Anda di halaman 1dari 20

ADVOKAT DALAM BEBERAPA LIKU DUNIA PERADILAN

(KEKUASAAN KEHAKIMAN)
Bagir Manan

1. Pendahuluan
Dalam bahasa Belanda, ada beberapa istilah tentang “kekuasaan
kehakiman” atau “kekuasaan peradilan”: “rechtelijke macht, rechtss-
prekende macht, rechtspraak”.
Begitu pula dalam bahasa Indonesia. UUD 1945 mempergunakan
sebutan “kekuasaan kehakiman” (Bab IX). Konstitusi RIS, menggunakan
sebutan “pengadilan” (Pasal 144 dst). Dalam Konstitusi RIS, “pengadilan”
masuk dalam kelompok “Pemerintahan” (Bab IV): “Ketentuan Umum,
Perundang-Undangan, Pengadilan, Keuangan, Perhubungan Luar Negeri,
Pertahanan Kebangsaan dan Keamanan Umum”. Mahkamah Agung ada
pada Bab “Perlengkapan Republik Indonesia Serikat”, bersama-sama
dengan ketentuan tentang: “Presiden, Menteri-menteri, Senat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat” (Bab III). UUDS 1950 sama dengan Konstitusi RIS,
menggunakan sebutan “Pengadilan” (Bab III, Bagian III). Mahkamah
Agung terdapat dalam Bab II, Bagian III. Dalam undang-undang yang
mengatur “kekuasaan kehakiman” (sebagai undang-undang payung)
digunakan sebutan “kekuasaan kehakiman”, dan dalam undang-undang,
tentang “badan-badan peradilan” seperti “peradilan umum, peradilan
militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara) digunakan sebutan
“peradilan” atau “pengadilan” (seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan
HAM, Pengadilan Anak).
Dikaitkan dengan sebutan dalam bahasa Belanda, penggunaan
sebutan “Kekuasaan Kehakiman” (UUD 1945, Bab IX), lebih mendekati –
kalau tidak dapat dikatakan sebagai terjemahan – “rechtelijke macht”,
sedangkan sebutan “pengadilan” dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950,
lebih mendekati atau terjemahan “rechtspraak”.
2. Advokat dan kekuasaan kehakiman
Tidak berlebihan apabila dikemukakan “semua buku” atau “semua
pernyataan” tentang kekuasaan kehakiman akan menyatakan – seperti
yang ditulis Montesquieau – “judicial power” adalah: “punishes criminals,
or determines the disputes that arise between individuals” (Montesquieau,
The Spirit Of The Laws, hlm. 151) (menghukum pelaku pidana, atau
memutus sengketa antar individu). Pengertian ini sangat sempit.
Pertama; hanya dibatasi pada perkara pidana dan perdata. Dalam
perkembangan – seperti sekarang ini – didapati perkara administrasi,
perkara pajak, dan lain-lain. Kedua; dalam perkara perdata hanya
dibatasi pada sengketa antar individu. Dalam perkembangan dapat terjadi
sengketa perdata antara individu dengan negara (onrechtmatigedaad),
sengketa antara badan hukum keperdataan (antara
“privaatrechtspersoon), antara badan hukum kperdataan dengan badan
hukum publik (publiekrechtspersoon), sengketa perdata antar negara, dan
lain-lain.
Terlepas dari pengertian yang sempit tersebut, esensi kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan “menegakkan atau mempertahankan
hukum” (law enforcement). Tetapi, perlu dicatat, penegakan hukum dan
mempertahankan hukum tidak hanya oleh pengadilan, tetapi juga oleh
eksekutif, seperti keimigrasian, bea cukai, dan lain-lain. Misalnya,
pengenaan denda (boete, fine), dapat juga dikenakan oleh badan
administrasi “denda administratif” (administratief boete), “hukuman
disiplin”.
Biasanya, penulisan, pengajaran atau pembicaraan tentang
kekuasaan kehakiman adalah mengenai seluk-beluk “organisasi atau
badan kekuasaan kehakiman” meliputi:
- susunan organisasi (susunan badan) kekuasaan kehakiman;
- jabatan-jabatan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman;
- pemangku jabatan (pejabat) dalam lingkungan kekuasaan kehakiman;
dan

2
- hubungan antar jabatan dan/atau pemangku jabatan dalam lingkungan
kekuasaan kehakiman dan hubungan dengan lingkungan jabatan
dan/atau pemangku jabatan di luar kekuasaan kehakiman.
Hal-hal di atas merupakan sesuatu yang lazim kita ketemukan dan
dipelajari dalam UUD, undang-undang, atau ketentuan lain tentang
kekuasaan kehakiman. Apakah dengan mempelajari dan menguasai
berbagai aspek di atas, sudah mencerminkan secara lengkap tentang
kekuasaan kehakiman?
Telah dikemukakan, hakekat kekuasaan kehakiman atau secara
lebih spesifik “fungsi kekuasaan kehakiman” adalah “menegakkan dan
mempertahankan hukum” (law enforcement, handhaving van het recht).
Dengan demikian, semestinya kajian tentang kekuasaan kehakiman
tidak hanya mengenai seluk beluk organisasi atau badan kekuasaan
kehakiman, melainkan juga seluk beluk yang berkaitan dengan tata
cara melaksanakan penegakan dan mempertahankan hukum. Bahkan,
dalam konteks pemisahan/pembagian kekuasaan, demokrasi, dan negara
hukum, diskursus kekuasaan kehakiman lebih ditekankan pada soal-soal
penegakan hukum (law enforcement) yang dipertalikan dengan
“independency, impartiality, dan fairness”, daripada sekedar mengenai
seluk beluk organisasi (badan) kekuasaan kehakiman.
Akibat perkembangan “materi muatan” dan “spesialisasi” keilmuan,
dua bidang yang disebutkan di atas (tentang badan dan tentang tata
laksana kekuasaan kehakiman) terpisah satu sama lain. Asas dan kaidah
organisasi atau badan-badan kekuasaan kehakiman dimasukkan ke
dalam kelompok hukum materil atau hukum substantif (substantive law),
yang dalam pengelompokan ilmu hukum termasuk (kajian) ilmu hukum
tata negara dan dari aspek politik, masuk kajian ilmu politik. Sedangkan
asas dan kaidah tentang tata cara penegakan dan mempertahankan
hukum dimasukkan sebagai “ilmu hukum acara” (law of procedure,
processrecht), seperti: hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum
acara administrasi, hukum acara Mahkamah Konstitusi, dan lain-lain.
Ada semacam “ekses”. Mereka yang mengambil spesialisasi hukum tata
negara (salah satu obyeknya “kekuasaan kehakiman”) tidak merasa perlu

3
“mendalami” hukum acara. Di Amerika Serikat, ada Fakultas Hukum
yang mengajarkan (ada mata kuliah) seperti “constitutional procedure law”.
Demikian pula sebaliknya. Kepincangan ini akan sangat terasa bagi
praktisi hukum (legal practitioners) di bidang penegakan hukum (hakim,
jaksa, advokat).

3. Pemangku kekuasaan kehakiman


Dimanapun – baik dimuat dalam UUD, UU atau praktik - hanya
hakim yang dimasukkan sebagai pemangku kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan pengertian tersebut, hanya hakim yang harus
“independence, impartiality, dan fairness”. Hanya hakim yang perlu
mendapat perlindungan dan jaminan lepas dari campur tangan
kekuasaan lain dengan alasan, seperti ditulis Hamilton dalam Federalist
Papers No.78 (hlm.594), yang menunjukan kekuasaan kehakiman yang
paling lemah dibandingkan legislatif dan judikatif.
“...because it will be least in a capacity to annoy or injure them. The
Executive not only dispenses the honors but hold the sword of the
community. The legislature not only commands the purse but
prescribes the rules by which the duties and rights of every citizen
are to be regulated. The judiciary on the contrary has no influence
over either the sword or the purse; no direction either of the strength
or of the wealth of society and can take no active resolution whatever.
It may truly be said to have neither Force nor Will, but merely
judgement, and must ultimately depend upon the aid of the executive
arm even for the efficacy of its judgement”.
(“... karena kekuasaan kehakiman memiliki kapasitas yang paling
lemah untuk mengganggu atau merugikan eksekutif dan legislatif.
Eksekutif tidak hanya menyebarkan kehormatan, tetapi memegang
pedang masyarakat (kekuasaan melakukan tindakan). Kekuasaan
legislatif tidak hanya memegang pundi-pundi uang (hak anggaran),
tetapi memegang hak menetapkan peraturan-peraturan yang
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban setiap warga.
Sebaliknya kekuasaan kehakiman tidak mempunyai pengaruh
(peran) baik mengenai kekuasaan bertindak (pedang), atau pundi-
pundi uang (anggaran); tidak memiliki kekuasaan untuk
mengarahkan (membimbing) penguatan atau (mewujudkan)
kesejahteraan masyarakat, dan tidak dapat menyelesaikan apapun.
Dapatlah dikatakan, sesungguhnya kekuasaan kehakiman tidak
memiliki KEKUATAN dan KEHENDAK, melainkan semata-mata
memutus dan bahkan tergantung pada bantuan tangan eksekutif
agar putusannya efektif).

4
Memang benar, kalau pelaksanaan putusan hakim tergantung
pada eksekutif. Pada saat ini, lebih dari 500 orang, telah dijatuhi
hukuman mati (ada yang sudah berjalan), tetapi tidak ada eksekusi dari
eksekutif. Tetapi tidak juga benar kalau dikatakan, kekuasaan kehakiman
sama sekali tidak mempunyai pengaruh memecahkan persoalan dan
kesejahteraan masyarakat. Banyak sekali putusan hakim yang
memecahkan persoalan masyarakat dan berkenaan dengan kesejahteraan
masyarakat.
Apakah jika ditinjau dari perspektif kekuasaan kehakiman sebagai
penegak hukum, atau yang mempertahankan hukum, tidak semestinya
kekuasaan kehakiman dijalankan juga oleh lingkungan jabatan (badan)
lain yaitu: jaksa (kejaksaan), polisi (kepolisian), badan-badan administrasi
yang menegakkan hukum (seperti bea cukai, keimigrasian, petugas
pajak), dan advokat. Bahkan, di negara-negara seperti Belanda yang
menyebutkan misalnya: “Kejaksaan Agung (Jaksa Agung) pada
Mahkamah Agung”, tidak berarti kejaksaan (jaksa) cq Jaksa Agung adalah
pejabat kekuasaan kehakiman. Jaksa Agung atau kejaksaan pada
umumnya, adalah pejabat atau lingkungan jabatan eksekutif (lihat
Kortmann – Bovend Eerl, The Kingdom of Netherlands, An Introduction to
Dutch Constitutional Law, hlm. 114). Demikian pula polisi (kepolisian), dan
badan-badan (pejabat) administrasi ada dalam lingkngan kekuasaan
eksekutif.
Bagaimana advokat? Advokat bukan pejabat (aparat) kekuasaan
kehakiman (aparat yudisial), juga bukan pejabat (aparat) administrasi.
Walaupun turut serta dalam menegakkan dan mempertahankan hukum,
advokat adalah institusi kemasyarakatan (social institution), bahkan
sebagai profesi bebas (free profession) seperti pers cq wartawan. Apakah –
walaupun tidak termasuk kekuasaan kehakiman – advokat adalah
(profesi) penegak hukum (ikut serta menegakkan dan mempertahankan
hukum)? Mewakili (membela) kepentingan klien dalam suatu perkara
di depan pengadilan adalah bagian integral menegakkan hukum.

5
Bagaimana menjamin “commitment” advokat dalam penegakan
hukum?
Kita mempunyai “UU tentang Advokat”. Ketentuan-ketentuan
tentang advokat dapat dijumpai juga dalam undang-undang atau
peraturan perundang-undang lain seperti “UU Hukum Acara”, bahkan
dalam berbagai ketentuan internasional seperti “kewajiban mendampingi
atau membela terdakwa yang diancam pidana tertentu seperti ancaman
pidana mati. Apabila tidak mampu menyediakan sendiri advokat, negara
diwajibkan menyediakan advokat cuma-cuma. Ketentuan-ketentuan
tersebut merupakan peraturan hukum (legal rules). Tetapi sejauh-jauh
kemungkinan advokat diatur menurut (oleh) hukum (legal rules), sekali-
kali tidak boleh mengurangi peran advokat sebagai “social institution”
sebagai “the free profession”, yang independen.
Sebagai “social institution” dan “free profession”, commitment
advokat dalam penegakan hukum terutama berada dalam ranah “rules of
ethics”. Ketaatan pada “rule of ethics” mencerminkan (akan menjadi
ukuran utama) commitment advokat sebagai penegak hukum.
Meskipun ketaatan pada “rules of ethics” bersifat pribadi dan
sukarela, tetapi akan menjadi ukuran eksistensi advokat. Mengapa?
Pertama; public trust atau kepercayaan publik. Kehidupan dan peran
advokat sebagai “social institution”, sebagai “free profession”, bukanlah
terutama ditentukan oleh aturan hukum (legal rules). Kepercayaan publik
terhadap advokat terutama bersumber pada ketaatan dan kesetiaan pada
etik. Publik mungkin tidak begitu perduli, mengenai kadar ketaatan pada
aturan hukum. Tidak demikian dengan etik. Pelanggaran etik adalah
pelanggaran moral yang akan menunjukkan kualitas seseorang baik
dalam peri kehidupan pribadi maupun dengan orang lain.
Kedua; sanksi publik berupa “public opinion”.
Seseorang mungkin bebas dari suatu “jeratan” hukum, tetapi sulit sekali
lepas dari “opini publik”, baik opini “simpati” maupun “antipati”. Opini
publik akhirnya akan berujung pula pada “public trust”.

6
A.V. Dicey (An Introduction to The Study Of The Law Of The
Constitution, hlm. 444), menulis mengenai “public opinion” sebagai sanksi
pelanggaran “constitutional ethics” atau konvensi ketatanegaraan:
“...that obedience to the constitutional precepts of the constitutional is
ensured by the force of public opinion...”.
(...bahwa ketaatan terhadap etika konstitusional konstusi di jamin
oleh kekuatan pendapat umum).
Meskipun yang ditulis Dicey mengenai konvensi ketatanegaraan,
tetapi berlaku juga untuk ketentuan etik lainnya termasuk etika advokat.

4. Fungsi advokat
Ketika mengikuti mata kuliah “Hukum Acara Pidana” (lebih dari 50
tahun yang lalu), dosen saya, almarhum Mr. R. Ruhimat (mantan) Jaksa
Agung Muda), mengajarkan; tugas advokat adalah: “membantu hakim
menemukan hukum yang tepat dan benar” dalam memutus suatu
perkara.
Menemukan hukum yang tepat dan benar, dalam kasus konkrit
adalah “mencocokkan fakta dengan suatu kaidah hukum”. Mencocokkan
fakta dengan kaidah hukum tidak sekedar “menempelkan” suatu kaidah
hukum terhadap suatu fakta, melainkan yang berujung pada keadilan
(justice), atau putusan yang memberikan setidak-tidaknya “individual
satisfaction” atau akan lebih bermakna kalau dapat mewujudkan
“social/public satisfaction”. Dalam kaitan ini, hukum tidak sekedar
“bunyi” (rangkaian kata), tetapi pengertian (concept, begrip). Dalam
berbagai konteks tersebut, hukum memerlukan penafsiran, analogi,
konstruksi dan lain-lain yang ditopang kokoh oleh konsep atau teori
hukum agar hukum tetap hidup (the living law) memenuhi rasa keadilan
pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya. Advokat sangat
berperan menemukan penafsiran, kontruksi dan lain-lain, termasuk
penggunaan konsep dan teori hukum agar hakim memutus dengan tepat,
benar dan adil. Bahkan dapat terjadi, dengan “bantuan” advokat, putusan
hakim secara materil mengandung pembaharuan hukum (law reform)
atau pembanguan hukum (law development)

7
Menemukan hukum yang tepat dan benar, untuk mewujudkan
putusan yang adil dan/atau memuaskan, terkandung juga fungsi lain
yaitu: “pembaharuan hukum” (law reform), bahkan pembangunan hukum
(law development).
Lingkup pengertian “baru” tentang “onrechtmatigedaad” atau
perubahan cakupan makna “barang” dalam delik “pencurian” (diefstal),
ditinggalkannya ajaran hakim hanya “mulut undang-undang” (just a
mouth of laws, spreekbuis van de wet), judicial review, dan lain-lain,
berasal dari putusan hakim (penegakan hukum). Mau tidak mau, dalam
hal semacam, meskipun disebut “judge made law” (hukum buatan hakim),
semestinya ada juga peran advokat, baik yang mendukung maupun yang
tidak mendukung.
Lebih jauh dari menemukan hukum yang tepat dan benar (demi
putusan yang adil dan/atau memuaskan) dan memperbaharui makna
suatu ketentuan hukum, advokat juga berperan dalam pembentukan
hukum baru disamping yang dilakukan dalam penegakan hukum.
Setiap mahasiswa hukum di Amerika Serikat yang menempuh mata
kuliah hukum keperdataan atau hukum ekonomi/hukum bisnis
(economic law/business law) akan bertemu dengan yang disebut “uniform
commercial code).
Sebagai negara federal, (sebagaimana negara federal lainnya),
hukum terbagi antara hukum federal dan hukum negara bagian seperti
hukum pidana (pidana federal, pidana negara bagian). Demikian pula
hukum di lapangan perniagaan. Kecuali yang menyangkut perniagaan
antar negara bagian atau dengan luar negeri” (commercial clause), hukum-
hukum perniagaan ada dalam wilayah yurisdiksi negara bagian. Salah
satu resiko, kemungkinan diatur berbeda-beda antara negara bagian yang
satu dengan negara bagian yang lain. Hal ini dapat menghambat
kelancaran perniagaan, baik antar negara bagian maupun perniagaan
antar negara (internasional). Lebih mendasar lagi, perbedaan-perbedaan
pengaturan itu dapat bertentangan dengan prinsip negara hukum seperti
“equality before the law”. Belum lagi resiko-resiko yang bersifat ekonomi.

8
Dihadapkan pada resiko semacam itu, American Bar Association
(ABA) menyusun konsep (gagasan) yang diberi nama: “uniform commercial
code”. Konsep atau gagasan ini kemudian diadopsi negara-negara bagian
sebagai hukum masing-masing negara bagian. Karena mengadopsi hal
yang sama, maka – walaupun merupakan hukum masing-masing negara
bagian – berlakukan hukum perniagaan yang sama atau kesesuaian
antara negara-negara bagian (tetap populer) disebut “uniform commercial
code”.

5. Advokat dan kekuasaan kehakiman yang merdeka


Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu ciri
demokrasi, negara hukum dan negara konstitusional. Biasanya – baik
dalam ketentuan hukum maupun teori (buku-buku) – kekuasaan
kehakiman yang merdeka “hanya” melekat atau dilekatkan pada hakim.
Bagaimana dengan kepolisian (polisi), kejaksaan (jaksa), dan
advokat?
Di atas telah dikemukakan, kepolisian (polisi), kejaksaan (jaksa),
adalah jabatan (pemangku jabatan) dalam lingkungan eksekutif. Apakah
dalam kedudukan tersebut, kejaksaan (jaksa), kepolisian (polisi) pada saat
menjalankan kekuasaan penegakan hukum yang bersifat “pro justitia”
(proses peradilan), tidak bebas dari (harus mengikuti kehendak/arahan)
kekuasaan eksekutif? Sama sekali tidak. Kepolisian (polisi), dan/atau
kejaksaan (jaksa) atau penuntut umum lain berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap orang termasuk Presiden
(mantan Presiden), seperti mantan Presiden Soeharto. Dalam
menjalankan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan suatu tindak
pidana, polisi dan jaksa (seperti hakim), bebas dari segala pengaruh
dan/atau tekanan, termasuk dari kekuasaan eksekutif.
Begitu pula advokat. Walaupun advokat berada di luar struktur
kekuasaan negara, tetapi pada saat mewakili atau membela seseorang
atau sekelompok orang atau suatu badan hukum (publiek rechtspersoon
atau privaat rechtspersoon), terhadap advokat berlaku pula prinsip-
prinsip kebebasan, lepas dari tekanan dan pengaruh pihak lain.

9
Dengan demikian, kebebasan atau independensi dalam penegakan
hukum cq proses peradilan berlaku baik pada hakim, polisi, jaksa
(penuntut umum), maupun advokat.

6. Judicialization of politics dan politization of judiciary (lihat, James


Gibson, Judicial Institutions, dalam R.A.W Rhodes, Sarah A. Binder,
Bert A. Rockman, The Oxford Handbook of Political Institutions, hlm
514 dst)
6.1. Judicialization of politics
Judicialization of politics (yudisialisasi politik) mengandung makna
menjadikan persoalan politik (segala persengketaan atau perbedaan
yang tumbuh dibidang politik, persengketaan yang timbul karena
tindakan, keputusan atau penetapan politik atau oleh lembaga
politik) sebagai obyek peradilan.
“ – by judicialization they mean the transfer of political disputes
from the political arena to courts and legal institutions”
(Gibson dalam Rhodes, et. al, hlm. 514)
(– yang mereka artikan yudisialisasi adalah mengalihkan
sengketa-sengketa politik dari arena politik ke pengadilan atau
institusi hukum).
Dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) dimuat ketentuan-ketentuan
yang bertalian dengan yudisialisasi politik seperti wewenang
Mahkamah Konstitusi yang mencakup:
a. Menguji undang-undang (wet in formele zin).
b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Semua wewenang di atas ada dalam ranah politik. Mengapa?
Undang-undang adalah hasil keputusan yang dibuat lembaga
politik (persetujuan bersama antara DPR dan Presiden). Bahkan
dikatakan: “undang-undang adalah produk politik”. Menguji
undang-undang tidak lain dari menilai hasil kerja badan politik atau
hasil kerja dibidang politik.

10
Lembaga-lembaga negara – kecuali badan peradilan cq
Mahkamah Konstitusi – adalah lembaga politik, karena itu lazim
disebut “supra struktur politik”. Partai-partai politik adalah lembaga
politik sebagai salah satu infrastruktur politik (disamping interest
groups, presure groups, political figures – mungkin ada yang lain).
Pemilihan umum adalah proses politik. Hasil pemilihan umum
adalah hasil proses politik. Badan peradilan cq Mahkamah
Konstitusi, meskipun tidak tergolong lembaga politik, tetapi
pembentukan, susunan dan pengisian jabatannya cq Hakim
Konstitusi tidak terlepas dari politik.
Keikutsertaan Mahkamah Konstitusi dalam proses
pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, termasuk juga
sebagai bentuk judisialisasi politik (walaupun bukan putusan yang
“final and binding”). Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
lembaga (jabatan) politik.
Hal yang sama berlaku untuk Mahkamah Agung. Wewenang
Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di
bawah tingkatan undang-undang dapat dikategorikan sebagai suatu
bentuk yudisialisasi politik. Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah merupakan hasil kerja badan (jabatan)
politik. Isinya pun mencerminkan kehendak politik. Begitu pula
wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung
menilai penetapan administrasi (beschikking), mengandung pula
unsur yudisialisasi politik. Walaupun hanya penetapan
(beschikking), tetapi langsung atau tidak langsung mengandung
muatan kehendak politik. Menilai penetapan administrasi
(beschikking) terkandung penilaian terhadap kehendak atau
kebijakan politik.
Seperti ditulis Gibson (supra),
“Because courts... are being asked to decide explosive issues of
politics and law, these institutions have achieved a prominence
– and a level of controversy – perhaps never before seen”.
(Karena pengadilan diminta memutus persoalan-persoalan
politik dan hukum yang eksplosif, telah membawa pengadilan

11
mencapai (menjadi) sesuatu yang sangat menonjol (prominence)
– tetapi juga ke tingkat yang kontroversial – yang pernah
terjadi).
Dimana kontroversi yudisialisasi politik? Gibson tidak
menjelaskan. Tetapi, kontroversi itu timbul karena – antara lain –
kekuasaan kehakiman yang merdeka cq kebebasan hakim
mengandung makna “bebas dari pengaruh politik apalagi ikut serta
dalam hal-hal politik”. Di atas telah dikemukakan, semua wewenang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung (dalam pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah tingkatan undang-
undang), pada dasarnya memutus sengketa politik. Paling tidak. Ada
kekhawatiran keikutsertaan pengadilan atas nama yudisialisasi
politik kalau-kalau badan peradilan cq hakim menjadi bagian dari
politik atau melakukan semacam “political activism”. Sesuatu yang
semestinya “tabu”.
Tetapi – seperti pertimbangan John Marshall dalam kasus
Marbury vs Madison (1803), pertentangan antar peraturan
perundang-undangan (dalam hal ini pertentangan antara undang-
undang dengan UUD), merupakan “sengketa hukum”.
Menyelesaikan (memutus) sengketa hukum adalah wewenang
pengadilan (wewenang hakim). Begitu pula wewenang Mahkamah
Konstitusi yang lain (supra), walaupun menyangkut lembaga politik,
tindakan politik, keputusan politik, tetapi secara substantif adalah
sengketa hukum. Karena itu tidaklah keliru (salah), apabila
diselesaikan/diputus oleh lembaga peradilan.
Apakah ada yang dapat dilakukan advokat cq advokat yang
berpraktik di Mahkamah Konstitusi, untuk menjaga hakim-hakim
konstitusi dari “politisasi diri”, sehingga putusan-putusannya lebih
bernuansa politik dari pada hukum.
Advokat, selain untuk menjaga kepentingan klien, dapat
melakukan fungsi “checks and balances” atau fungsi “balancing”,
untuk menjaga hakim-hakim konstitusi agar tetap independen,
imparsial dan fair dalam menemukan hukum yang tepat dan benar

12
serta putusan yang adil dan/atau memuaskan. Namun, hal tersebut
tergantung pada kegigihan dan ketangguhan advokat (vibrant
lawyers), seperti halnya kegigihan dan ketangguhan masyarakat
sipil (vibrant civil society) – walaupun tidak semua – ikut menjaga
demokrasi dan membela kepentingan umum. Kegigihan dan
ketangguhan para advokat, apabila senantiasa menjunjung tinggi
etik dan integritas profesional yang disertai kesadaran intelektual
yang tinggi di samping “expertise dan skill”. Kesadaran intelektual
sangat penting. Bung Hatta dalam pidatonya yang berjudul
“Tanggung Jawab Kaum Intelektual” 1956 menyatakan: ciri
intelektual itu adalah “karakter” yaitu bertanggungjawab.

6.2. Politization of judiciary


Apakah yang dimaksud politization of judiciary atau politisasi
kekuasaan kehakiman (politisasi kekuasaan peradilan)?
Persoalan politisasi kekuasaan kehakiman bertalian dengan
penghormatan, perlindungan, atau jaminan terhadap independensi,
imparsialitas, dan fairness kekuasaan kehakiman cq hakim dalam
memutus atau menyelesaikan sengketa hukum.
Independensi, imparsialitas, fairness, merupakan suatu
prasyarat kekuasaan kehakiman dalam tatanan demokrasi dan
negara hukum. Campur tangan atau pengaruh, diwujudkan dalam
bentuk campur tangan (mencampuri), atau mempengaruhi secara
langsung atau tidak langsung, yang akan meniadakan atau
meniadakan independensi, imparsialitas, fairness kekuasaan
kehakiman, yang pada akhirnya akan meniadakan keadilan.
Dengan demikian, paling tidak, ada dua faktor penting yang
bertalian dengan politisasi kekuasaan kehakiman (kekuasaan
peradilan) cq hakim. Pertama; politisasi kekuasaan kehakiman akan
berpengaruh pada “performance” demokrasi dan negara hukum.
Kedua; politisasi kekuasaan kehakiman dapat mempengaruhi
independensi, imparsialitas, dan fairness hakim dalam memutus
perkara atau menyelesaikan sengketa hukum.

13
Politisasi kekuasaan kehakiman (politisasi kekuasaan peradilan)
dapat dimaknai secara sempit atau luas. Dalam makna sempit,
politisasi kekuasaan kehakiman adalah menempatkan kekuasaan
kehakiman dalam lingkungan atau di bawah kendali (pengawasan)
kekuasaan politik. Dalam makna luas, politisasi kekuasaan
kehakiman adalah setiap bentuk kekuasaan – langsung atau tidak
langsung – yang mempengaruhi independensi, imparsialitas, dan
fairness kekuasaan kehakiman cq hakim, tidak hanya dari
kekuasaan negara, tetapi juga dari kelompok politik di luar struktur
kekuasaan negara, seperti partai politik, kekuasaan ekonomi,
bahkan individu atau badan-badan non pemerintahan lainnya.
Ada dua hal yang perlu dicatat berkenaan dengan politisasi
kekuasaan kehakiman (politisasi kekuasaan peradilan), yaitu
bentuk-bentuk politisasi dan cara mencegah politisasi kekuasaan
kehakiman.
Pertama; bentuk-bentuk politisasi kekuasaan kehakiman yaitu yang
langsung dan tidak langsung.
Politisasi langsung terjadi dengan menempatkan kekuasaan
kehakiman di bawah kontrol kekuasaan eksekutif. Hal ini lazim pada
sistem otoriter atau kediktatoran, baik yang mengenal pemisahan
(pembagian) kekuasaan maupun yang bersifat absolut. Revolusi
Perancis bersikap “bermusuhan” terhadap badan peradilan, karena
dianggap badan peradilan merupakan bagian atau pendukung
“ancient regime” (absolutisme).
Dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, didapati juga praktik
yang menempatkan beberapa urusan kekuasaan kehakiman
dikelola (diurus) kekuasaan eksekutif. Salah satu pendorong
berkembangnya paham negara hukum dalam arti materil (materiële
Rechtsstaat), karena negara hukum dalam arti formil (formele
Rechtsstaat) yang hanya menekankan pada legitimasi yang diatur
undang-undang dapat disalahgunakan untuk kepentingan
penguasa.

14
Sebelum Reformasi, hal-hal mengenai anggaran (keuangan),
keorganisasian, dan administrasi kekuasaan kehakiman ada pada
kekuasaan eksekutif (Departemen Kehakiman mengurus anggaran
dan administrasi peradilan umum, kemudian ditambah peradilan
tata usaha negara, Departemen Agama untuk peradilan agama, dan
Mabes ABRI untuk peradilan militer). Promosi dan mutasi hakim
atau pejabat badan peradilan lainnya dikelola oleh eksekutif. Praktik
semacam ini meneruskan tradisi masa Hindia Belanda. Di Belanda
sendiri sistem semacam ini masih berlaku. Bahkan di Amerika
Serikat – seperti membangun gedung pengadilan, diurus eksekutif.
Tetapi, di negara-negara tersebut, baik atas dasar demokrasi dan
negara hukum, maupun dalam UUD dan praktik ketatanegaraan,
diatur cara-cara mencegah keikutsertaan eksekutif dalam urusan
kekuasaan kehakiman (mencampuri atau mempengaruhi fungsi
yudisial kekuasaan kehakiman).
Politisasi tidak langsung, dilakukan – antara lain – dengan (melalui)
undang-undang (seperti praktik di Indonesia yang gonta-ganti
undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman baik yang
bersifat umum maupun masing-masing badan peradilan,
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
Bagaimana mencegah atau mengurangi politisasi tersebut?
Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi independensi,
imparsialitas, dan fairness, diatur dalam UUD (tidak diatur dengan
undang-undang atau bentuk-bentuk lain).
Beverley McLachlin (Judicial Independence: A Functional
Perspective dalam Mads Andenas – Duncan Fairgrieve (ed), Tom
Bingham and The Transformation of The Law, hlm 276 dst), mencatat
tiga prasyarat untuk menjamin (menjaga) kekuasaan kehakiman
yang merdeka:
Pertama; jaminan masa jabatan (security of tenure). Diberbagai
negara didapati ketentuan: “hakim menjabat seumur hidup” (for life),
atau “selama bertingkah laku baik” (during good behavior), atau
mencapai umur tertentu, misalnya 70 tahun (Canada: 75 tahun). Di

15
Amerika Serikat, hakim menjabat seumur hidup atau selama
bertingkah laku baik, dengan ketentuan berhak pensiun pada umur
70 tahun. Ada juga yang menetapkan hakim menjabat hanya untuk
satu kali masa jabatan (hakim Mahkamah Konstitusi Jerman
menjabat 12 tahun). Masa jabatan yang panjang, atau hanya sekali
menjabat, dan tata cara pemberhentian yang khusus, dimaksudkan
bukan saja menjamin independensi, dan fairness, juga untuk
menghindari “vested of interest” dan usaha mencari dukungan
politik untuk diangkat kembali.
Selain itu, hakim hanya dapat diberhentikan dengan tata cara yang
khusus. Di Canada, hakim hanya dapat diberhentikan oleh
Gubernur Jenderal atas amanat Senat dan Majelis Rendah (House of
Commons).
Kedua; jaminan keuangan (financial security)
Jaminan keuangan terutama mengenai gaji hakim dan hak-hak
keuangan lainnya. Untuk menghindari pengaruh ekskutif, gaji
hakim dan hak-hak keuangan diatur dengan undang-undang. Di
negara-negara; seperti Canada, hal-hal yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman disusun oleh sebuah komisi di luar
pemerintah (kemudian diusulkan kepada pemerintah atau
parlemen).
Ketiga; independensi administrasi (administrative independence)
Pengelolaan administrasi, terutama yang berkaitan dengan fungsi
yudisial, dijalankan sendiri oleh badan peradilan. Di Indonesia, hal
ini telah dilaksanakan sepenuhnya, baik administrasi peradilan
maupun administrasi umum dan administrasi keuangan telah
dijalankan sendiri oleh badan peradilan.
Selain tiga jaminan di atas (security of tenure, security of
finance, administrative independence), juga penting mengenai tata
cara pengangkatan hakim cq Hakim Agung (dan Hakim Mahkamah
Konstitusi). Pada umumnya, pengangkatan Hakim Agung (dan
Hakim Konstitusi) melalui eksekutif dan legislatif (Amerika Serikat,
Belanda, Jerman, Inggris dan lain-lain, termasuk Indonesia). Mau

16
tidak mau bersifat “politicking” yang dapat memengaruhi
independensi, imparsialitas dan fairness kekuasaan kehakiman cq
hakim. Disinilah salah satu fungsi jabatan seumur hidup, atau
selama bertingkah laku baik, atau hanya satu kali masa jabatan.
Setelah diangkat, para hakim dapat sama sekali terlepas dari
pengaruh eksekutif dan/atau legislatif.
Berada diantara jaminan-jaminan dan tata cara pengangkatan
di atas, jaminan, independensi kekuasaan kehakiman sangat di-
tentukan oleh keajegan demokrasi dan negara hukum. Kekuasaan
kehakiman yang independen hanya akan ada apabila ada demokrasi
dan negara hukum.
Bagaimana dengan advokat?
Advokat juga dapat tidak luput dari politisasi peradilan. Suatu
ketika, seorang advokat dicabut hak praktiknya karena membela
dengan gigih seorang “dissident” yang didakwa terlibat dalam suatu
peristiwa yang menimbulkan kerusuhan. Pada suatu ketika dalam
rapat koordinasi antar instansi (antar Departemen), suatu instansi
Pemerintah yang mempunyai hubungan dengan pengadilan,
meminta agar pengadilan menolak gugatan kelompok yang
dipandang berseberangan dengan kekuasaan. Pejabat yang mewakili
instansi yang mempunyai hubungan dengan pengadilan tersebut
menolak secara terbuka (dalam rapat tersebut) keinginan itu,
dengan menyatakan “kami sanggup menyediakan pembela hukum
kalau diminta, tetapi menolak mencampuri urusan pengadilan”.
Beruntung ada dukungan dari salah satu instansi lain yang cukup
berwibawa”.

7. Memahami semangat yang menjadi kandungan putusan hakim


Telah menjadi pengetahuan dan harapan umum, terutama dalam
masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi dan negara hukum,
kebebasan hakim (independensi hakim) dimaksudkan untuk menjamin
imparsialitas dan fairness untuk menghasilkan putusan yang tepat,
benar, dan adil atau memuaskan. Selain imparsialitas dan fairness, untuk

17
menghasilkan putusan yang tepat, benar, dan adil, hakim harus memutus
berdasarkan bukti (fakta) yang cukup dan pertimbangan-pertimbangan
hukum yang cukup. Tetapi yang kurang disadari, sebenarnya atau pada
akhirnya putusan hakim secara hakiki mencermin-kan pendapat atau
pandangan sendiri dalam menilai bukti (fakta), dan pilihan pertimbangan
hukum yang akan dipergunakan. Dengan perkataan lain, hakim tidak
pernah terlepas dari tata nilai yang dianutnya yang tumbuh baik atas
pengaruh budaya, sosial, politik, dan ilmunya. Putusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat dalam kasus Brown v Board of Education (1954) tidak
terlepas dari sikap Ketua Mahkamah Agung Earl Warren yang liberal.
Putusan Marbury v Madison tidak terlepas dari John Marshall sebagai
pendukung partai Federalist, berhadapan dengan Presiden Thomas
Jefferson sebagai pendukung partai Republik (yang mengalahkan
Presiden John Adams dari partai Federalist. Dalam kaitan ini, betapa
penting seorang advokat mengetahui dan memahami cara pandang
seorang atau majelis hakim, disamping pengetahuan yang dalam
mengenai seluk beluk hukum dan fakta-fakta hukum dalam suatu
perkara. Dalam kaitan ini, Gibson (supra) mencatat, ada tiga model
putusan hakim: “Attitudinal Model (Spaeth), Strategis Model (Epstein dan
Knight), dan Legal Model”.
Pertama; “Attitudinal Model”. Putusan hakim dipengaruhi oleh unsur-
unsur yang bersifat ideologis dan tata nilai tertentu yang menjadi dasar
pandangannya. Di Amerika Serikat dapat dibedakan antara hakim-hakim
yang berpaham liberal dan yang konservatif. Di Indonesia – apalagi hakim
karir – dasar-dasar ideologi memang tidak ada. Kalaupun ada, sama sekali
tidak mempengaruhi dalam memutus perkara. Kemungkinan dasar
ideologi ini ada, sejak ada hakim non karir (Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi).
Kedua; Strategic Model
Putusan hakim dipengaruhi oleh tujuan dan harapan yang dapat dicapai
dan kemungkinan reaksi atas putusan tersebut.
Ketiga; Legal Model (Legitimacy Theory)

18
Putusan hakim ditentukan oleh legitimasi suatu keputusan atau
tindakan. Keputusan atau tindakan adalah “legitimate” kalau dibuat oleh
yang berwenang.
Hakim-hakim cq hakim karir lebih berorientasi pada persoalan
internal hukum belaka. Barangkali ada yang dapat dikategorikan dalam
model-model (supra) adalah hakim karir yang sekaligus ilmuwan cq guru
besar.

8. Penutup
Dalam sebuah artikel yang ditulis Lee E. Teitelbaum dinyatakan:
“Some 70 years ago, Louis Brandeis observed that "[t] he ethical
question which laymen most frequently ask about the legal
profession is this: How can a lawyer take a case which he does
not believe in?" 1
(70 tahun lalu, Louis Brandeis mengamati pertanyaan etik yang
acap kali ditanyakan oleh orang awam tentang profesi hukum:
bagaimana seorang pengacara mengambil sebuah kasus yang
dia sendiri tidak percayai?)

Sebagai jawabannya, Brandeis mengatakan “…In any event, the lawyer


recognizes that in trying a case his prime duty is to present his side to the
tribunal fairly and as well as he can, relying upon his adversary to present
his case fairly and as well as he can”. 2
(Bagaimanapun, pengacara mengakui bahwa dalam menangani suatu
kasus, tugas utamanya adalah menghadirkan pihaknya ke pengadilan
secara adil dan sebaik mungkin, dengan mengandalkan lawannya untuk
menyampaikan pula kasusnya secara adil dan sebaik mungkin).
Jika didalami lebih lanjut, pertanyaan yang kerap dilontarkan
oleh orang awam sebagaimana tertera dalam kutipan di atas agaknya
merefleksikan pertanyaan dari perspektif “norma masyarakat”. Secara

1
Lee E Teitelbaum, The Advocate's Role in the Legal System, 6 N.M. L. Rev. 1, hlm 1 (1976).
Available at: https://digitalrepository.unm.edu/nmlr/vol6/iss1/2
2
Ibid.

19
implisit pertanyaannya adalah “bagaimana bisa seorang pengacara
membenarkan sesuatu yang menurut norma masyarakat adalah salah”.
Dengan demikian, dalam menjalankan perannya, seorang advokat atau
pengacara dapat menghadapi konflik antara norma masyarakat dan
norma hukum. Oleh karenanya, sebagaimana telah dijelaskan di bagian
terdahulu, seorang advokat dituntut mempunyai pengetahuan yang
sangat memadai, terbentang dari teori hukum berupa konsep-konsep dan
asas-asas hukum hingga hukum positif.
Sejatinya hal-hal di atas memperlihatkan peran penting advokat
dalam sebuah sistem hukum, khususnya saat menangani sebuah
perkara di pengadilan. Peran penting tersebut berkaitan dengan hak
fundamental seseorang yakni akses terhadap keadilan (access to justice).
Dengan demikian manakala seorang advokat menjalankan fungsi dengan
baik sesuai dengan prinsip-prinsip etika profesi serta hukum, maka hal
itu bermakna membantu terpenuhinya hak asasi seseorang.

Jakarta, November 2020

Bagir Manan

20

Anda mungkin juga menyukai