuknya menjadi kokas-residu karbon berbentuk
padat.

d. Antrasit
Peringkat teratas batubara, biasanya dipakai untuk bahan pemanas ruangan
di rumah dan perkantoran. Batubara antrasit berbentuk padat (dense), batu-
keras warna jet-black berkilaw (luster) metalic, mengandung antara 86% - 98%
karbon dari beratnya dengan kadar air kurang dari 8%, terbakar lambat, dengan
batasan nyala api biru (pale blue flame) dengan sedikit sekali asap.

Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batubara muda dan sub-
bituminous biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna
suram seperti tanah. Batubara muda memiliki tingkat kelembaban yang tinggi
dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan
energinya rendah.

Batubara dengan mutu lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan
seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu yang
lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban
yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak. Antrasit adalah
batubara dengan mutu paling baik dan dengan demikian memiliki kandungan
karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih rendah.

30

Anda mungkin juga menyukai