Anda di halaman 1dari 39

UNIVERSITAS INDONESIA

“CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY”


TUGAS HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

Disusun Oleh:
Rahma Atika Idrus 1506677603
Meithy Tamara 1506676891

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………….…………………… 3
Latar Belakang………………………………………………………………………... 3
Rumusan Masalah……………………………………………………………………. 4
Tujuan Penulisan……………………………………………………………………... 5
BAB II: PEMBAHASAN…………………..………………………………………………… 6
Sejarah Convention on Biological Diversity ………………………………………… 6
Tujuan dan Prinsip UNCBD………………………………………………………….. 7
Status Hukum dari Keanekaragaman Hayati………………………………………….9
Pembahasan Pasal-Pasal ………………………………………………………….… 10
Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment)…………10
Keramahtamahan (Good Neighbourliness)…………………………………..12
Konservasi (Conservation)…………………………………………………...13
UNCBD dan Negara Berkembang (Developing Countries)………….……………… 15
Institutional Provisions………………………………………………………………….. 28
Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement)……………………………………........31
BAB III: PENUTUP………………………………………………………………................ 33
Kesimpulan………………………………………………………………………….. 33
Daftar Pustaka…………………………………………………………………...…………... 35

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lingkungan yang ada di bumi terdiri dari berbagai spesies, baik tanaman maupun hewan.
Dari gurun pasir Sahara hingga hutan hujan di Amazon, dan juga kehidupan bawah laut, bumi
terdiri dari berbagai area, material, warna, tekstur, yang kemudian hidup makhluk-makhluk
hidup dari serangga terkecil hingga hewan terbesar. Semua ini menyatu menjadi satu kesatuan
yang saling bergantung, interconnecting dan interdependent, membuat lingkungan yang ada
dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, yaitu dengan adanya keanekaragaman
hayati. Manusia dalam menjalankan kehidupannya membutuhkan keanekaragaman hayati,
sebagaimana manusia bergantung kehidupannya terhadap lingkungan. Keanekaragaman hayati
memberikan sumber daya bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makan,
tempat tinggal dan lain sebagainya. Hanya saja, dengan adanya human civilization, kegiatan
tersebut membawa dampak negatif terhadap lingkungan, khususnya keanekaragaman hayati,
khususnya semenjak revolusi industri. Manusia melakukan tindakan-tindakan yang
membahayakan keberadaan berbagai spesies, seperti overfishing, berburu, dan juga
menghancurkan habitat dari berbagai makhluk hidup, serta menggunakan bahan-bahan
berbahaya seperti pestisida dan herbisida.1 Hal ini kemudian berakibat terhadap berkurangnya
jumlah spesies dan juga mengakibatkan hilangnya biodiversitas yang ada, tidak hanya
dikarenakan oleh tindakan manusia tetapi juga dikarenakan oleh perubahan iklim dan faktor
lainnya.2 Tentu kita juga harus mempertimbangkan fakta bahwa pengurangan (bahkan
punahnya) suatu spesies merupakan bagian dari proses evolusi.3 Namun, hal demikian
merupakan alasan tambahan untuk semakin menjaga keanekaragaman hayati. Dengan adanya
ancaman atas jumlah spesies yang ada, berbagai tindakan untuk menanggulangi hal tersebut
pun mulai dilakukan, yaitu dengan adanya berbagai bentuk diskusi baik regional maupun
internasional. Negara-negara pun mulai menyadari bahwa diperlukan suatu bentuk kerjasama

1
Philip Hunter, “The Human Impact in Biological Diversity: How Species Adapt to Urban Challenges Sheds
Light on Evolution and Provides Clues about Conservation”, EMBO Reports Volume 8 No 4 (2007), hlm.
316. 316-318.
2
Xingli Giam, et al., “Future Habitat Loss and the Conservation of Plant Biodiversity”, Biological
Conservation No 143 (2010), hlm. 1594. 1594-1602.
3
James Gibbs, Malcolm Hunter, dan E.J. Sterling, Problem-Solving in Conservation Biology and Wildlife
Management (New Jersey: John Wiley & Sons, 2011), hlm. 344.

3
internasional untuk memastikan dilakukannya konservasi dan mencegah terjadinya kepunahan
atas keanekaragaman hayati.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh negara-negara untuk menanggapi situasi tersebut
adalah dengan mengadakan suatu Konvensi mengenai keanekaragaman hayati. Badan dunia
yang berpengaruh pada saat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa, lewat programnya yang berbasis
lingkungan (United Nations Environmental Programme), membentuk abdan Ad Hoc yang
membahas mengenai perlunya dunia internasional memiliki konvensi mengenai
keanekaragaman hayati. Hasil dari Konvensi ini adalah terciptanya the Nairobi Conference for
the Adoption of the Agreed Text of the Convention on Bilogical Diversity pada tanggal 22 Mei
1992.4 Oleh karena itu, PBB menetapkan tanggal 22 Mei setiap tahunnya sebagai peringatan
hari keanekaragaman hayati internasional. Alasan ditandainya tanggal 22 Mei adalah sebagai
upaya dunia untuk meningkatkan pengetahuan lebih terhadap pentingnya keanekaragaman
hayati.5
Satu hal yang harus diketahui dari keanekaragaman hayati tersebut adalah bahwa
pemeliharaan sumber daya alam tersebut sangatlah penting untuk dilakukan. Alasan-alasannya
di antaranya adalah bahwa kesehatan dari lingkungan alam yang kita tempati ini tergantung
dari keanekaragaman hayati tersebut seebagai penyeimbang anatra alam dan spesies. Alasan
lainnya adalah bahwa ekonomi, dengan usaha seperi ecotourism, telah menjalankan usahanya
sekitar dengan keanekaragaman hayati.6 Sehingga, kehidupan manusia tidak bisa diberikan
suatu pemisahan yang keras, apakah keanekagraman hayati masalahnya atau bukan, karena itu
yang merupakan bagian integral dari kehidupan manusia yang hidup di muka bumi ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dalam latar belakang, adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan karya tulis ini adalah sebagi berikut:
1. Bagaimana sejarah pembentukan Convention on Biological Dversity?
2. Apa substansi dari Rescue Agreement?
3. Bagaimana hubungan Convention on Biological Diversity dengan negara berkembang?

4
UN CBD, “History of the Convention,” diakses 17 April 2018.
5
UN CBD, “International Day for Biological Diversity, diakses 17 April 2018.
6
Rene Fester Kratz dan Donna Rae Siegfried, Biology for Dummies (New Jersey: John Wiley & Sons, 2010),
hlm. 384.

4
C. Tujuan Penulisan
Adapun berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada poin sebelumnya, tujuan
dari penulisan makalah ini bertujuan, antara lain:
1. Mengetahui sejarah pembentukan Convention on Biological Diversity;
2. Memahami substansi dari Convention on Biological Diversity;
3. Memahami hubungan antara Convention on Biological Diversity dan negara
berkembang.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Convention on Biological Diversity


Manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan
alamnya. Selain menjadi sumber oksigen yang berguna untuk bernapas, alam juga
menyediakan beranekaragam sumber daya alam hayati yang berguna bagi perkembangan hidup
manusia.
Sumber daya alam hayati tadi lama kelamaan mendapatkan pengakuan dari banyak
pihak sebagai sesuatu yang penting dan harus dijaga. Pemeliharaan sumber daya alam hayati
perlu dilakukan dengan membentuk prinsip dan norma hukum, yang mana hal ini dilakukan
oleh the World Commission Environment and Development (untuk selanjutnya disebut WCED)
sebagai pionir pertama yang merumuskan bahwa negara-negara harus mempertahankan
ekosistem demi keberlangsungan fungsi dari lingkungan alam yang beragam, mempertahankan
keanekaragaman alam sebesar mungkin dengan menjaga habitat asli mereka.7 Untuk merespon
hal ini, United Nations Environment Programme atau Perserikatan Bangsa-Bangsa dari
Program Lingkungan (untuk selanjutnya disebut UNEP) lewat laporannya menginisiasi adanya
suatu instrumen hukum yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati,8 yang juga di dalam
laporan tersebut terdapat rekomendasi ilmiah yang sebelumnya telah dirumuskan oleh para ahli
dari Komite Hukum Lingkungan dan Pusat Hukum Lingkungan International Union for
Conservation of Nature.9 Pada bulan Mei 1989, UNEP mendirikan badan ad hoc yang terdiri
dari para ahli teknis dan legal untuk mempersiapkan sebuah konvensi yang mengatur mengenai
konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati yang berkecukupan.10 Pada tahun 1981,
badan ad hoc tadi diubah namanya menjadi suatu Komite Negosiasi Antar Pemerintah
(Intergovernmental Negotiating Committee) yang di dalamnya diikuti oleh 70 (tujuh puluh)
negara dan pada akhirnya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 44/228
membawa konvensi mengenai keanekaragaman hayati dalam mandat Konferensi Perserikatan

7
Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Cathrine Redgwell, International Law & the Environment (New York:
Oxford University Press, 2009), hlm. 613.
8
United Nations, Multilateral Treaty Framework: An Invitation to Universal Participation Focus 2002:
Sustainable Development (New York: United Nations Reproduction Section, 2002), hlm. 91.
9
PBL Netherlands Environmental Assessment Agency, “History of the Convention on biological Diversity
(CBD),” http://www.pbl.nl/en/dossiers/cop10nagoya/moreinfo/History_CBD, diakses 10 April 2018.
10
Convention on Biological Diversity, “History of the Convention,” https://www.cbd.int/history/, diakses
10 April 2018.

6
Bangsa-Bangsa mengenai Lingkungan dan Perkembangan. Sejak tahun 1990, para negara
anggota G7 telah mendukung konsep dari perkembangan kekayaan hayati dalam commniqués
akhir mereka dengan cara mendorong penandatanganan dan ratifikasi konvensi kekayaan alam
hayati mengakui pentingnya mengimplementasi tujuan dan sasaran konvensi, serta
menegaskan kembali komitmen untuk menciptakan tindakan negara dalam merumuskan
strategi kekayaan hayati yang komprehensif.11 Harapan demikian kemudian terwujud dalam
suatu konvensi yang siap untuk ditandatangani dalam Pertemuan Rio pada bulan Juni 199212
dan dinamakan United Nations Convention on Biological Diversity (untuk selanjutnya disebut
UN CBD).
Salah satu hal yang perlu diketahui dalam pembentukan UN CBD adalah adanya
perbedaan pandangan antara negara maju dan negara berkembang mengenai rezim ekonomi
yang ada di dalam rumusan UN CBD. Negara-negara berkembang melihat UN CBD sebagai
jalan untuk merestrukturisasi hubungan ekonomi dunia seperti pemakaian sumber daya alam
yang sewajarnya, peralihan teknologi dan keuangan untuk membantu melindungi kekayaan
alami tadi.13 Sedangkan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, menentang pandangan
negara berkembang dengan dalih bahwa jika yang diinginkan negara berkembang terwujud,
maka hal tersebut akan memperlambat pertumbuhan teknologi biologi dan mengurangi esensi
dari perlindungan atas ide-ide yang muncul yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber
daya kekayaan alam hayati.14

B. Tujuan dan Prinsip UNCBD


Tujuan dari UN CBD ini pada dasarnya adalah berusaha untuk mempertahankan dan
membangun kembali kekayaan alam selagi tetap menunjang kehidupan manusia dalam tataran
yang seimbang.15 Secara teknis, tujuan ini dituangkan dalam Pasal 1 UN CBD yaitu bahwa
terdapat 3 (tiga) tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak dalam pemberlakuannya. Tujuan-
tujuan tersebut adalah (1) adanya konservasi keanekaragaman, (2) pemakaian yang

11
Eleonore Kokkotsis, Keeping International Commitments: Compliance, Credibility and the G7 1988-1995
(New York dan London: Garland Publishing, Inc, 1999), hlm. 141.
12
Michael Bowman dan Catherine Redgwell, eds., International Law and the Conservation of Biological
Diversity (London: Kluwer Law International, 1996), hlm. 35.
13
Kal Raustiala dan David G. Victor, “Biodiversity Since Rio: The Future of the Convention on Biological
Diversity,” Environment 38 (Mei 1996), hlm. 3.
14
James Brooke, “The Earth Summit; President, In Rio, Defends His Stand on Environment,”
https://www.nytimes.com/1992/06/13/world/the-earth-summit-president-in-rio-defends-his-stand-on-
environment.html, diakses 10 April 2018.
15
Gudrun Henne dan Saliem Fakir, “The Regime Building of the Convention on Biological Diversity on the
Road to Nairobi,” Max Planck UNYB 3 (1999), hlm. 315.

7
berkelanjutan, dan (3) pembagian keuntungan yang didapat dari sumber daya alam genetika
secara adil dan wajar. Ketiga tujuan ini menjadi komitmen mengikat yang bisa dilihat dalam
Pasal 6 hingga Pasal 20. Menurut G.K. Rosendal dalam bukunya yang berjudul The Convention
on Biological Diversity and Developing Countries, dua tujuan pertama UN CBD menyangkut
sektor-sektor yang saling berhubungan, yaitu ancaman-ancaman terhadap keanekaragaman
hayati, seperti pengrusakan habitat, eksploitasi yang berlebihan, atau pemindahan habitat
hewan-hewan tertentu, yang mana berhubungan dengan kegiatan manusia di bidang industri,
pertanian, dan kehutanan. Lebih lanjut, ia juga menerangkan bahwa negara-negara anggota
memiliki diskresi untuk mengatur sendiri secara lebih lanjut. Sedangkan tujuan ketiga, menurut
Rosendal, akan lebih mudah untuk dicapai oleh negara-negara anggota karena manfaat akan
dengan mudah terlihat: tiap negara memiliki kedaulatan untuk menentukan akses ke sumber
daya genetik yang berada di teritorinya serta berhak memberikannya kepada negara lain dengan
syarat adanya persetujuan yang telah diberitahukan sebelumnya dan pemenuhan syarat-syarat
yang telah disepakati bersama dan juga negara berhak untuk mendapatkan keuntungan
komersial dari sumber daya tersebut. Rosendal menuliskan bahwa keuntungan yang dapat
didapatkan oleh negara paling tidak dapat berupa keikutsertaan dalam riset pemanfaatan
sumber daya, menerima teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya,
menikmati bersama keuntungan yang didapatkan dari penggunaan sumber daya genetik secara
adil dan wajar.16 Jika diperhatikan, ketiga tujuan ini terdengar sangat ambisius, namun pada
saat yang bersamaan juga menghasilkan pemaknaan yang samar-samar: menjaga pertumbuhan
yang berkelanjutan sambil melindungi dan memakai sumber daya hayati tanpa mengurangi
keberagaman spesies atau merusak habitat dan ekosistem.17
Selain tujuan, terdapat prinsip yang ada di dalam pengaturan UN CBD yang tertera
dalam Pasal 3, yaitu tiap negara atas dasar kedaulatannya memiliki hak untuk memanfaatkan
sumber daya alamnya menurut kebijakan lingkungan negaranya yang mana juga dibatasi oleh
tanggung jawab mereka untuk memastikan bahwa aktivitas pemanfaatan sumber daya alam
yang terjadi di dalam teritorinya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan melewati yurisdiksi
negara mereka. Rezim UN CBD dapat dikatakan merupakan suatu perjanjian yang

16
G. Kristin Rosendal, The Convention on Biological Diversity and Developing Countries (AA Dordrecht:
Kluwer Academic Publishers, 2000), hlm. 18.
17
Christian Lévêque dan Jean-Claude Mounolou, Biodiversity [Biodiversité, Dynamique biologique et
conservation], diterjemahkan oleh Vivien Reuter (West Sussex: John Wiley & Sons Ltd, 2003), hlm. 226.

8
berkarakteristik moderen dalam artian perjanjian yang dikembangkan secara bertahap yang
berimplikasi terhadap adanya prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan.18

C. Status Hukum dari Keanekaragaman Hayati


Sumber kekayaan hayati berada di wilayah suatu negara yang dengan demikian jatuh ke
dalam wilayah kekuasaan negara tersebut untuk diatur dan dikuasai. Sumber kekayaan hayati,
yang termasuk ke dalam sumber daya alam, masuk dalam pengaturan yang prinsipnya adalah
permanent sovereignty (kedaulatan permanen) sebagai basis dari self-determination
(penentuan nasib sendiri). Prinsip ini dituangkan dalam Resolusi 1803 (XVII) yang mengatur
bahwa negara-negara dan organisasi internasional harus menghormati kedaulatan negara atas
kekayaan alam dan sumber dayanya menurut Piagam PBB dan prinsip-prinsip yang ada di
dalam resolusi, seperti pengaturan eksplorasi, perkembangan, dan persediaan sumber daya
alam akan diatur oleh negara itu sendiri dan jika hak demikian dilanggar maka akan
bertentangan dengan semangat dan prinsip dari Piagam PBB dan akan mengahalangi
perdamaian dunia.19 Kedaulatan permanen yang ada di dalam negara pemilik sumber daya
alam hayati adalah (1) hak untuk membuang secara bebas sumber daya alam; (2) hak untuk
mengeksplor dan mengeksploitasi sumber daya alam secara bebas, (3) hak untuk menggunakan
sumber daya alam untuk perkembangan, (4) hak untuk mengatur mengenai investasi asing, dan
(5) hak untuk menyelesaikan sengketa dengan memakai hukum nasional.20
Namun, jika melihat pada ketentuan dalam Pasal 6-9 UN CBD, maka sebenarnya
prinsip kedaulatan permanen atau pengaturan negara terhadap sumber daya alamnya tidak
sebebas itu. Contohnya, dalam Pasal 6 yang mengamanatkan kepada negara untuk membuat
strategi, rencana, dan program nasional dalam konservasi dan penggunaan sumber daya alam
yang berkelanjutan, Pasal 7 yang mengamanatkan agar para negara anggota mengidentifikasi,
memantau komponen kekayaan hayati yang penting berkaitan dengan konservasi dan
penggunaan yang berkelanjutan, Pasal 8 yang menentukan bahwa anggota negara mendirikan
sistem konservasi in-situ21 yang digunakan untuk melindungi area yang memang harus

18
Dire Tladi, Sustainable Development in International Law: Analysis of Key Enviro-Economic Instruments
(Cape Town: Pretoria Univeristy Law Press, 2007), hlm. 170.
19
Perserikatan Bangsa-Bangsa, General Resolution 1803 (XVII) of the Permanent Sovereignty over Natural
Resources, 14 Desember 1962.
20
Sangwani Patrick Ng’ambi, “Permanent Sovereignty Over Natural Resources and the Sanctity of
Contracts, From the Angle of Lucrum Cessans,” Loyola University Chicage International Law Review 12
(2015), hlm. 154.
21
Konservasi in-situ adalah adalah konservasi yang dilakukan dengan cara mengkonservasi flora-fauna di
dalam lingkungan asal atau asli. Metode konservasi in-situ adalah konservasi yang dilakukan dengan

9
dilindungi demi melestarikan keanekaragaman hayati, atau dalam Pasal 9 yang menyatakan
bahwa anggota negara untuk mendirikan dan memelihara konservasi ex-situ22 dari komponen-
komponen keanekaragaman hayati, jika bisa dilakukan di negara sebagai habitat asli dari
komponen-komponen tersebut.
Dalam mukadimah UN CBD, disebutkan bahwa keanekaragaman hayati adalah
berprinsip common concern of humankind atau urusan bersama umat manusia. Berdasarkan
pandangan Birnie, Boyle dan Regwell dalam bukunya yang berjudul International Law and
the Environment, prinsip urusan bersama umat manusia tidak mengatur mengenai milik atau
warisan bersama dan menegaskan kembali kedaulatan negara atas sumber daya alamnya.
Mereka kemudian menjelaskan dari pertanyaan apakah konsep ini memiliki dampak hukum
terhadap pelaksanaannya, yaitu bahwa prinsip urusan bersama umat manusia memberikan
komunitas internasional sebuah kepentingan yang logis atas sumber daya alam yang penting
untuk dunia dan tanggung jawab bersama untuk membantu agar sumber daya alam tersebut
tetap berkembang secara berkelanjutan. Birnie, Boyle, dan Redgwell juga menegaskan kembali
bahwa kedaulatan negara tidak absolut dan harus dilaksanakan berdasarkan tanggung jawab
dunia yang telah dituliskan seperti di dalam UN CBD dan instrumen-instrumen lainnya.23
Prinsip ini pada dasarnya tidak mempertanyakan hak negara untuk melaksanakan
kedaulatannya atas sumber daya alam, namun jika sumber daya ini memiliki kepentingan
global yang sangat berarti, misalnya dapat menghilangkan kemiskinan, migrasi, atau
pencegahan konflik, maka kebebasan yang dimiliki tadi tidak akan sebebas seperti yang
semestinya.24

D. Pembahasan Pasal-Pasal
a. Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment)
Sumber daya alam hayati merupakan salah satu sumber daya yang dapat
diperbarui. Sumber daya alam hayati, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, berada
di bawah kedaulatan negara dan pada dasarnya dapat digunakan secara bebas. Namun,

mengkonservasi flora-fauna dengan cara dijaga di dalam ekosistem yang alami tanpa campur tangan
manusia. Lihat Purnomo, Praktik-praktik Konservasi Lingkungan Secara Tradisional di Jawa (Malang:
Universitas Brawijaya Press, 2015), hlm. 19.
22
Konservasi ex-situ adalah cara konservasi yang memelihara spesies flora maupun fauna di luar
habitatnya, metode ini digunakan jika tidak terjadi ancaman yang berbahaya atau terancam bagi kehidupan
manusia. Lihat juga Purnomo, Praktik-praktik Konservasi Lingkungan Secara Tradisional di Jawa, hlm 19.
23
Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgwell, International Law and the Environment, hlm. 130.
24
Harald Ginzky, “The Sustainable Management of Soils as a Common Concern of Humankind: How to
Implement It?,” International Yearbook of Soil Law and Policy 2017 (2017), hlm. 436.

10
seperti yang sudah dijelaskan pula sebelumnya, prinsip kebebasan itu tidak bisa
diinterpretasikan secara absolut karena dalam Pasal 6-9 UN CBD mengatur bahwa ada
bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh negara dalam memanfaatkan
keanekaragaman hayati. Bentuk pertanggungjawaban itu salah satu bentuknya adalah
analisis dampak lingkungan (environmental impact assessment). Analisis dampak
lingkungan, seperti yang dimaknai oleh UNEP, adalah sebuah metode yang digunakan
untuk mengidentifikasi dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari suatu rencana
sebelum adanya pengambilan keputusan. 25 Dengan demikian, tiap pengambilan
keputusan oleh negara yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan harus direncanakan
terlebih dahulu yang membutuhkan bukti-bukti dan kepastian ilmiah untuk
dipertimbangkan terlebih dahulu.
Menurut pendapat Michael Bowman dan Catherine Redgwell, pengaturan UN
CBD tidak menuliskan prinsip kehati-hatian (the precautionary principle) dan
mengatakan bahwa tidak dirumuskannya prinsip kehati-hatiannya secara eksplisit tidak
membuat negara dapat secara bebas untuk menghiraukan dampak apa yang akan
muncul dari tindakannya terhadap keanekaragaman hayati yang ada di dalam
kuasanya. 26 Perlu diketahui sebelumnya mengenai pasal yang fokus terhadap analisis
mengenai dampak lingkungan dapat dilihat dalam Pasal 14 UN CBD. Pasal tersebut
mefokuskan diri terhadap penilaian dampak dan upaya meminimalisir dampak yang
merugikan, yang mana harus dilakukan seluas dan sewajarnya. Namun, menurut
Penulis, prinsip kehati-hatian justru diadposi oleh UN CBD dengan menuliskan dalam
mukadimahnya bahwa “where there is a threat of significant reduction or loss of
biological diversity, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for
postponing measures to avoid or minimize such a threat” (atau dalam Bahasa
Indonesianya: ketika ada ancaman pengurangan atau kehilangan keanekaragaman
hayati, ketiadaan kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda prosedur
pencegahan) dan juga rumusan-rumusan dalam Pasal 14 UN CBD yang menuliskan
bahwa negara harus memiliki prosedur analisis mengenai dampak lingkungan terhadap
rencana-rencana lingkungan yang disinyalir akan menimbulkan akibat yang buruk dan
jika bisa memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam

25
CBD Secretariat, “What is Impact Assessment?” https://www.cbd.int/impact/whatis.shtml, diakses 14
April 2018.
26
Michael Bowman dan Catherine Redgwell, eds., International Law and the Conservation of Biological
Diversity, hlm. 40.

11
prosedur tersebut (butir a) atau memiliki pengaturan untuk memastikan bahwa dampak
lingkungan dari suatu rencana dan kebijakan yang dimungkinkan memiliki pengaruh
yang buruk akan dipertimbangkan (butir b). Namun, hal yang harus diketahui adalah
dalam praktiknya, pengaplikasian prinsip kehati-hatan hanya dapat diketahui ketika
sudah ada alasan-alasan yang cukup yang dapat diprediksi akan menjadi ancaman bagi
pengurangan atau kehilangan sumberdaya alam hayati, bahwa para pembuat kebijakan
juga akan mengetaui bahwa para ahli saja juga saling memperdebatkan alasan apa saja
yang cukup untuk dijadikan indikator adanya dampak buruk yang akan muncul.27
b. Keramahtamahan (Good Neighbourliness)
Perlu sekiaranya dibahas terlebih dahulu mengenai prinsip keramahtamahan
atau good neighbourliness. Prinsip ini adalah suatu prinsip yang terkenal dan salah satu
yang terpenting dalam hukum internasional dan salah satu tekad PBB untuk
mewujudkannya yang dirumuskan dalam Piagam PBB yaitu “to practice tolerance and
live together in peace with one another as good neighbours” (dalam bahasa Indonesia:
untuk memiliki toleransi dan hidup bersama dalam kedamaian bersama satu dengan
yang lainnya sebagai tetangga yang baik) dan diterima sebagai prinsip umum oleh
semua negara anggota PBB. Ia juga menuliskan bahwa prinsip keramahtamahan adalah
salah satu kunci untuk membangun fondasi perdamaian antar negara-negara karena
pelaksanaan hak-hak yang berasal dari kedaulatan suatu negara hanya bisa dilakukan
ketika prinsip ini dihormati dalam hubungan antar pemerintahan negara.28
Dalam konteks hukum lingkungan, prinsip good neighbourliness berkaitan
dengan tugas untuk bekerja sama dalam menginvestigasi, mengenali, dan menghindari
ancaman lingkungan.29 Prinsip keramahtamahan dalam UN CBD dituangkan dalam
Pasal 14, khusunya dalam butir c dan d. Prinsip ini diadopsi oleh UN CBD dengan
memberikan pemberitahuan, pertukaran informasi, dan konsultasi mengenai aktivitas
yang dilakukan oleh sebuah negara yang diprediksi akan menghasilkan dampak yang
berbahaya terhadap keanekaragaman hayati negara lain atau paling tidak akan
membahayakan daerah di luar yurisdiksi suatu negara tersebut (butir c). UN CBD juga
mengamanatkan kepada negara untuk memberitahukan negara yang berpotensi akan

27
Ad van Dommelen, “The Precautionary Principle: Dealing with controversy,” Biotechnology and
Development Monitor 43 (Desember 1997), hlm. 8.
28
Elena Basheska, The Position of the Good Neighbourliness Principle in International and EU Law, (Leiden:
Koninklijke Brill, 2015), hlm. 24.
29
Max Valverde Soto, “General Principles of International Environmental Law,” ILSA Journal of
Internatonal & Comparative Law 3 (1996), hlm. 197.

12
terkena dampak dari aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan yang dilakukan negara
dan juga (kewajiban negara yang melakukan aktivitas tadi) untuk memprakarsai
tindakan-tindakan untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir ancaman atau
bahaya tersebut (butir d).
Satu hal yang menurut Penulis merupakan konsekuensi dari adanya kerugian
yang ditimbulkan atas pelaksanaan aktivitas lingkungan oleh suatu negara adalah
timbulnya kewajiban untuk mengganti segala bentuk konsekuensi dari aktivitas
tersebut. Namun, UN CBD tidak mengatur mengenai hal ini. UN CBD hanya (sedikit)
menyinggung mengenai hal ini di dalam Pasal 14 ayat (2) dengan merumuskan bahwa
konferensi akan membahas mengenai masalah pertanggungjawaban dan ganti rugi,
termasuk pemulihan dan kompensasi untuk kerusakan yang terjadi terhadap
keanekaragaman hayati, kecuali jika pertanggungjawaban tersebut adalah masalah
internal.
c. Konservasi (Conservation)
Sebelum membahas mengenai pengaturan konservasi dalam Konvensi, ada
baiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan konservasi,
khususnya dalam kaitannya dengan sumber daya keanekaragaman hayati. Konservasi
keanekaragaman hayati adalah pengelolaan dari penggunaan manusia atas
keanekaragaman hayati agar mendapatkan keuntungan terbaik, baik untuk masa
sekarang dan untuk masa yang akan datang.30 Dalam buku yang berjudul History and
Philosophy of Science and Technology – Volume II, disebutkan bahwa dahulu, terdapat
daerah-daerah yang dilindungi yang tidak termasuk ke dalam konservasi
keanekaragaman hayati, namun digunakan sebagai lahan untuk berburu bagi anggota
kerajaan dan para bangsawan ataupun untuk kepentingan budaya dan agama, ataupun
untuk tujuan keindahan dan rekreasi. Buku ini menambahkan bahwa pada akhirnya
banyak negara yang menyadari pentingnya untuk dilakukannya konservasi terhadap
keanekaragaman hayati pada saat mereka hampir kehilangan suatu komponen.31
Dalam UN CBD, pengaturan mengenai konservasi diatur dalam Pasal 5-9. Pasal
5 membahas mengenai kerja sama antar negara pihak dalam perjanjian melalui
organisasi internasional dalam konteks daerah yang melewati batas yurisdiksi nasional

30
Mohammed Kasso dan Mundanthra Balakrishnan, “Ex Situ Conservation of Biodiversity with Particular
Emphasis to Ethiopia,” ISRN Biodiversity 2013 (Agustus 2013), hlm. 2.
31
Pablo Lorenzano, et.al.,eds., History and Philosophy of Science and Technology (Oxford: Eolss
Publishers, 2010), hlm. 55.

13
dan hal-hal lain yang merupakan kepentingan bersama yang berkaitan dengan
konservasi dan penggunaan berkelanjutan keanekaragaman hayati.
Dalam Pasal 6 UN CBD membahas mengenai ukuran-ukuran yang menjadi
standar dalam melaksanakan konservasi dan penggunaan berkelanjutan, seperti negara
pihak perjanjian harus memiliki strategi, rencana, atau program untuk pelaksanaan
konservasi dan penggunaan berkelanjutan atau menyesuaikan diri dengan strategi yang
ada di dalam Konvensi yang mana menganut nilai-nilai yang ada di dalam Konvensi
(butir a). UN CBD juga mengatur bahwa negara pihak perjanjian untuk
mengintegrasikan konservasi dan penggunaan sumber daya hayati yang berkelanjutan
ke dalam rencana, program, dan kebijakan sektoral maupun lintas sektoran.
Pasal 7 UN CBD membahas mengenai negara peserta perjanjian untuk
mengenali komponen-komponen mana saja dari sumber daya keanekaragaman hayati
yang harus dikonservasi dan digunakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan
daftar kategori yang telah dituliskan dalam Annex I. Selain itu, negara juga harus
mengamati komponen-komponen sumber daya hayati tadi dan memberikan perhatian
yang lebih terhadap sumber daya yang membutuhkan konservasi dan terhadap sumber
daya yang dapat digunakan secara berkelanjutan. Negara pihak Konvensi ini juga harus
mengidentifikasi kegiatan yang menghasilkan dampak yang berbahaya terhadap
konservasi dan penggunaan berkelanjutan dari sumber daya hayati dan terus mengamati
efek-efek tersebut dan juga tidak lupa untuk menjaga dan mengorganisir kegiatan-
kegiatan tersebut.
Pasal 8 dan Pasal 9 dari UN CBD akan berfokus terhadap konservasi in-situ dan
ex-situ. Konservasi in-situ adalah konservasi terhadap spesies tumbuhan dan binatang
di habitat mereka sendiri, yang mana di dalamnya mereka berkembang secara alami,
sedangkan konservasi ex-situ pada dasarnya adalah konservasi terhadap spesies-spesies
di luar habitat alaminya atau juga bisa didefinisikan sebagai konservasi yang mencakup
segala strategi yang dikembangkan oleh manusia untuk menkonservasi plasma nutfah32
di luar habitat alami, yang khususnya diterapkan terhadap agrobiodiversitas.33

32
Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian
dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik. Lihat N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi
Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 500.
33
Centro Internacional de Agricultura Tropical, Universidad Nacional de Colombia-Sede Palmira,
Biodiversity International, REDCAPA, CTA, Multi-Institutional Distance Learning Course on the Ex Situ
Conservation of Plant Genetic Resources (s.l: The Intellectual Property of the Course Materials, 2007), hlm.
14.

14
Konservasi, baik in-situ maupun ex-situ, merupakan penetapan dan pengelolaan daerah
yang terlindungi dan institusi penelitan serta institusi pendidikan. Menurut Kasso dan
Balakhrishnan, konsep in-situ dan ex-situ secara pokoknya berbeda: konservasi ex-situ
adalah pemeliharaan sumber daya alam di luar lingkungan yang biasanya, sedangkan
konservasi in-situ membiarkan sumber daya alam untuk tumbuh berkembang atas
pengaruh alam itu sendiri.34
Untuk konservasi in-situ, ia memiliki pendekatan yang ditargetkan kepada
populasi dari spesies tertentu atau terhadap ekosistem secara keseluruhan. Poin yang
harus diketahui adalah kedua pendekatan ini memiliki tujuan yang sama: untuk
memungkinkan keanekaragaman hayati untuk mempertahankan diri mereka dalam
ekosistemnya, yaitu untuk mempertahankan potensi untuk tetap terus berkembang
biak.35
Dalam buku yang berjudul Biodiversity: Perception, Peril, and Preservation,
konservasi ex-situ memerlukan teknik-teknik dan fasilitas untuk penyimpanan sumber
daya alam hayati. Buku ini juga menjelaskan bahwa pengolahan dan pemeliharaan dari
flora dan fauna dapat dilakukan di dalam kebun binatang, kebun raya, maupun
laboratorium yang berada di bawah kontrol otoritas yang berwenang.36 Pada akhir tahun
2007, telah diestimasi bahwa 30 (tiga puluh) hingga 40 (empat puluh) persen dari
tumbuhan yang terancam secara global telah masuk ke dalam program konservasi ex-
situ.37

E. Convention on Biological Diversity dan Negara Berkembang (Developing


Countries)
Beberapa dekade terakhir ini telah terjadi banyak permasalahan lingkungan, khususnya
yang bersifat lintas batas atau transborder environmental problems. Melihat hal ini, perjanjian
baik yang bersifat bilateral, regional, maupun internasional dilakukan untuk menghadapi
permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah mengenai
keanekaragaman hayati atau dikenal sebagai biological diversity. Hal yang paling signifikan

34
Mohammed Kasso dan Mundanthra Balakrishnan, “Ex Situ Conservation of Biodiversity with Particular
Emphasis to Ethiopia,” hlm. 2.
35
UN Environment, “Biodiversity A-Z,” diakses 17 April 2018.
36
Prabodh K. Maiti dan Paulami Maiti, Biodiversity: Perception, Peril and Preservation, ed.2 (Delhi: PHI
Learning Private Limited, 2017), hlm. 513.
37
Alexander Gillespie, Conservation, Biodiversity and International Law (Massachusetts: Edward Elgar
Publishing, 2011) hlm. 521.

15
adalah bagaimana melakukan konservasi biodiversitas yang dimana jumlah spesies tanaman
dan hewan terdapat di hutan dan lautan tropis, yang dimana area yang kaya akan spesies ini
berada dalam territorial yang masuk dalam jurisdiksi negara berkembang. Dengan adanya
Convention on Biological Diversity (CBD) yang disahkan di Rio pada tahun 1992,38 hal
tersebut dilatar belakangi oleh persetujuan negara-negara yang menyadari bahwa hilangnya
atau berkurangnya biodiversitas merepresentasikan suatu bentuk bahaya kepada kebutuhan
dasar manusia, seperti makanan dan obat-obatan. Namun, yang menjadi kendala adalah,
walaupun spesies tersebut banyak terdapat di negara berkembang, di negara tersebut pula yang
kerap kali terjadi hilangnya atau berkurangnya keanekaragaman hayati.39 Dengan begitu,
dalam proses negosiasinya, ditetapkan bahwa perlunya untuk dilakukan suatu bentuk
konservasi biodiversitas yang ada di negara berkembang, sehingga CBD dalam hal ini
mengandung prinsip konservasi biodiversitas, penggunaan berkelanjutan (sustainable use) dari
komponen-komponennta, dan pembagian yang adil (equitable sharing) dari pemanfaatan
sumber daya.40
Dalam permasalahan konservasi biodiversitas, agar tidak terjadi pengurangan spesies,
negara berkembang yang dimana spesies tersebut paling banyak berada harus melakukan
tindakan-tindakan yang dapat menunjang konservasi tersebut. Diperlukan adanya suatu bentuk
kerjasama antara negara berkembang dengan negara maju, yang dimana negara maju memiliki
sumber daya finansial dan teknologi yang lebih mumpuni dalam hal perlindungan spesies
dibandingkan dengan negara berkembang. Hanya saja, setelah dilakukan observasi, terdapat
beberapa hal yang menjadi perdebatan dalam permasalahan negara berkembang dalam
melakukan konservasi biodiversitas. Pertama, adanya ketakutan dari negara berkembang
bahwa konservasi tersebut banyak disuarakan oleh negara maju atau negara industri Barat,
yang dimana ditakutkan sebagai bentuk imperialism. Negara berkembang mengkhawatirkan
jika konservasi dilakukan oleh negara maju, maka hal tersebut dapat membawa kemungkinan
dilakukannya intrusi yang bersifat neo-kolonialisme terhadap aturan nasional mereka.41 Hal ini
dikaitkan dengan prinsip self-determination amongst people dan juga perlindungan terhadap

38
Klaus Töpfer, introduction to How the Convention on Biological Diversity Promotes Nature and
Human Well-Being, (Montreal: Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2000), hlm. i
(Foreword by Klaus Töpfer as the Executive Director of UNEP).
39
G. Kristin Rosendal, The Convention on Biological Diversity and Developing Countries, (Berlin:
Springer-Science+Business Media, 2000), hlm. x (Abstrak).
40
Verein für Umweltmanagement und Nachhaltigkeit in Finanzinstituten e.V., “Biodiversity Principles:
Recommendations for the Financial Sectors”, Forum Biodiversity (2008), hlm. 11.
41
Vandana Shiva, Biodiversity: A Third World Perspective, (Penang: Third World Network, 1992), hlm.
14-18.

16
hak asasi manusia yang bersifat individual dalam demokrasi. Selain itu, yang kedua adalah
bahwa adanya persepsi dalam negara berkembang yang memperlihatkan bahwa dengan adanya
kepemilikan spesies keanekaragaman hayati yang belum seluruhnya dimanfaatkan dalam
wilayah negara mereka, hal ini seakan memberikan peluang yang tak tertandingi dibandingkan
dengan negara maju yang memiliki industry serta segala bentuk teknologi biodiversitasnya.
Sehingga, hal ini seakan-akan merupakan suatu bentu rivalry antara negara berkembang
dengan negara maju, yang dimana negara berkembang mengedepankan kekayaan biodiversitas
dan spesies yang dimiliki olehnya.42 Dengan adanya perdebatan-perdebatan tersebut, maka
dalam hal untuk memastikan bahwa konservasi biodiversitas tetap dilakukan, serta untuk
memberikan posisi terhadap negara berkembang atau Grup 77 dalam konservasi atau
keanekaragaman hayati, maka dalam intergovernmental meeting yang dilakukan di Konferensi
Rio (Rio Conference on Environment and Development), isu atas kebijakan negara berkembang
dibicarakan, sehingga CBD dibentuk dan disetujui dengan merefleksikan perspektif negara
berkembang dalam permasalahan konservasi biodiversitas.43
Dalam CBD, negara berkembang atau developing countries telah disebutkan
keberadaannya dalam Mukadimahnya. Hal ini kembali kepada urgensi untuk dilakukannya
konservasi biodiversitas yang dimana keanekaragaman hayati serta spesiesnya banyak berada
dalam negara-negara berkembang. Dalam Paragraf 16 Mukadimah CBD dinyatakan bahwa
ketentuan khusus, termasuk ketentuan baru maupun tambahan mengenai sumber finansial dan
akses yang dibutuhkan terhadap teknologi yang relevan, haruslah diatur dalam CBD untuk
membantu negara berkembang mencapai apa yang dibutuhkannya.44 CBD juga tidak
melupakan mengenai kebutuhan yang lebih khusus lagi yang diperlukan oleh negara yang
least-developed serta negara yang terdiri dari pulau-pulau kecil.45 Dengan demikian, untuk
mencapai konservasi tersebut, maka diperlukan adanya substantial investment dengan
ekspektasi bahwa investasi tersebut tidak hanya menguntungkan dari segi lingkungan tetapi
juga dari segi ekonomi dan sosial.46 Investasi yang dilakukan ini memiliki capaian bahwa
dalam melakukan konservasi, hal tersebut tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati,
tetapi juga memberikan dampak terhadap kebutuhan dasar manusia, sebagaimana manusia

42
R. Jayakumar Nayar dan David Mohan Ong, “Developing Countries, ‘Development’, and the
Conservation of Biological Diversity”, in International Law and the Conservation of Biological Diversity,
(Great Britain: Kluwer Law International, 1995), hlm. 237.
43
Ibid, hlm. 238.
44
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Preamble Para. 16.
45
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Preamble Para. 17.
46
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Preamble Para. 18.

17
bergantung terhadap lingkungan sekitarnya untuk tetap hidup. Hal ini dijalankan tanpa
melupakan bahwa negara-negara berkembang juga memiliki prioritas lainnya, yaitu
perkembangan ekonomi dan sosial serta poverty eradication yang merupakan prioritas pertama
dan utama.47 Dalam hal inilah peran negara maju diperlukan dalam melakukan koservasi
biodiversitas, yaitu dalam membantu negara berkembang untuk melindungi keanekaragaman
hayati yang ada di negaranya, yang tentunya yang menjadi kendala utama dalam melakukan
hal tersebut adalah masalah finansial.
Kembali kepada urgensi dibuatnya CBD, hal ini berkaitan dengan aktivitas manusia
yang kerap kali memberikan dampak terhadap keanekaragaman hayati,48 sehingga dalam CBD
dinyatakan bahwa hilangnya atau berkurangnya spesies tanaman atau hewan atau gen
merupakan adanya ancaman nyata terhadap eksistensi tersebut. Beberapa aktifitas manusia
dapat memberikan dampak berupa terganggunya ekosistem, yang dimana salah satunya adalah
ketiadaan hutan tropis yang kemudian berdampak terhadap keanekaragaman hayati. Jika
medium bagi makhluk hidup ditiadakan, maka makhluk hidup itu sendiri akan sangat sulit
untuk dapat bertahan hidup, yang kemudian berujung kepada kepunahan.49 Dengan demikian,
dalam diskusi yang diadakan dalam Konferensi Rio tersebut, untuk menjalankan dan
mengimplementasikan konservasi biodiversitas, khususnya dalam konteks pengembangan,
harus dilakukan dengan empat poin, yaitu:50
1. The nature of differentiated responsibility on levels of ‘development’ (common but
differentiated responsibilities);
2. The terms and conditions of technology transfers;
3. The provision of “new and additional” financial resources;
4. The terms of equitable sharing of the benefits resulting from the sustainable use of
biodiversity.
Poin-poin ini didasarkan kepada substansi daripada CBD itu sendiri khususnya yang secara
khusus mengatur mengenai negara berkembang.
a. Common but Differentiated Responsibilities
Prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) telah
berkembang sejak adanya gagasan mengenai ‘common heritage of mankind’ dan

47
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Preamble Para. 19.
48
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Preamble Para. 6.
49
Luc Hens dan Emmanuel K. Boon, “Causes of Biodiversity Loss: A Human Ecological Analysis”,
MultiCiência (2003), hlm. 7.
50
Nayar dan Mohan Ong, “Developing Countries, ‘Development’, …”, hlm. 246-247

18
merupakan suatu manifestasi dari prinsip umum yang ada di hukum internasional.51
Hal ini kembali kepada Deklarasi Rio khususnya Prinsip 7 yang menyatakan:
“In view of the different contributions to global environmental
degradation, States have common but differentiated responsibilities. The
developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the
international pursuit of sustainable development in view of the pressures
their societies place on the global environment and of the technologies and
financial resources they command.”52

Berdasarkan Prinsip 7 Deklarasi Rio ini, setiap negara memiliki kontribusi yang
berbeda dalam hal mengatasi degradasi lingkungan global. Prinsip CBDR memiliki
arti bahwa common responsibility yang merupakan suatu shared obligation antara
dua atau lebih negara terhadap perlindungan atas kekayaan lingkungan tertentu,
yang dimana dalam hal ini adalah keanekaragaman hayati.
Common responsibility dapat diterapkan terhadap kekayaan bersama, yang
tidak berada dibawah kontrol negara manapun, atau berada di bawah sovereign
control suatu negara, tetapi merupakan subjek dari common legal interest, dimana
keanekaragaman hayati merupakan common concern of humankind.53 Selain itu,
differentiated responsibility yang dimiliki oleh setiap negara, bagi perlindungan
atas lingkungan, yang telah menerima suatu perjanjian internasional dan praktek
negara, maka memiliki standar lingkungan yang berbeda-beda, seperti kebutuhan
khusus dan kondisi lingkungan. Hal ini memiliki arti bahwa setiap negara memiliki
tanggungjawab yang berbeda-beda, yang bertujuan untuk mengembangkan
substantive equality antara negara maju dan negara berkembang. Tujuan ini
dilakukan untuk memastikan bahwa negara berkembang dapat menyesuaikan
kebutuhan mereka dengan aturan hukum sesuai waktunya.54 Sehingga, CBDR
tidak merepresentasikan kewajiban hukum, melainkan memberikan dasar hukum

51
CISDL, “A Principle of Common but Differentied Responsibilities”, A CISDL Legal Brief for the World
Summit on Sustainable Development 2002 in Johannesburg (26 Agustus 2002), hlm. 1.
52
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Declaration, 1992, Prinsip 7.
53
Chelsea Bowling, Elizabeth Pierson, dan Stephanie Ratté, “The Common Concern of Humankind: A
Potential Framework for a New International Legally Binding Instrument on the Conservation and
Sustainable Use of Marine Biological Diversity in the High Seas”, United Nations Publications on
Biodiversity, hlm. 3.
54
CISDL, “A Principle of Common but Differentied Responsibilities”, A CISDL Legal Brief for the World
Summit on Sustainable Development 2002 in Johannesburg (26 Agustus 2002), hlm. 2.

19
dan filosofis atas kewajiban hukum yang telah ada, termasuk instrument-instrumen
yang dibentuk untuk mencapai objektif melalui berbagai tindakan lingkungan
internasional.55
Dalam CBD, CBDR ini diatur dalam Pasal 20 Angka 4 CBD. Pasal 20 CBD
membicarakan mengenai financial resources, yang dimana letak CBDR dapat
dilihat pada angka 4 yang menyatakan bahwa agar negara berkembang dapat
mengimplementasikan komitmen mereka secara efektif sesuai dengan Konvensi
ini, maka hal tersebut bergantung kepada implementasi efektif yang dilakukan oleh
negara maju yang berkomitmen berdasarkan Konvensi ini, yaitu yang berkaitan
dengan sumber penghasilan finansial dan transfer teknologi, dengan mengingat
bahwa perkembangan ekonomi dan sosial serta penanggulangan kemiskinan
merupakan prioritas pertama dan utama dari negara berkembang.56
Berdasarkan pasal tersebut, maka dapat dilihat bahwa yang menjadi common
responsibility adalah biodiversitas merupakan tanggungjawab seluruh negara,
termasuk negara yang dimana keanekaragaman hayati tersebut tidak berada di
bawah yurisdiksi negaranya. Namun dengan adanya berbagai kendala, khususnya
oleh negara berkembang, yaitu dalam hal finansial dan teknologi untuk melakukan
konservasi keanekaragaman hayati, maka terdapat differentiated responsibility.
Bahwa negara maju memiliki kewajiban atau tanggungjawab yang berkaitan
dengan finansial dan transfer teknologi, baik berupa penyediaan pinjaman uang
maupun pengadaan teknologi, sesuai dengan komitmennya dalam Konvensi
tersebut, agar negara berkembang juga dapat menjalankan kewajibannya, yaitu
untuk melakukan konservasi dan melindungi keanekaragaman hayati yang ada di
negaranya. Sehingga, melakukan konservasi dan melindungi serta memastikan
tidak terjadinya hilangnya atau berkurangnya keanekaragaman hayati merupakan
kewajiban dari negara berkembang. Maka, agar konservasi keanekaragaman hayati
dapat dilakukan, maka setiap negara memiliki kewajiban yang berbeda namun
sama atas apa yang harus dilakukan oleh tiap-tiap negara untuk menghadapi
permasalahan lingkungan, khususnya biodiversitas. Dengan demikian, dengan

55
Ruxandra M. Petrescu-Mag, Dan Vârban, Marian Proorocu, et al, “The ‘Common but Differentiated
Responsibility’ viewed as a soft law instrument and its reflection in some international environmental
acts”, AES Bioflux Volume 5, Issue 1 (2013), hlm. 10.
56
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 20 (4).

20
menugaskan differentiated responsibilities terhadap negara-negara merupakan
pengaplikasian prinsip resiprositas di bidang internasional.57
b. The terms and conditions of technology transfers
Dalam penjelasan sebelumnya disebutkan mengenai transfer teknologi.
Transfer teknologi ini sendiri dipandang sebagai pusat dari kemampuan negara
bergembang untuk mengimplementasikan kebijakan yang bertujuan untuk
penggunaan dan pemanfaatan berkelanjutan atas kekayaan biologis yang
dimilikinya. Hal ini diatur dalam Pasal 16-19 CBD, yang dimana setiap negara
mengakui bahwa teknologi, termasuk bioteknologi, serta akses terhadap dan
transfer teknologi antar Contracting Parties merupakan elemen esensial dalam
mencapai objektif dari CBD.58 Dikarenakan negara berkembang belum memiliki
teknologi yang mumpuni dalam hal bioteknologi dan teknologi lainnya yang dapat
menunjang konservasi biodiversitas, maka negara berkembang harus disediakan
atau difasilitasi dengan fair and most favourable terms, yang disetujui oleh para
pihak.59 Selain itu, setiap negara yang menjadi pihak dalam CBD juga harus
memfasilitasi pertukarang informasi, dari sumber-sumber yang tersedia secara
publik, yang berhubungan dengan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
daripada keanekaragaman hayati, dengan mengingat kepada kebutuhan khusus dari
negara berkembang.60 Pertukaran informasi ini meliputi pertukaran hasil dari riset
teknis, scientific dan sosio-ekonomi, serta informasi saat training dan dalam
program survey.61 Kerjasama internasional dalam hal teknis dan ilmiah juga
diperlukan di bidang konservasi dan penggunaan berkelanjutan dari
keanekaragaman hayati, baik melalui institusi internasional maupun nasional,62
serta setiap negaranya harus mengembangkan dan memajukan kerjasama tersebut
dengan negara lainnya, khususnya negara berkembang dalam
mengimplementasikan CBD yang dapat dilakukan melalui pengembangan dan
implementasi dari kebijakan nasional.63 Aktifitas riset bioteknologi juga memiliki
peran yang cukup penting, dimana setiap negara harus mengambil langkah

57
Mariama Williams dan Manuel F. Montes, “Common but Differentiated Responsibilities: Which May
Forward?”, Development Volume 59, Issue 1-2 (Juni 2016), hlm. 114.
58
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 16 (1).
59
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 16 (2).
60
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 17 (1).
61
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 17 (2).
62
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 18 (1).
63
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 18 (2).

21
legislative, administratif, dan kebijakan untuk memberikan partisipasi efektifnya
dalam hal tersebut, khususnya negara berkembang dengan menyediakan sumber
daya genetik untuk riset tersebut.64 Setiap negaranya juga harus mengambil
langkah praktis untuk mengembangkan dan memberikan akses prioritas untuk fair
and equitable basis bagi negara yang menjadi bagian CBD, khususnya negara
berkembang dengan hasil dan keuntungan dari bioteknologi bagi sumber daya
genetik yang diberikan oleh negara tersebut, dan akses tersebut haruslah sama-
sama disepakati atau mutually agreed.65
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka transfer teknologi dan kegunaan
teknologi memiliki peranan yang signifikan dalam hal konservasi biodiversitas,
dikarenakan kegunaan teknologi tersebut tidak hanya pada sektor industrial, tetapi
juga medis dan lingkungan terkait dengan sumber daya biologis, baik yang ada di
laut maupun di darat. Dengan banyaknya sumber daya biologis yang ada di negara
berkembang, tentu negara berkembang juga membutuhkan teknologi-teknologi
lingkungan dan bioteknologi untuk melakukan konservasi biodiversitas. Salah satu
cara bagi negara berkembang untuk mendapatkan teknologi tersebut adalah melalui
kolaborasi atau kerjasama interorganisasi, yang meliputi penemuan obat,
nutraceuticals, aquaculture dan lainnya, serta melalui kolaborasi atau kerjasama
riset dengan sistem technology-sharing, seperti MALDI-TOF mass spectrometry
for proteomics.66 Sebagaimana diketahui bahwa negara berkembang mengalami
kekurangan kapasitas riset yang dibutuhkan dalam hal konservasi keanekaragaman
hayati, sehingga hal ini berkaitan dengan kemajuan, sharing dan transfer ilmu yang
berhubungan dengan biodiversitas dan teknologi. Diperlukan suatu bentuk
capacity development dan pembiayaan eksternal bagi policy-relevant penilaian
biodiversitas yang dapat memenuhi persyaratan badan internasional, dan juga
diperlukan adanya monitoring bagi negara-negara atau daerah-daerah yang
memiliki banyak keanekaragaman hayati tetapi sumber daya tersebut mengalami
penekanan, seperti Group on Earth Observations Biodiversity Observation

64
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 19 (1).
65
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 19 (2).
66
Christine C. Thompson, Ricardo H. Kruger dan Fabiano L. Thompson, “Unlocking Marine
Biotechnology in the Developing World”, Trends in Biotechnology Volume 35 Issue 12 (1 Desember 2017),
hlm. 1119.

22
Network (GEO BON).67 Transfer teknologi merupakan suatu bentuk non-monetary
benefits yang diberikan kepada negara berkembang, dimana dengan adanya
transfer teknologi memberikan berbagai keuntungan non keuangan, yaitu seperti
akses kepada data, sampel, dan informasi; capacity development seperti training,
perlengkapan riset; kerjasama internasional; keuntungan ilmiah dan sosioekonomi;
serta standar, guidelines, dan metodologi.68 Dengan demikian, negara berkembang
diberikan keuntungan da;am hal konservasi biodiversitasnya dan dapat
menjalankan apa yang telah diatur dalam CBD untuk mengurangi terjadinya
biodiversity loss, dengan bantuan negara maju dan kerjasama internasional.
c. The provision of “new and additional” financial resources
Poin lainnya adalah mengenai finansial, yang dimana hal ini merupakan
masalah dasar yang dimiliki oleh negara berkembang dalam hal perlindungan dan
konservasi biodiversitas. Mengenai hal finansial ini sendiri, diatur dalam Pasal 20
dan 21 CBD. Setiap negaranya memiliki kewajiban untuk menyediakan bantuan
finansial dan insentif dalam hal aktifitas nasional yang bertujuan untuk mencapai
objektif yang ada di CBD sesuai dengan rencana nasional, prioritas, dan program.69
Hanya saja, negara berkembang masih memiliki prioritas utama untuk mengatasi
kemiskinan yang ada di negaranya, sehingga finansial yang dimiliki oleh negara
berkembang belum memenuhi kebutuhan untuk melakukan perlindungan dan
konservasi biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Dalam hal ini, maka kembali
kepada CBDR, negara maju harus memberikan bantuan finansial baik yang baru
maupun tambahan untuk negara berkembang agar negara berkembang dapat
memenuhi kewajibannya di CBD dan mengimplementasikan langkah-langkah
untuk memenuhi kewajibannya dan juga untuk membawa keuntungan sesuai yang
ditetapkan.70 Frasa bantuan finansial yang baru dan tambahan memiliki arti bahwa
apabila suatu negara belum memiliki alokasi dana untuk dialokasikan kepada
konservasi dan perlindungan biodiversitas, maka negara lainnya dapat memberikan
dana khusus kepada negara tersebut untuk digunakan bagi konservasi biodiversitas.

67
Maarten PM Vanhove, Anne-Julie Rochette, dan Luc Janssens de Bisthoven, “Joining Science and
Policy in Capacity Development for Monitoring Profress Towards Aichi Biodiversity Targets in the Global
South”, Ecological Indicators xxx (2016), hlm. 3.
68
Harriet Harden-Davies, “Marine Science and Technology Transfer: Can the Intergovernmental
Oceanographic Commission Advance Governance of Biodiversiry Beyond National Jurisdiction?”, Marine
Policy Volume 74 (2016), hlm. 261.
69
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 20 (1).
70
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 20 (2).

23
Sedangkan dana tambahan merupakan dana yang diberikan apabila dana yang
dimiliki oleh negara berkembang tersebut masih kurang untuk melakukan
konservasi atau perlindungan biodiversitas. Bantuan finansial yang diberikan oleh
negara maju kepada negara berkembang ini dapat dicapai melalui kerjasama
bilateral, regional, maupun multilateral lainnya,71 yang dimana CBD tidak
menutup setiap perjanjian yang dibuat oleh negara dalam rangka membantu negara
berkembang untuk mencapai apa yang dibutuhkannya bagi konservasi
keanekaragaman hayati. Hal ini dilakukan agar negara berkembang tetap dapat
memenuhi komitmen dan kewajibannya sesuai dengan yang diatur dalam CBD,
yang dimana hal ini bergantung pula kepada bantuan yang diberikan oleh negara
maju, yaitu kembali kepada konsep CBDR. Dalam hal memberikan bantuan
finansial, terdapat mekanisme yang dapat dilalui oleh negara maju dan negara
berkembang, yaitu dalam hal ini bahwa dana hibah yang diberikan harus digunakan
dibawah otoritas dan bimbingan dari Conference of the Parties, yang dimana dana
tersebut dipastikan digunakan untuk perlindungan dan konservasi biodiversitas
yang ada di negara yang menerima bantuan. Pengerjaan dari mekanisme tersebut
harus dilakukan berdasarkan struktur institusional yang ditentukan oleh
Conference of the Parties, sehingga pemberian dana tersebut tetap harus diketahui
oleh negara-negara yang menjadi bagian dari CBD untuk memastikan transparansi
dana tersebut.72 Penggunaan dana dan mekanisme pemberian bantuan keuangan
tersebut jga harus dirundingkan oleh Conferensi of the Parties dari CBD untuk
mendiskusikan mengenai kebijakan, strategi, dan prioritas program yang harus
dijalankan sesuai dengan kriteria dan pedoman yang ada, serta harus diulas kembali
mengenai efektifitas dari mekanisme tersebut.73
Negara yang menjadi bagian dari CBD menyadari bahwa dengan adanya
keanekaragaman hayati, hal tersebut dapat menyelamatkan kehidupan manusia
sebagaimana manusia sangat bergantung kepada keberadaan biodiversitas. Adanya
kemiskinan yang menjadi masalah di beberapa negara dianggap tidak dapat
menghambat perlunya suatu urgensi untuk melindungi dan melakukan konservasi
biodiversitas, dan juga kemiskinan tersebut dapat diatasi apabila suatu negara
memiliki sumber daya manusia dan keuangan yang dapat digunakan untuk

71
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 20 (3).
72
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 21 (1).
73
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 21 (2) dan (3).

24
melakukan perawatan yang tepat terhadap ekosistem dan fungsi-fungsi yang
dimana perkembangan ekonomi bergantung.74 Beberapa negara berkembang
menggantungkan perekonomian mereka dengan lingkungan mereka, yang dimana
perlindungan atas lingkungan tersebut dibutuhkan, dan pemberian bantuan
keuangan baik dengan cara mobilisasi finansial untuk biodiversitas dan alokasi
efektif atas bantuan keuangan yang ada untuk biodiversitas merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan bagi negara berkembang.75
Implementasi pusat CBD merupakan pendekatan konservasi. Hanya saja,
pendekatan konservasi baru akan dilaksanakan dengan efektif apabila kapasitas
bangunan, inovasi teknologi, serta keuangannya mencukupi untuk melakukan
pendekatan tersebut, dan berjalan paralel dengan kebijakan lingkungan yang harus
sesuai dengan CBD, khususnya negara berkembang. Bantuan keuangan dan
teknologi ini merupakan bagian dari keuntung potensial yang diberikan oleh negara
maju melalui CBD untuk mencapai objektif dari negara berkembang.76 Namun,
setiap negaranya menghadapi tantangan yang berbeda-beda terkait dengan
pendanaan. Mayoritas dari pengeluaraan di bidang biodiversitas saat ini fokus pada
biodiversitas di Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Sedangkan Amerika Latin,
Afrika, dan Asia menerima pendanaan kurang dari negara-negara diatas, baik dari
segi domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan negara berkembang
memerlukan pembinaan lebih untuk membawa National Biodiversity Strategies
and Action Plans (NBSAPs) ke dalam bentuk kebijakan nasional. Dengan begitu,
disadari bahwa pendanaan merupakan jangkar dari seluruh proses dalam
pelaksanaan NBSAPs dan juga konservasi biodiversitas, yang dimana tanpa
adanya sistem finansial yang memadai, sulit bagi negara-negara khususnya negara
berkembang unutk dapat menjalankan apa yang telah ditentukan dalam CBD.77
Negara-negara Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika latin yang merepresentasikan
negara-negara yang underfunded dalam hal biodiversitas menyatakan bahwa
pembuat kebijakan harus memprioritaskan dan menyediakan seluruh necessary

74
European Commission, “Programming Guide for Strategy Paper: Sustainable Management of Natural
Resources: Biodiversity”, European Commission (November 2008), hlm. 1.
75
OECD, “Scalling Up Finance Mechanisms for Biodiversity”, Policy Highlights (2013), hlm. 4.
76
Ademola A. Adenle, “Failure to Achieve 2010 Biodiversity’s Target in Developing Countries: How can
Conservation Help?”, Biodivers Conserv (2012), hlm. 2436-2437.
77
Ademola A. Adenle, Casey Stevens, dan Peter Bridgewater, “Global Conservation and Management
of Biodiversity in Developing Countries: An Opportunity for a New Approach”, Environmental Science and
Policy Volume 45 (2015), hlm. 106-107.

25
supports baik berupa finansial, teknis, maupun sumber daya manusia kepada
negara-negara tersebut untuk mencapai target CBD.78
Selain adanya permasalahan keuangan pada hal teknis, riset atas biodiversitas
juga tidak dapat berjalan tanpa adanya pendanaan. Sebagaimana manusia sangat
bergantung kepada keanekaragaman hayati dalam hal barang dan jasa, pendanaan
untuk riset biodiversitas sangatlah terbatas. Beberapa riset biodiversitas untuk
taksonomi, sistematik, filogenetik dan ekologi tidak menjadi area prioritas dalam
agensi pendanaan nasional.79 Sehingga, selain diperlukan pendanaan untuk
infrastruktur, riset juga diperlukan untuk memastikan bahwa konservasi
biodiversitas dan perlindungannya dilakukan untuk kesejahteraan manusia dan
lingkungan, dan setiap negaranya, kembali kepada CBRD memiliki
tanggungjawab dan kewajiban masing-masing dalam hal mencapai objektif CBD.
d. The terms of equitable sharing of the benefits resulting from the sustainable use
of biodiversity
Berdasarkan Pasal 1 CBD, yang menjadi objektif daripada CBD adalah
konservasi keanekaragaman hayati dilakukan dengan pemanfaatan berkelanjutan
dan fair and equitable sharing dalam hal keuntungan dari pemanfaatan sumber
daya genetik. Hal ini juga terdapat dalam Mukadimah CBD Paragraf 12 yang
menyatakan mengenai pembagian rata keuntungan yang berkaitan dengan
pengetahuan tradisional, khususnya yang berkaitan dengan indigenous people yang
dimana berkaitan pula dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan
berkelanjutan dari komponen-komponennya. Mengenai pembagian keuntungan
secara adil, khususnya dalam hal akses terhadap sumber daya genetik, negara yang
menjadi pihak CBD harus mengambil langkah legislatif, administratif, dan
kebijakan dengan tujuan untuk pembagian keuntungan secara adil yang berkaitan
dengan hasil riset dan perkembangan serta pemanfaatan sumber daya genetik.80
Pada sesi ke-10 Conference of the Parties CBD diadopsi Nagoya Protocol on
Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits
Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity pada

78
Ademola A. Adenle, Casey Stevens, dan Peter Bridgewater, “Stakeholder Visions for Biodiversity
Conservation in Developing Countries”, Sustainability Volume 7 (2015), hlm. 281-287. 271-293.
79
Paul H Barber, et al., “Advancing Biodiversity Research in Developing Countries: The Need for
Changing Paradigms”, Bulletin of Marine Science Volume 90 No 1 (2014), hlm. 195.
80
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 15 (7).

26
Oktober 2010.81 CBD secara eksplisit memperpanjang hak berdaulat dari negara
dalam hal dasar genetik bersamaan dengan komitmen dari negara-negara dalam hal
mengambil langkah pemberian fasilitas akses terhadap sumber daya genetik.
Kewajiban atas pembagian keuntungan dalam CBD berlaku dalam berbagai bidang
aktifitas riset dan perkembangan dan dalam hal komersial, termasuk pembiakan
tanaman dan hewan, hortikultura, kosmetik, dan obat-obatan natural, serta tipe-tipe
bioteknologi lainnya, termasuk industri farmasi.82
Secara esensi, pembagian keuntungan memegang peranan yang dimana
negara, petani, dan komunitas penduduk asli (indigenous people) yang
memberikan akses terhadap sumber daya genetik mereka atau pengetahuan
tradisional harus membagi keuntungan tersebut bagi negara, petani, dan penduduk
tersebut.83 Makna ‘fair’ dan ‘equitable’ yang ada di CBD tidak didefinisikan lebih
lanjut, namun diperjelas di Nagoya Protocol. Hal ini berkaitan dengan indigenous
people, yaitu bahwa penduduk asli menggantungkan hidup mereka dengan
lingkungan yang ada di sekitar mereka, sehingga keanekaragaman hayati
memegang peranan penting dalam kehidupan mereka. Dalam hal sumber daya
genetik, diperlukan adanya akses terhadap spesies-spesies dan sumber daya
tersebut, yang dimana berada di lingkungan atau yurisdiksi suatu negara, sehingga
negara tersebut juga harus mendapatkan keuntungan yang sesuai dan adil dari riset-
riset dan kegiatan yang dilakukan atas keanekaragaman hayati yang dimilikinya.
Salah satu argument yang diutarakan oleh Posey adalah bahwa fair dan equitable
yang dimaksud dalam objektif CBD berhubungan dengan kerjasama yang
dilakukan dengan komunitas penduduk asli, melakukan studi atas dampak sosial,
dan menentukan kompensasi apa yang diberikan, yang dimana hal ini dipandang
lebih efektif daripada hukum nasional maupun hukum internasional.84

81
Convention on Biological Biodiversity, “The Nagoya Protocol on Access and Benefit-sharing”,
https://www.cbd.int/abs/ diakses pada 16 April 2018.
82
Matthias Buck dan Clare Hamilton, “The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the
Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention of Biological
Diversity”, Review of European Community and International Environmental Law Volume 20 No 1 (2011),
hlm. 48.
83
Bram De Jonge, “What is Fair and Equitable Benefit-Sharing?”, Journal of Agricultural and
Environmental Ethics Volume 24 Issue 2 (2011), hlm. 127.
84
Saskia Vermeylen, “Contextualizing ‘Fair’ and ‘Equitable’: The San’s Reflections on the Hoodia
Benefit-Sharing Agreement” Local Environment Volume 12 Nomor 4 (Agustus 2007), hlm. 424-425. 423-
436.

27
Melihat peranan daripada penduduk asli, maka Nagoya Protocol disahkan
dengan membawa suatu bentuk signfikansi dengan menyediakan dasar yang kuat
bagi kepastian hukum yang lebih luas serta transparansi bagi pemberi dan
pengguna sumber daya genetik, yaitu salah satunya adalah penduduk asli dan
negara berkembang. Kewajiban spesifik untuk mendukung pemenuhan tersebut
dapat dilakukan dengan legislasi domestic atau persyaratan regulasi dari para pihak
yang terkait dengan sumber daya genetik dan kewajiban kontraktual. Ketentuan
yang ada di Nagoya Protocol mengenai akses terhadap pengetahuan tradisional
yang diadakan oleh penduduk asli dan local yang berasosiasi dengan sumber daya
genetik dapat memperkuat kemampuan komunitas tersebut untuk mendapatkan
keuntungan dari kegunaan pengetahuan mereka, inovasi, dan prakteknya. Dengan
mendukung kegunaan sumber daya genetik dan mengaitkannya dengan
pengetahuan tradisional, maka hal tersebut dapat membawa pembagian
keuntungan yang fair and equitable dari kegunaan sumber daya tersebut.85

F. Institutional Provisions
CBD merupakan perjanjian internasional yang bukan bersifat self-executing atau dapat
berlaku dengan sendirinya, namun dinyatakan bahwa CBD merupakan perjanjian internasional
yang “enforceable” melalui beberapa institusi. Bentuk institusi yang memberikan asistensi
terhadap pengambilan keputusan yang ada di dalam CBD adalah Conference of the Parties
(Pasal 23 CBD) yang merupakan badan yang memiliki kebijakan ratifikasi dan badan yang
mengambil keputusan; Subsidiary Body for Scientific, Technologogical and Technical Advice
(SBSTTA, Pasal 25 CBD) sebagai badan ilmiah dan teknis; Secretariat (Pasal 24 CBD) sebagai
penyelenggara sehari-hari CBD; dan Clearing-house Mechanism (CHM) yang dimana
perannya untuk memajukan dan memfasilitasi kerjasama teknis dan ilmiah dengan persetujuan
COP, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Angka 3 CBD.86
Governing body dari CBD merupakan Conference of the Parties (COP) yang diatur
dalam Pasal 23 CBD. COP dipandang sebagai fungsi utama dalam CBD untuk memastikan
dan mengulas kembali implementasi dari CBD dan untuk supervise bagaimana perkembangan

85
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and
Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity,
(Montreal: Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2011), hlm. 1.
86
Gudrun Henne dan Saliem Fakir, “The Regime Building of the Convention on Biological Diversity on
the Road to Nairobi” Max Planck United Nations Yearbook No. 3 (1999), hlm. 325-326.

28
yang telah dicapai sesuai dengan CBD.87 COP juga menjalankan fungsi-fungsi lainnya, yaitu
seperti membentuk interval dan bentuk informasi yang akan dikirimkan; memberikan ulasan
ilmiah, teknis dan masukan teknologi terhadap keanekaragaman hayati; mengkonsiderasikan
dan mengadaptasi protokol; mengkonsiderasikan dan mengadopsi, apabila diperlukan,
amandemen atas CBD dan annexnya; mengkonsiderasikan amandemen atas protokol apapun;
membentuk badan subside yang dapat memberikan masukan ilmiah dan teknis; menghubungi
melalui secretariat badan-badan eksekutif yang berkaitan dengan hal-hal yang diatur di CBD;
memberikan konsiderasi dan mengambil langkah yang diperlukan dalam hal mencapai tujuan
dari CBD. COP yang ada di CBD juga merupakan COP yang ada di Cartagena Protocol of
Biosafety. Hingga saat ini, COP telah melakukan 13 ordinary meetings dan satu rapat luar biasa
yang dimana rapat luar biasa tersebut mengadopsi Cartagena Protocol. Pada tahun 1994 hingga
1996, COP mengadakan rapat biasa secara tahunan, namun dengan adanya perubahan
pengaturan, kini COP diadakan setiap dua tahun, dengan COP 14 akan dilakukan di Mesir pada
tanggal 10-22 November 2018.88
Sekretariat memiliki fungsi prinsipil dalam hal menyiapkan bantuan dan rapat yang
akan diadakan oleh COP dan badan subsider lainnya dan juga untuk bekerjasama dan
berkoordinasi dengan badan-badan internasional yang relevan.89 Lembaga tuan rumah atas
Sekretariat CBD merupakan United Nations Environmental Programme. Sekretariat juga dapat
menjalankan fungsinya apabila ditentukan dalam protokol, dan juga untuk melakukan fungsi
lainnya jika disepakati oleh COP. Sehingga, dapat dilihat bahwa Sekretariat melakukan tugas
administratif bagi COP, SBSTTA, dan badan lainnya.90 Selain secretariat, CBD juga memiliki
badan SBSTTA, yang merupakan badan subsider yang memiliki fungsi untuk memberikan
masukan mengenai hal ilmiah, teknis, dan teknologi.91 SBSTTA memiliki tugas untuk
memberikan assessment dalam hal ilmiah dan teknis mengenai status biodiversitas;
menyiapkan penilaian ilmiah dan teknis mengenai efek dari langkah-langkah yang diambil
sesuai dengan ketentuan yang ada di CBD; mengidentifikasi teknologi yang inovatif, efisies,
dan state-of-the-art dan juga mengetahui hal yang berkaitan dengan konservasi dan
pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati; dan memberikan masukan dalam hal

87
Convention on Biological Diversity, Handbook of the Convention on Biological Diversity, (Montreal:
Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005), hlm. xxiv.
88
Convention on Biological Diversity, “Conference of the Party”, https://www.cbd.int/cop/ diakses
pada 16 April 2018.
89
Convention on Biological Diversity, Handbook of the Convention on Biological Diversity, (Montreal:
Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005), hlm. xxvi.
90
Ibid, hlm. xxvii.
91
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 25 (1).

29
progam ilmiah dan kerjasama internasional di bidang riset dan pengembangan yang berkaitan
dengan konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.92 Selain itu SBSTTA juga
memiliki fungsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan metodologikal yang ditanyakan oleh
COP. Sebagai badan subsider dari COP, SBSTTA berkewajiban untuk memberikan laporan
secara regular kepada COP mengenai seluruh aspek yang dikerjakannya. Hingga saat ini,
SBSTTA telah mengadakan 21 rapat berkaitan dengan fungsi kerjanya.
Selain Sekretariat dan SBSTTA, CBD juga memiliki Clearing-house Mechanism
(CHM) yang sebutkan dalam Pasal 18 Angka 3 CBD. CHM dibentuk dengan dasar untuk
memajukan dan memfasilitasi kerjasama ilmiah dan teknis. Selain itu, eksistensi CHM
diperlukan unutk mengatur informasi dan teknologi yang beragam yang berada di berbagai
negara, sehingga CHM memastikan bahwa setiap pemerintah memiliki akses atas informasi
dan teknologi yang dibutuhkan untuk kerja mereka atas biodiversitas.93 CHM
diadministrasikan oleh Sekretariat, dan CHM sendiri dibentuk dalam Keputusan COP (COP
Decisions) No. I/3 dan II/3.94 Perkembangan atas CHM dikembangkan melalui COP, yang
dimana COP 5 mendukung implementasi dari strategic plan untuk CHM dan mengesahkan
program jangka panjang atas kerja CHM. Selain itu, terdapat informal advisory committee yang
juga dibentuk untuk CHM.95 Pada COP 7 membentuk program kerja atas transfe teknologi dan
kerjasama teknologikal dan ilmiah dengan tujuan untuk menhasilkan langkah yang efektif dan
perkembangan yang berarti dalam hal implementasi dari Pasal 16 hingga 17 CBD.96
Mekanisme yang dijalankan oleh CHM harus memiliki karakteristik: kompatibilitas dengan
berbagai tingkatan yang ada di level nasional, didasarkan atas kebutuhan, desentralisasi
struktur, memberikan akses informasi, mendukung pengambilan keputusan, tidak ada
keinginan untuk mengkontrol ekspertis atau informasi untuk pribadi, dan dibentuk atas dasar
mutual benefit bagi seluruh pihak.97

92
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 25 (2).
93
Convention on Biological Diversity, “Clearing-House Mechanism”, https://www.cbd.int/chm/ diakses
pada 17 April 2018.
94
Convention on Biological Diversity, Handbook of the Convention on Biological Diversity, (Montreal:
Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005), hlm. xxvii.
95
Ibid, hlm. xxviii.
96
Ibid, hlm. xxviii.
97
BCH Central Portal, “What is a Clearing House Mechanism?”,
https://bch.cbd.int/help/topics/en/What_is_a_Clearing_House_Mechanism.html diakses pada 17 April
2018.

30
G. Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement)
Konflik-konflik lingkungan telah muncul tidak hanya di level lokal maupun regional, tetapi
juga internasional, yang dimana berdampak terhadap keamanan global. Penyebab-penyebab
dari konflik lingkungan pun berbeda-beda secara global dan manifestasinya pun juga berbeda.
Penyebab tersebut dapat terjadi dari kontrol atas sumber daya lingkungan yang vital seperti
bahan bakar fosil hingga kontestasi bahan bakar natural yang berada di level rumah tangga.
Konflik lingkungan yang berkaitan dengan CBD merupakan konflik biodiversitas, yang
dimana konflik tersebut merupakan konflik antar manusia mengenai margasatwa atau aspek
lainnya mengenai biodiversitas. Konflik tersebut termasuk konflik yang berkaitan dengan
konservasi di area terlindung, green technologies, dan juga hak paten yang berkaitan dengan
biodiversitas dan penduduk asli.98 Mengenai penyelesaian sengketa atau permasalahan yang
berkaitan dengan lingkungan, cara yang dapat digunakan tidak jauh berbeda dengan sengketa-
sengketa lainnya. Hal ini kembali kepada Pasal 33 United Nations Charter bahwa penyelesaian
sengketa melalui pacific means dapat dilakukan melalui negosiasi, enquiry, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, dan ajudikasi dari badan-badan yudisial.99 Sehingga apabila melihat kepada Pasal 33
UN Charter, penyelesaian sengketa tersebut pertama-tama diusahakan melalui hubungan
diplomatik terlebih dahulu yang dimana hasil dari penyelesaian tersebut akan mengikat para
pihak, yaitu seperti melalui negosiasi, mediasi, konsultasi, konsiliasi, dan lainnya. Apabila
penyelesaian melalui channel diplomatik belum dapat menyelesaikan sengketa, maka sengketa
tersebut dapat diselesaikan melalui penyelesaian hukum dengan menghasilkan hasil yang
mengikat, seperti arbitrase dan penyelesaian peradilan.100
Dalam CBD, terdapat beberapa isu yang dimajukan dalam negosiasi CBD, yaitu
mengenai penyelesaian sengketa atau dispute settlement. Hal ini diatur dalam Pasal 27 CBD,
yang dimana pasal tersebut mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam hal interpretasi
atau aplikasi dari CBD. Jika terjadi sengketa yang berkaitan dengan interpretasi atau aplikasi
dari CBD, maka negara bersangkutan harus mencari solusi melalui negosiasi terlebih dahulu.101
Negosiasi ini dilakukan agar dalam penyelesaian sengketa, hubungan baik antar negara tetap
dapat terjaga, dan juga merupakan bentuk Alternative Dispute Resolution sebelum suatu negara
membawa perkaranya ke ranah hukum. Apabila pihak-pihak yang bersengketa tersebut tidak

98
Urmilla Bob dan Salomé Bronkhost, “Environmental Conflicts: Key Issues and Management
Implications”, Africal Journal on Conflict Resolution Volume 10 No 2 (2010), hlm. 15.
99
Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Charter, Pasal 33.
100
Sai Ramani Garimella, “Environmental Dispute Resolution, ADR Methods and the PCA Arbitration
Rules”, ILI Law Review Issue 2016 (2016), hlm. 202.
101
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 27 (1).

31
dapat mencapai kesepakatan dengan negosiasi, maka pihak tersebut dapat secara bersama-sama
meminta good offices atau memohonkan mediasi kepada pihak ketiga.102 Baik melalui
negosiasi, good offices, maupun mediasi, hasil yang disepakati oleh para pihak bersifat
mengikat. Selain melalui negosiasi dan mediasi atau good offices, para pihak dapat pula
menyelesaikan perkaranya melalui arbitrasi yang dimana pengaturan mengenai arbitrase dalam
hal keanekaragaman hayati diatur dalam Annex II CBD, dan juga dapat melalui International
Court of Justice (ICJ).103 CBD Annex II mengatur secara khusus mengenai arbitrase. Arbitrasi
atas perkara keanekaragaman hayati harus diketahui oleh Sekretariat CBD, yang dimana
notifikasi tersebut diberitahukan oleh pihak claimant.104 Jika yang memiliki sengketa adalah
dua negara, arbitrase tribunal harus terdiri dari tiga member, yaitu satu dari para pihaknya, dan
satu arbitrator yang ditentukan oleh dua arbitrator sebelumnya, yang kemudian arbitrator
tersebut menjadi Presiden dari tribunal.105 Apabila lebih dari dua negara yang bersengketa,
maka negara yang mempunyai keinginan yang sama dapat menunjuk satu arbitrator.106 Jika
presiden dari tribunal tidak ditentukan dalam waktu dua bulan, maka dalam jangka waktu dua
bulan selanjutnya Sekretaris Jenderal PBB dapat menunjuk presiden tribunal, sesuai dengan
permintaan dari para pihak.107 Hasil dari arbitrase pun mengikat para pihak yang
bersengketa.108 Selain arbitrase, Annex II dari CBD juga mengatur mengenai konsiliasi, yang
dimana badan konsiliasi dapat dibentuk berdasarkan permintaan dari salah satu pihak yang
bersengketa, dimana komisi tersebut terdiri dari lima member, yaitu dua member ditunjuk dari
kedua pihak yang bersengketa sehingga ada empat member, dan presiden dari komisi
ditentukan secara bersama-sama oleh kedua pihak tersebut.109 Baik arbitrase maupun
konsiliasi, pengambilan keputusannya dilakukan dengan prosedur pengambilan suara, yaitu
dengan suara terbanyak.

102
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 27 (2).
103
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Pasal 27 (3).
104
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Annex II Part I, Pasal 1.
105
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Annex II Part I, Pasal 2 (1).
106
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Annex II Part I, Pasal 2 (2).
107
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Annex II Part I, Pasal 3 (1).
108
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Annex II Part I, Pasal 16.
109
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rio Convention on Biological Diversity, 1992, Annex II Part II, Pasal 1.

32
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa dapat dilihat manusia yang tadinya memiliki pandangan bahwa keanekaragaman
hayati tidak perlu dijaga, lama-kelamaan berubah menjadi suatu bentuk kesadaran akan
komponen-komponen lain yang hidup bersama. Untuk menyikap hal ini, maka UNEP
membuat suatu badan ad hoc untuk kepentingan penjagaan keanekaragaman hayati. Hal ini
dikarenakan diterimanya secara (hampir) universal tujuan-tujuan penting dari pengaturan
mengenai keanekaragaman hayati, yaitu adanya usaha untuk menjaga kekayaan hayati dan juga
untuk mendukung kehidupan manusia sebagai pihak yang tinggal di tengaj-tengah kekayaan
hayati.
Meskipun pada dasarnya nilai-nilai yang dianut dapat dipercayai banyak orang dan
keanekaragaman hayati merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak pernah
disebutkan dengan “mana negara X dan mana negara Y”, maka tetap dapat dikenakan prinsip
kedaulatan permanen yang berarti negara tempat keanekaragaman hayati itu yang mempunyai
kuasa untuk mengatur mengenai sumber daya yang dipermaslahkan.
Dalam menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam hayati, perlu diterapkan
beberapa prinsip, seperti adanya analisis mengenai, paling tidak, dampak lingkungan, adanya
keramahtaman, dan harus ada kegiatan konvensi. Jika ketiga prinsip ini dijalankan, kegiatan
pengelolaan keanekaragaman hayati, agar bisa tetap digunakan generasi sekarang dan bisa
berguna untuk generasi mendatang, dapat dijalankan dengan baik.
Keanekaragaman hayati yang dimana terdiri dari berbagai spesies tanaman dan hewan
mayoritas berada di hutan dan lautan tropis, dimana area yang kaya akan spesies ini berada
dalam territorial yang masuk dalam jurisdiksi negara berkembang. UNCBD dibentuk dengan
latar belakang adanya kerjasama antara negara berkembang dengan negara maju, dikarenakan
adanya urgensi untuk melakukan konservasi biodiversitas dimana keanekarahaman hayati serta
spesiesnya banyak berada di negara berkembang. Mukadimah UNCBD beberapa kali
menyebutkan mengenai negara berkembang dengan ketentuan-ketentuan khusus, seperti
adanya ketentuan mengenai bantuan finansial serta akses terhadap teknologi yang relevan.
Hubungan antara negara maju dan negara berkembang dengan prinsip common but
differentiated responsibilities, yang dimana semua negara memiliki kewajiban untuk menjaga
keanekaragaman hayati, namun terdapat perbedaan kewajiban dalam hal bahwa negara maju

33
berkewajiban memberikan bantuan baik dalam bentuk dana maupun teknologi dan informasi
kepada negara berkembang agar negara berkembang dapat menjalankan kewajibannya untuk
melakukan konservasi keanekaragaman hayati sesuai dengan tujuan dari UNCBD.
Pengimplementasian yang dilakukan oleh negara berkembang dapat dilakukan apabila terdapat
transfer teknologi dan informasi dan juga bantuan dana baik dana baru maupun tambahan dari
negara maju. Dengan adanya bentuk kerjasama tersebut antara negara maju dan negara
berkembang, maka keanekaragaman hayati dapat dilindungi dan dapat mencegah terjadinya
kehilangan atau berkurangnya spesies makhluk hidup.
UNCBD dalam menjalankan tujuan dan objektifnya memerlukan keberadaan beberapa
instansi yang dapat membantunya melakukan aktifitas yang berkaitan dengan keanekaragaman
hayati. Bentuk institusi yang memberikan asistensi terhadap pengambilan keputusan yang ada
di dalam UNCBD adalah Conference of the Parties, yang diatur dalam Pasal 23 UNCBD, yang
merupakan badan yang memiliki kebijakan ratifikasi dan badan yang mengambil keputusan.
Selain itu terdapat Subsidiary Body for Scientific, Technologogical and Technical Advice
(STBTTA) sebagai badan ilmiah dan teknis, yang diatur dalam Pasal 25 UNCBD. Lalu terdapat
secretariat yang diatur dalam Pasal 24 UNCBD sebagai penyeleggara sehari-hari UNCBD, dan
juga terdapat Clearing-house Mechanism (CHM) yang dimana perannya untuk memajukan dan
memfasilitasi kerjasama teknis dan ilmiah dengan persetujuan COP, sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 Angka 3 UNCBD. Dalam hal penyelesaian sengketa, UNCBD hanya mengatur
mengenai sengketa interpretasi dan aplikasi dari UNCBD, yang dimana penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui negosiasi. Apabila negosiasi tidak berhasil dilakukan maka dapat dilakukan
good offices atau mediasi. Jika kedua penyelesaian tersebut tidak menyelesaikan sengketa,
maka UNCBD dalam Annex II memberikan jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan
konsiliasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Basheska, Elena. The Position of the Good Neighbourliness Principle in International and EU
Law. Leiden: Koninklijke Brill, 2015.
Birnie, Patricia. Alan Boyle, dan Cathrine Redgwell. International Law & the Environment.
New York: Oxford University Press, 2009.
Bowman, Michael dan Catherine Redgwell. Eds. International Law and the Conservation of
Biological Diversity. London: Kluwer Law International, 1996.
Centro Internacional de Agricultura Tropical, Universidad Nacional de Colombia-Sede
Palmira, Biodiversity International, REDCAPA, CTA. Multi-Institutional Distance
Learning Course on the Ex Situ Conservation of Plant Genetic Resources. S.l: The
Intellectual Property of the Course Materials, 2007.
Convention on Biological Diversity. Handbook of the Convention on Biological Diversity.
Montreal: Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2005.
Convention on Biological Diversity. How the Convention on Biological Diversity Promotes
Nature and Human Well-Being. Montreal: Secretariat of the Convention on Biological
Diversity, 2000.
Gibbs, James Malcolm Hunter, dan E.J. Sterling, Problem-Solving in Conservation Biology
and Wildlife Management (New Jersey: John Wiley & Sons, 2011).
Gillespie, Alexander. Conservation, Biodiversity and International Law. Massachusetts:
Edward Elgar Publishing, 2011.
Kokkotsis, Eleonore. Keeping International Commitments: Compliance, Credibility and the
G7 1988-1995. New York dan London: Garland Publishing, Inc, 1999.
Kratz, Rene Fester dan Donna Rae Siegfried, Biology for Dummies. New Jersey: John Wiley
& Sons, 2010
Lévêque, Christian dan Jean-Claude Mounolou. Biodiversity [Biodiversité, Dynamique
biologique et conservation], diterjemahkan oleh Vivien Reuter. West Sussex: John
Wiley & Sons Ltd, 2003.
Lorenzano, Pablo. Et.Al.Eds. History and Philosophy of Science and Technology. Oxford:
Eolss Publishers, 2010.
Maiti, Prabodh K dan Paulami Maiti. Biodiversity: Perception, Peril and Preservation, Ed.2.
Delhi: PHI Learning Private Limited, 2017.

35
Nayar, R. Jayakumar dan David Mohan Ong. “Developing Countries, ‘Development’, and the
Conservation of Biological Diversity” in International Law and the Conservation of
Biological Diversity. Great Britain: Kluwer Law International, 1995.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair
and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on
Biological Diversity. Montreal: Secretariat of the Convention on Biological Diversity,
2011.
Purnomo. Praktik-praktik Konservasi Lingkungan Secara Tradisional di Jawa. Malang:
Universitas Brawijaya Press, 2015.
Rosendal, G. Kristin. The Convention on Biological Diversity and Developing Countries.
Berlin: Springer-Science+Business Media, 2000.
Rosendal, G. Kristin. The Convention on Biological Diversity and Developing Countries. AA
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2000.
Shiva, Vandana. Biodiversity: A Third World Perspective. Penang: Third World Network,
1992.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga, 2004.
Tladi, Dire. Sustainable Development in International Law: Analysis of Key Enviro-Economic
Instruments. Cape Town: Pretoria Univeristy Law Press, 2007.
United Nations. Multilateral Treaty Framework: An Invitation to Universal Participation
Focus 2002: Sustainable Development. New York: United Nations Reproduction
Section, 2002.

JURNAL
A. Adenle, Ademola, Casey Stevens, dan Peter Bridgewater. “Global Conservation and
Management of Biodiversity in Developing Countries: An Opportunity for a New
Approach”. Environmental Science and Policy Volume 45 (2015). Hlm. 104-108.
A. Adenle, Ademola, Casey Stevens, dan Peter Bridgewater. “Stakeholder Visions for
Biodiversity Conservation in Developing Countries”. Sustainability Volume 7 (2015).
Hlm. 271-293.
A. Adenle, Ademola. “Failure to Achieve 2010 Biodiversity’s Target in Developing Countries:
How can Conservation Help?”. Biodivers Conserv (2012). Hlm. 2435-2442.
Bob, Urmilla dan Salomé Bronkhost. “Environmental Conflicts: Key Issues and Management
Implications”. Africal Journal on Conflict Resolution Volume 10 No 2 (2010).

36
Bowling, Chelsea Elizabeth Pierson, dan Stephanie Ratté. “The Common Concern of
Humankind: A Potential Framework for a New International Legally Binding
Instrument on the Conservation and Sustainable Use of Marine Biological Diversity
in the High Seas”. United Nations Publications on Biodiversity. Hlm. 1-15.
Buck, Matthias dan Clare Hamilton. “The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources
and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the
Convention of Biological Diversity”. Review of European Community and
International Environmental Law Volume 20 No 1 (2011). Hlm. 47-61.
C. Thompson, Christine, Ricardo H. Kruger dan Fabiano L. Thompson. “Unlocking Marine
Biotechnology in the Developing World”. Trends in Biotechnology Volume 35 Issue
12 (1 Desember 2017). Hlm. 1119-1121.
CISDL. “A Principle of Common but Differentied Responsibilities”. A CISDL Legal Brief for
the World Summit on Sustainable Development 2002 in Johannesburg (26 Agustus
2002).
De Jonge, Bram. “What is Fair and Equitable Benefit-Sharing?”. Journal of Agricultural and
Environmental Ethics Volume 24 Issue 2 (2011). Hlm. 127-146.
European Commission. “Programming Guide for Strategy Paper: Sustainable Management of
Natural Resources: Biodiversity”. European Commission (November 2008), hlm. 1.
Ginzky, Harald. “The Sustainable Management of Soils as a Common Concern of Humankind:
How to Implement It?,” International Yearbook of Soil Law and Policy 2017 (2017).
Hlm. 433-450.
H Barber, Paul, et al. “Advancing Biodiversity Research in Developing Countries: The Need
for Changing Paradigms” Bulletin of Marine Science Volume 90 No 1 (2014). Hlm.
187-210.
Harden-Davies, Harriet. “Marine Science and Technology Transfer: Can the
Intergovernmental Oceanographic Commission Advance Governance of Biodiversiry
Beyond National Jurisdiction?”. Marine Policy Volume 74 (2016). Hlm. 260-267.
Henne, Gudrun dan Saliem Fakir. “The Regime Building of the Convention on Biological
Diversity on the Road to Nairobi” Max Planck United Nations Yearbook No. 3 (1999).
Hlm. 315-361.
Henne, Gudrun dan Saliem Fakir. “The Regime Building of the Convention on Biological
Diversity on the Road to Nairobi.” Max Planck UNYB 3 (1999). Hlm. 315-360.
Hens, Luc dan Emmanuel K. Boon. “Causes of Biodiversity Loss: A Human Ecological
Analysis”. MultiCiência (2003).

37
Kasso, Mohammed dan Mundanthra Balakrishnan. “Ex Situ Conservation of Biodiversity with
Particular Emphasis to Ethiopia.” ISRN Biodiversity 2013 (Agustus 2013). Hlm. 1-2.
M. Petrescu-Mag, Ruxandra, Dan Vârban, Marian Proorocu, et al. “The ‘Common but
Differentiated Responsibility’ viewed as a soft law instrument and its reflection in
some international environmental acts”. AES Bioflux Volume 5, Issue 1 (2013). Hlm.
10-14.
Ng’ambi, Sangwani Patrick. “Permanent Sovereignty Over Natural Resources and the Sanctity
of Contracts, From the Angle of Lucrum Cessans.” Loyola University Chicage
International Law Review 12 (2015). Hlm. 153-172.
OECD. “Scalling Up Finance Mechanisms for Biodiversity”. Policy Highlights (2013). Hlm.
1-10.
PM Vanhove, Maarten, Anne-Julie Rochette, dan Luc Janssens de Bisthoven. “Joining Science
and Policy in Capacity Development for Monitoring Profress Towards Aichi
Biodiversity Targets in the Global South”. Ecological Indicators xxx (2016). Hlm. 1-
4.
Ramani Garimella, Sai. “Environmental Dispute Resolution, ADR Methods and the PCA
Arbitration Rules” ILI Law Review Issue 2016 (2016). Hlm. 199-222.
Raustiala, Kal dan David G. Victor. “Biodiversity Since Rio: The Future of the Convention on
Biological Diversity.” Environment 38 (Mei 1996). Hlm. 1-11.
Soto, Max Valverde. “General Principles of International Environmental Law.” ILSA Journal
of Internatonal & Comparative Law 3 (1996). Hlm. 193-209.
Van Dommelen, Ad. “The Precautionary Principle: Dealing with controversy.” Biotechnology
and Development Monitor 43 (Desember 1997). Hlm. 8-11.
Verein für Umweltmanagement und Nachhaltigkeit in Finanzinstituten e.V. “Biodiversity
Principles: Recommendations for the Financial Sectors”. Forum Biodiversity (2008).
Vermeylen, Saskia. “Contextualizing ‘Fair’ and ‘Equitable’: The San’s Reflections on the
Hoodia Benefit-Sharing Agreement” Local Environment Volume 12 Nomor 4
(Agustus 2007). Hlm. 423-436.
Williams, Mariama dan Manuel F. Montes. “Common but Differentiated Responsibilities:
Which May Forward?”. Development Volume 59, Issue 1-2 (Juni 2016). Hlm. 114-
120.

38
DOKUMEN INTERNASIONAL
Perserikatan Bangsa-Bangsa. General Resolution 1803 (XVII) of the Permanent Sovereignty
over Natural Resources. 14 Desember 1962.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Rio Convention on Biological Diversity. 1992.

WEBSITE
BCH Central Portal. “What is a Clearing House Mechanism?”,
https://bch.cbd.int/help/topics/en/What_is_a_Clearing_House_Mechanism.html
diakses pada 17 April 2018.
Brooke, James. “The Earth Summit; President, In Rio, Defends His Stand on Environment.”
https://www.nytimes.com/1992/06/13/world/the-earth-summit-president-in-rio-
defends-his-stand-on-environment.html. Diakses 10 April 2018.
CBD Secretariat. “What is Impact Assessment?” https://www.cbd.int/impact/whatis.shtml.
Diakses 14 April 2018.
Convention on Biological Biodiversity. “The Nagoya Protocol on Access and Benefit-
sharing”. https://www.cbd.int/abs/ diakses pada 16 April 2018.
Convention on Biological Diversity. “Clearing-House Mechanism”, https://www.cbd.int/chm/
diakses pada 17 April 2018.
Convention on Biological Diversity. “Conference of the Party”, https://www.cbd.int/cop/
diakses pada 16 April 2018.
Convention on Biological Diversity. “History of the Convention.”
https://www.cbd.int/history/. Diakses 10 April 2018.
PBL Netherlands Environmental Assessment Agency. “History of the Convention on
biological Diversity (CBD).”
http://www.pbl.nl/en/dossiers/cop10nagoya/moreinfo/History_CBD. Diakses 10
April 2018.
UN Environment. “Biodiversity A-Z.” Diakses 17 April 2018.

39

Anda mungkin juga menyukai