BAKAR TONGKANG

Ritual Bakar Tongkang sudah dimulai sejak 100 tahun yang lalu, setelah kedatangan pertama etnis
Tionghoa di Bagan Siapi-api, yaitu sekitar tahun 1926. Namun di tahun 2020 ritual ini ditiadakan karena
pandemik virus COVID-19.

Ritual Bakar tongkang ini berfungsi sebagai tanda bahwa warga etnis Tionghoa akan memulai kehidupan
baru di Bagansiapiapi dan merayakan ulang tahun dewa laut. Kala itu sekelompok pengungsi etnis
Tionghoa dari Thailand telah berhari-hari berada di perairan dan konon ada 3 kapal tongkang yang
mereka naiki, namun hanya satu yang selamat. Kemudian mereka berhasil berlabuh di pesisir kota yang
kemudian disebut Bagan Siapi-api. Konon ada 3 kapal tongkang yang mereka naiki, namun hanya satu
yang selamat.

Tradisi bakar tongkang ini diikuti sekitar 100 kelenteng yang ada di sana dan di ikuti dari berbagai tingkat
usia. Mereka berbaris dari depan kelenteng hingga memanjang seratusan meter. Setiap kelompok juga
menenteng sejumlah peralatan ibadah yang mereka panggul. Berbagai hiasan alat Tiongkok meramaikan
festival ini. Setelah memanjang sekitar 200 meter, barulah muncul tongkang alias kapal replika dengan
panjang sekitar 8 meter lebar 2 meter. Kapal itu dihiasi tiang layar dengan kontruksi dari kayu. Dinding
kapal tongkang ini hanya dilipasi kertas berwana warni.

Api yang membakar membuat suasana sekitarnya menjadi panas. Tumpukan kertas pun menjadi lautan
api yang memerah. Sekelompok orang dalam acara ini juga ada yang keserupan. Kekuatan api itu
semakin terasa dengan iringan tambur, tong-tong, dan ceng-ceng. Puncak acara bakar tongkang
menghadirkan suasana yang luar biasa. Panas, meriah, dan heboh. Momen yang paling ditunggu oleh
warga Tionghoa yang mengikuti upacara bakar tongkang ialah jatuhnya tiang penyangga layar. Mereka
percaya arah jatuhnya tiang memberi tahu asal rezeki mereka pada tahun berikutnya. Jika arah tiang
jatuh ke laut, rezeki akan lebih banyak didapat dari laut. Jika arah jatuhnya ke darat, rezeki akan lebih
banyak dari darat.
The Bakar Tongkang ritual has been started since 100 years ago, after the first arrival of ethnic Chinese
in Bagansiapiapi, which was around 1926. However, in 2020 this ritual was abolished due to the COVID-
19 virus pandemic.

The Bakar Tongkang ritual serves as a sign that ethnic Chinese residents will start a new life in
Bagansiapiapi and celebrate the birthday of the sea god. At that time a group of ethnic Chinese refugees
from Thailand had been in the waters for days and it is said that there were 3 barges they boarded, but
only one survived. Then they managed to anchor on the coast of the city which was then called
Bagansiapiapi.

Bakar tongkang tradition is followed by around 100 temples that there and are followed by various ages.
They lined up from the front of the temple to a length of a hundred meters. Each group also carries a
number of worship equipment that they carry. Various Chinese instrument decorations enliven this
festival. After extending about 200 meters, then a barge, aka a replica ship, with a length of about 8
meters and a width of 2 meters appears. The ship was decorated with a mast with a wooden
construction. The walls of this barge are only covered with colorful paper.

The burning fire made the surrounding atmosphere hot. The pile of paper became a red sea of fire. A
group of people in this event also had a similarity. The power of the fire was increasingly felt with the
accompaniment of drums, barrels, and ceng-ceng. The highlight of the barge-burning event presented
an extraordinary atmosphere. Hot, lively, and excited. The moment most awaited by Chinese citizens
who participated in the barge burning ceremony was the fall of the pillar supporting the sail. They
believe the direction the pole falls will tell where their sustenance will come from in the following year.
If the direction of the pole falls into the sea, more sustenance will be obtained from the sea. If the
direction of the fall to land, the sustenance will be more than the land.