Anda di halaman 1dari 22

PENDEKATAN DIAGNOSIS

PENDERITA DENGAN IKTERIK

Pembimbing :
Dr. dr. Gunawan Widodo, Sp.PD, FINASIM
Oleh 
Nazar Arridha
202110401011069

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSU HAJI SURABAYA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2022

1
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS
PENDEKATAN DIAGNOSIS
PENDERITA DENGAN IKTERIK

Tugas dengan judul “PENDEKATAN DIAGNOSIS PENDERITA DENGAN


IKTERIK” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian SMF ILMU
PENYAKIT DALAM RSU Haji Surabaya.

Surabaya, maret 2022


Pembimbing

Dr. dr. Gunawan Widodo, Sp.PD, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas dengan judul
“PENDEKATAN DIAGNOSIS PENDERITA DENGAN IKTERIK”.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada
Dr. dr. Gunawan Widodo, Sp.PD, FINASIM yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing saya sehingga referat ini dapat selesai dengan baik.
Saya menyadari referat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran saya harapkan demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan
yang mungkin ada. Semoga referat ini bermanfaat bagi rekan dokter muda
khususnya dan masyarakat umum pada umumnya. Akhir kata, penulis
mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surabaya, maret 2022

Penulis

3
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, atau jaringan
lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan
oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah
(Sulaiman, 2014).
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang
berarti kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang
siang hari, dengan melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat
dilihat paling awal pada sclera mata dan jika ini terjadi konsentrasi
bilirubin sekitar 2-3 mg/dL. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat
dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai
angka 7mg/dL (Sulaiman, 2014).
Jaundice terjadi ketika kadar bilirubin serum melebihi 3 mg per dL
(51,3umol per L). Keadaan ini sulit dideteksi hanya dengan
pemeriksaan fisik saja. Jaundice akut sering menjadi indikator
signifikan penyakit yang mendasari dan terjadi sekunder yang
disebabkan etiologi intra dan ekstrahepatik (Fargo M et al, 2017).
Sebuah studi retrospektif lebih dari 700 individu menemukan
bahwa sebagian besar kasus (55%) ikterus akut pada orang dewasa
disebabkan oleh intrahepatic gangguan, termasuk hepatitis virus,
penyakit hati alkoholik, dan hati yang diinduksi obat cedera. Sisanya
45% dari penyakit kuning akut acute kasus ekstrahepatik dan
termasuk batu empedu penyakit, hemolisis, dan keganasan (Fargo M
et al, 2017).

4
II. PRODUKSI DAN METABOLISME BILIRUBIN

Senescent RBC Ineffective Non-Hb but haem containing


erythropoesis pigments (myoglobin, catalase,
cytochromes)

RES (bone marrow, Heme Biliverdine


liver, spleen) Hemeoxygenase

Biliverdine reductase

Endoplasmic
Unconjugated
Reticulum
Liver bilirubine (UCB)

UCB Conjugated
bilirubin (CB) Hepatocyte
Bind with
Circulate and Albumin in blood
Glucuronosyl reach
transferase
Small intestines
UCB Albumin

Small intestines Metabolized


Kidney
Binds with Glutathione-S-
Transferase Urobilinogen and
urobilin that go out
Direct excretion Urobilinogen Enterohepatic with urine
circulation
Converted to
stercobilinogen and
stercobilin that go
out with stool Liver
Reexcreted to bile

5
Skema 1: Proses Produksi dan Metabolisme Bilirubin
(Pratt & Kaplan, 2012)

III. PATOFISIOLOGI
Secara normal kadar bilirubin dalam plasma maksimal 17 µmol/L
(1 mg/dL). Jika kadar bilirubin meningkat melebihi 30 µmol/L (1,76
mg/dL) warna sclera akan menjadi kuning, dan apabila konsentrasi
bilirubin semakin meningkat akan menyebabkan pewarnaan pada kulit
yang biasa disebut jaundice atau icterus, maka dari itu pertimbangkan
beberapa kemungkinan sesuai dengan pembagian berikut (Silbernagl
S, 2016).
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin
yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan
pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan
adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin.
Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu: (Sulaiman, 2014).
1. Pembentukan bilirubin
2. Transport plasma
3. Liver uptake
4. Konjugasi
5. Ekskresi bilier
Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin
Sekitar 250-300mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kgBB
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal
dari protein hem lainnya yang terutama berada di dalam
sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem dipecah
menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara
enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase,
mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terutama
terjadi dalam sistem retikuloendotelial (mononuklir

6
fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin
(Sulaiman, 2014).
2. Transport plasma
Bilirubin tidak larut air, karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan
albumin dan tidak dapat melalui membrane glomerulus,
karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam
beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa bahan seperti
antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan
dengan albumin (Sulaiman, 2014).
Fase Intrahepatik
1. Liver Uptake
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin
atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui
transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk
pengambilan albumin (Sulaiman, 2014).
2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati
mengalami konjugasi dengan asam glukoronidase membentuk
bilirubin diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin
direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim microsomal
glukoroniltransferase menghasilkan bilirubin yang larut air.
Dalam beberapan keadaan reaksi ini hanya menghasilkan
bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam glukoronik
kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui system
enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik
(Sulaiman, 2014).
Fase Pascahepatik
1. Ekskresi Bilirubin

7
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat
mempengaruhi proses yang kompleks ini. Dalam usus, flora
bakteri mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagaian besar ke
dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil
mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan bilirubin diglukoronida tetapi tidak bilirubin
unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni gelap yang
khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic.
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun

larut dalam lemak, karenanya dapat melewati barrier darah-


otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin
tak terkonjugasi mengalai proses konjugasi dengan gula
melalui enzim glukoroniltranseferase dan larut dalam empedu
cair (Sulaiman, 2014).

Skema 2: Patofisiologi Ikterus dan Macam-Macam Ikterus


(Silbernagl S, 2016).

8
IV. PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN
Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah
mengenali (1) apakah hiperbilirubinemia dominan tidak terkonjugasi
atau terkonjugasi dan (2) adakah tes biokimiawi hati yang abnormal
(Pratt & Kaplan, 2012) (Gambar 1).
1. Isolated elevation of the bilirubin
a. Unconjugated hyperbilirubinemia
Penyakit hemolitik yang mengakibatkan penbentukan hem
yang berlebihan dapat merupakan kelainan didapat maupun
keturunan. Penyakit hemolitik yang diturunkan contohnya
sferositosis, talasemia, anemia sel sabit, dan defisiensi G6PD.
Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme
kelebihan bilirubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin
pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya.
Pada keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang
lebih dari 3-5 mg/dL, kecuali jika diikuti kerusakan hati.
Namun demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan
penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus
yang lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia
bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu
(Pratt & Kaplan, 2012).

9
Gambar 1: Pendekatan Klinis Pada Pasien dengan Ikterus
(Pratt & Kaplan, 2012).

Penyakit hemolitik yang didapat termasuk anemia


hemolitik mikroangiopati (hemolytic-uremic syndrome),
paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, spur cell anemia, dan
hemolysis imun dan infeksi parasit yaitu malaria dan
babesiosis. Eritropoesis yang tidak efektif terjadi pada
defisiensi kobalamin, folat, dan besi (Pratt & Kaplan, 2012).
Dalam keadaan tidak adanya hemolisis, harus dipikirkan
adanya masalah pada ambilan atau konjugasi bilirubin.

10
Beberapa obat seperti rifarmpisin dan probenesid dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dengan
berkurangnya ambilan bilirubin oleh hepar (Pratt & Kaplan,
2012).
Gangguan pada konjugasi bilirubin terjadi pada 3 kondisi
genetik: (1) Crigler-Najjar Syndrome types I (2) Crigler-Najjar
Syndrome types II (3) Gilbert’s Syndrome. Crigler-Najjar
Syndrome types I adalah kondisi yang jarang dan biasanya
didapatkan pada neonatus dengan karakteristik icterus yang
parah (>20 mg/dL) dan terjadi kelainan neurologis akibat
kernicterus. Penyakit ini disebabkan karena tidak adanya
uridine diphosphate-glucuronosyl transferase (UDPGT) yang
berfungsi mengkatalis konjugasi asam glukoronik menjadi
bilirubin. Crigler-Najjar Syndrome types II lebih sering terjadi
daripada tipe I, pasien dapat hidup hingga dewasa dengan
bilirubin 25mg/dL. Pada pasien ini aktivitas UDGPT berkurang
bukan tidak ada aktivitas sama sekali. Pada Gilbert’s Syndrome
gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek
(tak terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis karena
keadaan ini sering disalahartikan sebagai penyakit hepatitis
kronik. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup, dan mengenai
sejumlah 3-5% penduduk, serta ditemukan pada kelompok
umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak
sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi
bentuk genetik yang pasti belum dapat ditentukan. Adanya
gangguan yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin
dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL yang
cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya.
Keaktifan enzim glukonil transferase rendah; karena mungkin
didapatkan hubungannya dengan sindrom Crigler-Najjar tipe II.
Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah
yang berkurang, namun demikian tidak cukup menjelaskan

