Anda di halaman 1dari 3

Ketika Jokowi Terlena Oleh Kekuasaan

POLITIK  MINGGU, 19 JULI 2020 , 08:36:00 WIB | LAPORAN: RMOL NETWORK

Masyarakat harus mengingatkan Presiden Joko Widodo agar demokrasi di negeri ini tidak
mengalami kemunduran/Net

RMOLBengkulu. Jika sudah duduk lupa berdiri, sebuah jargon yang digunakan


sebuah perusahaan furniture puluhan tahun silam, sepertinya cocok dengan kondisi
saat ini. Ketika seorang penguasa terlena dengan jabatannya, hingga lupa 'berdiri'.
BERITA TERKAIT
Relawan Minta Jokowi Pecat Sri Mulyani, Nadiem, Dan Prabowo
Sering Menghindar Saat Ada Protes Besar Padanya, Bagi Jokowi Rakyat Hanya Barisan
Bebek
Jokowi: Dalam Mengatasi Pandemi Covid-19 Banyak Yang Telah Dilakukan Pemerintah
Pemberian rekomendasi dari PDI Perjuangan kepada Gibran Rakabuming Raka
untuk maju dalam Pilkada Solo 2020 saja sudah menunjukkan sinyal kuat ada
upaya politik dinasti.

Dugaan ini makin kuat ketika Presiden Joko Widodo yang adalah ayah dari Gibran
diketahui menawarkan jabatan kepada Achmad Purnomo, yang menjadi pesaing
kuat anaknya di Pilkada Solo, untuk mundur dari kontestasi.

"Kekuasaan memang mudah melenakan orang. Dulu bangga menyatakan anak dan
keluarganya tidak tertarik dengan kekuasaan. Namun, setelah angin berganti dan
ambisi mencuat, justru kekuasaan negara yang ada di tangan berusaha
dimanfaatkan untuk menyukseskan ambisi keluarga sendiri," kritik pengamat politik,
Ahmad Khoirul Umam kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (18/7).

Hal ini berpotensi kontraproduktif terhadap persepsi publik pada Presiden Jokowi.
Baik anak dan menantunya menang atau kalah pada Pilkada 9 Desember
mendatang, tetap ini menjadi preseden yang tidak sehat bagi demokrasi,”
imbuhnya.
Seharusnya, lanjut Umam, presiden paham dan memberikan pemahaman kepada
keluarganya untuk menahan diri. Lebih patut mereka berkompetisi setelah Jokowi
purnatugas dari kekuasaan tertinggi sebagai presiden negeri ini.

Jadi, watak Jokowi yang dilihat masyarakat selama ini, sepertinya berubah drastis.
Masyarakat harus mengingatkan. Sebab, jika masyarakat tidak atau bahkan 'tidak
bisa' memberikan koreksi terhadap perilaku presiden tersebut, itu pertanda tegas
kemunduran demokrasi negeri ini," sambung dosen Universitas Paramadina ini.

Jika cara-cara yang melanggar etika ini dianggap biasa dilakukan oleh seorang
presiden, maka siapa yang bisa menjamin bahwa lembaga dan institusi negara
yang punya kekuatan solid dan masif di bawah kendali presiden mampu bersikap
netral dan independen pada kompetisi Pilkada mendatang?

Melihat tren perilaku tersebut, masih kata Umam, maka potensi pembajakan dan
penyalahgunaan kewenangan lembaga negara untuk kepentingan politik praktis
keluarga penguasa berpeluang besar terjadi di masa depan.

Atau sebaliknya, jika penyalahgunaan kewenangan lembaga negara tidak terjadi,


akumulasi kekuatan modal dari elemen oligarki tetap berpotensi besar berkumpul
ke titik yang sama. Yakni mereka yang didukung oleh pengendali kekuasaan negeri
ini. Hal ini jelas tidak etis dan tidak sehat bagi konsolidasi demokrasi.

Umam pun berharap Presiden bisa membedakan antara hak dan etika politik.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden haruslah menjadi
teladan bagi stakeholders politik dan demokrasi bangsa ini. Karena, kepada
presiden, masyarakat menitipkan harapan dan mimpi.

Anda mungkin juga menyukai