PADA musim haji tahun ke-13 dari nubuwah, tepatnya pada bulan juni 622 M, lebih
dari 70 muslimin penduduk yastrib dating ke Makkah untuk melaksanakan manasik haji.
Mereka dating Bersama rombongan haji dari kaumnya yang masih musyrik.
Kita serahkan kepada seorang pemuka Anshar untuk menuturkan kepada kita
pertemuan monumental ini. Abdullah bin Amr bin Haram, salah seorang pemimpin dan
bangsawan kami sedang Bersama kami. Yang hingga detik itu kami masih merahasiakan
keadaan kami yang sesungguhnya, maka kami mengajaknya untuk bergabung.
Lalu kami mengajaknya masuk islam dan kami beritahukan pula janji kami untuk
bertemu rasulullah di Aqabah. Seketika itu pula dia menyatakan masuk Islam dan
Bersama-sama kami dia ikut Ke Aqabah. Dia kami angkat sebagai pemimpin rombongan.
Pada malam itu kami tidur di tengah kaum kami. Setelah lewat sepertiga malam, kami
keluar dari rombongan menuju tempat yang sudah kami janjikan untuk bertemu
Rasulullah. Masing-masing dari kami berjalan mengendap-ngendap dengan Langkah
hati-hati hingga akhirnya kami semua berkumpul di bukit Aqabah. Jumlah kami ada
tujuh puluh tiga orang laki laki dan dua Wanita, yaitu Nasibah binti Ka’b dan Ummu
Ammarah dari Bani Mazin bin An-Najjar, dan Asma binti Amr atau Ummu Mani’ dari
Bani Salamah.
Setelah semuanya dirasa sudah cukup, maka dialog pun dimulai untuk mengesahkan
jalinan agama dan militer. Yang pertama kali membuka dialog adalah Al-Abbas bin Abdul
Muthalib. Dia menjelaskan secara terbuka kepada mereka yang hadir di situ tentang
beratnya tanggung jawab yang bakal mereka pikul, sebagai kelanjutan dan konsekuensi
jalinan persekutuan ini.
Klausul baiat
Al-Imam Ahmad meriwayatkan masalah ini secara rinci dari Jabir, dia berkata “kami
berkata, ‘wahai Rasulullah, untuk hal apa kami berbaiat kepada engkau?”
3. Untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
4. Untuk berjuang karena Allah dan tidak merisaukan celaan orang yang suka mencela.
5. Hendaklah kalian menolong jika aku datang kepada kalian, melindungik sebagaimana
kalian melindungi diri, istri dan anak-anak kalian, dan bagi kalian adalah surga.
Pelaksanaan baiat
Setelah proses baiat usai, Rasulullah meminta pertunjukkan dua belas orang agar
menjadi pemuka bagi kaumnya masing-masing. Mereka inilah yang harus bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan klausul-klausul baiat itu.
Seketika itu pula mereka menunjuk dua belas orang pemuka ; Sembilan orang
dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Mereka adalah:
Tiga orang yang terakhir dari Aus. Setelah proses baiat dan pengukuhan ikatan janji
ini usai, dan selagi mereka dicekam rasa takut kalau-kalau kejadian ini diketahui orang
lain, tiba-tiba ada salah seorang pemimpin dari musyrikin yang mengetahui kejadian
tersebut. Untungnya, hal itu terjadi pada saat-saat terakhir pelaksanaan baiat, sehingga
dia tidak sempat membocorkan kepada para pemimpin Quraisy.
Orang-orang Quraisy terguncang, gundah, dan gelisah setelah mendengar apa yang
terjadi malam itu. Selagi matahari belum terbit, para utusan Quraisy yang terdiri dari
pemuka dan pemimpin Makkah mendatangi tenda-tenda penduduk Yastrib untuk
meminta kejelasan mengenai masalah ini.
Sedangkan orang-orang yang sudah masuk Islam hanya bisa saling adu pandang saling
diam membisu. Tak seorang pun diantara mereka berkata sepatah kata pun untuk
menyanggah atau mengiyakan. Maka para utusan Quraisy itu percaya saja apa yang
dikatakan penduduk Yastrib yang musyrik, lalu mereka pulang dengan tangan hampa.
Para utusan Quraisy Kembali dengan membawa tanda tanya, antara percaya dan tidak
percaya terhadap kabar ini. Oleh karena itu mereka terus mencari-cari dan menyelidiki,
hingga merasa yakin bahwa kabar itu memang benar dan baiat benar-benar telah
dilaksanakan.
PERMULAAN HIJRAH
Hijrah ini bukan sekedar mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda dan
menyelamatkan diri semata.
1. Yang pertama kali melakukan hijrah adalah Abu Salamah, yaitu setahun sebelum Baiat
Aqabah Kubra, seperti yang dikatakan Ibnu Ishaq, yang kemudian disusul oleh istri dan
anaknya.
3. Umar bin Al-Khathtbab, Iyash bin Abi Rabi’ah dan Hisyam bin Al-Ashy sudah saling
berjanji bertemu di suatu tempat esok paginya, setelah itu mereka hijrah berbarengan
ke Madinah. Umar dan Iyash dapat tiba di tempat yang dijanjikan, namun Hisyam
ditahan orang-orang Quraisy.
Inilah tiga gambaran tentang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap orang
muslim yang diketahui hendak hijrah. Dua bulan lebih beberapa hari setelah Baiat
Aqabah Kubra, tak seorang pun dari orang-orang Mukmin yang tersisa di Makkah kecuali
Rasulullah, Abu bakar dan Ali, yang memang diperintah untuk tetap tinggal di Makkah.
PARLEMEN QURAISY DI DARUN NADWAH
Mereka juga menyadari posisi Madinah yang sangat strategis dalam sector
perdagangan, karena menjadi jalur kafilah yang melewati pesisir Laut Merah menuju ke
Syam. Omset perdagangan penduduk Makkah ke Syam ini bisa mencapai empat juta
dinar emas setiap tahunnya, belum lagi penduduk Tha’if dan lain-lainnya.
Pada hari kamis tanggal 26 Shafar tahun 14 dari nubuwah, bertepatan dengan tanggal
12 september tahun 622 M, atau kira-kira selang dua bulan setengah setelah Baiat
Aqabah Kubra, maka diadakan pertemuan anggota Parlemen Makkah di Darun Nadwah,
yang dimulai sejak pagi hari. Ini merupakan pertemuan yang paling penting dalam
sejarah mereka, yang dihadiri para wakil dari setiap kabilah Quraisy.
Wajah-wajah yang muncul di pertemuan yang sangat penting ini adalah para
wakil seluruh kabilah Quraist,yaitu :
2. Jubair bin Muth’im dan Thu’aimah bin Adi serta Al-Harits bin Amir dari Bani Naufal
bin Abdi Manaf.
3. Syaiban dan Utbah, anak Rabi’ah serta Abu Sufyan bin Harb dari Bani Abdi Syams bin
Abdi Manaf.
4. An-Nadhr bin Al-Harits dari Bani Abdid-Dar, yaitu yang pernah menimpukkan isi perut
hewan yang sudah disembelih kepada beliau.
5. Abul Bakhtari bin Hisyam, Zam’ah bin Al-Aswad dan Hakim bin Hizam dari Bani Asad
bin Abdul Uzza