Anda di halaman 1dari 9

PENDEKATAN DIAGNOSIS KLINIS PASIEN DENGAN IKTERUS

supriono

Abstract

Icterus (Jaundice) is a yellowish staining ofthe skin, sclera, and mucous membranes by bilirubin.
icterus can be caused by a wide variety of benign or life-threatening disorders. Clinical signs of icterus
occur when the serum bilirubin level exceeds 2.5 to 3 mg/dL. Bilirubin is an endogenous compound
that can be toxic, especially in neonates. However, it has recently been recognized that unconjugated
bilirubin (UCB) exerts a strong anti-oxidant activity. Bilirubin is an interesting molecule, with special
physico-chemical properties. Its complex metabolism is frequently disturbed. Biliary secretion is the
most susceptible step and is most easily disturbed, leading to conjugated hyperbilirubinaemia.

Icterus is a clinical manifestation of disorders of underlying bilirubin metabolism, hepatocellular


dysfunction, or biliary obstruction. As clinical presentations of icterus can be somewhat nonspecific
for the underlying etiology of disease, a stepwise approach to evaluation is necessary for accurate
diagnosis. In all cases, evaluation begins with complete blood count (CBC) and liver chemistry tests
which include bilirubin (conjugated and unconjugated), alkaline phosphatase (ALP), gamma-glutamyl
transpeptidase (γ-GT) and aminotransferase. The diazo-reaction is most often used and the
determination of total bilirubin (TB) and direct bilirubin (DB), which will allow defining the
hyperbilirubinaemia as: unconjugated hyperbilirubinaemia, conjugated hyperbilirubinaemia and
mixed hyperbilirubinaemia. The determination may help make the work-up more manageable in the
clinical settings.

PENDAHULUAN

Ikterus bukanlah diagnosis tetapi merupakan manifestasi klinis dari peningkatan bilirubin serum
(hiperbilirubinemia). Bilirubin merupakan produk pemecahan akhir dari hemoglobin melalui
metabolisme yang komplek. Hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan ensefalopati
(kernikterus) karena bilirubin dapat melewati sawar darah otak. Disamping efek toksik tersebut,
sebagai senyawa endogen, bilirubin juga mempunyai sifat sitoproteksi terhadap jaringan.
Hiperbilirubinemia merupakan penanda disfungsi dari kelainan hematologis atau hepatobiliar.
Beberapa kelainan tersebut ada yang berpotensi serius seperti hemolisis berat, gagal hati fulminan
atau kolangitis akut. Karena itu pendekatan klinis yang teliti terhadap pasien dengan ikterus perlu
dilakukan secara dini. (1, 2)

Ikterus (penyakit kuning atau jaundice) dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Pembagian
etiologi berdasarkan prehepatik, intrahepatik dan posthepatik dapat membantu mempermudah
dalam penentuan diagnosis banding. Penyebab ikterus prehepatik meliputi hemolisis dan resorpsi
hematoma, yang menyebabkan peningkatan kadar bilirubin (hiperbilirubinemia) tidak terkonjugasi
(unconjugated bilirubin; UCB). Gangguan intrahepatik dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi (conjugated bilirubin; CB). Gangguan posthepatik juga dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Sumbatan batu pada saluran empedu adalah kelainan posthepatik
yang paling sering menyebabkan ikterus. (3)

METABOLISME BILIRUBIN

Di dalam plasma terdapat 2 macam bilirubin, yakni bilirubin tidak terkonjugasi (UCB) dan bilirubin
terkonjugasi (CB). Sebagian besar UCB berasal dari haem pada hemoglobin yang dilepaskan saat
pemecahan eritrosit tua, sedangkan sisanya (sekitar 20%) berasal dari protein haem lain, seperti
isoenzim sitokrom P 450, mioglobin, dan lain-lain. Bilirubin dibentuk oleh sel makrofag (monosit) di
limpa dan sumsum tulang serta oleh sel Kupffer di hati, dan dilepaskan dalam plasma. Produksi
bilirubin sehari sekitar 3,8 mg / kg berat badan atau kira-kira 250-300 mg bilirubin pada orang
dewasa normal. (4)

Kelarutan UCB dalam air sangat buruk, karena itu UCB plasma sangat terikat pada albumin. UCB
masuk ke hepatosit sebagian besar secara pasif dan sebagian kecil dimediasi oleh protein
transporter anion organik. Mekanisme protein transporter tersebut masih belum diketahui secara
jelas. UCB dalam sitosol hepatosit berpotensi toksik, oleh karena itu mayoritas UCB diikat oleh
glutathione-S-transferase A (Ligandin), dan sebagian kecil lainnya terikat pada protein pengikat asam
lemak. Ikatan tersebut dapat mengurangi sifat toksisitas dari UCB. (4, 5)

UCB dikonjugasi di mikrosom hepatosit dalam bentuk ester dan terikat dengan gula yang berasal
oleh uridine diphosphate (UDP). Konjugasi ini dikatalisis oleh UDP glucuronyl-transferase (UDP-GT).
UDP-GT memediasi konversi berbagai macam metabolit toksik eksogen dan endogen menjadi
senyawa bioreaktif, senyawa polar yang mudah dieliminasi melalui empedu atau urin. Baik ligandin
maupun UDP-GT dikontrol secara ketat oleh nuclear constitutive androstane receptor (CAR).
Esterifikasi tersebut mengganggu ikatan hidrogen intramolekuler sehingga membentuk bilirubin
terkonjugasi (conjugated bilirubin; CB) yang lebih mudah larut dalam air. CB kemudian diekskresikan
dari sel hepatosit bersama cairan empedu. Konjugasi bilirubin mengurangi 5-10 kali lipat daya
ikatnya terhadap albumin atau protein intraselular. Hal tersebut dapat mencegah absorpsi ulang di
usus, oleh karena zat hidrofilik tidak mudah melewati dinding usus. Konjugasi juga menyebabkan
sentra senyawa dari -CH2- dapat berikatan secara langsung (direct) dengan reagen diazo. Oleh
karena itu, secara klinis CB dikenal juga dengan istilah bilirubin direk (direct bilirubin; DB). (4)

Ekskresi CB ke saluran empedu melawan gradien konsentrasi dan dimediasi oleh beberapa protein
transporter, yaitu multidrug resistance-related protein 2 (MRP2), dikenal juga dengan ATP-binding
cassette C2 (ABC-C2). CB kemudian bercampur dengan mixed micelles (bile acid, fosfolipid dan
kolesterol) dan mengalir ke usus melalui saluran empedu. Bukti terbaru menunjukkan bahwa
beberapa CB di hati, dalam kondisi fisiologis, disekresikan ke sinusoid dan kemudian di reuptake
kembali oleh hepatosit. Proses ini dimediasi oleh transporter sinusoidal multidrug resistance-related
protein 3 (MRP3) dan organic anion-transporting polypeptides 1B1 dan 1B3 (OATP1B1 dan
OATP1B3). MRP3 merupakan protein transporter untuk ekskresi CB ke pembuluh darah sinusoid,
sedangkan protein transporter OATP1B1 dan OATP183 untuk reuptake bilirubin dari sinosuid menuju
hepatosit kembali. (4, 5)

CB mencapai lumen usus melalui empedu. Di dalam usus, terjadi dekonjugasi CB, terutama dilakukan
oleh enzim usus. Saat dekonjugasi terjadi, sejumlah besar UCB terbentuk, dan pigmen ini dapat
menjalani penyerapan kembali usus ('resirkulasi enterohepatik'). Penyerapan semacam itu dapat
menyebabkan peningkatan kadar UCB serum. Perubahan reduktif lebih lanjut menyebabkan
terbentuknya urobilinogen. Proses reduksi tersebut dikatalisis oleh enzim dari bakteri dan
sebagiannya oleh enzim dari intestinal. Saat neonatus, flora bakteri belum berkembang, sehingga
pembentukan urobilinogen tidak maksimal. Dekonjugasi dan resirkulasi enterohepatik pada
neonatus tetap terjadi sehingga menambah kadar UCB serum yang dapat diamati pada ikterus
neonatal. (4) Sebagian besar urobilinogen juga diserap kembali dari usus kemudian diekskresikan
melalui saluran empedu dan sebagian kecil dikeluarkan dalam urin. Tidak adanya urobilinogen dalam
tinja dan urin menunjukkan adanya penyumbatan saluran empedu secara total. Pada penyakit hati
dan keadaan peningkatan produksi bilirubin, ekskresi urobilinogen urin meningkat. Urobilinogen
tidak berwarna; setelah dioksidasi menjadi urobilin baru berwarna dan memberikan kontribusi pada
warna urine normal dan tinja.

