Anda di halaman 1dari 4

MOYANG MUHAMMAD

Qushay (400 M)
Qusay lahir pada tahun 400 M. ia lahir dari pasangan Kilāb dan Fāthimah binti Sa’d
bin Sahl. Kilāb meninggal ketika Qushai masih bayi. Setelah itu Fāthimah menikah dengan
Rabī’ah bin Harām. Mereka pergi ke Syām dan di sana Fāthimah melahirkan Darrāj. Qushay
hanya mengenal Rabī’ah sebagai ayahnya. Lambat laun antara Qushay dengan pihak qabilah
Rabī’ah terjadi permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan mereka,
padahal bukan dari pihak mereka. Qushay mengadukan penghinaan itu kepada ibunya.
“Ayahmu lebih mulia dari mereka,” kata ibunya kepada Qushay. “Engkau anak Kilāb
bin Murrah, dan keluargamu di Makkah menempati Rumah Suci.
Qushay lalu pergi dan menetap di Makkah. Karena pandangannya yang baik dan
punya kesungguhan, masyarakat di Makkah sangat menghormatinya.
Pada waktu itu pengawasan Rumah Suci di tangan al-Hulayl bin Hubsyiyah dari
qabilah Khuza’ah. Tatkala Qushay melamar putrinya Hubba, ternyata lamarannya diterima
baik dan kawinlah mereka. Qushay terus maju dalam usaha dan perdagangannya yang
membuatnya jadi kaya, harta dan anak-anaknyapun banyak pula. Di kalangan
masyarakatnya ia makin terpandang.
Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan
Hubba putrinya, tapi ia menolak dan kunci itu dipegang Abu Ghibsyan dari qabilah
Khuza’ah. Hanya saja ia pemabuk, ketika suatu hari kehabisan minuman keras kunci itu
dijualnya kepada Qushay dengan cara menukarnya dengan minuman keras.
Khuza’ah sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti lebih terpandang
bila pimpinan Ka’bah berada di tangan Qushay. Mereka merasa keberatan bilamana
masalah pimpinan Rumah Suci ada di tangan pihak lain.
Sebelum pimpinan Makkah berada di tangan Qushay, bangunan apapun belum ada
di tempat itu selain Ka’bah. Alasannya karena baik Khuza’ah atau Jurhum tidak ingin melihat
ada bangunan lain di sekitar Ka’bah, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah
tinggal di tempat itu, mereka pergi ke tempat terbuka. Setelah Qushay memegang pimpinan
Makkah, ia mengumpulkan Quraysy dan mengajak mereka membangun rumah-rumah di
tempat itu. dengan dipeloporinya, dibangunnya Dār an-Nadwah sebagai tempat pertemuan
pembesar-pembesar Makkah yang dipimpinnya untuk bermusyawarah mengenai masalah-
masalah negeri itu, dan juga mempelai pengantin yang melangsungkan perkawinan harus di
tempat ini pula.
Dengan perintah Qushay masyarakat Quraysy lalu membangun tempat-tempat
tinggal di sekitar Ka’bah dengan meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan
thawāf. Pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat thawāf
tersebut.
Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannya sudah berkurang dan sudah tidak kuat
lagi mengurus Makkah sebagaimana mestinya, kunci Rumah Suci itupun diserahkan kepada
‘Abd ad-Dār anak pertamanya, demikian juga soal air minum, panji dan penyediaan
makanan. Setiap malam Quraysy memberikan sumbangan dari harta mereka yang
diserahkannya kepada Qushay guna membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan
ini kemudian diberikan kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan.
Qushay adalah orang yang pertama mewajibkan kepada Quraysy menyiapkan
persediaan makanan. Ketika mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara Quraysy! Kalian adalah tetangga Tuhan, keluarga Rumah-Nya dan
Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung
Rumah-Nya. Mereka itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu
disediakan makanan dan minuman sampai mereka pulang kembali.”

Keluarga ‘Abd Manāf


‘Abd ad-Dār telah memegang pimpinan Ka’bah dan kemudian diteruskan oleh anak-
anaknya. Tetapi anak-anak ‘Abd Manāf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik
dan terpandang di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu anak-anak ‘Abd Manāf sepakat
akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. tetapi pihak
Quraysy berselisih pendapat, masing-masing golongan punya pembela sendiri.
Keluarga ‘Abd Manāf mengadakan perjanjian al-Muthayyibūn, yaitu dengan cara
memasukkan tangan mereka ke dalam thīb (bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam
Ka’bah. Mereka bersumpah tak akan melanggar janji. Demikian juga pihak keluarga ‘Abd ad-
Dār mengadakan perjanjian al-Ahlāf. Antara kedua golongan ini hampir pecah perang
dengan akibat akan memusnahkan Quraysy kalau saja tidak cepat diadakan perdamaian
yang pada akhirnya disetujui kedua belah pihak yang memutuskan bahwa keluarga ‘Abd
Manāf diberi bagian mengurus air dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat
di tangan keluarga ‘Abd ad-Dār. Keadaan itu berjalan tetap demikian sampai pada waktu
datangnya Islam.

Hāsyim (464 M)
Ia termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang
memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan
oleh Qushay kakeknya. Peranan yang dipegangnya tidak hanya itu, bahkan jasanya sampai
ke seluruh Makkah. Ia jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin
dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke
Suria. Ia bersama saudara-saudaranya membuat perjanjian dengan negara-negara
tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian perdamaian baik dan bersahabat dengan
penguasa Banū Ghassān dengan Imperium Romawi sehingga Romawi mengizinkan orang
Quraysy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga ‘Abd Syams membuat perjanjian
dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Nawfal dan al-Muththalib juga membuat
persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyār di Yamān. Dengan
demikian Makkah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh Jazīrah,
sehingga mendapat pengakuan sebagai ibukota.
Makkah bertambah kuat dan makmur. Rombongan kafīlah datang ke tempat itu dari
segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Didirikanlah
pasar-pasar di sekitar tempat itu guna menyemarakkan perdagangan.
Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria melalui Yatsrib, Hāsyim
melihat dan tertarik dengan seorang perempuan baik-baik dan terpandang muncul di
tengah orang-orang yang sedang mengadakan perdagangan dengannya, ia adalah Salmā
binti ‘Amr dari qabīlah Khazrāj. Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau
kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hāsyim lalu melamarnya dan
perempuan itupun menerima. Setelah sekian lama tinggal dengan suaminya di Makkah, ia
kembali ke Yatsrīb. Di kota ini ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaybah.
Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazzah (Gaza),
Hāsyim meninggal. Kedudukannya digantikan oleh al-Muththalib adiknya. al-Muththalib
mendapat julukan dari Quraysy dengan “al-Faydl”1 karena sikapnya yang suka menenggang
dan murah hati.

‘Abdul-Muththalib (495 M)
Ia adalah Syaybah bin Hāsyim. Pada suatu hari terpikir oleh al-Muththalib akan
Syaybah bin Hāsyim kemenakannya. Ia pergi ke Yatsrīb dan memintanya yang telah besar
dari ibunya Salmā. Ia dibawa al-Muththalib ke Makkah dengan menaikkannya ke atas unta.
Orang-orang Quraysy menduga bahwa yang dibonceng itu budak al-Muththalib. Karenanya
mereka memanggilnya ‘Abdul-Muththalib (budak al-Muththalib). Pada akhirnya nama
Syaybah yang diberikan ketika lahir sudah dilupakan orang.
Pada mulanya al-Muththalib ingin mengembalikan harta Hāsyim untuk
kemenakannya itu, tetapi Nawfal menolak, ia menguasainya sendiri. Setelah ‘Abdul-
Muththalib merasa kuat, ia meminta bantuan paman-pamannya dari pihak ibu di Yatsrib
menghadapi tindakan saudara ayahnya itu dengan tujuan agar harta miliknya dikembalikan
kepadanya. Pihak Khazraj di Yatsrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang, dan
1
Artinya: yang melimpah dan banyak jasanya.
Nawfal-pun terpaksa mengembalikan hartanya itu, sehingga ‘Abdul-Muththalib menempati
kedudukan Hāsyim, yakni mengurus pembagian air dan persediaan makanan.
Saat itu anaknya hanya seorang2, tentu dalam melaksanakan tugasnya terasa berat
sekali, sedang persediaan air untuk tamu harus didatangkan dari beberapa sumur yang
terpencar-pencar sekitar Makkah yang kemudian diletakkan di sebuah kolam dekat Ka’bah.
Sumur Zamzam (yang beberapa abad silam sudah ditimbun oleh Mudād bin ‘Amr dari
qabīlah Jurhum) masih selalu diingat oleh orang ‘Arab dan diharapkan keberadaannya.
Pada suatu malam ia bermimpi dalam tidurnya seolah ada suara gaib menyuruhnya
menggali kembali sumur Zamzam. Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan
letak sumur itu, hingga akhirnya diketemukannya juga yang ternyata letaknya ada di antara
dua berhala Isāf dan Nāilah.
Ketika ia menggalinya bersama anaknya, ia temukan di sumur itu dua bonggol
pelana emas dan pedang Mudād, kemudian masyarakat baru mau ikut membantunya
menggali sumur itu. ‘Abdul-Muththalib berkata kepada mereka yang membantunya:
“Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian antara aku dengan kalian. Kita
bertaruh mengadu nasib dengan anak panah(qidl)3. Dua anak panah buat Ka’bah, dua buat
aku dan dua buat kalian. Kalau anak panah itu keluar. Kalau anak panah yang dimaksud
keluar, ia mendapat bagian. Kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa.”
Usul ini disetujui. Anak-anak panah itu diberikan kepada juru undi di tempat berhala
Hubāl di tengah-tengah Ka’bah, hingga akhirnya Quraysy tidak mendapat apa-apa, pedang
untuk ‘Abdul-Muththalib dan bonggol pelana untuk Ka’bah. Pedang dipasang di pintu
Ka’bah oleh ‘Abdul-Muththalib, kedua bonggol pelana emas dijadikan perhiasan dalam
Ka’bah.
‘Abdul-Muththalib meneruskan tugas lagi mengurus air untuk keperluan tamu
setelah sumur Zamzam dapat berjalan lancar. Karena tidak banyak anak, ia bernadzar, kalau
sampai beranak laki-laki sepuluh dan semua telah dewasa kemudian tidak memperoleh
anak lagi, salah seorang di antara mereka akan disembelih sebagai Qurbān. Ternyata
anaknya mencapai sepuluh orang dan ditakdirkan tidak memperoleh anak lagi.
Semua anaknya patuh kepadanya, mereka dipanggil semua. Setiap anak
memberikan namanya masing-masing di atas anak panah, kemudian anak panah dibawa
oleh kepada juru ramal di tempat berhala Hubāl di tengah-tengah Ka’bah.
Setelah anak panah diundi, nama yang keluar adalah ‘Abdullah, anak bungsu yang
paling disayangnya. ‘Abdul-Muththalib kemudian menuntunnya untuk disembelih di dekat
Zamzam yang terletak di antara berhala Isāf dan Nāilah. Tetapi masyarakat Quraysy
serentak melarang keputusan itu dan meminta kepada ‘Abdul-Muththalib supaya memohon
ampun kepada Hubāl. Namun ia masih ragu. Mughirah bin ‘Abdullah dari suku Makhzum
berkata kepadanya: “Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebus!”
Mereka kemudian menemui seorang dukun perempuan di Yatsrib. Dukun itu meminta
kepada mereka supaya ditangguhkan sampai esok harinya. Akhirnya diputuskan agar
mereka memberi tebusan berupa sepuluh unta. Kemudian dilakukan undian lagi, ternyata
anak panah yang keluar milik ‘Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta sampai seratus ekor
unta. Ketika itu anak panah keluar atas nama unta. ‘Abdul-Muththalib belum percaya,
hingga diundinya sampai tiga kali yang keluar atas nama unta. Kemudian ia percaya dan
disembelihnya unta itu dan dibiarkannya tanpa dijamah manusia atau binatang.

‘Abdullah bin ‘Abdul-Muththalib dan Amīnah binti Wahb


‘Abdullah adalah anak kesepuluh dari ‘Abdul-Muththalib. ‘Abdul-Muththalib memilih
Amīnah binti Wahb sebagai calon menantunya, anak pemimpin suku Zuhrah saat itu dan
usianya sesuai dengan ‘Abdullah. Pada hari perkawinan ‘Abdullah dengan Amīnah, ‘Abdul-
Muththalib juga menikah dengan Halah dan melahirkan anak kesebelas bernama Hamzah,
paman Nabi dan seusia dengannya.

2
Yaitu al-Hārits.
3
Yang diberi tanda tertentu sesuai dengan tujuan lalu ditarik dari sebuah pundi.
‘Abdullah dan Amīnah tinggal di rumah Amīnah selama tiga hari sesuai dengan
kebiasaan setempat, kemudian mereka pindah ke keluarga ‘Abdul-Muththalib. Tak berapa
lama, ‘Abdullah-pun pergi dalam usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan istri
yang sedang hamil.
Dalam perjalanannya selama beberapa bulan, ‘Abdullah pergi juga Ghaza dan kembali
lagi. Ia kemudian singgah di Madinah untuk sekedar istirahat, ia jatuh sakit ketika akan kembali
pulang ke Makkah. Begitu berita sampai kepada ‘Abdul-Muththalib, ia mengutus Hārits anak
sulungnya ke Madinah untuk membawa ‘Abdullah kembali bila sembuh. Tetapi sesampainya di
Madinah ‘Abdullah sudah meninggal dan sudah dimakamkan sebulan sesudah kafilah yang
membawa kabar sakitnya berangkat ke Makkah. Kembalilah Hārits dengan rasa pilu. Rasa duka dan
sedih menyayat hati ‘Abdul-Muththalib dan Amīnah.
‘Abdullah wafat dengan meninggalkan harta lima ekor unta, sekelompok ternak kambing
dan seorang budak perempuan yang bernama Ummu Aymān. Peninggalan semacam ini bukanlah
berarti tanda kekayaan, tetapi bukan pula kemiskinan menurut masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai