Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rizky Chandra Bachari

Npm : 1940401060
Lokal : B Manajemen
Mata Kuliah : Kepemimpinan
Judul : Teori Awal Kepemimpinan Kontingensi (Model Kontingensi LPC
Fiedler)

A. MODEL KONTINGENSI LPC

Teori Least Preferred Co-worker (LPC) (Fiedler, 1964, 1967) menjelaskan


bagaimana situasi menengahi hubungan antara efekttivitas kepemimpinan
dengan ukuran ciri yang disebut LPC Score (nilai rekan kerja yang paling tidak
disukai). Kajian Fred Fiedler pertengahan tahun 1975 (dalam Bangun dan
Anggoro, 2012) telah menjadi suatu teori yang memberikan kontribusi penting
terhadap keilmuan manajemen dan kepemimpinan melalui kesimpulannya yang
menyatakan bahwa efektivitas pemimpin dengan gaya yang berorientasi pada
manusia (people orientation) atau berorientasi pada tugas (task/production
orientation) bisa sangat tinggi jika sesuai dengan pengenalan pemimpin dilihat
dari 3 (tiga ) aspek :

1. Bagaimana kondisi hubungan pemimpin – bawahan ?


Kondisi hubungan antara pemimpin dan anggota kelompok dapat
dikategorikan ke dalam: baik atau buruk. Hubungan antara pemimpin dan
bawahan yang baik dicirikan oleh beberapa indicator seperti: suasana kerja
yang harmonis, kekeluargaan, kehadiran dalam pertemuan atasan-bawahan;
sedangkan hubungan yang kurang baik dicirikan dengan adanya
pertentangan tertutup maupun terbuka yang mengarah pada situasi kerja
yang tidak baik.
2. Apakah susunan tugas yang melibatkan bawahan terpola atau tidak ?
Semakin tinggi pola struktur tugas menandakan bahwa tugas tersebut
mempunyai petunjuk pelaksanaan (juklak) yang lebih jelas dan rinci bila
dibandingkan dengan tugas yang rendah pula strukturnya. Artinya, tugas
atau pekerjaan yang lebih rinci petunjuk pelaksanaannya memberi indikasi
bahwa tugas tersebut lebih mudah dikerjakan daripada pekerjaan atau tugas
yang belum terpola.
3. Bagaimana struktur kekuasaan dan apakah ada kekuasaan yang dimiliki oleh
pemimpin ?
Seoran atasan diindikasikan memiliki kekuasaan yang kuat bila si pemimpin
memiliki kemampuan memengaruhi dengan baik yang bersumber dari
legalitas posisi yang dimilikinya. Penemuan ini menjadi penting karena
adanya unsur kekuasaan akan sangat berdekatan dengan struktur dan praktik
manajemen dalam organisasi tersebut.

Dengan kemampuan identifikasi ketiga aspek tersebut, diharapkanb seorang


pemimpin dapat memilih pendekatan yang efektif dalam memimpin, apakah
dengan orientasi tugas atau orientasi pada manusia.

B. NILAI LPC PEMIMPIN


Nilai LPC ditentukan dengan meminta seorang pemimpin untuk memikirkan semua
rekan kerja di masa lalu maupun saat ini, memilih siapa yang paling sulit bekerja sama
dengan pemimpin, dan memberikan peringkat orang ini pada seperangkat skala bipolar
(contoh, bersahabat-tidak bersahabat, kooperatif-tidak kooperatif, efisien-tidak efisien).
Nilai LPC adalah jumlah peringkat pada skala sifat bipolar ini. Seorang pemimpin yang
kritis dalam memberikan peringkat rekan kerja yang paling tidak disukai akan
memperileh nilai LPC yang rendah, sedangkan seorang pemimpin yang toleran akan
mendapatkan nilai LPC yang tinggi.
Interpretasi dari nilai LPC telah berubah beberapa kali dalam tahun-tahun belakangan.
Menurut interpretasi terbaru dari Fiedller (1978), nilai LPC menunjukkan hierarki motif
seorang pemmimpin. Seorang pemimpin yang LPC-nya tinggi terutama termotivasi
untuk memiliki hubungan antarpribadi yang dekat dengan orang lain, termasuk
bawahan, dan ia akan bertindak dengan cara yag suportif dan peduli. Pemimpin dengan
nilai LPC rendah biasanya termotivasi oleh keberhasilan sasaran tugas dan
mengutamakan perilaku yang berorientasi tugas khususnya pada waktu timbul
permasalahan tugas.
C. VARIABEL SITUASIONAL
Hubungan antara nilai LPC pemimpin dengan efektivitas bergantung pada sebuah
variable situasional yang disebut situational favorability, yang didefinisikan sebagai
suatu jarak dimana situasi memberikan seorang pemimpin suatu kendali atas
bawahannya. Tiga aspek situasi tersebut adalah:
1. Hubungan Pemimpin – Anggota
Batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, dan
hubungan dengan para bawahan bersahabat dan kooperatif.
2. Kekuasaan posisi
Batasan di mana pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja
bawahan dan memberikan penghargaan dan hukuman.
3. Struktur Tugas
Batasan di mana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas,
sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indikator objektif
mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.

Berdasarkan ketiga variable ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok


yang berbeda derajat keuntungan bagi pemimpin. Situasi dengan derajat keuntungan
yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin anggota baik, struktur
tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak mengutungkan
ialah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan
kekuasaan kedudukan sedikit.
Kedua kesimpulan di atas ini berlaku terutama untuk kelompok-kelompok interaksi.
Fiedler membedakan antara kelompok-kelompok interkasi, koaksi dan konteraksi
(interacting, coacting groups). Dalam kelompok interkasi dituntut koordinasi yang ketat
dari para anggota kelompko dalam melaksanakan tugas-tugas utama mereka. Para
anggota kelompok saling tergantung dalam arti bahwa sulit untuk menentukan
koordinasi seseorang dalam mencapai tujuan kelompok. Kelompok koaksi juga bekerja
sama pada satu tugas bersama. Namun setiap anggota kelompok berdiri dan prestasi
kerjanya tergantung pada kecakapan, keterampilan dan motivasinya sendiri. Kelompok
konteraksi terdiri dari orang-orang  yang bekerja sama untuk tujuan perundingan dan
perujukan dari tujuan dan pandangan yang saling bertentangan.

Anda mungkin juga menyukai