Laporan Farklin Hepar
Laporan Farklin Hepar
PRODI S1 FARMASI
STIKES TELOGOREJO SEMARANG
A. DEFINISI PENYAKIT
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering
dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang
memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin
parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di
abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar
ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan
peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan
sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat
mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
B. PATOFISIOLOGI
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50
sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium.
Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang
akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung
empedu.
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan
empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali
batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila
perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam
media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh
pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh
mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol
yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin,
merupakan keadaan yang litogenik (Garden, 2007).
C. ETIOLOGI
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi
iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme
pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan
supurasi. (Donovan JM, 2009).
D. FAKTOR RESIKO
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%)
sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu
(kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
E. TANDA GEJALA
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta
kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara
progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula
kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang
ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 –
70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan
(Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan
atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus
akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan
rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di
saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan
dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan
kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
F. ALGORITMA TERAPI
A. PEMBAHASAN
Kondisi klinik
Data Laboratorium
Terapi Obat
Nilai Rucam
SOAP
14/11 : 38
SGPT
6/11 : 935
9/11 : 431
14/11 : 147
Pada praktikum kali ini pasien dengan penyakit hepatoseluler. Seorang pasien
mengalami penyakit ini dikarenakan Peran dari lingkungan dan toksin eksogen
eksogen juga memengaruhi kejadian karsinoma hepatoseluler. Aflatoksin sebuah
toksin yang sangat poten dan telah dikenal sebagai penyebab kanker hati. Di
samping itu, aflatoksin berperan penting pada kasus KHS. Selain alfatoksin, lebih
dari setengah dari orang-orang yang terdiagnosis mengalami kanker hati
mengidap sirosis , suatu kondisi parut luka (scar) di hati karena terlalu banyak
minum alkohol dan dapat diperparah dengan kebiasaan merokok. Adanya paparan
arsenik yang kronik dari minuman juga terlibat pada kejadian karsinoma
hepatoseluler. Non-metabolic syndromeassociated bentukdari non-alcoholic
steatohepatitis adalah toksin lain dari lingkungan yang secara tidak langsung
berperan dalam induksi kerusakan hati secara kronik.
Gangguan fungsi hati terpenting pada tahap prasirotik adalah peningkatan enzim
transaminase hati terutama ALT serum. Tingginya kadar ALT menggambarkan
berat ringannya proses nekroinflamasi. Bila pasien tidak diterapi maka proses
nekroinflamasi terus berlangsung dan akhirnya terjadi fibrosis dan sirosis yang
kemudian dapat berlanjut menjadi kanker hati.
Pasien diberi pengobatan berupa curcuma dan vitamin B6, Curcuma memiliki
fungsi sebagai Hepatoprotektor yaitu Mekanisme hepatoprotektif terjadi karena
efek kurkumin sebagai antioksidan yang mampu menangkap ion superoksida dan
memutus rantai antar ion superoksida (O2- ) sehingga mencegah kerusakan sel
hepar karena peroksidasi lipid dengan cara dimediasi oleh enzim antioksidan yaitu
superoxide dismutase (SOD) dimana enzim SOD akan mengonversi O2 - menjadi
produk yang kurang toksik.15,16 Curcumin juga mampu meningkatkan gluthation
S-transferase (GST) dan mampu menghambat beberapa faktor proinflamasi
seperti nuclear factor-ĸB (NF-kB) dan profibrotik sitokin. Aktifitas penghambatan
pembentukan NF-kB merupakan faktor transkripsi sejumlah gen penting dalam
proses imunitas dan inflamasi, salah satunya untuk membentuk TNF-α. Dengan
menekan kerja NF-kB maka radikal bebas dari hasil sampingan inflamasi
berkurang (Chattophadday, et al; 2006).
DAFTAR PUSTAKA