Anda di halaman 1dari 15

Susah Sinyal

Alesa Marcheline
Tumpukan baju bersih tersusun rapi di sebuah keranjang hijau ke biru-biruan di atas nakas di sebelah ranjangnya.
Sudah tidak terhitung berapa banyak detik jam itu terdengar di telinganya dari jam analog yang akan berbunyi kencang
semaunya. Ia terlentang dengan posisi yang tidak biasanya dan mengarahkan kepalanya ke langit-langit kamar. Beberapa
kali pendingin ruangan di kamarnya bergerak dari atas ke bawah secara bergantian. Suara TV di ruang tengah di depan
kamarnya dinyalakan dengan volume kecil sehingga Ia bisa dengar sedikit kata-kata yang diucapkan oleh pengisi acara
itu. Tre melonggarkan bajunya yang terlipat di bawah badannya. Seperti yang biasa Ia lakukan, merenung dan
memikirkan banyak hal yang terjadi di hidupnya. Di otaknya terlintas kata yang membuatnya berjelajah jauh ke ruang dan
waktu. Kok bisa? Kenapa bisa ya?
Nyatanya, dunia ini ajaib. Dari sebuah pikiran acak yang muncul secara tiba-tiba hingga menjadi sebuah hal yang
nyata adanya, Ia hanya bisa mengira-ngira saja. Siapa yang sangka setelah satu kejadian bisa menjadi banyak hal. Hari itu
ia hanya mengerjakan apa yang sekiranya Ia lakukan sehari-hari, menyiapkan baju karena belum menyiapkannya di
malam sebelumnya, mandi, menggosok gigi, berkaca sambil menimbang kiranya ada baju lain yang lebih cocok Ia
kenakan hari ini sesuai suasana hatinya, hingga makan apapun yang ada di meja makannya untuk sarapan. Ia lalu
berangkat sambil mendengarkan lagu dari handphone-nya. Mungkin bukan hanya Ia yang berpikir begitu, tapi pasti
sebagian orang akan membuat skenario di otaknya, mungkin mengenai bagaimana jika Ia adalah seorang presiden yang
disuruh untuk memimpin warganya, namun Ia terlalu gugup untuk berbicara, atau juga mungkin membayangkan Ia adalah
astronot yang menjelajahi angkasa lalu bingung bagaimana jika Ia ingin membeli makanan kesukaan yang tidak jauh dari
rumahnya.
Sore itu langit temaram, namun awan sudah terlihat dipenuhi air dari sisi lain dan siap mengarah ke langit tepat di
kepalanya, Tre ditemani teman-temannya pergi menyusuri jalan di kota. Ia sejak lahir tidak pernah tidak tinggal di sana.
Seperti biasanya, karena cuaca kota hari ini sejuk, Tre memilih untuk mengajak temannya untuk pergi bersama-sama ke
pinggir kota. Kelasnya sudah selesai sore itu, setelah menyaksikan presentasi demi presentasi dan rasa kantuk yang tak
kunjung hilang akibat Ia tidak membeli kopi di hari itu. Temannya tertunduk-tunduk di tengah kelas, padahal niat hati
ingin tidur lebih pagi kemarin malam. Sepiring bakso dengan karbohidratnya masih mengepulkan asap dan seledri yang
berenang-berenang. Ayam yang berjalan-jalan sore tiba-tiba saja mendekat lalu pergi saat mungkin Ia pikir tidak ada yang
lebih menarik dari menjauh dari orang-orang yang sedang asik dengan makanannya masing-masing. Namanya berteman,
apa saja dibicarakan dari mulai rasa pisang goreng yang tadi kami beli di perjalanan rasanya enak sekali hingga teman
sesuatu yang lucu kita temukan di media sosial.
Beberapa hari lalu, Tre dikabari oleh temannya bahwa kuliahnya yang berada di kota berbeda itu harus diliburkan
karena adanya hal darurat yang sedang dirasakan oleh seluruh dunia. Mendengar hal itu, Tre kebingungan, apakah hal itu
sudah sampai di negaranya? Hal itu dikonfirmasi oleh teman-teman yang sedang ada bersamanya hari itu. Mereka
menimbang-nimbang apabila itu benar, apa yang akan terjadi? Sebelumnya, tidak pernah rasanya Tre membayangkan hal
ini terjadi, namun kabarnya, mereka hanya akan libur selama dua minggu saja. Membayangkan hal itu, sebagai seorang
anak rumahan, Tre merasa senang, apalagi kegiatan sedang sibuk-sibuknya, sehingga dengan diberikan waktu libur itu
tandanya bisa menjadi waktu istirahat yang baik bagi Tre. Seperti nyatanya dalam tahap gegar budaya, rasa ini masih
dalam tahap fase honeymoon yang membuat Tre merasa gembira. Bersyukur sekali Tre saat itu bersama teman-temannya,
siapa sangka hari itu menjadi salah satu hari terakhir sebelum libur yang kelewat panjang terjadi.
Setelah selesai menyantap bakso nya, mereka kembali ke kos milik salah satu dari mereka. Langit sudah mulai
menggelap, rintik air pun sudah mulai menetes dari atas langit. Burung-burung mulai berterbangan mencari minum
bersama koloninya. Untungnya, mereka sudah berada aman di bawah atap sehingga tidak harus kebasahan oleh air. Lama
kelamaan langit berubah menjadi abu-abu, hujan semakin deras terasa. Mereka mengobrol santai sambil tertawa dengan
lanjut membicarakan segala hal yang mereka bisa bicarakan. Salah satu dari mereka menyeletuk sambil membereskan
posisi duduknya.
“Katanya kita bakal libur panjang, ya?”
“Katanya sih gitu.”
“Tahu dari mana?”
“Beberapa temanku sudah dikabari oleh pihak kampusnya tentang itu.”
“Ooh sepertinya aku sudah lihat temanku sudah libur juga di media sosialnya.”
“Mungkin kita tunggu saja sampai ada kabar berikutnya.”
Mereka bercanda tawa dan lupa waktu hingga akhirnya malam tiba. Satu sama lain sudah mulai berjalan pulang ke
rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Tre langsung duduk di bangku yang letaknya ada di depan televisi ruang
tengahnya. Lalu setelahnya baru mengambil baju untuk segera mandi dan tidur. Keesokan harinya, dikirimlah sebuah
surat dari pihak kuliahnya bahwa libur panjang itu benar terjadi. Namanya juga berteman, pasti satu sama lain kita
memiliki grup di soail media sendiri untuk menjadi tempat ngobrol bersama. Disanalah Tre dan teman-temannya
berbicara satu sama lain. Salah satu dari teman Tre tinggal di daerah yang jauh dari tempat mereka berkuliah saat ini.
Setelah dua minggu, pemberitahuan mengenai libur ini selalu diperpanjang, dan hal itu menjadi ketidakpastian yang
membuat semua orang kebingungan. Segala kegiatan perkuliahan dilakukan secara daring sejauh ini, dan hal itu menjadi
salah satu hal yang harus diadaptasi. Keadaan seperti saat ini sangat tidak disangka akan terjadi di dunia perkuliahan.
Di satu sisi Tre tersadar, bayangkan saja jika ini terjadi di tengah masa gap year-nya. Pastinya penyesuaian ini akan
sulit sekali Ia lakukan, apalagi waktu gap year nya sangat berkesan. Siapa sangka hal ini akan terjadi ditengah angkatan
Tre sedang mempersiapkan kegiatan besar yang sangat mereka tunggu-tunggu. Apalah daya, kegiatan tersebut tidak bisa
dilakukan, karena urusan mengenai protokol dan peraturan yang ada tidak mendukung terlaksananya kegiatan tersebut.
Daripada mereka menanggung resiko yang besar, maka kegiatan tersebut ditiadakan. Hal ini berefek pula pada segala
tugas yang sebelumnya dilaksanakan secara langsung di depan kelas jadi harus dilaksanakan secara daring melalui
rekaman dan membiasakan kita untuk melakukan editing pada setiap tugas yang ada.
Beberapa hari kemudian, sahabat Tre harus pulang ke daerahnya yang jauh karena keadaan saat ini tidak kondusif
dan cenderung membahayakan. Sahabat Tre akhirnya pulang, namun Tre tidak bisa mengantarnya sampai ke bandara
karena pandemi ini. Berita dimana-mana sangat tidak mengenakan dan menakutkan. Semua hal mau tidak mau
dimanfaatkan melalui internet, dan hal yang penting untuk dimiliki, apalagi kalau bukan Sinyal.
Sinyal sudah menjadi masalah yang krusial di era teknologi ini. Bagaimana tidak, semua hal yang berhubungan
dengan komunikasi harus dihubungkan dengan Sinyal. Sampai beberapa tahun setelah pemberitahuan hari itu, kesulitan
yang sering ditemukan oleh Tre adalah kesulitan sinyal. Pernah satu ketika, saat itu Tre dipercaya menjadi seorang
pemandu acara untuk sebuah kegiatan. Pagi itu, disamping Tre yang deg-degan karena harus memberi penampilan yang
baik, sinyal di rumahnya sedang tidak baik hari itu. Terlebih lagi, alat pendukungnya, yaitu laptop sedang tidak bisa
mendukung kegiatannya saat ini, apalagi karena sedang lambat dalam merespon. Namun kegiatan harus tetap terlaksana,
bukan? Dan dengan segala doa dan harapan, pagi itu Tre tetap melakukan tugasnya. Ternyata penontonnya banyak sekali!
Bayangkan, orang-orang dari luar kampusnya ikut hadir di kegiatan itu. Kepalanya dipenuhi rasa takut yang meracau.
Gimana ya kalo misalnya laptop tiba-tiba mati, atau error kaya biasa? Matilah aku, mau disimpan dimana muka ku ini,
mana aku yang memandu acaranya.
Lalu acara berlangsung aman hingga akhirnya saat Tre harus memandu acara kembali, tiba-tiba kok semua orang
tidak bergerak. Ternyata benar saja, laptop-nya bermasalah lagi. Untunglah ada kakak tingkatnya yang siap membantu.