11
keadaan hiperbilirubinemia. Sindrom ini dapat dengan mudah
dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal,
tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin
indirek yang dominan (Pratt & Kaplan, 2012)
b. Conjugated hyperbilitubinemia
Sindrom Dubin-Johnson adalah penyakit autosom resesif
ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan.
Kerusakan dasar terjadinya pada mutasi gen multiple drug
resistance protein 2. pada pasien ini terjadi gangguan ekskresi
berbagai anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi
garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan Sindrom
Gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin
konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati mengandung
pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran
histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui.
Nilai aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena
sebab yang belum jelas, gangguan ekskresi korpoforpirin urin
dengan rasio reversal isomer I dan III menyertai gangguan ini.
Rotor’s Syndrome terjadi gangguan pada penyimpanan
bilirubin di hati (Pratt & Kaplan, 2012).

12
Gambar 2: Penyebab Isolated Hyperbilirubinemia
(Pratt & Kaplan, 2012)

2. Hyperbilirubinemia with other liver test abnormalities


a. Hepatocellular pattern
Terdiri dari hepatitis virus, toksisitas obat dan lingkungan,
alcohol, dan sirosis stadium akhir dari berbagai penyebab.
Penyakit Wilson perlu dicurigai jika ikterus terjadi pada usia
muda dan tidak ditemukan penyebab lain dari ikterus.
Autoimun hepatitis terutama terjadi pada umur dewasa muda,
wanita namun dapat mengenai pria dan wanita pada berbagai
usia. Alkoholik hepatitis dapat dibedakan dengan hepatitis
virus dan toksin dari aminotransferase. Pasien dengan hepatitis
alkoholik umumnya memiliki rasio AST:ALT minimal 2:1.
AST jarang melebihi 300U/L. Pasien dengan hepatitis virus
dan toksin cukup parah menyebabkan kuning dengan
aminotransferase > 500 U/L, dengan ALT ≥ AST. Tingkat
kenaikan dari aminotransferase dapat membantu dalam

13
membedakan proses hepatoselular dan kolestasis. Nilai ALT
dan AST kurang dari 8 kali normal dapat menunjukkan baik
proses hepatoselular maupun kolestasis, namun nilai lebih dari
25 kali normal secara primer merupakan panyakit hepatoselular
akut. Pasien dengan kuning karena sirosis dapat memiliki
peningkatan maupun normal dari aminotransferase (Pratt &
Kaplan, 2012).
Kerusakan hepatoseluler diinduksi obat dapat
diklasifikasikan sebagai terduga maupun tak terduga. Reaksi
obat yang terduga berkaitan dengan dosis dan mengenai semua
pasien yang menerima dosis toksik tersebut. Contoh klasiknya
dalah hepatotoksisitas asetaminofen. Reaksi obat yang tidak
terduga adalah tidak bergantung dosis dan terjadi pada
minoritas pasien (Pratt & Kaplan, 2012).

Gambar 3: Keadaan Hepatoseluler yang Dapat Menyebabkan Ikterus


(Pratt & Kaplan, 2012)

14
b. Cholestatic pattern
Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian icterus
obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu
selalua ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana
saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula vater.
Secara klinis, membedakan kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestasis
intrahepatic adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati
akibat alcohol, dan penyakt hati autoimun. Penyebab yang
kurang sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada
kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain
yang jarang (Sulaiman, 2014).
Virus hepatitis, keracunan obat (drug induced), alcohol, dan
kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering.
Peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin
konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan
penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan icterus yang
timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak
menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa
berjalan kronik dan menahun, mengakibatkan gejala hepatitis
menahun atau bahkan sampai sirosis hati. Tidak jarang
penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga
kadang-kadang didiagnosis salah sebagai hepatitis akut (Fargo
M et al, 2017).
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan
empedu dan sekresinya sehingga terjadi kolestasis. Pemakaian
alkohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan
hati (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat
ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering,
biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi

15
kadang-kadang menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alcohol
biasanya memberi gejala ikterus yang akut dengan keluhan dan
gejala yang berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan
peningkatan transaminase yang tinggi (Sulaiman, 2014).
Hepatitis autoimun biasanya mengenai kelompok muda
terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga bahwa
kelompok tua juga dapat terkena. Dua penyakit autoimun yang
berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan
reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis
sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati
bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh
baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang
sering merupakan gejala awal, sedangkan ikterus adalah gejala
yang timbul kemudian. Kolangitis sclerosis primer lebih sering
dijumpai pada laki-laki dan sekitar 70% menderita penyakit
peradangan usus. Penyakit ini dapat mengarah ke
kolangiokarsinoma. Banyak obat mempunyai efek dalam
kejadian ikterus kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin,
obat estrogenik atau anabolik (Sulaiman, 2014).
Kolestasis Ekstrahepatik penyebab tersering adalah batu
duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang
relative lebih jarang adalah striktur jinak (pada operasi
terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus
koledokus, pankreatitis atau pseudokista pankreas dan
kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan
sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga
terdapat obstruksi mekanis empedu (Sulaiman, 2014).
Patofisiooginya mencerminkan efek backup konstituen
empedu (yang terpending bilirubin, garam empedu, dan lipid)
ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk
usus halus pada proses ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan

16
bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering
berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai
saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam
sirkulasi selalu diperikirakan sebagai penyebab keluhan gatal
(pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas,
sehingga patogenesis terjadinya gatal belum bisa diketahui
dengan pasti (Sulaiman, 2014).
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan
vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat
steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasi
yang berlangsung lama (Primary Biliary Cirrhosis), gangguan
penyerapan kalsium, vitamin D, dan vitamin lain yang larut
lemak dapat terjadi dan mengakibatkan osteoporosis atau
osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan
hyperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan
esterifkasi yang berkurang dalam darah turut berperan;
konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar
dalam darah sebagai lipoprotein densistas rendah tang unik dan
abnormal yang disebut lipoprotein X (Sulaiman, 2014).

V. PENDEKATAN DIAGNOSIS KLINIS


1. Riwayat Penyakit
Sebuah riwayat medis lengkap adalah bagian terpenting dari
evaluasi pasien dengan penyakit kuning yang tidak dapat
dijelaskan. Pertimbangan penting termasuk penggunaan obat atau
paparan bahan kimia, baik yang dokter resepkan maupun over-the-
counter, obat komplementer atau alternatif seperti herbal dan
sedian vitamin, atau obat-obatan lain seperti steroid anabolik.
Pasien harus hati-hati ditanyakan tentang kemungkinan paparan
parenteral, termasuk transfusi, penggunaan obat intravena dan
intranasal, tato, dan aktivitas seksual. Pertanyaan penting lainnya
termasuk riwayat perjalanan terakhir; paparan orang dengan

17
penyakit kuning; paparan makanan yang terkontaminasi; pajanan
hepatotoxins; konsumsi alkohol; durasi penyakit kuning; dan
adanya gejala yang menyertai seperti arthralgia, mialgia, ruam,
anoreksia, penurunan berat badan, sakit perut, demam, pruritus,
dan perubahan dalam urin dan feses. Sementara tidak satupun dari
gejala terakhir adalah spesifik untuk setiap satu syarat, mereka
dapat menyarankan diagnosis tertentu. Adanya artralgia dan
mialgia mendahului penyakit kuning menunjukkan hepatitis, baik
virus atau terkait obat. Penyakit kuning dengan nyeri yang parah
pada kuadran kanan dan menggigil menunjukkan koledokolitiasis
dan ascending cholangitis (Pratt & Kaplan, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
Penilaian umum harus mencakup penilaian status gizi pasien.
Pengecilan otot temporal dan proksimal menunjukkan penyakit
lama seperti kanker pankreas atau sirosis. Stigmata penyakit hati
kronis, termasuk Spider Nevi, eritema palmaris, ginekomastia,
caput medusa, kontraktur Dupuytren, dan pemeriksaan lengkap
abdomen untuk mengevaluasi adanya hepatomegaly(Fargo M et al,
2017).
Pembesaran kelenjar supraklavikula kiri (Virchow’s node) atau
nodul periumbilikalis (Sister Mary Joseph’s nodule) menunjukkan
keganasan perut. Distensi vena jugularis, tanda gagal jantung sisi
kanan, menunjukkan kongesti hati. Efusi pleura kanan, dengan
tidak adanya asites yang jelas, dapat dilihat pada sirosis tahap
lanjut (Pratt & Kaplan, 2012).
Pemeriksaan abdomen harus fokus pada ukuran dan
konsistensi hati, apakah limpa teraba dan karenanya membesar,
dan apakah terdapat asites. Pasien dengan sirosis mungkin
memiliki lobus kiri yang membesar dan teraba di bawah xifoideus,
dan pembesaran limpa. Sebuah nodul hati nodular atau massa
abdomen yang jelas menunjukkan keganasan. Pembesaran hati
yang lunak dapat disebabkan hepatitis virus atau alkoholik; proses

18
infiltratif seperti amiloid; atau lebih jarang, kongest hati yang akut
sekunder dari gagal jantung sisi kanan. Nyeri hebat pada kuadran
kanan atas dengan pernapasan terhenti saat inspirasi (tanda
Murphy) menunjukkan kolesistitis atau terkadang ascending
cholangitis. Asites dengan adanya penyakit kuning menunjukkan
baik sirosis atau keganasan dengan penyebaran peritoneal (Pratt &
Kaplan, 2012).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Ketika dokter bertemu dengan pasien dengan penyakit kuning,
ada serangkaian tes yang dapat membantu dalam evaluasi awal. Ini
termasuk serum bilirubin total dan langsung dengan fraksinasi,
aminotransferase, alkali fosfatase, albumin, dan tes waktu
protrombin. Tes enzim [alanine aminotransferase (ALT), aspartat
aminotransferase (AST), dan alkali fosfatase (ALP)] membantu
dalam membedakan antara proses hepatoseluler dan proses
kolestatik merupakan langkah penting dalam menentukan apa hasil
pemeriksaan tambahan diindikasikan. Pasien dengan proses
hepatoseluler umumnya memiliki kenaikan yang tidak proporsional
dalam aminotransferases dibandingkan dengan ALP. Pasien
dengan proses kolestatik memiliki kenaikan yang tidak
proporsional dalam ALP dibandingkan dengan aminotransferase.
Bilirubin dapat secara jelas meningkat pada kedua kondisi
hepatoseluler dan kolestasis dan karena itu tidak selalu membantu
dalam membedakan antara keduanya.
Selain tes enzim, semua pasien kuning harus memiliki tes
darah tambahan, khususnya tingkat albumin dan waktu protrombin
untuk menilai fungsi hati. Tingkat albumin rendah menunjukkan
proses kronis seperti sirosis atau kanker. Tingkat albumin normal
adalah sugestif dari proses yang lebih akut seperti hepatitis virus
atau koledokolitiasis. Waktu protrombin tinggi menunjukkan
adanya kekurangan vitamin K karena ikterus berkepanjangan dan
malabsorpsi vitamin K atau disfungsi hepatoseluler yang

19
signifikan. Kegagalan waktu protrombin untuk memperbaiki
dengan pemberian parenteral vitamin K menunjukkan cedera
hepatoseluler parah.
Hasil bilirubin, tes enzim, albumin, dan tes waktu protrombin
biasanya akan menunjukkan apakah pasien kuning memiliki
kelainan hepatoseluler atau penyakit kolestatik, serta beberapa
indikasi durasi dan keparahan penyakit. Penyebab dan evaluasi
penyakit hepatoseluler dan kolestasis sangat berbeda (Pratt &
Kaplan, 2012).

Gambar 4: Pemeriksaan Fungsi Hepar Pada Gangguan Hepatobiliar.


(Pratt & Kaplan, 2012)

20
Gambar 5: Alur Diagnosis Pasien Ikterus.
(Alan & Colin, 2018)

21
DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman. 2014. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Sri Setiati, Idrus
Alwi, Aru W.S., Marcellus S.K., Bambang setiyohadi, Ari Fahrial Syam
(Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (jilid 2, edisi IV), 1935-40. Jakarta:
Internal Publishing.

Alan GJ, Colin R, 2018. Macleod Clinical Diagnosis 2nd Ed, Sydney; Elsevier

Fargo M, Grogan S, Saguil A. 2017. Evaluation of Jaundice in Adults. Am Fam


Physician (95)3;164-168.

Pratt & Kaplan. 2012. Jaundice. Dalam Longo, Fauci, Kasper, Jameson, Loscalzo
(Ed.). Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th Ed (volume I), 324-29.
United States of America: The McGraw-Hill Companies.

22

Anda mungkin juga menyukai