Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Tantangan perencanaan dalam pembangunan Ekonomi di Negara-


negara Islam”
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Ekonomi Pembangunan ”
Dosen Pengampu : Lina Fatinah, S,H.,M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok : 2
1. Abdul Azis S
2. Ikwan Wahyudi
3. Muhammad Fuzi
4. Niptah Maulana

EKONOMI SYARIAH V
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-ITTIHAD CIANJUR
TAHUN AKADEMIK 2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari Mata Kuliah “ Ekonomi Pembangunan “
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima
kasih.

Cianjur, 06 November2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................1

BAB II  PEMBAHASAN


A. Paradok prekonomian Global.............................................................2
B. Definisi dan Ciri Negara-negara sedang Berkembang........................3
C. Masalah Utama Ekonomi Negara Sedang Berkembang.....................6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ......................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mayoritas negara-negara muslim adalah negara yang sedang berkembang dan masih
dihadapkan pada permasalahan pembangunan ekonomi. Problematika tersebut antara lain
kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pengangguran, kesempatan kerja, kualitas sumber daya
manusia, utang luar negeri, inflasi, defisit neraca perdagangan dan pembayaran, serta
depresiasi mata uang domestik. Permasalahan pembangunan ekonomi terutama terkait
kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan pengangguran terjadi di banyak negara di berbagai
belahan dunia, baik di negara dengan penduduknya mayoritas Muslim maupun non-Muslim.
Hal tersebut menjadi fakta yang menunjukkan bahwa agama Islam identik dengan kemiskinan
dan keterbelakangan. Padahal kemiskinan dan keterbelakangan juga terjadi di berbagai negara
yang sebagian besar penduduknya beragama non-Islam seperti di berbagai negara Amerika
Latin, Eropa dan Afrika, di Filipina, Vietnam, Kamboja, Thailand, Timor Leste, India, China
dan negara lainnya. Berbagai permasalahan besar ekonomi tersebut, bukan hanya terjadi di
negara terbelakang dan sedang berkembang saja, namun juga terjadi di negara yang dianggap
maju secara material. Masalah tersebut sampai saat ini belum bisa diselesaikan dengan ilmu
ekonomi pembangunan konvensional. Berdasarkan hal tersebut penting mencari solusi
alternatif dalam pembangunan ekonomi. Syariat Islam menawarkan solusi mengatasi
permasalahan ekonomi secara berkeadilan. Keunggulan ekonomi Islam dibanding ekonomi
konvensional adalah kandungan makna transendental, yaitu adanya keyakinan kehidupan di
dunia maupun di akhirat kelak, baik untuk umat muslim maupun non-Muslim.

B. Rumusan Masalah?
1. Bagaimana Paradoks Prekonomian global?
2. Apa Saja Definisi dan ciri Negara-negara sedang berkembang?
3. Apa saja yang menjadi Masalah Utama ekonomi negara sedang berkembang?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PARADOKS PEREKONOMIAN GLOBAL


Permasalahan pembangunan masih banyak terjadi di tiap negara. Ketimpangan
ekonomi antar masyarakat semakin melebar. Kesenjangan bukan hanya antar individu,
tapi juga antar golongan, antar desa dengan kota, antar wilayah, antar kawasan, antar
negara dan antar belahan dunia. Ada faktor pembangunan berlandasan teori, pemikiran
dan kebijakan yang tidak adil dan cenderung serakah. Sumber daya yang melimpah, tetapi
hanya dikuasi oleh sebagian kecil manusia. Kekayaan yang melimpah sebagai anugerah
dari Allah Swt., tidak menjadi berkah. Bukti ketimpangan dunia, dimana pada tahun 2010
ada 388 orang memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan setengah penduduk dunia,
dan pada tahun 2015 jumlah orang kaya semakin bertambah, dimana 62 orang di dunia
memiliki kekayaan setara dengan kekayaan setengah dari penduduk dunia yang berjumlah
3,6 miliar orang. Diprediksi kekayaan satu persen orang-orang kaya di seluruh dunia akan
melampaui seluruh kekayaan penduduk di muka bumi pada tahun 2016 (Byayima, 2016).
Riset yang dilakukan Oxfam International mempublikasikan bahwa pada tahun 2019
terdapat 2.153 milyuner dunia, namun kekayaannya melebihi kekayaan 4,6 miliar orang di
dunia. Populasi dunia sekitar 7,8 miliar pada tahun 2020, berarti hanya 0,00003% orang
super kaya di dunia, yang kekayaannya setara dengan hampir 60% penduduk seluruh
dunia (https://www.oxfam.org/en). Data tersebut menujukan bahwa selama sembilan
tahun, kondisi disparitas tidak banyak berubah dibandingkan pada tahun-tahun
sebelumnya, ekonomi dunia tetap saja hanya dikuasai sedikit orang, sementara mayoritas
lainnya harus puas dengan kondisinya yang sangat jauh tertinggal.
Konsekuensi dari tumbuhnya kesenjangan secara ekstrem tersebut sangatlah besar,
seperti upaya pengurangan kemiskinan lambat, keresahan sosial meluas, dan pertumbuhan
ekonomi melambat. Menurut Byayima sebagai Direktur Oxfam Internasional,
kesenjangan ekonomi global saat ini adalah buah yang dibesarkan karena regulasi,
kepemilikan perorangan (privatisasi), kerahasiaan keuangan, dan globalisasi yang tidak
terkendali selama 30 tahun. Pengambil kebijakan di banyak negara, lebih berpihak kepada
para pemilik kapital dan usaha besar untuk mempertahankan dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, dibanding berpihak kepada masyarakat. Ketimpangan
perekonomian antar negara juga sangat jelas terlihat, 85% perekonomian dunia dikuasasi

2
hanya oleh 20 negara yang tergabung dalam G-20. Sementara sekitar 150 negara-negara
lainnya hanya memiliki kontribusi 15% sisanya.

B. DEFINISI DAN CIRI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG


Ada dua istilah umum untuk negara-negara miskin dan negara-negara sedang
berkembang, yaitu Negara Selatan dan Negara Dunia Ketiga. Umumnya negara miskin
dan berkembang tersebar di tiga benua, yaitu di Benua Asia, Afrika dan Amerika
(Amerika Latin), serta sebagian besar berada di belahan selatan khatulistiwa, kecuali
Australia dan Selandia Baru. Istilah yang diberikan untuk negara miskin dan berkembang
ditujukan untuk membedakan dengan negara Dunia Pertama (Amerika Serikat, negara-
negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Jepang), dan Negara Dunia
Kedua atau negara-negara eks negara sosialis di Eropa Timur (Rusia, Hongaria, Bulgaria,
Polandia, dan Rumania). Negara miskin dan sedang berkembang terdiri dari beragam
bangsa, kepercayaan dan agama, golongan etnik, kekayaan alam, latar belakang sejarah,
serta budaya. Tidak ada fakta yang menunjukan bahwa kemiskinan hanya terdapat pada
suatu golongan masyarakat atau agama tertentu, meskipun ada adat, budaya dan
kepercayaan pada kelompok masyarakat tertentu yang mengakibatkan masyarakat tersebut
tetap miskin. Meskipun negara miskin dan negara berkembang tersebut sangat beragam
suku bangsa dan etnik, agama, kekayaan alam, sejarah dan budaya, namun terdapat
beberapa persamaan antara satu negara dengan negara lainnya sehingga mereka disebut
sebagai negara miskin atau negara sedang berkembang. Persamaan diantara negara sedang
berkembang tersebut, secara material tidak sulit membedakannya dengan negara-negara
maju. Suatu negara dikatakan maju, sedang berkembang atau terbelakang dapat dilihat
3
dari beberapa indikator sosial ekonominya. Bank Dunia (World Bank) mengklasifikasikan
negara sedang berkembang dengan menggunakan pendapatan perkapita. Menurut Bank
Dunia, ada 210 negara di dunia yang diperingkat berdasarkan pendapatan nasional bruto
perkapita, yaitu:
1. Negara berpendapatan rendah (low income country), yaitu negara dengan pendapatan
perkapita rakyatnya kurang dari US$ 975/tahun,
2. Negara berpendapatan menengah-bawah (lower middle income country), yaitu negara
dengan pendapatan perkapita rakyatnya antara US$ 976- US$ 3.855,
3. Negara berpendapatan menengah-atas (upper middle income country), yaitu negara
dengan pendapatan perkapita rakyatnya antara US$ 3.856-US$ 11.906, dan
4. Negara berpendapatan tinggi (hight income country), yaitu negara dengan pendapatan
perkapita rakyatnya lebih dari US$ 11.907.
Namun tidak semua negara berpendapatan tinggi dapat dikatagorikan sebagai negara
maju, contoh negara Portugal, Yunani, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Brunai Darusalam
adalah negara kaya berpendapatan perkapita tinggi, namun masih digolongkan sebagai negara
sedang berkembang (Todaro dan Smith, 2015). Karena itu terdapat beberapa ciri utama yang
membedakan negara maju dengan negara sedang berkembang, seperti:
1. Kualitas sumber daya manusia.
Penduduk di negara-negara maju memiliki tingkat pendidikan, kompetensi, keterampilan,
dan produktivitas yang tinggi, sehingga tidak heran pendapatan, tingkat kesejahteraan, dan
kesehatan juga tinggi. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat juga dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), hampir semua negara maju memiki IPM yang tinggi.
Sebaliknya di negara sedang berkembang, kualitas pendidikan, kompetensi, keterampilan, dan
produktivitasnya rendah, yang mengakibatkan pendapatan, kesejahteraan dan kesehatannya
rendah. Demikian halnya IPM, pada umumnya negara-negara berkembang memiliki IPM
yang rendah juga.
2. Kemajuan sektor industri.
Umumnya sektor industri di negara maju sudah berkembang sangat maju, padat teknologi
canggih dan kapital, yang didorong oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.
Tenaga kerja di negara maju dominan diserap oleh sektor industri dan jasa dengan upah
tinggi, demikian halnya sumbangan sektor industri terhadap pendapatan nasional berperan
sangat dominan. Sebaliknya di negara sedang berkembang, dengan keterbatasan penguasaan
ilmu pengetahuan, teknologi dan finansialnya, sektor industri belum berkembang dan terbatas
pada industri sederhana padat tenaga kerja dengan upah rendah, dan kurang mampu bersaing
di pasar global. Sektor industri lebih berperan sebagai substitusi impor, bukan orientasi
4
ekspor, sehingga produknya cenderung kurang berkualitas, tidak efisien dan tidak memiliki
daya saing memadai dengan produk impor. Pada sisi lain, di negara sedang berkembang
meskipun pendapatan nasionalnya dominan disumbang dari sektor industri dan jasa, namun
tenaga kerjanya sebagian besar masih diserap oleh sektor pertanian tradisional dengan tingkat
upah yang rendah.
3. Ketersediaan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur membuat konektivitas antar wilayah lebih mudah,
menurunkan biaya logistik dan meningkatkan kualitas hidup, yang dapat meningkatkan
daya saing dan stimulus pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Negara-negara
maju umumnya memiliki infrastruktur yang sangat memadai untuk memanjakan
penduduknya, semakin mendorong kemajuan ekonominya dan bertumbuh secara
berkelanjutan. Sementara negara sedang berkembang, pada umumnya memiliki
infrastruktur yang terbatas, sehingga menghambat terjadinya mobilitas sumber daya antar
wilayah, dan menopang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan kesejahteraan
rakyatnya. Akibat keterbatasan infrastruktur, akan terjadi hambatan aksesibilitas, dan
biaya ekonomi tinggi dalam menstimulus tumbuhnya investasi, penyerapan tenaga kerja
dan kesejahteraan rakyatnya.
4. Ketersediaan modal kapital.
Di negara-negara maju, pendapatan perkapita masyarakat tinggi, sehingga kemampuan
menabungnya juga tinggi. Pada sisi lain, di negara maju, produk industrinya memliki
daya saing yang tinggi, yang mengakibatkan pendapatan negara juga semakin tinggi.
Dengan demikian, di negara-negara maju pada umumnya memiliki tabungan dan modal
yang sangat besar untuk semakin menjaga kesinambungan pembangunannya dan
mempertahankan kualitas hidup warga negaranya. Pada sisi lain, di negara-negara sedang
berkembang dengan pendapatan perkapita masyarakatnya yang rendah, memiliki
tabungan yang rendah, dan kekurangan modal untuk membiayani investasi berbagai
kebutuhan publik untuk menopang pembangunannya. Pada sisi lain pendapatan negara
juga rendah karena kurangnya pendapatan negara, sebagai akibat rendahnya tingkat
investasi domestik, rendahnya penyerapan tenaga kerja, dan rendahnya upah. Akibatnya
banyak negara sedang berkembang terjebak dengan utang luar negerinya.

5
C. MASALAH UTAMA EKONOMI NEGARA SEDANG BERKEMBANG
Pembangunan dalam perspektif Islam bukan hanya bersifat material semata, namun
sangat transendental menjangkau sangat jauh kedepan yang sangat panjang. Bukan hanya
untuk kehidupan jangka pendek di dunia, namun lebih jauh dari itu yaitu untuk kemuliaan
dan kesejahteraan di akhirat kelak. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam yang disebut
negara miskin atau belum maju tidak hanya bersifat duniawi, namun juga akhirat
(ukhrawi). Setidaknya ada empat indikator utama suatu negara dikatakan maju dan
sejahtera dalam perspektif Islam (Beik dan Arsyianti, 2015), yaitu:
1. Ajaran Islam sudah menjadi pedoman dalam berkehidupan ekonomi suatu bangsa.
Seberapa hebatnya kemajuan secara fisik dan materi suatu bangsa dan negara, apalagi
kalau diraih dengan cara-cara tidak adil, merugikan negara, bangsa dan rakyatnya, serta
bersifat merusak alam, itu hanya keberhasilan semu dan sementara. Karena pada dasarnya
yang demikian itu merugikan dan menentang aturan Allah Swt., tidak akan
mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sebenarnya, dan tidak akan berkah
(QS Thaha:124). Lebih jauh dari itu, Islam menginginkan penerapan ajarannya secara
kaffah, baik duniawi maupun ukhrawi, karena kemuliaan yang abadi tidak mungkin
diraih secara sepotong-sepotong, namun harus dilakukan secara menyeluruh menyangkut
semua aspek kehidupan karena bukan hanya untuk di dunia, tapi juga untuk bekal di
akhirat kelak. Oleh karenanya, ekonomi dalam Islam bersifat multidimensional dan tidak
memisahkan antara ajaran agama dengan ajaran duniawi.
2. Kebutuhan pokok manusia seperti pangan, sandang dan papan sudah terpenuhi. Karena
Islam tidak mengajarkan hidup bermewah-mewah dan berlebih-lebihan, namun Islam
juga tidak mengajarkan hidup dalam kemelaratan. Allah Swt. tidak menyukai orang yang
hidup berlebih-lebihan, apalagi masih ada orang lain yang miskin. Islam juga
mengajarkan agar kita tidak hidup dalam kemelaratan, karena kemiskinan itu
mendekatkan kepada kekufuran. Namun, Islam juga tidak melarang makhluk-Nya
memiliki banyak kekayaan, karena Islam menganjurkan juga kita untuk senantiasa
bersedekah dan peduli terhadap sesama.
3. Kegiatan ekonomi sektor riil, bidang industri dan perdagangan sudah berjalan dengan
baik. Inti kegiatan ekonomi dalam perspektif Islam adalah bergeraknya sektor riil, yaitu
bidang bidang industri dan perdagangan. Produksi dan distribusi yang baik, adalah
produksi dan distribusi yang menjamin perputaran roda perekonomian dapat dinikmati
oleh semua lapisan masyarakat secara wajar dan adil yang berdampak pada pengurangan
tingkat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

6
4. Keamanan dan ketertiban sosial terjamin. Kita tidak mungkin dapat melaksanakan
ibadah dengan baik, mampu memenuhi kebutuhan pokok, bidang industri dan
perdagangan berjalan dengan lancar, apabila tidak ada rasa aman dan tertib di
masyarakat.
Dudley Seers (1969) menyatakan bahwa suatu negara mengalami proses
pembangunan jika kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan mengalami penurunan.
Namun, jika salah satu dari ketiga persoalan tersebut menjadi lebih buruk, maka sulit
untuk mengatakan telah terjadi pembangunan walaupun pendapatan per kapita
mengalami peningkatan. Banyak dari negara muslim termasuk pada negara berkembang,
bahkan terkategori negara miskin. Hal ini dikarenakan banyaknya masalah dalam
pembangunan, sehingga negara-negara tersebut masih tergolong terbelakang dan masih
berkembang.
Berbeda dengan negara-negara maju, masalah dan hambatan di negaranegara
berkembang sangat mendasar dan beragam pada sendi-sendi kehidupan yang paling
esensial. Masalah dan hambatan tersebut, yaitu kemiskinan, kependudukan, pendidikan,
kesehatan, pengangguran, pemberdayaan wanita, urbanisasi, migrasi, dan masalah
pembangunan lainnya. Menurut Todaro (2015), masalah-masalah lain yang sama
pentingnya dan bahkan sangat krusial adalah ketimpangan kekuasaan, kesetaraan jenis
kelamin, kepuasan kerja, kondisi kerja, tingkat partisipasi, kebebasan memilih, dan
berbagai dimensi lainnya yang terkait dengan makna pembangunan baik ekonomi
maupun non-ekonomi. Masalah tersebut termasuk keterbatasan untuk berkeskpresi,
berpendapat, untuk menerima dan menolak kebijakan, serta keteratasan untuk diakui,
dihargai, dan dihormati sebagai warga negara.
Menurut Chapra (1993), semua negara muslim tergolong negara-negara berkembang
meskipun diantaranya relatif kaya sementara lainnya terkategori miskin. Seperti
mayoritas negara-negara berkembang dan miskin lainnya, negara muslim dihadapkan
pada persoalan-persoalan sulit. Salah satu permasalahan yang umum adalah
ketidakseimbangan ekonomi makro yang dicerminkan dengan angka pengangguran dan
inflasi yang tinggi, defisit neraca pebayaran yang sangat besar, depresiasi nilai tukar mata
uang yang berkelanjutan, dan beban utang yang berat. Permasalahan lain adalah
kesenjangan pendapatan yang cenderung merusak jaringan solidaritas sosial dan
merupakan salah satu penyebab utama ketidakstabilan sosio-politik.
Berdasarkan masalah tersebut, semua ahli setuju bahwa masalah yang paling umum
dan sangat esensial adalah masalah kemiskinan, populasi, pengangguran, ketimpangan
dan ketidakmerataan distribusi pendapatan, korupsi, industrialisasi, masalah dualisme,
7
ketimpangan sektor riil dan moneter, depresiasi mata uang, investasi asing, utang luar
negeri, dan perusahaan trans nasional (Todaro dan Smith, 2015; Koncoro, 2010; Arsyad,
2010; Aedy, 2011; Chapra 1993).
 Masalah Kemiskinan dan Standar Hidup Rendah
Kemiskinan menjadi masalah utama dalam pembangunan dan dialami oleh hampir
semua negara. Kemiskinan selalu menjadi topik paling banyak dibahas dalam masalah
pembangunan ekonomi dan sosial. Masalah yang nyaris tidak pernah hilang sepanjang
sejarah umat manusia, yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kemiskinan berkaitan
sangat erat dengan kemampuan daya beli terhadap berbagai kebutuhan sangat dasar
manusia sebagai makhluk hidup, baik sandang, pangan maupun tempat tinggal yang
layak. Menurut Naranjo (2012), kemiskinan menjadi penyebab utama kelaparan,
keterlantaran, marginalisasi dan penyakit sosial lainnya di seluruh dunia. Kemiskinan
juga terkait dengan kesehatan, sebagai contoh banyak rumah tangga miskin tidak
memiliki sanitasi layak. Individu yang tergolong miskin, tidak mampu mengkonsumsi
makanan yang sehat dan bergizi, berada lingkungan dan sanitasi yang tidak sehat, serta
tidak mampu mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Menurut
Arsyad (2010), kemiskinan itu bersifat multidimensional, karena kebutuhan manusia itu
beraneka macam, karenanya kemiskinan juga memiliki banyak aspek. Bank Dunia
(1995), kemiskinan memiliki banyak bentuk, berubah dari satu tempat ke tempat lain dan
antar waktu, serta memiliki solusi yang berbeda. Pernyataan Bank Dunia tersebut
menjelaskan bahwa kemiskinan itu berbeda, memiliki cara perhitungan yang berbeda,
dan solusi yang berbeda juga.
Kemiskinan akan berdampak pada kualitas dan standar hidup (levels of living) yang
rendah. Kualitas hidup rendah bila dibandingkan dengan gaya hidup (lifestyle) penduduk
kaya di negara tersebut, maupun dibandingkan dengan penduduk di negara-negara maju.
Standar hidup yang rendah dapat secara nyata terlihat dari tingkat kemiskinan
masyarakatnya yang tinggi, tingkat pendapatannya rendah, tingkat pendidikannya rendah,
konsumsi nutrisi rendah, tingkat kematian bayi yang tinggi, harapan hidup yang rendah,
sarana pendidikan dan kesehatan yang masih terbatas, kondisi perumahan, pemukiman,
dan infrastruktur seperti jalan dan jembatan tidak memadai, penduduknya merasa tidak
aman, tidak nyaman dan putus asa.

