Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

POLA PENDIDIKAN NEGARA BERKEMBANG


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah :
“Pendidikan Komparatif”

Dosen Pengampu : Alvian Agung Nurhaqy, M.Pd

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1
1. Esa Bilqis Wahdini 18010049
2. Gina Febrian G 18010050
3. Rizkya Isfani N 18010128

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(IKIP ) SILIWANGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini hingga selesai dengan tepat
waktu.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini

Cimahi, 28 Oktober 2020


Daftar Isi

KATA PENGANTAR................................................................................................................I

Daftar Isi...............................................................................................................................II

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................................................1

BAB II........................................................................................................................................2

PEMBAHASAN........................................................................................................................2

2.1 Negara Berkembang....................................................................................................2

2.2 Pola Pendidikan...........................................................................................................3

2.3 Pola pendidikan Otoriter..............................................................................................4

2.4 Pola Pendidikan Demokrasi........................................................................................6

2.5 Pola pendidikan Permisif (Laissez Faire)....................................................................7

2.6 Kebijakan – kebijakan Pendidikan Negara Berkembang............................................7

2.7 Ciri-ciri Kebijaksanaan Pendidikan di Negara Berkembang.......................................8

2.8 Permasalahan pada Pendidikan Negara Berkembang.................................................9

BAB III.....................................................................................................................................11

PENUTUP................................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................11

3.2 Saran...............................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari pertumbuhan dan pengembangan
pendidikan masyarakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan kunci
dasar dari suatu negara. Pendidikan sering diibaratkan sebagai lambang kekuatan,
kewibawaan dan kebesaran dari suatu bangsa dimanapun di dunia ini. Pendidikan
pada hakikatnya merupakan suatu kebutuhan asasi manusia. Hal ini sudah dijelaskan
dalam pada alenia 4 dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan
negara ialah adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian dalam Pasal 31
UUD 1945 ini juga disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan dan pengajaran.

Studi komparasi adalah disiplin ilmu yang mempelajari sistem-sistem


pendidikan baik dalam satu negara, maupun antar negara (Pfeffer, 2015; Reynolds et
al., 2015). Aneka inovasi pendidikan baik melalui menggali sumbersumber kreatif
dari dalam negeri maupun melalui analisis komparasi pendidikan negara lain yang
dianggap berhasil dalam mengembangkan kualitas pendidikan. Melalui analisis
komparasi pendidikan, kita dapat mengetahui bagaimana negara lain merencanakan
pengembangan dan peningkatan sistem pendidikannya yang dapat ditiru, maka
pendidikan komparatif berusaha memberikan kontribusi dan rekomendasi kepada
pengambilan kebijakan dalam rangka membangun dan memajukan sistem pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud Negara Berkembang?
b. Apa itu pola Pendidikan?
c. Apa saja Kebijakan – kebijakan Pendidikan di Negara Berkembang?
d. Masalah apa saja yang biasa terjadi pada Pendidikan di Negara Berkembang?

1.3 Tujuan Penelitian


a. Untuk mengetahui pengertian Negara Berkembang
b. Untuk mengetahui definisi pola pendidikan
c. Untuk memahami kebijakan – kebijakan dari Pendidikan Negara Berkembang
d. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada Pendidikan Negara
Berkembang
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Negara Berkembang


1. Definisi Negara Berkembang
Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang
rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang
kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia
Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin.

Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara


fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah
seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki
sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-
sendiri. Penerapan istilah ‘negara berkembang’ ke seluruh negara yang kurang
berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin,
yaitu Negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah
mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan (Anan, 2010)

2. Indikator Negara Berkembang

Ada indikator utama untuk mengukur gimana sih suatu negara bisa
dikatakan sebagai negara berkembang, yaitu :

a) Pendapatan Perkapita
b) Jumlah Penduduk Miskin
c) Tingkat Pengangguran
d) Angka Kematian Bayi dan Ibu Melahirkan
e) Angka Melek Huruf
3. Ciri – ciri Negara Berkembang
a) Perekonomian Pada Sektor Primer
Sektor primer merupakan sektor yang kerjanya masih mengutamakan
kekayaan alam atau aktivitas sebagain besar penduduk bersifat agraris, seperti
pertanian, kehutaan, perikanan dan lainnya.
b) Pendapatan Perkapita Tergolong Rendah
Pada indikator utama pertama menyinggung masalah pendapatan perkapita
(pendapatan dalam satu tahun). Menurut Bank Dunia, pendapatan negara
berkembang mengenah : US $876 – $3,465. Pendapatan negara berkembang
keatas : US $3,466 – US $10,275
c) Tingkat Pendidikan Rendah
Biasanya diukur dari fasilitas yang masih kuramg. Pemerintah masih kesulitan
dalam penyediaanya, kurikulum masih dirasa berat bagi siswa dan lain
sebagainya.
d) Kurang Disiplin dan Tidak Menghargai Waktu 
Budaya dari negara berkembang yang semakin berkembang merupakan
ketidakdisiplinan dan kurang menghargai waktu.
e) IPTEK Kurang Dikuasai
Contoh saja dalam pengolahan industri kebanyakan masih memakai cara
tradisional, jadi ketinggalan.

f) Tingginya Laju Pertumbuhan Penduduk


Ciri-ciri negara berkembang ini merupakan hasil dari indikator 4, angka
kematian
g) Rendahnya Modal Perorangan
Minimnya pengetahuan, iptek yang kurang dikuasai, pendapatan perkapita
yang rendah menyebabkan modal perorangan sangat minim.Kemudian
mindset mereka masih berfikir terus tanpa melakukan sesuatu, “Modal harus
banyak” Namun sekarang yang kita butuhkan yaitu banyak bekerja.
h) Lebih Banyak Import dibanding Eksport
Ciri-ciri negara berkembang yang ini pasti sudah paham. Banyak produk dari
luar negeri yang masuk ke Indonesia tanpa dipilah terlebih dahulu. Namun
budaya konsumtif dan ingin up to date menyebabkan barang import susah
untuk dibendung lagi.
i) Tingkat Korupsi Cukup Tinggi
Di Indonesia sendiri korupsi mungkin sudah dianggap hal “wajar” oleh
sebagian besar orang, hal yang memalukan ini sebenarnya jangan sampai
dianggap wajar walau dalam kenyataanya tidak berujung atau tidak selesai-
selesai.
2.2 Pola Pendidikan
Pada tataran konsep, asumsi berhasil atau tidaknya pendidikan Islam anak dalam
satu kesatuan individu untuk satu komunitas pada wilayah tertentu perlu disadari juga
turut bergantung pada kemampuan orang tua/ustad/guru/tokoh masyarakat secara khusus
atau semua individu yang turut memberikan interaksi, bimbingan atau didikan bermuatan
pendidikan Islam pada anak. Kemampuan tersebut antara lain kemampuan orang
tua/ustad/guru/tokoh masyarakat dalam memilih pola pendidikan Islam di lingkungan
keluarga dan masyarakat bagi anak. Sedangkan pola sendiri dimaknai sebagai “sistem
cara kerja”.

Dengan demikian pola pendidikan Islam merupakan suatu cara yang ditempuh
oleh orang tua/ustad/guru/tokoh masyarakat dalam mendidik anak sebagai perwujudan
dan rasa tanggung jawabnya terhadap anak. Cara mendidik dalam keluarga dan
masyarakat yang baik, diharapkan dapat menumbuh-kembangkan kepribadian anak
menjadi kepribadian yang kuat dan memiliki sikap positif serta intelektual yang
berkualitas.“Cara mendidik anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat identik
dibentuk dengan pola pendidikan otokratik, demokratis dan permisif”. Lebih lanjut
dideskripsikan sebagai berikut:

2.3 Pola pendidikan Otoriter.


Pola pendidikan otoriter merupakan salah satu pola pendidikan yang paling banyak
dikenal hal ini dikarena tergolong pola yang paling tua, “pola ini ditandai dengan cara
mendidik anak melalui aturan-aturan yang ketat, pemaksaan kehendak pada anak”[3],
karakter pola pendidikan seperti ini cenderung mencerminkan pola interaksi orang tua,
tokoh masyarakat atau orang dewasa yang berupaya memberikan pendidikan kepada
anak memiliki presentase interaksi berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan anak
dengan memakai model aturan-aturan yang ketat, bahkan cenderung pemaksaan
kehendak pada anak, dan orang tua tokoh masyarakat atau orang dewasa menganggap
semua sikap dan perbuatannya pada anak sudah benar sehingga tidak perlu
dipertimbangkan dengan anak, meskipun anak kadang kala memandang dirinya seolah
terproteksi sebagai individu yang telah dewasa yang sepatutnya memperoleh hak-hak
pendidikan yang layak sebagaimana hakikat pendidikan yang memahami hak dan posisi
antara pendidik dan peserta didik.

Dalam prakteknya pola pendidikan otoriter, hukuman biasanya dipergunakan dengan


presentase yang kerap tinggi sebagai sebuah alternatif sarana dalam proses pendidikan,
sehingga anak melaksanakan perintah atau tugas dari orang tua tokoh masyarakat atau
orang dewasa atas dasar takut atau perasaan tidak nyaman memperoleh hukuman dari
orang tuanya. Perilaku orang tua tokoh masyarakat atau orang dewasa yang
mencerminkan pola pendidikan otoriter antara lain dicerminkan dengan adanya unsur-
unsur berikut:

 Anak harus mematuhi peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.
 Orang tua cenderung mencari kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.
 Perbedaan pendapat pada anak, dianggap sebagai perlawanan dan pembangkangan
pada orang tua.
 Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan terhadap anak, serta
cenderung memaksakan disiplin pada anak tanpa memandang situasi dan kondisi,
 Orang tua cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai
pelaksana perintah (orang tua sangat berkuasa). [4].

Pola pendidikan otoriter apabila diterapkan pada anak dengan intensitas monoton
tentunya hal ini memberikan dampak tersendiri bagi orang tua/orang dewasa selaku
pendidik, bahkan lebih jauh dari itu anak selaku individu yang dididik kadang kala
mendapatkan nilai-nilai pendidikan yang kurang efektif, artinya pola pendidikan seperti
ini apabila diterapkan tanpa adanya kreativitas kolaborasi dengan pola pendidikan yang
lebih ideal berdasarkan kebutuhan dan karakter perkembangan anak selaku individu yang
diberikan bimbimngan atau pendidikan tidak munutup kemungkinan ditemuinya perilaku
yang kurang baik dari anak sebagai reaksi pola pendidikan tersebut, senada dengan apa
yang telah dikemukakan Tambayong Prasetya akibat-akibat negatif dalam pola
pendidikan otoriter diseskripsikan sebagai berikut:

 Anak pasif dan kurang berinisiatif.


 Anak tertekan dan merasa ketakutan, kurang pendirian dan mudah dipengaruhi
 Anak ragu-ragu, bahkan tidak berani mengambil keputusan dalam hal apa pun, karena
dia tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri.
 Di luar lingkungan rumah, anak menjadi agresif, karena anak merasa bebas dari
tekanan orang tua.
 Pelaksanaan perintah dari orang tua oleh anaknya, atas dasar takut pada hukuman.
 Anak suka menyendiri dan mengalami kemunduran kematangannya.

2.4 Pola Pendidikan Demokrasi


Pola pendidikan demokrasi adalah “suatu cara mendidik yang aktif, dinamis dan
terarah yang berusaha mengembangkan setiap bakat yang dimiliki anak untuk kemajuan
perkembangannya”. Pola ini menempatkan anak selaku individu sebagai faktor utama
dan terpenting dalam pendidikan. Hubungan antara orang tua atau orang yang telah
dewasa selaku pendidik dan anak dalam proses pendidikan diwujudkan dalam bentuk
human relationship yang didasari oleh prinsip saling menghargai dan saling
menghormati. 

Hak orang tua atau orang yang telah dewasa selaku pendidik hanya memberi
tawaran dan pertimbangan dengan segala alasan dan argumentasinya, selebihnya anak
sendiri yang memilih alternatif dan menentukan sikapnya yang dianggap lebih tepat
berdasarkan norma dan koridor yang ada. Proses pendidikan dilaksanakan untuk
menumbuhkembangkan sikap dan potensi/bakat bawaan yang ada pada anak. Di
lingkungan pendidikan keluarga dan masyarakat, pola demokrasi merupakan bentuk
yang paling serasi karena memungkinkan anak selaku individu dapat belajar secara aktif
dalam mengembangkan dan memajukan potensi bawaannya, serta anak dapat kreatif dan
inovatif. Dengan pola ini, setiap kemajuan belajar anak dapat dijadikan sebagai
pencerminan dari inisiatif dan kreatifitas anak.

Dalam penanaman aqidah Islam pada anak, orang tua atau orang dewasa selaku
pendidik tidak harus mutlak menyajikan pola pendidikan yang diharapkan dengan ini
tertanam nilai-nilai aqidah secara demokratis, artinya pola pendidikan lebih fleksibel
disesuaikan dengan pola kebutuhan dan perkembangan individu apalagi ketika anak
masih kecil, Tetapi makna pendidikan demokratis menjadi aspek didalamnya. 
Adapun akibat bagi pembentukan pribadi anak dengan pola tersebut kembali Zahara
Idris dan H. Lisma Jamal menjelaskan antara lain “Anak menjadi kreatif dan mempunyai
daya cipta (mudah berinisiatif), anak patuh dengan sewajarnya, anak mudah
menyesuaikan diri dan percaya pada diri sendiri, serta bertanggung jawab dan berani
mengambil keputusan”.Selain itu, anak juga aktif dalam hidupnya, fleksibel dan
emosinya lebih stabil.

Dari konsep pendidikan demokratis seyogyanya orang tua atau orang dewasa selaku
pendidik tidak mengharuskan pola tingkah dan pikir sebagai bentuk kreativitas anak
didik ditolerir, artinya ada batas-batas tertentu. Hal-hal tersebut bisa ditolerir dan tidak,
senada dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Aziz el-Qussy, tidak semua
perbuatan anak ditolerir oleh orang tua, dalam hal-hal tertentu orang tua perlu ikut
campur terhadap anaknya, misalnya :

 Dalam keadaan yang membahayakan hidup atau keselamatannya,


 Dalam hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang lahir,
dan
 Dalam permainan yang menyenangkan bagi anak tetapi menyebabkan suasana yang
mengganggu ketenangan umum”.

2.5 Pola pendidikan Permisif (Laissez Faire)


Pola pendidikan permisif diartikan sebagai “cara mendidik dengan membiarkan
anak berbuat sekehendaknya, jadi orang tua tidak memberi pimpinan, nasehat maupun
teguran terhadap anaknya”. Orang tua atau orang dewasa selaku pendidik tidak
mempedulikan perkembangan psikis anak tetapi memprioritaskan kepentingan dirinya,
dan anak diabaikan serta dibiarkan berkembang dengan sendirinya.

Pola pendidikan Permisif (Laissez Faire) terlihat pada Orang tua atau orang
dewasa selaku pendidik yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit
tekanan, sehingga menciptakan suatu pola interaksi rumah tangga dan masyarakat yang
terpusat pada anak. Orang tua dalam keluarga hanyalah sebagai orang tua yang tidak
memiliki kewajiban atau tanggung jawab mendidik anaknya.
Pola pendidikan ini ditandai dengan pemberian kebebasan tanpa batas pada anak,
anak berbuat menurut kemauannya sendiri, tidak terarah dan tidak teratur sehingga
keluarga dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan informal nihil untuk memiliki
fungsi edukatif. Cara mendidik ini tidak tepat bila dilaksanakan secara murni di
lingkungan lembaga pendidikan keluarga dan masyaraakt karena dapat mengakibatkan
anak berkepribadian buruk.

Bentuk prilaku orang tua atau orang dewasa selaku pendidik yang permisif, antara
lain membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor (mengawasi) dan
membimbingnya, mendidik anak secara acuh tak acuh, bersifat pasif atau bersifat masa
bodoh, dan orang tua atau orang dewasa selaku pendidik hanya mengutamakan pemberian
materi semata bagi anaknya.

2.6 Kebijakan – kebijakan Pendidikan Negara Berkembang


Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational
policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa
penilaian atas faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan
sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan
tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil
keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakasanaan pendidikan di negara-negara berkembang umumnya berasal dari
warisan kebijakasanaan pendidikan kaum kolonial. Dikatakan demikian oleh karena
negara-negara berkembang pada saat baru pertama kali merdeka belum semat
membangun kebijaksanaan pendidikannya sendiri berdasarkan kebutuhan realistik
rakyatnya. Kemerdekaan yang telah tercapai di bidang politik tidak dengan sendirinya
diikuti oleh kemerdekaan di bidang lainnya, lebih-lebih di bidang pendidikan.

            Dalam pelaksanaannya pun dapat dipastikan bahwa seluruh kebijaksanaan


pendidikan di negara berkembang yang merupakan negara yang masih mencari bentuk
serta pola kebijaksaannya sendiri tentunya selalu belajar terhadap negara-negara kolonial
utamanya yang telah sangat maju dibandingkan negaranya sendiri. Hal ini telah
menunjukan bahwa negara berkembang tidak serta merta meninggalkan begitu saja
bentuk-bentuk kebijaksanaan yang dibawa oleh negara-negara kolonial, melainkan masih
mungkin dipakai dan di terapkan dalam mengatur kebijakasaan pendidikan di negaranya.
2.7 Ciri-ciri Kebijaksanaan Pendidikan di Negara Berkembang
Kebijaksanaan yang meruapakan warisan dari kaum kolonial yaitu:

Pertama, sifatnya yang elastis, atau lebih banyak memberikan kesempatan kepada
sekecil masyarakat dan tidak lebih banyak memberikan kesempatan kepada sebagian
besar masyarakat. Realitas  demikian tampak mula-mula pada awal-awal kemerdekaan
terutama dalam hal kesempatan mendapatkan layanan pendidikan, meskipun
pengejawantahannya akhirnya lebih bersentuhan dengan persoalan mutu pendidikan.
Tampak sekali, bahwa layanan pendidikan yang bermutu, tetap dinikamati oleh kalangan
terbatas, sementara kalangan kebanyakan sekadar mendapatkan layanan pendidikan yang
dari segi kualita sangat memperihatinkan. Keluhan mengenai mutu pendidikan yang
akhir-akhir ini pernah mencuat ke permukaan, agaknya dapat dilihat dari sudut pandang
ini.

            Kedua, berorientasi sosio-ekonomik. Orientasi sosio-ekonomik demikian,


berkaitan erat dengan jaringan ekonomi inetrnasional di mana negara-negara maju
berposisi sebagai sentranya sementara negara-negara berkembang sekadar sebagai
periferalnya. Dalam kedudukan sebagai periferalnya, negara berkembang umumnya
secara ekonomik masih tinggi tingkat dependensinya terhadap negara maju. Bantuan-
bantuan yang diberikan dalam bentuk pinjaman bagi pelaksanaan pendidikan di negara-
negata berkembang, umumnya justru memperkukuh dpendensi tersebut. Jika secara
ekonomik hal demikian masih bergantung dan belum mandiri, maka dalam hal strategi
pencapaian tujuan pendidikannya pun juga masih tetap bergantung. Tidak jarang,
pembaruan-pembaruan di bidang pendidikan, umumnya dimulai dari negara maju; dan
begitu di negara maju sudah ditinggalkan, baru dimulai dan di galakkan di negara-negara
berkembang. Negara-negara berkembang seolah-olah terombang-ambing oleh pasanga
surutnya, naik turunnya dan jaya hancurnya konsep-konsep mengenai pendidikan di
negara-negara maju.

            Ketiga, liberal, rasional, individual, achievement oriented dan sosial alienated.
Ciri-ciri pendidikan demikian, umumnya berbeda dan bahkan berlawanan dengan ciri-
ciri masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang di negara-nnegara berkembang.
Pendidikannya liberal, padahal masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai
kolektifisme; pendidikannya menanamkan rasionalitas, padahal masyarakat negara-
negara berkembang banyak juga mempunyai budaya-budaya yang tidak saja
mengembangkan rasionalitas melainkan juga segi-segi emosional dan batiniah;
pendidikannya individual padahal masyarakatnya menjunjung tinggi kesetiakawanan
sosial dan gotong royong; pendidikannya  achievement oriented secara sempit sekadar
prestasi akademik di kelas; pendidikannya sosial alienated padahal masyarakatnya
menginginkan sosialisasi siswa dengan lingkungannya.

        Keempat, tidak berakar pada tradisi dan budaya setempat. Hal demikian sangat
memperihatinkan, oleh karena pendidikan pada dasarnya adalah pewarisan budaya dari
generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya atau penerusnya. Oleh karena tidak
berakar pada tradisi dan budaya setempat, maka para siswanya bisa mengalami
keterasingan budaya.

            Kelima, berorientasi pada masyarakat kota. Ini juga sangat memprihatinkan
mengingat sebagian besar wilayah negara-negara berkembang justru terdiri dari
pedesaan. Orientasi ke kota demikian, lambat atau cepat, langsung maupun tidak
langsung, bisa menjadikan penyebab lulusan-lulusan pendidikan lebih tertarik dengan
kehidupan kota ketimbang bangga membangun desanya. Tingginya angka perpindahan
penduduk ke kota-kota besar, yang lazim menimbulkan efek-efek sampingan sosial,
agaknya juga dapat dilihat dari sudut pandang ini.

2.8 Permasalahan pada Pendidikan Negara Berkembang


Menurut Kadir dan Umar (1982) Beberapa masalah dan kesulitan dalam uraian pokok
secara garis besar adalah sebagai berikut:

 Kurangnya guru yang kualifaid. Beberapa Negara terbelakang sangat sedikit


orang-orang yang memiliki pendidikan cukise social up menjadi guru yang
kompeten, karena mereka menempati jabatan-jabatan diluar bidang pengajaran
dengan gaji dan prestise social yang tinggi. Sejak negara-negara terbelakang
melakukan ekspansi pendidikan, maka harus berusaha mendapatkan guru-guru
dari Negara maju. Walaupun hal itu bertentangan dengan watak
nasionalistis,namun tampaknya itu merupakan satu-satunya jalan keluar.
 Kegagalan sekolah dalam memelihara siswa sebenarnya sekolah-sekolah dasar
kurang efektif dalam menunjang gerak pembangunan, jika impaknya tidak tebukti
dalam periode waktu yang pantas. Cita-cita sekolah pada mulanya sukar meresap
dan beberapa factor kerja menghalanginya. Anak mungkin merupakan suat
keuntungan ekonomi bagi orang tua, dan sekolah. Rupa-rupanya dianggap sebagai
suatu ancaman terhadap kenyataan keuntungan ini:natau orang tua kuatis, bahwa
ilmu pengetahuan dan ide-ide baru itu bias mengasingkan anak dari kebiasaan-
kebiasaan tradisional keluarga. Agar efektif sekolah-sekolah itu dihadiri secara
teratur dan bersemangat, sekolah itu harus menjadi tempat yang menyenangkan
dan menguntungkan hal ini merupakan suatu kondisi yang tidak biasa ditemui
dinegara miskin.
 Keadaan kurikulum yang tidak sesuai permasalahn dasar kurikulum pada jenjang
pra-universitas meliputi sekitar perluasan penyesuaian budaya,
pendaherahan(loklisasi), dan penjuruhan (vokasionalisasi) kurikulum.
 Ketimpangan kemajuan desa dan kota. Didunia terbelakang terapat jurang
perbedaan yang lebar, yaitu kesenangan, kekayaan, kegembiraan, dan tebaran
kelayakan terdapat di beberapa puasat kota dan didesa atau tribal areas
keterbelakangan meluas. Perbedaan yang kontras antara gedung-gedung modern,
jalan-jalan raya, transportasi dan aktivitas budaya disebagian kota besar dan desa
itu mengundang gaya tarik wisatawan yang mengunjungi Negara yang kurang
maju itu.

 
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan adanya materi mengenai pola pendidikan di negara berkembang ini
diharapkan pembaca dapat mengetahui apa saja yang menjadi pola dan kebijakan
pendidikan di negara – negara berkembang. Sistem pendidikan diseluruh dunia memiliki
pola-pola pendidikan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat tersebut. Kebijakan –
kebijakan dari pendidikan setiap negara juga berbeda termasuk di negara berkembang.
Karena pola, sistem dan kebijakan nya berbeda maka masalah yang dihadapi pada setiap
negara pun berbeda.

3.2 Saran
Kami harap pembaca dapat memahami materi pola pendidikan negara berkembang
ini. Serta diharapkan para peserta dapat lebih memahami permasalahan yang terjadi pada
pola pendidikan ini agar dapat mencari jalan keluar dari permasalahan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Blogspot.com (n.d) November 25, 2020.
http://maharanihasan.blogspot.com/2011/04/kebijakan-pendidikan-di-negara.html 
.
Hakim, A.M. (2002). Mendidik Anak Secara Bijak; Panduan Keluarga Muslim Modern,
Bandung: Marja.
Imron, A. (2008). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia (Proses, Produk dan Masa
Depannya), Jakarta: Bumi Aksara.
Kusumo, H.K. (1996). Pengantar Pendidikan, Semarang: IKIP Press.
Prasetya, T. (2003). Pola Pengasuhan Ideal, Jakarta: PT. Elex Media Koputindo.
Purwanto, N.M. (1998). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Slide player.info. (n.d). November 24, 2020.
https://slideplayer.info/slide/1894472/nadyaclarashinta.
Soemanto, W. (1990). Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) , Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
3, Jakarta: Balai Pustaka.
Ulwan, N.A. (1995). Pendidikan Anak dalam , Jakarta: Bumi Aksara.
Wandy, N. (2014). KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI NEGARA BERKEMBANG.
Zahara Idris dan H., & Jamal L. (1995). Pengantar Pendidikan 1, Jakarta: PT. Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai