Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN : LUKA BAKAR

UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Disusun Oleh:

Fathimah Azzahro 1219006211

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEKALONGAN

2021
EMERGENCY MANAGEMENT OF MAJOR BURN PRE-HOSPITAL APPROACH
AND PATIENT TRANSFER

April Poerwanto Basoeki

Depart. of Anesthesiology and Reanimation of Dr. Soetomo Hospital


School of Medicine of Airlangga University Surabaya

I. Pendahuluan

Luka bakar merupakan trauma yang memerlukan penanganan yang spesifik.


Korban luka bakar adalah tantangan yang sulit bagi para personil medis. Selain luka yang
serius, ketidak-nyamanan korban, stres bagi korban dan keluarganya, hilangnya
penghasilan dalam waktu yang lama, masalah pekerjaan serta pesimistis terhadap
ketidakpastian dalam hidup di masa yang akan datang. Penanganan korban luka bakar
harus dimulai sejak di-tempat kejadian, Pos Lapangan (pada musibah massal), di-dalam
ambulan (pra-hospital) dan berlanjut sampai korban masuk IGD sebagai pasien di-Rumah
Sakit terdekat atau Burn Center (hospital). Penanganan pra-hospital yang baik dan segera
sangat mempengaruhi derajat berat luka bakar dan keberhasilan penanganan selanjutnya.
Penanganan spesifik tahap awal tersebut dapat dilakukan oleh penolong awam terlatih
(Misal: Karang Taruna, Pemuda Siaga Bencana, Pemuda Desa Siaga), staf ambulans,
perawat, maupun semua dokter. Pedoman penanganan trauma khususnya korban luka
bakar pre-hospital sangat beragam yang seringkali menimbulkan kebingungan diantara
penolong sehingga pertolongan yang diberikan tidak optimal. Suatu survey pre-hosptal di
Inggris 1998 menunjukkan 58% tim ambulan telah melakukan penanganan korban tidak
sesuai dengan pedoman yang berlaku masa itu. Kejadian kebakaran dapat terjadi dimana
saja kapan saja dan mengenai siapa saja. Peran masyarakat serta Petugas Puskesmas
Pembantu, Petugas Puskesmas, sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dituntut
mampu memberikan pertolongan pertama yang cepat dan tepat untuk korban luka bakar.
Kerusakan organ korban akibat kontak yang terlalu lama dengan sumber panas dapat
diminimalisir dengan pertolongan pertama yang tepat, cepat dan cermat. Kejadian
mengancam nyawa akibat luka bakar dapat ditekan seminimal mungkin. Walaupun pada
hakekatnya memiliki arti yang sama, pada tulisan ini kami pakai istilah korban untuk
ditempat kejadian sampai dengan Pos Lapangan (pada musibah masal), pre-hospital dan
istilah pasien setelah korban ditangani petugas medis di-IGD Rumah Sakit terdekat atau di
Burn Center (hospital).
II. Pembahasan

A. Pre-Hospital

Tindakan pertama yang harus dilakukan pra-hospital adalah upaya menjauhkan


korban dari sumber kebakaran tanpa membahayakan personil yang menyelamatkan.
Hindari jangan sampai penolong terkena cedera pada saat memberikan pertolongan.
Pemberian pertolongan pertama pada korban luka bakar bukan hanya tugas dan tanggung
jawab petugas pemadam kebakaran. Pada kejadian kebakaran dimana didapat korban luka
bakar massal maka harus dibentuk Pos Lapangan untuk menampung seluruh korban
dengan derajat keparahan dan luas luka bakar yang berbeda-beda sesuai dengan yang
tercantum dalam Sistem Penaggulangan Kegawat Daruratan Terpadu (SPGDT), Sistem
Kesehatan Nasional,Kemenkes RI. Hal utamayang harus diupayakan di-Pos Lapangan
oleh tenaga medis adalah menentukan derajat keparahan korban yang tepat di tempat dan
waktu yang tepat, serta memberikan penanganan yang tepat walaupun jumlah sumber daya
yang tersedia sangat terbatas. Kegiatan tersebut dikenal sebagai Triage (Field Triage).
Dilakukan Triage di- Pos Lapangan yaitu memilah, memilih dan mengklasifikasikan
korban untuk menentukan prioritas pertolongan setelah dan rujukan. Yang dipilih adalah
korban yang kemungkinan berhasil diselamatkan dengan ketersediaan sarana pertolongan
yang dimiliki, terbatas. Dalil untuk merujuk korban yang kita anut adalah ”the right
patient, to the right place at the right time”. Walaupun prinsip dasar pertolongan pertama
ditempat kejadian adalah sama pada setiap kejadian luka bakar, namun beberapa
diantaranya memiliki kekhasan sesuai dengan kondisi saat kejadian ataupun jenis
penyebab luka bakar. Berikut ini beberapa tips untuk penanganan awal yang perlu
dilakukan yaitu:

1. Selamatkan korban dari gedung atau tempat kebakaran: Segera evakuasi korban
dari sumber api ke tempat yang aman, Pos Lapangan pada musibah massal. Jangan
biarkan korban lari, karena hal tersebut hanya akan membuat nyala api pada badan
korban bertambah besar. Korban harus tidur terlentang atau telungkup dengan sisi
yang terbakar pada bagian atas untuk mencegah penjalaran api ke bagian tubuh
yang tidak terbakar.
2. Bila area terlalu berasap dan berapi. Penolong harus mengikatkan tali pada
pingganggnya sehingga penolong lain dapat menolong dengan menariknya bila
keadaan berbahaya. Penolong diharuskan merayap guna mencegah terhirupnya gas
toksik. Selain itu jarak pandang terasa lebih baik bila penolong jalan merayap
karena gas, asap, dan api cenderung bergerak ke atas. Selain itu penolong juga
diharuskan bernapas dengan masker, minimal saputangan basah untuk menyaring
gas, karbon, dan partikel toksik lainnya. Korban yang diketemukan harus dicurigai
mengalami trauma inhalasi, setelah korban di-evakuasi sebaiknya diposisikan
duduk atau setengah duduk serta memperoleh siplemen oksigen 100% bila tersedia
3. Hentikan api dengan cepat. Menghentikan proses kebakaran merupakan hal utama
untuk mencegah kerusakan jaringan tubuh korban yang lebih lanjut. Siram air
dalam jumlah yang banyak pada korban untuk menghentikan nyala api. Dapat juga
dengan air mengalir ataupun selang PDAM. Hindari menyiram air dengan tekanan
tinggi pada area wajah karena hal tersebut selain dapat menyebabkan nyeri juga
menimbulkan trauma lanjut pada mata. Tanggalkan pakaian yang terbakar. Bila air
tidak tersedia, gunakan zat cair lain yang tidak mudah terbakar. Segera setelah itu
selimuti korban dengan kain katun (misal kain kebaya, batik) sampai tempat
rujukan. Hindari penggunaan nylon atau kain yang mudah terbakar. Penggunaan
alat pemadam api sangat bermanfaat. Jangan menggunakan pasir atau lumpur
untuk menghentikan api pada tubuh korban. Jangan mengguling-gulingkan korban
untuk mencegah agar api tidak menjalar ke bagian tubuh yang sebelumnya tidak
cedera serta mencegah cedera lainnya.
4. Bila korban tidak mampu berjalan atau tidak sadar seperti sering terjadi pada
trauma inhalasi di dalam ruang tertutup, posisikan korban telentang dengan kedua
extremitas atas direntangkan ke samping dan ke atas kepala, lalu evakuasi korban
ke luar ruangan dengan mengangkat.
5. Dinginkan luka bakar. Langkah pertama penatalaksanaan luka bakar setelah korban
berhasil di-evakuasi adalah menghentikan proses pemanasan jaringan tubuh
korban. Hal ini dapat dilakukan di Pos Lapangan pada musibah massal atau
ditempat kejadian sebelum dilakukan transportasi ke IGD terdekat. Lepaskan
pakaian ataupun perhiasan yang menempel pada badan korban segera setelah api
padam. Lelehan material di atas luka bakar sebaiknya dibiarkan. Segala perhiasan
logam segera dilepaskan karena dapat mempertahanan panas. Cincin sebaiknya
segera ditanggalkan sebelum terjadi edema pada jari. Penghentian proses panas
dengan air mengalir hanya efektif pada 10 menit pertama. Pada penderita anak-
anak, bayi, dan dewasa dengan luas luka bakar >25%, hindari pendinginan dengan
air mengalir dalam waktu yang lama. Jangan menggunakan es atau air es karena
selain dapat menyebabkan mati rasa maka hal tersebut memicu vasokonstriksi yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut serta hipotermia. Setelah
semua tersebut dikerjakan segera tutup luka bakar dengan kain kering dan bersih.
6. Jangan memecah bula, jangan mengoleskan obat-obatan topikal apapun. Walaupun
hal tersebut masih cukup kontroversi, sebaiknya bula biarkan utuh pre-hospital
hingga korban ditangani oleh dokter spesialis di- IGD Rumah Sakit terdekat.
Mengoles obat topikal akan mengacaukan pemeriksaan klinis luka bakar yang akan
dilakukan berikutnya.
7. Segera minta pertolongan medis. Hubungi tim medis terdekat pada saat
memberikan pertolongan pertama. Upayakan agar korban selalu didampingi oleh
tim medis bila harus dirujuk.

Selama penanganan pertama, menunggu trasportasi korban diposisikan telentang


sambil memperhatikan kemungkinan terjadinya kondisi yang mengancam fungsi vital.
Bila korban tidak sadar dan tidak ada tanda napas, segera lakukan BLS. Bagi tenaga medis
penanganan korban dari tempat kejadian, Pos Lapangan pada korban massal dan selama
transportasi ke Rumah Sakit mengikuti prinsip dasar penanganan kegawatdaruratan karena
trauma, yaitu ABCDE.
Airway: bebaskan jalan nafas pertahankan jalan nafas tetap bebas dengan
memperhatikan tulang leher bila ada kecurigaan ada trauma lain. Bila korban tidak sadar,
potensial terjadi obstruksi yang ditandai dengan terdengarnya suara nafas tambahan yang
biasanya berupa crowing pertimbangkan intubasi dini.

Breathing: perhatikan nafasnya, adakah tanda distres nafas? Bila fasilitas


dilapangan, Pos Lapangan ada, maka segera berikan suplemen oksigen kalau perlu nafas
dibantu, siapkan intubasi bila ada kecurigaan kuat adanya smoke inhalation injury.

Circulation: hati2 korban luka bakar yang luas seringkali diketumukan dalam
kondisi shock hipovolemia, sesegera mungkin pasang double infus dan diguyur cairan
kristaloid bila diperhitungkan untuk transportasi memerlukan waktu lebih dari 30 menit ;

Disability: perhatian khusus apabila korban diketemukan dalam kondisi tidak


sadar, pertimbangkan intubasi dini bila fasilitas ada,

Enviroment: lepas pakaian korban yang terbakar, ganti dengan selimut, waspada
hipotermia, lepaskan benda logam yang dipakai misal: arloji, cincin, kalung.
The American Burn Association menetapkan kriteria rekomendasi korban perlu ditransfer
ke-Rumah Sakit yang memiliki fasiltas perawatan khusus, Burn Center. Untuk kondisi
dinegeri kita adalah Rumah Sakit Tipe A yang ada dokter ahli Bedah Plastik. Kriteria
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Luka bakar minimal 20% dari total permukaan tubuh untuk pasien segala usia,
atau 10% dari total permukaan tubuh untuk anak dibawah 10 tahun atau dewasa
diatas 50 tahun.
2. Luka bakar tingkat tiga yg mencakup total permukaan tubuh lebih dari 5%
3. Luka bakar tingkat dua atau tingkat tiga yg melibatkan daerah kritis (seperti:
tangan, kaki, wajah, perineum, alat kelamin, atau sendi utama ekstremitas.
4. Luka bakar yang berhubungan dengan trauma inhalasi
5. Luka bakar akibat sengatan listrik atau petir
6. Luka bakar berat yang komplikasi dengan trauma lain. Bila cedera traumanya
lebih berbahaya dari luka bakarnya, maka sebaiknya pasien dikirimkan ke trauma
center terlebih dahulu
7. Penyakit pasien yang mempersulit penanganan luka bakar
8. Luka bakar akibat bahan kimia dari kosmetika yg membahayakan fungsi organ
9. Luka bakar melingkar pada kaki dan tangan.

Anak yang mengalami luka bakar harus dibawa ke Rumah Sakit yg memiliki
personil dan peralatan untuk merawat luka bakar anak-anak (Pediatric Burn Cases), paling
tidak ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas khusus (Burn Center). Apabila luka bakar
tersebut merupakan akibat dari penyiksaan yang disengaja, maka pasien membutuhkan
bantuan rehabilitasi yang lama dan melibatkan Psikiater Anak. Korban luka bakar jarang
yang segera meninggal karena panas yang dideritanya, melainkan kebanyakan karena
trauma atau permasalahan saluran nafas. Oleh karena itu, primary survey yang cepat harus
dilakukan untuk memeriksa terutama ABC-nya. Masalah apapun yang ditemukan dalam
primary survey harus segera dibereskan. Jika tidak maka kondisi pasien akan dapat
menurun sewaktu-waktu; oleh karena itu ABC harus dievaluasi terus menerus.

B. Airway – Breathing (Pengelolaan jalan nafas dan fungsi pernafasan)


Cedera pernafasan karena menghirup asap (Smoke Inhalation Injury, trauma
inhalasi) saat kebakaran terjadi pada seseorang yang mengalami kejadian terkurung
dalam kebakaran terutama di tempat tertutup. Trauma inhalasi adalah penyebab utama
kematian dini pada korban kebakaran. Trauma inhalasi menyebabkan cedera melalui
beberapa mekanisme, termasuk cedera thermal pada saluran nafas bagian atas, iritasi
atau cedera akibat bahan kimia terhadap saluran nafas mulai dari jelaga, keracunan
karbon monoksida (CO) dan gas-gas yang lainnya seperti sianida. Trauma inhalasi
menimbulkan kerusakan parenkim paru dan karbon monoksida serta racun-racun yang
lain memungkinkan sebagai penyebab kematian dini. Pada pasien yang disebabkan oleh
asap, keterangan lengkap dari kejadian, seperti lamanya kejadian, banyaknya asap yg
terhirup, dan perkiraan adanya racun yang ada dalam asap tersebut dapat membantu
menentukan dampak trauma inhalasi tersebut. Keterangan rinci sering kali tidak atau
sulit didapat. Informasi penting sehubungan dengan tempat kejadian termasuk berapa
banyak dan seberapa parah korban lainnya, terutama korban dengan kehilangan
kesadaran atau bahkan korban meninggal ditempat akan dapat. Selain itu, terjebak api di
tempat tertutup, waktu terjebak yang cukup lama, adanya air liur atau dahak yang
mengandung jelaga. Jelaga karbon biasanya tidak beracun, namun jelaga ini mungkin
mengandung racun-racun lainnya yang mungkin menempel pada permukaan jalan nafas.
Keracunan yang bermakna terjadi karena menghirup gas yang menimbulkan sesak nafas
(asphyxiants), termasuk karbon monoksida (CO), nitrogen, dan gas metan. Asphyxiant ini
berbahaya karena mengganggu transport oksigen ke dalam jaringan tubuh. Asphyxiant ini
menggantikan posisi oksigen yg seharusnya dihirup dari udara atau mengganggu
transport oksigen jaringan dan sel dengan memblokir ikatan oksigen dengan hemoglobin
atau cytochrome oxidase (contoh: CO, Sianida). Karbon monoksida adalah komponen
utama asap yang dihasilkan akibat pembakaran yang tidak sempurna, khususnya pada
kebakaran yang melibatkan kayu, batubara, bensin, dan zat-zat organik lainnya. Afinitas
gas CO 200x lebih besar daripada afinitas oksigen terhadap hemoglobin berarti pada
kondisi demikian hemoglobin akan lebih banyak mengikat CO daripada Oksigen. Selain
itu, keracunan CO yang bermakna dapat terjadi pada kondisi tidak ada nyala api, yaitu
sebagai akibat dari tidak berfungsinya peralatan sehari-hari (contoh: pemanas ruang yg
kurang ventilasi, gas untuk masak) atau akibat dari asap knalpot kendaraan baik yang
disengaja atau tidak yaitu karena ventilasi yang kurang memadai. Hidrogen sianida
adalah asphyxiant yang dilepaskan selama pembakaran yang tidak sempurna dari
produk-produk seperti sellulosa, nylon, sutera, aspal, poliuretan, dan plastik. Sianida
memiliki karakteristik bau seperti kacang almond. Hidrogen sianida diserap secara cepat
dan menimbulkan efek toksik yang spontan apabila terhirup manusia.
Oleh karena hal-hal di atas maka pada waktu melakukan penilaian jalan nafas
pada primary survey, personil medis yang menjumpai korban dengan sesak nafas harus
memikirkan penyebab kejadian tersebut. Temuan yang diperoleh dari pemeriksaan fisik
bisa meliputi: dahak/liur yang mengandung zat karbon, bulu di wajah atau hidung yang
terbakar, kulit wajah yang terbakar, suara serak, melengking (crowing) karena edema
pada oropharynx, luka pada mucosa saluran nafas bagian atas atau perubahan status
mental memperkuat akan adanya dugaan smoke inhalation injury. Gejala-gejala dari
obstruksi saluran pernafasan bagian bawah meliputi: takipneu, dyspneu (nafas pendek),
batuk, suara nafas yang melemah, ronkhi, suara mendengkur, dan retraksi otot
pernafasan merupakan tanda dari distress nafas akibat smoke inhalation. Sianosis bisa
saja timbul namun harap diwaspadai bahwa sianosis bukanlah indikator hipoksia yang
bisa diandalkan karena hal ini bisa disebabkan oleh karbon monoksida atau sianida. Hal-
hal yang menyebabkan pasien mengalami sesak nafas: depresi CNS dan kesadaran
menurun, emosional, sakit kepala yang sifatnya temporer, melemahnya otot-otot secara
umum dan koma, hampir selalu disebabkan oleh keracunan CO. Pada kondisi ini maka
suplemen oksigen mutlak diperlukan, bila fasilitas ada dipakai oksigen dengan humidifier,
oksigen dengan tabung air. Pada pasien menunjukkan bronkhospasme dapat diberikan
bronkodilator. Pasien yang mengalami kesulitan bernafas harus diintubasi dan ventilasi
dengan oksigen 100%. Edema jalan nafas bisa bertambah parah dalam 24-48 jam dan
mengakibatkan intubasi sulit atau tidak mungkin dilakukan. Intubasi orotrakeal dikenal
sebagai teknik yang umum digunakan untuk merawat jalan nafas pasien luka bakar.

C. Circulation (Pengelolaan shock)


Perawatan pasien yang shock akibat luka bakar pada tahap pra-hospital harus
meliputi memposisikan kaki pasien setinggi 12 inci diatas tanah (shock position) dan
memberikan suplemen oksigen bila fasilitas ada. Indikasi diperlukannya resusitasi cairan
pra-hospital adalah jika luas luka bakarnya melebihi 20% dari total permukaan tubuh dan
pasien mengalami shock serta perjalanan menuju IGD terdekat lebih dari 30 menit.

D. Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan tidak perlu dilakukan pra-hospital jika pasien bisa mencapai
Rumah Sakit dalam waktu kurang dari 30 menit. Bika mungkin dimulai dengan
menggunakan cairan hangat. Akses vena boleh dimasukkan melalui kulit yg terbakar jika
tidak ada bagian kulit yang tidak terbakar dan bila memungkinkan difiksasi dengan
jahitan. Jika akses IV tidak memungkinkan, metoda akses interosea bisa dilakukan bila
peralatan ada. Hal ini penting karena luka bakar yang meluas melebihi 15% dari
permukaan tubuh pasien mungkin akan menimbulkan shock sebagai akibat dari
hipovolemia. Cidera mikrovaskular yang disebabkan oleh luka bakar akan mengakibatkan
naiknya permeabilitas vaskular dengan terjadinya edema yang disebabkan oleh
menurunnya volume plasma. Edema akan maksimal setelah 8-12 jam pada kasus luka
kecil dan 24-48 jam pada kasus luka besar. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk
mengembalikan volume plasma efektif, menghindari iskemik mikrovaskular dan
mempertahankan perfusi organ vital. Pada pasien anak-anak resusitasi cairan tidak
disarankan untuk dilakukan di tempat kejadian karena sulit untuk memasukkan jarum
infus pada pembuluh vena yang kecil. Ketika resusitasi cairan dibutuhkan pada pasien
dewasa, dapat digunakan cairan kristaloid Ringer Lactated, Ringer Asetat atau Normal
Saline. Lengan masih merupakan bagian terbaik untuk pemasangan akses vena. Kecepatan
aliran dan jumlah cairan infus ditentukan berdasarkan status klinis pasien, utamnya
produksi urine yang diukur tiap jam.

E. Mendinginkan jaringan yang terbakar

Temperatur subkutan cenderung meningkat untuk beberapa saat walaupun sumber


panas telah dihilangkan. Setelah itu kira-kira 3 menit kemudian suhu tubuh akan kembali
normal. Lepaskan pakaian ataupun perhiasan yang menempel pada badan korban segera
setelah api padam. Lelehan material di atas luka bakar sebaiknya dibiarkan. Segala
perhiasan logam segera dilepaskan karena dapat mempertahanan panas. Cincin sebaiknya
segera ditanggalkan sebelum terjadi edema pada jari. Mendinginkan luka bakar dengan
keran air terbukti efektif untuk menurunkan panas, meredakan nyeri, serta meminimalisir
onset panas dan edema akibat luka bakar dengan cara menghambat pelepasan histamin
oleh sel mast pada kulit. Penghentian proses panas dengan air mengalir hanya efektif pada
10 menit pertama. Selanjutnya, air mengalir hanya memberikan efek analgesia pada
penderita. Pada penderita anak-anak, bayi, dan dewasa dengan luas luka bakar >25%,
hindari pendinginan dengan air mengalir dalam waktu yang lama karena akan
menimbulkan hipotermia dengan segala komplikasinya. Pendinginan luka bakar lokal
yang hanya mencakup kurang dari 9% total permukaan tubuh bisa diteruskan sampai lebih
dari 30 menit untuk meredakan sakitnya, namun pada luka bakar yang lebih luas, akan
menimbulkan hipotermia yang pada akhirnya akan mengakibatkan fibrilasi, henti jantung.
Menyiram kulit pasien secara berlebihan dengan cairan dingin atau membiarkannya
dengan kain basah yang menempel di badannya tidak akan meringankan luka bakarnya,
akan tetapi justru sangat memicu timbulnya hipotermia serta melemahkan jaringan kulit
yang masih sehat disekeliling luka bakarnya. Penulis lain menganjurkan untuk
pendinginan jaringan yang terbakar maka pasien direndam dalam air dingin (1-5oC)
selama kurang lebih 30 menit jika transportasi pasien tidak bisa dilakukan segera. Hal ini
harus segera dilakukan karena pendinginan ini tidak akan bernilai terapi bila tertunda lebih
dari 30 menit setelah kejadian. Jangan menggunakan air es, karena bisa memperparah
kerusakan kulit dan hipotermia. Jangan menggunakan es langsung pada luka bakar karena
akan mengakibatkan cidera jaringan kulit yang makin parah karena radang dingin.
Keuntungkan dari perawatan dengan air dingin pada kulit dan jaringan yang terbakar
karena mekanisme sebagai berikut:

1. Dingin menghambat produksi laktase dan asidosis, oleh karena itu hal ini
meningkatkan fungsi katekolamin dan homeostasis kardiovaskular.
2. Dingin menghambat pelepasan histamin pada luka bakar, memblokir kenaikan
mediasi histamin ditempat luka dan tempat-tempat lainnya dalam segi
permeabilitas vaskular sehingga meminimalkan terjadinya edema dan
kebocoran cairan intravaskular.
3. Dingin menekan produksi tromboksan yang merupakan mediator kemacetan
vaskular dan berkembangnya iskemik dermal setelah terjadinya luka bakar.

Korban kebakaran sering mengeluh kedinginan sebagai dampak dari hilangnya


cairan dan panas tubuhnya melalui kulitnya yang terbakar. Kehilangan panas badannya
bisa dikurangi dengan menempatkan kain bersih sebagai alas pasien kemudian
menyelimutinya dengan kain bersih lainnya serta ditambah selimut yg bersih juga. Bagian
dalam kendaraan angkut (ambulan) harus dibuat hangat untuk membuat pasien merasa
nyaman. Tujuannya adalah untuk “mendinginkan luka bakarnya tetapi menghangatkan
pasien”. Luka bakar kecil bisa didinginkan dengan air kran dan diverban setelah masalah
yang lebih mengancam jiwa telah teratasi. Setelah semua tersebut dikerjakan segera tutup
luka bakar dengan kain kering dan bersih, kantung plastik, atau plastik pembungkus
makanan yang terbuat dari PVC. Plastik PVC mudah mengikuti kontur tubuh bermanfaat
untuk meminimalkan kontaminasi dengan melindungi luka dari infeksi sekunder dan
memberikan proteksi yang baik selama transportasi rujukan. Pendinginan luka yang benar
serta penutupan luka yang baik sangat membantu dalam mengurangi intensitas nyeri luka
bakar. Jangan lupa untuk memberi pasien analgesia yang cukup, morfin im atau iv 2.5 –
5mg yang diteruskan dengan infus kontinyu 0.5-1 mg/ jam (Infusion/ Syringe Pump)
masih merupakan pilihan dengan obeservasi yang baik . Pada luka bakar dengan riwayat
shock lebih baik diberikan Ketamin dosis kecil, dosis analgesia yaitu 0.25-0.5mg/kg BB iv
atau im.

F. Pemeriksaan cedera lain

Kondisi panik saat kebakaran seringkali menyebabkan terjadinya trauma lain.


Kecurigaan adanya fraktur ekstremitas sebaiknya segera ditanggulangi dengan
pemasangan bidai, perdarahan dibebat, serta prinsip imobilisasi saat transfer pada pasien
dengan kecurigaaan trauma tulang leher atau trauma spinal perlu mendapat perhatian
khusus.

G. Memindahkan pasien ke pusat perawatan luka bakar

Ambulan dengan tenaga medis terlatih bila mampu mencapai Burn Center Rumah
Sakit tipe-A dalam waktu 30 menit, maka sebaiknya segera dilakukan meskipun harus
mengabaikan IGD Rumah Sakit lainnya yang mungkin lebih dekat. Bila untuk tranfer
tidak bisa ditempuh dalam 30 menit maka pasien hendaknya dibawa ke IGD Rumah Sakit
terdekat. Dokter yang merujuk pasien juga harus memastikan bahwa sudah melakukan
yang terbaik untuk pasien luka bakar tersebut:

1. Pasien sudah tidak mengalami masalah pernafasan dan sirkulasi, artinya survey
sekunder sudah selesai dan pasien tetap stabil, transportable
2. Menutupi tubuh pasien yang ditransfer dengan kain kering
3. Crew ambulan yang tepat, berpengalaman untuk mencegah dan menanggulangi
kondisi pasien menjadi hipotermia dan kondisi gawat lain yang mungkin timbul
selama transportasi.
4. Ambulan dilengkapi dengan alat dan obat emergency yang siap pakai termasuk
oksigen.
5. Menggunakan kain yg direndam cairan garam justru menambah resiko
hipotermia

Mengoleskan cream antimikroba akan memperlambat transfer pasien dan cream ini
juga harus segera dibersihkan ketika pasien sudah sampai di IGD Rumah Sakit atau Burn
Center. Sebelum mentransfer pasien, dokter yang merujuk harus memastikan bantuan
ABC yang cukup bagi pasien:

1. Bila pasien mengalami resiko distress nafas, lakukan intubasi sebelum pasien
ditransfer. Bantu dengan oksigen 100%
2. Stabilkan status sirkulasinya dengan resusitasi cairan. Berikan cairan kristaloid
sesuai dengan pedoman yang dianut (Baxter, Parkland formula) observasi tiap
jam lebih bermanfaat (misal: output urine pasien).
3. Pastikan akses vaskular yang cukup untuk resusitasi cairan dan pemberian
analgesik .
4. Jelaskan pada petugas transport tentang kadar dan jumlah analgesik yang bisa
diberikan selama pemindahan pasien

Sangatlah penting untuk melakukan komunikasi antar dokter sebelum mentransfer


pasien. Dokter yang menerima pasien di IGD atau Burn Center dapat memberi saran yang
diperlukan. Selama transfer, infus cairan, suplemen oksigen, dan analgesia harus tetap
diberikan. Transfer membutuhkan cadangan cairan, obat-obatan darurat, oksigen,
ambubag, dll yang selalu tersedia di dalam ambulan. Informasikan ke-Rumah Sakit
rujukan meliputi jumlah korban, kondisi korban, pertolongan yang telah diberikan, serta
perkiraan waktu tiba. Dokumentasi perawatan pasien dan temuan apapun sudah harus
disediakan pada waktu perjalanan Laporan mengenai pertolongan yang telah dberikan
terutama jumlah cairan yang telah diberikan serta obat-obatan lain harus diinformasikan
oleh staf yang mengantar dan kepada staf penerima rujukan.

III. Kesimpulan
Peran penanganan pra-hospital luka bakar sangat menentukan nasib korban.
Penanganan korban dimulai di tempat kejadian atau Pos Lapangan, selama transportasi
sampai dengan tempat rujukan di IGD atau Burn Center, mengikuti prinsip dasar
penanganan trauma, yaitu ABCDE. Korban luka bakar jarang segera meninggal karena
panas yang diderita, melainkan karena trauma atau permasalahan saluran nafas (smoke
inhalation injury). Trauma inhalasi sangat mudah terjadi pada siapapun yang terjebak api
terutama di ruang tertutup. Dalam hal ini edema saluran nafas akan bertambah terus
sampai 24-48 jam kemudian sehingga intubasi yang terlambat dilakukan akan sulit atau
bahkan tidak mungkin lagi. Dokter yang merujuk pasien harus memastikan yang dirujuk
adalah pasien yang tepat, pada waktu yang tepat dan tujuan Rumah Sakit atau Burn Center
yang tepat pula. ”The right patient, to the right place at the right time”. Komunikasi antar
dokter sebelum mentransfer pasien adalah hal yang sangat penting.
Referensi

1. Depkes RI,. Seri PPGD – SPGDT (Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
Terpadu). Depkes RI, 2009.
2. General Emergency Life Support, 2013, Buku Ajar Kursus PPGD/ GELS., Edisi XI,
Diklat IRD RSUD dr Soetomo – FK Unair., Surabaya.
3. Greenwood John A.M. Emergency Management of Adult Burns. 2011 Practice
Guidelines, Royal Adelide Hosp – Burns Unit
4. Jenkins Jemie Angela, MD., et al. Emergent Management of Thermal Burns.
Medscape, Februari 14, 2014
5. Keith A Lafferty, MD., et al. Smoke Inhalation Injury Differential Diagnoses.
Medscape, August 22, 2014
6. Primary Trauma Care Indonesia, 2009, Buku Ajar, Perhimpunan Dokter Anestesi dan
Perawatan Intensif (Perdatin).
7. Rice Phillip L, MD. Emergency Care of Moderate and Severe Thermal Burns in
Adult. UptoDate 2015.
8. Stander Melanie. Review Article: The Emergency Management and Treatment of
Severe Burns. Emergency Med. International, 2011
9. Willacy Hayley, Dr. Burns Assessment and Management. Patient.co.uk. 2012
10. William J C van Niekerk. Inhalation Injury and Airway Management. Queen Elzabeth
Hosp. Birmingham, 2014

Anda mungkin juga menyukai