Disamping melalui saluran empedu, bilirubin juga dapat diekskresi melalui ginjal. Ultrafiltrasi fraksi
bilirubin di ginjal tergantung pada kelarutan dalam air dan berat molekulnya. UCB yang terikat
dengan albumin mempunyai berat molekul yang besar sehingga tidak dapat diekskresi melalui ginjal,
kecuali terjadi albuminuria. Sebagian besar CB larut dalam air sehingga dapat diekskresi melalui
ginjal. Pada kondisi kolestasis yang kronis dapat terjadi biliprotein (fraksi pigmen dari CB terikat
ireversibel dengan albumin di plasma, disebut juga delta-bilirubin) yang tidak dapat diekskresi
melalui ginjal. Biliprotein dalam plasma dapat berkurang saat albumin yang mengikat mengalami
proteolisis, dengan waktu paruh plasma 17 hari, seperti albumin yang lain. (4)

TOKSISITAS DAN SITOPROTEKSI DARI BILIRUBIN

Efek toksik bilirubin pada otak neonatus sudah dikenal sejak jaman dahulu. Perubahan warna kuning
pada ganglia basal disebut kernikterus. Imaturitas sawar darah-otak pada neonatus sering dianggap
sebagai penyebab atas kerentanan neonatus terhadap kernikterus akibat difusi pasif UCB di seluruh
sawar darah-otak. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap efek toksik UCB adalah dengan
meningkatkan metabolisme UCB dan sekresi aktif UCB ke dalam plasma oleh endotelium kapiler
otak. Pada neonatus, mekanisme pertahanan tersebut belum sempurna. Mekanisme neurotoksisitas
UCB antara lain, menginduksi neuronal apoptosis dan kematian sel melalui aktivasi death receptor
(Tumor Necrosis Factor Receptor 1 (TNFR1). UCB diduga juga dapat meningkatkan kalsium
intraselular melalui salah satu reseptor glutamat, yakni N-methyl-D-aspartate (NMDA). UCB
mengaktivasi NMDA menyebabkan peningkatan kalsium di organel intraseluler, termasuk
mitokondria. Mekanisme selanjutnya adalah gangguan potensiasi elektro-kimia di membran bagian
dalam mitokondria, hambatan produksi ATP dan terjadi apoptosis sel. (1)

Bilirubin tidak hanya sekedar produk akhir dari katabolisme heme. Saat ini, bilirubin dianggap
sebagai substansi mendasar yang bertindak sebagai agen antioksidan dan anti-inflamasi dalam
serum. Bilirubin dapat menetralkan radikal bebas dan mencegah peroksidasi lipid. Hal tersebut
disebabkan oleh senyawa karbon monoaksida (CO), suatu neurotransmiter dan anti-inflamasi yang
poten hasil dari oksidasi heme menjadi biliverdin oleh enzim heme oksigenase (HO-1). Reduksi
biliverdin (larut dalam air) menjadi bilirubin dengan bantuan enzim biliverdin reductase
menyebabkan internalisasi ion hidrogen dalam senyawa bilirubin. Oleh karena itu bilirubin tidak
larut dalam air (lebih larut dalam lemak). Bilirubin dapat melindungi sel dari proses peroksidasi
lemak dengan menangkap radikal bebas. Proses tersebut mengkonversi kembali bilirubin menjadi
biliverdin. (6)
GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN

Beberapa kondisi atau penyakit dapat menyebabkan terganggunya metabolisme bilirubin. Gangguan
metabolisme bilirubin dapat disebabkan oleh peningkatan produksi, gangguan konjugasi atau
penurunan sekresi/ekskresi bilirubin.

1. Peningkatan produksi bilirubin

Peningkatan produksi bilirubin dapat disebabkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah
(hemolisis) atau akibat diseritopoiesis. Hemolisis diikuti oleh peningkatan sintesis eritrosit di
sumsum tulang 6-8 kali lipat. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah retikulosid di sirkulasi,
UCB, laktat dehidrogenase (LDH) dan zat besi. Diseritopoiesis (gangguan eritropoiesis)
merupakan penyebab peningkatan UCB yang jarang, sebagai akibat dari kelainan pada salah
satu fase eritropoiesis sehingga menyebabkan sel-sel eritroid yang belum matang berada di
sumsum tulang dan di sirkulasi. Sel-sel eritroid tersebut mudah lisis, menyebabkan produksi
UCB. Diseritropoiesis terjadi pada talasemia dan beberapa kelainan lain, seperti defisiensi vit.
B-12 atau asam folat, mielodisplasia, anemia aplastik, dll. (4)

2. Gangguan konjugasi bilirubin

Bilirubin hanya bisa dieliminasi secara efisien dari tubuh setelah terkonjugasi di hepatosit.
Konjugasi bilirubin di endoplamik retikulum hepatosit dikatalisis oleh enzim UDP-GT. Mutasi
pada enzim tersebut dapat menyebabkan penurunan ekspresi atau inaktivasi enzim secara
parsial atau bahkan secara lengkap lengkap sehingga mengganggu proses konjugasi bilirubin.
Sedikitnya ada tiga kelainan bawaan yang menyebabkan peningkatan UCB, antara lain Crigler-
Najjar syndrome type-1 (CN1), type-2 (CN2)/Arias syndrome dan Gilbert's syndrome (GS). (5)

3. Gangguan sekresi/ekskresi bilirubin

Transportasi bilirubin didalam hati melibatkan empat tahap yang berbeda yang saling terkait: 1)
serapan (uptake) dari sirkulasi; 2) pengikatan (binding) atau penyimpanan (storage) intraselular;
3) konjugasi, dan 4) ekskresi. Kelainan pada salah satu proses tersebut dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia. Beberapa kelainan bawaan yang melibatkan mutasi protein transporter
dapat menyebabkan peningkatan bilirubin. Dua jenis kelainan bawaan yang dapat
menyebabkan peningkatan bilirubin adalah sindrom Dubin-Johnson dan sindrom Rotor.
Keduanya ditandai dengan peningkatan UCB dan CB, dengan dominan pada CB (lebih dari 50%
dari total bilirubin). (5)

ASPEK KLINIS-LABORATORIS DARI BILIRUBIN

Bilirubin sangat sensitif terhadap oksidasi dan ruangan terang, oleh karena itu sampel serum harus
terlindungi dari cahaya langsung dan dianalisis sesegera mungkin. Pemeriksaan bilirubin dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometri, umumnya menggunakan reaksi diazo (diazo-reaction).
Dalam reaksi diazo, CB diurai menjadi bentuk dipyrrolic azopigments (disebut reaksi direct Hymans-
Van den Berg langsung), karena itu CB dikenal dengan istilah direct bilirubin (DB). Sedangkan untuk
UCB, diperlukan zat akselerator, seperti urea, etanol, dimetil sulfoksida, dll; untuk menguraikan
ikatan hidrogen agar sentral -CH2 – dapat berekasi dengan reagen diazo. Reaksi diazo untuk UCB
memerlukan 'reaksi tidak langsung', oleh karena itu UCB dikenal dengan istilah indirect bilirubin (IB).
Namun demikian, reaksi diazo tidak sepenuhnya spesifik untuk membedakan secara kuantifikasi
antara CB dan UCB, karena sekitar 2,8% UCB dapat bereaksi dengan reagen diazo tanpa akselerator
dan 7% CB belum bereaksi dengan reagen diazo dalam 10 menit pertama. (4)

Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap bilirubin pada umumnya mencantumkan kadar total
bilirubin (TB) dan kadar direct bilirubin (DB). Gangguan metabolisme bilirubin dapat diklasifikasikan
berdasarkan rasio DB dan TB, dimana disebut sebagai Hiperbilirubinaemia tidak terkonjugasi bila
rasio DB / TB < 20-30%, sedangkan hiperbilirubinaemia terkonjugasi bila rasio DB / TB > 70%. Dalam
konteks klinis, reaksi diazo paling sering digunakan untuk menentukan TB dan DB dan dapat dipakai
untuk menentukan penyebab hiperbilirubinemia. (4)

PENDEKATAN DIAGNOSIS KLINIS PASIEN DENGAN IKTERUS

Seperti disebut diatas bahwa ikterus merupakan manifestasi klinis dari gangguan metabolisme
bilirubin, disfungsi hepatoselular atau obstruksi saluran empedu. Ikterus merupakan gejala non-
spesifik dengan etiologi penyakit yang beragam. Oleh karena itu diperlukan pendekatan klinis secara
bertahap untuk menentukan diagnosis yang akurat sehingga dapat memberikan pengobatan yang
efektif. Presentasi ikterus secara klinis terjadi bila kadar bilirubin serum melebihi 2,5 sampai 3 mg /
dL. Asesmen awal dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap dan tes kimia hati yang meliputi bilirubin (terkonjugasi dan tidak
terkonjugasi), alkali fosfatase (AFP), γ-glutamyl transpeptidase (γ-GT) dan aminotransferase. (7)

Ikterus (jaundice) adalah warna kekuningan pada kulit, sklera dan selaput lendir oleh bilirubin.
Bedakan dengan pseudojaundice yang dapat terjadi akibat konsumsi makanan kaya beta karoten
berlebihan (misal: labu/gambas, melon, dan wortel). Tidak seperti ikterus, karotenemia tidak
menyebabkan ikterus pada skleral atau peningkatan kadar bilirubin. (3)

Anamnesis

Pasien dengan ikterus dapat hadir tanpa gejala sama sekali (kondisi ditemukan tanpa sengaja), atau
mungkin hadir dengan kondisi kritis yang mengancam jiwa. Hal tersebut didasarkan pada beragam
etiologi dan onset dari penyakit penyebabnya. (3) Pendekatan diagnostik terhadap pasien ikterus
dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Informasi yang diperlukan dari
anamnesis antara lain tentang: (8)

- Keluhan-keluhan yang menyertai ikterus, seperti : gatal, kehilangan nafsu makan, penurunan
berat badan, tinja pucat, urin gelap, demam dan nyeri perut
- Penggunaan obat baik yang diresepkan, obat bebas atau obat herbal
- Riwayat konsumsi alkohol berlebih
- Faktor risiko virus hepatitis dan HIV (kontak seksual, transfusi darah, penggunaan obat
intravena)
- Riwayat obesitas atau sindrom metabolik
- Paparan kerja terhadap racun
- Riwayat keluarga dengan ikterus, penyakit hati, kanker atau anemia hemolitik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti dapat menemukan tanda-tanda penyakit hati kronis, seperti finger
clubbing, leuconychia, eritema palmaris, kontraktur Dupuytren, memar, tanda goresan, spider naevi,
ginekomastia, kaput medusa, hepatomegali, splenomegali atau asites. Pasien dengan sirosis tahap
lanjut mungkin menemukan gejala ensefalopati hepatik. Temuan tertentu menunjukkan penyakit
spesifik, seperti hiperpigmentasi pada hemokromatosis, cincin Kayser-Fleischer pada penyakit
Wilson, dan xantoma pada sirosis akibat primary biliary cirrhosis. Bila meraba masa di proyeksi
kantung empedu, tidak nyeri, ikterus dan hepatomegali (disebut tanda Courvoisier) menunjukkan
kemungkinan adanya keganasan pada kandung atau saluran empedu. (8) Ditemukannya murphy’s
mengindikasikan adanya infeksi di kantung empedu (cholecystitis), sedangkan triad Charcot's
(demam-mennggigil, jaundice dan nyeri perut kanan atas) merupakan petunjuk adanya infeksi
saluran empedu (cholangitis).

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diawali dengan analisa darah lengkap untuk melihat tanda-tanda anemia
hemolitik, yang ditandai dengan adanya abnormal struktur sel darah merah (schistocytes) dan
peningkatan retikulosit pada hapusan darah tepi. Pemeriksaan aspartate aminotransferase (AST)
atau serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT) atau
serum glutamic pyruvate transaminase (SGPT) untuk mengetahui injuri hepatoselular / parenkim
hati, sedangkan pemeriksaan ALP dan γ-GT untuk mengetahui kemungkinan adanya kolestasis. (3)

Bilirubin tidak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi

Hasil pemeriksaan bilirubin sangat penting untuk menentukan etiologi penyakit. Berdasarkan rasio
DB / TB, diagnosis banding pasien dengan ikterus diklasifikasikan dalam 3 kelompok: (4)

1. Hiperbilirubinaemia tidak terkonjugasi: DB/TB < 20-30%.

Bila hasil laboratorium DB/TB < 20-30%, etiologi ikterus umumnya dibebabkan oleh kelainan
atau penyakit yang terjadi sebelum proses konjugasi bilirubin, antara lain: kelainan atau
penyakit yang menyebabkan hemolisis atau diseritropoeisis, dan kelainan bawaan, seperti
Gilbert’s syndrome atau Crigler–Najjar type-2 (jarang). (4, 5)

2. Hiperbilirubinaemia terkonjugasi: DB/TB > 70%.

Bila hasil laboratorium DB/TB > 70%, perlu dipikirkan ikterus disebabkan oleh kolestasis
(sumbatan intra dan ekstra hepatik) atau kelainan bawaan (jarang), seperti Dubin Johnson atau
Rotor syndrome. (4, 5) Sebagian besar (80-100%) pasien ikterus akibat kolestasis memberikan
manifestasi pruritus (itch; gatal). Pruritus tersebut justru merupakan keluhan signifikan dari
pasien untuk datang berobat. Keluhan gatal disebabkan oleh stimulasi reseptor dan ujung saraf
di kulit oleh pruritogen. Bahan-bahan pruritogen pada pasien dengan ikterus diduga antara lain
bile salt, histamin, serotonin, steroid, opioids atau lysophosphatidic acids. (9)

3. Hiperbilirubinaemia campuran (mixed): DB/TB = 30–60%.

Kondisi ini ditandai dengan peningkatan serum CB dan UCB. Hal ini dapat terjadi pada kelainan
yang menyebabkan peningkatan produksi dan penurunan sekresi bilirubin, namun juga dapat
terjadi ketika UCB lolos dari proses konjugasi hepatosit karena tidak melewati sirkulasi hati
(bypass/shunt). Kondisi sirosis dapat menyebabkan shunt intra maupun ekstra hepatik (varises,
splenorenal, dll) menyebabkan UCB tidak melewati proses konjugasi di hepatosit. Shunt
tersebut juga dapat meningkatkan bile acids dan amonia, karena lolos dari metabolisme di hati.
Kondisi ‘post operative jaundice’ juga dapat menyebabkan peningkatan UCB dan CB.
Hiperbilirubin pada post operative jaundice umumnya terjadi dalam 2-4 hari setelah operasi,
terutama pada pasien tua, hipoksia, kondisi kritis atau operasi lama yang mendapatkan
transfusi PRC. Penyebab post operative jaundice antra lain: 1) produksi berlebihan; 10% PRC lisis
dalam 24 jam, ½ liter PRC memproduksi 250 mg bilirubin, 2) penurunan sekresi bilier, akibat
sitokin inflamasi, dan 3) disfungsi ginjal, terkait dengan penurunan ekskresi CB. (4)

Alkali fosfatase (ALP)

Alkali fosfatase merupakan sekelompok metalloenzim seng yang mengkatalisasi hidrolisis ester.
Dalam hati, alkali fosfatase terutama berasal dari membran kanalikuli hepatosit. Alkali fofatase
serum sebagian besar berasal dari hati, tulang dan usus. Dalam kondisi obstruksi empedu,
peningkatan konsentrasi asam empedu (bile acid) meningkatkan ekspresi alkali fosfatase,
menyebabkan menghasilkan translokasi enzim dari membran kanalis ke permukaan basibateral atau
sinusoidal. Kadar alkali fosfatase dalam sinusoid hati dapat diketahui dari tingginya kadar di serum.
Pasien ikterus dengan peningkatan alkali fosfatase mencerminkan disfungsi hepatoselular atau
obstruksi saluran empedu yang signifikan sehingga menghambat aliran empedu. (7)

Gamma-Glutamyl Transpeptidase (γ-GT)

Gamma-GT adalah sialoglikoprotein yang berperan penting dalam metabolisme glutathione. Serupa
dengan alkali fosfatase, γ-GT dapat ditemukan di hati, ginjal, limpa, otak, paru-paru, usus, dan
prostat. Peningkatan kadar γ-GT serum sensitif terhadap penyakit hepatobiliary; namun, tidak
spesifik karena dapat meningkat pada diabetes, penyakit ginjal, infark miokard, penyakit rematik,
penyakit neurologis, dan pankreatitis. Beberapa obat, terutama antikonvulsan, dan penggunaan
alkohol telah terbukti menyebabkan peningkatan aktivitas enzim γ-GT. Yang jelas, kadar γ-GT tidak
meningkat pada penyakit muskuloskeletal; oleh karena itu, pemeriksaan γ-GT berguna dalam
mengesampingkan penyakit tulang pada pasien dengan alkali fosfatase yang meningkat.(7)

Pencitraan (Imaging) pada pasien dengan ikterus

Apabila dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium awal mencurigai adanya sumbatan
pada saluran empedu, maka ada indikasi untuk pemeriksaan ultrasoundgraphy (USG) abdomen. USG
merupakan modalitas pencitraan pilihan karena tidak invasif, murah dan tersedia secara luas. USG
memiliki rentang sensitivitas 55-91% untuk mendeteksi pelebaran atau obstruksi saluran empedu.
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah teknik noninvasive untuk
mengevaluasi intrahepatik dan ekstrahepatik Saluran empedu dan saluran pankreas, dan biasanya
digunakan untuk mengkonfirmasi choledocholithiasis sebelum memulai prosedur invasif seperti
cholangiopancreatography retrograd endoskopic (ERCP). ERCP umumnya dilakukan untuk terapeutik
intervensi, seperti pengambilan batu empedu atau dilatasi striktur saluran empedu. ERCP juga dapat
digunakan untuk mengambil jaringan dari striktur bilier (melalui brushings) untuk mengidentifikasi
adanya keganasan. Endoscopic ultrasound (EUS) adalah teknik invasif dengan mengunakan
gastroscope yang dilengkapi probe ultrasound diujung scope. Gambar ultrasound dari jarak dekat
semacam itu memberikan informasi lebih rinci tentang anatomi empedu dan pankreas. EUS sangat
membantu pada saat biopsi jaringan. (8)

Biopsi hati

Biopsi hati mungkin diperlukan untuk kasus-kasus ikterus yang sulit, yang dengan pemeriksaan lain
belum menemukan etiologinya. Jaringan hati yang diperoleh dari biopsi dapat diperiksa lebih lanjut
untuk mengetahui penyebaran sel-sel inflamasi, histologi jaringan hati atau bahkan dapat dipakai
untuk mengetahui sitokin, enzim dan protein-protein lain dalam jaringan hati dengan menggunakan
pemeriksaan imunohistokimia. (10)

Tumor Marker Carbohydrate Antigen 19-9 (CA19-9)

Carbohydrate Antigen 19-9 (CA19-9) adalah penanda tumor yang dipromosikan sebagai tes yang
handal untuk mendeteksi keganasan pankreato-biliari. Untuk mendiagnosis kanker pankreas, CA19-9
memiliki sensitivitas 70% -80% dan spesifisitas 80% -90%, sedangkan pada cholangiocarcinoma tanpa
riwayat sclerosing cholangitis, sensitivitas dan spesifisitas CA19-9 masing-masing adalah 77,9% dan
76,3%. sayangnya CA19-9 meningkat tidak hanya pada pasien dengan kanker pankreas atau bilier,
tetapi juga meningkat pada penyakit empedu jinak dengan manifestasi penyakit kuning (ikterus).
Pemeriksaan CA19-9 pada kasus ikterus obstruksi hasilnya sering menyesatkan (false positif),
sehingga mengurangi akurasi diagnostik penanda ini secara signifikan. Oleh karena itu perlu
membatasi penggunaan CA19-9 pada manajemen pasien dengan kanker pankreato-biliari. (11, 12)
Penggunaan bersama CA19-9 dengan kadar C-reactive protein (CRP) dalam bentuk rasio (CA19-
9/CRP) dapat menaikkan nilai spesifisitas dan positive predictive value (PPV) CA19-9 dalam
menentukan diagnosis banding antara keganasan dan jinak pada pasien dengan ikterus. (13)

PENUTUP

Ikterus (penyakit kuning atau jaundice) bukanlah nama penyakit, tetapi merupakan manifestasi klinis
dari peningkatan bilirubin serum. Ikterus dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Beberapa
kondisi atau penyakit dapat menyebabkan terganggunya metabolisme bilirubin. Gangguan
metabolisme bilirubin dapat disebabkan oleh peningkatan produksi, gangguan konjugasi atau
penurunan sekresi/ekskresi bilirubin. Berdasarkan rasio DB/TB, diketahui adanya hiperbilirubinaemia
tidak terkonjugasi bila rasio DB/TB < 20-30% dan hiperbilirubinaemia terkonjugasi bila rasio DB/TB >
70%. Pembagian tersebut dapat mempermudah dalam menentukan diagnosis banding etiologi dari
ikterus.

Pendekatan diagnosis awal pasien dengan ikterus dimulai dengan anamnesis yang tepat,
pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium sederhana, seperti pemeriksaan darah
lengkap, kadar bilirubin, alkali fosfatase (AFP), γ-glutamyl transpeptidase (γ-GT) dan
aminotransferase. Bila mencurigai adanya sumbatan saluran empedu dapat dilakukan pemeriksaan
pencitraan seperti USG dan atau MRCP. ERCP umumnya digunakan untuk terapeutik intervensi,
seperti pengambilan batu empedu atau dilatasi striktur saluran empedu. Gambaran ultrasound dari
EUS memberikan informasi lebih rinci tentang anatomi empedu dan pankreas. Biopsi hati diperlukan
untuk kasus-kasus ikterus yang sulit, yang dengan pemeriksaan lain belum ditemukan diagnosis
pastinya. Pemeriksaan CA19-9 pada kasus ikterus obstruksi harus dibatasi karena dapat memberikan
nilai false positif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tiribelli C, Ostrow JD. The molecular basis of bilirubin encephalopathy and toxicity: Report of an
EASL Single Topic Conference. Journal of Hepatology 2005;43:156–66.

2. Kapitulnik J. Bilirubin: An Endogenous Product of Heme Degradation with Both Cytotoxic and
Cytoprotective Properties. Molecular Pharmacology 2004;66(4):773-9.

3. Roche SP, Kobos R. Jaundice in the Adult Patient. Am Fam Physician 2004;69:299-304.

4. Fevery J. Bilirubin in clinical practice: a review. Liver International 2008:592-605.

5. Sticova E, Jirsa M. New insights in bilirubin metabolism and their clinical implications. World J
Gastroenterol 2013;19(38):6398-407.

6. Regino WO, Velasco H, Sandoval H. The protective role of bilirubin in human beings. Rev Col
Gastroenterol 2009;24(3):287-94.

7. Gondal B, Aronsohn A. A Systematic Approach to Patients with Jaundice. Semin Intervent Radiol
2016;33:253-8.

8. Houlihan DD, Armstrong MJ, Newsome PN. Investigation of jaundice. Medicine 2011;39(9):518-
21.

9. Bassari R, Koea JB. Jaundice associated pruritis: A review of pathophysiology and treatment.
World J Gastroenterol 2015;21(5):1404-13.

10. Rustagi T, Newton E, Kar P. Percutaneous liver biopsy. Tropical Gastroenterology


2010;31(3):199-212.

11. Ballehaninna UK, Chamberlain RS. The clinical utility of serum CA 19-9 in the diagnosis,
prognosis and management of pancreatic adenocarcinoma: An evidence based appraisal. J
Gastrointest Oncol. 2012;3(2):105-19.

12. Natsios A, Vezakis A, Kaparos G, Fragulidis G, Karakostas N, Kouskouni E, et al. Significance of


serum and bile tumor markers in the diagnostic approach of patients with malignant
pancreatobiliary disease. JBUON 2015;20(4):1030-6.

13. Greca GL, Sofia M, Lombardo R, Latteri S, Ricotta A, Puleo S, et al. Adjusting CA19-9 values to
predict malignancy in obstructive jaundice: Influence of bilirubin and C-reactive protein. World J
Gastroenterol 2012;18(31):4150-5.

Anda mungkin juga menyukai