PENGAMBILAN KEPUTUSAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Dengan mengetahui resiko yang akan timbul dan apa saja factor yang mempengaruhi
terjadinya bias dalam pengambilan keputusan, diharapkan kepada pembaca makalah dapat
mengurangi resiko atas bias dalam pengambilan keputusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bias Dalam Pengambilan Keputusan
1. Heuristics
Menggunakan “petunjuk praktis” untuk mempermudah pengambilan keputusan.
Seorang yang mengambil keputusan di bawah tekanan deadline waktu, sering terjebak
dalam salah pengambilan keputusan disebabkan karena hanya menggunakan informasi
yang tidak lengkap dan kurang relevan untuk dijadikan landasan dalam pengambilan
keputusan.
3. Pem-bingkai-an [Framing]
Memilih dan menggarisbawahi aspek tertentu dari suatu keadaan dengan
mengabaikan aspek yang lain. Misalnya, Jimmy Connors, mantan petenis kaliber dunia
mengatakan, “Ketika bertanding, saya cenderung ‘takut kalah’ daripada ‘ingin
menang’”? Dengan kata lain, prospek kalah lebih besar artinya bagi Connors daripada
prospek menang. Atau, ia cenderung menghindari resiko daripada mengambil resiko.
Dalam perundingan, frame adalah soal bagaimana perunding merumuskan isu dan
hasil yang mereka hadapi dalam suatu perundingan. Framing – positif atau negatif, half
empty atau half full, keuntungan atau kerugian – sangat penting artinya, terutama dalam
membimbing seseorang memilih taktik berunding. Penelitian menunjukkan bahwa
perunding berbingkai kehilangan lebih sulit memberi konsesi dibanding perunding
berbingkai perolehan. Begitu pula, perunding berbingkai perolehan lebih berhasil
dibanding yang berframe kehilangan, karena yang pertama berhasil mencapai lebih
banyak kesepakatan dibanding yang kedua. Sehubungan dengan perundingan harga,
riset menunjukkan bahwa perunding yang berbingkai kehilangan bisa mencapai
kesepakatan yang lebih optimal baginya bila berhadapan dengan perunding yang
berbingkai perolehan. Dengan kata lain, bingkai kehilangan bisa juga menjadi aset,
yaitu bila lawan berunding menggunakan bingkai perolehan.
Jadi, pada kunjungan berikutnya ke toko DVD bajakan (per keping Rp 10.000, setiap
beli 5 gratis 1 keping), berapa keping akan Anda beli (baca: bingkai apa yang Anda
gunakan)?
4. Kemiripan [Representativeness]
Menggambarkan analogi dan menilai kemiripan peristiwa berdasar pada
seberapa dekat peristiwa tsb menyerupai peristiwa yg lain. Sebagai contoh, hasil
perundingan Munich 1938, Inggris setuju menutup mata atas agresi NAZI. Dewasa ini,
jika ada tendensi tutup mata terhadap suatu agresi, politisi internasional akan
mengatakan,”Kalau dibiarkan, ini akan menjadi Munich kedua”.
Orang sering mencari kemiripan antara perundingan yang sedang dihadapinya dengan
preseden di masa lalu. Penilaian, pemilihan taktik, dan pengambilan keputusan pun
kemudian cenderung disamakan dengan perundingan terdahulu yang dianggap
serupa. Padahal, yang serupa belum tentu sama, bukan?
5. Ketersediaan [Availability]
Kehilangan objektivitas dalam pengambilan keputusan karena focus hanya pada
kejadian yang baru terjadi. Misalnaya, seminggu terakhir, Anda menonton 5 film Johny
Depp. Ketika diminta mengusulkan nama aktor pria untuk diulas di rubrik film, Anda
pun mengusulkan Johny Depp – bukan Al Pacino yang baru saja berulang tahun, Sean
Penn yang lagi-lagi masuk pusat rehabilitasi, Leo diCaprio yang baru merilis film baru,
Forrest Whittaker yang baru mendapat Oscar, atau Marlon Brando yang baru saja
wafat. Kenapa ya?
Ketersediaan adalah penggunaan contoh atau skenario yang tersedia dan gampang
teringat (vivid, salient) untuk menilai frekuensi, probabilitas, atau plausibilitas suatu isu
atau peristiwa. Fakta atau informasi lain cenderung diabaikan hanya karena tidak segar
dalam ingatan. Sesuatu yang masih segar dalam ingatan perunding tampak lebih
sering terjadi, lebih mungkin terjadi, atau lebih pantas terjadi. Guna menghindari bias
ketersediaan, perunding perlu hati-hati supaya ketersediaan informasi tertentu tidak
menyebabkannya lupa menganalisis situasi negosiasi. Ingat, informasi harus dinilai
berdasarkan keandalannya, bukan ketersediaannya. Bedakan antara informasi yang
relevan dan dapat diandalkan dari yang masih segar dalam ingatan dan dikenal dekat.
6. Kesalahan Biaya yg ditanamkan (Sunk Cost Errors) / Patokan awal dan
penyesuaian [Anchoring and insufficient adjustment]
Lupa bahwa tindakan yang sekarang tidak dapat mempengaruhi kejadian yang
lalu dan hanya berhubungan dengan konsekuensi di masa depan. 1 x 10 x 100 x 1000
x 10000 sekilas terasa lebih kecil nilainya dibandingkan 10000 x 1000 x 100 x 10 x
1. Dua tahun lalu Anda mendapat angpao Rp 500.000. Tahun lalu Anda mendapat Rp
700.000. Tahun ini, orang tua Anda sebenarnya punya rencana memberi Rp
1.000.000. Sayang Anda hanya meminta Rp 900.000. Mengapa demikian?
Sesuatu (informasi, skenario, preseden, dll) yang menjadi patokan awal biasanya
berperan besar dalam pengajuan tawaran dan pembuatan konsesi. Terkadang
perunding terlampau terpaku pada patokan tersebut, sehingga gagal membuat
penyesuaian yang tepat.
Ketika perunding menanggapi tawaran awal lawan dengan mengajukan penawaran dan
penyesuaian, ia telah menerima atau memberi kredibilitas terhadap patokan awal yang
dibuat lawan. Status quo, jalan keluar yang paling menonjol, dan focal point sering
menjadi patokan awal. Jika patokan awal terlalu ekstrem, apa yang Anda
lakukan? Re-anchoring dan atau threatening. Menurut riset, penggunaan patokan
awal terutama terjadi dalam situasi perundingan yang ditandai dengan ketidakpastian.
7. Bias Kepuasan Yang cepat
Memilih alternatif yang menawarkan hasil yang cepat dan menghindari biaya
yang cepat. Asumsi ini sering sekali salah. Misalnya Kita akan menerima pegawai baru,
perusahaan tidak membuka lamaran secara terbuka, karena dinilai terlalu lama dan
akan memakan biaya, jadi yang dilakukan perusahaan hanya mengandalkan
referensi/promosi dari pkenalan pegawai lama, yang belum tentu akan dapat
menguasai pekerjaan tersebut. Dibandingkan dengan diadakannya penerimaan secara
terbuka dan dari hasil seleksi yang ketat, tentu hasilnya akan lebih maksimal.
Kesalahan meyakini bahwa suatu kejadian dapat diramalkan jika hasil aktual
diketahui. Misalnya, anda membayangkan pacar Anda ngambek karena semalam Anda
tidak apel (hujan deras, Sayang!). Hari ini Anda datang membawakan coklat favoritnya,
menyewakan DVD yang sudah lama ingin ditontonnya, dan menawarkan mengetikkan
tugasnya. Anda tidak tahu bahwa sebenarnya dia senang Anda tidak datang: tiga tugas
kuliahnya selesai, bisa pesan delivery pizza (Anda selalu menolak diajak makan pizza),
dan sempat bikin slumber party dengan teman-teman se-kost. Nah lo!
Terkadang, seorang perunding beranggapan bahwa ia dan lawan rundingnya berbeda
kepentingan atau bertikai mengenai sesuatu hal, padahal sebenarnya tidak. Konflik
yang ia bayangkan ternyata semu. Malahan, ia dan lawan rundingnya menginginkan
hal yang sama (common value). Akan tetapi, karena bertindak berdasarkan anggapan
adanya konflik, si perunding mendapatkan hasil yang tidak optimal.
Dalam kasus di atas, Anda dan pacar memiliki common value: tidak apel. Bias konflik
semu membuat Anda menyangka telah membuat konsesi untuknya dengan
membawakan coklat dll, padahal tidak. Bayangkan jika pacar Anda dari awal
menggunakan taktik strategic mispresentation dan berkata,”Oke, kamu boleh tidak apel,
tetapi kamu harus A, B, dan C.” Di mata Anda, ia seperti memberi konsesi (merelakan
tidak diapeli), padahal ia mendapatkan semua yang diinginkannya: Anda tidak apel, A,
B, dan C.
C. Resiko
Kita telah membahas tentang apa-apa saja factor yang menyebabkan terjadinya bias
dalam pengambilan suatu keputusan. Adapun resiko yang akan timbul dari bias dalam
pengambilan keputusan, adalah:
salah dalam pengambilan keputusan yang disebabkan karena hanya menggunakan
informasi yang tidak lengkap dan kurang relevan untuk dijadikan landasan dalam
pengambilan keputusan.
Merasa resah dan menyesal atas keputusan yang telah diambil.
Tidak optimalnya kinerja dari organisasi atau perusahaan karena adanya satu keputusan
yang bias.
Terlewatnya kesempatan dalam mencapai keuntungan karena salah dalam pengambilan
keputusan.