8
Berdasarkan laporan dari Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di dunia mencapai
15,27% dari total populasi. Apabila dibandingkan antara kelompok negara anggota
Organisasi Kerjasama Islam (OKI)/ Organization of Islamic Cooperation (OIC) dengan
non-OKI/ non-OIC, persentase jumlah penduduk miskin di negara OKI mencapai
18,91%, sedangkan di luar OKI mencapai 11,62% dari masing-masing populasi.
 Ketimpangan Ekonomi
Masalah krusial lain dalam pembangunan ekonomi adalah ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan bukan hanya antar penduduk, tapi juga antar golongan, antar wilayah, antar
desa dengan kota, antar kelompok etnik, serta antar kawasan. Ketimpangan ekonomi
dapat dikatakan sebagai keadaan dimana terjadi gap distribusi pendapatan antar
kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi dengan yang berpendapatan rendah.
Indikator mengukur ketimpangan pendapatan umumnya adalah Rasio Gini (Gini Ratio).
Rasio gini didefinisikan sebagai derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk
suatu wilayah atau negara tertentu. Koefisien gini berdasarkan kurva Lorenz, yaitu
sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari nilai
pengeluaran konsumsi dengan distribusi seragam yang mewakili persentase kumulatif
penduduk. Nilai dari koefisein gini antara 0 dan 1, dengan 0 diartikan pemerataan
sempurna dan 1 adalah ketimpangan sempurna.
 Masalah Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Penduduk adalah sumber daya insani, yang memegang peranan sentral dalam
pembangunan di negara manapun, termasuk di negara-negara sedang berkembang.
9
Namun sebaliknya, pada banyak negara, masih terdapat banyak masalah kependudukan
yang sifatnya sangat kompleks. Hal ini dikarenakan penduduk yang seharusnya jadi
pendorong utama pembangunan, justru dianggap dapat menjadi penghambat
pembangunan. Bonus demografi yang seharusnya menjadi anugerah, bisa jadi bencana
apabila tidak dididik, tidak diberdayakan dan tidak mendapat perhatian sebagaimana
mestinya. Jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang
tinggi, dapat menimbulkan berbagai masalah pada bidang lainnya apabila tidak terdidik
dengan baik, seperti pada masalah ketersediaan kebutuhan bahan pokok, penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, penyediaan lapangan kerja, dan
berpotensi menambah jumlah pengangguran.
Menurut Tjaja (2000), jumlah penduduk yang besar, dengan tingkat pertumbuhan
yang tidak terkendali, serta persebaran penduduk yang tidak seimbang sesuai dengan
daya dukung alam, akan menjadi masalah dan beban bagi masyarakat dan negara yang
bersangkutan. Bentuk hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pembangunan
ekonomi adalah positif di negara maju, tetapi di negara yang sedang berkembang
hubungan tersebut masih negatif.
Terdapat beberapa masalah krusial kependudukan di negara sedang berkembang,
yaitu masalah jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, masalah kepadatan
penduduk, masalah penyediaan lapangan kerja, dan masalah pengangguran. Di hampir
semua negara sedang berkembang, jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduknya sangat
tinggi. Menurut Todaro dan Smith (2015), penduduk dunia setiap tahun bertambah lebih
dari 75 juta orang, dan 97% pertambahan ini terjadi di negara sedang berkembang.
Tingkat kelahiran kasar (crude birthrate) di negara sedang berkembang umumnya sangat
tinggi, berkisar antara 30-40 untuk setiap 1.000 penduduk, sedangkan pada negara-negara
maju tidak sampai setengahnya. Sedikit sekali negara berkembang yang mempunyai
tingkat kelahiran di bawah 20 untuk setiap 1.000 penduduknya, disisi lain tidak ada
satupun negara maju yang memiliki tingkat kelahiran yang tinggi. Tingginya angka
kelahiran, menjadikan tingkat pertambahan penduduk per tahun di negaranegara sedang
berkembang menjadi begitu tinggi, mencapai 2,2% per tahun, sedangkan di negara-
negara maju hanya mencapai 0,7% per tahun (Todaro dan Smith, 2015).
Implikasi tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi di negara-negara sedang
berkembang tersebut, menjadikan proporsi penduduk usia belum produktif yang menjadi
tanggungan penduduk usia produktif kurang dari 15 tahun sangat tinggi mencapai hampir
40% Sebaliknya di negara-negara maju justru proporsi jumlah penduduk di atas 65 tahun
jauh lebih banyak dibandingkan di negara sedang berkembang, yang secara ekonomis
10
disebut beban ketergantungan (dependency burden). Jumlah penduduk yang besar
berdampak sangat besar terhadap kebutuhan penyediaan bahan pangan, sarana
pemukiman dan tempat tinggal yang memadai, fasilitas kesehatan dan pendidikan,
penyediaan lapangan kerja, tingkat persaingan kerja dan pengangguran, tingkat
kriminalitas dan masalah sosial lainnya.
Disamping masalah-masalah tersebut, pada hampir semua negara-negara sedang
berkembang, tingkat produktivitas tenaga kerjanya (labor productivity) sangat rendah,
apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju, yang disebabkan oleh kurangnya
faktor-faktor atau input komplementer (faktor produksi selain tenaga kerja), seperti
modal, kecakapan manajemen, pengalaman dan fungsi produksi. Tingkat produktivitas
yang rendah juga diakibatkan oleh tingkat pendidikan yang masih rendah, skill rendah,
lemahnya kekuatan dan kesehatan fisik akibat rendahnya tingkat pendapatan dan
rendahnya gizi.
Produktivitas yang rendah di negara sedang berkembang berhubungan langsung
dengan kelesuan fisik dan ketidaksanggupan pekerja secara fisik dan emosional untuk
menahan tekanan persaingan. Produktivitas yang rendah juga menyebabkan pendapatan
rendah, dan selanjutnya menyebabkan penyediaan makanan bergizi rendah, tingkat
kesehatan rendah untuk bekerja, sehingga produktivitas menjadi rendah. Keadaan ini
disebut perangkap kemiskinan (poverty trap), atau oleh Gunnar Myrdal (1968) disebut
sebagai kausalitas melingkar dan komulatif (circuler and cumulative causation). Tingkat
produktivitas dan standar hidup yang rendah di negara dunia ketiga merupakan fenomena
sosial, sekaligus fenomena ekonomi. Kedua hal tersebut merupakan penyebab dan
sekaligus akibat dari keterbelakangan.
 Pembiayaan Pembangunan, Investasi Asing dan Utang Luar Negeri
Umumnya negara yang sedang berkembang, termasuk negara-negara yang sebagian
besar penduduknya Muslim menghadapi kendala rendahnya tabungan dan devisa yang
dapat dipakai untuk membiayai pembangunan, mengimpor barang-barang modal dan
untuk menutup defisit transaksi luar negerinya. Akibat keterbatasan pembiayaan tersebut,
banyak negara berkembang berlomba-lomba mencari investor asing dan menarik utang
luar negeri. Mereka membuat regulasi yang dianggap semakin memudahkan para investor
menanamkan modalnya, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan pendapatannya, yang
kadang tidak seiring dengan aspirasi rakyatnya. Hal tersebut sama dengan teori Harrod-
Domar, dimana pembentukan modal merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan ekonomi
suatu negara, dan pembangunan itu akan berlangsung melalui akumulasi modal dan laju
pertumbuhan. Akibatnya, banyak negara sedang berkembang memiliki tingkat
11
pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal dalam mengentaskan kemiskinan,
mengatasi masalah pengangguran dan kesenjangan ekonomi rakyatnya. Tingginya
pembentukan modal, hanya akan memberikan dorongan kecil bagi pertumbuhan
ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan distribusi pendapatan (Todaro dan
Smith, 2015).
Besarnya pinjaman luar negeri juga dipengaruhi keterbatasan pembiayaan
pembangunan, rendahnya tingkat investasi, tingginya kebutuhan impor, bertambahnya
defisit transaksi berjalan, besarnya jumlah angkatan kerja, dan pengangguran. Adanya
anggapan utang luar negeri adalah sumber pendanaan untuk membiayai pembangunannya
dan memamerkan keberhasilan hasil pembangunannya. Disisi lain rakyat harus
menanggung beban utang di kemudian hari.
Meskipun pinjaman luar negeri banyak bermanfaat, seperti menyediakan sumber daya
yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Namun,
jika dikelola dengan buruk, akan memakan biaya yang lebih besar. Belakangan ini, biaya-
biaya tersebut melebihi manfaat yang didapat. Biaya tersebut adalah angsuran utang baik
pokok maupun akumulasi bunganya yang harus dibayar dengan valuta asing, yang berarti
hanya dapat dibayar atas hasil ekspor, pengurangan impor dan atau dengan penarikan
utang baru (Todaro dan Smith, 2015). Ketika bunga meningkat dan nilai mata uang
terdepresiasi, beban utangpun akan semakin memberatkan. Pada sisi lain, pada banyak
kasus, utang luar negeri tidak menambah cadangan devisa negara pengutangnya, karena
hampir semua utang hampir habis dibelanjakan untuk peralatan, teknologi dan barang
modal lainnya termasuk untuk membayar tenaga kerja dari negara pemberi utang,
padahal semua utang pokok dan akumulasi bunganya harus dikembalikan menggunakan
valuta asing.
Seharusnya utang luar negeri hanya sebagai pelengkap pemerintah dalam mendukung
kebutuhan modal dalam pembangunan ekonomi dan sosial, terutama proyek-proyek
produktif untuk mengolah sumber daya alam, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan
kesejahteraan rakyatnya. Utang luar negeri juga berperan untuk menutup defisit anggaran
belanja dengan penerimaan domestik negara. Kegagalan dalam pengelolaan portfolio
utang dapat memicu terjadinya krisis ekonomi yang mendalam. Jika tidak hati-hati,
perkembangan utang luar negeri suatu negara dapat membawa perekonomian kepada
jebakan ketergantungan atas utang luar negeri (Arsyad, 2010).
 Masalah Industrialisasi dan Sektor Pertanian
Salah satu proses sangat penting dalam pembangunan adalah industrialisasi.
Industrialisasi adalah proses rekayasa sosial yang memungkinkan suatu masyarakat siap
12
menghadapi transformasi di berbagai bidang kehidupan yang lebih maju dan berkualitas
untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupannya sebagai makhluk sosial di tengah
perubahan dan tantangan-tantangan yang selalu muncul bergantian (Basri, 2002; Arsyad,
2015). Adanya industrialisasi menyebabkan pergeseran mata pencaharian masyarakat dari
sektor agraris tradisional menjadi masyarakat industri modern, profesi masyarakat
semakin beragam mengikuti tren turbulensi ekonomi dan bisnis, serta gaya hidup
masyarakat yang semakin tidak dapat dipisahkan dari adanya inovasi teknologi yang
semakin canggih.
Industrialisasi bukan sekedar membangun wujud fisik semata, melainkan juga
membentuk masyarakat untuk siap menghadapi realitas baru, yang memiliki nilai tambah
yang tinggi, serta mengembangkan seperangkat infrastruktur yang mampu menopang
kehidupan industrial yang semakin pelik dan multidimensional (Basri, 2002;
Latumaerissa, 2015).
Industrialisasi di negara sedang berkembang tidak berfokus pada sumber daya alam
dan kebutuhan utama penduduk. Menurut Dumairy (1996), kebijakan industrialisasi
seringkali dipaksakan, seringkali sekedar meniru kebijakan pembangunan di negara-
negara maju tanpa memperhatikan keadaan dan kondisi lingkungan yang ada seperti
ketersediaan bahan mentah, ketersediaan teknologi, kecakapan tenaga kerja, kecukupan
modal, dan sebagainya. Karena keterbatasan kapital dan kemampuan sumber daya insani,
industrialisasi di negara sedang berkembang harusnya berfokus pada kekuatan sumber
daya alam Indonesia, terutama pada sektor pertanian dan kelautan sebagai sumber
kekuatan utama Indonesia sebagai negara agraris dan kelautan.
Industrialisasi di Indonesia dihadapkan pada bahan baku industri masih impor,
keterbatasan lahan industri, pembiayaan industri belum kompetitif, minimnya
penggunaan produk dalam negeri, dan banyaknya produk impor yang masuk pasar
domestik (Kadin, 2019). Sedangkan menurut Menteri Perindustrian, sektor industri di
Indonesia dihadapkan pada masalah: kekurangan bahan baku, kekurangan infrastruktur
seperti pelabuhan, jalan dan kawasan industri, kekurangan utility seperti listrik, air, gas
dan pengolahan limbah, kekurangan tenaga ahli, tekanan produk impor, limbah industry
dan pemasalahan industri kecil dan menengah (Kartasasmita, 2020).
Sektor pertanian memiliki peran sangat vital dalam perekonomian di negara sedang
berkembang. Namun peran strategis sektor pertanian tersebut semakin menurun
konstribusinya terhadap perekonomian nasionalnya, meskipun sebagian besar
penduduknya masih bekerja di sektor pertanian. Padahal sebagian besar penduduk negara

13
sedang berkembang bertempat tinggal di daerah pedesaan yang bermata pencaharian dari
pertanian.
Menurut Todaro dan Smith (2015), lebih dari 65% penduduk di negaranegara sedang
berkembang tinggal secara permanen dan turun-temurun di pedesaan. Sedangkan di
negara-negara maju hanya sekitar 27% penduduknya tinggal di pedesaan. Mata
pencaharian penduduk di negara sedang berkembang sekitar 58% di sektor pertanian
yang menyumbang hanya 14% terhadap PDB negara tersebut. Sedangkan di negara-
negara maju penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian hanya sekitar 5%
dengan sumbangannya terhadap PDB mencapai 3%.
Secara umum, ciri pertanian di negara sedang berkembang berskala kecil. Setiap
petani hanya mengolah tanah sekitar 1-3 hektar dan semakin lama semakin menyempit.
Sebagian besar diantara petani tidak memiliki tanah sendiri dan hanya sebagai petani
penggarap, teknologi pertaniannya sangat sederhana hanya mengandalkan tenaga
manusia dan hewan. Pada setiap hektar tanah ratarata dipakai untuk menghidupi 10-15
orang. Produktivitasnya sektor pertanian di negara berkembang juga sangat rendah, di
negara maju produktivitasnya mencapai 35 kali lipat dibanding pertanian di negara
sedang berkembang.
Setidaknya terdapat tiga permasalahan utama di sektor pertanian yaitu masalah
produksi, distribusi, dan keterjangkauan harga. Masalah produksi berhubungan dengan
kapasitas, produktivitas petani, insentif kepada petani, dan ketidakakuratan data yang
menimbulkan masalah dalam kebijakan impor. Sementara itu, permasalahan distribusi
terkait dengan panjangnya rantai tata niaga dan adanya pelaku yang mendominasi pasar,
sehingga harga ditentukan oleh segelintir pelaku pasar tersebut, serta berakibat pada
permasalahan lainnya yaitu dalam hal keterjangkauan harga (Waluyo, 2017).

14
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perekonomian dunia saat ini sangat paradoks, dihadapkan pada banyak masalah
terutama pada masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan kesenjangan ekonomi yang
terjadi antar belahan dunia bagian utara dengan selatan, antar benua Eropa dengan Afrika,
Amerika Latin dan Asia, antar negara kaya dengan miskin, antara negara maju dengan
berkembang. Sama halnya kondisi di Indonesia dimana terjadi ketimpangan antar kawasan
(bagian barat dengan timur), antar Jawa dengan luar Jawa, antar kabupaten dengan kota,
antar penduduk kaya dengan miskin, antar penduduk berpendidikan tinggi dengan yang
kurang pendidikan, dan sebagainya. Itulah dunia kita, dunia yang dibangun atas teori,
pemikiran dan kebijakan manusia yang sangat tidak adil dan cenderung serakah. Sumber
daya yang melimpah, tetapi hanya dikuasi oleh sebagian kecil manusia. Kekayaan yang
melimpah sebagai anugerah dari Allah Swt., tidak menjadi berkah. Banyak negara yang
sebagian besar pendudukannya muslim dihadapkan pada paradoks ekonomi, hampir
semua negara muslim termasuk negara sedang berkembang, dan semua negara sedang
berkembang dihadapkan pada banyak masalah dan hambatan dalam pembangunannya.
Masalah di negara berkembang menjadi semacam ciri khas, karakteristik, dan menjadi
penyebab kenapa suatu negara dikatakan berkembang. Berbeda dengan negara-negara
yang sudah maju, masalah dan hambatan di negara-negara berkembang sangat mendasar
dan beragam menyangkut sendi-sendi kehidupan yang paling esensial. Masalah dan
hambatan tersebut, yaitu masalah kemiskinan, masalah dasar pembangunan manusia,
masalah urbanisasi dan migrasi, masalah teknologi, masalah pembentukan modal, masalah
distribusi pendapatan, masalah sosial-budaya, dampak kekuatan internasional, masalah
utang luar negeri, masalah manajemen pembangunan, masalah lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan, dualisme dalam pembangunan, masalah akhlak manusia dan
banyak masalah lainnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://knks.go.id/storage/upload/1627870706-Buku-Ekonomi-Pembangunan-Islam.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai