Anda di halaman 1dari 10

Mengenal Sosok Habib Umar bin Hafidz

Jumat, 19 Oktober 2018 16:25 Tokoh

Bagikan

Mengenal Sosok Habib Umar bin Hafidz

Perawakannya tak terlalu tinggi, sedang-sedang saja. Wajahnya yang dihiasi jambang yang rapih
berwarna kemerahan dan hidung mancung dengan mata bulat tampak begitu meneduhkan. Dari
itu semua, keindahan yang paling jelas terlihat adalah senyumnya yang selalu mengembang di
wajahnya. Itulah perawakan Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.

Pekan lalu, dalam pidatonya di Jakarta di hadapan tokoh lintas agama, Habib Umar
menyampaikan pandangan tentang pentingnya menjaga hubungan baik antar umat beragama.
Pandangannya terasa begitu kokoh karena selalu ditopang oleh sederet ayat Al-Qur’an, Al-Hadist
atau pendapat ulama terdahulu.

Di depan pendeta, romo, bikkhu dan tokoh agama lain, Habib Umar berhasil menemukan
common ground di mana semua agama memiliki kesamaan pandangan, misalnya tentang
pernghormatan pada kemanusiaan, larangan mengambil hak tetangga dan pentingnya menjaga
kebaikan di antara umat beragama. Kesamaan ini yang diangkat dan di-highlight berkali-kali
dengan landasan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Habib Umar yang menyadari bahwa dalam perbedaan masyarakat kerap terjadi perbedaan
pendapat dan ‘gesekan’ di antara merekameminta maaf jika itu terjadi di Indonesia. Kelompok
umat Islam yang melakukan tindakan anarkis sehingga menyebabkan umat lain terganggu
disebutnya sebagai umat yang belum paham tentang ajaran Islam. Kalaupun mereka adalah
orang yang paham akan ajaran Islam, maka mereka adalah orang yang belum menjalankan ajaran
Islam dengan baik.

“Kami meminta maaf apabila sampai ada orang nonmuslim yang pernah mendapatkan gangguan
dari oknum beragama Islam. Seandainya ada umat agama lain yang terganggu oleh oknum
agama Islam, saya katakan bahwa mereka adalah orang yang tidak paham ajaran Islam, atau
mereka tak menjalankan ajaran agama Islam dengan baik,” kata Habib Umar.
Sosok yang bijaksana dan penuh perhatian

Selain berpemikiran luas, Habib Umar bin Hafidz merupakan sosok yang bijaksana. Habib
Hamid Al-Qodri salah seorang murid Habib Umar yang berasal dari Indonesia mengatakan
bahwa kebijaksanaan Habib Umar terlihat dari kebiasaannya yang tidak pernah menggeneralisir
sebuah kesalahan dan menisbatkannya pada sebuah kelompok tertentu.

“Beliau (Habib Umar) tidak akan menyebut sebuah kesalahan sebagai kesalahan sebuah
kelompok. Sebab bisa jadi kesalahan itu tidak dilakukan oleh semuanya,” kata Habib Hamid Al-
Qodri kepada NU Online.

Dalam pandangan Habib Umar, katanya, akan selalu ada anggota kelompok yang berperilaku
tidak sesuai dengan ajaran baik di dalam kelompoknya. Maka dari itu, penyamarataan atau
melakukan generalisasi sama dengan menyebut bahwa semua orang di dalam kelompok
melakukan hal buruk itu yang hanya dilakukan satu atau dua orang itu. Jika sikap itu diambil,
maka akan menghalangi silaturrahmi antara kelompok.

Selain itu, Habib Umar merupakan sosok yang memiliki perhatian yang tinggi pada muridnya-
muridnya. Habib Hamid Al-Qodri mengisahkan, pada sebuah malam di musim dingin di mana
suhu di Pondok Darul Mustofa, Tarim, Hadramaut, Yaman mencapai 4 derajat celcius, beberapa
murid asal Indonesia kedinginan. Mereka adalah murid yang baru beberapa saat tiba di Yaman
dan baru pertama kali merasakan musim dingin.

Pada waktu itu, terdapat empat murid asal Indonesia yang tak kebagian selimut tebal. Akhirnya
Habib Umar mendatanginya sambil membawa dua lembar selimut. Lalu Habib Umar bertanya,
‘apakah selimutnya masih kurang?’. Para muridnya menjawab, ‘Iya masih kurang, Habib’.

Selang beberapa waktu Habib Umar datang dengan selembar selimut di tangannya. Setelah
menyerahkan, Habib Umar bertanya lagi, ‘apakah masih kurang?’. Lalu muridnya menjawab
‘Iya, kurang satu lagi Habib’. Tak lama, Habib Umar datang lagi membawa dan menyerahkan
selembar selimut lainnya yang agak bau ‘pesing’. Walhasil murid yang menerima selimut
terakhir ini sedikit menggerutu.

Keesokan harinya ia mengeluh pada temannya yang lebih senior tentang selimut yang
diterimanya. Rekannya lalu berkata, “Sesungguhnya dua selimut yang diberikan pertama kali
oleh Habib Umar adalah milik Habib Umar sendiri dan istrinya. Sedangkan dua yang terakhir
adalah milik anak-anaknya yang masih kecil,” kata rekannya seperti ditirukan Habib Hamid Al-
Qodri.

“Jadi Habib Umar sampai rela dia dan keluarganya serta anak-anaknya tidur kedingingan karena
rasa perhatian yang tinggi pada muridnya yang datang dari jauh,” ujarnya.

Habib Umar bin Hafidz dan perjalanan hidupnya

Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan di Tarim pada Senin, 4
Muharram 1383 H atau 27 Mei 1963 M. Sejak belia, beliau telah mempelajari sejumlah ilmu
agama seperti Al-Hadist, Fiqih, Tauhid dan Ushul Fiqih dari lingkungan keluarganya sendiri,
terutama dari ayahnya, Muhammad bin Salim yang merupakan seorang Mufti di Tarim.

Selain dari Ayahnya, pada masa itu ia juga belajar dari tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Habib
Muhammad bin Alawi bin Shihab al-Din, Al-Habib Ahmad bin Ali Ibn al-Shaykh Abu Bakr, Al-
Habib Abdullah bin Shaykh Al-Aidarus, Al-Habib Abdullah bin Hasan Bil-Faqih, Al-Habib
Umar bin Alawi al-Kaf, al-Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, dan ulama lain di Tarim.

Habib Umar sendiri mulai mengajar dan berdakwah sejak dia berusia 15 tahun sambil
melanjutkan belajar pada para ulama kala itu.

Di saat situasi sosial-politik di Tarim sedang kacau atas penguasaan Rezim Komunis pada tahun
1981, Habib Umar pindah ke Kota Al-Bayda di sebelah utara Yaman. Di sana Habib Umar
kembali mempelajari ilmu agama kepada al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, Al-
Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumayt dan Al-Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil. Sambil belajar, ia
juga mengajar dan membuat forum kajian baik di kota Al-Bayda, di Al-Hudaydah dan juga di
Kota Ta`izz.

Pada tahun 1992, Habib Umar pidah dari Al-Bayda ke kota Al-Shihr, Ibu Kota Provinsi
Hadramaut untuk mengajar di sana setelah Rezim Komunis yang menguasai kota itu takluk.
Setelah beberapa tahun tinggal di sana, Habib Umar kembali ke kota asalnya, Tarim pada tahun
1994. Pada tahun itu juga, Habib Umar mulai merintis berdirinya pondok pesantren Darul
Mustofa dan mulai menerima murid dari berbagai tempat. Walau demmikian, pembukaan resmi
Darul Mustofa baru diresmikan pada tahun 1997. Dan sejak saat itu, murid-murid berdatangan
dari berbagai negara berdatangan untuk belajar di Darul Mustofa.

Kiprah dakwahnya tak hanya melalui mendirikan pesantren. Habib Umar juga menginisiasi
sejumlah forum kajian keagamaan di kota Tarim. Salah satu forum yang rutin dia hadiri adalah
pertemuan mingguan dengan warga Tarim yang digelar di pusat kota Tarim dan selalu dihadiri
oleh ratusan penduduk kota setempat. Selain pertemuan formal, ia juga melakukan silaturrahmi
ke berbagai tempat di Yaman untuk mengunjungu kampus-kampus dan sejumlah organisasi.

Saat ini, Habib Umar telah melakukan dakwahnya secara global. Sejumlah negara yang kerap dia
hadiri adalah Syiria, Lebanon, Jordania, Mesir, Aljazair, Sudan, Mali, Kenya, Tanzania, Afrika
Selatan, India, Pakistan, Sri lanka, Malaysia, Singapura, Australia dan sejumlah negara Eropa
lainnya.

Habib Umar, Indonesia dan NU

Di Indonesia sendiri, Habib Umar telah melakukan dakwah rutin sejak tahun 1994. Awal
kedatangan Habib Umar ke Indonesia adalah pada tahun 1994 saat diutus oleh Al-Habib Abdul
Qadir bin Ahmad Assegaf yang berada di Jeddah untuk mengingatkan dan menggugah ghirah
(semangat atau rasa kepedulian) para Alawiyyin Indonesia. Perintah itu disebabkan sebelumnya
ada keluhan dari Habib Anis bin Alwi al-Habsyi seorang ulama dan tokoh asal Kota Solo, Jawa
Tengah tentang keadaan para Alawiyyin di Indonesia yang mulai jauh dan lupa akan nilai-nilai
ajaran para leluhurnya.
Intensitas kedatangan yang semakin sering ke Indonesia membuat Habib Umar menginisiasi
lahirnya organisasi bernama Majelis Al-Muwasholah Bayna Ulama Al Muslimin atau Forum
Silaturrahmi Antar Ulama. Sejak itu, Habib Umar menjadi semakin sering datang ke Indonesia
untuk menyampaikan dakwah dan ajarannya.

Pekan lalu, Habib Umar mengunjungi Indonesia selama 10 hari. Selama itu Habib Umar bin
Hafiz mengunjungi sejumlah tempat mulai di Jakarta, Bandung, Cirebon, hingga Kalimantan.
Setiap bulannya, secara rutin, Habib Umar juga megajar di sejumlah pondok pesantren Nahdlatul
Ulama melalui siaran teleconference.

Habib Umar sendiri menempati tempat yang khusus di hati Nahdlatu Ulama. Penghormatan pada
keturunan Nabi Muhammad Saw telah ditanamkan jauh-jauh hari di dalam lingkungan pesantren.
Di dalam struktur pengurus NU, selalu ada sosok habaib yang duduk di dalam kepengurusan NU
baik di tingkat cabang hingga di tingkat pusat.

Kedekatan NU dengan para habaib diakui kalangan habib sendiri, misalnya oleh Habib Syarief
Muhammad Al-Aydarus Bandung yang tercatat pada pengantar buku ‘Panggilan Selamat’ yang
menyatakan bahwa NU memiliki watak yang sangat menghormati dzuriyah (keturunan)
Rasulullah atau para habib.

Habib Umar sendiri juga sangat menghormati para ulama di Indonesia. Dalam pengajian
rutinnya, Habib Umar mengkaji kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim karya pendiri NU,
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Penghormatan Habib Umar pada ulama diakui oleh penguru
PBNU.

“Penghormatan beliau (habib Umar) terhadap ulama Indonesia dibuktikan dengan komitmen
beliau secara terus-menerus untuk mengkaji kitab karya Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari
setiap bulan,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Hery Haryanto Azumi, beberapa waktu
lalu.

Hal itu adalah suatu bukti nyata bahwa Indonesia menempati posisi yang sangat spesial di hati
Habib Umar bin Hafidz. Lebih dari itu, kata Hery, Habib Umar meyakini bahwa kebangkitan
Islam di masa depan akan datang dari Indonesia. (Ahmad Rozali)
(Sumber: NU Online, www.alhabibomar.com)

Mengenal Sosok Habib Umar bin Hafidz

Perawakannya tak terlalu tinggi, sedang-sedang saja. Wajahnya yang dihiasi jambang yang rapih
berwarna kemerahan dan hidung mancung dengan mata bulat tampak begitu meneduhkan. Dari
itu semua, keindahan yang paling jelas terlihat adalah senyumnya yang selalu mengembang di
wajahnya. Itulah perawakan Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.

Pekan lalu, dalam pidatonya di Jakarta di hadapan tokoh lintas agama, Habib Umar
menyampaikan pandangan tentang pentingnya menjaga hubungan baik antar umat beragama.
Pandangannya terasa begitu kokoh karena selalu ditopang oleh sederet ayat Al-Qur’an, Al-Hadist
atau pendapat ulama terdahulu.

Di depan pendeta, romo, bikkhu dan tokoh agama lain, Habib Umar berhasil menemukan
common ground di mana semua agama memiliki kesamaan pandangan, misalnya tentang
pernghormatan pada kemanusiaan, larangan mengambil hak tetangga dan pentingnya menjaga
kebaikan di antara umat beragama. Kesamaan ini yang diangkat dan di-highlight berkali-kali
dengan landasan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Habib Umar yang menyadari bahwa dalam perbedaan masyarakat kerap terjadi perbedaan
pendapat dan ‘gesekan’ di antara merekameminta maaf jika itu terjadi di Indonesia. Kelompok
umat Islam yang melakukan tindakan anarkis sehingga menyebabkan umat lain terganggu
disebutnya sebagai umat yang belum paham tentang ajaran Islam. Kalaupun mereka adalah
orang yang paham akan ajaran Islam, maka mereka adalah orang yang belum menjalankan ajaran
Islam dengan baik.

“Kami meminta maaf apabila sampai ada orang nonmuslim yang pernah mendapatkan gangguan
dari oknum beragama Islam. Seandainya ada umat agama lain yang terganggu oleh oknum
agama Islam, saya katakan bahwa mereka adalah orang yang tidak paham ajaran Islam, atau
mereka tak menjalankan ajaran agama Islam dengan baik,” kata Habib Umar.
Sosok yang bijaksana dan penuh perhatian

Selain berpemikiran luas, Habib Umar bin Hafidz merupakan sosok yang bijaksana. Habib
Hamid Al-Qodri salah seorang murid Habib Umar yang berasal dari Indonesia mengatakan
bahwa kebijaksanaan Habib Umar terlihat dari kebiasaannya yang tidak pernah menggeneralisir
sebuah kesalahan dan menisbatkannya pada sebuah kelompok tertentu.

“Beliau (Habib Umar) tidak akan menyebut sebuah kesalahan sebagai kesalahan sebuah
kelompok. Sebab bisa jadi kesalahan itu tidak dilakukan oleh semuanya,” kata Habib Hamid Al-
Qodri kepada NU Online.

Dalam pandangan Habib Umar, katanya, akan selalu ada anggota kelompok yang berperilaku
tidak sesuai dengan ajaran baik di dalam kelompoknya. Maka dari itu, penyamarataan atau
melakukan generalisasi sama dengan menyebut bahwa semua orang di dalam kelompok
melakukan hal buruk itu yang hanya dilakukan satu atau dua orang itu. Jika sikap itu diambil,
maka akan menghalangi silaturrahmi antara kelompok.

Selain itu, Habib Umar merupakan sosok yang memiliki perhatian yang tinggi pada muridnya-
muridnya. Habib Hamid Al-Qodri mengisahkan, pada sebuah malam di musim dingin di mana
suhu di Pondok Darul Mustofa, Tarim, Hadramaut, Yaman mencapai 4 derajat celcius, beberapa
murid asal Indonesia kedinginan. Mereka adalah murid yang baru beberapa saat tiba di Yaman
dan baru pertama kali merasakan musim dingin.

Pada waktu itu, terdapat empat murid asal Indonesia yang tak kebagian selimut tebal. Akhirnya
Habib Umar mendatanginya sambil membawa dua lembar selimut. Lalu Habib Umar bertanya,
‘apakah selimutnya masih kurang?’. Para muridnya menjawab, ‘Iya masih kurang, Habib’.

Selang beberapa waktu Habib Umar datang dengan selembar selimut di tangannya. Setelah
menyerahkan, Habib Umar bertanya lagi, ‘apakah masih kurang?’. Lalu muridnya menjawab
‘Iya, kurang satu lagi Habib’. Tak lama, Habib Umar datang lagi membawa dan menyerahkan
selembar selimut lainnya yang agak bau ‘pesing’. Walhasil murid yang menerima selimut
terakhir ini sedikit menggerutu.
Keesokan harinya ia mengeluh pada temannya yang lebih senior tentang selimut yang
diterimanya. Rekannya lalu berkata, “Sesungguhnya dua selimut yang diberikan pertama kali
oleh Habib Umar adalah milik Habib Umar sendiri dan istrinya. Sedangkan dua yang terakhir
adalah milik anak-anaknya yang masih kecil,” kata rekannya seperti ditirukan Habib Hamid Al-
Qodri.

“Jadi Habib Umar sampai rela dia dan keluarganya serta anak-anaknya tidur kedingingan karena
rasa perhatian yang tinggi pada muridnya yang datang dari jauh,” ujarnya.

Habib Umar bin Hafidz dan perjalanan hidupnya

Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan di Tarim pada Senin, 4
Muharram 1383 H atau 27 Mei 1963 M. Sejak belia, beliau telah mempelajari sejumlah ilmu
agama seperti Al-Hadist, Fiqih, Tauhid dan Ushul Fiqih dari lingkungan keluarganya sendiri,
terutama dari ayahnya, Muhammad bin Salim yang merupakan seorang Mufti di Tarim.

Selain dari Ayahnya, pada masa itu ia juga belajar dari tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Habib
Muhammad bin Alawi bin Shihab al-Din, Al-Habib Ahmad bin Ali Ibn al-Shaykh Abu Bakr, Al-
Habib Abdullah bin Shaykh Al-Aidarus, Al-Habib Abdullah bin Hasan Bil-Faqih, Al-Habib
Umar bin Alawi al-Kaf, al-Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, dan ulama lain di Tarim.

Habib Umar sendiri mulai mengajar dan berdakwah sejak dia berusia 15 tahun sambil
melanjutkan belajar pada para ulama kala itu.

Di saat situasi sosial-politik di Tarim sedang kacau atas penguasaan Rezim Komunis pada tahun
1981, Habib Umar pindah ke Kota Al-Bayda di sebelah utara Yaman. Di sana Habib Umar
kembali mempelajari ilmu agama kepada al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, Al-
Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumayt dan Al-Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil. Sambil belajar, ia
juga mengajar dan membuat forum kajian baik di kota Al-Bayda, di Al-Hudaydah dan juga di
Kota Ta`izz.
Pada tahun 1992, Habib Umar pidah dari Al-Bayda ke kota Al-Shihr, Ibu Kota Provinsi
Hadramaut untuk mengajar di sana setelah Rezim Komunis yang menguasai kota itu takluk.
Setelah beberapa tahun tinggal di sana, Habib Umar kembali ke kota asalnya, Tarim pada tahun
1994. Pada tahun itu juga, Habib Umar mulai merintis berdirinya pondok pesantren Darul
Mustofa dan mulai menerima murid dari berbagai tempat. Walau demmikian, pembukaan resmi
Darul Mustofa baru diresmikan pada tahun 1997. Dan sejak saat itu, murid-murid berdatangan
dari berbagai negara berdatangan untuk belajar di Darul Mustofa.

Kiprah dakwahnya tak hanya melalui mendirikan pesantren. Habib Umar juga menginisiasi
sejumlah forum kajian keagamaan di kota Tarim. Salah satu forum yang rutin dia hadiri adalah
pertemuan mingguan dengan warga Tarim yang digelar di pusat kota Tarim dan selalu dihadiri
oleh ratusan penduduk kota setempat. Selain pertemuan formal, ia juga melakukan silaturrahmi
ke berbagai tempat di Yaman untuk mengunjungu kampus-kampus dan sejumlah organisasi.

Saat ini, Habib Umar telah melakukan dakwahnya secara global. Sejumlah negara yang kerap dia
hadiri adalah Syiria, Lebanon, Jordania, Mesir, Aljazair, Sudan, Mali, Kenya, Tanzania, Afrika
Selatan, India, Pakistan, Sri lanka, Malaysia, Singapura, Australia dan sejumlah negara Eropa
lainnya.

Habib Umar, Indonesia dan NU

Di Indonesia sendiri, Habib Umar telah melakukan dakwah rutin sejak tahun 1994. Awal
kedatangan Habib Umar ke Indonesia adalah pada tahun 1994 saat diutus oleh Al-Habib Abdul
Qadir bin Ahmad Assegaf yang berada di Jeddah untuk mengingatkan dan menggugah ghirah
(semangat atau rasa kepedulian) para Alawiyyin Indonesia. Perintah itu disebabkan sebelumnya
ada keluhan dari Habib Anis bin Alwi al-Habsyi seorang ulama dan tokoh asal Kota Solo, Jawa
Tengah tentang keadaan para Alawiyyin di Indonesia yang mulai jauh dan lupa akan nilai-nilai
ajaran para leluhurnya.

Intensitas kedatangan yang semakin sering ke Indonesia membuat Habib Umar menginisiasi
lahirnya organisasi bernama Majelis Al-Muwasholah Bayna Ulama Al Muslimin atau Forum
Silaturrahmi Antar Ulama. Sejak itu, Habib Umar menjadi semakin sering datang ke Indonesia
untuk menyampaikan dakwah dan ajarannya.
Pekan lalu, Habib Umar mengunjungi Indonesia selama 10 hari. Selama itu Habib Umar bin
Hafiz mengunjungi sejumlah tempat mulai di Jakarta, Bandung, Cirebon, hingga Kalimantan.
Setiap bulannya, secara rutin, Habib Umar juga megajar di sejumlah pondok pesantren Nahdlatul
Ulama melalui siaran teleconference.

Habib Umar sendiri menempati tempat yang khusus di hati Nahdlatu Ulama. Penghormatan pada
keturunan Nabi Muhammad Saw telah ditanamkan jauh-jauh hari di dalam lingkungan pesantren.
Di dalam struktur pengurus NU, selalu ada sosok habaib yang duduk di dalam kepengurusan NU
baik di tingkat cabang hingga di tingkat pusat.

Kedekatan NU dengan para habaib diakui kalangan habib sendiri, misalnya oleh Habib Syarief
Muhammad Al-Aydarus Bandung yang tercatat pada pengantar buku ‘Panggilan Selamat’ yang
menyatakan bahwa NU memiliki watak yang sangat menghormati dzuriyah (keturunan)
Rasulullah atau para habib.

Habib Umar sendiri juga sangat menghormati para ulama di Indonesia. Dalam pengajian
rutinnya, Habib Umar mengkaji kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim karya pendiri NU,
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Penghormatan Habib Umar pada ulama diakui oleh penguru
PBNU.

“Penghormatan beliau (habib Umar) terhadap ulama Indonesia dibuktikan dengan komitmen
beliau secara terus-menerus untuk mengkaji kitab karya Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari
setiap bulan,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Hery Haryanto Azumi, beberapa waktu
lalu.

Hal itu adalah suatu bukti nyata bahwa Indonesia menempati posisi yang sangat spesial di hati
Habib Umar bin Hafidz. Lebih dari itu, kata Hery, Habib Umar meyakini bahwa kebangkitan
Islam di masa depan akan datang dari Indonesia. (Ahmad Rozali)

(Sumber: NU Online, www.alhabibomar.com)

Anda mungkin juga menyukai