Tapi namanya rasa malu tidak bisa ditampung lagi, namun ya sudah terjadi. Untung saja masalah sinyal sudah menjadi hal
yang biasa terjadi kapan saja dimana saja. Walaupun tinggal di daerah mudah sinyal sekali pun juga kendala pastinya
banyak ditemukan. Pernah satu kali Tre sedang pergi berjalan-jalan saat itu bersama keluarganya. Mungkin kalau bahasa
anak zaman sekarang itu bisa disebut staycation atau sekedar berdiam diri di dalam satu tempat untuk berlibur. Saat itu,
daerah yang Tre kunjungi cukup berada di daerah yang jauh dari pusat kota, namun suasananya sejuk sekali. Saat itu
seorang teman meminjamkan villa nya untuk Tre dan keluarganya singgahi beberapa hari, namun di saat yang bersamaan,
minggu ujian tengah semester sedang dilaksanakan. Ternyata sinyal yang berada di sekitar kawasan tempat singgahnya itu
kurang memadai walaupun banyak orang yang tinggal di sana. Pada salah satu mata kuliah, tiba-tiba di saja ujian tersebut
tidak dapat dibuka karena kendala jaringan. Di saat yang bersamaan, Tre juga diberi tugas oleh Pamannya untuk
membantu membuat video yang nantinya akan disisipkan pada projek video podcastnya. Karena kendala sinyal ini, Tre
kebingungan dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengirim pesan dan video tersebut.
Ia jadi teringat sebuah film Susah Sinyal yang Tre tonton beberapa bulan lalu. Film itu menceritakan tentang
keadaan kesulitan sinyal yang dirasakan oleh seorang ibu dan anak yang berusaha memanfaatkan waktu bersama sebelum
akhirnya sang ibu harus sibuk dengan pekerjaannya lagi. Pada film itu diceritakan bahwa sang anak yang menginginkan
waktu berkualitas dengan ibunya yang sibuk. Lalu gurunya berkata agar sang Ibu bisa menyempatkan waktu berdua
bersama anaknya dan banyak bercerita agar hubungan keduanya baik baik saja. Dan ternyata dengan susah sinyal ada
banyak hal positif yang bisa terjadi.
Pernah juga satu kali, di tengah libur akhir semester, Tre berencana untuk melakukan hal-hal produktif di organisasi
yang Ia ikuti. Selama pandemi ini, Tre mengambil banyak kegiatan yang ternyata berimbas pada waktu istirahatnya.
Banyak hari-hari berat untuk dilalui karena ada beberapa hal seperti revisi, laporan, dan lain sebagainya yang harus Ia
kerjakan. Sampai-sampai, beberapa kali Tre merasa burnout karena kegiatannya sendiri. Hal ini sebetulnya tidak baik
untuk kesehatan mentalnya. Namun Ia tetap melakukan hal-hal tersebut dan berusaha mengerjakannya sebaik mungkin.
Hari itu, keadaan rumah sedang mati lampu. Listrik di daerahnya padam sejak pagi hari, dan untuk kali ini, Tre merasa
bersyukur setidaknya ada alasan untuk istirahat sejenak dari kegiatan yang ada. Waktu itu Ia manfaatkan untuk tidur
sejenak dan mendatangi kamar adiknya untuk sekedar mengobrol.
“Dek, bayangkan kalau kita sekecil ini di dunia, apakah mungkin ada kehidupan lain di luar Bumi?”
“Aduh harus banget ya mikir? Hm, menurutku sih ada. Ya masa hanya kita kak yang ada di semesta yang sebesar
ini. Lagi pula kalau kita lihat ke langit malam yang cerah, banyak bintang yang cerah, kan berarti itu tandanya ada cahaya
dari galaksi lain yang sampai di galaksi kita. Butuh waktu ratusan bahkan ribuan tahun agar cahayanya bisa kita lihat. Jika
matahari saja punya satu planet yang layak hidup, masa bintang-bintang itu tidak punya?”
“Benar sih, tapi itu berarti ada peluang ya untuk makhluk dari semesta nun jauh di sana berpikir “Apakah ada
kehidupan selain kita?” Iya gak sih?”
“Bisa jadi sih, udahlah kak, kita masak aja yuk. Lapar nih belum makan.”
Lalu Tre dan adiknya pun berjalan menuju ke dapur. Tre jarang sekali memasak, dan selalu adiknya lah yang
memasak untuk di rumah. Terkadang Tre disuruh untuk membantu adiknya memotong bawang atau sekedar mencuci
daun bayam. Karena pandemi ini, Tre jadi banyak belajar untuk memasak di dapur. Pernah sekali Ia mencoba memasak
makanan kesukaannya dan berhasil! Walau masih ada kurang-kurangnya akibat garam yang Ia masukkan terlalu banyak.
Namun dengan lidah Tre yang cenderung tidak peduli dan sudah lapar, akhirnya Ia memakannya sebagai bentuk apresiasi
masakan pertamanya. Ternyata tidak ada sinyal sangat membantu ya terkadang. Terlebih lagi karena kesulitan sinyal, Tre
jadi bisa tidur lebih awal dari biasanya atau membiarkan dirinya sendiri merenung tentang banyak hal.
Berada di rumah terus menerus kadang membuat Tre merasa kelelahan secara pikiran. Apalagi hal itu sering
dirasakannya di malam hari. Banyak percakapan kepada dirinya sendiri yang kadang menghinggapi pikirannya. Salah satu
akibatnya adalah media sosial. Banyak orang yang bisa memiliki banyak kesempatan untuk berjalan-jalan dan melepas
penat ketika mereka membutuhkannya, mereka makan makanan yang mereka sukai setiap harinya, dan sampai tetap bisa
istirahat setelah mengerjakan banyak hal. Akhirnya sekali waktu Tre memilih untuk menghindar dari sosial media untuk
sementara waktu dan berusaha memperbaiki moodnya untuk mengerjakkan banyak hal lainnya. Itulah salah satu hal yang
bisa Ia manfaatkan dengan susah sinyal juga.
Suatu hari, Tre mendaftar ke sebuah kegiatan relawan. Kegiatan relawan ini membuat Tre banyak melakukan hal
baru yang Ia sukai. Salah satunya adalah membimbing guru di daerah yang masih kurang dalam segi pendidikan dan
sarana prasarananya. Melalui kegiatan ini, Tre berbicara pada banyak guru-guru di berbagai daerah di Indonesia. Ternyata
banyak permasalahan yang ditemukan berhubungan dengan sulitnya akses internet di daerah mereka. Hal ini ternyata
membuat banyak guru akhirnya harus datang ke rumah murid masing-masing untuk tetap mengajar dan memberikan ilmu.
Sementara di kondisi seperti saat ini, hal tersebut akan sangat tidak efektif, apalagi untuk guru-gurunya. Sore itu Tre
termenung membayangkan, betapa beruntungnya Tre bisa mendapatkan akses internet yang memadai, walau terkadang
menemukan kendala. Sementara yang dialami banyak guru-guru di beberapa daerah tersebut benar-benar kesulitan
internet. Saat program itu selesai, Tre mengirimkan pesan kepada satu persatu guru mengenai rasa terima kasihnya
terhadap sudut pandang baru yang Ia dapatkan dan bagaimana Tre harus lebih bersyukur.
Namun dari berbagai hal yang berhubungan dengan sinyal tadi, ada banyak hikmah yang Tre dapatkan. Sebagai
seorang yang senang berada di rumah dan pemalu, banyak kesempatan baru yang Ia dapatkan walau hanya secara daring.
Ia akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya memandu di berbagai acara, memiliki pengalaman menjadi pengisi
podcast dan didengar banyak orang, dan berkesempatan memiliki banyak pengalaman baru di organisasi. Terkadang
kendala dalam hal sinyal ini bisa menjadi lelucon yang dapat ditertawakan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dengan
adanya pengalaman baru ini, banyak hal-hal baru yang baik menghampiri dan membantu Tre untuk menjadi lebih baik.
Siang itu, Tre menelepon teman-temannya karena rindu. Sudah hampir satu tahun lebih Ia tidak bertemu dengan
teman-temannya. Untunglah teknologi saat ini mendukung manusia zaman sekarang untuk tetap terkoneksi dengan jarak
dan waktu.
“Bagaimana kabarmu, Sar?”
“Kabarku baik, Tre. Rindu sekali aku dengan Bogor.”
“Ah, kalau saja pandemi ini berakhir, segeralah kamu kesini Sar, banyak hal yang ingin kuceritakan.”
“Masih lama! Cepat ceritakan. Ada apa Tre?”
“Kamu merasa gak sih Sar, pandemi ini banyak mengajarkan banyak hal?”
“Banget, Tre. Tak pernah ku sangka pandemic ini ternyata ada serunya juga! Inovasi semakin banyak di mana-
mana. Orang-orang mulai kreatif melakukan hal-hal baru dan lebih banyak eksplorasi.”
“Nah! Betul, Sar. Kamu kan tahu sendiri, aku dipercaya untuk mengisi beberapa acara. Lalu juga suaraku banyak
didengar oleh orang. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa seperti ini. Saat gap year, aku sempat berfikir bahwa
mustahil aku bisa ada di posisi ini. Ternyata dalam waktu satu tahun lebih sedikit saja banyak hal keren yang terjadi di
hidupku. Walau akhirnya banyak hal diluar itu juga yang terjadi, namun itu pun mengajarkan ku banyak hal, tentang arti
menghargai waktu, kesempatan, dan kesehatan. Iya gak sih Sar?”
“Iya sih, benar sekali Tre. Aku juga akhirnya bisa memanfaatkan waktu banyak bersama keluargaku. Aku jadi bisa
menceritakan hari-hariku yang sebelumnya hanya ku pendam sendiri. Kalau diceritakan, aku jadi tersadar bahwa dengan
kondisi apapun, pasti ada maksud dari semua kejadian.”
“Benar, Sar. Kamu ingat gak hari terakhir sebelum libur panjang ini dimulai? Aku bersyukur sekali setidaknya kita
sudah ngobrol banyak hal bersama teman-teman dan menikmati waktu.”

“Makan bakso dan ke kosanku untuk lanjut ngobrol. Haha.”


“Haha, iya betul banget! Kita harus bertemu lagi tidak sih?”
“Hey, haruslah! Nanti semoga saja beberapa bulan lagi aku kesana!”
“Betulan? Wah kita harus bertemu sih karena ada ---”
“Halo Tre? Wah sinyal nih pasti. Lho kok keluar sendiri. Yah susah sinyal deh.”

Mengerti Diri Sendiri


Karya Laella Fitri Nur Azizzia Mahmudah

Semua orang pasti mempunyai tujuan hidup. Semua orang pasti mempunyai apa yang ia gemari. Tapi, hampir
semua orang sulit untuk menemui itu di dalam hidupnya dan butuh waktu yang lama. Ketika kamu tidak bisa menemukan
apa yang kamu mau dan apa passionmu, maka banyak yang berakhir dengan iri hati. Rasa iri tidak selamanya buruk,
melainkan bisa jadi indikator dari sesuatu yang orang lain punya dan kita inginkan.
Aku adalah seorang mahasiswi jurusan Komunikasi di salah satu PTN terbaik di Indonesia. Aku merupakan
seorang rantau di kota orang, sendirian, tanpa sanak saudara. Menjadi mahasiswi tingkat tiga membuatku selalu ingin
pulang ke kota kelahiran. Rasanya semester lima ini membuat ku ingin tewas di tempat. Tapi, apa boleh buat? Hanya itu
yang bisa ku lakukan sebagai anak perempuan pertama. Kuliah menjadi salah satu keinginan ku agar aku bisa menata
masa depan ku dengan baik. Walaupun semua itu tidak menjamin masa depan ku akan secerah nama kampus ku saat ini.
Sudah semester akhir membuatku harus berpikir cepat. Berpikir kalau nanti lulus aku akan bekerja di mana.
Berpikir setelah kerja aku harus menabung dan membiayai adik – adik ku. Rumit. Sebagai anak pertama, aku yang
diandalkan oleh orang tua. Sebagai anak pertama, aku yang dijadikan contoh untuk adik – adik ku. Sebagai anak pertama,
aku yang sudah seharusnya ikut memikirkan masalah keuangan keluarga. Ah, banyak juga ya ternyata. Baiklah semangat
untuk anak perempuan pertama! Semoga bahumu sekuat baja dan hatimu sekuat karang di laut.
Banyak yang berpikir kalau mahasiswa akhir semester itu sudah mempunyai planning untuk hidupnya setelah ia
lulus. Padahal tidak sedikit dari mereka yang masih kebingungan dengan apa yang ia lakukan setelah lulus. Tidak
terkecuali aku. Semakin dipikirkan semakin membuat pusing. Jadi lebih baik aku menjalani apa yang ada saat ini. Aku
pikir itu akan lebih baik, karena nantinya mungkin aku akan tahu sendiri. Tapi semua itu tidak semudah yang aku
bayangkan. Sulit.

***
Semenjak Covid – 19 melanda Indonesia, hampir semua bidang terdampak. Khususnya di bidang pendidikan.
Semua sekolah dan kampus di tutup dan pembelajaran menjadi daring. Awalnya pemerintah mengumumkan bahwa daring
hanya akan dua minggu saja. Tapi, ternyata hampir dua tahun. Sedih? Jelas. Kesal? Sangat kesal. Marah? Jangan ditanya.
Tapi semua itu demi kebaikan kita semua. Sangat sulit beradaptasi dengan kondisi yang serba online ini. Aku pun merasa
kesulitan mengatur waktu ku antara belajar dan membantu orang tua di rumah. Kalau aku tidak membantu orang tua ku di
rumah, aku akan menjadi anak yang durhaka. Tapi, kalau aku tidak memprioritaskan kuliah, aku akan mengecewakan
kedua orang tua ku karena nilai yang ku dapat pasti turun. Bingung? Jelas. Entahlah aku pun pening. Kapan pula Covid –
19 ini akan berakhir dan kita kembali ke kehidupan normal kita sebelumnya.
“Gimana? Sudah selesai? Ada yang perlu dibantu enggak?” tanya seseorang di seberang sana. Senang rasanya
memiliki teman yang masih bisa peduli dengan kita, di saat yang lain sibuk dengan tugasnya masing – masing dan
cenderung tidak peduli.
“Sudah, sudah selesai. Kamu sudah ngumpulin?” balas ku.
“Syukurlah kalau sudah, aku hanya ingin menanyakan itu saja. Kalau kamu nanti butuh bantuan ku jangan sungkan
untuk memberi tahu ku ya!” katanya penuh dengan perhatian.
Bagaimana perasaan kalian jika mempunyai teman yang sangat perhatian? Senang bukan? sama halnya dengan aku.
Aku sangat senang bisa bertemu teman yang bisa sangat mensupport. Bukan hanya mensupport tetapi juga menginspirasi.
Iya, dia sangat menginspirasi seseorang yang tidak bisa menemukan passion di hidupnya. Sangat sangat berterimakasih
kepada dia. Jujur aku tidak bisa memahami apa yang aku suka dan kerjakan. Ketika semua orang suka dan tahu apa yang
ia kerjakan tapi tidak dengan aku. Aku cenderung mengikuti alur. Jika alurnya ke kanan maka aku akan mengikuti ke
kanan. Jika alurnya ke kiri maka aku akan mengikuti ke kiri. Begitu saja terus sampai aku mulai jenuh dan bosan. Aku
ingin seperti orang – orang yang bisa memahami apa yang mereka suka.
Semenjak daring, kesibukkan ku hanya sekedar kuliah, mengerjakan tugas, dan membantu orang tua ku beres –
beres rumah. Tidak ada kegiatan lain yang bisa ku lakukan. Aku mempunyai teman yang sangat supportive dan positive
vibes. Dia bernama Tun, seorang gadis yang selalu mempunyai semangat setiap harinya. Mungkin tidak ada kata lelah di
hidupnya. Sampai saat di mana kita berdua sedang membicarakan tentang beasiswa. Bagaimana caranya agar kita bisa
meringankan beban keluarga terutama masalah keuangan. Kita mencari cara agar bisa mendapatkan beasiswa dan orang
tua kita tidak perlu membayar UKT semester ini dan seterusnya.
By the way, aku dan Tun merupakan anak sulung di dalam keluarga kita. Ketika aku dipulangkan ke rumah aku
sedang berada di semester dua. Tiga bulan berlalu, aku mulai jenuh. Jenuh dengan semua aktivitas yang dilakukan
berulang kali. Jenuh dengan kegiatan yang tidak bisa memberikan impact saat ini. Jenuh mengapa tidak bisa menemukan
hal yang menarik di dalam diri ku. Semenjak daring Tun selalu mengajak aku untuk ikut dalam berbagai macam kegiatan.
Mulai dari berorganisasi, magang, sampai kegiatan volunteer.
“Ayok Lin mau ikut enggak?” tanya Tun.
“Ikut kemana?” balas ku.
“Kita cari kegiatan. Kamu enggak bosen? Aku bosen banget nih” tuturnya. “Aku mau ajak kamu ikut volunteer,
tadi aku diajak sama Rani” timpanya.

Diajak seperti itu, aku mulai tertarik. Jalani saja dulu mungkin nanti aku bisa menemukan hal apa yang aku sukai,
pikir ku. Setelah aku ikut mendaftar dan diterima, aku menjalani dengan senang hati di awal. Tapi, setelah seminggu aku
mulai merasa bosan. Aku tidak bisa bertahan di satu kegiatan hingga selesai. Di tengah jalan selalu saja merasa bosan dan
ingin berganti kegiatan. Aneh. Bahkan aku tidak mengerti apa yang aku mau. Sudah banyak kegiatan yang aku jajal tapi
berakhir sama, bosan dan jenuh. Ada satu mata kuliah semester dua yang menarik perhatian dan aku suka ketika
mendengar namanya pertama kali. Mata kuliah itu adalah Desain Grafis. Menurutku mata kuliah ini adalah mata kuliah
yang beda dari mata kuliah yang lainnya di jurusan Komunikasi.
Awal mula mempelajari Desain Grafis aku merasa tidak ada kesulitan sama sekali. Saat itu minggu pertama aku
mempelajari Corel Draw. Sebenarnya saat SMA aku sudah pernah mempelajari software ini, jadi ketika sekarang bertemu
kembali aku tidak merasa kesulitan. Lancar – lancar saja. Bahkan aku sudah sangat suka di awal. Tapi aku tidak akan
terjebak lagi seperti sebelumnya. Tertarik hanya awal saja lalu bosan pada akhirnya. Setelah aku mempelajarinya lebih
intens, aku merasa ini bukan hanya sekedar suka. Tapi aku bisa merasakan aku bisa mengeksplor tanpa harus ada arahan
dari dosen. Di saat yang lain kesusahan dan kebingungan untuk memahami tools yang ada di Corel Draw, aku bisa
langsung paham dan mengerti dengan satu kali penjelasan. Hanya dengan menonton tutorialnya di youtube aku bisa
paham tanpa harus bertanya berulang kali kepada dosen dan asdos.
“Kamu sudah mengerjakan poster?” tanya ku kepada Tun. Saat itu dosen di kelas ku menugaskan untuk membuat
poster di Corel Draw.
“Belum. Aku tidak mengerti Lin. Tidak paham dengan tools yang ada. Susah sekali untuk menghafalnya. Apa kamu
sudah membuatnya?” tanya Tun kembali.
“Sudah. Bahkan aku sudah menuntaskannya tiga hari yang lalu. Apa yang bisa aku bantu Tun? Kamu tidak paham
yang mana? Mari kubantu jelaskan semampu ku” balas ku sambil menawarkan bantuan.
Kita berdua langsung memulai untuk video call agar Tun bisa lebih mudah dan cepat paham. Di sini aku menyadari,
aku dan Tun berbeda. Maksud berbeda di sini adalah hal yang Tun suka belum tentu aku akan sukai juga walaupun aku
bisa mengerjakan atau mengikuti itu. Begitu pun sebaliknya, hal yang menurutku mudah dan menyenangkan belum tentu
mudah menurut Tun. Tun berpikir bahwa hal – hal yang berbau desain merupakan hal tidak ia sukai karena itu membuat
ia pusing dan harus berpikir keras. Aku pun berpikir bahwa kegiatan yang aku coba ikuti bersama Tun membuat ku cepat
bosan, aku bosan karena aku hanya bisa mengikuti dan mengerjakannya tanpa adanya rasa suka.
“Kenapa kamu bisa langsung paham dalam sekali penjelasan? Aku bahkan tidak semudah itu Lin. Kau jenius” puji
Tun kepada ku. Aku sedikit tersipu malu saat Tun berbicara itu. Jenius katanya. Lucu ya, hanya dengan aku mengerti
secepat itu Tun bisa langsung memuji ku jenius. Padahal dia lebih jenius dari pada ku. Tun termasuk orang yang cepat
paham dengan apa pun. Tapi tidak untuk kali ini. Kali ini ia harus merasa benci dengan apa yang ia pelajari.
“Ah, bisa saja kamu Tun. Kamu juga lebih jenius daripada aku. Kamu bisa mengatur waktu padahal kegiatan yang
kamu ikuti juga banyak. Keren. Aku yang cuma ikut tiga kegiatan saja sudah keteteran. Memang keren sekali kawan ku
ini” balas ku dengan pujian.
“Apa sih kamu Lin. Bisa saja. Ternyata kamu memang suka hal hal yang menyulitkan seperti ini ya. Tidak banyak
orang yang suka dengan hal – hal seperti ini. Mungkin memang passion kamu disini, Lin” kata Tun.
Tun benar juga. Kalau dipikir – pikir aku selalu mengerjakan tugas desain dengan senang tanpa bosan. Apa
mungkin iya passion ku di sini? Ah aku masih belum yakin. aku tidak ingin cepat menyimpulkan dan merasa dibohongi
diri sendiri. Hahahahaha merasa dibohongi diri sendiri kata ku. Tapi memang itu benar. Kadang kita merasa kita
dibohongi oleh diri kita sendiri. Padahal kita yang terlalu banyak berharap di luar batas kemampuan diri kita.

***
Tun merupakan anak sulung di keluarganya. Sama halnya dengan ku. Dia juga mempunyai seorang adik
laki – laki. Tun sedikit ambisius tapi tidak pelit. Tun sedikit cerewet tapi tidak menyebalkan. Tun selalu bersemangat
sampai aku yang melihatnya saja lelah sendiri. Pakai baterai jenis apa ya Tun itu? Ibunya dulu ngidam apa ya pas hamil
dia? Apa motivasi dia untuk bisa terus bersemangat setiap hari? Vitamin seperti apa yang ia minum? Kenapa ia bisa
menjadi seorang teman yang baik buat ku? Ah aku sangat sayang sekali dengan Tun. Semoga kita tidak berakhir dengan
menjadi seorang stranger.
Semenjak aku berteman baik dengannya aku menjadi termotivasi agar bisa mempunyai semangat setiap harinya.
Agar tidak ada kata malas dalam hidup ku. Dan yang paling penting adalah mencintai dan menyayangi diri sendiri. kenapa
menyayangi dan mencintai diri sendiri? Karena aku masih belum yakin dan percaya dengan apa yang ada pada diri ku.
Aku masih belum bisa percaya kalau aku bisa melakukan apa yang aku mau. Terlalu banyak rasa insecure di dalam diri
ku. Tidak percaya diri. Aku ingin menjadi seperti Tun. Ingin seperti dia yang selalu mempunyai rasa percaya diri yang
tinggi, disukai banyak orang, dan yakin dengan apa yang ia lakukan tanpa menyepelekan diri sendiri. Aku sadar sampai
kapan pun tidak akan bisa menjadi seperti Tun. Aku ya aku, Lin Meriana. Tun ya Tun, Tun Lisnawati. Aku akan tetap
menjadi diri ku sendiri mau sekeras apa pun aku merubah diri ku.
“Bagaimana Tun? Apa IP mu naik semester dua ini?” tanya ku pada Tun.
“Yah, lumayan. Mungkin aku bisa berusaha lebih keras lagi di semester selanjutnya. Bagaimana dengan mu, Lin?”
balasnya.
“Hmmm… Sesuai dengan perkiraan ku. Turun drastis. Tapi tidak apa – apa, aku masih bisa memperbaikinya nanti”
jelas ku.
“Bagaimana perasaanmu di semester dua ini?” Tun bertanya. Aku tahu jika dia mulai menanyakan hal seperti ini ia
mengetahui apa masalahku.
“Cukup menyenangkan, Tun” tutur ku.
“Kamu bisa cerita kapan saja kepada ku, Lin. Aku tahu apa tujuan mu mengiyakan semua ajakan ku
selama ini. Itu bukan berarti kamu ingin punya pengalaman seperti yang aku pikirkan, kan? Kamu hanya ingin mencari
tahu apa yang kamu minati.

Kamu hanya ingin tahu passion kamu di bidang apa. Benar bukan tebakan ku?” tanyanya dengan penuh serius.
“Bagaimana kamu bisa tau Itu, Tun? Padahal selama ini aku tidak ada cerita seperti itu pada mu” tanya ku kembali.
Seolah – olah ia bisa membaca pikiran ku. Heran. Bagaimana ia tahu? Apa Tun seorang cenayang?
“Benar dugaanku. Apa dengan semua yang sudah kamu ikuti, kamu bisa menemukannya?” Tun terus bertanya.
“Mungkin sudah, tapi aku tidak tahu pasti. Tapi sepertinya iya. Entahlah aku juga bingung” jelas ku.
“Apa yang membuat mu bingung, Lin? Cepat ceritakan pada ku” tanyanya lagi.
“Aku tidak mau terjebak lagi seperti kemarin – kemarin. Aku tidak mau dibohongi diri sendiri lagi. Tapi aku sudah
merasa kalau memang passion ku di bidang ini. Entah karena aku suka mata kuliahnya atau memang aku suka mendesain”
jelas ku padanya.
“Oh jadi kamu suka mendesain? Pantas saja kamu selalu bersemangat saat mengerjakan tugas Design Grafis. Keren
juga kamu Lin. Lalu apa yang membuatmu ragu? Bukankah sudah jelas kamu sangat tertarik dan menyukai itu? Tanyanya
kembali.
“Iya memang, tapi aku takut nantinya akan bosan lagi” ucap ku.
“Menurutku tidak, Lin. Sudah satu semester kamu menyukai ini. Kamu sudah bisa menghitung berapa lama itu.
Kamu akan cepat bosan dalam waktu yang sangat singkat. Tapi tidak kali ini. Masa kamu tidak yakin pada diri kamu
sendiri” jelas Tun meyakinkan ku.
“Entahlah, Tun. Aku masih bingung” balas ku.
“Ya, terserah kamu saja Lin. Aku hanya memberitahumu” balas Tun.
Lagi – lagi ucapan Tun ada benarnya. Memang sudah lama aku tertarik pada bidang ini. Setelah semester dua
berakhir, aku memutuskan untuk magang di salah satu percetakan yang ada di kota ku. Percetakan itu punya temen ayah
ku. Tujuan ku tidak lain dan tidak bukan hanya untuk meyakinkan kalau passion ku memang di bidang desain. Dua bulan
lamanya aku magang di sana dan benar saja aku tidak merasa bosan dan jenuh. Sepertinya aku mulai yakin. Senang sekali
rasanya bisa menemukan yang sudah lama ku cari. Apa kalian akan seperti ku juga jika mengalami hal seperti ini? Kalau
begitu aku harus sangat berterima kasih kepada diri ku sendiri dan tentunya juga kepada Tun.
Maaf kalau selama ini aku sering merasa tidak percaya diri dengan apa adanya kamu dan sibuk mencari cara untuk
menyempurnakan yang sesungguhnya sudah sempurna. Maaf kalau selama ini aku sering mengabaikan sinyal – sinyal
peringatan yang diberikan dan memaksa diri terlalu keras. Maaf kalau selama ini kerap menilai diri sendiri kurang
berharga dibanding orang lain, padahal kamu sangat sangat berharga.
Saya minta maaf. Dan, terima kasih.
Tidak menyangka proses yang ku alami akan selama ini. Aku sangat berterima kasih kepada diri ku karena sudah
bertahan sejauh ini. Terima kasih karena sudah bisa bersabar. Terima kasih sudah mau menunggu. Terima kasih sudah
mau percaya dengan diri sendiri. Terima kasih sudah sabar dari segala hal yang mengejar. Terima kasih sudah mau
mencoba segala hal dan tidak lelah. Terima kasih sudah berani sepanjang jalan ini, walaupun jalan yang sesungguhnya
masih sangat panjang. Terima kasih tidak pernah menyerah walau sering kali merasa kalah. Terima kasih sudah
meredakan ego mu. Terima kasih untuk tidak lelah meneriakkan suara di dalam kepala dan mengatakan bahwa aku
berharga. Terima kasih untuk selalu mau menarik tangan ku dan mengangkat tubuh ku ketika aku terjatuh dan ingin
menyerah. Terima kasih untuk tak pernah lelah mengatakan “mari kita coba lagi” ketika kegagalan menghampiri. Terima
kasih untuk mengubah saya menjadi manusia yang lebih baik walau jalan yang dilalui tidak mudah.
Terima kasih dan aku sayang aku!

Mimpi dan Harapan


Karya Leriane Raisha Nazhifah

Sore ini hujan tepat seperti dugaanku tadi siang saat melihat kumpulan awan yang mulai menumpuk dan hitam. Tak
apa, aku suka hujan. Hujan menenangkan ku, suara dan juga wangi tanah yang menyeruak ke dalam indra pendengaran
dan penciuman ku benar-benar terasa menyenangkan dan nyaman. Sore ini aku ditemani dengan secangkir teh melati yang
baru diseduh beberapa menit yang lalu untuk menemani kegiatan soreku membaca sebuah buku. Bukan, ini bukan buku
pelajaran, ini hanyalah buku fiksi yang tersimpan cukup lama di rak lemariku. Kepulan asap yang muncul dari cangkir teh
melati, hujan, alunan musik klasik yang terdengar dari ponselku sangat serasi untuk dipadu padankan pada sore ini.
…..Ting…Ting…Ting….
Suara dering pemberitahuan terdengar dari ponselku. Bimbang, apakah aku harus melihat atau mendiamkannya.
Tidak, jangan anggap aku jahat karena mengabaikan pesan yang kuterima karena itu bukan suara pesan masuk melainkan
notifikasi media sosial ku. Aku memang sengaja membedakan dering tersebut agar tidak terkecoh saat suasana mendesak.

Sudah beberapa menit aku mendiamkan ponsel yang terletak tak jauh dari diriku dan mencoba untuk fokus
membaca buku serta menikmati secangkir teh melati. Namun, suara dering yang muncul bertambah ramai seiring berjalan
nya waktu. Tentu rasa penasaranku tumbuh dan tangan menuntunku untuk membuka ponsel pintar tersebut.
“Ah temanku mendapatkan beasiswa ke luar negeri”
“Temanku diterima untuk internship di suatu perusahan besar”
“Temanku baru saja mendapatkan gaji pertama dari hasil kerja part time nya”
“Temanku memposting kegiatan volunteer nya di luar kota”
Nyatanya notifikasi yang menggebu ponselku sore itu berasal dari pencapain temanku. Aku mudah menangis akan
hal kecil seperti ini. Tidak, aku tidak iri dengan mereka aku hanya merasa mengapa aku tidak bisa seperti mereka?
mengapa aku hanya dapat mematung seperti ini? Mengapa, mengapa dan mengapa. Pertanyaan dengan pola yang sama
terlukis di pikiranku dan luka yang tergores di hatiku lagi lagi menyapa. Tak sadar air mata mengalir melewati pipiku
tanpa permisi serta hantaman kuat di dada yang lagi-lagi membuatku sesak. Sore itu, nyatanya hujan yang kusukai serta
teh melati hangat tidak membantuku merasa lebih baik.
***

Aku tak tahu kapan pastinya merasakan hal ini namun yang kurasakan ini terlalu sulit untukku. Segelintir orang
berkata kepadaku, apa yang akan kulakukan untuk kedepannya. Tentu saja, aku tak mampu menjawabnya karena memang
benar aku bingung dengan pertanyaan tersebut. Aku merasa dibandingkan dengan teman-temanku, diriku lah yang tidak
mempunyai bakat yang spesifik seperti yang lainnya. Aku selalu merasa bahwa yang apa yang kulakukan tidak
membuahkan hasil dan berjalan sesuai dengan keinginanku. Aku teringat perasaan sesak, sesaat temanku bertanya akan
kehidupan kuliahku. Kira-kira seperti ini percakapannya.
“Tiga hari yang lalu aku baru saja kembali dari pedesaan, sehabis menjalankan program kemanusiaan, aku
mengajar dan memberi asupan nutrisi yang baik untuk desa tersebut dan ya, melakukan hal tersebut sangat
menyenangkan, bagaimana denganmu? Kau kan berkuliah di kampus bergengsi” Ujar temanku
“Hmm entahlah, aku memang sudah mencoba untuk mendaftar dan berkesempatan hadir pada tahap wawancara
untuk program kemanusiaan seperti yang kau lakukan, namun aku tidak seberuntung kau rupanya. Lalu, bagaimana
rasanya di desa tersebut ayolah ceritakan kepadaku” Jawabku yang sudah mempunyai feeling kemana topik ini akan
berjalan.
“Sangat menyenangkan kau tahu, tapi memang sangat di sayangkan kau tidak lolos hingga akhir. Padahal aku yakin
bahwa kau akan bergabung bersamaku karena kau berasal dari kampus yang mempunyai kualitas bagus. Aku heran
mengapa kau tidak lolos seleksi padahal aku hanyalah mahasiswi yang berasal dari kampus biasa tak seperti kau.”
Temanku mengatakan hal yang sama berulang kali.
Aku bahkan tak tahu apakah masih pantas ku sebut teman atau tidak, perkataan nya kala itu membuatku berfikir
buruk dan sedih tentu saja. Aku tak mampu membalas perkataan nya dan hanya tersenyum simpul sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diusung saat itu. Terkadang memang aku meragukan diriku atas apa yang terjadi dan setelah nya aku
akan menyalahkan diriku tanpa ampun. Seperti, mengapa hal kecil tersebut tidak bisa kugapai? Mengapa aku tidak bisa
seperti teman ku?
Ah pertanyaan itu lagi rupanya
Aku selalu merasa kecil, bahkan malam ini aku kembali memikirkan apa saja hal-hal yang sekiranya sudah
kulakukan untuk memperbaiki masa depanku. Sedikit demi sedikit untaian benang kusut yang tersimpan lama di dalam
pikiranku, mulai kucari dimana letak awalan semua itu bermula. Dengan bantuan segelas kopi hangat yang kuseduh
malam ini dan pantulan sinar bulan yang menembus kaca jendela kamar meyakinkan diriku bahwa malam ini akan
kutemukan jawaban nya.
Waktu berlalu begitu cepat rupanya, ah sial, ini sudah jam 3 pagi namun yang kudapatkan hanyalah bulir air mata
yang mengalir di pipiku dan rasa sesak yang menghantam dadaku. Rupanya aku menangis lagi dan mulai menyalahkan
diriku, “Dasar anak bodoh tak tahu diri apa yang kau harapkan dari dirimu jika yang dapat kau lakukan hanya menangis”
setidaknya itu lah perkataan yang kuucapkan sembari mencoba untuk mengatur nafasku yang mulai tersendat. Aku
berusaha untuk tetap tenang dan menahan suaraku agar ibu tak terbangun, bukan tak ingin berbagi cerita dengan ibu.
Namun, terkadang mencoba untuk menyimpan nya sendiri lebih baik dari pada kubagi.
Ah tidak juga rupanya, aku mempunyai satu adik perempuan. Usia kami tak berbeda jauh dan aku menyadari bahwa
dia lah tempatku menumpahkan rasa kesal dan kecewa akan dunia yang kupijak saat ini. Dia adik ku, adik kesayanganku.
Aku akan melakukan apa saja untuk nya, walaupun memang kita ditakdirkan untuk menjadi kakak beradik di dunia ini
namun nyatanya garis takdir kami berbeda. Adikku pandai akan segala hal, tapi hei, bukan berarti aku tidak pandai hanya
saja jika diibaratkan dengan sebuah ungkapan kami bagaikan Yin dan Yang. Aku adalah Yin sebagai sisi hitam dengan
titik putih pada bagian atasnya dan adikku berperan sebagai Yang dengan sisi putih dengan titik hitam pada bagian
atasnya.
Adikku selalu berkata kepadaku bahwa tidak ada manusia yang sempurna didunia ini, entah seberapa hebat dia
yang kau lihat itu hanyalah ilusi yang dia buat agar semua orang melihat bahwa dia adalah matahari yang tak pernah
padam. Aku paham maksudnya, namun aku selalu menyangkal dengan ungkapan “ah kau hanyalah pelajar sma kau tak
akan mengerti, kau akan mengerti jika kau berada di usiaku. Kau benar-benar akan merasa khawatir di setiap pagi mu dan
merasakan sesak sesaat mendapatkan fakta bahwa kau hanyalah batu yang tak bergerak”. Bicara soal batu tak bergerak
apakah benar aku hanyalah makhluk hidup yang tak ditakdirkan untuk mempunyai bakat? Entahlah, lagi-lagi pikiranku
yang mengatakan semaunya.
Aku hampir lupa untuk mengatakannya, tapi aku sekarang adalah mahasiswi semester 5 yang memutuskan untuk
mengenyam pendidikan di vokasi atau D3. Tidak ada yang salah dari itu, namun dengan maksud yang terselubung aku
adalah mahasiswi tingkat akhir. Tahun depan aku menjalankan masa praktek kerja lapangan dan mulai menyusun
proposal, tugas akhir dan lain sebagainya untuk syarat kelulusanku. Aku dapat mengatakan bahwa di semester 5 ini aku
merasakan beban yang cukup berat, bukan hanya dari segi tugas yang kudapatkan melainkan pencapain apa yang telah
kulakukan.

Seperti yang waktu itu temanku bilang memang benar aku berkuliah di kampus yang bagus dan aku yakin semua
orang mengetahui dimana aku berkuliah. Apakah kau inginku beri sedikit bocoran? Logoku biru dan aku berkuliah di
Bogor, jika kau memikirkan hal yang sama denganku berarti jawabanmu benar. Sudah terbayang bukan betapa hebat nya
mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota hujan tersebut. Tapi kurasa tidak denganku, aku merasa kecil
dibandingkan dengan yang lainnya.
Lagi-lagi aku mencap buruk diriku atas dasar pemikiran sendiri, menyebalkan.
Jika aku mengaitkan tentang mimpi dan harapan tentu saja gadis sepertiku mempunyainya, dahulu aku ingin
merasakan bagaimana rasanya memimpin sebuah acara atau project sebagai leader. Dahulu aku tidak terbiasa untuk
memimpin dengan alasan aku takut jika apa yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan apa yang orang harapkan
kepadaku sebagai pemimpin mereka. Namun, lambat laun aku mencoba untuk berani mengambil resiko dan keluar dari
zona nyamanku.
Kisah nya seperti ini, saat aku menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama aku melihat dan mendengar
sambutan yang berasal dari ketua osis yang pada saat itu adalah perempuan. Dia sangat hebat untuk seukuran usia dia
yang pada saat itu kuyakini 14 atau 15 tahun dengan tingkatan siswa menengah pertama di kelas 8 atau 9. Pada saat itu
ketua osisku menyampaikan beberapa masukan dan aturan penting tentang apa yang harus dilakukan di sekolah yang
kutempati. Aku kagum dengan pembawaan dan cara dia mengatur ratusan siswa, staf osis dan tentu saja guru yang hadir
di masa sambutan tersebut. Dia dengan lantang dan berani menyampaikan apa yang dia maksud dan cepat tanggap akan
hal mendesak.
Dari situ kuyakini bahwa aku mempunyai mimpi suatu saat nanti ingin menjadi seperti ketua osisku, pemberani dan
mempunyai aspek kerja yang hebat. Lalu, disaat diriku sma aku mulai menerapkan apa yang pernah kupelajari saat aku
smp dengan mengaplikasikan bagaimana cara ketua osisku menjalankan hal tersebut. Dengan mengikuti hal kecil seperti
kepanitiaan pentas seni sekolah, acara penting sekolah dan masih banyak lagi. Aku memulai nya dari bawah dan mulai
belajar tanggung jawab, pada saat itulah masa-masa aku bahagia dan dapat dengan bebas tersenyum tanpa adanya beban
yang terpikul dibahuku.
Benar, aku juga ingat di masa aku dapat membuat ibu dan ayahku tersenyum lebar karena diriku. Pada saat itu aku
hanyalah siswi biasa yang tidak terlalu menonjol pada bidang akademik, tidak seperti temanku yang mempunyai
sampingan untuk les di suatu tempat ternama yang menjanjikan universitas terbaik di Indonesia. Aku hanya
mengandalkan diriku sendiri untuk belajar dan mengulang nya dirumah. Bukan, jika yang kau pikirkan orang tuaku tidak
memberikan aku kesempatan untuk les karena masalah biaya itu salah, hanya saja aku terlalu lelah untuk melakukan nya
dan aku yakin dapat mengandalkan diriku sendiri. Dulu disaat aku menginjak bangku kelas 12 yang dimana itu adalah
akhir atau penghujung masa sekolahku, guru matematika wajibku pernah berkata di depan kelas bahwa aku tidak akan
pernah dapat memasuki universitas negeri dikarenakan ujian harian matematikaku jelek. Aku tak paham maksud beliau
berkata hal buruk tersebut di depan kelas. Aku tak mengerti mengapa beliau sangat meremehkanku? Apa karena aku gagal
dalam mata pelajaran tersebut atau memang dia membenciku, entahlah aku juga tak paham.
Ada waktu dimana sang juara umum sekolah mendapatkan sorotan akan prestasi yang ia toreh untuk membangakan
nama sekolah, semua guru bersorak ria dan memujanya. Aku terkadang kasihan kepadanya, ia dituntut untuk selalu
mampu apapun resiko yang dihadapi kedepannya. Pernah suatu ketika lagi-lagi guru matematika wajibku membandingkan
diriku dengan sang juara umum tersebut, ia berkata “hei kau seharusnya belajar banyak darinya, jangan hanya bermain
dengan temanmu untuk pergi menghadiri setiap pensi sekolah dan bersenang-senang, lihat jika kau bermain dengan dia
kuyakini ujian matematikamu tidak akan terus menurun”. Heran, itu yang selalu aku ucapkan didalam hati ketika beliau
selalu menilai bahwa diriku harus selalu mendapatkan nilai seratus dalam mata pelajarannya, ia tak pernah melihat potensi
muridnya dari segala aspek dan bidang, ia selalu berfikir jika kau gagal dalam matematika kau akan gagal dalam
hidupmu.
Namun, nyatanya waktu berlalu begitu cepat. Berita mengejutkan tersebar di seluruh penjuru sekolah. Aku sang
murid biasa yang diremehkan guru matematika wajib dan dicemooh karena memilih untuk bersenang-senang
menghabiskan masa sma dengan ceria menorehkan prestasi untuk angkatan dan sekolahku. Aku berhasil lolos seleksi
dengan jalur rapor di universitas negeri terbaik di Indonesia, ia itu aku dan hanya aku pada saat itu yang berhasil lulus
jalur undangan dalam satu angkatan. Aku juga tak mengerti dan bertanya-tanya apakah ada suatu kesalahan dalam sistem?
Dikarenakan dalam satu angkatan benar-benar hanya diriku yang dapat berhasil memasuki jalur tersebut. Aku masih dapat
mengingat raut wajah bingung dan kaget guru matematika wajibku saat mendapatkan kabar bahwa hanya diriku yang
dapat ia selalu sebut disetiap acara sekolah, rapat guru dan orangtua serta bagi rapor di setiap ujian tengah semester dan
ujian akhir semester nya tentang prestasi alumni. Aku murid yang beliau remehkan ternyata berhasil membuktikan
kepadanya bahwa bukan matematika yang menjadi penentu kesuksesanku dan bukan juga tempat les yang menjanjikan
universitas terbaik di Indonesia seperti murid-murid kebanggannya. Aku adalah siswa biasa yang memilih untuk
bersenang-senang menghadiri setiap pentas seni sekolah, berpartisipasi mengikuti beberapa kegiatan sekolah, dan
mengikuti hatiku.
Ah rasanya jika kuceritakan masa sekolahku tak akan ada habisnya, terlalu menyenangkan bagiku. Banyak suka
duka yang kulewati dan membentuk kenangan indah untuk memoriku sendiri. Setelah kusadari ternyata aku mempunyai
beberapa pencapaian dalam hidupku. Benar juga, tak seharusnya aku bersedih.
Malam ini aku duduk dengan nyaman di ujung sudut ruangan kamar ku ditemani segelas susu coklat hangat,
sepotong kue strawberry buatan ibu dan alunan musik lembut yang terputar dari radio kecil milik ayah yang kupinjam
seminggu yang lalu. Malam ini rupanya bersahabat denganku, tidak ada tangisan dan benang kusutku satu persatu mulai
terlepas dengan sendirinya. Walaupun memang belum serapih sedikala namun aku yakin benang kusutku akan terurai.
Setelah kupikirkan tentang masa sekolahku, aku jadi teringat bahwa aku menyebutkan ingin menjadi seperti ketua
osisku memimpin suatu kelompok dalam project tertentu dan secara tak terduga aku mendapatkan nya. Iya benar, aku
menjalankan mimpiku dan menerapkan nya di bangku perkuliahan. Selama lima semester yang telah kujalani, aku selalu
mendapatkan amanah untuk berkontribusi lebih. Seperti saat aku semester satu, aku dipercaya untuk memandu jalannya
acara talkshow yang dibuat kelasku sebagai mc lalu disaat semester dua aku dipercayai untuk menjadi ketua kelompok
festival budaya dengan budaya yang ku angkat yaitu Nusa Tenggara Barat walaupun memang acara tersebut batal karena
terhalang pandemi namun aku telah menyiapkan 70% acaraku, lalu di semester tiga aku berkesempatan untuk menjadi tim
acara dan mengatur event organizer DatingFest dan semester empat aku memimpin divisi acara untuk pameran.asa dan di
semester terakhir aku berkesempatan untuk memimpin jalan nya film dan menjadi penanggung jawab mata kuliah
tertentu. Aku senang dengan beberapa pencapaianku walaupun memang tidak sehebat teman-temanku tetapi inilah yang
dapat kulakukan. Oh benar aku hampir lupa mengatakan bahwa aku juga turut aktif di beberapa volunteer di luar sana
walaupun tidak sebesar platfrom temanku tetapi aku bangga akan diriku.
Tak kusadari ternyata semua itu adalah bintang-bintang yang berhasil kugapai dan aku mengingat suatu untaian
kata di buku yang pernahku baca saat mengunjungi suatu kedai kopi kala itu. kira-kira begini.
“Kepuasan itu terletak pada usaha, bukan pada pencapaian hasil. Berusaha keras adalah kemenangan besar”
“Kemenangan terbesar adalah ketika tidak membutuhkan pertarungan”
Benar, aku menikmati hidupku dengan nyaman selama ini dan pencapaian bukanlah suatu ajang perlombaan yang
harus kuumbar agar mendapat perhatian publik. Pencapaianku untuk diriku sendiri, bintangku bersinar untuk diriku
sendiri. Orang lain tak seharusnya ikut campur dengan apa yang sedang kujalani. Aku memang tidak seperti teman-
temanku dan sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi mereka karena garis takdir kehidupan kami berbeda. Tujuan
hidup kami berbeda dan bintang kami berbeda.
Benang kusut ku terurai, malam ini aku merasakan suasana aman dan nyaman. Aku berdoa kepada tuhan tak akan
ada lagi raungan dan air mata yang tercipta di setiap pagi dini hari. Mimpi dan harapan gadis ini rupanya bukan hanya
sekedar kisah belaka, dia benar-benar mewujudkannya secara perlahan namun pasti. Tak apa jika diriku berbeda dari yang
lainnya, tetapi aku mempunyai rasa tanggung jawab akan apa yang mereka berikan kepadaku. Aku senang dapat sedikit
demi sedikit berdamai dengan diriku dan menerima bahwa hidupku tak akan berakhir jika tak sama dengan yang lainnya,
hanya terus berjuang melangkah lebih jauh sembari menatap kedepan dan ini lah kisah gadis dengan mimpi dan harapan
nya.

Aku, Covid dan Isman HS


Dadang Maulana Luthfi
The Begining
Pandemi covid 19 sangat menyusahkan bagi semua orang. Dari pengusaha sampai pedagang, pemain bola sampai
pelajar, tapi ada juga mungkin yang diuntungkan dari pandemi ini. Yaitu pembuat peti mati dan tukang gali kubur. Kita
sampai sekarang aja gatau awal mulanya gimana, tau tau udah menyebar aja sampe sekarang. Kesel nggak sih kalian? Ya
pasti kesel lah, apalagi buat mahasiswa seperti aku. Oh iya aku adalah seorang mahasiswa di sebuah universitas terbaik di
twitter, soalnya menfessnya aktif banget. Setiap menit pasti ada aja info-info penting dan cuitan yang nggak jelas di
menfess. Nggak tau menfess ya? Ya cari tau sendiri lah ya, educate yourself kalau kata anak gaul. Hahahah.
The calm before the storm
Sebelum pandemi melanda negeri tercinta ini, hidupku lebih berwarna. Bisa ngobrol bersama teman, main
kemanapun tanpa masker, sampe curhat ceria bersama gebetan di kosan sampe tengah malam. Tapi setelah pandemi
datang, semuanya berubah secepat kilat. Kampus tutup, mall tutup, masjid tutup. Hal ini juga yang menyebabkan
pendidikanku dipindahkan dari kampus, ke rumah. Awal awal belajar di rumah sih aku masih merasa enak ya. Bisa sambil
rebahan, sambil makan, sambil berjemur juga. Seminggu kemudian, aku mulai merasa bosan dan jenuh. Tiap hari menatap
layar laptop untuk zoom. Tugas kelompok pun aku rasa tidak ada bedanya dengan tugas individu. Ya meskipun ada
untungnya juga ya zoom ini, aku yang terkadang malas membantu orang tua semakin ada alasan untuk tidak mau disuruh-
suruh, hehehe. Seperti sudah punya kalimat sakti Ketika disuruh oleh ibu.
“Mas, tolong beliin sayuran di pasar. Buat masak”. Teriak ibuku dari ruang tengah
Aku yang sedang rebahan di kamar, dan sedang males-malesnya langsung beralasan
“lagi zoom ih ini, nanti deh sore”.
Sore tiba, aku ketiduran dan akhirnya aku sekeluarga malam itu beli makan dari luar. Karena apa? Karena aku yang
malas. Jadi nggak baik ya membantah perintah orang tua selagi kalian bisa melaksanakannya. Kalau melanggar,
akibatnya bisa fatal. Yaitu kalian sekeluarga harus beli makan di luar. Untuk minggu minggu awal sih orang tuaku masih
memaklumi kuliah pake zoom. Tapi lama kelamaan kalimat saktiku terbongkar juga. Dan ya, bisa ditebak, aku menjadi
manusia multitalent. Zoom matkul sambal berkendara membeli kebutuhan dapur. Tapi ada yang lebih membosankan dari
zoom terus di kamar, yaitu nggak bisa main keluar rumah.

The Missing
Berusaha keluar rumah di masa pandemi seperti ini sama dengan kita berusaha keluar dari sel penjara, eh ini bukan
berarti aku pernah dipenjara loh ya. Persamaanya adalah sama sama berbahaya dan sulit. Berbahaya karena di luar ada
covid, sulit karena izin orang tua. Ya sebenarnya keluar rumah sih masih bisa, namun untuk keperluan yang sangat sangat
penting. Seperti beli kebutuhan dapur dan belanja bulanan. Tapi kan yang namanya remaja sangat haus sekali yang
namanya nongkrong di luar. Bercengkrama dengan sesama sampai larut malam, membahas berbagai hal, dari bahas
otomotif sampe bahas “ayam duluan atau telur duluan?”.
Hal yang paling ditakutkan oleh orang tuaku jika aku nongkrong adalah tertular covid. Karena orang tuaku tau,
beberapa tetangga ada yang diam-diam sudah positif covid. Jadi insting melindungi keluarga tuh meningkat. Tapi kan ya,
nongkrong itu tuh kayak sebuah kewajiban bagi anak muda. Aku tuh kalau nggak nongkrong seminggu dan selama itu
diam terus di rumah. Aku jadi orang yang nggak nyambung, ditanya apa jawabnya apa, disuruh apa ngerjainnya apa.
Pernah sekali disuruh sama mamah.
“mas, beliin kencur di warung”.
“oke siap mah”. Ambil uang dan langsung jalan.
Tapi pas sampai rumah, malah dimarahin sama mamah.
“heh kamu!!! Tadi mamah nyuruh beli apa?!!!” tanya mamahku bingung dan emosi.
“beli kencur kan? Lah ini kencur”.
Pas liat apa yang aku beli, ternyata aku beli kasur bukan kencur. Aku dan ibuku bingung. Ibuku bingung sama
kelakuanku, aku bingung uang darimana pulang-pulang bisa dapet kasur.
Aku rindu kegiatan nongkrong itu, tapi ya karena pandemi, semuanya hilang. Salah satu sisi baik dari pandemi
adalah, aku dan keluarga bisa kumpul bareng full di rumah. Tapi ada yang buruk ditengah-tengah hal baik itu. Hal
buruknya adalah aku kena covid dan harus isolasi mandiri. Hal yang menyebalkan.
Denial and Ignorance
Covid yang aku benci akhirnya menemukan celah untuk masuk ke badanku yang sangat sehat ini. Aku tak tahu
tertular dari siapa, dan ketularan dimana. Tapi feeling aku sih mengatakan bahwa aku ketularan ketika sedang shalat jumat
di masjid. Daerahku adalah daerah yang cukup ketat dalam urusan agama. Bahkan bapakku sendiri adalah ketua DKM
Masjid dekat rumah. Sebenarnya bapakku sebagai ketua DKM telah membuat program untuk tidak mengadakan shalat
jumat untuk sementara. Awalnya semua masyarakat setuju untuk meniadakan kegiatan ibadah di masjid. Namun,
menjelang ramadhan, masjid dibuka kembali dengan prokes yang ketat. Tiap pintu ada hand sanitizer dan tempat cuci
tangan, sebelum masuk harus dicek dulu dengan thermogun di kepala. Sebagai orang yang sering “menembakkan”
thermogun ke jamaah yang mau shalat di masjid, ada aja orang yang termakan hoax thermogun bisa membuat kanker otak
karena radiasinya.
“Mas, kenapa sih harus ditembakkin di kepala nih alat?”. Ujar salah satu jamaah
“Ya kalau ditembakkin ke hati emang bapak mau jatuh cinta sama saya? Saya sih enggak ya”. Balasku bercanda
“Bukan gitu lah, emang mas ga baca berita apa?!”. “Beritanya bilang kalau nembakin thermogun ke kepala bisa
bikin kanker otak. Karena radiasinya.” Sambungnya dengan nada yang seakan-akan beliau tau info ini tuh benar-benar
fakta.
Aku dalam hati langsung tau bahwa berita itu tidak benar, dalam hati aku berkata
“Nih bapak-bapak pasti kena hoax. HP doang smart, tapi masih gampang kena hoax. Dasar baby boomers”
Sudah pasti aku berkata dalam hati dong, tidak mungkin aku ucapkan depan mukanya langsung. Bisa berantem
nanti. Aku pun langsung membantahnya
“Enggak pak, ini alat ditembakkin ke dahi tuh biar gampang ngecek suhu tubuhnya. Biar bapak cuman maju doang
terus udah, dan ga bikin repot. Kalau soal radiasi mah, smartphone kamera tiga punya bapak juga radiasinya gede.”
Balasku
Jamaah tersebut langsung masuk tanpa berkata-kata lagi.
Sebelumnya sudah kubilang kan bahwa mesjid dekat rumahku sempat meniadakan kegiatan ibadah, kemudian
menjelang ramadhan kembali dibuka dengan prokes yang ketat. Tapi sebagian masyarakat kampung saya tuh kalau ada
aturan, makin lama bukannya makin taat. Tapi malah makin kompak untuk menjatuhkan aturan tersebut. Ini terjadi
seminggu sebelum ramadhan. Dengan dalih
“Ah di kita mah yang shalat juga orang-orang sini juga, gausah lah pake masker, terus gausah dijarakin gitu
shafnya.”
Tapi anehnya, mereka tetap bawa masker dan pake masker dari rumah. Pas di masjid malah dibuka. Awalnya hanya
beberapa orang aja yang melanggar prokes di masjid, lama kelamaan sebagian besar melanggar. Masih ada yang pakai
masker, paling cuman dua atau tiga orang aja. Alhasil masjid di deket kampung saya menjadi masjid bermuka dua. Taat
prokes diluar, bodo amat sama prokes di dalam. Alhasil aku ibadah di situ dan ketularan di situ juga. Ini memaksaku
untuk isoman di rumahku yang satu lagi.
The Vid, Myself and Isman HS
Sebelumnya, kecurigaanku bahwa aku kena covid terjadi di saat aku sedang makan makanan “melihat hitam” atau
biasa kita kenal seeblack, seblak maksud aku. Aku pesan seblak pedes dan ketika aku makan di suapan pertama kok aku
merasa hambar, aku masih positif thinking.
“Ah mungkin karena panas dan pedes, jadinya hambar di mulut”.
Suapan kedua pun masih terasa hambar ditambah aku tak bisa mencium wangi seblak itu.
“ah masasih aku covid?”. Aku masih menolak percaya aku sudah kena covid.
Suapan ketiga dan aku langsung percaya aku covid.
“wah beneran ini mah” langsung bergegas untuk memberi tahu orang tua.
Tapi sebelumnya, aku habisin dulu lah seblaknya. Sayang banget udah beli masa nggak dimakan. Bapakku saat itu
langsung menyuruhku untuk isoman di rumah yang satu lagi selama 14 hari. Ya aku pun nurut, daripada aku tinggal
dengan orang tua tapi mereka berdua ketularan juga kan bahaya. Agar aku tetap bisa menjaga imun tetap bagus, aku
mengganti istilah isoman menjadi Isolasi mandiri hanya sendiri atau Isman HS. Isman HS adalah kegiatan yang nggak
asyik. Pertama karena kena covid, kedua karena harus sendirian. Hanya ada satu orang temen cewek yang tau. Kegiatanku
selama Isman HS hanyalah berjemur, berjemur, dan berjemur setiap hari. Untung saja imanku kuat, kalau tidak, aku sudah
menyembah matahari karena kelamaan berjemur. Selain itu yang aku kerjakan hanya tugas kuliah dan berselancar online
di dunia maya.
Lima hari kemudian aku sudah bisa mencium bau dan merasakan rasa makanan. Saat bilang ke bapakku, beliau
menyuruhku untuk tetap diam di situ sampai selesai 14 hari. Aku sempat menolak
“Ngapain sih nunggu lagi??!! Ntar ga ikutan puasa hari pertama dong!!” Ucapku saat telponan dengan bapak.
“Ya standarnya segitu mau gimana lagi? Apa mau kamu pulang terus bapak sama mamah ketularan kamu? Nanti
sama aja kamu bakal sendirian juga. Lagian udah biasa sendiri ini juga. Ntar dikirim uang lagi” balas bapakku
Ketika bapakku bilang uang bakal dikiri lagi, aku langsung nurut setia dan patuh sama bapak
“baiklah bapak. Jika itu keinginan bapak, saya anak bapak akan nurut dengan senang hati”
Ucapku. Ya kalau udah ada uang, mau gimana lagi. Hehehe.
Setelah Isman HS selesai, aku langsung pulang ke rumah dan kembali berkumpul bersama keluarga. Seharusnya sih
keluargaku ngumpul lengkap, ada bapakku, ibuku, aku, dan adikku. Namun adikku tidak bisa pulang karena pesantrennya
tidak mengizinkan untuk pulang, khawatir jika pulang akan membawa covid ke pesantren. Akhirnya kami hanya bertiga.
Aku merasa diriku ini setan, karena ibu dan bapakku pacaran kembali, dan seperti kata pepatah, ketika ada pasangan yang
sedang berduaan, yang ketiga adalah?? Yak kalian betul.
The Mudik
Berkumpul di rumah bersama keluarga sendiri adalah hal yang cukup jarang. Orang tuaku sibuk, aku ngekos,
adikku pesantren. Jadi di rumah ketika semuanya pergi, rumah menjadi kosong. Saat pandemi melanda, semuanya
langsung berada di rumah. Orang tuaku mengikuti program dari pemerintah yaitu work from home, aku juga mengikuti
program yang sama yaitu learn from home. Kegiatan ini kami lakukan tentu saja dengan perasaan berat hati. Kami
sekeluarga merasa kegiatan ini tuh tidak asyik. Tapi ya bagaimana lagi, ini harus dijalani dengan pikiran ini akan selesai
sebelum ramadhan tiba. Karena setiap ramadhan, kami sekeluarga mudik ke kampung halaman yang berada di Jawa
Tengah.
Kami tidak pernah tidak mudik selama dua lebaran idul fitri terakhir. Tapiiii dikarenakan ada pandemi ini, kami
menjadi gagal mudik. Pandemi mengagalkan hattrick mudik lebaran keluarga kami. Keputusan mudik atau tidak mudik
adalah keputusan yang membuat keluarga kami terpecah belah menjadi dua kubu. Kubu tetap kudu mudik dan kubu
lebaran di rumah.
Kubu tidak mudik diisi oleh aku dan bapakku, sedangkan kubu kudu mudik diperkuat oleh ibuku. Sebenernya aku
sih orangnya santai ya, mau mudik ayo, ga mudik juga gapapa. Tadinya aku bersikap netral tentang masalah ini, namun
bapak selaku pemegang kendali keuangan di keluarga ini mentransfer sejumlah uang ke rekeningku untuk masuk ke
pihaknya. Ya uang sudah berbicara, aku bisa apa. hehehe.
Aku berargumen kalau kita gausah mudik tuh karena aku baru saja sembuh dari covid, khawatir masih bawa virus
dan bahaya kalau nularin ke kakek-nenek. Sedangkan ibuku bersikeras mudik karena liat banyak orang yang nekat mudik.
Setelah berdebat panjang akhirnya kami memutuska untuk tidak mudik demi keselamatan bersama. Percuma juga kita
mudik kalau bawa virus, terus virusnya nular ke kakek-nenek. Nanti kita mudik bukan mau senang-senang melepas
kangen tapi malah berduka karena kakek-nenek meninggal tertular virus yang kita bawa
-- TAMAT--

Anda mungkin juga menyukai