Anda di halaman 1dari 20

Work Engagement Among

Employees Facing Emotional


Demands
Despoina Xanthopoulou, Arnold B. Bakker, and Andrea Fischbach,2013

Group 2 :
Yunita Christiana
Janu Nugraha R
Yuyun Zahriatul U
Content

Abstract, Theory, Hypothesis Method, Measure & Result

Interpretation (Discussion & Conclusion)


Abstrak

Study 2 gelombang yang mengkaji Work


Engagement sebagai fungsi yang dipengaruhi
oleh sumber daya pribadi dan kondisi yang
menuntut emosional di tempat kerja

Emotional
Demands (a)
Emotion Rule
Dissonance (b)
Work Engagement

Personal Resources:
Self Efficacy & Optimism
Landasan Teori
• Schaufeli, Salanova, Gonzlez-Rom, &Bakker (2002)

Work engagement adalah keadaan motivasi


kesejahteraan yang terkait dengan pekerjaan yang
ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorpsi .
Karyawan dengan keterikatan tinggi akan memiliki
energi yang tinggi pula, antusias dan keterlibatan
yang kuat dengan pekerjaannya bahkan seringkali
tenggelam dengan pekerjaannya sendiri.
Landasan Teori
• Heuven et al (2006)

Emotional demand merujuk kepada interaksi yang dibebankan


dalam tempat kerja cth : perilaku buruk pelanggan, kasar, tidak ramah

• Holman et al (2008)
Emotion rule dissonance adalah konflik emosi yang terjadi
dalam diri seseorang, yakni antara emosi alami yang benar-
benar dirasakan dengan emosi yang diminta ditampilkan
selama interaksi di tempat kerja

Key note :
Interaksi kerja dapat menimbulkan emosi negatif sedangkan karyawan
diminta menampilkan eskpresi positif  emotion rule dissonance dapat
merusak kesejahteraan karyawan (well-being) -- Moris & Feldman,1996
Landasan Teori
Author Deskripsi
Bakker & Demerouti Hubungan negatif antara tuntutan emosi dan
(2007) employee well-being dapat dijelaskan dalam
proses gangguan kesehatan dari model JDR

Ashforth and Humphrey Emosional tenaga kerja dapat berhubungan


(1993) dengan peningkatan kepuasan kerja

Hobfoll, Johnson, Ennis, Personal resources adalah aspek positif dalam diri
&Jackson seseorang yang merujuk kepada kemampuan
(2003) untuk mengendalikan dan berdampak sukses pada
lingkungan kerja
Scheier, Carver, &Bridges, Self efficacy adalah kemampuan untuk
(1994) mencurahkan seluruh upaya untuk mencapai
tujuan kerja, dan persisten dalam menghadapi
kesulitan

Optimis adalah kecenderungan untuk percaya


bahwa akan mengalami hasil terbaik dalam hidup
HIPOTESIS – THE BUFFERING EFFECT
HIPOTESIS – THE BOOSTING ECTEFFECT
Electronics Company 2 kali dalam
(in the Netherlands) rentang 1,5 tahun

PLACE PERIOD T1 : 540


T2 : 469
T1 &T2 : 163

PARTICIPANT

Metode & Pengukuran

MEASURE ED : 6 Items scale of Bakker et


al (2003)
ERD : 5 items scale of Zapf et
al (2000)
PR : 10 items scale of
Schwarzer (1995)
WE : Schaufeli dimension :
STRATEGY Vigor, Dedication, Absorption
ANALYSIS CHARACTERISTIC
AGE
GENDER
QUANTITATIVE WITH TENURE
REGRESSION ANALYSIS EDUCATION
TYPE OF JOB
Result
Result
Hasil penelitian ini mendukung hipotesis buffering
dan boosting (tapi tidak untuk optimisme)

STRONGLY NEGATIVE

SELF-EFFICACY
ED dan ERD dan
WE
SELF-EFFICACY
STRONGLY POSITIVE
Interpretasi
• Buffering Effect
Hubungan antara ED/ERD dan work engagement menghasilkan N E G AT I F K U AT saat
SELF EFFICACY RENDAH

• Boosting Effect
Self Efficacy mempengaruhi work engagement, ketika karyawan dihadapkan pada situasi
ED/ERD yang tinggi
• Self Efficacy karyawan jika tidak dirangsang oleh situasi yang menantang dalam pekerjaan
untuk jangka waktu yang lama, kemungkinan akan terjadi bosan dan berujung pada
disengaged (Bakker & Demerouti, 2007)
• Penelitian yang sekarang memperlihatkan bahwa, ED dan ERD menjadi tantangan untuk
karyawan yang memiliki self efficacy.
• Karyawan menggunakan kemampuan dalam dirinya (self-efficacy) untuk mengontrol
lingkungan dan menjadi engaged.
Interpretasi
• Optimisme tidak berpengaruh terhadap peningkatan work engagement. Karyawan yang optimis

mungkin berpikir bahwa kondisi yang menyulitkan di tempat kerja akan terselesaikan tanpa perlu

adanya usaha personal yang signifikan.

• Potensi motivasional pada self-efficacy diperkuat ketika mendapatkan ED seiring waktu, sehingga

karyawan tidak hanya mengontrol namun juga mencegah disengagement

• Individu yang resilien akan jauh lebih mampu untuk mengendalikan tuntutan situasi emosional di

tempat kerja dan tetap akan engaged.

• Kedepannya perlu dilakukan study terkait resilien sebagai personal resources yang dapat

digunakan untuk mengatasi tuntutan situasi emosional yang lebih baik.

• Pelatihan yang berhubungan dengan “menumbuhkan self efficacy” akan membantu karyawan

menangani situasi kerja yang menuntut adanya interaksi dengan pelanggan seperti Customer

Service. (Luthans et al. , 2006)


Additional Info

• Holman et al : efek jangka panjang antara interaksi antara emosional


anteseden (tuntutan emosional / disonansi) dan personal resource
pada aspek motivasi (contoh: Work Engagement)
• De Jonge & Dormann : meneliti adanya pembuktian pada hubungan
tuntutan emosional dengan unwell being (kelelahan)
• Cote& morgan: menilai hubungan terhadap aspek well-being
(kepuasan kerja)

*NB: penelitian tidak membuat kasus yang kuat mengenai apa yang
dihadapi oleh employee secara emosional situasi yang dibebankan di
tempat kerja, mengingat aspek sikap tidak selalu mengarah pada
kesesuaian perilaku(belum tercakup personal resources)
Buffering dan Boosting

De Jonge et al & Bakker et al Heuven et al


Meneliti hubungan tuntutan emosional Sumber daya pekerjaan menyangga efek
dengan motivasi kerja dan Work Engagement negatif dari tuntutan emosional
yang memberikan hasil Work Engagement terhadap emosi dan kesepakatan.
berkurang saat sumber daya pekerjaan Heuven juga mendukung peranan
berkurang. buffering.
• Tingkat self-efficacy yang rendah ,akan
membuat hubungan antara ED dan ERD
dengan Engagement Strongly Negative
( Ketika karyawan menghadapi tuntutan
emosional yang tinggi dan mengalami ERD
dalam jangka waktu yang lama akan menjadi
disenganged, ketika karyawan tidak memiliki
kemampuan menghadapi kondisi yang ada
dengan efisien.)
• Penelitian yang sekarang memperlihatkan
bahwa, ED dan ERD menjadi tantangan untuk
karyawan yang memiliki self efficacy.
• Karyawan menggunakan kemampuan dalam
dirinya (self-efficacy) untuk mengontrol
lingkungan dan menjadi engaged.
• Hipotesis 1 mendukung efek boosting yang
berarti engagement akan lebih tinggi saat
tuntutan tinggi dikombinasikan dengan
sumber daya yang tinggi.
• Potensi motivasional pada self-efficacy
diperkuat ketika mendapatkan ED seiring
waktu, sehingga karyawan tidak hanya
mengontrol namun juga mencegah
disengagement
• Hipotesis 1 mendukung efek boosting yang
berarti engagement akan lebih tinggi saat
tuntutan tinggi dikombinasikan dengan
sumber daya yang tinggi.
• Potensi motivasional pada self-efficacy
diperkuat ketika mendapatkan ED seiring
waktu, sehingga karyawan tidak hanya
mengontrol namun juga mencegah
disengagement

Anda mungkin juga menyukai